sakonone
Sak Onone
8 posts
Anything in my minds, mostly random toughts, mostly useless. | Seadanya, ala kadarnya, sering kali gak bermanfaat. | Opo wae, mung sak onone.
Don't wanna be here? Send us removal request.
sakonone · 2 years ago
Text
Freedom .... or Loneliness?
Tumblr media
Beberapa waktu lalu, di salah satu postingan teman, ada mengutip salah satu kata mutiara dari Charles Bukowski.
... dan ketika tidak ada yang membangunkanmu di pagi hari, dan tidak ada yang menunggumu di malam hari, dan kamu dapat melakukan apapun yang kamu mau, kamu menyebutnya apa, Kebebasan atau Kesepian?
Sejenak ucapan itu mengganggu benakku dan mengusik ketenanganku. Mengapa? Karena aku sedang dalam fase seperti itu.
Sejak memutuskan untuk berpisah dengan keluargaku, aku memiliki pikiran campur aduk tentang apa yang aku alami. Ada kalanya aku marah, sedih, lega, dan bersyukur. Di antara kesedihan, ada berkat yang aku alami dan membuatku bersyukur. Ada waktu dimana aku merasa merdeka, bebas melakukan apa saja sendiri .. ya, sendiri, dan ketika menyadari kata itu, aku jadi berpikir tentang kesendirian, dan kadang merasa kesepian. Tapi kembali lagi pikiranku akan mempertanyakan, mengapa kesepian?
---
Sejak kecil, atau mungkin baru menyadari saat remaja, aku punya kecenderungan introvet. Aku berusaha untuk menikmati waktu-waktu sendiri, kadang-kadang merasa lebih enak sendirian daripada rame-rame. Tapi aku bukan introvet murni. Aku masih bisa menikmati juga waktu berkumpul dengan teman-teman atau orang lain, sejauh memang aku nyaman dengan mereka.
Saat SMP aku mulai jarang bermain dengan teman-teman, baik teman di kampung ataupun di sekolah. Aku kurang suka nongkrong-nongkrong, keluyuran atau dolan bareng-bareng mereka. Padahal di rumah juga tidak ngumpul-ngumpul, meski saat itu aku tinggal di satu rumah berisi banyak orang. AKu jarang ngobrol dengan bapakku, karena dia sering tidak ada di rumah. Dengan kakakku juga kurang akrab. Kalaupun pergi bersama teman, biasanya sesekali saja, kalau ada acara tertentu atau ada yang penting.
Ada beberapa alasan yang mungkin mendukung mengapa aku jarang "gaul". Kondisi keuangan (sangat jarang punya uang jajan yang lebih), masalah transportasi (hanya punya sepeda, angkutan umum juga terbatas) dan masalah minat. Kadang aku mikir, ketika sedang bepergian bareng teman-teman, terus ada perbedaan selera, jadinya bingung. Aku cenderung mengalah, tapi secara tidak sadar ini membuatku kecewa. Kalau aku ngotot, temanku yang kecewa, dan aku juga jadi gak nyaman. Makanya sering aku berpikir, mendingan bepergian sendiri, tidak perlu ada konflik dan masalah. Mau kemana saja bebas. Yup, itulah awal mula aku sering menjalani aktivitas soliter.
Saat SMP dan SMA, sepulang sekolah aku jarang berkumpul dengan teman-teman. Minder karena gak punya duit buat gaul dan keluyuran. Sekedar catatan: aku makan di KFC, McD dan restoran cepat saji sejenis, dengan biaya sendiri baru aku lakukan SETELAH AKU KERJA. Yup, sebelumnya tempat-tempat itu terasa mewah bagiku, gak cukup uangku untuk makan ke sana. Jadinya sepulang sekolah, aku pulang saja dan melakukan aktivitas sendirian - bermain ke sungai dan sawah, melukis, membuat prakarya dari kayu atau tanah liat, belajar bonsai (meski gagal) dan olahraga sendiri. Kadang aku malu kalau ada yang memergoki, tapi ya lama-lama santai saja. Pernah suatu hari teman sekolah datang ke rumah dan mendapati rumahku kosong, terus oleh tetangga diberi tahu kalau biasanya aku ke sungai mencari bunga ... dan mereka menyusul. Lah, kepergok deh hehehe. Ya, waktu itu aku sering mencari bunga dan benda-benda menarik lain untuk aku lukis di rumah.
