#5CC12
Explore tagged Tumblr posts
Text
Perjalanan kedua
Hari-hari masih terasa begitu berat, bertanya kembali kepada diri sendiri karir apa yang akan dijalani hari ini dan seterusnya benarkah selinier dengan jurusan kuliah yang kuambil selama 4 tahun.
Rasanya memamasuki fase diumur 20-35 tahun benar-benar masa pencarian dan butuh explore berbagai kegiatan untuk bisa menemukannya.
Dan kalaupun sekarang ada hal yang membuat kita tertarik dan 5 tahun kedepan ketertarikan itu berubah juga tidak buruk. Bukannya manusia itu dinamis. Suka berubah-ubah.
Pada salah teman yang baru saja menyelesaikan study magister psikolognya kubagikan sekelumit ceritaku ini dan dia berujar kalau tidak apa-apa kalau keputusan yang diambil sekarang kurang tepat. Karena bisa saja ada pembelajaran didalamnya.
Hidup ini bukan tentang kenapa hal itu terjadi untuk kita tapi, apa hikmah yang bisa diambil dari kejadian yang terjadi saat ini untuk pembelajaran
8 notes
·
View notes
Text
Menu Sarapan dalam Bertahan Hidup: Episode Dua
Surat selebaran itu ternyata undangan pembukaan Burjo di komplek seberang. Pemiliknya adalah saudara Ibu Warung Nasi yang baru merantau dari Kota Intan ke Kota Pelajar. Besok pagi adalah pagi perdananya. Katanya, akan ada menu nasi telur gratis. Tentu aku datang. Sudah begitu jarang hal yang gratis di dunia ini.
Esok pagi, aku akan datang untuk makan nasi telur.
Ngomong-ngomong soal telur, kasihan juga dia. Telur yang berserakan di toserba, pasar, atau warung, tidak punya kesempatan maupun pilihan untuk bertumbuh. Selain itu, telur harus dipecahkan, dicampur ini-itu, kemudian dibuat porak-poranda. Telur perlu porak-poranda dahulu hingga bisa dilabeli ‘layak’ untuk disantap.
Telur ternyata mirip denganku. Bedanya, aku yang porak-poranda ini tak yakin bisa menjadi ‘layak’ setelahnya. Aku malah tak tahu perlu diapakan dahulu agar menjadi sesuatu yang berharga. Barangkali telur di menu nasi telur lebih beruntung—sudah tahu perlu dicampur apa dan akan menjadi apa di akhir hayatnya.
Yang lebih sedih lagi, apakah perlu dihancurkan terlebih dahulu agar aku, dan mungkin manusia lainnya, bisa menjadi hal yang lebih berarti?
Pagi itu kudatangi undangan pembukaan Burjo. Saat melihat proses kehancuran telur, ada yang menepuk halus pundakku.
“Mel? Kok, di sini?” Ujarnya antusias.
Aku cukup terperanjat, tak kusangka akan kutemui orang yang mengenalku di tempat asing ini.
Aku belum siap. Aku tak tahu kapan aku bisa siap menghadapi orang yang kukenal. Pertanyaan yang terlontar selalu biasa bagi mereka tapi menusuk bagiku.
"Hai, Mar." Kupaksakan senyum merekah di bibirku.
Bersambung.....
9 notes
·
View notes
Text
Kejutan untuk Awan ( Part 02 )
Aku menengadahkan kepala menatap langit malam ini. Cerah namun tanpa bintang-bintang hanya ada satu bulan sabit ditengah awan. Bagiku langit selalu menenangkan seriuh apapun duniaku saat ini, langit selalu bisa memberikan sepaket kebahagiaan dan keindahan yang tak pernah kudapat semenjak hari itu.
Hari dimana aku memulai babak tunggalku untuk benar-benar berjuang sendiri. Setelah lulus sekolah dasar, ibu dan bapak sepakat mengirimku ke asrama diluar kota jauh dari tempat tinggalku dengan dalih agar aku bisa belajar lebih mandiri dan berjanji mengunjungiku beberapa bulan sekali. Meski nyatanya hanya ibu ataupun tante dari ibu yang terkadang mengunjungiku bergantian, sekedar untuk mengahadiri rapat antar wali murid atau mengambil rapor hasil belajarku. Dan bodohnya aku selalu berusaha memahami, mungkin bapak ibu sibuk dengan urusannya atau mungkin ini cara bapak ibu mendidik anak tunggalnya agar bisa mandiri. Enam tahun penuh dari SMP hingga SMA kuhabiskan di asrama karena kata Ibu tak usah pulang sebelum aku menamatkan sekolahku disini, buang-buang biaya untuk pulang. Lagi-lagi aku pun tak mempermasalahkannya dan berjanji akan menjadi lulusan terbaik untuk memberi kejutan bapak ibu agar bangga.
Dan saat itu saat hari kelulusan ku tiba, aku benar-benar menjadi lulusan terbaik, saat itu pula Ibu hadir dengan membawa kejutan untuk ku, kejutan dengan hadir bersama seorang laki-laki yang katanya harus kupanggil dengan sebutan Ayah. Ayah yang selama ini membiayai sekolahku, bukan Bapak, katanya. Ayah yang tak kutahu alasannya mengapa harus ku panggil dengan sebutan Ayah. Ayah yang dengan bangganya menerima ucapan selamat dan memperkenalkan diri kepada teman-temanku, kepada semua orang yang hadir di hari itu bahwa dialah Ayah dari lulusan terbaik tahun ini, Ayah yang aku sendiri saja sama sekali tak pernah mengenalnya. Ya Tuhan Kejutan macam apa lagi ini?
