#‘Anies Baswedan Harapan Perubahan’
Explore tagged Tumblr posts
Text
Ramai, Senam dan Jalan Sehat Sekber Relawan Anies di Pantai Padang
PADANG | KBA – Hari Minggu pagi, 27 Agustus 2023, di pantai Padang terlihat cerah. Panas mentari masih hangat di pantai yang tak jauh dari Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Relawan Anies Baswedan berkumpul di tepi pantai nan elok tersebut. Relawan yang tergabung Sekber Kolaborasi menggelar senam bersama, acara rutin tiap bulan di minggu keempat. Irama musik terdengar rancak.…
View On WordPress
2 notes
·
View notes
Text
TURISIAN.com - Menginspirasi banyak orang di dunia bisnis dan memberikan pemikiran-pemikiran inovatif, menjadikan sosok satu ini sering diikuti berbagai kalangan. Terutama, bagi mereka yang ingin mengembangkan dunia usaha. Baik di sektor Usaha Kecil Mikro, Menengah (UMKM) maupun corporate. Henry Husada, pengusaha Tionghoa yang juga CEO Kagum Group ini memang seperti tak ada lelahnya untuk berbagi ilmu bisnis. Seperti yang terlihat saat berlangsungnya diskusi di Beatriss Resto and Cafe di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Henry Husada, pengusaha Tionghoa yang juga dijuluki sebagai Bapak UMKM Jawa Barat, menjamu kehadiran iBarisan Anies Baswedan Indonesia (Barnabas). BACA JUGA: Kabupaten Bandung Punya PLUT, Diperuntukan Bagi Komunitas UMKM Kehadiran para relawan yang memperjuangkan capres Anies Baswedan ini, turut didampingi oleh Juru Bicara Timnas AMIN, Billy David Nerotumilena. Mereka tidak hanya datang untuk bersilaturahmi, namun juga memperoleh pengetahuan berharga tentang tata cara berbisnis yang baik dari Henry Husada Dimana, yang reputasinya telah merambah sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang. Di tengah gemerlapnya bisnis, Henry Husada tak hanya berhasil meraih sukses, namun juga dikenal sebagai pemimpin yang peduli. BACA JUGA: Teten Masduki Ingin Mendorong Era Baru UMKM Indonesia Melalui Digitalisasi Banyak Memberikan Bantuan [caption id="attachment_20471" align="alignnone" width="690"] Henry Husada, CEO Kagum Group. (Foto: Turisian.com/Duta Ilham)[/caption] Termasuk, banyak memberikan bantuan kepada para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Hal ini menjadikannya pilar bagi dunia bisnis di Jawa Barat. Sementara itu, kehadiran Barnabas dalam acara tersebut juga tidak main-main. Ada Ketua Barnabas, Besli Pangaribuan, dan Pembina Barnabas, Rafael Pakpahan. Ditambah, dengan dua anggota Barnabas, Melva Sihombing dan Yanti sehingga menambah suasana diskusi semakin meriah. Tidak ketinggalan, para tokoh disabilitas juga turut hadir, di antaranya Kenichi dari komunitas Disabilitas Netra dan Muhamad Fauzi dari komunitas Disabilitas Tuli, serta Nurindah Harahap. BACA JUGA: Workshop Pengembangan Bisnis Hadir Melalui Program PESATkan UMKM Menariknya, Barisan Anies Baswedan Indonesia atau Barnabas bukanlah semata organisasi politik biasa. Mereka lahir dari dorongan sekelompok umat Kristiani yang mendambakan perubahan positif di negeri ini. Dorongan itulah yang mendorong mereka untuk mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Kesempatan ini tidak hanya menjadi momen silaturahmi, tetapi juga peluang bagi kedua belah pihak untuk saling menginspirasi dan bertukar pengalaman. Dengan sentuhan kebersamaan dan semangat untuk perubahan, pertemuan ini memberikan harapan baru bagi dunia bisnis dan politik di Tanah Air. ***
0 notes
Text
surat untuk pak anies setelah pemilu.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat malam, Pak Anies. Maaf sebelumnya Bapak, saya tidak akan memanggil 'Abah' seperti panggilan kesayangan Humanies-Humanies lainnya. Hanya untuk saat ini. Saya panggil Bapak karena kepanjangannya adalah Bapak Presiden Republik Indonesia 2024. Selain doa dan harapan yang masih terus berpijar, juga biar inklusif, Pak. Abah kan hanya milik warga Sunda, nggih. :D
Bapak, nama saya Maryam Tazkia Masyadah dan saya adalah Humanies garis keras. Saya sangat bangga apalagi saya nyocok-nyocokin juga dengan gerakan #PelajarHumanis yang saya gagas dalam organisasi sekolah saat ini, jadi saya nyebut diri saya sendiri #PelajarHumanies, ya, Bapak. Nama bukan sekedar nama, tapi semoga manifestasinya nyata dalam mengawal perubahan.
Pak Anies yang terhormat, saya adalah pemilih pemula. Baru di tahun ini. Dan 14 Februari 2024 itu, adalah hari pertama saya berusia 17 tahun. Hadiah ulang tahun saya adalah (serasa) dirayakan se-Indonesia, sorak-ramai yang penuh harap, menggemakan jutaan doa untuk bangsa, saya jadi merasa seolah itu untuk saya juga. Dan amalan baik pertama yang saya lakukan setelah menginjak usia 17 ini adalah memilih njenengan, Bapak. Memilih pasangan AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) sebagai Presiden dan Calon Presiden RI 2024 yang saya selalu doa dan aamiin-kan.
Bapak, hari itu saya bahagia dan sedih pada waktu yang sama. Saya bahagia untuk ulang tahun saya yang dirayakan oleh ucapan dan doa dari banyak orang. Saya bahagia untuk suara saya yang berhasil tertampung dalam TPS, suara saya untuk perubahan. Suara saya untuk negara yang lebih baik. Suara saya untuk kepemimpinan Bapak yang saya yakini, akan menuntun Indonesia yang transformatif dalam memberi keadilan serta kemakmuran untuk semua. Sepanjang hari itu saya gembira, banyak senyum dan tertawa. Banyak doa juga dalam lubuk hati terdalam.
Bapak, tapi saya lebih sedih pada malam harinya. Ketika saya membuka dunia maya dan melihat hasil sementara Pemilu yang sudah mulai bersliweran, menunjukkan hasilnya. Memperlihatkan persentase angka hasil hitungan cepat dari suara rakyat untuk Bapak-Cak Imin serta kedua paslon lainnya -saya tidak mau menyebut namanya, saya cuma ingin membahas Bapak.
Pak, tiga bulan terakhir ini saya berada dalam barisan perubahan. Meski cuma lewat jejak digital, meski cuma bermodalkan laptop, jaringan internet mencuri Wi-Fi sekolah dan asrama, serta platform Twitter tempat saya berselancar. Mengikuti politik dengan riang gembira, melihat dan memvalidasi para intelek pendukung Bapak, lantas ikut memposting dukungan penuh terhadap Bapak yang benar-benar dari hati. Ya, cuma lewat dunia maya, Bapak, tapi nyatanya semua itu mengubah pikiran saya, mencerdaskan saya, dan memantapkan hati nurani saya untuk memilih perubahan. Saya sudah mencak-mencak ketika Bapak mengadakan Desak Anies di Jogja loh Pak, karena saya masih sekolah dan tidak bisa mengikutinya. Kepengin sekali padahal.
