#5CC9
Explore tagged Tumblr posts
Text
Renta
Bibit-bibit demam itu tiba-tiba datang menyerang. Kepalaku berat bukan kepalang. Suhu badanku rasanya agak naik sedikit. Tapi aku harus bergerak dan tetap memasak. Memastikan kebutuhan suamiku, dan anakku yang sebentar lagi akan berangkat. Aku sudah sangat terlatih untuk ini. Demam bukan lagi masalah besar. Sakit kepala bisa ditunda sebentar. Bukankah sudah fitrahnya seorang ibu bergerak atas dasar cinta dan pengorbanan? Bukankah itu yang sudah sering kulakukan sejak 25 tahun silam? "Mbak, nanti mau bawa kering tempe buat lauk di kosan? Atau mau ibu belikan peyek bu Kasan?" Anakku sudah besar, aku tau dia sudah tak selalu membutuhkanku seperti dulu. Tapi aku ingin selalu berusaha ada untuknya sampai kapanpun aku bisa. "Mau peyek aja." Ia menjawab sambil nyengir seperti biasa. Tapi kali ini sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop. Sedari pagi, bahkan hingga beberapa menit terakhir sebelum keberangkatannya. Kuselesaikan pekerjaanku secepat yang aku bisa. Membeli peyek ke warung sebelah, menata makanan di meja dan menghadiri arisan sebentar untuk sekedar setor muka. Ternyata bukan hanya aku yang terkena flu. Tapi juga tetangga lain satu RTku. Berita kekhawatiran COVID-19 lanjutan tiba-tiba menyerangku. Riwayat pernah jadi penyintas menjadikanku terlampau waspada. Flu Singapura? Apa lagi itu? Aku buru-buru pulang. Beratnya kepala ini rasanya sudah tak kuat kutahan. Tapi ada satu hal yang harus aku pastikan, aku tak ingin suami dan anakku tertular. "Pak nanti antar Izza ke stasiun ya. Badan saya kok nggak enak. Tadi mbak Tutik juga kena flu pas arisan. Saya kok hawatir kayak COVID kemarin." "Yowis istirahat sik wae. Anake aku sing ngeterke." Kuputuskan untuk istirahat di kamar. Aku harus sembuh segera. --- "Bapak, ibuk dimana?" Izza sudah siap dengan tas backpack-nya. "Di kamar dek, tadi agak meriang habis arisan. Nanti bapak yang antar." Aku tak ingin anakku tau kondisiku. Tapi lebih tak ingin lagi ia tertular karena aku. "Ibuk sakit? Izza melihat ibunya berbaring berselimut tebal, menyentuh pipinya untuk memastikan kondisinya. Tapi ia tak punya cukup waktu untuk menemaninya lebih lama. "Ibuk udah minum obat? Dek Izza isikan air ya. Ibuk jangan lupa minum air putih yang banyak." --- "Bapak nanti habis dari sini mampir belikan Ibuk obat ya." Tak bisa dipungkiri Izza kepikiran ibunya. Ia merasa bersalah waktunya di rumah ia habiskan untuk sekedar pindah bekerja. Sedangkan ibunya pontang panting menyelesaikan semuanya. "Nanti sore bapak antar Ibuk berobat saja dek." --- Setelah semakin tua. Aku sadar bahwa suamiku adalah sahabat terbaikku satu-satunya. Ia adalah teman bicaraku tentang apa saja. Aku sudah tak peduli kekurangan apa yang ia miliki, kesalahan apa saja yang pernah ia lakukan dan kerepotan apa saja yang pernah dibuatnya. Selama ia mampu berbahagia dan sehat saja, aku telah mampu menikmati hidupku dengan baik. Apa lagi yang aku cari? Bukankah bersama-sama menjadi taat pada sang Pencipta sudah otomatis membuat hidup ini jadi lebih tertata? Setidaknya, aku sudah bahagia, semua beban dan remuknya banting tulang telah aku lalui pada masanya. Sekarang tinggal masuk pada giliran bersabar untuk melihat anakku bahagia menemukan pasangan hidupnya. --- "Ibuk gimana kondisinya? Sudah minum obat?" sebuah pesan WhatsApp masuk dari Izza. "Alhamdulillah sudah baikan mbak. Hari ini Ibuk sudah bisa nyuci 3 kloter wkwk." Kujawab pesan singkat itu dengan bersemangat. "Ibuk jaga kesehatan ya. Semoga sehat selalu dan bahagia." Aku tersenyum membaca pesannya. Ibuk baik-baik saja nak. Kamu jaga diri ya disana. "Aamiin. Ibuk selalu bahagia. Wes tuwo tidak boleh berduka. Dukanya sudah dijalani waktu Izza dan kakak masih kecil-kecil dulu hehehe" "Ibuuuk, Izza jadi sedih bacanya. Terima kasih ya Buk untuk perjuangannya membesarkan kami berdua." "Alhamdulillah, anak itu investasi akhirat bagi orangtuanya. Jadi harus diperjuangkan hehe" Aku mengakhiri pesan itu dengan tetesan air mata. Tuhan begitu baik, ternyata aku mampu melaluinya. Tak apa, aku terima bahwa tubuh ini sudah jadi renta. Bukankah tak perlu menguasai dunia untuk jadi bermakna? Menjadi seorang istri, ibu dan berjuang untuk keluarga. Bagiku, itu adalah segalanya.
3 notes
·
View notes
Text
Kami menikah. Istriku adalah wanita karir yang sukses. Karena itu sebagian besar dukungan finansial dalam keluarga ini adalah tanggungannya. Aku karyawan biasa, yang terjebak dalam satu jabatan. Walaupun sudah 3 tahun bekerja, tidak ada promosi. Hari-hariku selalu monoton.