Aku mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi hingga tiba di sebuah ruang administrasi asrama dan hanya menyisakan kami bertiga, aku mencoba membuka suara untuk pertama kalinya,
“Kenapa Dia yang datang bukan Bapak”
Kalimatku sukses membuat dua pasang bola mata menoleh ke arahku, dengan tatapan yang tak bisa ku artikan.
“Lupakan Bapakmu itu, dan ini Ibu bawakan Ayah untukmu” napasku langsung tercekat mendengar ucapan ibu tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Ibu meninggalkan bapak demi laki-laki ini?” Aku tak percaya.
“Apa kamu bilang?” ucap laki-laki itu menimbrung
“Kenapa? Dimana bapak ku, kenapa anda yang datang?”
“Dasar anak tak tahu diuntung, kalo bukan karena saya, kamu tak bisa jadi lulusan terbaik, bapakmu itu yang ninggalin kamu dan ibumu, saya yang membiayai sekolah kamu, mau jadi apa kamu kalo tanpa saya, Hah..?”
“Saya nggak minta anda membiayai sekolah saya!”
Plakk…
Satu tamparan mendarat di pipi kiriku.
“Awan…. Minta maaf ke Ayahmu, Apa ini yang diajarkan di asrama selama 6 tahun, berani melawan orang tua,!”
Pandanganku kabur tanganku terkepal, gigiku menggertak berusaha menahan butiran-butiran kristal bening ini agar tak jatuh disini. Untuk pertama kalinya aku mendengar bentakan seorang yang selama ini aku jadikan sandaran dan segani.
“Bapak dimana? Apa benar bapak sudah tak peduli denganku?”
Aku hanya bisa bertanya dalam hati, sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan berharap ini hanya kejutan atau mimpi, ya meskipun aku tahu….. Ini kejutan nyata, teramat nyata dengan bekas dipipiku.
To be continued....
3 notes
·
View notes
Text
Pencarian Jati Diri
Episode 2
Dia menarik selimutnya menandakan dingin pagi menembus kulit tipis Rainy - akrabnya disapa si perempuan mungil itu. Tubuhnya menggeliat dan melihat jam di nakas samping tempat tidurnya - 03.30 WIB.
"Ah kenapa mataku berat sekali dibuka" keluhnya sambil menatap dinding langit di kamarnya.
Ternyata diingat-ingat dia tertidur setelah menangis semalaman. Kemudian dia berjalan menuju kaca hiasnya untuk melihat kondisi wajahnya, 'sembab' kata itu yang tergambar jika melihat kondisi wajah Rainy. Bergegas dia ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya agar teman kamarnya tak melihat wajah sembabnya.
Sesampainya di kamar mandi, dia mengingat perbincangan dengan ibunya tadi malam.
"Nak, habis dari mana? Kok angkat teleponnya lama sekali" Suara yang sangat kentara di gendang telinganya.
"eeeeeee.....tidak kemana-mana bu, tadi habis dari toilet" Jawabnya dengan sedikit berbohong agar ibunya tak khawatir.
"Suaramu kenapa nak? Kenapa serak? Lagi sakit kah?" Pertanyaan bejibun datang sekaligus hingga dia tak bisa menjawab, diam membisu.
"Atau kamu habis nangis? Iya kamu habis nangis nih" Duaarrr.....ibunya mengetahui dia habis nangis. Dia tak bisa mengelak lagi.
Air matanya turun kembali membasahi bajunya yang tak sempat kering dari tangis pertamanya. Ketegaran itu tak bisa dia pertahankan, rapuh dirinya malam itu.
"Ibu, maafkan Rainy belum bisa membanggakan Ayah Ibu dan keluarga. Rainy takut masa depan Rain seperti apa. Rain takut mengecewakan Ayah Ibu. Banyak kekhawatiran yang Rain rasakan" Dia mulai jujur kepada Ibunya tentang apa yang dia rasakan.
"Rain, Ibu lega kamu mau cerita. Kamu tuh anaknya diem, gk pernah cerita, kamu pendam sendiri. Kamu juga manusia yang gk selalu harus kuat karena sebagai anak pertama" Ibunya tau seperti sedang membaca pikiran si anak pertamanya.
Suara air mengalir menyadarkannya, ternyata bak air nya sudah penuh. Dia melanjutkan membasuh wajahnya yang belum tersentuh air. Segar air pagi itu, seakan menenangkan hati dan pikirannya.
Kemudian Rainy kembali ke kamarnya, lalu dia membuka laptopnya untuk menyelesaikan progres skripsinya yang terbengkalai kemaren malam. Sambil menunggu laptopnya hidup, dia cek handphonenya, ada pesan dari Ibunya yang tidak diharapkan.
Seperti disambar petir dipagi buta, masih subuh dan teman-teman kamar Rainy masih tertidur pulas. Ingin menangis tapi air matanya tak keluar, mungkin air matanya sudah habis semalaman.
"Tak enak hati membangunkan mereka yang tertidur dan memang sedang tidak sholat" batin Rainy.
"Aku harus bagaimana ini? aku mau minta bantuan ke siapa? Dia kah?" Tiba-tiba Rainy teringat nama seseorang diseberang sana. Tapi hubungan Rainy dengannya lagi tidak baik-baik saja. Sempat Rainy mengetikan pesan di room chat bersamanya, tapi dihapusnya. Ingin meneleponnya tapi diurungnya.
"Kalau tidak kepadanya aku meminta tolong, kepada siapa lagi yang bisa aku repotkan"
bersambung
2 notes
·
View notes
Text
Ep. 2
"Hey," tiba-tiba terdengar suara lelaki, aku tersentak. "Nai, lagi baca apa sampe ga nyadar gue udah di depan?", ujarnya sambil menarik kursi dan duduk di depanku.