Lalu, di hari H itu hingga besok dan besoknya hingga beberapa hari kemudian ini, hasil dari seluruh ikhtiar kita mulai terlihat. Ya, terlihat sedikit-sedikit, berproses, mengikuti angka persentase yang masuk dari seluruh suara rakyat. Tapi bukannya malah membuat saya senyum optimis, Pak, saya malah jadi makin hilang harapan. Kehilangan harapan dengan rasa marah. Marah lagi, bukan kecewa. Saya marah dengan kecurangan yang ada, walau Bapak menyebutnya hanya "ketidaknormalan, ketidaksesuaian". Kecurangan itu mengkhianati Bapak, tidak peduli niat dan ikhtiar kami bersama melawan rezim dan berbagai penyelewengan dari lawan (bedebah!). Kecurangan itu nyata dan di depan mata, bahkan yang sedang terpejam pun bisa merasakan bayangan di depannya. Tapi tak pernah ditindaklanjuti dengan tegas. Ya, bagaimana mungkin? Para penyelenggara pemilihan yang seharusnya netral itu sendiri ialah prajurit-prajurit yang melakukannya. Prajurit si Pengecut yang menghalalkan semua cara keji untuk bisa merebut kekuasaan yang diimpikannya. Pak Anies yang terhormat, tapi rasa sedih saya lebih dari itu. Saya sedih karena ternyata demokrasi cuma omong-kosong yang dijadikan label tak bermakna. Demokrasi benar-benar cuma nama. Seperti nisan di atas tanah kuburan yang malah dihiasi tarian kegembiraan penuh nista. Ia sudah dibunuh mati tanpa bela, dieksekusi diam-diam di tengah hutan belantara, di belakang orang-orang yang masih memperjuangkannya. Tapi, buktinya terlihat jelas. Darahnya masih bercucuran di tempat penusukannya, setelah dihimpit ke sudut ruangan ditodong pisau bekas menggoret Sang Agung Konstitusi untuk mengangkat si bajingan nepotisme di kursi takhta milik ayahnya. Orang-orang baik pejuang demokrasi, hanya bisa menangisi kepergiannya. Sementara orang egois hanya mengucap belasungkawa tak bercita.
Bapak, saya menangis sekarang. Saya menangis untuk surat getir yang saya tulis malam ini. Saya cuma ingin demokrasi bangkit kembali, lalu tegak dengan sempurna menaungi Indonesia. Tapi sekarang rasanya tidak pantas jika untuk para bandit Indonesia. Saya ingin berteriak pada mereka yang di bawah sana, "teruslah bodoh, jangan pintar! Teruslah mundur dan terbelakang. Demokrasi telah tiada, jangan harap negaramu akan sentosa!" Ya, negara ini terlalu buruk untuk berdiri atas nama demokrasi. Negara ini terlalu bodoh untuk dipimpin seorang intelektual. Semua cendekia dipandang jenaka, berdusta di hadapan data, bahkan jutaan tumpah-darah dan nyawa yang hilang hanya dianggap angka. Bedebah mereka semua.
Sungguh maafkan saya, Bapak, menulis surat untuk Bapak namun penuh caci-maki pada lawan (bedebah!). Ini suara saya, ini isi hati saya, ini duka saya untuk tanah air yang masih saya cinta. Saya tidak suka Bapak dicurangi. Rezim dzolim! Pak Anies yang terhormat, Bapak akan melawan, bukan?
Bapak Anies, saya akan tetap menyisakan ruang untuk yakin dan optimis. Meski sepertinya sudah tidak karuan lagi para pesimis berdesak-desakan di pikiran saya. Tapi saya akan tetap melanjutkan hari ini dengan penuh harap, dan doa saya selalu untuk memperjuangkan perubahan. Ya, mengawal Pemilu ini tanpa buta.
Apapun yang terjadi ke depannya, Pak, apapun hasil yang ada nanti, Pak Anies-lah pemenangnya. Bagi saya, Bapak adalah pemenang sejati, mengarungi "kontes" ini dengan cara yang amat terhormat. Langkah yang selama ini Bapak tempuh adalah sebenar-benar manifestasi demokrasi, adalah sebenar-benar manifestasi tujuan mencerdaskan bangsa, adalah sebenar-benar gerakan perubahan. Saya tidak pernah menyesal berada di barisan kehormatan, saya bangga dan akan terus mengawalnya hingga titik darah penghabisan.
Bapak yang terhormat, terima kasih sudah menjadi figur luar biasa yang selalu menjawab para binar harap yang sedang dahaga. Kami yang selalu haus jawaban atas aspirasi, kami yang selalu kering-kerontang sebab telah lantang berteriak demi harga diri, dan kami yang selalu berjuang agar demokrasi tidak mati. Terima kasih telah mencetak sejarah di Pesta Demokrasi (Palsu) Indonesia 2024 ini, memberi kami ruang dan kalimat tenang, mengubah sistem kampanye yang selalu melibatkan dan memberdayakan. Kami bangga berada di belakang Bapak. Dan kami masih senantiasa menyuarkan optimis meski digempur kecurangan kotor yang menyerang.
Tapi, tidak, Bapak. Indonesia tidak akan perang saudara. Indonesia tidak akan pecah belah dan kami biarkan jadi baladah. Mereka yang melenceng dari jalan, adalah sasaran edukasi kami ke depan. Tentu, sembari tetap mengikuti langkah Bapak dalam jembatan #Perubahan. Jembatan yang akan diguncang kanan-kiri, ditiup puting-beliung tak tahu diri, ditarik arus deras tak berhati, tapi tidak akan pernah jatuh karena niat ikhlas dalam nurani.
Pak Anies yang terhormat, pemenang sesungguhnya, saya sedih namun tidak akan lama-lama. Benar kata Bapak, ini perihal Allah mengizinkan atau menyelamatkan Bapak. Maka saya akan berserah pada-Nya, karena saya yakin keselamatan Allah adalah untuk semua.
Semoga Pak Anies dapat membaca surat ini dari manapun. Dari binar-binar dalam para relawan yang setia menatap Bapak, dari ribuan postingan dan komentar positif-optimis di media sosial untuk username @aniesbaswedan dan jajarannya, atau mungkin dari kekuatan sang pena dan kertas, senjata emas para sastrawan. Ini dari saya, segelintir penggurat tulisan, kepada Bapak. Lewat para pujangga, akademisi, dan cendekiawan, saya titipkan.