Saat kuliah juga demikian, aku jarang "gaul" dengan teman-teman kampus. Mungkin ada alasan lain, karena aku sibuk di gereja. Tapi biasanya kesibukanku lebih ke acara-acara resmi saja, misal ada ibadah dan pertemuan khusus. Selebihnya aku biasa menikmati waktu sendiri saja di kos, membaca buku, kadang menulis dan sebagainya. Saat kerja, mau gak mau banyak kumpul dengan orang lain, karena urusan kerjaan. Saat hari libur, ya aku kembali sendiri, bisa menikmati saat-saat sendiri dengan membaca buku, nonton film, bersepeda, dan sebagainya. Saat-saat itu aku anggap sebagai saat merdeka, meskipun hanya sendirian. Bahkan setelah pacaran, kadang aku merasa "kecewa", karena hari libur ingin menikmati waktu sendiri, tapi jadi terbebani oleh "kewajiban" menemani pacar. Ya soalnya tidak selalu aktivitas yang kami lakukan sama-sama kami sukai, jadi harus ada yang mengalah. Setidaknya tetap bisa menikmati saat-saat bersama.
Nah, kalau selama ini (saat masih muda dan belum berkeluarga), aku menganggap saat-saat sendiri adalah sebuah kemerdekaan atau kebebasan yang aku sukai, mengapa saat ini aku merasa hal itu sebagai suatu KESEPIAN? Bukankah seharusnya esensinya sama, aku bisa melakukan apa saja, tanpa kuatir orang lain kecewa karena harus mengikuti seleraku, atau sebaliknya? Bukankah aku bisa bersantai-santai tanpa merasa bersalah, tanpa diganggu orang lain, dan artinya merdeka?
Satu kata kunci yang mungkin bisa menjadi alasan adalah KESENDIRIAN. Ya, harus aku akui, ada berbedaan makna dari kata itu, dulu dan sekarang. Dulu aku tidak pernah merasa SENDIRIAN. Mengapa? Karena aku masih punya keluarga tempat aku pulang (meskipun saat kuliah dan kerja aku jarang mudik). Meski aku sering memilih aktivitas sendiri, tapi masih ada teman-teman yang begitu mudah aku temui dan ajak berbincang. Dalam aktivitas rutin sehari-hari, aku masih akan berjumpa dengan orang lain - teman kuliah atau teman kerja, dan juga teman gereja. Meski sejak SMA sudah merantau, tetap saja aku punya opsi untuk pulang dan bertemu dengan keluarga. Apalagi setelah pacaran. Intinya, aku tidak merasa sendiri, aku selalu punya opsi untuk berbincang-bincang, jadi meskipun aku tetap menjalani hidupku yang introvet, tapi kebutuhanku untuk berkomunikasi dengan orang lain masih terpenuhi.
Sekarang, KESENDIRIAN itu punya makna yang beda.
Salah satu kerugian dari bekerja di rumah (Work from Home) adalah tidak ada komunikasi intensif dengan rekan kerja. Meski bisa komunikasi secara online, tetap saja jarang, dan biasanya hanya ngobrolin kerjaan. Beda dengan kalau sama-sama ngumpul di kantor, bisa ngobrol di waktu-waktu luang.
Aku sudah tidak lagi aktif di gereja, dan pergi ke gereja saja lebih sebagai tamu, datang terus pulang, tanpa ada komunikasi dengan sesama pengunjung.
Keluarga? Ya karena sudah pisah, komunikasi jelas jarang. Orangtua juga sudah sangat jarang ketemu, kalaupun komunikasi lewat telpon sudah agak sulit, tidak bisa buat ngobrol leluasa. Apalagi sejak Bapak meninggal. Dengan anggota keluarga lain juga kurang nyaman untuk ngobrol santai kalau lewat telpon, kalau ketemuan sih bisa. Tapi ya itu, kami semua sudah mencar dan agak sulit ketemu - lagi-lagi uang jadi salah satu masalah.
