Merenungi
Saat kita bertanya-tanya tentang apa sebenarnya keinginan orang tua terhadap kita, keinginan mereka, harapan-harapannya. Kita tidak tahu apa maunya Ibu, kita tidak juga tahu apa sebenarnya maunya Ayah.
Barangkali, sebenarnya yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang tidak mengerti apa maunya kita, karena kita tidak pernah bercerita kepada mereka. Kita tidak pernah menunjukkan minat kita pada sesuatu dan mengutarakannya. Mereka tidak pernah kita ajak berdiskusi terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, tak terkecuali mengajak mereka saat kita bahagia.
Mereka yang tidak memahami apa maunya kita, karena kita tidak pernah melibatkannya. Selain hanya pada urusan biaya hidup, biaya sekolah, dan segala keperluan kita yang lain.
Hingga tiba saat usia kita beranjak dewasa, beranjak cukup matang dalam takaran mereka. Mereka masih belum menemukan titik terang, apa maunya kita. Hingga mereka memutuskan turun tangan, berusaha mengarahkan, berusaha peduli, sesuatu yang barangkali tidak kita sukai keterlibatannya. Tapi, semata-mata mereka ingin sekali melihat anak yang dicintainya itu, bahagia.
Sudahkah kita berhasil membuat mereka bahagia? Sementara mereka berusaha melakukannya setiap waktu, untuk kita.
©kurniawangunadi | yogyakarta, 1 januari 2018
1K notes
·
View notes
Repost tulisan di penghujung tahun 2017, yang dibuat pada akhir tahun 2016 lalu :)
#Kita Sama-sama Suka Berterima Kasih
Bag I
Kita semua tentu punya ukuran masing-masing dalam menilai “keberhasilan”. Itu berlaku di bidang apapun, termasuk dalam musik. Apa yang membuat suatu album layak disebut berhasil? Ada yang baru puas jika album itu berhasil terjual ribuan kopi. Ada yang baru puas jika album menuai banyak pujian dari kritikus-kritikus skena setempat. Ada juga yang sekadar mampu merilis saja sudah sangat puas, tak terlampau peduli dengan pendapat siapapun mengenai kualitas musik yang ada dalam album itu. Semua orang punya ukurannya masing-masing dan kita tak perlu saling mengganggu gugat.
Jauh-jauh hari sebelum saya dan @rarasekar memulai proses rekaman, saya sering gembar-gemborkan ini ke teman-teman dekat, terutama mereka yang terlibat jauh dalam pembuatan album Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti. Kalau ada satu saja orang yang menangis mendengarkan satu atau dua lagu di dalam album itu, maka album itu saya nyatakan berhasil.
Saya tidak peduli apakah album ini nanti laku atau tidak, biar itu jadi urusan Sorge Records saja. Tak begitu peduli apakah akan mendapat ulasan-ulasan baik. Saya hanya ingin bikin orang nangis. Satu orang saja, cukup. Keinginan itu juga saya beritahu pada Rara, disampaikan dengan nada bercanda tentunya, dan seingat saya ditanggapi dengan ketawa-ketawa oleh Rara. Tapi saya tidak bercanda pada saat menyatakan itu. Saya benar-benar serius dan benar-benar berharap keinginan itu tercapai.
Melihat ke belakang sambil menyusuri kembali proses pembuatan dan rilisnya album kami, saya agaknya merasa sedikit takabur dalam berkeinginan. Saya termakan oleh keinginan sendiri. Memang kelak setelah rilis, ada sejumlah kawan datang pada saya dan mengaku ia berkaca-kaca ketika mendengarkan ini, ia menangis ketika mendengarkan itu. Dalam hati saya puas karena apa yang diinginkan tercapai. Tapi lebih sering album ini jadi senjata makan tuan. Perkenankan saya menjelaskan. Ceritanya agak panjang, begini kira-kira setelah diringkas:
Orang pertama di luar tim produksi yang diperdengarkan hasil rekaman kami adalah Oma saya, Eva Henriette Alma Koroh-Badudu. Pada saat kami rekaman di Yogyakarta medio Januari 2016 lalu, Oma saya -yang oleh keluarga biasa dipanggil Mom- masuk rumah sakit.
Mom adalah figur sentral dalam keluarga kami. Ia dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu. Ia pula yang jadi alasan kami sering kumpul-kumpul keluarga merayakan apa saja yang bisa dirayakan. Tradisi kumpul-kumpul itu sepertinya berakar dari budaya orang Manado.
