#Jas Dokter Pria
Explore tagged Tumblr posts
Text
EFEKTIF! (WA) 0812-1440-8050 Pengobatan Diabetes Kronis Ny. Djamilah Najmuddin di Kebon Bibit Bandung
Mengobati HPV Pada Wanita: Perjalanan Penyembuhan yang Penuh Harapan
1. Memahami Pengobatan HPV Pada Wanita dengan Cermat
Pengobatan HPV pada wanita memerlukan pendekatan yang holistik dan beragam. Dengan memahami kebutuhan individu serta mengintegrasikan pengobatan medis dan alternatif, perjalanan penyembuhan menjadi lebih terarah dan efektif. Berikut ini beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengobati HPV pada wanita:
Pengobatan HPV High Risk: Wanita yang terinfeksi HPV high risk memerlukan perhatian khusus dalam pengobatan. Terapi yang tepat dan terarah dapat membantu mengurangi risiko komplikasi yang terkait dengan HPV, seperti kanker serviks.
Pengobatan untuk Virus HPV: Pengobatan untuk virus HPV melibatkan berbagai metode, termasuk penggunaan obat-obatan antiviral, prosedur medis, atau terapi alternatif. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter untuk memilih pengobatan yang paling sesuai dengan kondisi Anda.
2. FAQ
Apakah Ada Terapi Alternatif Tradisional yang Efektif untuk Mengatasi Kutil Kelamin? Ya, ada beberapa terapi alternatif tradisional yang telah terbukti efektif dalam mengatasi kutil kelamin, seperti penggunaan ramuan herbal atau minuman tradisional. Namun, konsultasikan terlebih dahulu dengan praktisi pengobatan tradisional yang terpercaya sebelum mencoba pengobatan tersebut.
Apakah Ada Penyembuh Tradisional Terkenal yang Mengobati HPV? Di Indonesia, terdapat beberapa penyembuh tradisional terkenal yang telah membantu banyak individu dalam mengatasi HPV. Namun, pastikan untuk memilih penyembuh yang terpercaya dan berpengalaman.
Apakah Terdapat Literatur atau Referensi yang Mendukung Pengobatan Tradisional HPV di Indonesia? Ya, terdapat literatur dan referensi yang mendukung pengobatan tradisional HPV di Indonesia. Buku-buku tentang pengobatan herbal dan pengobatan tradisional dapat menjadi sumber informasi yang berharga dalam memahami pengobatan HPV secara holistik.
Bagaimana Penggunaan Daun Sirih dalam Pengobatan HPV? Daun sirih memiliki sifat antiviral dan antiinflamasi yang dapat membantu mengatasi HPV. Penggunaannya dalam bentuk obat kumur atau ramuan herbal dapat membantu mengurangi gejala dan mempercepat proses penyembuhan.
Apakah HPV Menyebabkan Kanker? Ya, beberapa jenis HPV dapat menyebabkan kanker serviks pada wanita. Oleh karena itu, penting untuk mengikuti pemeriksaan kesehatan rutin dan melakukan pengobatan yang tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan dukungan yang tepat, perjalanan mengobati HPV pada wanita menjadi lebih berarti dan berdaya. Jangan ragu untuk mencari bantuan dari ahli kesehatan terpercaya jika diperlukan, dan tetaplah optimis dalam mencapai kesembuhan yang diinginkan.
Kontak dan Janji Temu Hubungi 0812 1440 8050 Balai Pengobatan Tradisional Ny. Djamilah Najmuddin merupakan sebuah klinik pengobatan tradisional yang sudah berdiri sejak tahun 1985 hingga sekarang dan bertempat di kota Bandung. pengobatan kutil kelamin,pengobatan kutil kelamin pada wanita,pengobatan kutil kelamin pria,pengobatan kutil kelamin pada ibu hamil,mengobati kutil kelamin alami,penyembuhan kutil kelamin secara alami,pengobatan hsv 10
Lihat artikel lainnya :
Kontak dan Janji Temu Hubungi
0812 1440 8050 https://wa.me/6281214408050
Kunjungi website https://djamilah-najmuddin.com
Baca juga :
Kampung Rawa Jakarta Pusat,Tanah Tinggi Jakarta Pusat,Kemayoran Jakarta Pusat,Cempaka Baru Jakarta Pusat,Gunung Sahari Selatan Jakarta Pusat,Harapan Mulya Jakarta Pusat,Kebon Kosong Jakarta Pusat,Kemayoran Jakarta Pusat,Serdang Jakarta Pusat,Sumur Batu Ja
terapi herpes simplex genitalis,pengobatan hepatitis b,pengobatan hepatitis c,pengobatan hepatitis a,pengobatan hepatitis b dan c,pengobatan hepatitis b pada ibu hamil,pengobatan hepatitis b berapa lama,pengobatan hepatitis d,pengobatan hepatitis akut,pengobatan hepatitis e
#pengobatanhepatitisalkoholik#pengobatanhepatitisadalah#pengobatanhepatitisabcde#pengobatanhepatitisakutpadaanak#terapihepatitisa#pengobatanhepatitisberapalama#pengobatanhepatitisbpadaanak#pengobatanhepatitisbpadabayi#pengobatanhepatitisbkronik#pengobatanhepatitisbuntukibuhamil
0 notes
Text
Endorse COVID
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada sangkut paut dengan tokoh atau profesi tertentu)
***
"Nomor ... trian ... ma ... tujuh ...."
Bunyi dari pengeras suara terdengar sayup di tengah riuh ruang tunggu yang ramai. Aku yang sempat ketiduran memeriksa karcis yang kusimpan di saku kemeja. Mataku memicing mencocokkan angka dengan suara yang kudengar. Tapi sebelum aku memutuskan, ada suara lain yang memanggil namaku.
"BAPAK JERRY! BAPAK JERRY NOMOR P-57!"
"Y-ya! Saya!"
Tergopoh-gopoh aku berjalan menghampiri perempuan itu. Sebelah tangan mendekap map kertas merah muda berisi CV, tangan yang satu merapikan rambut dengan terburu-buru. Ahh, aku menyesal ketiduran waktu menunggu. Harusnya aku siap-siap dulu, minimal kelihatan segar dan tidak mengantuk. Bagaimana pun, ini kan wawancara yang penting untuk jadi influencer endorse COVID.
Seorang perempuan berpakaian suster mempersilakan aku untuk masuk ke ruangan. Di dalam ruangan itu, kulihat seorang pria dengan masker sedang duduk. Mungkin dokter, tapi aku tidak melihat jas dokternya karena yang bersangkutan memakai semacam jas hujan. Yah, totalitas juga rumah sakit ini. Mungkin takut ada wartawan yang datang.
"Silakan duduk, Pak," kata pria itu.
Aku mengangguk kemudian duduk. Map merah muda kusodorkan untuk dibaca pria itu. Tangannya berbalut sarung tangan plastik saat menerimanya. Supaya sidik jari tidak tertinggal di barang bukti, ya? Boleh juga.
"Jeri Nur Xetiawan?" katanya berhenti sebentar membaca halaman pertama CV-ku. "Saya Tommy. Panggilnya apa nih, Pak?"
"Saya Jerry, Pak."
"Bisa diceritakan sekilas tentang diri Bapak?"
"Saya sebelumnya bekerja sebagai musisi, Pak. Cuma karena--pfft, pandemi COVID," aku tidak bisa menahan rasa geli menyebutnya sebagai pandemi, "saya jadi kehilangan mata pencaharian. Sudah lumayan lama tidak manggung. Saya dengar-dengar, pemerintah sedang butuh banyak orang untuk endorse COVID ini supaya masyarakat percaya. Saya percaya saya orang yang tepat dan saya sangat siap untuk melakukannya!"
Pak Tommy mengangguk-angguk sambil memandangku dengan serius.
"Saya sudah cari info dan diarahkan untuk bertemu langsung dengan Pak Tommy. Benar, kan, Pak?"
"O-ooh. Iya, iya," Pak Tommy tersenyum. "Pak Jerry sendiri kondisi bagaimana? Sehat?"
"Sehat total, Pak. Kalau memang perlu untuk administrasi, saya bisa siapkan surat keterangan sehat. MCU pun saya nggak apa-apa, Pak. Asal biaya ditanggung, ya." Aku terkekeh. "Yaa, pemerintah kan uangnya banyak. Baru dapat suntikan WHO 'kan? Siapa tau akomodasi juga ditanggung."
"Pak Jerry ada keluarga? Atau teman?"
"Maksudnya? Ohh, followers. Banyak, Pak. Banyak sekali. Pokoknya tidak usah khawatir kalau saya yang COVID, pasti viral." Apalagi kalau dibandingkan dengan rakyat jelata di ruang tunggu tadi. Begitu banyaknya orang yang ingin dibayar untuk promosi COVID, tapi jelas lah beda level denganku yang orang terkenal.
"Maksudnya orang-orang yang, err, memperhatikan kondisi kesehatan Pak Jerry?"
"Followers saya semuanya sangat memperhatikan kesehatan saya! Selain musik, kesehatan itu salah satu bidang saya juga. Bisa dibilang kalau untuk urusan kesehatan, followers saya lebih percaya saya daripada dokter-dokter sekalipun!"
Aku tidak membual. Aku serius. Meskipun sudah lama tidak bermusik, tapi pengaruhku masih kuat di kalangan pengikutku.
"Oke, oke." Pak Tommy menuliskan sandi rumput di catatannya. "Sekarang saya tes, ya, Pak. Apa yang Pak Jerry ketahui soal COVID?"
Aku tersenyum. Ini dia spesialisasiku.
"COVID, atau yang bisa disingkat dengan CVD, adalah sebuah isu yang sedang dikampanyekan oleh pemerintah dunia melalui WHO. Sasarannya, untuk memperkaya Bill Gates supaya dapat membeli saham Amazon dengan bitcoin dengan melakukan rekayasa genetika 4.0 dalam suatu revolusi industri demi kebangkitan Lord Voldemort."
Aku pastikan mataku menatap langsung Pak Tommy, sebagai bukti kalau aku tidak menyontek dari wikipedia, tapi aku memang hafal betul di luar kepala mengenai COVID ini.
"Di Indonesia sendiri, CVD sudah dinyatakan sebagai pandemi dan nyaris melumpuhkan perekonomian nasional akibat isu-isu yang diembuskan oleh orang-orang bayaran WHO, UNESCO, UNICEF, UNAIR, dan organisasi-organisasi lainnya. Mereka bekerja sama dengan organisasi terlarang seperti NAZI, Illuminati, dan G30SPKI untuk mengubah tatanan global yang ada--ini, dengan sepengetahuan pemerintah Indonesia. Tujuannya?" Aku membuat gestur uang dengan telunjuk dan ibu jariku, "Money. Money talks."
Kulihat Pak Tommy hanya bisa melongo. Takjub akan kecerdasanku.
"Utang Indonesia yang ratusan triliun euro itu akan dianggap lunas kalau Indonesia mau berpartisipasi. Belum lagi kucuran dari WHO untuk bisnis CVD. Semakin perekonomian dunia lumpuh, semakin murah saham Amazon, semakin banyak yang akan bisa dibeli Bill Gates."
"Tunggu, tunggu," Pak Tommy menyela, "kalau tentang penyakitnya sendiri, Bapak paham?"
"Lho, kan COVID itu nggak betulan ada, Pak!" Aku buru-buru meralat. "Ohh, maksud Pak Tommy COVID menurut propaganda WHO? Paham saya, Pak. Saaaaangat paham. Pokoknya saya sangat bisa memerankan orang kena COVID."
