#DaysofLana
Explore tagged Tumblr posts
Text
157/365
Apa kabar? Setiap manusia pasti pernah membuat kesalahan dalam hidupnya. Kalau kata temanku, manusia memang tempatnya salah dan dosa. Aku hanya bisa tertawa dalam hati setiap ingat kalimat temanku yang itu. Sebab pertama, aku bisa memaklumi kesalahan orang-orang di sekitarku. Sebab kedua, aku ingat bahwa aku tak sebaik yang aku kira. Aku membuat banyak kesalahan dalam hidupku, tentu saja. Kesalahan yang baru akhir-akhir ini ku sadari adalah kesalahanku dalam membuat prioritas. “Jangan kamu gadaikan hal-hal yang bersifat selamanya dengan hal-hal yang bersifat sementara,” Begitulah yang kira-kira bisa ku simpulkan dari perberbincangan melantur ku dengan teman-teman. Kalau aku ingat-ingat, selama ini aku selalu memprioritaskan diriku. Hidupku adalah tentang aku semata: apa-apa yang aku ingin, apa-apa yang aku suka, apa-apa yang aku benci, apa pun yang bersifat keakuan. Selamanya itu seperti apa? Jujur aku tak tahu pasti. Bagiku, selamanya hanya sesederhana selama aku menghembuskan napas di dunia. Satu-satunya kepastian adalah sebuah ketidakpastian, kan? Ku definisikan saja selamanya sesederhana itu. Selama ini aku menggantungkan hidupku pada apa-apa yang sementara. Bagaimana bisa? Aku menginvestasikan waktu, tenaga dan pikiranku untuk menguasai seisi dunia. Aku menyepelekan mereka yang merelakan hidupnya untuk menghidupiku. Aneh memang, manusia selalu menginginkan apa-apa yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Dunia belum tentu bisa memenuhi rasa inginmu, sekali pun kamu memiliki semua isinya. Memang apa-apa yang ada di dunia bersifat sementara, tapi mereka yang menyayangimu tidak. Sekalipun suatu hari mereka akan pergi dari dunia, mereka terpatri dalam ingatanmu selamanya; menjadikan kamu pribadi yang semakin baik setiap harinya. Tidak ada salahnya kamu mulai menginvestasikan waktu, tenaga dan pikiranmu pada mereka-mereka yang menyayangi kamu. Mereka memang tak lepas dari kesalahan, kamu pun tidak, dan mereka memilih untuk menyayangimu. Kalau kamu? Dari yang sedang mencoba menyayangi orang-orang yang menyayanginya, Kelana Pertiwi
1 note
·
View note
Text
2/365
Hai! Aku tinggal di sebuah daerah dimana aku, karena agamaku, termasuk kaum minoritas. Sekalipun di negeriku ada sebuah daerah dimana aku sang mayoritas, percayalah kaumku tetap minoritas di negeriku. Sejak kecil aku lebih suka membaca dibandingkan bermain bersama anak-anak seumuranku. Betul, aku tak punya banyak teman. Namun saat sekolah dasar, berkat kebiasaanku, aku menjadi anak yang pintar di sebuah sekolah negeri. Tiba-tiba aku punya banyak teman? Tidak juga, hanya saja aku boleh ikut bermain dan tak perlu memperkenalkan diri jika hendak ikut bermain. Orang-orang mengetahuiku, minoritas yang pintar. Anak seumurku saat itu tak paham soal mayoritas ataupun minoritas. Sekalipun tak pernah ada diskriminasi saat itu (dan aku baru mengagumi kenyataan itu sekarang), terlahir dengan rasa penasaran yang tinggi membuatku ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku memutuskan untuk tidak keluar kelas saat pelajaran agama. Aku ingin mengerti. Walaupun hingga hari ini aku tak bisa membaca tulisan pada kitab sucinya, aku ingat penjelasan guru yang mengatakan bahwa agama tersebut adalah sebaik-baiknya agama. Aku tidak dongkol, sampai hari ini pun tidak. Bagiku, apa pun agamamu, selama itu membawa kebaikan untukmu, aku tak keberatan. Di negeriku, begitu mudah menemukan informasi tentang kaum mayoritas. Di negeriku, orang mendahulukan agama dibanding apa pun. Terlepas dari kenyataan yang terjadi di negeriku saat ini, hal ini membuatku tersadar. Bahwa aku tak pernah adil dengan agamaku. Aku mengetahui semua tentang mayoritas, namun hanya sedikit yang ku ketahui tentang agamaku sendiri. Etika, susila dan upacara hanya teori belaka bagiku. Aku memang tidak tumbuh di keluarga agamis, namun bukankah aku seharusnya mengenal agamaku dan Tuhanku? Sudah ku putuskan, aku akan mengusahakan resolusi pertamaku terlebih dulu. Tolong doakan aku, agar aku selalu bisa berlaku adil sejak dalam pikiran. Dari yang selalu percaya Karma Phala, Kelana Pertiwi