Tetap semangat. Barakallah fiikum. Semoga Allah meridhoi setiap langkah kita. Aamiin.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
1 note
·
View note
Text
Anies Baswedan Bangkitkan Harapan Perubahan di Tapanuli Tengah
Suarapena.com, JAKARTA – Anies Baswedan, calon presiden dengan nomor urut 1, yakin bahwa penduduk Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, mengharapkan perubahan. Ia mengajak mereka untuk mewujudkan impian bersama ini dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. “Terbukti, suasana di Tapanuli Tengah sangat luar biasa. Masyarakat berkumpul untuk mendorong perubahan bagi Indonesia. Kita harus melakukan…
View On WordPress
0 notes
Text
Cak Imin Berharap PKS Tetap Jadi Pilar Utama Koalisi Perubahan
JAKARTA – Muhaimin Iskandar alias Cak Imin berharap agar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap berada di dalam koalisi yang mengusung dirinya dengan Anies Baswedan atau pasangan AMIN. Harapan tersebut disampaikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu setelah berziarah di Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat (Jabar) pada Jumat (8/9/2023). “Saya bersama Mas Anies Baswedan berharap…
View On WordPress
0 notes
Text
Minta Kader dan Caleg NasDem Door to Door Sapa Warga Trenggalek
TRENGGALEK | KBA – Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Mirza Ananta, tak kenal lelah menyapa kader. Ini karena target khusus dipatok Mirza, yakni meraih enam kursi di DPRD setempat dari sebelumnya belum mendapat kursi legislatif. Target kedua, calon Presiden (capres) Anies Baswedan menang di Trenggalek. “Kader harus rajin bergerak. Turun ke bawah menyapa dan…
View On WordPress
2 notes
·
View notes
Text
Catatan “Jongos” Dua Cagub DKI
“In matters of style, swim with the current; in matters of principle, stand like a rock.” —Thomas Jefferson Tulisan ini bertujuan supaya membagikan apa yang saya ketahui, dari kacamata seorang jongos yang merasakan bekerja di bawah dua orang ini: Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan. Dan mengapa dari awal mendengar Pak Anies maju, saya sudah bersuara mengapa Pak Ahok yang lebih layak memimpin DKI Jakarta. ++ Memori saya kembali kepada masa enam tahun lalu. Nama Indonesia Mengajar baru mulai bergaung, dan sosok Anies Baswedan sangat lekat dengan program ini. Program yang mulia. Saya mendaftar dan diterima. Teringat waktu pertama kali mendengar beliau langsung memberikan pidato penerimaan kepada kami, para Pengajar Muda istilah kerennya. Saya hanyut dengan berbagai persuasi yang dilontarkan. Memang sungguh inspiratif. Mantra yang sering didengungkan adalah merajut tenun kebangsaan. Barangkali inilah saatnya adanya organisasi yang lintas kultur dan agama yang memang layak untuk didukung anak muda yang ingin merasakan Indonesia sesungguhnya, tanpa hanya dari membaca koran. Saya menangis waktu upacara bendera terakhir bersama para Pengajar Muda sebelum dikirimkan ke daerah. Warna kulit, asal dan agama kami berbeda-beda, tetapi kami dengan spirit yang sama, khidmat upacara menghormati bendera Merah Putih. Setahu saya, Pak Anies adalah penggagas dan pimpinan Indonesia Mengajar, namun tidak terlibat dalam kepengurusan hariannya. Kepengurusan harian dijalankan oleh orang-orang muda di bawah Hikmat Hardono dengan kantor di Jalan Galuh II Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Teringat bahwa Pak Anies sering ditanya oleh kami Pengajar Muda, apakah Indonesia Mengajar ini menjadi batu lompatan ke arena politik, utamanya ke pencalonan presiden. Beliau umumnya memberikan jawaban yang tidak pasti. Tapi secara bahasa, Pengajar Muda memahami bahwa gerakan Indonesia Mengajar ini memang murni sebuah gerakan yang ingin “merajut tenun kebangsaan” tadi. Banyak persuasi lain yang dilontarkan Pak Anies yang lumayan inspiratif, seperti “melunasi janji kemerdekaan”, “setahun mengajar seumur hidup menginspirasi”. Untuk anak muda yang ‘galau’ dan lagi semangat-semangatnya ingin berkontribusi kepada bangsa dan negara ini, inspirasi dan persuasi semacam ini sangatlah efektif. Beberapa dari antara kami sampai rela meninggalkan pekerjaan di luar negeri dengan gaji dan fasilitas wah dan bergabung menjadi Pengajar Muda. Menjadi Pengajar Muda dan langsung terjun ke desa menjadi bagian dari warga dengan berbagai karakter dan tantangannya. Saya sendiri mengambil cuti tanpa gaji selama setahun dari firma hukum tempat saya bekerja. Saya juga mempersiapkan diri untuk tidak digaji dari Indonesia Mengajar. Hebatnya, Indonesia Mengajar memberi remunerasi yang tidak kalah dengan gaji karyawan swasta! Indonesia Mengajar benar-benar program yang luar biasa, membuka mata generasi muda kepada kondisi Indonesia sesungguhnya, sambil melatih kepemimpinan. ++ Februari 2013, saya bangga mendengar Pak Anies menjadi ketua Komite Etik KPK kasus bocornya sprindik Anas Demokrat. Selang 7 bulan kemudian, keadaan total berubah. Pak Anies maju pada konvensi Partai Demokrat, ingin menjadi capres menggunakan kendaraan yang menjadi gunjingan banyak orang dengan isu korupsi Hambalang. Kekecewaan di antara Pengajar Muda banyak meski tak terucap. Kami mulai bertanya-tanya apakah Indonesia Mengajar ini murni sebuah gerakan di bidang pendidikan, atau hanya batu loncatan? Spekulasi muncul tanpa jawaban pasti. Apakah Pak Anies sudah memikirkan resiko bila sampai ada sponsor yang menahan dana atau menarik dana, karena takut dana yang diberikan ke Indonesia Mengajar malah digunakan untuk kepentingan politik tersebut? Langkah Pak Anies ini saya sayangkan sekali karena membawa resiko kepada suatu program baik yang baru mengembangkan sayapnya. Apakah ambisi politik Pak Anies menjadi capres ini segitu besarnya? Untunglah Pak Anies tidak memenangkan konvensi partai itu. Di dalam hati kecil saya, saya memang berharap beliau terlebih dahulu membuktikan diri dengan memegang jabatan yang cukup strategis, yaitu Menteri Pendidikan. Jabatan itu sangat sesuai dengan jalan hidup Pak Anies yang adalah Rektor Paramadina dan penggagas Indonesia Mengajar. Cerita saya beralih ke kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Saat itu saya sudah bekerja di suatu firma hukum. Saya sangat bersyukur atas kemenangan Jokowi itu. Jokowi adalah simbol harapan, dan representasi dari suksesnya masyarakat biasa yang bisa menembus lingkar kekuasaan dan menjadi orang nomor satu di Republik ini. Setelah mendengar pemberitaan di media bahwa Jokowi-JK membentuk tim transisi, Saya berinisiatif menghubungi Pak Anies mengucapkan selamat sekaligus menanyakan, kira-kira apa yang dapat dibantu. Tak disangka, beliau langsung merespon baik dan menawarkan saya untuk membantu beliau. Saat itu beliau adalah Deputi D Tim Transisi, yang mengurus kesejahteraan rakyat. Di titik inilah saya lebih jauh mengenal sisi profesional Pak Anies. Mirip seperti yang saya lihat di Indonesia Mengajar, beliau sering menyampaikan pandangan atau gagasan pada level yang makro. Jarang sekali saya mendengar turunan teknis dari ide besar Pak Anies. Karenanya, saya dan tim sangat beruntung karena kami dipimpin oleh Ibu PW, seorang eksekutif yang mengambil cuti dari suatu firma konsultan internasional. Sehari-hari kami bekerja di bawah bimbingan Ibu PW, dan Pak Anies jarang sekali terlihat berkantor bersama kami. Dari media kami tahu bahwa pada masa itu beliau cukup sering menemani Pak Jokowi. Saya pribadi menyadari bahwa hal ini tidak ideal (tidak memimpin proses perumusan produk Deputi D sebagai turunan dari gagasan besar yang disampaikan Pak Anies). Tapi saya tidak mau memusingkan hal di luar jangkauan saya. Saya hanya mencoba bekerja terus dan berharap agar situasi ini berubah, supaya Pak Anies kembali fokus ke dalam Deputi D, dan mulai mengambil langkah manajerial konkret. Mengapa? Karena latar belakang dan karakter anggota Deputi D sangatlah beragam. Ada yang dari sektor swasta finansial, kalangan masyarakat sipil sampai basis relawan Jokowi-JK, sehingga tim kami membutuhkan seorang pemimpin (yang memang sudah punya nama) yang seharusnya hadir, memimpin tim, menguasai data di hadapannya untuk mencapai tujuan dari dibentuknya Deputi D. Sayangnya, sampai dengan akhir masa kerja, hal ini tidak terjadi. Mungkin saja Pak Anies sudah mendelegasikan mayoritas kerjanya kepada