Aku mengangkat tanganku dan mengarahkan telapaknya ke arah mukaku, berpura-pura sedang membuat instastory.
"Guys, aku habis swab dan ternyata hasilnya positif. Uhuk, uhuk. Rasanya tuh lemes banget, kepala pusing, demam, dan kehilangan penciuman. Aku udah ngerasain dan ini sumpah gak enak banget. Buat kalian semuanya, stay safe, ya. Jangan lupa pake masker dan jaga jarak. COVID itu nyata!"
Aku menurunkan tanganku. "Gimana, Pak? Atau kurang sakit? Saya siap pakai selang-selang, infusan, oksigen, apa itu lah kalau bayarannya cocok. ICU no problem, riwayat penyakit bisa kita bicarakan."
"Cukup, Pak, cukup. Akting Pak Jerry bagus sekali."
"Kalau begitu saya diterima, Pak?"
Pak Tommy menyerahkan map merah mudaku dan selembar catatan ke perempuan berpakaian perawat di sampingnya.
"Nanti Bapak ikut suster dulu untuk tahapan berikutnya, ya."
"Lho, tes apalagi? Apa nggak bisa tanda tangan kontrak sekarang?"
Pak Tommy tidak menjawab. Yang disebut suster langsung berdiri dan mengajakku keluar ruangan.
"Mari, Pak, ikut saya. Saya jelaskan dulu."
***
"Kasihan, ya, Dok."
"Hm?"
"Pasien yang barusan tadi. Swabnya padahal sudah negatif lho. Ihh, ngeri banget COVID varian baru ini, ya, Dok, fisiknya sih gak apa-apa tapi pikirannya kena."
"Hush."
"Maaf, Dok. Saya panggilkan pasien selanjutnya, ya, Dok."
2 notes
·
View notes
Text
Chapter 27
***
"Ilmu manusia itu seperti mendaki gunung, tetapi kita telah bisa terbang ke udara 100 tahun yang lalu." Dokter tersenyum. "Itu seperti kitaa masih tidak bisa menjelaskan mengapa bidang geomagnetik tiba-tiba menghilang begitu lama."
Kemudian dia berhenti berbicara. "Pergilah."
Colin menundukkan kepalanya dan berjalan ke arah bus antar-jemput tanpa mengucapkan sepatah kata pun. An Zhe mengucapkan selamat tinggal kepada dokter sebelum dia juga naik bus.
Dia tidak tahu di mana Lu Feng. An Zhe tidak bisa melihatnya. Pria ini sangat sibuk dan sepertinya dia tidak ingin berurusan dengan An Zhe lagi hari ini. Lu Feng mungkin sudah pergi.
Setelah memastikan bahwa dua pria terakhir ada di bus, bus shuttle meninggalkan Stasiun Kereta, menelunsuri jalan. Ini adalah bus yang terakhir yang penuh sesak di dalamnya, dengan hampir 100 orang berdiri. Titik keberangkatan mereka di dalam gedung stasiun dan mereka tidak bisa melihat di luar. Tidak sampai tiga menit kemudian, bus shuttle akhirnya melewati terowongan, hujan dan cahaya masuk. Bagian depan tiba-tiba terang benderang, dan ada suara nafas samar-samar di dalam bus.
Garis pandang An Zhe melewati kerumunan orang di dalam bus lalu keluar jendela. Ini adalah bagian lain dari zona penyelarasan, tetapi tepat di belakang zona penyelarasan itu terdapat bangunan kaca berkilauan biru tua tak terhitung jumlahnya berdiri.
Mata An Zhe sedikit menyipit.
Ketika dia pertama kali datang ke pangkalan manusia sebulan yang lalu, dia merasakan keajaiban arsitektur manusia. Bangunannya lebih tinggi dari jamur terbesar, sangat megah dan tinggi — untuk jamur yang belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya, tentu ini besar dan tinggi.
Namun sekarang berbeda. Sebagai seseorang yang telah terbiasa dengan bentuk Kota Luar, An Zhe sekali lagi merasa bahwa gedung-gedung tinggi ini sedang memandang rendah dirinya. Bangunan tempat tinggal di Kota Luar umumnya memiliki 10 lantai. Bangunan-bangunan di sini berbeda. Setelah ia hitung hingga 30, bangunan-bangunan itu sudah menghilang dari pandangannya karena ia terlalu lama. Terlalu banyak.
Pada saat yang sama, gedung-gedung juga berjarak sangat dekat dan saling menumpuk dalam pandangan An Zhe. Hujan menjadi lebih ringan. Hujan deras di musim panas selalu berlalu dengan cepat. Sinar matahari keemasan bersinar menembus awan dan dinding kaca di bagian atas gedung.
An Zhe mendengar kisah lengkap tentang sejarah pangkalan dari Shi Ren sekali. Pada awalnya, geomagnetisme melemah atau bahkan menghilang — jadi dua generator medan magnet dibangun untuk menyelesaikan masalah ini. Dan Kota Utama Pangkalan Utara melindungi salah satu generator ini.
Kemudian, jalannya menurun.
Suara pengumuman mekanis mengatakan, "Penumpang yang terhormat, karena kelangkaan sumber daya di Kota Utama, area perumahan Mercusuar dan Eden penuh. Semua orang sementara waktu akan ditempatkan di area perumahan militer. Silakan temukan alamat yang sesuai dengan nomor kartu ID anda dan tunggu instruksi selanjutnya."
An Zhe mengeluarkan kartu identitas barunya. Nomor kartu telah berubah dan sekarang menjadi 3124043702.
3 untuk Pangkalan Utara, 1 untuk Kota Utama dan angka sisanya mewakili lokasi perumahan tertentu.
Orang-orang di dalam bus mulai berbicara satu sama lain dan mereka menemukan alamat mereka tersebar acak.
"Aku mengerti," kata seseorang. "Orang-orang di Mercusuar dan Eden tidak melakukan pekerjaan berbahaya dan tidak akan mati, sehingga daerah pemukiman penuh. Namun, militer sering kehilangan personilnya, meninggalkan banyak ruang untuk kita tinggali."
Orang-orang lain setuju dengannya. Tidak lama kemudian, bus shuttle berhenti dan menurunkan mereka. Ada beberapa orang yang tinggal di Unit 04 Gedung 24 bersama An Zhe. Mereka berjalan ke dalam gedung dan tergesa-gesa mulai belajar menggunakan lift. Lift tidak tersedia di Kota Luar.
Colin melangkah keluar dari lift di lantai 36 sementara An Zhe pergi ke lantai 37. Tidak ada tombol lain di atas 37 yang berarti ini adalah lantai paling atas. Dua pintu saling berhadapan dengan segel putih ditempel di atasnya. An Zhe merobek segel di pintu 02 dan menggesek kartunya untuk masuk.
Kamar di Kota Utama jelas lebih besar dari kamar di Kota Luar. Ruangan ini adalah sebuah ruangan dengan satu kamar tidur, satu ruang tamu, dengan kamar mandi, dan dapur terpisah. Ruang tamu memiliki meja kopi sederhana dan sofa abu-abu kecil. Di dinding seberang sofa, benda hitam persegi digantung. Struktur dan warna benda persegi hitam ini mengingatkannya pada layar komputer tablet yang pernah ia mainkan dengan Boss Xiao. An Zhe maju dan menekan tombol di bawahnya.
"... telah dipindahkan dengan aman ke Kota Utama dan status pertahanan darurat Kota Utama telah dinyalakan. Menurut United Front Center, pangkalan akan ditutup untuk periode 5 - 10 tahun sampai generasi berikutnya. Pada saat ini, Mercusuar berspekulasi bahwa monster-monster akan bermutasi dengan tingkat intelijen tinggi. Invasi serangga kali ini adalah serangan kolektif — suatu tindakan yang mana sebelumnya ada suatu kondisi/ keadaan yang hendak diubah — serangga selama musim kawin. Untuk menghindari potensi bahaya dari mutasi gen, Mercusuar telah menyarankan agar operasi penyelamatan darurat berhati-hati ketika mengirim tentara, tidak perlu untuk melakukan operasi berisiko tinggi dan memfokuskan untuk meningkat produksi sumber daya, melakukan penelitian dan pengembangan, dan kesiapan tempur untuk menemukan cara untuk mengatasi keadaan saat ini. Selanjutnya, mari beralih ke peneliti Mercusuar, Tuan Chen."
Layar beralih dari seorang penyiar yang mengenakan setelan jas ke seorang pria paruh baya yang tampak serius dengan jas putih.
"Seperti yang kita tahu, monster arthropoda tidak memiliki keunggulan bertahan hidup di daerah berisiko tinggi. Namun, pada musim kawin, mereka membutuhkan daging yang bergizi dan unggul secara genetis yang berfungsi sebagai tempat berkembang biaknya telur mereka. Kami menduga inilah alasan serangan kolektif mereka terhadap pangkalan manusia. Bagaimanapun, reproduksi adalah prioritas semua spesies. Namun, tidak diketahui bagaimana mereka menghasilkan kesadaran berpikir seperti manusia. Aku khawatir ini terkait dengan konsumsi gen manusia oleh beberapa individu."
Penyiar bertanya, "Apa yang ingin kamu sampaikan tentang situasi ini?"
"Sangat disayangkan bahwa Kota Luar pangkalan telah hancur sepenuhnya tetapi kami akhirnya dapat mencegah kemungkinan mutasi lebih lanjut gen manusia. Pangkalan kita juga tidak memberi monster kesempatan untuk berkembang biak. Ini merupakan kemenangan." Peneliti menyatakan. "Yang ingin kukatakan adalah anda semua tidak perlu khawatir tentang keamanan Kota Utama saat ini. Kota Utama adalah kristalisasi dari kemajuan sains dan teknologi manusia. Keamanannya pasti dan tidak akan bisa diserang oleh monster. Pada saat yang sama, anda tidak perlu khawatir tentang masa depan spesies manusia. Saya telah menerima informasi bahwa teknologi reproduksi telah ditingkatkan lebih lanjut. Jumlah bayi baru lahir di Taman Eden telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan pangkalan akan memasuki periode ekspansi populasi. Masa depan kita cerah..."
Peneliti itu terus berbicara untuk menenangkan orang-orang. Begitu dia selesai, penyiar beralih ke panggilan dengan staf militer dan memintanya untuk memberi tahu semua orang tentang perkembangan terbaru di lapangan.
An Zhe berpikir bahwa siaran berita di Kota Utama jauh lebih rinci daripada siaran monoton Kota Luar. An Zhe pikir ini sangat menarik. Ketika berita akhirnya selesai, layar menjadi abu-abu monoton dan mulai memainkan beberapa musik sebelum dia mematikannya.
Pada saat ini sudah malam. Melihat keluar dari jendela kamarnya, bintang-bintang muncul dan di tempat yang jauh sebuah bayangan berbentuk menara silinder besar berdiri. Sangat besar, menempati hampir seperempat pandangan An Zhe dan bangunan itu lebih tinggi dari semua bangunan lain, seperti monster raksasa yang tertidur di pusat kota. Aurora tipis dengan cepat berubah di sekitarnya. An Zhe bertanya-tanya apakah ini adalah generator medan magnet yang legendaris.
Dia memperhatikan untuk waktu yang lama sebelum membuka pintu dan berencana untuk makan malam. Kota Utama, seperti Kota Luar, memiliki restoran umum di beberapa lantai. Saat itulah dia menemukan segel pintu milik tetangganya telah sobek.