1 note
·
View note
Text
364/365
Hai! Apa kabar? Titik; sebuah tanda, banyak gunanya. Pada bahasa Indonesia, titik digunakan untuk mengakhiri kalimat. Pada notasi balok, titik digunakan untuk menambah nilai not sebanyak setengah ketuk. Titik bagiku? Aku lebih suka menyamakannya dengan koordinat, digunakan untuk menunjukan posisi. Posisiku di kehidupan? Entahlah, haha! Sesaat aku di atas angin, sekedip kemudian aku di ujung tanduk. Sejenak aku berkuasa, sejurus kemudian aku tak bertakhta. Sekejap aku dicinta, sekelebat kemudian aku dicela. Begitu saja terus, sampai atma tak lagi bersemayam di raga. Percayalah, kamu bukan satu-satunya manusia di bumi yang menganggap kehidupan adalah sebuah lelucon. Kehidupan menyuguhkan berbagai kemungkinan, ketika satu-satunya yang kita inginkan adalah kepastian. Tidak apa, kan? Boleh jadi kita sedang berada di titik terendah kehidupan, namun kita diperkenankan untuk memperjuangkan apa-apa yang telah dikorbankan. Ketika kita memperjuangkan harta dan takhta dengan mengorbankan keluarga, misalnya. Boleh jadi kita sedang berada di titik tertinggi kehidupan, namun kita diperkenankan untuk mengorbankan apa-apa yang telah diperjuangkan. Ketika kita mengorbankan harta dan takhta yang sudah didapat untuk kembali memperjuangkan keluarga, misalnya. ‘Certamen ergo sum: Aku berjuang maka aku ada.’ Tentu saja tidak apa berpikir demikian, setidaknya jika kamu memang baru merasa ada ketika kamu berjuang. Toh aku pernah menjadi kamu, aku betulan paham. Namun, aku sedang putar haluan. Aku sedang belajar mensyukuri apa-apa yang memang ditakdirkan untukku. Dari yang akan kembali berjuang ketika sudah bisa bersyukur, Kelana Pertiwi
1 note
·
View note
Text
325/365
Oh, hai! Bicara tentang bergerak, aku teringat seorang pelatih baris berbaris. Pelatih yang jika marah katanya bisa sampai lempar helm, temanku pernah melihat beliau demikian. Untung aku tidak pernah dilempar helm, entah aku dan teman-temanku yang bisa memenuhi ekspektasi atau beliau yang sudah tak ingin menyakiti. Suatu hari, saat beliau baru melatih kami, beliau pernah bilang sesuatu padaku, tentang bergerak. “Kamu hanya bergerak demi rasa aman. Padahal kamu mampu lebih dari sekadar aman. Entah apa yang kamu cari dan tunggu, sepertinya kamu memang baru bergerak jika dikejar anjing,” Aku hanya mengangguk malu pada beliau. Begini ya rasanya tertangkap basah berusaha sekadarnya ketika teman-temanmu memberikan usaha terbaiknya? Mungkin ini sebab kekalahan di empat kompetisi sebelumnya? Teman-temanku, mereka ingin sekali kembali menerbangkan burung Jatayu. Mereka ingin menang. Sedangkan aku? Aku memutuskan untuk berlatih lebih serius, demi bisa membantu mereka mencapai apa-apa yang mereka mau. Di kompetisi kelima, dengan bantuan pelatih baru kami, kami berhasil memenangkan juara dua. Segala pengorbanan kami terbayar: waktu, tenaga dan pikiran. Walau begitu, sampai hari ini pun, aku tak pernah merasa memenangkannya. Aku hanya tahu bahwa aku bukan apa-apa tanpa teman-temanku, pelatihku dan semua pihak yang mendukung kami. Oh! Setidaknya aku juga tersadar bahwa ada alternatif lain yang bisa membuatku bergerak selain dikejar anjing; keberadaan orang-orang sekitar yang membawaku pada kebaikan. Seperti kalimat yang sering ku dengar hingga akhirnya mengalami sendiri kalimat tersebut; sendiri kita berjalan lebih cepat, bersama kita berjalan lebih jauh. Dari yang sudah tidak takut dengan anjing, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
319/365