Masih mending bisa ketemu dengan anak-anak hampir setiap hari. Tapi kan mereka masih belum bisa jadi "tandem" seimbang untuk ngobrol. Jadi lebih banyak aku hanya menemani mereka. Mau gak mau, suatu saat mereka juga bakal sibuk dengan aktivitas dan hobi mereka masing-masing.
Di sinilah aku merasa SENDIRIAN. Bukan karena tidak ada orang lain di sekelilingku, tapi karena jarang ada "teman sparring" yang cocok untuk ngobrol, atau sekedar menemaniku.
Jadi? Haruskah aku berkeluh kesah dan meratapi kesendirian dan kesepian ini? Atau justru bersyukur dengan kebebasan yang aku miliki?
DI SINILAH SENINYA.
Saat googling soal kata-kata mutiara, aku temukan kata-kata mutiara yang lain, kali ini dari Ariel Gore.
Everything is freedom and everything is loneliness. Make your choice and let the rest fall away.
Jadi kuncinya adalah pada pilihan kita. Kita bisa memilih merasa kesepian, tapi juga bisa memilih merasakan kebebasan. Ah, itu kan menghibur diri dan menyangkal realitas? Bisa ya dan bisa tidak, karena pada dasarnya keduanya seperti dua sisi koin yang susah dipisahkan.
Aku bersyukur, sejauh ini, dalam setiap kesulitan ataupun kondisi yang tidak menyenangkan, ada saja hal-hal sepele yang bisa dinikmati dan dijalani dengan damai. Termasuk dalam kesendirian dan kesepian yang aku rasakan, di sisi lain memberiku kesempatan untuk bisa melakukan apa saja sendirian tanpa merasa bersalah. Aku punya banyak hobi - berkelana, motret sana-sini, nonton film/serial, baca buku, melukis, menulis dan banyak lagi - yang selama ini jarang bisa aku nikmati ketika aku tidak sendiri. Tapi dibalik semua kebebasan itu, aku juga diingatkan agar tidak terlena, dan tetap bertanggung jawab.
1 note · View note
sakonone · 2 years ago
Text
.. and when nobody wakes you up in the morning, and when nobody waits for you at night, and when you can do whatever you want. what do you call it, freedom or loneliness? -- Charles Bukowski
1 note · View note
sakonone · 2 years ago
Text
Are you happy? Apakah kamu bahagia? Ya dan tidak. Aku sadar ada yang tidak memuaskan dalam hidupku, dan ini artinya aku tidak bahagia. Tapi aku memilih untuk menikmati apa yang ada, bersyukur dengan apa yang bisa disyukuri, dan itu adalah kebahagiaan bagiku.
Renungan Pribadi
0 notes
sakonone · 2 years ago
Text
Listrik, Baterai dan Bisnis Masa Depan
Disclaimer: ini cuma pemikiran ngawur yang terlintas di otak, gak usah diambil serius. Kalau gak mau rugi buang waktu, jangan dibaca. Iseng saja untuk meluangkan waktu.
Beberapa waktu sempat bersliweran artikel dan juga postingan terkait keinginan Presiden Jokowi untuk memberi intensif bagi pemakai kendaraan (mobil) listrik. Tentu saja, yang namanya wacana dari Jokowi, selalu disambut dengan pro dan kontra. Haters selalu nyinyir, Lovers selalu hadir. Aku sih senang saja kalau bisa punya mobil listrik atau motor listrik, dan harganya terjangkau. Ada dua alasan: polusi udara dan polusi suara. Secara teori, kendaraan listrik menghasilkan gas yang lebih ramah lingkungan, suara juga senyap. Ya, soal suara ini paling utama bagiku, aku tidak suka dengan motor yang suaranya berisik. Tapi, kalau kendaraan tanpa suara juga dianggap berbahaya karena bisa membuat orang gak waspada. Ah, ini sih masalah orang biasa waspada atau gak, toh selama ini kecelakaan sering terjadi karena orang lebih banyak abai dengan keselamatan di jalan raya.