Pekerjaannya kadang membuatnya pulang tengah malam. Sebaliknya, pekerjaanku bisa dilakukan di rumah, jadi sebagian besar pekerjaan rumah aku lakukan.
Benar. Mungkin peran kita tertukar.
Setiap pagi aku terbangun dengan beban. 'Hari ini apa yang harus aku tunjukkan pada istriku'. Aku merasa insecure melihat istriku yang sukses. Walaupun selama 10 tahun menikah, dia tidak pernah membantahku atau merendahkanku. Dia yang suka rela menawarkan diri menjadi penanggung jawab pemasukan finansial dalam keluarga ini. Sepertinya dia juga tidak menyangka ada hati kecilku yang merasakan ini.
Harga diri.
Ada sisi dari diriku yang ingin menjadi pemimpin dalam keluarga ini. Aku ingin aku yang menanggung semua masalah dalam keluarga ini. Aku ingin bisa menjadi benteng yang melindungi keluarga ini.
4 notes
·
View notes
Text
SEPI
Semakin bertambah usia pernikahanku, kenapa rasanya rumah ini semakin sepi. Lagi lagi aku termenung memikirkan sedang apa si sulung sekarang, sudah kukirim pesan tapi belum juga ada balasan. Begitupun suamiku yang memang jarang pulang dan sekarang sudah pasti sedang shift malam membanting tulang mengusahakan kebahagiaan kami keluarga kecilnya.
Rumah ini semakin hari rasanya semakin bertambah besar karena hanya aku dan si bungsu yang menempati.
Si bungsu yang juga sudah beranjak dewasa yang sering kali sudah tak bisa ku ajak pergi atau hanya sekedar bercanda didepan televisi.
Aku menyadari, cepat atau lambat alur menjadi orang tua memang seperti ini. Meski sudah didepan mata dan pasti terjadi rasanya sungguh belum siap, jika harus berjauhan dengan mereka.
Mengikhlaskan mereka menggapai mimpi. Mengejar cita citanya bahkan cintanya.
Bagaimana kalau nanti disana banyak kepahitan yang mereka rasa namun aku tak ada disana. Mengabarkan dirinya baik baik saja hanya untuk membuatku bahagia disini. Bahkan parahnya memilih menyembunyikan luka agar aku tak mengkhawatirkannya. Seperti yang dulu aku lakukan kepada ibu, menyembunyikan realita kepahitan yang ku alami.
Sebelum menikah kepalaku sudah riuh dan semakin riuh setelah menikah lalu menjadi orang tua, ternyata benar kata ibu waktu itu
"Kenapa to bu pusing lagi? Udah gausah mikir macam-macam, toh Aku baik-baik saja,!" ujarku meyakinkan.
"Yang orang tua pikir tuh banyak mba, nanti Kamu juga merasakan gimana rasanya kalo nanti kamu sudah menikah dan benar-benar mengalami menjadi orang tua" ucapnya lembut sembari mengelus kepalaku.
2 notes
·
View notes
Text
Rasamu, Rasaku
Setiap orang memiliki ujiannya masing-masing. Yang indah adalah ketika ada ujian datang, lalu ada hati yang ikut merasakan apa yang kita rasakan, seketika saling bertaut tanpa ada paksaan berbagi beban. Pernah merasakannya? Bersyukurlah bila pernah terkoneksi dengan jiwa lain tanpa perlu banyak suara dan tindakan.
Yang ada hanya saling peduli dengan caranya masing-masing. Kadang benar, kita sama-sama keras kepala, dilain waktu kita sama-sama lembut hati sampai tak terucap kata, hanya diam dalam dekat, karna cuma itu yang dibutuhkan. Serasa saling tau tanpa memberitau. Seperti terikat pada batin yang satu gelombang. Indah ya? Sungguh benar Dia Maha baik dan menjaga hati jiwa-jiwa yang terpaut kasih sayang tanpa pamrih.
Tak heran, jalan juang itu macam-macam ya, ada yang lurus, berliku, tajam menukik, bahkan sampai tersesat. Dan teramat penuh syukur dan bahagia, saat ada hati yang tetap saling tahu jalan pulang di tempat ternyaman bertahan. Karna tidak ada alasan melepaskan yang telah bertahun dicari semata-mata karenaNya.
2 notes
·
View notes
Text
Menjadi Asing
"Halo?" tak ada sahutan.
"Halo? Ini dengan siapa?" Hening. Masih tak ada jawaban. Namun, saat akan mengakhiri panggilan tak jelas ini, aku baru menyadari sesuatu.
"Ibu?"
"Anak-anak sudah tidur?" tanyaku saat melihat istriku masuk ke kamar. "Sudah," jawabnya yang kini duduk di sofa bersiap membaca buku.
"Pulang yuk?" ajakku padanya. Sebuah ajakan yang sudah sering aku tawarkan. Kulihat ia tidak terkejut, masih memusatkan pandangan ke halaman buku.
"Pulang ke mana?" Selalu begitu.
"Sudah tujuh tahun kita nggak pulang. Tujuh kali lebaran selalu di sini. Bolehlah anak-anak punya cerita pulang ke kampung nenek. Bisa bertemu paman, bibi, dan sepupu-sepupunya."
Istriku lekas menutup buku yang baru dua lembar ia baca. Matanya lekat menatapku. Aura tegang menyergap di ruang kamar.
Hubungan istriku dengan ibunya tidak harmonis. Kami menikah tanpa kehadiran Ibu. Menjadi beban untukku saat mengetahui dengan jelas beliau tidak merestui hubungan kami. Namun, kini delapan tahun sudah kapal kami berlayar dengan dua malaikat kecil melengkapi.