Halo! Di pertengahan pekan ini, tayang sebuah film yang digandrungi berbagai kalangan. Film tersebut diadaptasi dari sebuah novel. Romantis, kah? Sangat! Aku termasuk orang yang menikmati novelnya; ceritanya sederhana, tokoh utamanya unik, gaya bahasanya santai. Siapa yang tak jatuh hati dengan novel seperti itu, kan? Aku belum menonton film tersebut. Namun banyak orang yang menikmati filmnya, terutama bagi para remaja atau kamu yang hendak bernostalgia. Kisah kasih masa remaja milik siapa saja: banyak drama, kaya rasa dan penuh makna. Tokoh utamanya? Seorang pria yang bisa membuat wanita pujaan hatinya merasa spesial. Kok bisa? Pria ini penuh kejutan! Yang paling ku ingat, ia memberi buku teka-teki silang yang sudah diisi saat sang pujaan hati ulang tahun. Agar pujaan hatinya tidak pusing mengisi, katanya. Jadilah negeri ini gonjang-ganjing. Sebenarnya sudah dari lama, sejak novelnya terbit. Namun setengah pekan ini benar-benar gila, mengalahkan guncangan gempa bumi sebesar 6.0 skala Richter yang terjadi sehari sebelum filmnya tayang di bioskop. Benar sekali! Kaum wanita di seluruh penjuru negeri sepakat bahwa mereka menginginkan kehadiran seorang pria yang memperlakukannya dengan unik, seunik sang tokoh utama. Suara kaum pria lebih variatif; ada yang mengeluhkan terlalu tingginya standar tersebut, namun yang berbondong-bondong meniru cara sang tokoh utama lebih banyak. Aku? Abstain. Karena? Pada kenyataannya, cinta tidak melulu tentang berbuat apa. Ada saatnya cinta tentang siapa yang berbuat. Itu sebabnya sebuah sapaan dari orang yang kamu cintai bisa membuatmu bahagia seharian dibanding seisi dunia dari orang yang tidak kamu cintai. Sebesar apa pun pengorbanan orang yang tidak kamu cintai untuk mempersembahkannya, kamu tidak akan merasa spesial. Aneh, ya? Aku tak tahu apakah ini berlaku pada orang lain. Tapi itu betulan terjadi padaku, hehe. Dari yang selalu bahagia ketika disapa olehmu, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
294/365
Halo! Kalau menurut banyak orang nama adalah doa, apakah namaku juga demikian? Namaku Kelana Pertiwi. Kelana berarti mengadakan perjalanan ke mana-mana tanpa tujuan tertentu, sedangkan Pertiwi berarti Bumi. Mungkin, orang tuaku ingin aku menjadi pribadi yang mengadakan perjalanan ke mana-mana tanpa tujuan tertentu di Bumi? Entahlah, haha! Walau aku tak banyak menghabiskan waktu di alam bebas, aku selalu menikmati waktuku bersama alam milik Bumi. Aku menikmati banyak hal: udara sejuk di pegunungan, debur ombak di tepi pantai, pemandangan indah di permukaan laut, langit kaya warna, dan pesona alam lainnya. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa manusia tak jatuh hati pada Bumi? Semua itu membawaku ke sebuah situasi yang mengharuskanku belajar kebumian. Bermodalkan jatuh hati, aku belajar banyak hal: lempeng bumi, jenis tanah dan mineral, kedalaman laut, awan, lapisan atmosfer, rasi bintang, kecepatan lepas, dan masih banyak lagi yang tak ku ingat. Banyak sekali, memang. Anehnya, tak sekali pun aku pernah mengeluh. Sekarang, aku sudah tak diharuskan untuk belajar kebumian. Namun masih ada hal-hal yang ku lakukan. Aku mengklasifikasikan awan di siang hari dan mendeteksi rasi bintang di malam hari. Aku tahu aku maniak, astaga. Bumi mulai renta, pikirku. Hutan yang beralih fungsi, gletser yang meleleh, permukaan air laut yang naik, iklim dan cuaca yang menjadi ekstrim; hal-hal tersebut disebabkan oleh pemanasan global. Pemanasan global terjadi karena gas-gas tertentu di atmosfer Bumi yang meloloskan cahaya, namun tidak demikian dengan panas memerangkap panas; seperti dinding rumah kaca. NASA mengumumkan adanya tujuh planet yang ukurannya mirip bumi pada Galaksi Trappist-1, yaitu sistem tata surya yang bersebelahan dengan Galaksi Bima Sakti. Tiga dari tujuh planet tersebut berpotensi layak huni. Setidaknya sampai ilmuwan bisa membuktikan bahwa ada planet lain yang layak huni selain Bumi, ada baiknya Bumi tetap layak untuk dihuni oleh anak cucu kita kelak, kan? Dari yang tetap jatuh hati pada Bumi, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