Tapii, ini tidak berarti aku langsung mau punya kendaraan listrik. Duitnya belum ada wkwkwkwkw. Bukan itu, tapi aku masih mikir soal sumber tenaganya, alias listrik. Lha wong sekarang saja pasokan listrik dari PLN masih suka padam. Terus ini kan pakai baterai, perlu waktu buat charging, juga setiap baterai pasti ada umurnya. Nah, harga bateri ini mahal, dan tarif listrik juga masih mahal. Oke lah, untuk tarif listrik, bisa itung-itungan dibanding dengan BBM. Tapi soal baterai, nah ini masih mikir-mikir.
Satu lagi yang jadi bahan pertimbangan, infrastruktur pendukung. Selama ini, jarang sekali (bahkan aku belum pernah lihat langsung) semacam stasiun pengisian daya untuk kendaraan listrik, ya semacam SPBU lah. Jadi kalau mau isi daya, ya mungkin di rumah masing-masing. Jadi sejauh ini, kalaupun punya kendaraan listrik, paling-paling dipakainya untuk yang jarak dekat saja. Terlalu riskan kalau jarak jauh. Kalau bensin bisa beli eceran, setelah isi langsung nyala. Kalau baterai, charging minimal satu jam, baru bisa jalan.
Kebijakan Pemerintah
Terkait rencana subsidi pembelian kendaraan listrik itu sendiri, menurutku BELUM TEPAT saat ini. Belum, bukan tidak. Ini soal prioritas. Ya itu tadi, infrastruktur belum siap. Lagipula, dengan subsidi ini, siapa yang untung? Produsen kendaraan listrik. Siapa produsen itu? Ya asing, aseng, osing dan kroni-kroninya. Ujung-ujungnya, ya kita bakal jadi pasar doang, konsumen yang mendatangkan keuntungan bagi negara lain (dan tentu saja sebagian kecil pejabat/pengusaha).
Bagiku, prioritas pemerintah seharusnya lebih ke 3 hal ini: transportasi publik (kalau bisa dengan listrik), industri pendukung transportasi listrik dan infrastruktur transportasi listrik. Barulah subsidi untuk yang bersifat konsumtif tadi.
Bayangkan kalau kita punya industri kendaraan listrik sendiri, juga industri baterai sendiri yang bisa menopang penggunaan kendaraan listrik ini, dan dimaksimalkan untuk transportasi publik. Misal, perbanyak KRL di kota-kota besar, termasuk di luar jawa. Pelan-pelan, minta agar angkot, bajaj, becak dan biskota beralih menggunakan listrik - lebih tepat kalau subsidi diberikan ke mereka dulu. Jadi yang didorong bukan agar orang beli kendaraan pribadi, tapi dorong agar orang nyaman pakai transportasi umum. Oh ya, soal transportasi publik ini, yang aku maksud bukan taksi online ataupun ojek online, tapi ya sudahlah, mereka juga bisa termasuk lah. Seingatku ada juga wacana pemerintah yang ingin memberi insentif ke perusahaan transportasi online itu - pro/kontra juga.
Angkot listrik misalnya, akan lebih terjangkau kalau mobil listriknya diproduksi dalam negeri, termasuk baterainya. Transportasi umum berbasis listrik juga akan makin nyaman saat infrastruktur pendukung sudah siap, jadi angkot, bajaj, ojek dan lainnya bisa ngecas baterai di mana-mana, gak harus di rumah. Ini juga membuat kita tidak harus tergantung pada import, bisa mandiri. Gak usah muluk-muluk bikin sekelas Tesla, cukup sekelas Wuling pun seharusnya sudah bagus.
Ya, berkali-kali ada kesan pemerintah mencoba merayu perusahaan kendaraan listrik seperti Tesla untuk membangun pabrik di Indonesia. Nah, harusnya jangan hanya fokus ke Tesla, tapi ke semuanya. Kalau bisa pemerintah juga harus tegas terkait alih teknologi, ya itu tadi, biar perlahan-lahan bisa mandiri juga. Aku yakin, SDM kita mampu untuk berkiprak dalam industri kendaraan listrik ini, jadi jangan cuma dimanfaatkan sebagai buruh dengan upah rendah.
Peluang Bisnis
Nah, wacana soal kendaraan listrik ini, menurutku membuka peluang bisnis yang potensial di masa depan. Bisnis ini terkait dengan dua hal dasar: baterai dan kendaraan listrik.