PW. Namun delegasi kerja tidak mungkin total menyerahkan semuanya kepada orang lain, tanpa hadir memberikan panduan dan arahan konkret kepada kami. Seandainya Pak Anies lebih intensif hadir dan memimpin kami, tentu produk akhir Deputi D akan lebih baik lagi. Pada titik ini, saya menyadari bahwa peranan dan keunggulan Pak Anies adalah mengajak dan menginspirasi orang untuk mau ‘turun tangan’ dan melakukan sesuatu untuk republik ini. Ini adalah peranan yang sangat penting di tengah apatisme generasi muda untuk berpolitik dan bernegara, dan peranan yang memang paling pas untuk dijalankan Pak Anies. Tetapi menjadi pemimpin dengan kemampuan manajerial yang mumpuni? Ini yang belum bisa dilihat dari Pak Anies. ++ Cerita ini berlanjut dengan terpilihnya Pak Anies sebagai Menteri Pendidikan. Banyak Pengajar Muda yang bersyukur akhirnya Pak Anies menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Tentunya Pak Anies adalah orang yang tahu betul potret pendidikan di Indonesia, karena beliau sebagai bagian dari Indonesia Mengajar tentu sudah mendapatkan banyak sekali laporan dari Pengajar Muda tentang keadaan pendidikan di daerah dan berbagai praktek korupsinya (Undang-Undang Dasar mengamanatkan 20% dari APBD untuk pendidikan. Ada gula ada semut!), dan juga sebagai Deputi D Tim Transisi yang mengurus bidang pendidikan. Saya berharap ini menjadi ajang pembuktian kemampuan beliau dalam membuat perubahan di Indonesia, paling tidak membuat tata kelola yang baik di dalam Kementerian Pendidikan dengan segudang daftar masalah. Nyatanya tiada yang berubah. Distribusi Kartu Indonesia Pintar tidak mencapai target. Bahkan Agustus 2016, Menteri Keuangan menemukan Rp 23,3 triliun dana yang salah perencanaan. Dana yang ada tidak boleh diberikan kepada guru yang memang tidak ada (salah data) atau yang gurunya ada tapi belum bersertifikat. Apakah memang Pak Anies masih tidak melaksanakan pekerjaan manajerial dan hanya melepaskan pekerjaan teknis sepenuhnya kepada bawahannya, yang punya segudang kepentingan dan dosa lama? Entah. Saya hanya bisa menduga dua hal di atas menjadi sebagian pertimbangan Pak Jokowi ‘mencukupkan’ tugasnya hanya selama 1 tahun 9 bulan. +++ Saya pribadi tergerak membuat tulisan ini, setelah tahu Pak Anies bertandang ke markas FPI pada 1 Januari. Okelah, Pak Anies sudah menjadi politisi yang berambisi menjadi Gubernur DKI, syukur-syukur bisa menjadi Presiden RI. Dan secara politik, memang saya tidak perlu baper bila tetiba Anies menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam menjaring suara. Tetapi berkunjung ke FPI, kemudian membela diri dengan mengatakan ‘harus menjadi pemersatu semua pihak’? Itu jawaban tidak jujur. Jadilah pemersatu dan pergi ke markas FPI setelah anda jadi pejabat. Pergi ke FPI sebelum menjadi pejabattidak lain adalah taktik meraih suara. Meraih suara ke pihak yang dengan entengnya mengoyak-oyak tenun kebangsaan! Teringat pernyataan Pak Anies pada 2014, yang menyerang Prabowo Subianto dengan menuding bahwa Prabowo berjanji seakan berpihak kepada heterogenitas dan pluralisme yang ada di Indonesia, padahal kata Pak Anies, Prabowo justru mengakomodasi dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI. Selang dua tahun, Pak Anies telah berubah secara ekstrem. Mungkin Pak Anies adalah orang yang akan melakukan apa saja untuk mencapai ambisinya. Dari menjual kata-kata inspirasional sampai memberi angin surga kepada kelompok yang jelas-jelas menganggap bahwa NKRI ini hanya diperuntukkan untuk satu agama saja. Melihat Pak Anies hari ini, entah apa lagi yang dapat dilakukan beliau demi mencapai ambisinya yang mungkin ingin jadi Presiden? Kunjungan beliau ke FPI inilah garis tegas respek saya kepada Pak Anies, yang sukses menginspirasi saya 5 tahun lalu untuk terjun ke dalam sistem. Karena ambisinya, Pak Anies hari ini bukanlah Pak Anies 5 tahun lalu, yang mencoba merajut tenun kebangsaan. Dia dulu tidak pernah bertanya kepada saya, apa agama saya waktu saya mendaftar Indonesia Mengajar dan menawarkan diri membantu dia di Tim Transisi. Mungkin rekan-rekan ingat, Pak Anies sudah katakan di Mata Najwa bahwa dia meyakini pemimpin itu harus memeluk agama Islam. Menjadi miris bila memikirkan golongan minoritas yang mendaftar Indonesia Mengajar sebagai bekal kepemimpinan di masa mendatang, karena bekal yang didapat tak dapat dilaksanakan. Bhinneka Tunggal Ika mau ditaruh dimana? Sepertinya benar teori Abraham Lincoln, “Hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.” Pak Anies sudah teruji dan gagal bahkan sebelum dia diberi kekuasaan. Setelah melihat cara Pak Anies bekerja dan Pak Ahok bekerja, memang dua orang ini tidak dapat dibandingkan, karena keduanya ada di tataran yang berbeda. Pak Anies adalah konseptor, sedangkan Pak Ahok adalah eksekutor sekaligus konseptor yang sangat baik. Pak Anies ringan mengatakan iya dan merangkul seluruh pihak, sedangkan Pak Ahok adalah orang yang bisa mengatakan tidak tanpa harus berpura-pura. Saya teringat pertama kali melihat Pak Ahok (sebagai cawagub) pada kampanye pilkada DKI 2012 yang menolak permintaan kelompok warga yang minta dibuatkan lapangan, dengan imbalan warga setempat akan memilih Jokowi-Ahok. Alih-alih mengiyakan demi suara, Pak Ahok malah mentah-mentah menolak permintaan itu, karena menurut beliau tidaklah adil untuk warga lain yang tidak memilih Pak Ahok. Pak Ahok saat cawagub 2012 masihlah sama dengan Gubernur 2017. Aspek kepemimpinan Pak Ahok ini pun diamini oleh Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang mengatakan, “Seni kepemimpinan adalah mengatakan tidak, bukan iya. Sangatlah mudah untuk mengatakan iya”. Pak Ahok memberantas korupsi dengan cara menaikkan gaji untuk menghancurkan corruption by need(korupsi karena kebutuhan), sedangkan Pak Anies rumornya mencoba memberantas korupsi dan PNS tidak berkinerja baik dengan dialog hati ke hati secara rutin. Saya pribadi, setelah dua tahun bekerja di DKI Jakarta dengan praktek koruptif warisan rezim lama, rasanya hampir mustahil untuk meminta orang berubah dengan kesadaran sendiri tanpa mencari akar permasalahan dan secara konkret memperbaikinya. Perlu cara keras untuk melumerkan hati yang sudah keras terpapar nikmatnya korupsi selama puluhan tahun! Pak Ahok memberantas korupsi dengan membuat e-budgeting agar dapat menutup celah permainan perencanaan anggaran (masih ingat kan anggaran siluman UPS?), sedangkan Pak Anies malah salah merencanakan anggaran sampai dengan 23 T. Saya tidak mengatakan bahwa Pak Anies ini adalah orang yang jahat. Tidak sama sekali! Pak Anies ini memiliki hati yang baik dan ambisi. Sayangnya ambisi beliaulah yang lebih menguasai hati beliau hari ini. Pak Anies punya keunggulan dalam menginspirasi dan mengajak orang untuk turun tangan namun saya hanya menegaskan bahwa bukanlah porsi Pak Anies menjadi administratur untuk membenahi benang kusut DKI Jakarta. Selayaknya penyakit kanker yang perlu diobati dengan kemoterapi, tidaklah mungkin membenahi DKI Jakarta yang kusut dan sudah sakit kronis hanya dengan kalimat yang santun dan ide besar tanpa kepemimpinan dan kemampuan manajerial yang mumpuni. Porsi paling bermanfaat adalah menjadi inspirator dan mengajak anak-anak muda Indonesia untuk tidak berpangku tangan, tapi turun tangan membenahi republik ini. Demikian catatan jongos ini. Pasti banyak pihak yang pro dan kontra. Wajar. Tapi inilah demokrasi, di tengah masyarakat yang masih belajar berdemokrasi selepas rezim lalu. Harapan saya, tulisan ini sedikit banyak membawa manfaat bagi masyarakat DKI. Semoga. Rian Ernest Pengajar Muda Angkatan II – Daerah Penempatan Kabupaten Rote Ndao, NTT https://anekainfounik.net/2017/02/13/cerita-rian-ernest-saat-menjadi-staf-ahok-dan-anies-baswedan/
5 notes
·
View notes
Text
Hadiri Pesta Rakyat Kemenangan, Anies Disambut Tanjidor
Hadiri Pesta Rakyat Kemenangan, Anies Disambut Tanjidor
Harianpublik.com – Iringan musik Tanjidor dan bunyi petasan bersahutan menyambut Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan dalam Pesta Rakyat di Posko Cicurug, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/5). Pesta Rakyat tersebut digelar sebagai perayaan usai Anies dan wakilnya Sandiaga Uno ditetapkan KPU DKI sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.