281/365
Hai! Di era digital seperti sekarang, mendapatkan informasi sangatlah mudah. Fakta ataupun khayal, mereka hampir tak ada bedanya. Siapa saja bisa menjadi apa saja, pengamat politik umpamanya. Siapa saja bisa menulis apa saja, opini pribadi misalnya. Siapa saja bisa menyebarkan apa saja, hoaks contohnya. Menurut KBBI, hoaks berarti berita bohong. Aku jamin kamu pernah dengar berita bohong, minimal satu kali dalam hidupmu. “Tentu hoaks ini kita lihat, ada yang positif dan negatif. Saya imbau kepada kawan-kawan, putra-putri bangsa ini, mari sebenarnya kalau hoaks itu hoaks membangun ya silakan saja,” Aku mendengar kalimat tersebut dari seorang petinggi lembaga pemerintahan yang baru saja dilantik. Padahal masih siang bolong, namun pikiranku sudah melanglang buana entah kemana. Aku langsung berpikir keras. Hoaks membangun? Seperti apa ya contohnya? Apakah hoaks membangun seperti white lies, begitu? Jangankan hoaks membangun, aku saja tak paham dengan konsep white lies. Kalau memang berbohong demi kebaikan, maka kebaikan siapa yang sedang diusahakan oleh yang berbohong? Sebagai oknum yang pernah melakukan white lies; aku melakukannya bukan untuk melindungi orang yang dibohongi, melainkan untuk melindungi diri sendiri. Sekarang pertanyaanku tentang hoaks membangun tak hanya ‘seperti apa?’ melainkan ‘untuk siapa?’. “Lebih baik jujur, daripada benar,” aku teringat kalimat seorang teman saat SMA. Ketika orang-orang mencontek untuk bisa lulus ujian, ia percaya diri dengan kemampuannya yang biasa saja. Jika harus mengulang, ia tidak keberatan. Hei, hoaks membangun! (yang entah seperti apa dan entah untuk siapa) Aku setuju dengan kalimat temanku. Sekalipun tujuanmu benar untuk membangun bangsa, bukankah lebih baik jujur daripada benar? Dari yang pernah lupa nasihat seorang teman dan semoga tidak lagi lupa, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
270/365
Apa kabar? Kita tentunya berada di dunia berkat kehendak Tuhan. Namun kita tak boleh lupa siapa yang mengusahakan kehadiran kita, orang tua. Ibu mengandung kita sembilan bulan. Ayah bekerja demi memenuhi kebutuhan kita. Tanpa mereka, kita bukan apa-apa di dunia. Sewaktu kecil kita diajarkan begini dan begitu. Begini baik, begitu buruk. Tanpa kita tahu persis alasan sesuatu itu baik atau buruk, kita patuh pada apa kata orang tua. Seiring berjalannya waktu, kita mulai bisa berpikir sendiri. Kita mulai punya cita-cita sendiri dan cara-cara sendiri untuk mewujudkannya. Kita juga mulai bisa membedakan mana yang benar-benar baik dan buruk untuk diri sendiri. Perlahan tapi pasti, perbedaan muncul di antara kita dan orang tua. Entah itu perbedaan pola pikir dan selera, perbedaan nilai dan norma, perbedaan ekspektasi dan ambisi, pokoknya ada saja yang berbeda. Tapi, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar? Orang tua mengingkan apa pun, yang menurut mereka, terbaik untuk kita. Pun kita menginginkan hal-hal terbaik, menurut kita, untuk kita. Jika sebuah pepatah bilang bahwa restu orang tua adalah restu Tuhan, kita perlu memperjuangkan restu orang tua, kan? “Bagaimana jika batas antara kamu dan Tuhanmu adalah restu orang tuamu?” tanya seorang teman yang hendak pindah agama namun tak mendapat restu orang tuanya. Aku hanya menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa. “Aku bahagia kamu sudah menemukan agama yang baik bagimu. Sebaik-baiknya agama adalah agama yang ditemukan,” kataku sambil menatapnya lekat-lekat, tersenyum tulus. Ia berani sekali, bisa memutuskan hal seberat itu. Tekadku sudah bulat, aku akan terus mendukungnya. Aku hanya bisa berdoa semoga ia lekas diberikan petunjuk untuk meluluhkan hati kedua orang tuanya dan mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Dari yang sampai sekarang belum tahu jawaban pertanyaannya, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
