#Adegan Yang Hilang dari Petrus
Explore tagged Tumblr posts
Text
Arief Budiman, {2019} Adegan Yang Hilang dari Petrus - draft #4 (Missing Scene from Mysterious Shooter - draft #4)
#film#gif#arief budiman#Adegan Yang Hilang dari Petrus#Missing Scene from Mysterious Shooter#2019#experimental film#short film#photos in films#desktop cinema#text#subtitles#indonesia#male filmmakers#2010s#found footage#colour
1 note
·
View note
Text
Tentang Islam dan Menjadi ‘Beragama’
(Pertama-tama saya mohon maaf. Bagi njenengan yang kebetulan Non-muslim atau tidak tertarik dengan isu agama, mungkin ada baiknya tidak membaca tulisan saya ini. Siapa tahu kedengaran sok dan preachy. Daripada mengganggu atau bikin kurang sreg, hehe... Cheers! )
Tulisan saya kali ini sebenarnya adalah refleksi. Tentang apa yang dinamakan ‘beragama’, beriman, dan menjadi seorang muslim. Kedengaran terlalu berat? Waduh, ngapunten! Saya mohon maaf. Ini juga sesekali, saya janji. Tulisan inipun juga dari sudut pandang saya pribadi. Tentang benar tidaknya apa yang saya tulis ini, ya Wallahu ‘Alam. Jadi soal benar atau tidaknya saya sendiri juga kurang paham. Jadilah yang saya tulis ini hanyalah apa yang saya alami dan rasakan. Mbok menowo teman-teman ada yang punya kesamaan perasaan dan pengalaman.
Islam dan ‘Bawaan Lahir’
Dalam hidup saya ini, beragama itu bisa dibilang bukan barang bawaan. Nuansa religi hadirnya belakangan. Artinya, dulu keluarga saya itu Islam tapi ya ala kadarnya. Tidak benar-benar nglakoni. Ndak sholat fardlu tapi jum’atan. Ya puasa Ramadhan tapi ndak kepikiran buat haji. Pertimbangan agama yang dipatuhi juga yang dasar-dasar saja.Tidak makan b1 dan b2, tapi ngrasani orang lain dan ghibah itu sudah menu sehari-hari. Hal-hal semacam itu.
Pendek kata: Islam ya dirasa kebiasaan yang lumrah saja. Meyakini beneran? Wah, nanti dulu.
Kehidupan saya yang semacam itu kira-kira berjalan sampe kuliah. Setidaknya sampai sebuah pengalaman akhirnya membuat saya ‘sadar’. Tidak, pengalaman saya tidak terlalu spektakuler seperti tangis-menangis di seminar ESQ atau melihat lafal Ilahi di langit. Biasa-biasa saja. Walaupun buat saya kejadian itu berarti segalanya.
Waktu itu saya sedang menonton film bersama kekasih (sekarang istri, yang berarti level romantikanya berada jauh di BAWAH ‘kekasih’). Film yang kami tonton waktu itu adalah film dokumenter berjudul Samsara. Sebuah film tanpa narasi yang mengambil shot-shot indah dari beragam tempat di dunia, mulai dari Potala di Tibet hingga Basilika Santo Petrus di Vatikan. Saya sebenarnya agak bosan karena film ini nggak ada omongannya sama sekali. Dan di dalam shot film itu tiba-tiba ditampilkan bagaimana ramainya thawaf waktu puncak haji. Gambar yang umum sebenarnya. Toh kalau Jum’atan di sudut masjid juga ada foto Ka’bah di samping whiteboard yang isinya perolehan infaq dan jadwal khotib. Dan saat saya termenung melihat adegan itu, entah darimana seperti ada suara yang nyeletuk, “Wow... kayak galaksi ya... Semua berputar pada satu pusat yang sama... “.
Dan tiba-tiba saja air mata saya tumpah.
Dalam perjalanan pulang saya menangis di jalan sejadi-jadinya. Laki-laki brewok gembrot raksasa berusia 20-sekian tahun menangis tanpa henti di tengah hujan deras jalan Gejayan Jogja. Untuk pertama kalinya saya merasa kecil. Sangat kecil. Saya sadar betapa thawaf tidak jauh berbeda dari tata surya, galaksi, kluster galaksi, yang semuanya sebenarnya beredar mengitari satu keagungan tunggal.
Saat itu untuk pertama hati saya ‘dibuka’ oleh Yang Maha Kuasa.
Dari kejadian itu, saya kemudian mulai belajar dan menjalani perjalanan batin. Lagi-lagi ya tidak sehebat kedengarannya. Tidak ada pengembaraan mencari kebenaran layaknya Deddy Mizwar di sinetron SCTV tahun 90-an, atau ikut padepokan atau pesantren untuk ngangsu kawruh agama. Saya hanya banyak membaca literatur mengenai agama-agama. Saya belajar tentang Islam, Katolik, Protestan, dan Yahudi. Semuanya saya upayakan dari sumber scientific barat dan sangat menghindari tulisanyang bertema Islami. Semuanya agar saya bisa memandang semua agama secara obyektif. Dan sungguh itu bukanlah perjalanan yang mudah. Keraguan dan penolakan itu muncul tanpa henti dari dalam diri.
Tapi saat saya akhirny menemukan ‘keyakinan’ itu, sungguh itu adalah momen yang sangat menenangkan.
Beberapa saat yang lalu ada sebuah tulisan yang menyatakan bahwa agama itu adalah bawaan. Orang tidak bisa memilih jadi Islam, atau Katolik, atau agama apa saja. Kita ini cuma nurut orang tua. Kalau orang tuanya Islam, anaknya ya pasti ikut Islam. Opini Ini mungkin ada benarnya. Tapi harus diingat bahwa beragama itu adalah perjalanan. Kita memang tidak bisa memilih mau dibesarkan atau mendapat status agama apa, tapi soal apa kita mau meyakini dan menjalankan agama adalah soal lain. Itu sebuah pilihan. Dan perjuangan.