"Lagi searching tentang RHD dan CA."
"Kenapa tiba-tiba?"
"....Kalo gue shifting career gimana?"
"Shifting career kemana?"
"Ke FK."
".... Serius?"
"Serius."
"Beneran?"
"Beneran. Menurut lo gimana?"
"...."
"Coba kasih nasehat dulu buat gue." Aku meminta sarannya karena aku tau, dia salah satu orang terbijak yang aku kenal. Aku sudah mengenalnya sejak SMA dan masih sering bertemu.
"Hmm," dia menghela napas. "Gue tau lo pasti ga lagi bercanda. Kalo menurut gue ya..." sejenak dia terlihat seperti sedang berpikir. Apa kata-kata yang tepat untuk kudengar saat ini.
1 menit berlalu.
2 menit berlalu.
Dia kembali menarik napas dalam dan menghembuskannya. Kemudian dia mulai membuka mulutnya kembali dan berbicara, "Yang pertama. Apa gabisa jadiin ketertarikan lo sekarang jadi side job atau hobi? Atau peririsannya, misal penelitian herbal untuk kepentingan medis? Kalo emang lo cuma mau pelajarin ilmunya ya. Lo kan udah jalanin 2 tahun kuliah di pertanian. Apa ngga sayang?"
Aku mendengar nasehatnya sambil menatap meja dan menganggukkan kepala.
"Kedua, kalo lo beneran emang serius niat, coba tanya dulu ke diri sendiri. Apa lo cuma suka ilmunya aja seperti hobi? Berdasarkan pengalaman kuliah gue di FK, suka aja ga cukup. Harus mampu juga... Jangan gegabah. Jangan cuma ternyata lo lagi jenuh. Sholat istikharah dulu. Pikirin baik-baik dan matang-matang."
Dia masih melanjutkan, "Ketiga. Orang tua lo sanggup ga buat biayain sekolah lo lagi? Kita masih jadi beban orang tua."
Kalau dirincikan banyak juga yang harus dipertimbangkan. Aku bertanya, "Apa gue coba dulu aja ujian diem-diem, kalo keterima baru bilang orang tua?"
"Selama kita dibiayai orang tua, lo harus bilang. Komunikasiin yang baik. Itu hak mereka."
Aku terdiam. Itu bener.
Apa ada cara untuk meringankan beban uang sekolahku ke orang tua?
Kelemahan sistem pendidikan di Indonesia. Misalkan berasal dari kalangan ekonomi rendah, banyak beasiswa yang mau menanggung. Kalangan ekonomi tinggi bisa pake biaya pribadi. Kalau dari kalangan ekonomi menengah? Pas-pasan. Gaada yang mau nanggung.
Pilihannya ada tiga. Mau jadi orang yang pinter banget, jadi orang yang kaya banget, atau miskin banget.
"Coba lo pikirin lagi baik-baik. Kalau emang lo serius, gue akan support lo. Gue tau lo orang yang kayak gimana.", dia menekankan kembali nasehatnya.
Planning adalah tugasku sekarang.
"Thanks ya. Gue selalu bener nanya nasehat ke lo."
Bersambung.
5 notes
·
View notes
Text
Cerita Sendu (2)
Laut adalah seorang teman yang kutemui di ekskul radio. Laut adalah penyiar di sekolah sementara akulah yang menyiapkan hal-hal yang Laut baca. Seiring banyaknya temu dan bicara, aku dan Laut menjadi semakin akrab. Walaupun pendiam dan tidak punya terlalu banyak teman, Laut cukup dikenal oleh warga sekolah. Karena aku dan Laut sangat akrab, banyak orang mendekatiku karena menganggap aku adalah gerbang menuju palung hati Laut. Mereka bertanya tentang banyak hal. Pertanyaan paling sering adalah apakah Laut punya pacar atau siapa yang sedang Laut taksir. Sebagian juga bertanya hal-hal kecil seperti makanan favorit Laut, zodiak Laut, buku apa yang sedang dibaca Laut, hingga jalur transportasi umum yang Laut tumpangi menuju rumah.
Selama ini Laut terlihat tidak tertarik, Laut juga tidak pernah membicarakan tentang orang yang ia suka kepadaku. Aku sering memancingnya dengan banyak pertanyaan, tapi Laut tetap tidak menjawab. Hal ini terus saja berlangsung hingga tahun ketiga SMA.
Suatu hari di tahun ketiga SMA, Laut terlihat sangat gelisah. Sebagai teman yang baik dan menganggap Laut istimewa, aku mencoba memastikan kondisinya. Di hari ketiga dari kegelisahan Laut, ia akhirnya menerima ajakanku untuk bicara.
Kami bertemu di warung mie ayam langganan, aku datang dan memesan duluan. Tidak butuh waktu lama, Laut pun tiba. Laut bicara banyak hal sebagai awalan, kami terus saja bicara dan bercanda seperti biasa. Lalu selang beberapa waktu pembicaran mulai habis, aku dan Laut mulai kehabisan obrolan dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Ditengah kesibukan jariku membalas pesan masuk dari aplikasi pesan, Laut memecah keheningan.
"Ndu, sepertinya aku suka Nala. Menurutmu gimana?"
Hari itu aku merasakan hal aneh yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Hatiku rasanya menyempit. Deru napas dan aliran darahku rasanya berbeda dari biasanya. Aku tidak ingat aku menjawab apa, tapi sepertinya aku berpura-pura terkejut sebab terlalu bahagia.