"Setiap saat kamu selalu mengajak pulang. Dan selalu akan aku jawab, belum sekarang. Aku bukan nggak mau, tapi belum siap. Memang ibu mau menerima kehadiran kita? Soal pulang, aku sudah pernah pulang,"
"Sekali untuk mengantar kepulangan bapak. Itu enam tahun yang lalu. Kita baru sekali lebaran bersama mereka, tahun pertama menikah. Ayolah, demi anak-anak," bujuk rayuku padanya untuk yang kesekian ratus kali. "Ibu sekarang sendiri. Kamu juga tahu itu sejak enam tahun lalu," lanjutku berusaha meluluhkan hati kerasnya.
"Aku nggak punya siapa-siapa selain kamu dan anak-anak. Aku nggak ingin mereka hanya punya kita berdua. Mereka masih punya nenek dan sanak saudara yang lain. Kasihan kalau mereka nggak tahu."
"Mereka tahu, kok. Nenek jauh. Nanti kita pulang, kalau sudah tepat waktunya," sahutnya ketus.
"Kapan?"
Hening.
Aku besar di panti asuhan. Tak kenal siapa ayah dan ibuku. Apakah aku punya kakak atau adik? Entahlah aku tidak pernah tahu. Aku hanya punya ibu panti dan pengurus di sana serta teman-teman senasib sebagai keluargaku. Hal itulah alasan yang memberatkan Ibu merestui hubungan kami. Bibit bebet bobot.
Aku sebenarnya tahu di lubuk hati istriku, dia rindu ibunya. Rindu masakan ibunya. Sampai ia berulang kali mencoba resep yang sama hanya untuk mendapatkan cita rasa yang familiar di lidahnya. Tapi selalu saja ia mengelak.
Kadang aku tak sengaja mendengar ia bercerita tentang ayahnya kepada anak-anakku saat menidurkan mereka. Setelahnya ia kembali ke kamar dengan mata sembab. Ayah yang datang menikahkan kami. Memberikan restu dan nasihat untuk biduk kapal kecil ini. Di pemakaman ayah terakhir kali ia menginjakkan kaki di tanah kelahirannya.
"Sudah, ya. Kamu tahu ujung diskusi ini. Lain waktu kita bicarakan lagi." Ia beranjak ke tempat tidur. Menarik selimut dan membiarkanku menerima penolakan lagi.
"Nak, maafkan Ibu. Sungguh maafkan Ibu. Kapan kalian pulang? Ibu rindu putri kecil ibu. Ibu rindu cucu-cucu ibu, pasti sudah masuk sekolah, ya. Nak, apa boleh Ibu meminta kamu mengajak putri ibu dan cucu ibu pulang?"
Maafkan saya, Bu. Kali ini belum berhasil membujuk putri ibu yang keras kepala. Saya janji akan terus membujuknya. Kami akan pulang segera. Ibu bersabar, ya.
Pictures from Pinterest
4 notes
·
View notes
Text
"Jodoh itu di tangan tuhan nak" kata seorang wanita parubaya yang duduk di atas dipan jati.
"Iya buk, ibuk sering bilang kok. Mangkannya aku berdoa terusss biar aku berjodoh sama dia" sahut sri, yang juga duduk di atas dipan jati.
"Iyaaaa tapi kan gak sama jimin juga dong yaaaaaaaaaa, tolong kalau berdoa yang masuk akal lah" suara perempuan terdengar nyaring dari balik dinding triplek
Malam itu, sunarti sedang membahas jodoh dengan kedua putrinya , sri dan wati.
Sri sangat menyukai k-pop. Yang di mata kakaknya, wati, sangat aneh karena terlihat sok seperti orang kota.
"Sudah lah, berhenti lihat lihat kepop kepop itu. Gak suka aku lihat kamu kok menghayal terus. Kayak orang gila" sahut wati lagi dari balik dinding triplek
Wati posisi hamil muda. Suaminya bekerja sebagai TKI di india. Sedangkan sri masih SMA. Ayah mereka sudah lama meninggalkan mereka, kecantol janda kembang kampung sebelah.
...................
"Buk, aku tuh kuatir lo sama sri. Dia itu gapapa ta ? Kok makin lama makin kayak orang gila. Masa berdoa jodohnya orang korea itu. Lha yang di sini aja belum tentu dia dapet" bisik wati ke ibunya di tengah malam saat sri sedang terlelap
"Hus, jangan ngawur kalau ngomong. Sudah biarkan adikmu. Mungkin itu pelampiasan dia karena marah sama bapakmu. Doain aja biar dia lulus SMA nanti langsung di pinang anaknya pak rohmad" gumam sunarti
"Lho, jadi ta bu, anaknya pak rohmad ? Siapa namanya itu, lupa aku"
"Bagus namanya" kata sunarti
"Oh iya. Sebentar, tapi bukannya bagus itu sudah duda anak satu ya bu? Masa wati mau. Dia masih kecil" tanya wati heran
"Cuman itu cara biar anak anaknya ibu gak susah kayak ibu. Biar bagus duda, tapi bagus tanggung jawab. Toh dudanya karna istrinya meninggal kan, bukan kayak bapakmu" ucap sunarti sambil mengecek semua pintu dan jendela.
"Sudah, kamu tidur sana. Kesehatan mu lo. Bsk kamu kan harus ke bidan cek kandungan. Biar di antar sri. Mumpung dia libur" ucap sri sambil teresenyum ke wati
@kurniawangunadi @careerclass @bentangpustaka-blog
3 notes
·
View notes
Text
Anniversary
Sejak tanganmu menjabat tangan waliku untuk berikrar janji suci saat itu juga kulabuhkan sepenuhnya hidupku untuk berjalan bersama denganmu.
17 september 2022 akan menjadi tanggal bersejarah untukku, dan sebuah bentuk rasa syukur pada Tuhan karena telah mempertemukan aku denganmu.