Kemeriahan tidak hanya saat penyambutan Anies. Ratusan relawan yang memadati Posko Cicurug juga larut dalam euforia lagu dangdut kemenangan. Mereka juga bebas memilih menu hidangan nusantara yang disediakan sepanjang jalan Cicurug.
Dalam sambutannya Anies menyampaikan kemenangan ini bukanlah sebuah akhir dari perjuangan untuk menghadirkan perubahan di Jakarta. “Tugas kita tidak berhenti disini karena tugas sebenarnya adalah memenuhi harapan warga jakarta akan perubahan,” kata Mantan Mendikbud itu.
Anies mempersilakan para pendukung untuk menikmati euforia kemenangan. Namun, usai parade kemenangan ini, Anies mengajak para pendukungnya untuk bertindak seperti pemenang. “Silakan teruskan jogetnya. Setelah itu kita sapa seluruh warga jakarta, kita tunjukan kita sebagai pemenang yang baik yang menyapa dan merangkul semua apapun pilihan mereka sebelumnya,” tutupnya.
Sumber : Source link
0 notes
Text
Apalah Arti Kenaikan Tarif Commuter Line Dibanding Kabar Mario Teguh, Ahok, Jessica, Young Lex, dan AwKarin
AwKarin beres merilis video klip barunya dengan Young Lex, Mario Teguh sedang lucu-lucunya dengan Kiswinar, Ahok tengah lelah jual mahal hingga takluk di pelukan panas PDIP, dan Jessica Kumala Wongso masih sibuk syuting reality show di pengadilan, saat saya menulis racauan ini.
Keempat hal itu sebetulnya jadi sesepele kabar kucing tetangga sebelah berhasil melahirkan enam dedek kucing emesh semalem dan paginya saya tetap hidup baik-baik saja, biasa-biasa saja, seperti biasanya. Tokoh-tokoh di atas memang tidak spesial-spesial amat, terlebih untuk anak rantau yang belum ada tiga tahun di sekitaran ibukota seperti saya.
Sebagai pendatang, barangkali saya lebih konsen mengurusi sebutan aku-kamu-gue-elo yang nyatanya cukup rumit di sini. Bagaimana tidak, sedikit-sedikit dibilang ngerespon positif bribikan lakik ketika saya latah menyebut aku-kamu, di sisi lain saya masih terlampau medok untuk bilang gue-elo.
Tapi, sudahlah, semestinya ada hal lain yang lebih darurat kita bahas dibanding hal-hal remeh itu: mulai 1 Oktober 2016 tarif kereta rel listrik (KRL)—atau versi Londonya: commuter line—Jabodetabek resmi naik sebesar 1000 rupiah.
Dalam konferensi pers terkait penyesuaian tarif KRL kemarin, Zulfikri (Direktur Lalu Lintas Ditjen Kereta Api Kementerian Perhubungan) menyatakan bahwa kenaikan tarif berlaku pada litas 1-25 km pertama, tarif setelahnya tidak ada perubahan.
Sederhananya, jika kamu biasanya mengeluarkan uang 2000 rupiah untuk perjalanan Bogor-Depok, maka mulai Oktober besok akan dikenakan biaya sebesar 3000 rupiah (saja). Apakah berdampak signifikan?
Sebagai pelanggan setia sekaligus pecinta KRL—seperti halnya kamu yang mencintai senja dan hujan dan batu akik dan oncom dan jarum penthul—pertanyaan di atas tentu saja menarik serta lebih berdampak dibanding Awkarin dan Mario Teguh dan Kiswinar dan Jessica dan Ahok dan puisi Jonru. Eh.
Kamu mungkin akan selo membatin, apalah arti uang seribu, membayar tarif buang air di toilet dua kalinya aja kita lega-lega aja kok. Apa memang iya? Coba kita cermati terlebih dahulu, barangkali kenaikan tarif ini butuh kita perhatikan selain perihal puisi Jonru dan ekspresi Anies Baswedan yang malu-malu tapi mau itu.
Mari kita tengok satu per satu terlebih dahulu siapa saja klan atau penghuni tetap commuter line.
Klan pertama bisa kita mulai dari kelompok manusia kelelawar yang pulang-pergi kerja dengan bergantung pada besi panjang berjalan ini. Manusia-manusia yang membuat Jakarta hidup, dan sebaliknya dalam anggapan mereka—Jakarta yang membuat mereka bisa hidup.
Mereka rela mendesak dan berdesak-desakan di KRL, rela menyeret kantuknya bersama dengan ketergesaan naik turun penumpang di setiap stasiun, dan rela menjadi penyetia KRL demi sesuap harapan dan segepok rupiah untuk anak-anak mereka yang bersekolah dan anak-anak mereka yang tidak mampu bersekolah.
Jadi apalah arti kenaikan tarif seribu rupiah, jika dengan bersetia dengan KRL mereka tetap bisa menghemat dan mengakali biaya transportasi.
Saya sering berpikir bahwa gerbong perempuan diciptakan sebagai lapangan bola untuk para kaum Hawa. Tempat di mana setiap perempuan merasa berhak atas tempat duduk, sampai terkadang harus saling sikut dan bertengkar dalam hati.
Hal ini juga yang saya kira mengkontruksi klan kedua: mamah-mamah super yang siap jadi lebih super lagi. Dan biasanya mereka akan menghindari gerbong perempuan jika terlalu lelah bermain perasaan dengan mbak-mbak yang tertidur—dalam keadaan tidak ngantuk sekalipun.
Manusia super ini akan masuk ke gerbong umum dan membuktikan kekuatannya. Laki-laki tidak peka sekalipun barangkali akan mengalah dalam sekali tatap. Barangkali yang mampu survive dan tetap mempertahankan tempat duduknya hanya mas-mas yang sudah terbiasa dengan rasa sakit dan patah hati.
Maka apalah arti kenaikan seribu rupiah, jika dengan ber-KRL saja mamah-mamah ini bisa berubah menjadi superwoman tanpa harus berganti kostum.
Klan ketiga adalah manusia-manusia luar kota pembawa koper besar.
Stasiun Gambir, Pasar Senen, Jakarta Kota, dan Jatinegara adalah stasiun tempat pemberangkatan kereta jarak jauh. Selain stasiun Gambir, semuanya bisa dicapai dengan menggunakan KRL secara langsung.