Ternyata sebagaimana kebanyakan penggemar yang ia punya, Laut juga menjadikanku gerbang dari hati seseorang. Sedihnya orang itu adalah Nala, sahabatku sendiri.
4 notes
·
View notes
Text
Kapan?! #2
Bimbingan Skripsi (dan Hati)
Setelah hibernasi yang panjang, akhirnya gue balik juga ke kampus. Sialnya, di hari pertama gue nggak cuma dipermalukan di depan adik-adik tingkat oleh petugas admin fakultas tapi juga kena damprat dosbing tergalak seantero kampus. Kegalakan Bu Reva yang nggak pandang bulu udah jadi buah bibir turun temurun nggak cuma di kalangan mahasiswa tapi juga dosen. Beliau adalah jelmaan malaikat sekaligus iblis. Nggak ada dosbing lain yang begitu peduli dengan mahasiswanya seperti halnya Bu Reva, tapi dekan sekalipun kalau ngelihat Bu Reva mulai mengeluarkan taringnya, pasti langsung mengambil langkah seribu.
Belakangan, gue baru tau kalau Bu Reva nggak berhenti nanyain keberadaan gue ke teman-teman seangkatan. Setelah berceramah selama satu jam dan sukses membuat otak gue pindah ke lutut, Bu Reva tak kuasa menahan tangis mendengar apa yang terjadi selama gue pergi. Meski dari luar tampangnya seperti antagonis, ternyata hatinya seperti Hello Kitty.
Setelah menceritakan semuanya ke Bu Reva, sekarang giliran Marsha yang menunggu penjelasan gue.
"Sorry banget ya Sha. Gue nggak bermaksud untuk pergi gitu aja. Tapi waktu itu, keluarga gue nyaris hancur. Setelah bokap meninggal, kita semua baru tau bahwa rumah yang selama ini kita tinggali, bukan punya bokap. Tiba-tiba aja, kita kehilangan tempat tinggal dan kita nggak tau harus kemana. Akhirnya, kita semua pulang ke kampung halaman nyokap di Lampung. Memulai semuanya dari nol. Itu adalah satu-satunya jalan yang bisa gue ambil saat itu, untuk menyelamatkan masa depan nyokap dan adik-adik. Maaf gue nggak pernah angkat telfon dan balas pesan dari lu. Gue . . . "
Marsha memeluk gue sebelum kalimat terakhir sempat terucap.
Kesedihan yang selama ini gue abaikan, kelelahan yang berusaha gue tahan, kenangan yang berusaha gue lupakan, kembali dalam satu kilatan waktu.
"Gue kangen banget Sha," ucap gue lirih, hampir tanpa suara.
TO BE CONTINUED
4 notes
·
View notes
Text
Lejar
Episode 2 // Alif
"Whoaaa sudah ada dua juta, alhamdulillah"
Aku melihat saldo paypalku hasil dari icon pack yang ku unggah di aplikasi desain. Alhamdulillah banyak orang yang menggunakannya, jadi ada persentase uang yang masuk padaku sebagai kontributor. Aku lalu membuka laman instagram yang sudah cukup sering kubuka dan telah aku idam-idamakan sejak beberapa bulan kemarin. Sebuah kelas desain dengan nominal yang cukup besar untukku. Namun menurut rekomendasi Kak Adi, mentor dan sekaligus seniorku, program tersebut sangat bagus. Pengajar dari kelas tersebut merupakan profesional di bidangnya. Belum lagi jejaring yang aku dapat disanapun akan sangat banyak.
"Tinggal 18 juta lagi. Insya Allah bisa, ayo semangat Alif." ucapku pada diri ini. Mencoba memperpanjang nafas konsistensiku.
Mungkin masih panjang untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Sebenarnya aku bisa saja minta tolong ke Bapak, tapi Bapak kan sudah pensiun, aku tak mau membuat kepalanya makin pening. Ditambah lagi, Bapak mana setuju aku ikut kelas desain intensif seperti ini. Lebih baik aku menabung sendiri. Aku yakin dengan ikhtiarku juga dengan doa-doa yang kupanjatkan, Insya Allah, Allah akan beri jalan.
Aku melihat jam disudut kanan bawah layar laptopku. 20.05. perutku sedikit lapar, aku berniat untuk mencari cemilan di kulkas, namun baru saja aku merentangkan punggungku yang cukup pegal, lalu pintu kamarku diketuk.
"Lif, Kakak boleh masuk?" Oh Kak Dinda.
"Masuk aja kak" Kak Dinda masih memakai pakaian kerjanya dengan tas ransel motif bunga-bunga kesukaanya. "Suntuk banget sih Kak mukanya. Habis lembur yah?" tanyaku.
"Ah masa sih? Segini masih glowing masa dibilang suntuk?" Jawabnya sambil duduk di pinggiran kasurku.
"Idih kepedean banget, eh kak aku lupa nanya, gimana CV ta'aruf Kak Adi kemarin, udah dilihat belum kak?" Aku teringat dua hari yang lalu Kak Adi meminta izin padaku untuk memberikan CV ta'aruf kepada kakakku.
"Udah sih, tapi nanti kakak pikirin dulu ya. Masih agak mumet nih, lagi banyak kerjaan. Ngomong ngomong, rekening kamu masih samakan?"
Aku jadi tidak enak pada Kak Dinda. Sepertinya momenya kurang pas untuk membahas ini.
"Masih sama kok. Kenapa? Mau kasih uang jajan yaa" aku segera mengecek handphoneku yang sedari tadi aku diamkan. Mataku terbelalak melihat pemberitahuan dilayar handphoneku.
"Kak Dinda! Ini banyak banget 15 juta buat apa?" Aku masih sedikit syok.