Malam itu sampai pukul 23.00 aku menunggu kue anniversary atau bentuk kejutan lainnya di dalam kamar, tapi ternyata hening, sepi tanpa adanya tanda-tanda kejadian.
Sesekali aku sengaja mengambil minum ke dapur sambil melihat mas yaumal di ruang keluarga sedang santai menonton pertandingan bola kesukaannya.
"Kamu tadi malam lembur ya" tanya mas yaumal sambil menuangkan teh di cangkir milikku.
"Enggak" ketusku
"Ini tanggal berapa?" Tanyanya heran dengan sikapku yang berbeda dari biasanya.
Hampir saja aku kegeeran, aku kira dia bakal mau membahas anniversary kami ternyata tidak.
Saat didalam mobil menuju tempat kerja aku masih dengan sikap yang sama. "Mas kamu kenapa sih saat ulang tahunku kamu lupa, saat anniversary kita kamu juga lupa. Kamu anggap aku enggak sih. " fikiran ku mulai menjadi mikir yang enggak-enggak.
Sampai isak tangisku tidak terbendungkan lagi.
Dia tanpa sengaja melirik kearahku lalu spontan dengan nada panik menanyakan keadaanku.
Yang kamu marah sama aku. Ucapnya sambil mencari tempat pemberhentian sementara.
Aku hanya menganggukkan kepala dan enggan menatapnya.
"Kamu selalu lupa tanggal penting kita nadaku agak meninggi." Tapi dia sama sekali tidak menyanggahku.
Hampir 20 menit kami menepi dan saling memberi pendapat akhirnya akupun reda.
Pada akhirnya aku menyimpulkan bahwa dalam pernikahan tidak pantas kalau aku selalu menuntut pasanganku untuk selalu mengerti apa mauku. Dia tidak akan tahu jika aku tidak mengutarakannya.
"Mas, terimakasih ya untuk luasnya penerimaan kamu untukku. Maaf kalau aku masih banyak mau ini itunya. Happy anniversary buat kita berdua semoga ditahun ketiga kita merayakannya bareng jagoan kecil " ucapku sambil menatap tampan parasnya
3 notes
·
View notes
Text
Cerpen: Setelah Delapan Belas Tahun
Sejak usia dua belas tahun, ibuku menjadi satu-satunya orangtua yang kupunya. Ayahku belum meninggal. Mungkin ceritaku akan lebih mudah jika ia sudah meninggal saja. Tapi kata orang mau bagaimanapun dia adalah orangtuaku. Kata mereka delapan belas tahun adalah waktu yang terlalu panjang untuk menyimpan dendam. Tapi inilah aku, perempuan pendendam yang bahkan tidak bisa memaafkan ayahku sendiri.
Ayahku adalah laki-laki paling jahat yang kukenal. Dia pemabuk, berjudi, sering memukuli istri dan anaknya, gemar berutang kesana-kemari dan keburukan lain yang terlalu melelahkan jika harus kusebut semua. Aku tidak habis pikir mengapa Ayah dan Ibu bisa bertemu dan menikah. Padahal Ibuku adalah orang yang baik, baik sekali. Dia perempuan penurut dan pekerja keras serta berasal dari keluarga baik dan terpandang. Berkali-kali tubuhnya dijadikan samsak sasaran kemarahan Ayah, Ibu tetap memaafkan. Dia menutupi segala keburukan Ayah dengan sangat rapi dan tetap memperlakukan Ayah dengan amat baik. Oh, satu-satunya kesalahan Ayah yang tidak bisa Ibu maafkan dan menjadi sebab perpisahan mereka adalah perselingkuhan Ayah dengan Tante Marni, sahabat Ibuku sendiri.
Setelah berkali-kali gagal dan tersesat hingga nyaris memilih untuk menua sendirian. Akhirnya aku bertemu dengan laki-laki yang mau menerimaku secara utuh. Dengan syarat tetap mengurus Ibu hingga tua, dengan kondisi keluargaku yang sedikit banyak membentuk caraku berlaku, dengan keras kepalaku dan semua sifatku yang penuh kekurangan, ia dan keluarganya bersedia menerima. Prosesnya amat cepat dan mudah. Jadilah aku dan Bagas kini sepasang kekasih yang telah bertunangan. Akhir bulan ini kami akan menikah.
Tidak ada masalah berarti dalam persiapan pernikahan kami. Tidak seperti cerita-cerita yang kami baca sebagai referensi. Dari semua persiapan, tinggal satu masalah yang tersisa. Sedewasa apapun anak perempuan saat hendak menikah, ia tetap butuh perwalian Ayahnya.
Ternyata Ayah masih tinggal di kota lahirku, kota asal keluarga besarnya. Berbekal informasi yang kudapat dari Ibu—entah bagaimana Ibu tahu. Dengan mengerahkan segala usaha, akhirnya aku menemukan alamat rumah Ayah yang baru. Aku menguatkan diri untuk menemuinya dan meminta restu. Ibuku sudah berpesan ini dan itu, berkali-kali menyuruhku untuk bicara dengan santun, membawa buah tangan, dan berbasa-basi walau tidak lama.
Ayah dan perempuan itu masih bersama. Mereka bahkan punya foto keluarga di ruang tamunya. Sesuatu yang selalu membuatku iri ketika berkunjung ke rumah teman. Sepertinya Ayah bahagia dengan tiga orang anak. Terlalu bahagia hingga bahkan tidak pernah mencari tahu tentang aku yang juga anaknya.
Setelah kusampaikan maksud dan tujuanku, Ayah kembali berulah. Ayah berkata bersedia menjadi wali jika aku dan suamiku kelak mau menanggung biaya ketiga "adik-adikku" hingga selesai kuliah.
Aku terdiam, wajahku merah padam. Aku benar-benar marah dan kehilangan kata-kata. Bagaimana bisa setelah delapan belas tahun dia masih menjadi laki-laki tidak tahu malu dan berbuat seenaknya?