Jadi jangan heran jika di dalam kereta, bukan saja mbak-mbak yang bawa tas kresek hitam gedhe berisi belanjaan dari tanah abang atau mas-mas yang bawa kardus besar berisi barang elektronik dari glodok, tapi juga manusia-manusia pembawa koper dan ransel besar untuk mudik atau sekedar berkunjung ke luar kota.
Seribu rupiah tentu saja tidak sebanding dengan besarnya rupiah yang harus dipotong jika mereka membatalkan tiket kereta api jarak jauh—sampai saat ini masih sebesar 25%. Dua puluh lima persen dari dua ratus ribu bisa tentu bisa kamu pakai buat nyarter odong-odong hias dan muter-muter alkid dengan pacar kamu—atau bukan pacar kamu.
Klan keempat dedek-dedek emesh penghuni kampus. Barangkali, mahasiswa dan mahasiswi ini menjadi penyetia KRL karena kampus mereka sangat mudah dijangkau dengan KRL, misalnya UI, UP, dan IKJ.
Atau alasan lain: terlalu letih dengan keajaiban-keajaiban yang akan mereka temui di jalan raya lebih lama jika tanpa KRL, semisal transjakarta yang harus bersitatap—nggak hanya berdampingan, tapi ber-a-d-u-ma-ta—dengan roda dua yang melawan arus di jalur busway, atau keajaiban lainnya: lampu bangjo yang mendadak kehilangan kehormatan gegara silau warnanya tidak lagi dilihat dan dimaknai, dan malah dibelakangi oleh pantat-pantat kendaraan dari pengendara ndableg.
Jadi apalah arti kenaikan seribu rupiah oleh sejumlah mahasiswa penyetia KRL, dibanding harus memutuskan turun ke jalan raya lebih lama dan turut menciptakan keajaiban-keajaiban lain di atas dalih melarikan diri dari kemacetan.
Sebagai penutup, mari bertanya sekali lagi: Apakah kenaikan seribu rupiah commuter line perlu dianggap lebih penting dibanding kasak-kusuk gosip seputar Awkarin, Mario Teguh, Kiswinar, Jessica, Ahok atau puisi Jonru? Atau lebih baik dibiarkan saja?
Toh hanya seribu. Belum dua ribu, belum lima ribu, belum sepuluh ribu, dan terutama: belum ada gerbong kereta yang dibajak…
0 notes
Text
Jakarta PSBB Lagi, Pengusaha Hotel Minta Ini ke Anies
Pengusaha hotel dan restoran mengaku galau dengan kebijakan PSBB Jakarta yang hendak diperketat oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam waktu dekat ini. Sebab bila berlaku kembali, dikhawatirkan bisa mengancam keberlangsungan kedua lini bisnis tersebut di tengah pandemi.
Oleh karena itu, perhatian pemerintah, disebut Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran sangat diperlukan agar bisa terus bertahan. Beberapa uluran tangan yang dibutuhkan di antaranya relaksasi pajak.
"Pemerintah harus mengurangi beban pengusaha, coba bayangkan, diberlakukan PSBB kemudian bisnis tidak bisa berjalan, tapi pajaknya tetap ditarik, PBB nya dipaksa ditarik kalau tidak didenda, kan tidak konsisten," ujar Maulana kepada detikcom, Kamis (9/9/2020).
Adapun relaksasi pajak yang diharapkan PHRI adalah PBB, Pajak Reklame hingga Pajak Kendaraan dan pajak dengan pungutan besar lainnya yang tertuang dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
"PBB, Pajak Reklame, Pajak Kendaraan, banyak lagi yang ada di UU 28 yang menjadi kewajiban yang besar-besar itu," paparnya.
Harapan lainnya yang diminta oleh pengusaha hotel dan restoran adalah terkait ketegasan pemerintah soal protokol kesehatan COVID-19.
"Kita harap ketegasan. Jadi patroli itu benar-benar dilaksanakan dengan tegas. Kalau kita lihat di media sosial maupun di TV kan masih banyak hampir tiap hari ada saja masyarakat melawan petugas," kata Ketua PHRI Jakarta Krishandi.
Krishandi mencontohkan beberapa negara lain menegakkan sanksi bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Ia berharap pemerintah dan petugas di Indonesia bisa lebih tegas lagi mencontoh kebijakan di luar negeri.
"Saya lihat di beberapa negara lain, itu keras loh, apakah pihak tentaranya yang bertindak, apakah itu kepolisian atau apa, ada yang disabet pakai rotan, ada yang digampar, ada yang langsung ditangkap, ditelikung tangannya, jadi kita tidak bisa lagi bicara kemanusiaan, kalau bicara kemanusiaan, yang nekad yang bandel itu dia malah menyuburkan penyebaran. Intinya, diharapkan para aparat berani tegas," pungkasnya.
from Blogger https://ift.tt/3bKASI1 via IFTTT
0 notes
Text
4 Harapan Anies Baswedan untuk Jakarta di HUT ke-492
4 Harapan Anies Baswedan untuk Jakarta di HUT ke-492
Dailymail.co.id, Jakarta – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memiliki harapan baru kepada Jakarta yang tepat hari ini, Sabtu (22/6/2019) telah berusia 492 tahun.
Meski harus memimpin Ibu Kota sendirian sepeninggal wakilnya Sandiaga Uno yang melaju dalam pemilihan presiden (Pilpres) lalu, mantan Menteri Pendidikan ini mampu melakukan sejumlah perubahan pada wajah Ibu Kota yang kini bisa…
View On WordPress
0 notes
Text
Alasan PKS Sebut Mesin Politik Prabowo-Sandiaga Terancam Mati
JAKARTA, dawainusa.com – Mesin politik pasangan Capres-Cawapres 02, Prabowo-Sandiaga diklaim terancam mati. Hal itu disampaikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DKI. Alasan PKS menyampaikan hal itu karena posisi wagub DKI yang sampai hari ini belum terisi.
Diketahui, antara Gerindra dan PKS masih bersih tegang soal posisi wagub. Kedua partai ini belum mencapai kata sepakat mengsusung satu nama menggantikan posisi Sandiaga Uno yang maju di Pilpres mendapingi Prabowo Subianto. PKS ngotot memperjuangkan kadernya untuk menggantikan Sandi demikianpun Gerindra.
Baca juga: Ruang Ngobrol Joglo Aquinas; Mengurai Dinamika Politik Lokal Kita
“Jadi mesinnya partai itu kan kader. Kalau kadernya kecewa, dia akan mengekspresikannya berbeda. Kekecewaan itu sudah terasa di bawah. Kalau kader pada kecewa, otomatis mesin partai mati, tuh. PKS kan partai kader,” kata Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Abdurrahman Suhaimi di Jakarta, Selasa (30/1).
Namun mengomentari hal itu, Anggota Majelis Syuro PKS Aboebakar Al Habsyi mengatakan apa yang disampikan PKS DKI hanya sekadar gimmick politik. “Saya rasa tidak arah ke situ ya. Tetapi sebagai gimmick-gimmick politik oke-oke saja lah,” kata Aboebakar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/10/).
Menurut dia, gimmick politik semacam itu diperlukan. Alasannya untuk menyadarkan para ‘hamba Allah’ bahwa PKS-Gerindra bekerja untuk kepentingan bersama. Namun dia tak menjelaskan siapa ‘hamba Allah’ yang dimaksud.
“Biar sadar juga itu hamba-hamba Allah bahwa sesungguhnya kita ini bersama dan bekerja sama. Bukan bersama untuk kepentingan sendiri,” ujarnya.
Aboebakar pun menanti keputusan soal Wagub DKI. Dia yakin ketum Gerindra Prabowo Subianto memutuskan yang terbaik. “Lebih cepat lebih bagus ya. Prabowo lebih mengerti mustinya ya dan Anies (Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) sudah sangat membutuhkan. Saya rasa tinggal diputuskan. Tinggal teknis dalam dialog yang perlu diselesaikan,” tutur Aboebakar.