"Buat kamu bisnis Pecel Lele, beli gerobaknya dulu gih"
Aku terheran. Sejak kapan aku menceritakan ide tentang memulai bisnis pecel lele? Atau lebih tepatnya sejak kapan aku punya ide bisnis pecel lele.
"Ya nggalah, Lif" Kak Dinda terkekeh pelan "Kamu kan katanya mau ikutan kelas desain itu dari beberapa bulan yang lalu. Uang itu cukup kan buat bayar uang mukanya dulu"
Aku langsung memeluk Kak Dinda dengan erat. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku pun melepaskan pelukanku setelah beberapa saat.
"Makasih yah kak, nanti kalau aku sudah dapat pekerjaan aku traktir kakak makan pecel lele setiap hari!"
Kak dinda tertawa "Awas yah kalau bohong!"
Dari jarak yang cukup dekat, Aku dapat melihat wajah Kak dinda yang sangat lelah. Kepenatan tergurat jelas dimatanya. Kantung matanya pun sudah mulai terlihat. Baru saja aku mau bertanya pad Kakak, Ia berdiri dan beranjak keluar. "Kakak mau mandi dulu ah"
"Sekali lagi terima kasih yah kak." aku memberi bentuk hati kecil dengan jariku pada Kak Dinda. Ia tersenyum dan keluar dari kamarku.
Aku masih tak percaya dengan pemberian Kakak. Dari dulu kakak memang orang yang baik dan paling mengerti aku, mungkin karena kami hanya 2 bersaudara. Tapi, tetap saja aku masih tidak percaya kakak memberikan uang sebanyak ini untukku. Aku mengurungkan niat untuk mencari cemilan, perutku tiba-tiba terasa kenyang karena terlalu bersemangat untuk kembali membuka laman Instagram kelas desain.
“Lebih baik aku daftar kelasnya sekarang saja.”
Tak sampai 5 menit, aku sudah menyelesaikan proses pendaftarannya. Sepertinya kak Dinda pun sudah selesai mandi, aku bergegas akan menemuinya untuk bilang kalau aku sudah daftar kelas desain itu. Belum sempat kubuka pintu kamarku, aku mendengar suara gedebuk cukup kencang. Kukira itu barang yang jatuh, sampai aku mendengar jeritan ibu yang histeris.
"BAPAK, TOLONG PAK!"
Bersambung.
2 notes
·
View notes
Text
“Kak, makan dulu yuk. Lapar. Aku belum makan juga niih, nungguin kak Lily pulang.” ajak Rara sambil tersenyum tipis. Kemudian Rara berjalan perlahan menghampiri Lily dan menggandeng tangannya keluar kamar.
Segera Lily tersadar dari lamunannya. Langkah kakinya hanya bisa mengikuti kemana Rara membawa. Dia tidak bisa menolak karena lengannya sudah terlanjur diapit erat oleh Rara. Lily kerepotan mengikuti langkah Rara.
Ibunya sudah duduk manis di kursi meja makan. Menyaksikan kedua anak gadisnya berjalan menghampiri. Disendokkan olehnya nasi ke atas piring masing-masing.
“Ayo buruan makan.” ajak Ibu sambil tersenyum.
Rara dan Lily segera duduk di meja masing-masing. Rara menuangkan air ke dalam gelas Lily bergantian setelah gelas miliknya penuh.
“Kak Lily tumben pulangnya lebih malam kak. Biasanya sampe rumah paling 30 menit bedanya sama aku. Kok ini sampe 1 jam lebih kak. Lagi sibuk banget ya kak di kantor?” tanya Riri penasaran sambil tangannya khusu’ memilih-milih potongan ayam goreng. Ia mencari potongan yang paling banyak kulitnya.
“Gak juga, Ra. Cuma tadi di jalan lebih macet dan rame. Nunggu KRL juga lebih lama dari biasanya.” jawab Lily.
“Tuh kan. Makanya apa ibu bilang. Kayak adik kamu punya kendaraan sendiri. Jadi gak buang-buang waktu di jalan. Lagian kenapa sih kamu nekat banget kerja jauh-jauh. Kenapa gak ambil yang deket aja. Kayak adik kamu. Gajinya gede, bisa nabung beli kendaraan, kantornya juga gak jauh-jauh amat.” bak kereta api, ucapan ibunya beruntut keluar tanpa tedeng aling-aling. Lily dan Rara hanya saling terdiam mendengarnya.
Lily hanya terdiam. Dia sudah menduga sebelumnya. Perkataan ibunya ini akan terucap lagi seperti malam-malam sebelumnya. Sudah biasa. Meski begitu, sakitnya tetap sama. Perasaan kecewanya tetap ada. Sesak di dadanya masih datang. Tenggorokannya tercekat. Dia malas membantahnya. Lebih tepatnya adalah lelah.
Lelah karena perlahan tanggul pertahanannya roboh. Lily mulai goyah dengan keputusan yang ia ambil. Semakin lama ia makin ragu menjalani hidup yang ia pilih sendiri. Bekerja sesuai passion, nyatanya membuatnya tertekan, cemas dan depresi. Bukan, bukan karena pekerjaannya. Tapi tekanan dari ibunya. Lily lelah karena terus dibandingkan dengan adiknya.
"Apakah aku harus mencari pekerjaan yang baru yang sesuai dengan keinginan ibu?” pikir Lily.
(bersambung)
5 notes
·
View notes
Text
Cerita Pradipta: Hilang Arah (bagian 2)
Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Seperti malam biasanya, Radipta baru sampai di kamar kosan-nya pada jam tersebut.