"Aku pamit Yah, ternyata manusia memang tidak bisa berubah. Terima kasih tidak memberiku alasan untuk merasa bersalah", aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap bicara santun. Sebab aku anak Ibuku.
Aku bangkit dari tempat dudukku, Bagas menatapku dan memberi isyarat agar aku bisa sedikit lebih sabar dan duduk kembali. Aku menarik lengan Bagas, memaksanya agar mengikutiku pergi dari rumah itu.
"Tanpa restuku, kamu tidak akan pernah bisa menikah! Dasar gadis tua tidak tahu diri!", ujarnya memakiku.
Aku berlari sekencang-kencangnya. Bagas menyusulku tanpa bicara apa-apa.
Setelah delapan belas tahun, hatiku kembali hancur sebab Ayahku sendiri.
3 notes
·
View notes
Text
Ujian Menunggu
Sejak 2019 hingga tahun baru ini aku dan mas Abim kemana – mana masih berdua, kontrakan kami terasa sepi, tapi bahagianya karena masih banyak memiliki waktu berkualitas berdua. Bersyukur kedua orangtua kami baik dari mama maupun Ibu tidak mempermasalahkan hal yang sensitive ini, tentang momongan.
Entah sudah habis berapa juta untuk kami konsultasi ke dokter specialist kandungan, menurut mereka aman, normal tidak ada kendala dari pihak suami maupun isteri.
Barangkali sesuatu ditunda karena hendak diberikan yang terbaik di waktu yang menurutNya tepat
Barangkali apabila itu diberikan diwaktu sekarang, akan ada hal yang tidak baik akan menghampiri
Barangkali kami sebagai calon orangtua harus memantaskan diri terlebih dahulu
“Kami akan selalu mengusahakan dan menunggu kedatanganmu malaikat kecil”
@langitlangit.yk @careerclass @bentangpustaka-blog
1 note
·
View note
Text
“Aku Benci …”
“Tir, besok Sabtu temenin gue jalan yuk”.
“Hmm, ayo deh. Emang lo mau kemana Kak? Gue ngikut aja ya”, ucap Tiara setengah ragu.
Sebetulnya, pekan itu adalah pekan terberat dalam sebulan belakangan bagi Tiara. Pekerjaannya sedang datang bertubi-tubi, rutinitas akhir bulan. Dia ingin membayar hutang tidurnya di akhir pekan. Tapi apalah daya, teman baiknya di kantor memintanya untuk menemani berjalan-jalan.
Masih teringat bagaimana Riris pertama kali menyapa Tiara di hari pertamanya bekerja. Riris adalah seniornya, masuk dua tahun lebih dulu. Sapaannya renyah, membuat Tiara menemukan rasa nyaman saat bersamanya. Tiara tahu bahwa memasuki lingkungan baru bukan perkara mudah baginya. Ia terlahir dari keluarga kurang mampu, mengandalkan beasiswa di setiap jenjang sekolahnya. Bekerja di ibukota juga bukan perkara yang mudah. Ia tidak terbiasa dengan hiruk pikuknya, juga orang-orangnya yang terlihat mentereng. Keberadaan Riris adalah suatu hal yang berarti baginya. Dia tahu betul bahwa Riris adalah seorang anak dari pejabat daerah. Sekalipun demikian, Riris memang ramah kepada semua orang tak terkecuali. Tiara menemukan sosok yang jadi panutannya.
Tapi ia sedang merasa lelah. Ajakan Riris tak pernah berubah tiap pekannya.
Pikirannya berkecamuk sesaat sebelum menimpali ajakan Riris.
‘Capek banget minggu ini. Kenapa ya?’
-----------
Akhir pekan pun berlalu. Tiara telah melanglang buana hingga ke Bandung. Sesampainya di kos, ia termenung. Melamun, lama sekali. Dalam pikirannya hanya muncul satu kalimat.
‘Kenapa ya, aku tetep capek? Padahal aku baru jalan-jalan, sampai Bandung bahkan’.
Bisikan kecil itu muncul tiba-tiba di pikirannya, tapi ia masih bisa mendengarnya.
‘Tir, kamu terlalu takut ditolak. Setakut kamu mengingat masa-masa sekolahmu yang tidak pernah diterima karena kamu miskin’.
‘Dasar, people pleaser lu Tir!’
Air matanya menetes perlahan. Masih dengan ekspresi datarnya. Dia benci dengan dirinya sendiri. Dia benci terlahir dari keluarga miskin.
0 notes
Text
[MALAM]
“Ma, kenapa namaku Lail?”, tanya seorang gadis kepada wanita paruh baya disampingnya yang tidak lain sang ibu.
“Kenapa memangnya?”
”Yaa cuman pengen tahu.”, balas Lail.
“Pertama, karena Lail lahir malam. Kedua, karena karya sastrawan Nezami.” jawab sang ibu dengan singkat.
“Terus hubungannya apa?”
“Ini baca dulu, kalau sudah sampai halaman akhir pasti paham”, ucap sang Ibu setelah memberikan sebuah buku yang cukup usang kepada sang anak.
“Kan tadi cuman nanya, kok malah disuruh baca”, sungut sang anak.
“Kalau nggak baca, yaa nggak tahu artinya.” balas sang ibu.
Lail pun menuruti dan membaca buku tersebut dan menghabiskan beberapa siklus tenggelam dan terbitnya matahari. Hingga tiba di halaman terakhir ...
“... 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘯𝘺𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘶𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶; 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘯𝘤𝘶𝘭 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶; 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘵𝘢𝘵𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘶𝘫𝘶 𝘬𝘦 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘦𝘫𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶 ...” -𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘫𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢, 𝘔𝘢𝘩𝘦𝘴𝘢-
Lail pun termangu dan paham ketika mendapati nama sang ayah di halaman terakhir buku usang yang baru ia khatamkan, Layla dan Majnun.