An Zhe tidak punya niat untuk menyelidiki kapan tetangganya kembali dan orang seperti apa dia. Hari ini adalah awal yang mendebarkan dan dia tidak menyukainya. Dia bermaksud untuk mencapai akhir yang damai.
Jadi, ketika dia menerima informasi di komunikator bahwa 'semua personel sipil yang dipindahkan dari Kota Luar untuk berkumpul di gerbang Eden', dia mencoba sebaik mungkin untuk menenangkan dirinya.
Tadi malam, An Zhe telah membaca peta dan buku panduan Kota Utama. Dia tahu ada 20.000 penduduk tetap di kota utama, 70% di antaranya adalah personil militer. 30% sisanya adalah ilmuan dan berbagai warga sipil. Pinggiran Kota Utama terdiri dari daerah persenjataan, markas militer, landasan pesawat, stasiun kereta api dan daerah perumahan. Sementara itu, pusat kota adalah area inti dan berisi tiga lembaga penting untuk pangkalan.
Yang pertama adalah United Front Center. Ini adalah lembaga untuk militer dan bertanggung jawab untuk mengirimkan persenjataan dan persediaan. Yang kedua adalah Pusat Penelitian Ilmiah. Fungsinya sama dengan namanya dan karena simbol dari lembaga ini menyerupai Mercusuar, jadi lembaga ini disebut Mercusuar. United Front Center dan Mercusuar masing-masing memiliki sebuah bangunan dan kedua bangunan itu dihubungkan oleh sebuah jembatan kaca yang tertutup. Bangunan ini disebut Menara Kembar.
Yang ketiga memiliki nama yang relatif panjang dan disebut 'Pusat Pembibitan, Tumbuh dan Pendidikan.' Lembaga ini memiliki dua fungsi. Salah satunya adalah menyediakan makanan dan nutrisi untuk pangkalan. An Zhe berpikir bahwa ini mungkin tempat di mana manusia menanam kentang. Fungsi lainnya adalah membiakkan bayi. Bayi manusia tumbuh di tempat ini dan menerima pendidikan awal. Karena namanya terlalu sulit, biasanya disebut 'Eden.'
Tempat kerja An Zhe di masa depan adalah Eden.
Dia melihat menara kembar di kejauhan dan kemudian menatap Eden. Sebenarnya dia punya sedikit harapan, karena dia belum pernah melihat anak manusia. Sporanya adalah benda putih kecil yang lembut. Dia tidak tahu apakah bayi manusia itu sama.
Tetapi, bisakah merawat bayi manusia memberinya pengalaman untuk masa depan ketika ia harus merawat spora sendiri?
... Sepertinya tidak.
***
14 notes
·
View notes
Text
Aku Suka Haltenya
Gerimis dan rintik hujan masih turun di langit kota, walau awan mendung sudah mulai menghilang. Matahari tampak ingin pamit di ufuk barat, memberikan kesan dan warna kemerahan di seluruh sudut jalan dan bangunan. Senja kota ini selalu sama, tak peduli musim silih berganti, kesibukan penduduk kota, kemacetan di jalanan, anak sekolah yang pulang ke rumah. Senja kota sama sekali tak berubah. Selalu indah.
Jalanan masih basah, tentu saja. Gerimis kecil sore ini membuat air-air jatuh dan membasahi bangunan, rerumputan, persimpangan jalan, dan lampu taman kota. memberikan suasana yang menyejukkan dan menenangkan. Aku sedang berjalan di tepi jalanan besar yang di lewati kendaraan dan mobil-mobil yang melintas. Terlihat di seberang jalan, gerai fotokopian yang mulai sibuk membereskan barang-barangnya. Bersiap untuk tutup sepertinya. Mereka masih menyelesaikan beberapa hal, menggunting ini, menulis itu, mengetik sesuatu di layar komputer. Masih ada beberapa remaja disana, mahasiswa yang masih sibuk dengan kertas dan buku-bukunya. Mungkin mereka sedang berburu dengan deadline tugas, atau ada juga yang hanya numpang berteduh. Sesekali tertawa dan bercanda. Ah ramai sekali.
Aku baru berjalan keluar beberapa meter dari gerbang tempat kerjaku, rumah sakit utama kota. Badanku terasa remuk, sekujur tubuhku lelah sekali, sesekali aku masih mengusap peluh di kening. Memperbaiki ujung jilbab, membersihkan embun yang mengaburkan kacamata. ntahlah, apakah itu embun, atau air mata. Yang pasti, aku letih. Hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju tujuan, halte bus dengan tempat duduk, dan atap yang cukup meneduhkan. Sudah ada beberapa orang disana. sepertinya lagi-lagi mahasiswa, adik kelasku lebih tepatnya. Memang tempat kerjaku, dan halte ini tidak jauh dari kampus dengan bangunan tinggi menjulang tepat di perempatan jalan. Aku suka haltenya, dan masih menjadi tempat favoritku sejak dulu. dekat, bersih, nyaman dan karena, ini juga tempat favoritnya. dulu.
∞∞∞∞∞
Tiga buku di tangan kiri, botol minuman dan kotak makanan di tangan kanan, satu tas sandang, dan tas kain yang kugendong di depan badanku, rempong sekali. Kuliah hari ini sudah selesai. dokter jam terakhir menyuruh kami memeriksa beberapa cadaver dan anatomi, mudah saja. Aku bergegas pulang menyebrang jalan sebelum awan mendung di langit menurunkan hujan. Berlari kecil menuju halte bus di seberang jalan. Tiba-tiba seseorang dari belakang mengambil langsung buku-buku dan kertas di tangan kiriku. Sesaat aku terkejut, “hei!” dan menyadari, ternyata itu dia. “Biar aku bantu membawanya, kamu akan keberatan.” Sama sekali merasa tak perlu melihatku, dia tetap saja jalan dengan langkahnya yang seolah tak peduli, menyebrang jalan. Terkejutku berubah menjadi senyum, melihat punggungnya dan masih berdiri terdiam di tepi jalan. Sesaat kemudian, panggilannya memutus lamunanku, “kamu mau tetap berdiri disitu saja sampai malam dan tidak akan pulang?” Aku langsung bergegas mengikuti langkahnya, sambil sedikit memperbaiki kacamata “ah iya, tunggu akuu!” kami menunggu di halte sore itu, dan aku tertawa cekikikan. dalam hati.
∞∞∞∞∞
Aku tersenyum disini saat ini, Persis di tempat yang sama, mencoba berdamai dengan masa lalu. kenangan itu telah lama pergi, jauh tertinggal. Sejak wisuda dan yudisium sarjana, dia menghilang begitu saja. Tanpa pamit. Tidak ada bilang apa-apa. Menghilang ditelan bumi. Sampai sekarang, sama sekali tidak ada sedikitpun kabar angin yang berhembus tentangnya. Sedangkan aku? Masih tetap begini saja. menyelesaikan tahun terakhirku di jenjang pendidikan klinik―seperti magang, di sebuah rumah sakit daerah utama kota. Hari-hariku selalu sibuk dengan penyakit, keluhan, dan apapun yang menguras tenaga. Bisa-bisanya kenangan masa lalu itu muncul sekarang, di saat seperti ini?
Kalau boleh jujur, dan tidak bermaksud apa-apa, aku telah tumbuh menjadi gadis yang kuat dan bisa diandalkan dua tahun belakangan. Tubuhku tinggi semampai, pakaianku lebih rapi, penampilanku bisa dibilang lumayan, dan tidak buruk, setidaknya aku lebih memperhatikan gaya jilbab dan makeup seperti orang lain. Tanganku cekatan, mataku cermat dan cara berbicaraku, jauh lebih perhatian dan lembut. Aku hanya sedang kesal dan pusing dari kejadian siang tadi di rumah sakit. pikiranku rumit. semuanya membuat tak habis pikir. Bagaimanapun juga, aku tetaplah seorang perempuan. Rumitnya masalah membuatku harus lebih berekspresi dan berbagi. Aku tidak lemah, hanya saja kelopak mataku tak bisa lagi membendung airmata untuk jatuh dan terisak.
∞∞∞∞∞
Seorang pasien diatas ranjang dibawa dengan cepat keluar dari ambulan. Tiga orang petugas berlari menggiringnya membawa masuk kedalam IGD. aku yang berdiri dan melihat, langsung cepat membaca situasi. Bertanya kepada petugas tentang tanda vital pasien “Laporkan!” dalam satu hembusan nafas, petugas itu menjelaskan semuanya. Otakku berpikir cepat, memperhitungkan kemungkinan. sepersekian detik, seakan ada rangsangan cepat mengirim sinyal ke otak. mencerna informasi. oke. aku paham. pasien di pindahkan ke ranjang gawat darurat dengan peralatan lengkap. Tiga orang perawat sudah siap siaga. Aku mencuci tangan,memakai handscoon, mengecek segala hal, kesadaran, kornea mata, denyut nadi radialis―pergelangan tangan, pindah carotis―bagian leher. Tolonglah ini lemah sekali. Sesaat kemudian. Aku terkejut. Hilang! Sebelum menyadari apa yang terjadi, aku membuka jas putihku, melemparnya sembarang. Menyingsing lengan baju, langsung bergegas melakukan CPR(cardiopulmonary resuscitation) ada yang lebih penting, jantung yang harus diselamatkan.
“DEFIBLIRATOR.!!!”
Aku belum pernah teriak sekencang itu. urat syarafku menegang dibalik jilbab berantakanku. Suaraku serak dan bergetar. Lebih dari cukup untuk membuat satu ruangan terkejut dan khawatir. Dua perawat menanggapi serentak “Akan kami siapkan!” satu lagi perawat berdiri di sampingku, “Cepat panggil professor!!” tanpa banyak tanya perawat itu langsung bergegas lari keluar ruangan. Tanganku terus melakukan hentakkan, sesekali sambil melihat keatas, langit-langit ruangan, menahan air mata agar tidak tumpah. Setiap detik adalah berharga. Satu menit terlambat, akan sangat fatal akibatnya. Aku sudah di tahun terakhir dari masa pendidikan dokterku, setidaknya sudah belasan hingga puluhan kali prosedur kompresi dada, dengan menghentakkan dua tangan pada tubuh pasien sudah pernah kulakukan. Soal kompeten, tanganku lebih dari telaten. Tapi tetap saja, ini tentang hidup dan nyawa manusia.
Seorang pria paruh baya dengan baju rapinya masuk ke dalam ruangan. Pandangannya cerdas, langkah kakinya cepat, gerak tangannya gesit, terlihat sangat cekatan dan berpengalaman. Professor. Dia langsung mengambil alat―defiblirator pacu jantung elektronik dan memulai prosedur.
memasukkan 150 joule. Meminta perawat menyuntik epinefrin, satu. dua. tiga. Clear! Aku kembali mengkompresi dada. mengecek denyut nadi. Melihat monitor. nihil.
memasukkan 200 joule. Menyuntikkan amiodaron. Meningkatkan dosis, intensitas. satu. dua. tiga. Clear! Aku kembali mengkompresi dada pasien. mengecek denyut nadi. melihat monitor. masih sama. Mataku mulai basah.
Terakhir. kembali 200 joule. satu. dua. tiga. Clear! Dengan cekatan kembali dua tanganku melakukan prosedur itu. kompresi dada. mengecek denyut nadi di leher. melihat monitor. jangan. Asistol. Tidak berdetak. tolong. Jantungku yang berdegup sangat kencang. Bukan pasien ini. Kakiku kebas. Tanganku tak terasa apa-apa. bunyi denging mesin monitor selalu sama. Panjang dan memilukan. Tubuhku mulai lemas. Tak ada keajaiban disini. Badanku mengginggil. Aku tidak kuat.