Industri (dan riset) untuk membuat baterai yang tahan lama, cepat dicas, punya daya yang besar tapi ringkas.
Industri (dan riset) untuk membuat kendaraan listrik yang hemat energi.
Industri (dan riset) untuk mencari alternatif pembangkit listrik yang cocok dengan kondisi Indonesia, agar tidak tergantung pada batu bara, gas dan BBM.
Industri (dan riset) untuk mengolah limbah baterai. Kita tahu, limbah baterai itu racun, makanya tidak disarankan untuk dibuang sembarangan. Selama ini orang terlalu fokus pada masalah plastik, tapi jarang yang membahas soal baterai ini. Kan bagus kalau misal limbahnya bisa dinetralkan dan bahkan di daur ulang.
Jasa charging kendaraan listrik, ya semacam SPBU.
Peluang-peluang industri dan jasa itu tentu juga perlu skill dan teknologi terkait, jadi instansi pendidikan dan juga kalangan pengembang teknologi bisa bersiap-siap untuk menyediakan layanan/jasa terkait. Misal kebutuhan teknisi kendaraan listrik, aplikasi untuk memantau kinerja baterai dan sebagainya.
Tidak hanya kendaraan, aku rasa hampir semua peralatan bakal mulai beralih ke listrik. Jadi kalau punya uang lebih, coba investasi ke perusahaan atau riset terkait baterai dan pembangkit listrik alternatif (soalnya kalau pembangkit listrik konvensional sudah dikuasai PLN). Kalau bingung milih bidang studi yang bakal banyak peluang kerjanya, ya cobalah yang terkait dengan teknologi dan listrik.
Baterai adalah kebutuhan masa depan. Begitu juga dengan charger alias pengisi daya.
Jadi kepikiran, bisa gak bikin charger yang bisa terima input dari berbagai sumber daya: dari listrik PLN, dari tenaga surya atau dari tenaga mekanik (angin, ombak, dan sebagainya) atau dari apapun (termasuk atom?).
Jadi berandai-andai, kalau punya uang banyak seperti Elon Musk atau Jeff Bezos atau pemerintah China, aku pengen jor-joran untuk riset dan mengembangkan industri terkait baterai dan pembangkit listrik. Mungkinkah pemerintah bisa memberi insentif untuk industri terkait ini, dan juga mencari investor yang tertarik untuk mengembangkannya di Indonesia? Biar kita jangan hanya jadi konsumen kendaraan pribadi, tapi bisa jadi produsen sekaligus pemilik jaringan transportasi umum yang berkualitas.
0 notes
sakonone · 2 years ago
Text
Obrolan Wong Cilik
Habis jogging dan sarapan, iseng duduk di lapangan basket yang sepi. Tak lama kemudian satpam kompleks datang bawa kopi. Disusul kemudian tukang sapu dan tukang rumput ikutan nimbrung. Jadi rame.
Satpam kaget waktu aku bilang harga semangkok mi ayam di Pasar Modern mencapai 30 ribu (padahal sih hampir 40 ribu), sementara biasanya di warung pinggir jalan gak sampai 15 ribu. Isinya juga sama. "Kalau saya sih ogak suruh bayar segitu", katanya polos.
"Bapak sudah menikah atau gimana?" tanyanya.
"Bujangan" jawabku sambil nyengir.
"Ah yang benar... bujangan atau bu'jangan. Beda tuh. Kalau saya memang beneran bujangan, biarpun umur dah 37, gak ada istri. Kalau bu'jangan, nah itu artinya bu .. jangan, gak boleh macam-macam lagi".
Ada-ada saja.
Selanjutnya obrolan lanjut dengan topik-topik receh. Soal harga rokok yang naik, dan katanya nanti gak boleh beli rokok ketengan, harus sebungkus. Disinggung juga soal rokok merk Juara, yang awalnya murah, tapi sekarang sudah mulai jadi mahal. Apalagi sudah tersedia di minimarket, sebungkus bisa 15 ribu. Tapi masih lebih murah katanya, dibanding merk rokok lainnya.
Pak tukang sapu pernah cerita, dulu waktu jadi satpam, hutang sebulan buat rokok doang sampai 500 ribu, padahal gaji gak sampai 2juta. Begitulah kadang ironisnya rakyat kurang mampu, gaji habis untuk sesuatu yang tertier.