241/365
Halo! Seorang temanku menyukai manusia, selamanya akan penasaran dengan isi kepalanya. Hobinya memahami faktor apa saja yang mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan. Namun ia tak pandai menjalin hubungan dengan mereka. Ia mudah lelah ketika harus menghabiskan waktu bersama, katanya. Suatu hari, aku pernah bertanya kepadanya perihal kapan ia merasa kesepian. Ia menjawab sekadarnya dengan jawaban ketika hormonnya sedang tidak stabil. Kamu boleh menilainya sesukamu, tapi ia betulan berkata demikian dengan muka tak bersalah. Ia dingin sekali, ya? Kadang aku juga merasa demikian. Tapi ia bisa begitu antusias ketika sedang berbicara tentang kamu, manusia. Ia bisa mendengarkan ceritamu yang itu-itu saja sambil merancang teorinya tentang bagaimana manusia membuat keputusan. Ia tak akan menghakimi atapun menggurui. Bahkan, ia akan membuatmu merasa jadi manusia paling penting sedunia, karena ia akan menghargaimu. Aku jadi paham mengapa ia mudah lelah. Ia akan selalu mendengarkan dan menghargai, siapa yang tak lelah jika harus selalu begitu? Untungnya, ia selalu melakukannya atas dasar suka; kesukaannya untuk menekuni hobinya. Suatu hari aku pernah iseng bertanya prinsip hidupnya. “Memikirkan perasaan, merasakan pikiran,” katanya setengah antusias, ia selalu senang jika kami bicara hal-hal sulit dimengerti. Mungkin itu sebabnya ia begitu rasional pada hal-hal terkait perasaannya. Mungkin itu juga sebabnya ia begitu bersemangat ketika membicarakan apa-apa yang menarik baginya. Manusia banyak ragamnya, tapi aku setuju dengan prinsip hidupnya. Perasaan dan pikiran memang perlu diseimbangkan. Dari yang mau mencoba memikirkan perasaan dan merasakan pikiran, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
201/365
Apa kabar? Aku teringat nasihat seorang kenalan, ia cukup lebih tua dariku. Aku tak ingat persis apa yang kami bicarakan, aku hanya ingat sepenggal kalimat yang kurang lebih begini bunyinya. “Ketika kamu berusaha, kamu perlu yakin bahwa pada akhirnya semua akan sampai,” Pernah melihat senyum seorang yang sudah mencecapi asam basanya kehidupan? Begitulah aku mengartikan senyumnya. Senyumnya tak melulu tentang senang-senang. Ia tenang, entah sedang berusaha menenangkan siapa setelah bicara begitu; diriku atau dirinya sendiri? Awalnya aku tak paham maksud nasihat tersebut. Selain aku lupa topik yang ku bicarakan dengannya saat itu, nasihat tersebut terlalu tidak spesifik. Semua itu apa? Sampai itu yang bagaimana? Kalimat tersebut seperti kalimat-kalimat yang diucapkan teman-temanku ketika sedang melantur. Aku baru paham nasihat itu untuk situasi seperti apa, setidaknya dengan pemahaman ku sendiri. Nasihat ini untuk orang-orang yang berjuang; baik perihal keluarga, cinta maupun cita-cita. Selalu ada saat-saat tidak menyenangkan ketika berjuang. Kadang kita menyayangi keluarga namun mereka tak memahami bentuk kasih sayang yang kita berikan. Kadang kita mencintai namun yang dicintai tak membalas cinta yang kita berikan. Kadang kita mengusahakan cita-cita namun hal-hal tersebut malah semakin jauh dari jangkauan kita. “Ketika kamu berusaha, kamu perlu yakin bahwa pada akhirnya semua akan sampai,” Usaha-usaha kita? Mereka selalu sampai. Berkat waktu yang tak pernah pilih kasih, apa-apa yang menjadi tujuan (baik keluarga, cinta maupun cita-cita) akan menerima usaha-usaha kita. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun, tapi kita perlu yakin. Keluarga akan memahami kita. Orang-orang akan mencintai kita. Cita-cita akan menghampiri kita. Seperti dongeng untuk bisa tertidur lelap, ya? Bisa jadi, namun kita perlu ingat bahwa masing-masing dari apa-apa yang menjadi tujuan punya caranya sendiri untuk membalas apa-apa yang telah kita usahakan. Jadi, kita akan sampai atau tidak? Dari yang memilih untuk yakin sampai walau tak sesuai, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