Gerindra Minta PKS Tak Mengancam
Terpisah, Gerindra melihat apa yang disampikan PKS merupakan manuver untuk mendapatkan kursi Wagub. Gerindra kemudian meminta PKS tak mengancam dan menyarankan PKS DPW DKI Jakarta menyerahkan urusan soal wagub ke Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Seggaf Al-Jufri dan Presiden PKS Sohibul Iman.
“Saya rasa urusan Wagub DKI ini kan sebenarnya nggak perlu saling ancam. Putusan itu kan di tangan Pak Prabowo ya. Tinggal dibicarakan dengan Pak Prabowo, Pak Sohibul dengan Pak Salim. Nggak usah saling ancam,” kata anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade.
Baca juga: Tragedi Lion Air, Hotman Paris Minta Pengacara Amerika Datang ke Indonesia
Andre menyarankan semua pihak menahan diri untuk tidak banyak berkomentar ke publik. Menurut Andre, sikap mengancam bukanlah budaya yang baik dan malah nantinya menimbulkan kesan PKS begitu berambisi terhadap kekuasaan.
“DPD Gerindra DKI menahan diri dan DPW PKS menahan diri. Serahkan kepada pimpinan untuk selesaikan daripada ancam-mengancam, karena ancam-mengancam bukan budaya yang baik. Dengan saling ancam ini terkesan orang yang mengancam begitu berambisi,” ujar Andre.
Andre mengatakan Prabowo adalah sosok yang selalu menjaga komitmen dan menepati janji. Terkait maksud Prabowo menyerahkan urusan kursi wagub ke Ketua Gerindra DKI M Taufik, Andre menyarankan agar PKS menanyakan langsung hal tersebut.
“Saya rasa Pak Prabowo orang yang selalu komitmen dengan janji, kalau memang Pak Prabowo berjanji. (Maksud Prabowo menyerahkan masalah kursi wagub ke M Taufik) ya silahkan ditanyakan terjemahannya ke Pak Prabowo oleh Pak Sohibul dan Pak Salim. Tidak usah ngamuk-ngamuk dulu. Kan tinggal ketemu di Kertanegara (kediaman Prabowo), tinggal komunikasi. Mengancam itu tidak menyelesaikan masalah,” tutur Andre.
Terakhir, Andre optimis PKS akan terus menggerakan mesin partainya untuk mengawal kemenangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
“Saya punya keyakinan bahwa PKS, insyaAllah, akan berkomitmen dalam koalisi yang kita bangun bersama. Karena kami yakini PKS bersama PAN, Demokrat dan Gerindra punya mimpi dan harapan yang sama untuk memperbaiki nasib bangsa ini. Saya yakini betul PKS akan terus bersama kami dan bergerak mesinnya untuk menyambut perubahan dan perbaikan Indonesia yang jauh lebih baik di bawah kepemimpinan Prabowo-Sandi,” ucap Andre.*
Selengkapnya: Alasan PKS Sebut Mesin Politik Prabowo-Sandiaga Terancam Mati
https://www.dawainusa.com/alasan-pks-sebut-mesin-politik-prabowo-sandiaga-terancam-mati/
0 notes
Text
Alasan PKS Sebut Mesin Politik Prabowo-Sandiaga Terancam Mati
JAKARTA, dawainusa.com – Mesin politik pasangan Capres-Cawapres 02, Prabowo-Sandiaga diklaim terancam mati. Hal itu disampaikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DKI. Alasan PKS menyampaikan hal itu karena posisi wagub DKI yang sampai hari ini belum terisi.
Diketahui, antara Gerindra dan PKS masih bersih tegang soal posisi wagub. Kedua partai ini belum mencapai kata sepakat mengsusung satu nama menggantikan posisi Sandiaga Uno yang maju di Pilpres mendapingi Prabowo Subianto. PKS ngotot memperjuangkan kadernya untuk menggantikan Sandi demikianpun Gerindra.
Baca juga: Ruang Ngobrol Joglo Aquinas; Mengurai Dinamika Politik Lokal Kita
“Jadi mesinnya partai itu kan kader. Kalau kadernya kecewa, dia akan mengekspresikannya berbeda. Kekecewaan itu sudah terasa di bawah. Kalau kader pada kecewa, otomatis mesin partai mati, tuh. PKS kan partai kader,” kata Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Abdurrahman Suhaimi di Jakarta, Selasa (30/1).
Namun mengomentari hal itu, Anggota Majelis Syuro PKS Aboebakar Al Habsyi mengatakan apa yang disampikan PKS DKI hanya sekadar gimmick politik. “Saya rasa tidak arah ke situ ya. Tetapi sebagai gimmick-gimmick politik oke-oke saja lah,” kata Aboebakar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/10/).
Menurut dia, gimmick politik semacam itu diperlukan. Alasannya untuk menyadarkan para ‘hamba Allah’ bahwa PKS-Gerindra bekerja untuk kepentingan bersama. Namun dia tak menjelaskan siapa ‘hamba Allah’ yang dimaksud.
“Biar sadar juga itu hamba-hamba Allah bahwa sesungguhnya kita ini bersama dan bekerja sama. Bukan bersama untuk kepentingan sendiri,” ujarnya.
Aboebakar pun menanti keputusan soal Wagub DKI. Dia yakin ketum Gerindra Prabowo Subianto memutuskan yang terbaik. “Lebih cepat lebih bagus ya. Prabowo lebih mengerti mustinya ya dan Anies (Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) sudah sangat membutuhkan. Saya rasa tinggal diputuskan. Tinggal teknis dalam dialog yang perlu diselesaikan,” tutur Aboebakar.
Gerindra Minta PKS Tak Mengancam
Terpisah, Gerindra melihat apa yang disampikan PKS merupakan manuver untuk mendapatkan kursi Wagub. Gerindra kemudian meminta PKS tak mengancam dan menyarankan PKS DPW DKI Jakarta menyerahkan urusan soal wagub ke Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Seggaf Al-Jufri dan Presiden PKS Sohibul Iman.
“Saya rasa urusan Wagub DKI ini kan sebenarnya nggak perlu saling ancam. Putusan itu kan di tangan Pak Prabowo ya. Tinggal dibicarakan dengan Pak Prabowo, Pak Sohibul dengan Pak Salim. Nggak usah saling ancam,” kata anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade.
Baca juga: Tragedi Lion Air, Hotman Paris Minta Pengacara Amerika Datang ke Indonesia
Andre menyarankan semua pihak menahan diri untuk tidak banyak berkomentar ke publik. Menurut Andre, sikap mengancam bukanlah budaya yang baik dan malah nantinya menimbulkan kesan PKS begitu berambisi terhadap kekuasaan.
“DPD Gerindra DKI menahan diri dan DPW PKS menahan diri. Serahkan kepada pimpinan untuk selesaikan daripada ancam-mengancam, karena ancam-mengancam bukan budaya yang baik. Dengan saling ancam ini terkesan orang yang mengancam begitu berambisi,” ujar Andre.
Andre mengatakan Prabowo adalah sosok yang selalu menjaga komitmen dan menepati janji. Terkait maksud Prabowo menyerahkan urusan kursi wagub ke Ketua Gerindra DKI M Taufik, Andre menyarankan agar PKS menanyakan langsung hal tersebut.
“Saya rasa Pak Prabowo orang yang selalu komitmen dengan janji, kalau memang Pak Prabowo berjanji. (Maksud Prabowo menyerahkan masalah kursi wagub ke M Taufik) ya silahkan ditanyakan terjemahannya ke Pak Prabowo oleh Pak Sohibul dan Pak Salim. Tidak usah ngamuk-ngamuk dulu. Kan tinggal ketemu di Kertanegara (kediaman Prabowo), tinggal komunikasi. Mengancam itu tidak menyelesaikan masalah,” tutur Andre.