Seorang anak kecil setinggi pinggang, wajah polos, dan kebingungan, berlari menghampiriku ketika aku keluar dari ruangan. Oh lihatlah anak kecil ini, dia masih saja bisa tersenyum dan lucu. ada apa gerangan yang membawanya kemari? Perlahan ternyata dia memanggilku.
“buk dokter, bagaimana kondisi ayahku? Apakah dia baik-baik saja?”
Oh tuhan. Aku kehabisan kata-kata.
∞∞∞∞∞
Langit senja kota masih selalu sama. Tidak berubah. Selalu indah. Gerimis dan rintik hujan perlahan mulai mereda. Gerai fotokopian seberang jalan, sudah tutup. Sudah sekian menit aku menunggu di halte ini. Menenangkan diri dengan perasaan. Meluapkan emosi dengan kenangan. Ini mengapa aku selalu lebih memilih untuk pulang dengan bus, karena aku suka haltenya. Selalu menyenangkan ketika mengingat masa-masa itu. dan dia. setelah begitu banyak masalah yang kulalui, setidaknya aku punya tempat dimana merasa aman dan nyaman. Sebenarnya aku tidak terlalu memahami apa yang kurasakan. Rindu? Ntahlah. Aku juga tidak mengerti apa yang aku harapkan. Disisi lain, terkadang diri selalu menyalahkan hati, mengapa masih saja membiarkan ingatan dan memori itu untuk kembali. Absurd memang. Dalam banyak hal, aku sangat bisa diandalkan. Kecuali soal, perasaan.
Suara pintu bus berbunyi, dua tiga orang turun dan keluar. Petugas bus kembali sibuk dengan tiket dan bayaran. Aku bergegas membawa barang, bersiap naik, dan melangkah. Sesaat sebelum kaki masuk ke dalam bus, Tiba-tiba sebuah suara dari belakang memanggilku. Aku langsung membalikkan badan, menoleh, terkejut. Seorang pria yang lebih tinggi sedikit dariku, dengan tampilan sederhana, cukup berwibawa. Perawakannya masih sama. tidak banyak yang berubah, masih berdiri tersenyum. bukankah itu dia?
“A…Ah..Ahmad??”
5 notes
·
View notes
Text
#8 - Prinsip
Membicarakan seseorang yang telah tiada tidak pernah menyenangkan. Kita merasa membicarakan sosoknya ; padahal yang sedang kita bicarakan hanyalah kenangan-kenangan tentangnya yang tersimpan di kepala. Ketika semua kenangan tentangnya habis, habislah juga kata-kata kita.
Hal paling tidak menyenangkan di balik itu semua bukanlah kenyataan bahwa kenangan tentangnya yang kita miliki telah habis, melainkan kenyataan bahwa kita tidak mungkin memiliki kenangan baru bersamanya. Kita hanya mengulang kenangan-kenangan usang. Kenangan yang mungkin sebaiknya kita buang, tapi tetap kita sayang-sayang.
Membicarakan seseorang yang telah tiada bisa menjadi cara menghadirkan kembali seseorang itu di sisi kita, paling tidak bagi Kayla. Saat Baskara menyebutkan kata "Papa kamu", lidah Kayla gatal sekali rasanya. Dia ingin membicarakan mendiang Papanya. Papa yang amat sangat mencintai putri semata wayangnya... sehingga sang putri tumbuh amat sangat skeptis pada cinta dari pria lain. Selain cinta dari papa, hanya cinta dari Baskara yang Kayla terima dengan tangan terbuka, tanpa ada tanya-ragu-takut-kalut. Sebuah cinta yang terasa aman dan nyaman, persis dengan cinta dari papa Kayla. Nyatanya, tidak ada cinta yang aman. Bahkan cinta dari Sang Papa terhenti saat Papa Kayla wafat.
"Papaku... sudah meninggal, Bas." ucap Kayla pelan.
"Kapan Papa sedho, Kay?"
"Tahun pertama kita kuliah... bulan Oktober. "
Wajah Papa Kayla lalu terlintas dalam benak Baskara. Wajah yang selalu dihiasi senyum ramah setiap Baskara datang ke rumah Kayla. Wajah yang menyiratkan kekecewaan mendalam saat hubungan anaknya dengan seseorang yang sudah dianggap anak berakhir.
Baskara begitu mengagumi Papa Kayla, seorang dokter spesialis bedah mulut ternama di kota mereka. Bukan, bukan karena profesinya, melainkan karena pribadinya : pintar, cerdas, sangat dermawan, ramah, rendah hati... Baskara bahkan bisa menyebutkan lebih dari 50 hal yang dia kagumi dari sosok yang pernah menjadi calon mertua laki-lakinya itu.
Baskara lupa rasanya memiliki seorang Ayah. Sang Ayah pergi meninggalkan dia, Ibu, dan dua orang adik laki-lakinya saat Baskara berusia tujuh tahun. Ibunya lalu berjuang untuk membesarkan tiga anaknya seorang diri. Ibunya bukan seorang wanita karir, tidak pula sempat meniti karir karena sang Ayah langsung melamar saat Ibunya baru sehari resmi menjadi sarjana. Baskara menyaksikan sendiri betapa sulit bagi Ibunya untuk mendapatkan pekerjaan : tidak punya pengalaman kerja, sudah menikah, punya anak tiga.
Lalu... saat mengetahui gadis yang dicintainya hanya ingin menjadi Ibu Rumah Tangga, Baskara teringat Ibunya. Dia tidak ingin apa yang dialami Ibunya, dialami juga nanti oleh Kayla. Meskipun tidak ada satupun manusia yang mengharapkan kemalangan... hidup ini tetap saja penuh kejutan. Memiliki pegangan tentu lebih baik. Ya, dalam hal ini, pekerjaan.
Baskara belum tahu apakah dia akan berjodoh dengan Kayla. Tentu saja, saat itu, mereka masih SMA. Entah berjodoh atau tidak, dia tetap ingin Kayla mengembangkan dirinya, mendapatkan pasangan yang mendukung dia untuk mengembangkan dirinya. Kayla... perempuan secerdas itu pasti memiliki mimpi yang luar biasa kan... selain menjadi Ibu Rumah Tangga? Dia tidak harus mengubur semua potensi dan mimpinya saat menikah. Sayang sekali rasanya.
Baskara menjadi orang paling bahagia saat mengetahui Kayla sudah menyandang gelar "drg" di depan namanya. Namun disaat yang bersamaan, Baskara juga menjadi orang paling sedih karena dirinya sudah melepas wanita yang dia cintai -selain Ibunya- dari genggamannya.
"Kamu... jadi dokter gigi, itu wasiat Papa?"
Kayla menarik napas dalam-dalam. Sulit rasanya menjelaskan semuanya pada Baskara. Terlalu banyak hal yang selama ini dia biarkan mengambang, tidak jelas ; Baskara pun tidak pernah meminta penjelasan.
"Bukan. Aku cuma pengen deket terus sama Papa. Jas yang aku pake, itu jas Papa. Klinik tempat aku praktik, itu klinik Papa. Bahkan ruangan aku praktik, itu dulu ruangan Papa. "
Baskara terhenyak mendengar ucapan Kayla. Dia salah kira... selama ini Kayla tidak mengembangkan dirinya ; dia hanya tumbuh dengan baik di zona nyamannya. Kayla memilih hanyut dalam sebuah pusaran, Papanya.
Baskara bimbang... apakah terpuji jika hari ini dia menyelamatkan Kayla dari pusaran itu untuk kemudian menghanyutkannya ke dalam sebuah pusaran baru bernama Baskara?
***
2 notes
·
View notes
Text
Brothers [Act 04 - END]
character: BTS-OT7 genre: crime/family
Dan aku tak merasa menyesal sedikit pun, Detektif. Lega, malah.
.
Kamis pagi Yoongi diisi oleh kopi, konversasi tanpa akhir, Namjoon dan Seokjin.
Kali ini meja Namjoon adalah korbannya―dimulai dengan Yoongi yang mendatangi sang rekan seraya membanting tumpukan map dari panti asuhan yang pernah ia dapatkan, catatan kecil tiap interogasi, serta sederet kemungkinan yang ia jabarkan tadi malam beserta bukti yang telah dibenarkan. Seokjin datang setengah jam setelah Yoongi dengan kertas berisi hasil tes medis, (lagi-lagi) kumpulan foto yang berhasil membuat kedua rekannya mual, dan … tiga cangkir kopi―setidaknya yang terakhir berhasil mengetuk hati Yoongi sebelum pria itu mengeluarkan sumpah serapahnya di pagi hari.
Yoongi duduk dengan gaya hampir tak elit―berputar-putar di kursinya dalam posisi terbalik, lalu menempelkan dahinya di puncak sandaran kursi apabila ia lagi-lagi menemukan jalan buntu. Seokjin―yang duduk berhadapan dengan Yoongi―pun begitu. Mungkin ada sekitar dua menit ia menangkupkan wajahnya dalam lipatan tangan dan sama sekali tak bergerak. Namjoon bahkan mengira ia tertidur.
“Honestly, sekarang aku tak tahu siapa yang berbohong dan siapa yang mengutarakan kejujuran.” Namjoon menghela napas. “Mereka saling mengumpankan diri, God ….”
Dari tempatnya duduk, Yoongi melirik Namjoon lewat sudut matanya. Ia mengamini kalimat rekannya dalam hati, namun lagi-lagi perasaannya luluh apabila ia teringat pengakuan-pengakuan tempo hari. “Jimin mengorbankan dirinya karena ia kakak tertua, Taehyung mengindikasikan bahwa masa depan saudaranya lebih cerah dibanding miliknya dan Jungkook … ia merasa berutang budi pada kedua kakaknya.
“Jika ada yang membuat kasus ini miris dan sangat melibatkan emosi, maka inilah alasannya,” rangkum Yoongi sambil menyesap kopinya yang tak lagi mengepul. “Deduksiku berkali-kali patah setiap salah seorang dari mereka menelurkan pengakuan. Entah harus menangis bahagia atau tersenyum miris, aku tak tahu.”
Seokjin, yang selama setengah jam terakhir ini paling sedikit bersuara, akhirnya mendongakkan kepala dari hibernasi konversasinya. Ia mengambil gelas plastik bagiannya, menyesap lumayan lama―mungkin hingga tandas―dan meloloskan napas. Yoongi dan Namjoon saling berpandangan, awalnya, namun mereka agaknya tahu bahwa Seokjin kini sudah benar-benar mendapatkan akal sehatnya kembali.
“Mari kita runut kasus ini sejak awal, Guys,” katanya. Omong-omong menurut Yoongi, Seokjin terlihat seperti anak kuliahan dengan polo shirt berwarna terang begitu, tanpa kacamata, tanpa jas putihnya. “Dan pelan-pelan.”
“Baiklah.” Yoongi memulai. “Kita datang ke TKP pada Selasa pagi pukul lima, ketika kondisi mayat sudah mulai kaku. Kondisi TKP … seperti yang kalian tahulah. Lalu menur―”
“Jelaskan saja,” potong Namjoon. “Supaya tidak ada yang terlewat. Tempat kejadian perkara tepatnya di ruang tengah. Mayat terkapar dalam posisi tertelungkup, piring berisi kudapan manis yang diperkirakan adalah makanan terakhir korban dan sumber air yang kemungkinan menjadi musabab ia terpeleset.”