“Alhamdulillah, akhirnya bisa merebahkan tubuh juga juga setelah seharian bekerja.”, kata Radipta sambil segera beranjak ke tempat tidurnya.
Sembari berbaring diatas kasur, Radipta pun mulai merenung. “Setiap hari rutinitasnya sama, pulang larut malam, lalu berangkat ke kantor lagi pagi-pagi, bekerja, pulang malam kembali dan repeat.”
Kalau rutinitasnya begini terus, tanpa arah perkembangan yang jelas dan dengan gaji yang tidak seberapa, maka.. kapan aku bisa sukses? Kapan bisa membahagiakan orang tua dan memberangkatkan mereka Haji? Kapan bisa punya rumah sendiri? Kapan siap financial untuk menikah?
Di momen tersebut pikiran Radipta mulai berkhayal lepas.
Ia mengumpamakan kehidupannya saat ini bagaikan kapal yang terombang-ambing di tengah lautan. Tanpa arah tujuan yang jelas.
“Ada yang salah. Boleh jadi selama ini Aku belum bisa memaknai kehidupan dengan baik.” ujar Pradipta. "Baiklah kalau begitu! Aku akan berusaha keras untuk mengejar target impian ku dan mengubah segalanya menjadi lebih baik" Seru Pradipta sambil mengepal tangan dan meluruskan lengannya ke atas.
[Bersambung..]
© Ariek Dimas
6 notes
·
View notes
Text
Perjalanan Bertemu Diri Sendiri -Bagian 2-
Aku terbangun pukul tiga pagi. Ibu membangunkanku dengan perlahan. Kubaca gerak bibirnya dan ia memintaku untuk melakukan sesuatu. Ibu setengah senyum. Sedang aku, rasanya masih pusing. Aku teringat pada pikiran terakhirku sebelum tidur semalam, sambil mengedipkan mata ke arah Ibu.
“Nduk, ayo bangun, shalat tahajud”, ucapnya yang kudengar samar-samar.
‘Oh, shalat. Buat apa sih? Toh aku tetep gini-gini aja nasibnya’, dengusku pelan dalam hati.
Aku mengangguk, setengah sadar. Terduduk agar Ibu segera pergi. Melegakan hatinya.
Tatapanku kosong mengarah kepada mukena berwarna merah maroon itu. Pemberian Bapak dari kerja kerasnya. Aku tertegun. Sepertinya cukup lama memandangi benda itu.
Aku teringat masa dimana aku sungguh menginginkan suatu hal yang baik, mengupayakannya sekeras yang kubisa, berulang kali (bahkan), tapi toh nyatanya impian baik itu tak pernah melintas di garis nasibku. Lantas, buat apa aku berdoa, meminta kepada Tuhan, jika Dia tidak mengabulkan apa yang aku mau? Padahal aku sudah berusaha mati-matian.
“Nduk, ayo”, Ibu muncul di depan pintu kamarku.
Ah sudahlah, dua rakaat saja.
0 notes
Text
Asmaradana #2
"Kamu itu kenapa mendadak gini to?! Gak pakai diskusi dulu sama Bapak!! Kamu gak menghargai Bapak sama Ibu disini??", Bapak terlihat marah dan kecewa saat aku mengutarakan keinginanku untuk pergi merantau.
Di sudut ruangan, terlihat ibuku yang sudah tidak mampu membendung air matanya. Anak semata wayangnya, yang selama ini ia "eman-eman", malah memilih untuk pergi merantau, keluar Jogja lagi.
"Sepertinya momennya tidak tepat", batinku
Memang aku mengutarakan keinginanku sehari setelah wisuda, terkesan mendadak. Namun aku sudah memikirkan ini semenjak aku selesai sidang skripsi. Hampir setiap hari aku survey tempat-tempat yang secara suasana tidak berbeda jauh dari tempatku berasal, agar memudahkanku dalam proses beradaptasi. Ada dua Kota yang masih menjadi opsi, ke arah Timur yakni di sekitaran Kota Malang (Jatim) atau ke arah Barat yakni di sekitaran Kota Bandung (Jabar). Setelah melalui beberapa pertimbangan, aku memilih ke sekitaran Kota Bandung. Aku ingin memperkaya pengalaman hidupku dengan culture yang berbeda.
"Memangnya kamu mau tinggal dimana kalau kamu pergi ke Bandung? Kita gak punya saudara ataupun kenalan disana", tanya bapakku
"Nggih, saya nge-Kos pak, Bapak Ibu tidak perlu khawatir. Saya janji bisa menjaga diri. Nanti saya pasti pulang kalau ada waktu libur", jawabku untuk meyakinkan beliau.
Malam itu terasa sangat panjang, Bapak Ibu meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Selama beberapa hari, aku tak pernah diajak bicara oleh beliau. Tapi tekadku sudah bulat, dan aku yakin bapak ibu sudah tahu watakku, kalau sudah bertekad ya tidak bisa diganggu gugat. "Kaku", begitu kata mereka kalau ditanya tentang watakku. Aku lebih suka menyebutnya dengan istilah "berprinsip".
"kamu kok tega meninggalkan ibu to Le", begitu kata ibu, mencoba meluluhkan hatiku.
"Kula nyuwun ngapura bu, tapi kula pengen padhos pengalaman, pengen semerap budayane tiyang nggihan (saya mohon maaf bu, tapi saya ingin cari pengalaman, ingin tahu budaya orang lain juga", kataku untuk meyakinkan ibu.
Seminggu kemudian, bapak ibu mulai luluh, mulai sadar kalau anak mereka serius dengan keinginannya. Mereka merestuiku untuk berangkat, meski sebenarnya berat hati mereka.