196/365
Hai! Ketika kamu dibesarkan dengan dongeng-dongeng yang menceritakan bahwa kepribadian adalah segalanya, kemungkinan besar kamu tak begitu memikirkan penampilanmu. Aku pun begitu, awalnya. Sekalipun orang-orang sekitarku penampilannya jauh lebih menarik, aku selalu merasa cukup dengan diriku. Aku tahu kepribadianku yang akan menentukan siapa aku, bukan penampilanku. Ternyata, kenyataan tidak seperti dongeng-dongeng yang selama ini aku dengar. Awalnya semua baik-baik saja. Namun seiring bertambah umur, aku mulai memperhatikan orang-orang di sekitarku. Mereka sangat memperhatikan apa-apa yang mereka tampilkan dan apa-apa yang ditampilkan oleh orang lain. Mau tak mau, aku mulai membandingkan diriku dengan mereka. Tentu saja, aku tak lagi merasa cukup. Aku mulai melihat kekurangan pada penampilanku, banyak sekali rasanya. Aku mulai peduli dengan bagaimana cara mempresentasikan penampilanku di depan mereka. Ini sebuah kabar baik, kan? Tentu saja! Semua prosesnya menyenangkan sampai aku di keadaan terlalu peduli apa kata mereka. Aku lupa pentingnya pendapatku. Aku merasa cukup namun mereka merasa tidak. Entah sejak kapan aku mulai peduli dengan pendapat mereka, aku ingin memenuhi ekspektasi tak berujung mereka tentang penampilanku. Aku lelah, bagaimana pun usaha ku rasanya tak pernah cukup bagi mereka. Aku perlu kembali, belajar menghargai pendapatku sendiri. “Penampilan memang penting, namun penampilan bukanlah segalanya,” aku teringat kalimat seorang teman. Dongeng-dongeng itu ada benarnya, kepribadian itu penting. Selain kepribadian, pengetahuan juga sama pentingnya menurutku. Ku simpulkan ada tiga hal yang penting: kepribadian, pengetahuan, penampilan. Aku memutuskan untuk mengasah ketiganya tanpa membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Doakan aku, teman! Semoga berhasil! Dari yang sedang mencoba merasa cukup perihal penampilannya, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
190/365
Halo! Aku sedang mengenang masa remajaku. Biasa saja, tidak ada spesialnya. Tapi boleh jadi ada satu hal yang ku sukai pada diriku yang masih remaja. Aku tidak pernah takut mencoba. Dikelilingi teman-teman yang menyukai anime dan manga, aku tumbuh menjadi seorang yang pernah menggambar dan pernah menulis fanfiction. Karya-karyaku saat remaja tidak ada bagusnya, hanya membuatku geli sendiri pernah melakukannya. Aku tak berbakat dan tak berlatih, jadilah sampai sekarang aku tak ahli keduanya. Hanya saja aku tak ragu mencoba keduanya ketika teman-temanku melakukannya. Selain itu, aku juga hobi mencoba media sosial terbaru: friendster, blogspot, facebook, twitter, tumblr, dan soundcloud. Aku sering mengutak-atik kode html demi mendapatkan tampilan layout yang ku suka untuk friendster, blogspot dan tumblr-ku. Aku tak ragu menulis, baik di facebook maupun twitter. Terparah, aku tak khawatir dengan suara sumbangku sampai-sampai aku pernah meng-cover lagu-lagu kesukaanku. Sampai hari ini pun aku masih bertanya-tanya, darimana aku mendapatkan semua keberanian untuk melakukannya? Bayangkan jika masa remajaku dihabiskan di zaman sekarang. Karya-karyaku saat remaja akan dicela tanpa ampun oleh mereka-mereka yang merasa jauh lebih mengerti. Lebih parah lagi, jadi bahan tertawaan semua umat; dari yang memang lebih ahli sampai mereka yang tak paham pasti. Apa aku, saat remaja, masih akan memiliki keberanian yang sama? Sepertinya tidak. Ayolah, kita sama-sama tahu bahwasanya untuk membuat hal-hal yang luar biasa bagusnya, kita terlebih dahulu akan membuat hal-hal yang buruknya tidak kepalang. Kita butuh kritik yang membangun, kan? Celaan dan gelak tawa hanya akan menjatuhkan mental para remaja yang baru mencoba berkarya. Dari yang sedang belajar tidak menertawakan karya anak-anak dan remaja, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
134/365