“Perkiraan kematian pukul enam sore hari Senin, dengan penyebab utama kelebihan kandungan sianida dalam tubuh. Dengan kata lain, korban kita diracun.” Seokjin melanjutkan.
“Tiga tersangka: Park Jimin, Kim Taehyung, dan Jeon Jungkook―semuanya anak adopsi dari panti asuhan yang sama. Lalu Jung Hoseok sebagai saksi,” tambah Yoongi. “Tidak ada saksi lain yang bisa kumintai keterangan karena satu, korban tak bekerja di mana pun dan dua, teman-temannya adalah para pemabuk berengsek berbau babi yang meracau ketika kutanyai.”
“Apakah dia memiliki musuh? Maksudku … seperti lawan berat dalam berjudi?” tanya Namjoon.
Yoongi menggeleng. “Aku mengunjungi tempat yang kerap kali ia datangi dan ya, tidak ada. Menurut pemilik tempat, mereka akan menganggap kekalahan sebagai angin lalu,” ujarnya mengedikkan bahu. “Siapa pun yang berani berbuat onar di dalam sana akan diusir. Well, tempat itu adalah tempat kacangan memang, tapi mereka memiliki penjaga bertubuh gorila. Percayalah.”
Kemudian Yoongi melanjutkan dengan hasil interogasi yang ia lakukan. Dimulai dari Park Jimin, sang kakak tertua yang saat ini duduk di bangku kuliah. Tentang pengakuannya akan jeda lima jam setelah kakak-beradik itu menemukan mayat dan akhirnya menyambungkan panggilan ke kantor polisi. Dan tentang percakapan kecil mereka berdua, dimana Jimin dengan ringan hati menyerahkan bokongnya untuk disekap polisi. Ia bilang, ia kakak tertua dan sudah tugasnyalah melindungi kedua adiknya.
Kim Taehyung, menurut pendapat Yoongi, memiliki sejuta rahasia kelam yang tak mampu ia bagi pada kedua saudaranya. Seokjin bahkan lupa menutup mulutnya saat Yoongi mulai menelurkan dongeng tentang tugas rumah Jungkook dan derai air mata Taehyung di malam bersalju ia datang ke rumah Jung Hoseok. Kim Taehyung terlalu menyayangi kedua saudaranya. Mungkin dipenjara selama dua puluh tahun pun akan ia sanggupi selama hal itu menyangkut kebebasan Jimin maupun Jungkook.
Dan akhirnya konversasi mereka berujung pada si bungsu―yang selalu merasa kurang, yang selalu memandangi tubuh penuh memar kedua kakaknya dengan tatapan nyalang. Jungkook tak merasa perlu dilindungi―hanya karena ia anak terakhir―justru ia merasa harus menjaga kedua kakaknya terus bernapas sampai besok pagi. Terlebih ketika ia mengetahui tentang masalah pekerjaan rumahnya. Jungkook menyerahkan diri sebagai balas budi, karena―sekali lagi―ia beranggapan sudah cukup Jimin dan Taehyung menanggung segalanya.
Yoongi menyelesaikan cerita dengan satu helaan napas pelan, meninggalkan Namjoon dan Seokjin dengan mulut menganga.
Namjoon bahkan mengernyitkan dahinya sejemang lalu berbalik menuju Yoongi sambil menggumamkan pertanyaan: “Seriously?” lalu dijawab oleh anggukan yang dalam.
Seokjin, di sisi lain, tak berkomentar apa pun, namun dari caranya memijat kening sambil melafalkan sebaris, dua baris kalimat religius, Yoongi tahu pikiran pria itu juga sama teraduknya.
Untuk beberapa saat hanya suara embusan angin dari pendingin ruangan yang menggauli rungu ketiga pria itu, sesekali derit kursi ketika salah satu di antara mereka mengubah posisi. Jam digital di pergelangan tangan Yoongi menunjukkan pukul sebelas siang dan perutnya mulai terasa lapar. O, ya. Semalam ia pulang dan pergi tidur tanpa repot-repot menyeduh mi instan.
Jadi Yoongi menarik dirinya bangkit, sejenak merapikan kemeja berwarna gelap yang diambilnya dari tumpukan paling atas pagi ini.
“Sudah hampir jam istirahat,” katanya. “Jika kalian tak keberatan membicarakan kasus ini sambil makan ….”
Seokjin adalah jiwa pertama yang mengiyakan ajakan Yoongi. “Aku yang menyetir.”
Ah, well, padahal Yoongi berharap Namjoon saja yang menawarkan diri, karena hei, baik ruangan maupun mobil milik Seokjin dua-duanya penuh dengan bau formalin. Rekannya ini tak mungkin kencan di mobil dengan mayat yang diawetkan, ‘kan? Yoongi bahkan sempat mendelik tajam ke arah Namjoon yang dibalas dengan gumaman: “Apa? Apa? Aku salah apa?” lengkap dengan ekspresi melongonya.
Pria itu akhirnya duduk di kursi belakang―sebelumnya sibuk mencari-cari saputangan. Mesin menyala dan seketika semburan aroma yang sungguh ia benci menguar dari pendingin mobil. Ha. Bagus sekali.
Seokjin mengoper ke gigi mundur, lalu menumpu tangan kanan di balik sandaran kursi milik Namjoon untuk memutar setengah tubuhnya dan memundurkan mobil.
Well, awalnya Yoongi hendak mencemooh bahwa Seokjin benar-benar tidak memanfaatkan keberadaan kaca spion tengah, seperti: “Buat apa benda itu bergaya di sana apabila kau harus menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada mobil yang lewat ketika mundur?”
Tapi kemudian sebuah ingatan menampik kepalanya telak dan dengan berpegang pada hal itu, ia menepuk bahu Namjoon. “Aku perlu pergi ke bengkelmu dan melihat mobilnya.”
.
Perban Taehyung belum dilepas ketika Yoongi melihatnya berjalan di sebelah Jungkook yang mengenakan pakaian rumah, diikuti Jimin dengan ransel besar menggantung di punggungnya. Pria itu menghubungi langsung kediaman kakak-beradik ini, mengatakan bahwa mereka harus menemuinya secepat mungkin dengan alasan keadaan genting.
Awalnya Yoongi tak pernah terpikir untuk menyajikan ketiganya deduksi ini, tapi … well, tumpukan abu tak akan ada jika tidak didahului percikan api, ‘kan?
Jadi Yoongi menggiring ketiganya menuju koridor lantai dua tempat mereka pernah menunggu di salah satu ruang interogasi; pada hari di mana mendiang ayah mereka diperiksa oleh pihak polisi. Namun pintu bertajuk demikian mereka lewati begitu saja―Yoongi menangkap raut wajah ketiganya yang saling berpandangan.
Alih-alih menggiring mereka sebagai tersangka, Yoongi justru membawa mereka menuju ruang pengamat. Baik Namjoon maupun Seokjin masing-masing melempar senyum ketika keempatnya melangkah masuk.
“Duduklah,” tawar Seokjin. “Kami akan mengkonfirmasi sesuatu.”
Membantu kedua kakaknya mengambil tempat duduk, Jungkook adalah jiwa pertama yang merespons kalimat sang dokter. “Apakah ini waktu di mana kalian menunjuk bahwa salah satu dari kami adalah pelakunya?”
Namjoon menghela tawa. “Well, ya … ini waktu di mana kami akan menyebutkan nama salah satu pelakunya.”
“Pengakuan yang masing-masing kalian berikan padaku … aku tahu itu semua beralasan. Kalian saling menyayangi dan perasaan itulah yang mampu menggiring pikiran paling gilamu untuk berlomba menyerahkan diri.” Yoongi kini mengambil alih. “Jimin, merasa yang paling bertanggung jawab. Taehyung, karena kau merelakan segalanya untuk kedua saudaramu. Jungkook, karena kau ingin membalas budi. Apakah aku benar?”
Ruangan hening. Tidak ada satu pun yang menjawab kecuali deru mesin pendingin ruangan dan layar komputer yang sesekali mengeluarkan bunyi ‘bip’ yang lemah.
“Jika aku polisi bodoh dan hanya mengandalkan lencanaku untuk menyiduk orang, apa yang kalian lakukan sungguh merupakan peristiwa emas,” lanjut Yoongi. “Aku tahu kalian ingin melindungi satu sama lain, tapi tidak begitu caranya. Harus ada bukti apabila aku ingin menangkap seseorang―dan mungkin salah satu dari kalian―iya ‘kan? Jadi … untunglah, aku mengajak rekan-rekanku makan siang hari ini.”
Baik Jimin, Taehyung, maupun Jungkook saling berpandangan―untuk kedua kalinya hari ini. Seokjin lantas berjalan menyeberangi ruangan yang tak seberapa luas itu, mengeluarkan lembaran foto mendiang ayah mereka ke permukaan meja. Si kakak tertua masih enggan melihatnya lama-lama, namun Taehyung dan Jungkook dengan patuh mengikuti ke mana arah jari Seokjin berkelana.
“Korban memakan kudapan manis ini sebagai awalnya, dengan tangan kanan karena pada jemarinya terdapat sisa-sisa remah kue dan sedikit berminyak.” Seokjin menunjuk ke suatu bagian. “Perutnya kosong dan ini adalah bahan makanan pertama yang terjun ke perutnya. Well, kalian tahu bahwa penyebab kematiannya adalah sianida? Awalnya kami berpikir pelaku telah melumuri kuenya.
“Tapi hasil tes menunjukkan sampel kue bersih. Ya … jadi kami mulai menyimpulkan, apakah seseorang nekat membuat tangan korban terkontaminasi sianida. Oke, katakanlah iya. Tapi bagaimana caranya?” Kini Seokjin melempar pertanyaan.
Seolah sudah melatih scene ini sebelumnya, Namjoon bangkit dari kursi dan menempati posisi di mana sang dokter semula berdiri. “Kalian tahu kebiasaan ayahmu setiap kali memundurkan mobil, Guys?”
Taehyung menoleh ke sebelah kirinya, di mana Jimin dan Jungkook duduk bersebelahan. “Ya,” katanya dengan suara serak. “Ayah akan meletakkan tangan kanannya di belakang sandaran kursi ibu lalu menoleh ke belakang. Dia … kurang mempercayai penglihatannya melalui kaca spion tengah.”
Namjoon mengangguk. “Salahku karena tidak memperhatikan bagian itu,” katanya, melirik ke arah Yoongi yang memutar bola matanya. “Dan siang ini ketika kami hendak makan ke luar, Seokjin melakukan hal yang sama lalu Yoongi menyadarinya. Well, kami melakukan uji pada bagian belakang sandaran kursimu, dan ya … positif ada sianida yang dibubuhkan di sana.
“Mungkin pelaku melarutkannya dengan air dulu, atau mencampurnya dengan sejenis krim, karena normalnya sianida berbentuk bubuk atau dikenal dengan kalium sianida,” terang Namjoon. “Sianida aktif jika ada asam dan kebetulan perut ayahmu kosong waktu itu. Semakin asam, semakin cepat ia berubah menjadi hidrogen sianida.”