Orang Manado terkenal suka memestakan apa saja. Ada yang lulus kuliah, makan-makan. Naik kelas, makan-makan. Apa saja asal ada yang bisa dirayakan, kalau bisa ya makan-makan. Tanpa disadari budaya kumpul-kumpul dan makan-makan itulah yang membuat keluarga besar Badudu yang kalau dikumpulkan semua jumlahnya sampai hampir 40 orang bisa akrab dari kecil sampai sekarang.
Saat dirawat, Mom tak menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Malah keluarga diminta bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ini pertanda buruk. Saat itu tak ada yang siap kehilangan Mom. Terlebih pada saat masuk Rumah Sakit kami tak menduga ada sesuatu yang serius akan terjadi. Biasanya tiap masuk rumah sakit, setelah dirawat beberapa hari, ia akan keluar, pulang ke rumah, dan kembali menjalani hari-hari seperti biasa.
Namun kesehatan Mom ternyata terus memburuk. Oleh Rumah Sakit, keluarga dipersilakan secara bergiliran menyampaikan kata-kata terakhir selagi Mom masih bersama kami. Bahasa kasarnya, Mom sebentar lagi akan berpulang. Inilah kesempatan terakhir bertemu dengannya. Akhirnya tiba giliran saya menemui Mom di sebuah ruangan di ICU. Ruang itu, katanya, setingkat lebih tinggi dari ICU. Itu adalah ruang tempat menangani orang yang berada di ambang hidup dan mati.
Itu kali pertama saya melihat orang menghadapi sakratul maut. Sulit rasanya untuk tegar, mengingat yang terbaring di sana adalah orang yang sangat saya sayangi. Bersama dengan sepupu-sepuepu lain, kami memasangkan headphone pada telinga Mom dan memperdengarkan padanya lagu Sampai Jadi Debu. Ini seharusnya diperdengarkan di rumah Mom pada acara kumpul-kumpul keluarga, bukan di ruang ICU seperti ini.
Saya memberi tahu padanya bahwa lagu itu terinspirasi dari perjalan hidup dan kisah cinta Moma dan Popa. Tangannya yang semula bergetar terus sejenak terdiam. Saya tak tahu apakah itu pertanda ia menyimak dan mendengarkan. Mom yang sudah tak mampu membuka mata hanya diam. Sesekali ia mengangguk-angguk kecil. Sesekali juga ia mengerang pelan, sepertinya menahan sakit. Saya yang berdiri di depannya menangis sesenggukan. Dua atau tiga jam setelah itu, Mom yang semasa hidup dua kali sembuh dari kanker dan bergulat dengan diabetes, mengakhiri pertarungannya. Ia berpulang.
Kali kedua lagu dalam album diperdengarkan adalah di rumah duka, saat Mom disemayamkan. Kurang dari sepekan setelah kami selesai rekaman di Yogyakarta, Mom berpulang. Keluarga diperbolehkan menyampaikan persembahan terakhir sebelum Mom dikebumikan. Saat tiba giliran cucu-cucu menyampaikan salam perpisahan, lagu itu kembali diperdengarkan. Di samping peti, saya dan sepupu-sepupu lain, juga mereka yang datang dalam ibadah perpisahan, menangis sesenggukan.
Memang ada keinginan saya membuat orang menangis lewat album itu, tapi bukan seperti ini maksudnya. Tak seserius ini. Dalam bayangan saya adalah menangis haru yang bertahan sebentar saja sehabis itu langsung berlalu. Bukan nangis menghadapi kehilangan yang amat besar. Seolah album ini memang disiapkan untuk menghadapi ekses-ekses kehilangan yang terjadi sebelum maupun setelah semua album selesai digarap. Tiga bulan setelah berpulangnya Mom, Popa menyusul. Satu lagi kehilangan besar yang terjadi di tahun 2016. Saya hampir tak pernah mendengarkan lagu-lagu Banda Neira lagi setelah melalui banyak kehilangan itu.
Bag II
Bubarnya Banda Neira seolah jadi puncak dari segala kehilangan yang terjadi di tahun ini. Skalanya tentu beda dengan kehilangan anggota keluarga yang berpulang. Tapi sedih ya tetap sedih. Nyesek ya tetap nyesek. Beruntung ada waktu lumayan panjang untuk mempersiapkan diri, hampir setahun lamanya. Dalam proses diskusi dan tarik-ulur pendapat itu kami bisa mencicil kesedihan, hingga di hari pengumuman kesedihan itu telah lunas terbayar. Dari sana kami boleh beroleh suatu sikap ikhlas melepaskan.