0 notes
Text
Harta Karun
“Bapak ini kopinya ya, ibu taruh diatas meja”, suamiku menjawab singkat masih sibuk menyiram tanaman didepan rumah dengan selang. “Ibu duduk sini sebentar temani bapak”, tambahnya. Aku menurut. Mas Firman sudah sering seperti ini, meminta ditemani duduk minum kopi. Biasanya kami membahas banyak hal sambil santai menikmati sore.
Hari ini tepat 15 tahun usia pernikahan kami. Sudah tidak muda memang, namun selalu kusyukuri apapun yang terjadi selama pernikahan ini. Terutama hadirnya mas Firman sebagai suamiku. Bagiku menemukan suami sepertinya bagaikan menemukan harta karun. Aku sangat beruntung. Ia tidak berubah. Tetap berusaha menepati janjinya saat mempersuntingku dulu.
-----------------------------------------
“Arifa, itu didepan ada nak Firman, katanya mau ketemu kamu” panggil mama didepan pintu kamarku. Aku menggerutu. Ada apa lagi sih orang itu kesini, bukannya waktu itu sudah kutolak. Lantas kukenakan kerudung dan pergi keruang tamu. Mas Firman duduk dikursi. Pandangannya kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Iya mas, ada apa ya?” sapaku singkat. Kemudian dia menanyakan waktu kosongku, ingin membicarakan hal serius bersama papa mama sekalian. “Lusa malam bisa Insyaallah mas, nanti kusampaikan pada papa mama”. Tak lama ia pamit pulang.
Mas Firman adalah teman dekat Mas Diki, kakakku. Mereka sudah bersahabat sejak masih kecil. Kami sudah saling mengenal sebab ia sering datang kerumahku untuk main atau sekedar menjemput kakakku. Dua minggu lalu aku sempat bertemu Mas Firman ditemani Mas Diki disebuah café. Ia mengatakan ingin memiliki hubungan serius denganku. Namun kutolak mentah-mentah.
Aku belum siap. Luka hatiku belum juga pulih. Enam bulan lalu, kekasihku memilih menikah dengan wanita pilihan orangtuanya tanpa kabar apapun. Bahkan aku mengetahui pernikahannya dari sahabatku. Padahal seminggu sebelum itu, ia berjanji akan datang kerumah melamarku. Sebelum ini aku bahkan sudah dua kali gagal menikah.
Tiga tahun setelah tamat SMA, seorang laki-laki yang merupakan anak rekan kerja papa berniat menikah denganku. Kami berkenalan dengan singkat, 5 bulan kemudian persiapan menuju sah nyaris purna. Tapi takdir berkata lain, 4 hari sebelum hari-H Tuhan menjemputnya lebih dahulu melalui lakalantas saat hendak mengunjungiku. 2 tahun kemudian aku sempat akan menikah dengan kekasihku. Dan lagi, 3 minggu sebelum acara aku mendapatinya bermesraan dengan seorang perempuan.
Aku sudah muak dengan kata cinta. Itu hanya omong kosong belaka. Aku tak ingin menikah. Aku bisa menghidupi diriku sendiri. Tapi Mas Firman kekeuh, ia datang hari ini mungkin ingin membuktikan bahwa ia benar-benar serius. Lusa ia akan datang kembali. Tiba-tiba Mas Diki datang ke kamarku sambil membawa secarik kertas yang dilipat mirip surat. Titipan Mas Firman katanya.
Tanpa ragu kubuka kertas itu. “Dik Arifa, kamu pasti mengerti arah pembicaraan saat aku datang dua hari lagi. Aku tahu kamu punya banyak kekecewaan dengan lelaki. Tapi kumohon percayalah denganku. Bila kau memberikan kepercayaan itu, aku tidak akan pernah mengkhianatinya. Kamu akan selalu jadi nomor satu untukku. Percayalah. Pikirkanlah kembali jalan apa yang akan dik Arifa ambil dalam dua hari kedepan”.
Dan aku seperti tersihir. Entah mengapa hatiku terdorong untuk mempercayainya
0 notes
Text
Flash Fiction: Vidya dan Toko Buku
"Lama banget mas aku nggak kesini. Ih seneng banget rasanya" mata Vidya berbinar mengagumi rak-rak yang berderet berisikan buku-buku berjajar rapi. Suara musik saxophone menambah syahdu suasana. Tangannya meraih sampel novel yang terbuka. Bau buku baru, aduuh..harumnyaa.. Vidya tak kuasa menahan senyum lebarnya.
Reza terkekeh melihat istrinya, "Iya kayaknya terakhir waktu kamu hamil ya. Berarti sudah setahun lebih"
"Ma..ma.. tu.. na.. na.." bayi mungil dalam gendongan Vidya menunjuk-nunjuk lego warna warni yang telah tersusun di rak ujung ruangan, "Ooh.. adik mau lihat kesana yaa?" Tanya Vidya.
"Eh, yaudah ayok sama ayah ya le, mama biar me time dulu" Reza mengulurkan tangannya bersiap menggendong Emran.
"Makasi banyak, yah"
"Iya, aku keliling ke lantai atas juga ya ma, nanti aku susul kesini"
Vidya mengancungkan jempolnya, "Oke. Dadaaah emran..."
Vidya berkeliling menyusuri rak dengan berbagai genre. New Arrival, Best seller, Fiksi, Bisnis, Buku Anak, Biografi, Motivasi, tak ada yang luput darinya. Ia berulang kali meraih buku, membaca sinopsinya, menaruh lagi. Tidak terasa satu jam telah berlalu.