Hai! Ada satu kota yang aku suka, layaknya cinta pertama seorang anak rumahan pada tanah perantauan. Sebuah kota di ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi namanya. Dalam rangka merayakan kelulusan, teman-temanku mengajak ku ke sana. Banyuwangi adalah kota terjauh yang pernah ku kunjungi bersama teman-temanku: berkereta dari Jakarta ke Surabaya lalu lanjut ke Banyuwangi, mengagumi air warna biru kehijauan di Teluk Ijo, menikmati senja di Pantai Merah, menyelami permukaan laut di sekitar Pulau Menjangan, mengilhami teriknya mentari di Baluran dan yang teristimewa, mendaki Kawah Ijen. Di perjalanan menuju pos awal pendakian Kawah Ijen, pukul 00.53, aku berbincang dengan Rum. Baru mengenalnya dua semester, aku tahu ia sama sepertiku, suka berandai-andai. “Apa bedanya dengan api biru di kompor gas?” tanyanya setelah tahu alasanku ikut ke Banyuwangi adalah ingin melihat api biru di Kawah Ijen. “Fenomena ini hanya ada dua di dunia, di Islandia dan di Indonesia. Kau tak apa mendaki malam-malam?” aku teringat tadi siang ia kelelahan. “Tak apa, kita pasti akan melihat api biru!” Kami mendaki pukul 02.00. Aku tidak terbiasa berolahraga, sehingga mendaki Kawah Ijen rasanya sangat melelahkan. Rum bersedia menemaniku. Ia bersedia berjalan sesuai ritmeku (sebenarnya sih, ia sama lelahnya denganku). Ia bahkan bercerita tentang kehidupan penambang di sekitar tempat tinggalnya. Agar kami tak memikirkan lelah, katanya. Untuk bisa melihat api biru, kami perlu menuruni tebing terjal menggunakan jalan setapak kecil yang licin. Berbagi jalan tersebut dengan penambang dan pendaki lainnya, aku dan Rum tak banyak bicara. Kami hanya menelusuri jalan setapak tersebut sambil merapalkan doa dalam hati masing-masing (agar tidak terjatuh). “KITA SAMPAI!” Kami melihat api biru. Api birunya besar sekali! Bau bau belerang bertebaran, tapi aku tidak keberatan. Lelah dan pegalku hilang. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. P.s: Terima kasih untuk Rum, sampai bertemu di puncak-puncak selanjutnya! Yang sedang membiasakan berolahraga demi bisa mendaki lagi, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
124/365
Halo Usia memang tidak menandakan kedewasaan seseorang, tapi aku yakin kamu sudah mengenal dirimu sendiri lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Kamu juga mulai tahu apa yang kamu impikan. Bahkan boleh jadi, kamu mulai menemukan pola dalam kehidupanmu. Begini sederhananya. Aku selalu terjebak dengan hal-hal yang tidak ku sukai di awal, selalu. Aku memang banyak bermimpi di siang bolong, namun aku tak pernah banyak tanya; baik perihal bagaimana mewujudkan mimpi-mimpiku, maupun perihal apa-apa yang semesta pilihkan untuk ku. Setiap semesta tak mewujudkan mimpi-mimpiku, aku selalu ditempatkan di kondisi yang pada awalnya tidak aku sukai. Mengapa aku bilang pada awalnya? Betul, akhirnya aku merasa nyaman. Padahal aku punya pilihan untuk tetap mengejar mimpi-mimpiku, namun aku memilih bertahan. Kalau bicara tentang salah satu teman-bermimpi-ku, lain lagi kasusnya. Orang-orang sekitarnya selalu tak memperhitungkannya di awal, selalu. Memang temanku ini auranya aneh. Ia cerdas, tapi tak sekali pun ia menampakan aura tersebut. Mengapa aku bilang di awal? Yang kamu tahu, tiba-tiba ia sudah di puncak. Menang? Tak selalu, tapi pada akhirnya tak ada lagi yang memandangnya rendahan. Sampai sekarang pun tak ada yang tahu seberapa keras ia berusaha, aku saja tak berani membayangkan. “Mungkin, setiap orang memang punya pola dalam kehidupannya masing-masing. Seperti aku yang selalu tidak diperhitungkan di awal, ataupun seperti kamu yang selalu merasa nyaman di akhir,” katanya sambil tersenyum penuh arti. Aku tak akan pernah lupa saat itu. Kami sama-sama sedang genting, ragu perihal keputusan yang masing-masing akan ambil. Tapi kami tahu sepak terjang masing-masing. “Ini bukan tentang kamu yang selalu meraih puncak tertinggi ketika banyak orang tidak memperhitungkan mu. Ini juga bukan tentang aku yang selalu berakhir dengan menyukai apa yang awalnya tidak aku sukai. Ini semua tentang kemauan,” kataku menyimpulkan diskusi saat itu. Jadi, apa mimpi terbesarmu? Semuanya tentang kemauan, kok. Dari yang ingin kembali bermimpi demi resolusi keempat, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