Lanjut ngobrolin soal gas melon (3kg) yang katanya kalau beli harus bawa KTP, pertalite juga gak bisa sembarangan beli. "Ini pemerintah bukannya bantu rakyat kecil, malah bikin hidup tambah susah aja", celetuk pak Satpam. Aku sih menimpali dengan santai, mencoba menyampaikan sudut pandang yang berbeda, yaitu agar subsidi migas itu pas hanya untuk rakyat miskin. Aku kasih contoh tetangga yang punya rumah banyak dan mobil banyak, tapi masak masih pakai gas subsidi, kan gak pantes. Langsung mereka tergocek, ikutan protes dengan fenomena itu.
Kopi susu yang dibawa oleh pak Satpam diminum secara bergantian oleh tukang sapu dan tukang rumpun. Begitu juga dengan rokok yang dibawa oleh tukang sapu, dinikmati bersama-sama. Santai saja. Aku sih gak ngerokok, cuma ikut ngobrol. Tapi jadi punya keinginan, kapan-kapan nraktir mereka ngopi, kopi saset murah-meriah pun sudah bisa bikin mereka senang.
0 notes
sakonone · 2 years ago
Text
Ingin punya "gallery" pribadi, aquarium dan waterscape, pohon natal kecil dan sebagainya. Sayangnya, gak punya rumah.
0 notes
sakonone · 2 years ago
Text
Buah Roh dan Praktek
Menanggapi sebuah postinganku di Facebook, seorang kakak sepupu menyarankan aku agar mempraktekkan buah Roh. Aku sih paham, yang dia maksud adalah agar aku bersabar.
Tapi soal buah Roh, aku gak sepakat kalau buah Roh itu harus dipraktekkan, seperti halnya kita belajar teori, terus praktek. Buah bukan sesuatu yang dilatih, dipejari atau diingat. Buah adalah hasil dari proses, dengan kondisi dan sumber daya yang sudah cukup, pada waktunya akan muncul. Tanpa dipaksa, tanpa direncanakan, tanpa dipaksakan. Sementara praktek adalah sesuatu yang diputuskan, kadang perlu dipraktekkan.
Contohnya, soal sabar. Kalau memang sudah ada buah Roh, kita akan OTOMATIS sabar ketika menghadapi masalah atau musibah. Tidak dibuat-buat, tidak dipaksa-paksa, ya secara alami bisa mengambil keputusan dengan sabar. Sementara kalau praktek, itu kita harus berjuang agar bisa sabar, kadang harus merasa berjuang dan bersusah payah, dan kemudian mengambil KEPUTUSAN untuk memilih sabar - ini bukan buah. Ibarat getah yang diperas, beda dengan buah yang tinggal dipetik.
Apakah buah Roh mengenal musim, seperti buah durian atau buah mangga yang hanya muncul banyak saat musim tertentu? Entahlah hehehe. Tapi kalau diibaratkan buah yang tidak mengenal musim, pohon juga belum tentu berbuah terus, tergantung nutrisi yang dia terima juga. Jadi begitu juga dengan kerohanian, agar buah Roh tetap bisa selalu ada, nutrisi rohani dan keimanan harus selalu dijaga.
0 notes
sakonone · 2 years ago
Text
Money can buy peace of mind, sometimes. Someone: Ngapain kamu ngekost, toh masih balik ke rumah tiap hari? Apalagi kan ada kamar kosong juga di rumahmu. Me: ya biar lebih tenang saja. Someone: Tapi kan jadi boros, harus bayar uang kos yang gak mahal. Me: ya, ada harga yang harus dibayar. Milih ngirit tapi hidup serba salah dan pikiran gak tenang atau sedikit ketenangan tapi uang terkuras. Beberapa orang mencari ketenangan dengan mengorbankan uang kan? Misal lewat hobi, rokok, alkohol dan bahkan narkoba. Nah, bagiku, cukup dengan pindah tempat tidur sudah sedikit bisa memberi ketenangan. Mumpung masih ada duit, dibuang dikit gak apa-apa lah, ketimbang pilihan lain yang lebih merusak jiwa.
1 note · View note