Kesalehan dan kesadaran beragama itu bukan hal gampang. Butuh perjuangan dan cobaan untuk sampai kesana.
Setidaknya Itu yang saya pelajari hingga sekarang.
Iman dan Pertanyaan Besar
“ Apa yang membuat Anda memilih Islam? Dengan apa yang terjadi sekarang, terutama di Indonesia, bagaimana Anda tetap percaya dan tidak mengalami keraguan pada agama ini? “
Saya kira ini adalah pertanyaan besar yang dihadapi semua muslim saat ini. Elephant in the Room. The true question everybody aware but no one dare to ask it. Saya sendiri kurang lebih juga mengalami dilema yang sama. Hal termudah untuk membuat iman seseorang goyah adalah dengan membuka halaman Facebook dan masuk dalam perdebatan tanpa henti di dalamnya.
Menurut saya, yang namanya Iman itu bukanlah terbentuk dari kemenangan dari debat yang kita lakukan di media sosial atau dengan melihat dunia secara makro. Iman adalah tentang keseharian. Iman dibentuk dari jalinan kejadian-kejadian personal yang membuat kita yakin bahwa Tuhan itu memang Anda. Kejadian yang begitu berharga dan pribadi, yang tidak dapat dibantah oleh logika manapun.
Dalam kasus saya, ada satu kejadian yang bisa dijadikan contoh:
Dulu, saat awal-awal saya mencoba ber-Islam yang benar, saya pernah mengalami kesulitan waktu akan sidang pendadaran skripsi. Ceritanya saya terlambat membayar SPP. Waktu saya mengurus ke bagian keuangan, ibu petugasnya bilang kalau waktunya sudah terlambat. “ Modar! “, pikir saya. Selain bisa tidak jadi wisuda, saya juga mesti bayar SPP lagi padahal duit sudah tidak ada. Mungkin karena melihat muka saya yang bingung, si Ibu petugas bilang, “Ya dicoba saja ditanyakan ke Bank Mandiri Mas. Siapa tahu bisa... “. Akhirnya saya segera pergi ke Bank Mandiri dekat fakultas. Selama perjalanan dalam hati saya terus berdoa Robbi Yassiir Wa Laa Tu’ssiir. Ya Allah mudahkanlah dan jangan Kau persulit. Eh ndilalah ternyata pihak Bank masih bisa memproses pembayaran SPP. Mungkin si Ibu petugas tadi cuma kesal karena saya telat jadi nakut-nakutin, pikir saya.
Setelah saya dapat slip pembayaran, saya segera ke ruangan keuangan untuk lapor. Waktu saya menunjukkan slip, si Ibu petugas melihat saya sambil melongo. “ Lho Mas, kok bisa mbayar? “. Saya yang ditanya gantian melongo. Ibu Petugas tadi terus menunjuk ke dua orang mahasiswi yang kelihatan bingung di pintu masuk kantor. “ Mas, itu mbaknya berdua juga sama kayak njenengan. Sudah diurus ke bank dari pagi tadi, tapi katanya dari Mandiri sini sistemnya sudah nggak bisa. Lha kok njenengan yang barusan ngurus kok malah bisa? “.
Wallahu ‘Alam. Yang jelas saya akhirnya bisa ngurus pendadaran dan wisuda dengan lancar. Alhamdulillah.
Kejadian seperti ini, dan begitu banyak kejadian lain yang susah dijelaskan inilah yang menurut saya menjadi jawaban pertanyaan di atas. Saat dimana doa kita dijawab dan datang pertolongan dari arah yang tak disangka-sangka. Saat dimana seakan-akan semesta bergerak sedemikian rupa hingga akhirnya entah bagaimana kita bisa tertolong. Kejadian yang sangat personal, remeh temeh di mata orang lain serta susah dijelaskan dalam perdebatan, tapi sangat terasa dalam hati. Saya rasa Inilah yang menyusun iman.
Tulisan Sok Tahu
Saya ini belum bisa jadi muslim yang baik. Saya berupaya, tapi masih banyak sekali tersandungnya. Belum bisa langgeng istiqomahnya. Padahal kalau diingat nikmat dan pertolongan Yang DI Atas itu buanyak, ndak terhitung. Tapi ya begitu banyak juga dosa saya ini. Jadi ya mungkin tulisan ini juga sebenarnya juga sok-sokan saja. Mungkin akan lebih baik kalau teman-teman membaca tulisan orang yang lebih paham agama.
Tapi setidaknya lewat refleksi ini saya ingin berbagi pengalaman. Untuk teman-teman yang masih belum tertarik untuk ber-Islam, saya tahu memaksakan itu ya tidak ada gunanya. Tapi monggo dipertimbangkan sedikit. Problem hidup yang nampaknya banyak dan tanpa henti, mulai dari kesulitan jodoh, keuangan yang terasa seret, hal-hal remeh seperti sering bocor kendaraan atau kena masalah lain, dalam cerita saya semuanya perlahan hilang setelah saya hijrah. Awalnya memang sulit untuk mengatur hati dan menerima aturan-aturan agama. Tapi nanti kalau sudah dicoba sedikit-sedikit InshaaAllah terasa. Hidup InshaaAllah lebih tenang.
Monggo dipertimbangkan. Karena sebenarnya yang riil itu bukan isu-isu politik dan berita di televisi, tapi kehidupan pribadi kita ini.Ngomentari masalah besar di televisi itu gampang. Yang sulit itu mengubah diri sendiri.
1 note
·
View note