Turangga menjadi saksi perjalanan pertamaku dari Stasiun Tugu sampai stasiun Hall Bandung…
(Bersambung .... )
0 notes
Text
AKANKAN RUMAH YANG UTUH MENJADI MILIKKU?-Kehilangan disaat isi kepala belum mampu memahami.
“Juara Umum lomba karya ilmiah adalah Viola Rena Ayu”, suara gemuruh tepuk tangan mewarnai ruang aula sekolah dasar negeri impres 1 surakarta kala itu. Seketika aku bahagia, namun seketika air mataku jatuh, aku tak tau apa yang dirasakan oleh anak berusia 12tahun yang seminggu sebelum pengumuman lomba itu harus kehilangan kakek dan neneknya karena kecelakaan kendaraan umum. Tak ada yang menghampiriku dengan pelukan paling hangat. Biasanya, jika nama ku dipanggil sebagai juara, ada nenek dan kakek yang memberi ucapan selamat dengan kecupan hangat. Ayah, tidak pernah sempat untuk menemaniku. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya untuk menghidupiku. Sejujurnya, ada rasa sedih yang tidak pernah bisa aku utarakan kepada siapapun disaat aku melewati momen perlombaan ini. Di momen seperti perlombaan, aku selalu melihat para orang tua menemani anaknya dan memeluk teman-temanku dengan penuh kehangatan. Hadiah yang selalu aku harapkan dapat diberikan untukku.
Nenek dulu selalu meyakinkanku bahwa pelukanya dan kakek adalah cukup untukku. Nanti kalo Ayah ada waktu luang pasti akan bisa menemaniku. Aku kadang bertanya, apakah nanti Mama juga akan menemaniku? Mereka selalu terdiam. Pertanyaanku tak pernah terjawab oleh mereka. Setiap aku bertanya mengapa mereka tidak memberikan jawaban, mereka selalu memberikan senyum dan memelukku. Aku tak mampu memahami pelukkan mereka, aku hanya bisa terisak menangis kala itu. Dan kini ketika aku telah berusia 23 tahun, aku masih ingat betul rasanya dipeluk hangat oleh mereka. Namun, kini pelukkan itu tidak lagi bisa kurasa. Aku kehelingan mereka disaat aku akan menginjak bangku sekolah menengah. Duniaku tiba-tiba menjadi dingin sejak itu. Tidak lagi aku rasakan kehangantan yang selalu menjadi penguatku dulu.
#5CC #5CC12 #careerclassqlc #bentangpustaka
@langitlangit.yk
@careerclass_id
@bentangpustaka-blog
1 note
·
View note
Text
Sehelai Benang Asa (2)
"Ran! itukan motorku.." Hesti, rekan kerjanya yang tiba-tiba muncul dihadapannya mengagetkan Rani.
Kepalanya mendongak ke arah sumber suara. Satu detik, dua detik, tiga detik. Begitu menyadari perkataan Hesti, tangannya buru-buru menarik kontak motor yang sudah dia coba masukkan.
"Yaampun, sorry Hes! " Pantas saja motornya kok terasa tambah tinggi sampai ia harus agak jinjit.
Rani turun dari motor Hesti, pandangannya menyisir deretan motor yang cuma ada lima di parkiran butik. Motor matic hitamnya ternyata parkir dengan tenang satu deret didepan tempat ia berdiri sekarang.
"Magrib-magrib jangan kebanyakan ngelamun, Ran" Hesti terkekeh sambil memundurkan motornya.
Pikirannya memang sedang ruwet, saking ruwetnya malah membuatnya bengong. Jelas-jelas motor Hesti warnanya merah.
"Hehehehe... pantesan kuncinya aku puter-puter kok gak bisa" Rani menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Udara malam terasa sejuk dan cerah. Suasana yang pas untuk menyegarkan diri. Pikirnya, dia bisa jalan-jalan dulu keliling kota. Nostalgia melewati sekolahnya yang sudah setahun tak ia kunjungi sejak lulus SMA, lalu mengelilingi alun-alun kota, barulah dia pulang ke rumah.
Barangkali ada yang jual ronde?
Disaat ingatannya berputar soal ada tidaknya penjual ronde mangkal di alun-alun, hapenya bergetar-getar tidak sabaran.
Notifikasi sebuah pesan dari Bapak masuk ke handphonennya: Kemana saja Mbak, kok belum pulang?
Bayangan kehangatan kuah jahe yang agak pedas ditambah sensasi kenyal-manis dari bola-bola tepung ketan berisi kacang sekelebat hilang. Tanpa membuka pesan Bapak dulu, Rani segera memacu motornya langsung menuju rumah.
Benar saja, Bapak sudah menunggu di teras.
(Bersambung)
0 notes
Text
Percakapan Teman Seperjalanan:
Episode 2
1 note
·
View note
Text
Damar #2
Semarang, kota ini akan menjadi pijakanku untuk menjelajah empat tahun lamanya. Rasa takut dan cemas merasuki perasaan dan hatiku saat ini. Ada banyak kekhawatiran membumbung dalam khayal, apakah aku bisa? Apakah aku mampu? Apakah aku bisa bertahan?
Berjuta tanya di pikiranku ini dipecahkan oleh suara Mas Damar, yang seolah dia mendengar keramaian pikiranku, “Dek, kamu mampu dan bisa, percayalah. Jadi, mau beli apa dulu nih? Perabot kosan atau ke swalayan?”
Segala perlengkapan dan kebutuhanku sudah dipenuhi oleh Mas Damar. Sesekali aku bertanya, darimanakah uang Mas Damar? Mas Damar hanya tersenyum dan menjawab, “tidak penting itu dek”. Ah, selalu dengan jawaban yang sama. Aku merasa berhutang banyak dengan Mas Damar.