102/365
Hai! Hidup sedang menyediakan kemewahan yang tiada tandingannya, spesial untuk ku. Aku yang selalu memaksa diriku terlibat dalam kesibukan yang tak ada ujungnya, harus terbiasa menikmati nyamannya berdiam diri tanpa kepastian untuk beberapa minggu ke depan. “Nikmati saja,” begitu katamu. Aku harus menelan dongkol dalam hati, lagi. Aku mendengarkan mu dengan seksama, bercerita tentang kegiatanmu yang sibuk tiada dua seminggu ke belakang: hari Minggu masuk kantor, pernah pulang sampai rumah pukul 23.30, pernah lembur sampai pukul 00.30, harus selalu bangun pukul 04.45 dan harus sudah di terminal bis sebelum pukul 06.00. Aku turut prihatin mendengarmu (berkeluh kesah). Alih-alih kembali merasa dongkol, aku malah tertawa dalam hati. Hidup benar-benar sekonyol ini. Kita selalu menginginkan apa-apa yang bukan milik kita. Awalnya sulit bagiku untuk bisa menerima kenyataan. Ketika teman-temanku sudah bekerja, aku masih saja harus berlibur. Anehnya, ketika aku tahu teman-temanku mulai menginginkan liburan, aku mulai bisa menerima libur panjangku. Hilang keinginanku untuk dipekerjakan? Tidak juga, tapi aku sudah tidak uring-uringan. Hidup benar-benar sekonyol ini. Kita mulai bisa menerima suatu hal, ketika kita sadar ada orang lain yang juga menginginkannya. “Kamu juga, nikmati saja,” kataku menanggapi keluhanmu, dengan senyum puas tentunya. P.s: Bersyukur adalah kunci. Sepertinya belajar bersyukur akan butuh kerja keras, lebih dari yang ku kira. Tidak apa, demi resolusi keempat. Dari yang baru tahu PATEN bisa menjadi sebuah akronim, Kelana Pertiwi
0 notes
Text
91/365
i. Waktu itu kelas tiga SMP. Aku berteman dengan seorang yang baik hati, sangat baik. Namun aku tak pernah menyangka ia menyukaiku. Ya, aku sebegitu tak punya petunjuk perihal rasa yang ia miliki. Mana aku tahu? Aku hanya tahu kalau aku nyaman berteman dengannya. “Aku suka padamu, Lana,” “Yang benar? Kok bisa?” Aku lupa jawabannya apa, yang jelas aku merasa aneh namun dihargai? Terima kasih. Sampai detik ini pun aku masih menganggap ia sosok paling berani, selain anggota keluargaku tentunya. Maaf tidak bisa membalas rasa sukamu. ii. Waktu itu kelas dua SMA. Aku berteman dengan seorang yang tak bisa ku tebak isi kepalanya. Namun aku tak pernah menyangka kalau ia akan mengirim sebuah pesan singkat, setelah aku dan teman-temanku iseng menebak-nebak siapa sosok yang ia sukai. Mana aku tahu? Aku hanya penasaran. “Lana, sesungguhnya orang yang aku suka adalah kamu,” “Ini dibajak? Siapa yang membajakmu?” Aku ingat ia hanya membaca pesan singkatku, tak pernah membalasanya. Sampai detik ini pun aku tidak tahu ia dibajak atau tidak. Semoga ia benar dibajak, jika tidak aku benar-benar tega sudah menganggapnya bercanda. iii. Waktu itu semester tiga kuliah, tanggal satu April. Semenjak semester satu, aku berteman dengan seorang yang luar biasa jahilnya. Namun aku tak pernah menyangka ia akan sebegini jahilnya padaku. Mana aku tahu? Aku memang baru saja menjahilinya habis-habisan. “Kalau aku boleh jujur, aku menyukaimu,” “Oke, aku minta maaf,” aku bersiap melanjutkan penjelasanku. “Aku tahu, tidak seharusnya aku menuangkan sambal ke minumanmu. Tapi sepertinya ini keterlaluan, caramu merayakan April Mop padaku,” Aku ingat ia tertawa keras sekali, lalu meminta maaf. Tidak lupa ia menjitak kepalaku, bilang kalau aku yang bercandanya lebih keterlaluan. Syukurlah, ternyata ia benar bercanda. Dari yang bingung memulai darimana untuk mewujudkan resolusi kelima, Kelana Pertiwi
0 notes