Reza kembali ke lantai satu, Emran rewel. Sepertinya dia mulai bosan dan lapar. Reza berjalan mencari Vidya. Menyusuri rak Biografi, Motivasi, Fiksi, Sosial, New arrival, Hobi. Ia tak menemukan istrinya, "Kemana dia? Apa nyusul keatas ya?"
Saat hendak menaiki tangga di sisi paling utara, ia menemukan istrinya sedang sibuk membolak-balik halaman buku anak, "Lho, kamu disini, ma? Aku nyari kamu disana dari tadi"
"Eh? Iya Yah. Yaampun udah hampir sejam aku disini. Nggak kerasa" Vidya menaruh kembali boardbook yang sedang dipegangnya.
"Lha iya. Dulu kan kamu suka banget itu baca yang disana" Satya menunjuk buku-buku untuk orang dewasa, tempatnya dulu ia selalu menemani Vidya. Ia memang tak begitu suka membaca, tapi ia senang memperhatikan istrinya yang bahagia saat membaca.
"Iya ya Yah, aku juga batin gitu. Sekarang rasanya kok lebih excited cari buku buat Emran ya?" Vidya tertawa.
Satya balas tertawa. Ternyata selama kami menikah, kesenangan dan prioritas kami berubah, ya?
instagram
#5cc#5cc9#dioramacareerclass#pernikahan#keluarga#toko buku#cerpen#flash fiction#fiksi kilat#Instagram
0 notes
Text
Melesat Bersamanya
Tidak seperti Jumat sore biasanya, sore ini Danu tidak langsung pulang ke rumah. Ia meminta Rahmad, lelaki muda yang saat ini bekerja di bawah Danu, untuk menemaninya mencari kue dekorasi tercantik serta buket bunga berwarna pastel yang harumnya semerbak sekota Magelang.
“Wah ada acara apa, Mas? Anniversarry ya? atau ulang tahun Mbak Arum?”
“Haha bukan keduanya, Mad. Tapi bagi saya, ini momen yang spesial.”
“Apaan, Mas? Saya boleh tau ga? Bikin penasaran."
"Kamu taukan kalau Arum lagi sibuk-sibuknya membangun daycare?"
"Iya, Mas. Saking sibuknya sampai menirus pipinya saya lihat."
"Haha iya, jujur saya senang sekali melihat Arum riweuh dengan apa yang dia geluti saat ini. Bukan karena kurusan, ya. Tapi saya senang melihat sosok ambisius yang ada dalam dirinya kembali."
"Dulu, Arum itu wanita karier banget. Kemudian, memutuskan resign karena ingin mengurus keluarga dan menjadi ulur tangan saya saat merintis usaha. Karena sekarang usaha sudah stabil, saya ingin giliran Arum untuk berkarya dan menebar manfaat. Waktunya gantian, saya menjadi ulur tangan Arum dalam mewujudkan mimpinya," lanjut Danu.
"Masya Allah, Mas Danu. Saya ikut bangga mendengarnya."
"Saya ga tau apa kriteriamu dalam mencari pasangan, Mad. Tapi yang saya ingin tekankan carilah pasangan yang mau membersamai langkahmu dan ingin bertumbuh bersama. Sehingga nanti kalian akan saling mengisi dan mendukung impian masing-masing."
"Iya, ya Mas. Terkadang saya suka mikir, nanti dipertemukan dengan perempuan yang gimana, ya? Bisa komitmen ga menerapkan visi misi dalam menjalani rumah tangga?"
“Hmm kamu pasti udah tahu kalau jodoh itu udah rahasia Allah. Yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar. Bukannya Allah itu tergantung prasangka hamba-Nya? Yaudah sekarang foku upgrade diri saja, jadi kelak akan dipertemukan dengan perempuan yang mengupgrade dirinya juga. Orangnya pasti ada kok, belum dipertemukan saja."
“Aduh dalem banget obrolan ke toko bunga hari ini, tapi makasih, Mas Danu. Saya jadi semakin semangat membenahi diri.”
--
Sesampainya di toko bunga dan telah memilih bunga tercantik berwarna pastel, Danu mengunjungi kasir.
"Untuk ucapannya, mau tulis sendiri atau dituliskan, Pak?
"Saya tulis sendiri saja, Mas"
Melesatlah jauh, Istriku. Selamat berlelah-lelah. Aku di sini akan mendukung setinggi apapun mimpimu. - Pengagummu nomor satu, Danu.
--
Cerita fiksi kali ini terinspirasi dari caption Mas Gun untuk Mbak Apik hihi, Barakallahu Mas Gun dan Mbak Apik!
instagram
16 Maret 2023
Sumber foto: Pinterest
1 note
·
View note
Text
Mempertahankan?
Sebelum menikah aku menjalani sebuah hubungan spesial dengan seorang lelaki yang kukenal baik. Dua tahun hubunganku berlangsung baik meski dengan sedikit pertengkaran, itu hal biasa. Hingga akhirnya kami berdua memutuskan untuk lanjut ke jenjang yang lebih serius.
Mengapa aku begitu yakin padanya? Karena aku melihat keberaniannya. Dia berbicara padaku jika ingin serius denganku dan dia membuktikannya dengan mendatangi kedua orang tuaku, tanpa aku di sana.
Nak, Rafa datang menemui Ayah dan Ibu, katanya dia mau serius denganmu. Dia bilang ingin melanjutkan hubungan denganmu ke jenjang yang lebih serius. Ucap Ayahku melalui telepon.
Aku berpikir dia adalah sosok yang pemberani. Dan aku merasa yakin kalau dia yang terbaik untukku.
6 bulan berlalu semenjak dia mendatangi orang tuaku, dia kembali datang bersama keluarganya untuk meminangku.
Pernikahan kami berlangsung dengan lancar. Setelah menikah kami berdua memutuskan untuk tinggal sendiri, mengontrak di dekat tempat kerja kami. Ayah dan Ibu serta mertuaku mengizinkan.