“Sianida mengikat oksihemoglobin lalu membentuk komponen stabil. Rantai dengan oksigen terlepas, digantikan oleh sianida. Akibat terlepasnya oksigen dari darah, maka tidak ada oksigen yang mengalir di tubuh.” Seokjin kini buka suara. “Itu yang menyebabkan kematian mendiang ayah kalian. Selain itu, Guys, tangan mendiang sering berkeringat. Butiran sianida dalam krim yang dibubuhkan bisa larut dan masuk melalui pori-pori kulit juga.”
Yoongi memperhatikan satu-persatu ekspresi wajah kakak-beradik di hadapannya: Jimin yang terlihat bingung seolah baru saja dihadiahi sekantong uang, Taehyung membiarkan mulutnya terbuka, dan Jungkook yang duduk kaku di tempatnya. Yoongi menangkap lirikan mata Namjoon dari sudut matanya dan ia menjawab dengan anggukan kecil. Namjoon lantas kembali ke tempatnya dan kini ruangan itu hening kembali.
“Bagaimana …,”
“Sianidanya bisa dioleskan ke belakang sandaran kursi mobil ayahmu?” Yoongi meneruskan pertanyaan Taehyung ketika pintu diketuk dari sisi luar.
Namjoon menggumamkan kalimat ‘biar aku saja’ sebelum berdiri dan berjalan menuju pintu, terlibat dengan konversasi pendek dengan si pengetuk. Ia berbalik dan menepuk Yoongi di bahunya.
“Kau pernah membayangkan ada orang lain yang juga rela melakukan apa pun demi keselamatanmu? Sangat dekat dan selalu ada di sana ketika kalian membutuhkannya? Dan menjadi pendengar setia seluruh keluh kesahmu misalnya?” tanya Yoongi tiba-tiba. “Keluarga kalian begitu dekat hingga saling bertukar kunci mobil untuk berjaga-jaga.”
Jimin, Taehyung, dan Jungkook kini berpandangan, saling melempar pertanyaan bisu seolah sama-sama memikirkan satu nama yang muncul berbarengan di dalam benak mereka.
“Maksudmu bukan …,”
Kalimat Jungkook terputus begitu pintu ruang interogasi terbuka―mereka berenam menyaksikannya lewat cermin satu arah yang menjadi pemisah di antara dua ruangan ini. Jung Hoseok melangkah pelan dengan kedua tangan diborgol di balik tubuhnya, menghadap lurus-lurus ke bawah ketika seorang opsir berseragam memintanya duduk dan mengatakan bahwa akan ada seseorang yang akan menemuinya.
Yoongi berdeham dan memulai penjelasannya; bagaimana Hoseok melumuri belakang sandaran kursi mobil mereka, bagaimana kemudian genangan air di ruang tengah membuat penyebab kematian korban seolah-olah karena terpeleset, dan bagaimana Hoseok tak melawan atau kabur ketika tiga orang opsir berseragam menjemputnya.
Sang detektif kemudian meraih buku tebal yang tempo hari ditemukan oleh Namjoon di jok belakang mobil. “Kupikir ini adalah milik Jimin,” aku Yoongi. “Namun ia mengutarakan padaku kalau mata kuliahnya mengandung unsur ekonomi dan membahas pergerakan mata uang. Jadi aku langsung berspekulasi bahwa ada yang salah.
“Aku hampir mengira bahwa kau pembunuhnya.” Kini Yoongi menunjuk Jungkook. “Kata-katamu waktu Taehyung sedang menjalani masa hukuman dua belas jamnya.”
“Tapi deduksi orang ini berubah lagi,” ujar Namjoon, tiba-tiba buka suara. “Ketika ia mengadakan konversasi empat mata dengan Taehyung.”
Untuk pertama kalinya pada hari itu, Yoongi akhirnya meloloskan tawa pelan. Ia menggeleng-gelengkan kepala, merasa takjub akan kasus yang baru saja ia selesaikan. “Berhentilah saling mengumpan diri kalian, Guys,” katanya. “Kalaupun salah satu dari kalian adalah pelakunya, aku yakin dua yang lain mungkin akan bahu-membahu mengebom sebuah gedung supaya bisa dijebloskan ke penjara bersama-sama.”
Saat itu, tawa Namjoon adalah yang paling mudah terdengar di antara tawa lainnya.
.
Yoongi memenuhi permintaan ketiga saudara tak sedarah itu untuk bertemu dengan Hoseok sebelum yang bersangkutan digiring ke mobil polisi. Ia―bersama Namjoon dan Seokjin―enggan menciptakan suasana canggung dengan hadir di tengah-tengah keempatnya, jadi ketiga pria itu berdiri beberapa langkah ke belakang.
Taehyung―tentu―adalah orang yang paling kaget ketika menyaksikan Hoseok masuk ke ruang interogasi dengan tangan diborgol. Yoongi sudah memprediksi itu sebenarnya, karena bagaimanapun Hoseok adalah satu-satunya orang terdekat si anak tengah setelah kedua saudaranya. Tubuhnya kaku ketika Hoseok berbalik dan merangkulnya singkat, mengucapkan sebaris kalimat yang tak mampu ditangkap oleh indera pendengaran Yoongi. Lalu si tetangga dekat akhirnya memeluk dua saudara yang lain―masing-masing dihadiahi satu, dua patah kata sebelum akhirnya mereka berdiri saling berhadapan.
Ketika akhirnya Hoseok menganggukkan kepalanya pada seorang opsir berseragam yang bertugas mengawalnya ke mobil, Yoongi menangkap tatapan mata lelaki itu. Yoongi tahu, bukan rasa dendam atau amarah yang terkandung di sana, melainkan kelegaan karena ia pikir tugasnya melindungi ketiga saudara itu selesai sudah. Dimulai dari menjadi seorang pendengar yang setia, sampai malaikat maut berjubah dewa penolong. Itu pengandaian yang diberikan Namjoon saat sosok si anak kuliahan mulai meniti langkah.
Di kepala Yoongi terekam jelas tentang apa yang mereka temukan di rumah sang tetangga: krim, bubuk kalium sianida, dan beberapa buku referensi. Andai Yoongi tak seteledor kemarin dengan tidak menanyakan apa jurusan yang diambil Hoseok atau penelitian apa yang tengah ia kerjakan sebagai tugas akhir, mungkin pria itu tak perlu frustrasi separah ini. Dan ya … buku yang ditemukan Namjoon di jok belakang mobil mendiang adalah salah satu dari bacaan sang pelaku.
Hoseok mengkonfirmasinya sendiri.
Saat pintu mobil tertutup dan derunya tak terdengar lagi, Yoongi teringat akan kalimat Hoseok saat ia mendatangi rumahnya dan menunjuknya sebagai pelaku.
“Mereka anak-anak baik, Detektif. Aku tak bisa tinggal diam sementara mereka hidup di bawah pukulan dan cacian. Kupikir … inilah yang seharusnya kulakukan,” ujarnya, sementara ia menyerahkan kedua tangannya untuk diborgol. “Dan aku tak merasa menyesal sedikit pun, Detektif. Lega, malah.”
Well, entah Yoongi harus tetap bungkam atau meringis mendengar barisan pernyataan itu.
Tepukan Namjoon di bahu Yoongi adalah hal pertama yang menarik perhatian pria itu ke permukaan, selanjutnya ia melihat ke arah yang ditunjuk sang rekan―Seokjin yang berdiri di sebelah mereka dengan amplop cokelat berisi foto-foto lama dari mobil milik mendiang.
“Sudah saatnya amplop ini kita kembalikan, bukan begitu?” tawar Seokjin yang disambut oleh anggukan Yoongi dan Namjoon yang mengangkat ibu jarinya.
Jimin adalah orang pertama yang mendongakkan kepala setelah beberapa saat kakak-beradik itu saling berkumpul dan memilah-milah lembaran foto di tangan mereka. Yoongi tak bisa lebih tersentuh dari ini, ketika sang kakak tertua mengucapkan kalimat ‘terima kasih’ yang tulus dan bungkukan tubuh yang dalam. Taehyung dan Jungkook menyusul kemudian dan masing-masing dari mereka mendapat senyum langka dari Yoongi.
Namjoon mendengus di belakang punggung rekannya saat itu, membuat Seokjin tergelitik untuk menginjak kaki si pria tinggi.
Saat ketiganya berbalik dan berjalan beriringan menuju pintu utama kantor kepolisian, Namjoon menyenggol Yoongi dan Seokjin―dengan latar belakang suara perut yang keroncongan.
“Guys, bisa kita pergi makan siang sekarang?”
fin.
#writing#mine#bts#bts fanfic#bts scenario#min yoongi#suga scenario#kim namjoon#rm scenario#kim seokjin#jin scenario#jung hoseok#jhope scenario#park jimin#jimin scenario#kim taehyung#v scenario#jeon jungkook#jungkook scenario#sims 4 story#fan fiction
3 notes
·
View notes
Text
TERBAIK!!! 0811-332-165, D3Konveksi baju murah baju dokter snelli ,konveksi seragam baju seragam dokter poso
0811-332-165 baju lab dokter, jas dokter lengan pendek, jas dokter lengan panjang, pakaian dokter lengkap, baju dokter anak laki-laki Karina Adalah Pusat Konveksi Baju Murah....!!! Kami pusat produksi konveksi baju didaerah poso Maluku Utara menyediakan berbagai keperluan baju antara lain: Baju Dokter Baju Pasien Baju Perawat Baju sekolah Baju kerja Baju Organisasi Baju event Jaket Baju Almamater Baju polos Kemeja Baju polo Bisa custom untuk berbagai baju atau sesuai request anda lokasi kami berada di poso - Maluku Utara Siap kirim ke seluruh indonesia Harga yang kami berikan lebih murah dan juga bahannya berkualitas More info hubungi: Karina Konveksi WA/Call: +62 811-332-165 baju operasi dokter poso, warna baju operasi dokter poso, mengapa baju operasi dokter poso, baju dokter pria poso, baju dokter putih poso
#bajudoktercewe#bajudoktercakekupang#bajudokterdokteran#bajudokterdenpasar#bajudokterdiskon#bajudokterhijab#bajudokterhamil#bajudokterindonesia#bajudokterimport#bajudokteridaman
0 notes
Text
TERBAIK!!! 0811-332-165, Konveksi baju murah baju apd dokter gigi ,konveksi seragam model baju gamis dokter Tual
0811-332-165 baju dokter praktek, baju dokter pria dan wanita, baju dokter remaja, jas dokter rumah sakit, baju dokter scrub Karina Adalah Pusat Konveksi Baju Murah....!!! Kami pusat produksi konveksi baju didaerah Surabaya menyediakan berbagai keperluan baju antara lain: Baju sekolah Baju kerja Baju Organisasi Baju event Jaket Baju Almamater Baju polos Kemeja Baju polo Bisa custom untuk berbagai baju atau sesuai request anda lokasi kami berada di Bandung - Jawa Barat Siap kirim ke seluruh indonesia Harga yang kami berikan lebih murah dan juga bahannya berkualitas More info hubungi: Karina Konveksi WA/Call: +62 811-332-2165 baju dokter remaja Tual, jas dokter rumah sakit Tual, baju dokter scrub Tual, baju dokter snelli Tual, baju seragam dokter Tual
0 notes
Text
TERBAIK!!! 0811-332-165, Konveksi baju murah baju apd dokter gigi ,konveksi seragam model baju gamis dokter Metro
0811-332-165 baju dokter praktek, baju dokter pria dan wanita, baju dokter remaja, jas dokter rumah sakit, baju dokter scrub Karina Adalah Pusat Konveksi Baju Murah....!!! Kami pusat produksi konveksi baju didaerah Bandung Jawa Barat menyediakan berbagai keperluan baju antara lain: Baju sekolah Baju kerja Baju Organisasi Baju event Jaket Baju Almamater Baju polos Kemeja Baju polo Bisa custom untuk berbagai baju atau sesuai request anda lokasi kami berada di Bandung - Jawa Barat Siap kirim ke seluruh indonesia Harga yang kami berikan lebih murah dan juga bahannya berkualitas More info hubungi: Karina Konveksi WA/Call: +62 811-332-2165 baju dokter remaja Metro, jas dokter rumah sakit Metro, baju dokter scrub Metro, baju dokter snelli Metro, baju seragam dokter Metro
0 notes
Text
Punggung Bapak
Aku menanti dengan gelisah. Beberapa kali kupandangi kaca. Memastikan tidak ada satupun sudut bagian tubuhku tampil tidak mempesona. Kerah dasi cepat kutarik kencang. Setelan jas hitam mengkilat sudah rapi tersemat. Sejenak aku bergumam, “aku sudah pantas melenggang ke pelaminan, hahaha”.