Terakhir, Andre optimis PKS akan terus menggerakan mesin partainya untuk mengawal kemenangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
“Saya punya keyakinan bahwa PKS, insyaAllah, akan berkomitmen dalam koalisi yang kita bangun bersama. Karena kami yakini PKS bersama PAN, Demokrat dan Gerindra punya mimpi dan harapan yang sama untuk memperbaiki nasib bangsa ini. Saya yakini betul PKS akan terus bersama kami dan bergerak mesinnya untuk menyambut perubahan dan perbaikan Indonesia yang jauh lebih baik di bawah kepemimpinan Prabowo-Sandi,” ucap Andre.*
Selengkapnya: Alasan PKS Sebut Mesin Politik Prabowo-Sandiaga Terancam Mati
#dawai
0 notes
Text
1 Tahun Gubernur Anies, Kota Jakarta Aman dan Sepi dari Demonstrasi
Inanews - Sangat tidak mudah untuk mendaftarkan kinerja terbaik Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta setelah setahun menjabat. Dari 10 orang yang teman-teman yang saya tanyakan, pada umumnya tidak langsung menjawab, dan cenderung menarik nafas panjang. Dan memberikan pandangan mereka tentang Jakarta selama setahun dibawah Gubernur Anies. Secara umum berpendapat bahwa Anies tidak membuat perubahan yang nyata dalam setahun, dan lebih banyak pekerjaannya meneruskan apa yang sudah dimulai oleh Gubernur sebelumnya, yaitu Ahok. Ketika menyebut Ahok pada saat menjabat Gubernur, maka Anda sudah pasti tahu apa yang disampaikan, yaitu Ahok membawa perubahan yang signifikan dalam banyak hal tentang pembangunan DKI, tidak saja fisik tetapi juga non fisik, dengan berbagai inovasi program yang selalu menarik perhatian public, karena kontroversial tetapi dibutuhkan oleh public Jakarta. Menilai dan mengevaluasi kinerja setahun Anies Baswedan sebagai Gubernur memang tidak mudah. Karena selalu dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Ahok sebagai Gubernur sebelumnya. Dan kesimpulan umumnya berkata bahwa Anies belum mampu menyamai kehabatan atau kinerja Ahok. Tidak saja kebijakan dan keputusan startegis yang dibuat selalu kontroversial tetapi juga keberanian Ahok untuk "menentang arus" dan nyaris tanpa kompromi dalam perjuangannya menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam berbagai percakapan, kemudian saya mengatakan bahwa salah satu kehebatan dan katakanlah kinerjanya selama setahun menjadi Gubernur yang dibawa oleh Anies adalah kota Jakarta aman dan damai dari demontrasi. Selama setahun tidak ada demonstrasi yang signifikan terhadap pemerintahan Anies Baswedan. Kalaupun ada sejumlah kegiatan demonstrasi, namun aksinya tidaklah berarti, bahkan sangat tidak mengganggu publik. Aksinya tidak besar-besara, tidak membawa massa yang banyak, juga tidak mengganggu masyarakat. Bahkan saking tidak signifikannya demo tersebut, publik pun tidak tertarik untuk memperhatikannnya. Jakarta memang aman dari demonstrasi. Tentu saja penilaian ini menjadi kontras dan sangat jauh berbeda ketika Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Saking seringnya demonstrasi itu dilakukan, maka public melihat dan merasakan kegiatan dan aksi demo dimasa Ahok benar-benar menyita perhatian publik dan cenderung mengganggu kegiatan masyarakat, dan bahkan cenderung ada "perusakan" fasilitas umum yang ada di DKI. Perbedaan yang sangat kontras ini tentu menjadi menarik untuk dilihat. Karena dapat difahami bahwa pendukung-pendukung Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI, katakanlah sebagai pemilihnya, tidak lagi melakukan demonstrasi karena tujuan politiknya tercapai. Sesuatu yang berbeda ketika Ahok menjadi Gubernur, public yang tidak mendukungnya akan melakukan berbagai aksi dan demo untuk melengeserkan dari kursi Gubernur Jakarta. Bila pemahaman ini diteruskan, pertanyaannya adalah apakah masyarakat DKI Jakarta yang ketika pemilihan tidak memilih Anies, mengapa tidak melakukan kegiatan dan aksi demonstrasi terhadap kinerja atau keberadaan Anies sebagai Gubernur, terutama ketika pekerjaannya, janji-janjinya dan kinerjanya tidak sesuai harapan? Inilah sebuah pembelajantan politik yang sangat penting bagi Indonesia. Harus kita akui bahwa masyarakat negeri ini masih belum merata kedewasaannya dalam berpolitik, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentu. Ini penting adanya, sebagai indikator kemajuan dan kejayaan bangsa ini. Hanya masyarakat yang terlatih dan dewasa berdemokrasilah yang akan cepat mencapai kemajuan tinggi sebagai sebuah negara maju yang dapat diperhitungkan dengan negara-negara besar dan maju lainnya. Selain aman dan damainya kota Jakarta dari aksi demonstrasi, maka salah satu perubahan yang dibawah oleh Gubernur Anies adalah "aman dan damainya suasan dalam lingkungan DPRD DKI Jakarta". Selama setahun, nyaris tidak terdengar adanya pertentangan, perbedaan pendapat antara sema anggota dewan, antara fraksi bahkan antar partai. Kalapun ada, nampaknya tidak signifikan pula dampaknya. Bahkan tidak terlalu menarik perhatian publik. Kalau ini dianggap sebagai sebuah kinerja, maka Anies Basawedan sangat dan cukup berhasil "meredam dan mengamankan para dewan perwakilan rakyat". Menjadi pertanyaan menarik, apakah masyaralat Jakarta tidak tidak ada masalah lagi yang dihadapi sehingga tidak perlu melaporkan ke Gubernurnya untuk diselesaikan? Sesuatu yang dimasa gubernur sebelumnya, aktifitas masyarakat untuk membawa masalahnya langsung ke Gubernur sesuatu yang menarik perhatian. Sekaligus bagaimana juga gubernurnya mempertontonkan penyelsaian masalah secara cepat dan tuntas. Apabila ini dianggap sebagai sebuah kinerja, yaitu penanganan dan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat telah tuntas melalui system birokrasi yang ada, maka bagian inilah adalah sebuah prestasi Anies yang harus diakui dan diapresiasi. Secara umum, setahun harusnya lebih dari cukup bagi seorang pemimpin, selevel Gubernur untuk memperlihatkan gaya atau style, serta kemampuannya untuk menghandle masalah Jakarta, serta arah yang akan dicapai 4 tahun kedepan. Artinya, kalau dalam setahun ini seorang gubernur belum mampu memperlihatkan kemampuannya merubah kota Jakarta dengan strategi dan kebijakan yang jelas dan tegas, maka percayalah bahwa sisa 4 tahun yang masih dijalaninya juga tidak akan ada sesuatu yang berarti dilakukannnya. Kecuali melanjutkan saja apa adanya. Kecuali kalau ada mujizat dan keajaban yang dilakukan oleh Guberner Anies Baswedan ! Read the full article
0 notes
Text
0 notes
Text
Di Bumi Blambangan, Anies : Mohon Doa Restu untuk Hadirkan Persatuan tanpa Ketimpangan
BANYUWANGI | KBA – Bacapres Anies Baswedan dan Bacawapres Muhaimin Iskandar mohon doa restu pada kiai, nyai dan tokoh masyarakat di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. “Kami berdua datang, untuk mohon restu, doa, dan mohon bimbingan. Perjalanan ini perjalanan yang terjal. Sampai-sampai Gus Muhaimin mempunyai slogan baru. Yaitu, iwak teri campur kemangi, masiyo lawane ngeri tak imbangi,” kata Anies…
View On WordPress
0 notes