Sehari berlalu dengan cepatnya dan sore sudah mulai menyapa. Tiba saatnya Mas Damar pamit untuk meninggalkanku di kos ini seorang diri. Sudah sangat detil rasanya Mas Damar memberikan penjelasan dan berkeliling sekitar kos hanya untuk melihat warteg, swalayan, tukang foto kopi dan toko kelontong.
“Dek, ini ada uang sedikit untuk kamu pegang sementara dan ponsel ini untukmu, biar bisa tetap menghubungi Biyung dan Bapak di rumah.”
“Tapi Mas, bagaimana dengan Mas Damar nantinya?”
“Mas bisa cari lagi Dek dan ini laptop untuk bekal kamu kuliah. Maaf Dek, meskipun bekas tapi ini masih layak pakai, insyaallah.”
Bibirku terasa kelu kali ini, aku tidak bisa mengatakan apapun. Mas Damar, lagi-lagi aku banyak berhutang. Ia rela membeli laptop bekas milik kawannya sekolah dengan mencicilnya. Melihat semangat Mas Damar, aku menjadi takut jika semua tidak sesuai dengan harapannya. Takut gagal. Aku takut membuat Mas Damar kecewa dan menjadikan semua ini sia-sia.
“Dek, sekarang kamu sudah dewasa, Mas Damar pesan jaga dirimu baik-baik. Manfaatkan kesempatanmu disini untuk belajar banyak hal. Biyung, Bapak dan Mas Damar selalu mendoakanmu dari rumah untuk keselamatan dan kesuksesan kamu disini. Mas Damar percaya sama kamu Dek.”
Ketakutan ini semakin terasa, air mata terbendung di pelupuk. Aku hanya mengangguk menjawab pesan Mas Damar. Kamipun bersalaman dan Mas Damarpun berlalu. Air mataku meleleh, mengiringi kepergian Mas Damar. “Aku janji mas”, ucapku lirih.
Hari demi hari, aku lalui semua kehidupan ini sendiri. Segala payah dan susah aku hadapi demi masa depan yang lebih cerah. Akan tetapi, nyatanya kehidupan ini sangat berat untuk ku pikul sendiri, terlebih saat aku memulai untuk bekerja paruh waktu di toko kelontong dekat kos sebagai penjaga toko. Semua aku lalui karena tidak ada pilihan lain selain bertahan dan berjuang.
Perjuanganku tidak mudah. Semua harus aku jalani dengan sepenuh hati. Sesekali aku telepon Mas Damar untuk sekedar mengobati rinduku dengannya dan melanjutkan menyusun mimpi kita bersama untuk memperbaiki nasib keluarga. Kami selalu berkabar satu sama lain, entah melalui SMS ataupun telepon suara, hampir setiap hari.
Meskipun demikian, hingga menjelang usainya semester pertama ini, Bapak masih belum mau mengobrol denganku. Apa boleh buat, aku sudah sejauh ini melangkah dan Mas Damar sudah sepenuh hati berkorban. Sesekali Biyung, menampakkan suaranya untuk menanyakan kabar tanpa melanjutkan obrolan yang lebih panjang. Sikap dingin Bapak sangat sesak di dada.
“Sing sabar yo dek”
Hari-hari beratku berlalu dengan cepatnya, tak terasa yudisium perdanaku datang juga. Aku percaya dan yakin, semua hasilnya akan baik dan aku percaya dengan apa yang Mas Damar sampaikan. Selama ini, Mas Damar tidak pernah salah.
Perlahan aku memberanikan diri untuk membuka sistem, perlahan aku masukkan nama dan kata sandi untuk membukanya. Bismillah, dan segala rasa percaya diriku seketika sirna, tertulis disana nilai IP 3.0. Masih jauh dari nilai Cum Laude yang ditargetkan untuk tetap mempertahankan beasiswa. Kali ini Mas Damar salah.
Hari berganti menjadi bulan, lalu bulan menjadi tahun. Masa kuliah ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Berapa kali kegagalan menghampiriku, mulai dari gagal Cum Laude, kalah lomba, gagal menjadi kandidat mahasiswa berprestasi dan segala kegagalan lainnya dalam dua tahun perjalananku kuliah disini.
Kuliah dan bekerja, adalah rutinitas kehidupanku sekarang. Siapa lagi yang bisa menghidupiku selain diriku sendiri. Siapakah yang peduli denganku selain aku sendiri. Aku merasa seperti terjebak dalam labirin kehidupan. Semua ini gara-gara ide gilanya Mas Damar. Aku benci dengan Mas Damar yang memaksaku berkuliah dengan iming-iming masa depan yang cerah. Dasar, pembual ulung!
Tiba-tiba Mas Damar meneleponku disaat aku sedang kalut dengannya, terdengar suara ia memberikan salam dan menanyakan kabar. Aku sampaikan bahwa hari ini aku merasa sangat gagal. Mas Damar dengan gaya santainya mengatakan, “semua akan bisa kamu lalui”. Ya memang aku bisa melaluinya, tapi tidak dengan keberhasilannya.
Sesekali aku menengok ke belakang, mengandai-andai jika waktu itu mengikuti apa kata Biyung dan Bapak, mungkin sekarang aku sudah bekerja memberikan sepeser uang untuk keluarga. Jika waktu dapat diputar lagi, mungkin hubunganku dengan Biyung dan Bapak akan baik-baik saja.
Tak jarang pikiran bertanya, “apakah aku durhaka hingga sepedih ini jalan yang harus aku lewati?”
(Bersambung...)
1 note
·
View note