Jangan salah sangka. Malam ini akan tetap menjadi malam yang spesial. Seremoni perayaan kelulusan akan selalu istimewa. Acara akan dimulai satu jam lagi. Tidak ada tanda kedatangan bapak. Perlahan rasa gelisah menggeliat. Apalagi, rintik hujan merambat pelan. Suhu ruangan dingin, tapi aku berkeringat. Gelisah kalau-kalau bapak tidak datang.
Seseorang mengetuk pintu. Tanpa menunggu dipersilahkan masuk, dia membuka pintu. Dari celah yang terlihat, bibirnya monyong kedepan, nyungging melebar. “tamu kehormatanmu sudah tiba di lobby.” Cepat-cepat aku kembali menatap kaca. Untuk terakhir kali, aku memastikan kesiapan untuk menyambutnya.
Seorang pria terlihat menanti sesuatu di ujung tangga eskalator. Kepalanya tertunduk. Pandangannya tajam. Dia seperti singa yang siap menerkam mangsa. Tapi tidak demikian. Dia hanya sedang menunggu momen tepat untuk menginjakan kaki di tangga berjalan itu. Dia terlihat gugup sekali. Cepat kedua tangannya menggapai sandaran tangga. Muka tuanya seketika luntur. Dia seperti anak kecil yang berkenalan dengan benda baru.
Aku tertawa, lebar dan keras sekali. Saking kerasnya, fokusnya buyar. Kepalanya mendongak. Dahi lebarnya sudah mulai berkerut. Uban sudah terlihat jamak. Sambil tetap berpegang erat dengan kedua tangannya, dia sedikit mencondongkan tubuh. Dia tersenyum. Dia bapakku.
Bapak menghabiskan hampir seluruh hidupnya di laut. Masa kecilnya dihabiskan di sebuah desa kecil yang sangat jauh dari modernitas hidup. Dia anak lelaki tertua. Sejak kecil, kerja keras sudah menjadi rutinitas. Selepas masa lajang, bapak hijrah ke desa pesisir. Kehidupan yang sama sekali berbeda. Tidak ada sawah. Sumber pendapatan paling potential adalah laut. Tapi laut bukan hidupnya, bukan apa yang selama ini dipelajari. Bapak seperti memulai kehidupan dari awal.
Kami hidup miskin. Apalagi, ketika dalam kandungan, aku sering bikin onar. . Bapak jarang mengantar ibu ke dokter. Bukan karena dia tidak mau, tapi tidak mampu. Selain tidak tahu menahu tentang jalan dan pergaulan luar, bapak banting tulang untuk memastikan tagihan konsultasi kesehatan anak pertamanya terbayar tanpa hutang.
Aku tumbuh dengan dekapan kencang ibu. Sosok bapak sama sekali tidak ku kenal. Bapak jarang ada di rumah. Dia menjelajah lautan. Berlayar dari laut Jawa ke lautan sumatera. Sesekali hanya surat dan amplop yang sampai.
Bapak dulu sangat keras. Keras dalam arti yang sebenarnya. Didikannya berupa pukulan dan hentakan. Dulu, dia membuatku takut bertemu. Ibu selalu mejadi sosok protagonis dan bapak antagonis. Saya tidak menemukan bapak yang menghadirkan rasa aman.
Senyumnya hari ini sekilas merefleksikan perjuangan panjangnya merangkum nilai-nilai hidup yang akan diwariskan. Langkahnya gugup kembali. Dia mengambil lompatan kecil ketika mengakhiri masa tunggu yang mendebarkan di atas tangga berjalan. Mata kami bertemu tatap. Tidak ada pertukaran kata. Aku berjalan lebih dulu, menunjukan kursi untuknya duduk. Dia mengamati sekeliling. Ruangan tempat aku diwisuda malam ini membuatnya takjub.
Sorot matanya memancarkan rasa bangga. Bahagia untuk satu tahap yang berhasil diselesaikan oleh sang ahli warisnya. Bangga karena dia berhasil membesarkan seorang sarjana. Seorang laki-laki yang sekarang sering sombong bepergian dengan pesawat. Sudut rahangnya tidak berhenti menebar rasa puas.
Tangan kasarnya kulihat mengusap sudut mata. Dia mantap berdiri ketika nama anaknya dipanggil untuk maju ke atas panggung. Entah apa yang dia pikirkan, yang jelas dia sudah membuat langkah besar dalam hidup. Investasinya sukses besar. Seorang lulusan SMP yang menghabiskan hidup di laut kini membesarkan seorang sarjana.
Apapun yang bapak pikirkan, aku selalu merenungkan satu hal. Dia pribadi yang hebat, pantas diteladani. Pukulan-pukulan tangannya yang membuat memar yang baru sembuh 2 hari tapi meninggalkan luka di lubuk hati yang baru sembuh setelah bertahun-tahun itu sudah sirna. Satu-satunya yang tinggal akan dirinya adalah kebanggaan.
Bapak hampir tidak pernah memberi nasehat. Dia hanya menunjukan keteladanan. Seorang pria pekerja keras, dapat dipercaya, jujur, bertanggung jawab, dan selalu memberikan tidak hanya yang terbaik, tapi segalanya untuk orang-orang yang dicintainya.
Aku bertumbuh hanya dengan melihat punggungnya. Tapi setiap jalan yang dia lewati, jalan itulah yang aku lewati. Apa yang dia kerjakan, itulah yang aku kerjakan. Konsep bagaimana menjadi seorang pria tidak pernah dia ajarkan. Dia hanya melakukan dan aku mengikuti.
Dia miskin, uang jajan yang dia berikan hampir selalu tidak cukup. Tapi warisan yang dia tinggalkan jauh lebih berharga. Aku masuk usia dewasa dengan cinta yang utuh.
0 notes
Text
Page01 : Kabar Burung.
Pelipis ku terasa berdenyut saat kantung es menempel tepat disana, belum lagi dengan rasa perih dan amis yang mengganggu dibagian bibirku. Sesekali aku meringis menahan sakit, sementara sebelah tanganku menopang tubuh di atas meja perawat ruang UGD. Sabtu pagi kali ini sedikit merepotkan dari sabtu pagi ku yang lain.
Nyaring ku dengar teriakan pria tadi yang sempat memukulku dengan beringas di stasiun kereta kala aku hendak berangkat ke sini. Jangan heran kenapa tidak dibawa ke kantor polisi, karena si tuan rupanya dalam kondisi halusinasi. Aku sempat ingin membalas pukulannya pagi tadi, sebelum sadar kalau matanya menguning dan ucapannya melantur.
“Arrghhh! Goblok! Jangan sentuh gue! Balikin duit gue!” melantur sekali ucapannya. Tubuhnya memberontak di atas brankar yang sudah berada di sisi kiri ruangan UGD, petugas paramedis susah payah menahan gerakan tubuhnya yang sangat sembarang.
“Mas, maaf ya, mas. Ini harusnya dilaporin ke polisi aja serangannya, kenapa malah dibawa ke sini? UGD kita sudah penuh,” wanita muda berbalut jas putih itu berkacak pinggang, tubuh mungilnya bahkan sangat kontras dengan kelakuannya saat ini.
“Tolong jangan berisik ya, Pak...” lanjutnya, kali ini tertuju pada si pria yang sedang mengamuk tadi. Kembali ia menatapku dengan kedua telapak tangan yang menyatu di depan dada. “Mohon maaf ya, Mas. Kita nggak bisa-”
“Bapak ini ada gejala kecemasan, halusinasi, dan saraf simpatiknya terganggu. Dugaan saya ini mungkin Delirium Tremens.” potongku masih sembari mengompres lebam di bagian pelipis.
Dokter perempuan tadi menarik senyum meledek, “Emang masnya ini Dokter?”
“Saya Residen Bedah Umum tahun ke-empat.” tanda pengenal ku tunjukkan pada-nya. Ku biarkan ia membaca sejenak nama serta wajah ku yang tertera disana. Mulutnya kemudian membulat dan sikapnya pun berubah.
“Ah, O-okey, dok.” ia sedikit menunduk.
“Dia ini sakit kuning dan hepatomegali. Livernya mungkin kena gangguan alkohol. Tolong cek fungsi hatinya dan periksa sonogram ya.” ku letakan kantung es tadi di atas meja perawat setelahnya.
“Baik, dok.” sahut si nona sambil mengangguk pelan.
“Kamu koas?”
“Residen tahun pertama, dok.”
“Kasih dia Benzo ya sebelum kejang.”
Lepas mengatakan itu ku langkahkan kaki menuju ruang ganti. Meninggalkan UGD yang saat itu nampak cukup ramai, entah kemana dokter spesialis yang sedang bertugas disana. Seharusnya paling tidak ada kepala residen yang berjaga. Jangan tanya kenapa aku hanya berkomentar, karena jelas ada jadwal operasi lain yang saat ini sedang menunggu.
Tidak jauh dari lorong pertama yang menghubungkan UGD dan ruang perawatan intensif, aku berbelok ke kanan. Beberapa dokter muda juga spesialis segar sedang asik mengobrol disana. Lucu, mereka semua mulai berbisik ketika aku datang.
“Kemarin gue denger ada yang ketiduran di ruang OP.”
“Anjir! Serius lo?!”
“Kok bisa??”
“Siapa-siapa??”
Ku hela nafas dengan kasar, selain karena banyaknya tempelan tulisan kasar pada lokerku, tapi juga karena kebodohan mereka yang membicarakan kejelekan orang lain di belakang. Belum lagi bisikan mereka yang tidak terdengar seperti bisikan, ruangan ini tidak begitu luas jadi tentu saja aku bisa dengar semua yang mereka bicarakan.
“Lo inget nggak dokter perempuan yang berhasil di puji judul tesis-nya kemarin sama Dokter Bhanu?”
“Bentar...gue inget-inget dulu namanya.”
“Kalo nggak salah namanya Va-”
Pintu loker ku buka dengan kasar hingga terdengar bunyi benturan yang cukup keras. Ketiga pria di belakangku langsung menoleh dan berhenti bicara. Sengaja, memang itu tujuannya. Ketimbang ku pukul langsung wajahnya dan harus membiarkan tangan emasku terluka, cara ini lebih baik.
Tatapan sinis ku lempar pada mereka, ku pandangi wajah pemilik mulut sampah itu satu persatu dengan tajam. Siapa mereka berani menilai dengan sembarang. Satu diantaranya menyikut temannya yang lain, dan memberikan isyarat untuk segera pergi dari sini. Butuh beberapa detik hingga mereka melengang keluar ruangan.