Lima bulan pernikahan berlangsung aku dan dia masih belajar untuk adaptasi satu sama lain. Aku mencoba memahaminya begitupun sebaliknya.
Perjalanan rumah tangga kami selama lima bulan tentu tidak semulus jalan tol, melainkan ada saja cobaan yang harus dihadapi.
Selama lima bulan ini aku melihat watak asli dari suamiku. Dia sedikit tempramental. Namun aku mencoba untuk memahaminya, selagi dia tidak melukaiku.
Enam bulan pernikahan berlangsung, aku menemukan sisi lain dari suamiku. Saat aku baru pulang kerja, hal tak biasa aku temui di rumah, ternyata suamiku sudah pulang. Biasanya yang pulang duluan selalu aku.
Aku melihatnya duduk terdiam di meja makan.
"Eh kamu udah pulang, Mas," tanyaku.
"Kamu gak lihat aku di sini? Kalau aku di sini berarti aku sudah pulang," jawabnya.
"Ya kan aku mancing nanya aja, soalnya aku lihat kamu kok diam saja, lagi ada yang dipikirkan?," tanyaku.
"Udahlah capek, aku laper. Kamu gak masak?"
"Belum, aku kan baru pulang kerja," jawabku.
Prangg. Dia sengaja menjatuhkan gelas yang ada di meja dan pergi ke kamar.
Aku yang tidak terbiasa melihat hal seperti itu merasa kaget, tanpa sadar air mataku menetes. Apa yang salah dariku. Tidak biasanya dia sampai seperti itu. Aku bingung harus bagaimana, sebaiknya aku diam saja dulu, takut memperparah keadaan.
Pagi harinya aku mencoba membuka pembicaraan.
"Mas, maaf ya atas kejadian kemarin,"
"Udahlah aku mau berangkat kerja dulu"
"Loh kamu gak sarapan, ini sudah aku masakin"
Tanpa dijawab, dia pergi begitu saja.
Aku kembali meneteskan air mata, mengapa dia menjadi seperti itu.
Seminggu semenjak kejadian itu, dia berbicara padaku hanya sekadarnya saja. Dia lebih banyak diam, ketika aku bertanya masalah dia selalu tidak menjawab dan meninggalkanku sendiri dengan pertanyaanku. Aku bingung berada diposisi seperti ini. Selama aku hidup bersama kedua orang tuaku, belum pernah aku menemui mereka dalam keadaan seperti ini. Jika ada masalah, mereka berdua selalu memecahkan masalah bersama. Namun di kehidupan rumah tanggaku, aku merasa gagal. Aku merasa sesak, tidak tahu harus berbicara pada siapa. Kepada kedua orang tuaku, pasti mereka akan marah. Apa aku harus tetap seperti ini. Berusaha mempertahankan rumah tangga yang mulai retak dan aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya.
0 notes
Text
PERNIKAHAN DAN KELUARGA : “Tetap Bertahan Dalam Kapal, Jangan Lompat”
“Mas, aku udah bikin ayam kecap pedas manis buat kamu bawa ke kantor. Sarapan dulu ya.”
“Pagi sayang, makasih ya. Hari ini, kamu jadi ke Ibu buat nganter buah?” Mas Ihsan mengecup keningku.
“mmmm..”
“Lho,kok cuma mmm...ada apa?”
Mas Ihsan menatap wajahku penuh cemas, aku bingung harus bercerita dari mana. Aku takut ini akan menjadi beban pikirannya. Tapi selama ini kami sudah saling berjanji untuk tidak menyimpan rahasia apapun.
“Ibu kemarin nanya Mas, gimana kalo Mas Ihsan menikah lagi supaya punya keturunan.”
Mas Ihsan langsung memahami, mengapa suaraku terdengar parau. Hampir 3 tahun kami menikah tapi belum ada tanda-tanda akan momongan. Ibu sangat berharap, kami cepat memberinya cucu. Aku sebagai wanita memahami hal itu. Karena ibu sudah sepuh. Mas Ihsan adalah anak tunggal. Wajar jika beliau ingin segera menjadi nenek. Tapi rasanya pertanyaan itu membuat aku gamang. Aku begitu mencintai beliau. Aku suah menganggap Ibu Mas Ihsan adalah ibu kandungku. Namun rasanya diusia pernikahan kami yang memasuki usia 3 tahun, terlalu pilu untuk mendengar permohonan poligami dengan alasan keturunan dari ibu tercinta kami.
“Sayang, biar nanti aku yang bicara sama Ibu ya. Kamu yang sabar. Aku engga pengen poligami. Kita ikhtiar terus.”
“Tapi gimana sama Ibu, Mas? Ibu uda pengen gendong cucu.”
“Mas mohon, kamu jangan terfikir untuk mengiyakan pertanyaan Ibu soal poligami. Mas engga mau ada wanita selain kamu”
“Aku cuma pengen bikin ibu bahagia mas,karena aku udah sayang ibu kaya ibu kandungku sendiri.”
“Mas mengerti. Terimakasih sudah mencintai ibu sedalam itu. Tapi Mas ingin kita mewujudkan janji kita berdua dulu. Bahwa apapun badai yang harus kita lewati tidak ada orang ketiga. Hanya kita berdua. Soal anak, masih banyak cara yang belum kita ikhtiarkan. Mari kita usahakan dulu.”
Aku menatap wajah mas Ihsan penuh. Tuhan, terimakasih untuk laki-laki terbaik yang begitu mencintaiku.
--cerita dan tokoh hanya fiktif belaka--
-- HEAR YOURSELF-FLASH FICTION--
#5CC9
#5CC
#bentangpustaka
#flashfiction
#DioramaCareerClass
@langitlangit.yk
@bentangpustaka
@careerclas_id
0 notes