Aku berdecak kesal, karena tahu betul siapa yang mereka bicarakan. Kalau dipikir-pikir julukan Putri Tidur memang sangat cocok untuknya, hanya saja untuk yang satu ini konotasinya menjadi lebih negatif. Karena kebiasaan tidur yang tidak pada tempatnya, ditambah ‘tempat’ yang dimaksud adalah ‘medan perang’ bagi seorang dokter.
Usai berganti baju dengan scrub dan memakai snelli, aku kembali keluar ruangan. Tugas ku disini hanya bekerja, ambil uangnya lalu pergi. Semoga saja hari ini tidak akan jadi lebih buruk lagi.
0 notes
Text
BAB 1. Galuh
“ Dok galuh...dok”
Dari belakang aku mendengar suara memanggilku, langkahku terhenti kemudian aku membalikan badan mencari suara itu.
Pak Yatmo, security rumah sakit ini tampak berlari mengejarku tergopoh-gopoh.
“ Dok galuh, maaf..Dokter Kosih gak sengaja nabrak mobil dokter diparkiran”
Mataku terbelalak kaget.
“ Tapi pasien saya sudah nunggu di poli pak yatmo..gini aja, nanti saya kasih nomor kontak saya dan bilang dokter kosih nanti japri saya aja untuk penyelesaiannya. Saya gak sempat lagi urus masalah ini, pasien saya udah numpuk”
Nadaku sedikit kesal. Pak yatmo sepertinya sudah paham bahwa saya tidak suka dengan ujarannya.
“ Siap dokter galuh, nanti saya sampaikan ke dokter kosih’
Pak Yatmo kembali membalikan badan, sebaliknya pun aku. Mobil yang baru saja ku beli bersama istriku adalah mobil yang ditabrak rekan sejawatku pagi ini. Mobil ini adalah mobil impianku selama ini, bagaimana saya tidak kesal jika mobil itu ditabrak oleh rekan sejawatku.
Aku kembali melangkahkan kakiku menuju Poli Gigi tempatku bertugas. Aku merogoh saku celanaku dan mengambil ponselku. Aku mengetik nama istriku dibuku kontak,
“ dr. Saras Ayu “
Aku menekan tulisan Calling dan sambungan telpon kami pun tersambung. Tidak menunggu lama terdengar nada menyambut telponku,
“ Assalamualaikum mas galuh “
“ Walaikumsalam, dek tolong bantuin aku. Dokter kosih nabrak mobilku diparkiran, aku ga sempat lagi urus. Pasienku udah numpuk nih, bisa minta tolong bantuin aku hubungi dokter kosih?”
“ Walah, kok bisa? yang kasih tau siapa tadi?” balas Saras ditelpon.
“ Pak yatmo yang ngasih tau, kamu ada pasien ga?” tanyaku
“ Ini lagi kosong sih, nanti aku minta handle anak-anak KOAS aja sebentar sambil aku urus mobilmu”
“ Oke, minta tolong ya dek..aku kerja dulu ya” ucapku sambil mematikan sambungan telpon dan masuk kedalam ruanganku.
Aku meletakan tas kerjaku dan mulai mengenakan jas dokterku. Hatiku sedikit tenang karena permasalahanku pagi ini akan diselesaikan oleh istriku.
Oh iya, sedikit menceritakan sosok istriku SARAS AYU. Dia adalah wanita yang banyak dikejar oleh banyak dokter dirumah sakit ini. Kebetulan aku dan saras bekerja di rumah sakit yang sama. Wajahnya cantik, kulitnya putih, tutur katanya pun lembut. Kami menikah kira-kira setahun yang lalu pada saat saya berusia 40 tahun dan Saras berusia 38 tahun. Usia yang cukup matang untuk menikah, dan saat ini kami belum memiliki anak kandung.
Kebanggaanku ketika aku bisa menikahi wanita idaman banyak pria. Aku selalu berjalan bangga disampingnya, karir ku juga berjalan baik semenjak aku menikahinya. Saras Ayu wanita yang lihai mengambil hati siapapun, termasuk komite direktur rumah sakit. Saat ini dia menjabat sebagai wakil direktur, sedangkan aku baru saja diangkat menjadi Kepala Poli Manajemen Kesehatan Gigi dan Mulut.
Begitulah sekilas cerita tentang aku dan istriku.
***
0 notes
Text
The Story of her.
Musim panas, 01 Juli 2000. Kerumunan orang berkumpul dipelataran rumah keluarga Zhou - Karl. Bukan orang-orang biasa nampaknya, beberapa berbadan kekar dengan seragam nan gagah. Beberapa ber-jas dan dasi nan rapi. Seorang pria nan gagah bersama dua orang anaknya nampak mondar mandir didepan sebuah kamar yang tertutup rapat. Was was menunggu sang ibu yang sedang berjuang melahirkan sibungsu yang akan menambah daftar kartu keluarga.
Kebahagiaan terpancar jelas saat seorang dokter membuka pintu kamar itu mengangguk pelan dengan senyuman yang masih nampak walaupun tertutup oleh masker yang bernoda darah. Sang bayi telah lahir dengan selamat.
Berita bahagia itu dengan cepat tersebar kepada semua orang. Bahagia entah palsu atau tidak, mereka bersorak. Seharusnya tidak, karna satu lagi keturunan karl-zhou yang sangat sukses dan berpengaruh itu pasti dapat menghambat kesuksesan banyak pihak musuh.
Ayahnya Joseph karl - Zhou adalah seorang politikus nomor satu negri ini. Berdarah Jerman indonesia - China. Kecerdasannya dan kekuasaannya yang besar membuatnya memiliki banyak sekali orang yang tunduk terhadapnya.
Hingga saat ini, Caroline Karl telah memberinya tiga orang anak. Dua laki-laki dan satu perempuan, termasuk dara kecil yang baru saja ia lahirkan. Yang ia beri nama Soraghea Meraine Eira Karl ( Zhou Jinmai )
Mera kecil adalah anak yang sangat ceria. Dia memiliki banyak bakat dibidang musik dan olah raga. Selain itu ia juga dapat mengotak-atik perangkat keras dan lunak dengan mudah.
Ia memiliki banyak teman dan terkenal humble disekolahnya. Ia sangat aktif dalam berbagai kegiatan sehingga banyak orang mengenalnya. Kecerdasannya juga membuatnya memiliki jenjang pendidikan satu tingkat lebih cepat dari anak seusianya.
Namun naas, 2011 saat ia menginjak kelas satu sma ibunya meninggal. Ia yang tak tau apa-apa hanya bisa menangis. Namun ia yang cerdas dapat mengerti situasi dengan baik. Semenjak saat itu, ia mengikuti sang ayah bersama keluarganya pindah ke Amerika. Mereka menetap disana, dan melanjutkan kehidupan.
Namun kehidupan yang mereka jalani sangat amat berbeda. Kedua kakaknya menjalani pelatihan misterius yang tak dimengerti olehnya. Ia hanya mengikuti intruksi sang ayah untuk melanjutkan sekolah dengan baik. Setahun berlalu, mera akhirnya menyadari apa yang terjadi pada keluarganya. Tak ingin tinggal diam, ia pun akhirnya mengikuti yang lain untuk melatih skillnya berniat membantu sebisa mungkin.
Dengan segala kebrutalan kecil yang ia lakukan di amerika, membuatnya bertemu dengan seorang prajurit rahasia. Ia kemudian banyak dimanfaatkan dan diajari oleh prajurit tersebut. Kemampuan kemampuan dasar militer seperti menembak dan bertarung.
Selang beberapa tahun berlalu, kini mera telah menjadi hacker kecil, penembak jitu ( ilegal ) dan knifes throwes handal. Ia sering menggunakan kemampuannya ini lebih banyak untuk penipuan, perampokan atau pencurian.
Ia tak begitu menikmati sebenarnya. Hanya saja sekali dua kali, ia merasa tertantang bergabung dalam kelompok kecil untuk melatih skillnya. Ia bahkan hanya menyimpan hasil kejahatannya tersebut tanoa sempat menggunakannya kecuali pembelian senjata.
2019 ia kembali ke indonesia bersama keluarganya. Ia membeli sebuah apartemen mewah dan tinggal sendiri sesuai keinginannya sejak lama. Ia menempuh pendidikan di universitas trisakti mengambil jurusan politik. Ia nampak normal seperti anak seusianya. Bermain, bersenang senang dan belajar.
Ia melakukan banyak pekerjaan diwaktu senggangnya. Mulai dari menyanyi di kafe dan menjadi tamu diacara musik. Namun dibalik itu ia menerima permintaan kejahatan berbayar. Juga masih bekerja sama dengan baik dengan saudaranya melanjutkan aksi balas dendam
0 notes
Text
0 notes
Text
TERBAIK!!! 0811-332-165, D3Konveksi baju murah baju dokter snelli ,konveksi seragam baju seragam dokter mamuju
0811-332-165 baju lab dokter, jas dokter lengan pendek, jas dokter lengan panjang, pakaian dokter lengkap, baju dokter anak laki-laki Karina Adalah Pusat Konveksi Baju Murah....!!! Kami pusat produksi konveksi baju didaerah Halmahera Tengah Maluku Utara menyediakan berbagai keperluan baju antara lain: Baju Dokter Baju Pasien Baju Perawat Baju sekolah Baju kerja Baju Organisasi Baju event Jaket Baju Almamater Baju polos Kemeja Baju polo Bisa custom untuk berbagai baju atau sesuai request anda lokasi kami berada di Halmahera Tengah - Maluku Utara Siap kirim ke seluruh indonesia Harga yang kami berikan lebih murah dan juga bahannya berkualitas More info hubungi: Karina Konveksi WA/Call: +62 811-332-165 baju operasi dokter mamuju, warna baju operasi dokter mamuju, mengapa baju operasi dokter mamuju, baju dokter pria mamuju, baju dokter putih mamuju
#bajudoktercewe#bajudoktercakekupang#bajudokterdokteran#bajudokterdenpasar#bajudokterdiskon#bajudokterhijab#bajudokterhamil#bajudokterindonesia#bajudokterimport#bajudokteridaman
0 notes
Text
TERBAIK!!! 0811-332-165, Konveksi baju murah baju dokter gigi ,konveksi seragam jas dokter gila toram Tual
0811-332-165 jas dokter operasi, kenapa baju dokter operasi berwarna hijau, pakaian operasi dokter, baju dokter perempuan, baju dokter perempuan berhijab Karina Adalah Pusat Konveksi Baju Murah....!!! Kami pusat produksi konveksi baju didaerah Surabaya menyediakan berbagai keperluan baju antara lain: Baju sekolah Baju kerja Baju Organisasi Baju event Jaket Baju Almamater Baju polos Kemeja Baju polo Bisa custom untuk berbagai baju atau sesuai request anda lokasi kami berada di Bandung - Jawa Barat Siap kirim ke seluruh indonesia Harga yang kami berikan lebih murah dan juga bahannya berkualitas More info hubungi: Karina Konveksi WA/Call: +62 811-332-2165 baju operasi dokter Tual, warna baju operasi dokter Tual, mengapa baju operasi dokter Tual, baju dokter pria Tual, baju dokter putih Tual
#bajudoktercewe#bajudoktercakekupang#bajudokterdokteran#bajudokterdenpasar#bajudokterdiskon#bajudokterhijab#bajudokterhamil#bajudokterindonesia#bajudokterimport#bajudokteridaman
0 notes