Oleh seorang teman, setelah pengumuman bubar, saya sempat ditanya apa arti Banda Neira bagi saya. Saya jawab, Banda Neira itu memulihkan. Tapi tak saya jelaskan terlampau panjang. Saya yang sekarang sama sekali berbeda dengan saya empat tahun lalu, sebelum adanya Banda Neira. Dulu saya luar biasa tidak komunikatif. Sulit bicara. Serba tak percaya diri. Belakangan saya setelah membaca informasi di sana sini saya menyimpulkan saya mengidap semacam inferiority complex, perasaan rendah diri yang berlebihan, yang irasional, yang menghambat kekaryaan, dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Hanya Ada satu hal yang bisa dibanggakan dari masalah itu. Saya baru tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer ternyata pernah mengalami hal serupa, semasa muda ia mengidap inferiority complex. Dalam sebuah artikel wawancara ia ungkapkan satu peristiwa yang membuatnya mampu menaklukan perasaan rendah diri yang berlebihan itu: ia meniduri seorang perempuan Eropa. Peristiwa itu jadi tonggak kemenangan Pram mengatasi masalah psikis yang ia hadapi. Agak banyol memang tapi begitulah adanya yang disampaikan Pram di wawancara itu.
Bukan maksud menyanding-nyandingkan diri dengan Pram. Siapalah saya di hadapan Pram. Tapi saya senang mendengar ada orang lain pernah punya masalah sama kemudian berhasil menaklukannya. Semacam memberi optimisme bahwa masalah ini bisa juga ditaklukan sepanjang kita tidak menyerah.
Dalam bermusik, perasaan rendah diri itu barangkali tak terlampau kelihatan. Tapi itu sangat terlihat dalam aspek hidup saya yang lain, yaitu kehidupan di dunia tulis menulis. Selama enam tahun bekerja di Tempo, hampir tak pernah saya membagikan hasil kerja pada khalayak. Membagi link tulisan paling-paling hanya lima sampai enam kali sepanjang enam tahun berkecimpung di dunia jurnalistik. Ada teman-teman yang meminta tulisan yang saya bikin, saya baru kirim dua-tiga pekan setelah diminta. Seringkali saya ngeles dan tak mengirimkannya sama sekali. Sangat tidak rasional.
Dan sepanjang enam tahun itu pula, selama bekerja di media, saya berusaha menaklukan perasaan rendah diri itu. Puncaknya di tahun ini, saya bisa dibilang setengah undur diri dari dunia jurnalistik, dari dunia tulis-menulis. Kerja saya enam bulan belakangan hanya merenung dan merenung saja. Jelas bukan satu kegiatan yang asyik.
Namun dalam hal bermusik, usaha menaklukkan perasaan rendah diri itu mengalir begitu saja dan sangat menyenangkan. Itu karena saya berada dalam posisi “terjerumus” sehingga “mau tak mau” harus maju terus. Tak mungkin ada cerita kami menolak manggung, bisa-bisa didenda oleh penyelenggara acara jika kami batal datang memenuhi undangan manggung. Ketika bertemu Rara dan mulai menggarap lagu-lagu bersama pada 2012 lalu, sama sekali kami tak pernah membayangkan musik Banda Neira akan didengar banyak orang. Apalagi sampai kami bertandang ke banyak kota, tampil di hadapan kalian para pendengar.
Kami tak mungkin keliling manggung di mana-mana jika tak ada kalian yang mendengarkan Banda Neira. Tak mungkin kami manggung di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, Semarang, Malang, Balikpapan, Garut, Bogor, Kiluan, Bali, dan kota-kota lain yang pernah kami sambangi sepanjang usia Banda Neira yang singkat ini. Dan semua pengalaman yang amat menyenangkan itu masih terekam jelas di kepala.
Banda Neira banyak sekali membantu usaha saya menaklukkan perasaan rendah diri yang berlebih itu. Karena banyak manggung, mau tak mau saya harus belajar public speaking agar tak canggung di hadapan penonton. Juga belajar mengelola kegugupan. Juga menjadi berani menampilkan karya. Sulit membayangkan apa jadinya sekarang jika kemarin Tuhan tak mempertemukan saya dengan Rara, dengan teman-teman Sorge Records yang banyak membantu tumbuh kembang Banda Neira, teman bermusik bersama di Yogyakarta, juga dengan teman-teman sesama musisi yang kami temui di sepanjang perjalanan.
Dan yang teratas dari semua itu adalah Banda Neira tak akan jadi seperti itu tanpa kalian para pendengar Banda Neira. Jika empat tahun belakangan tak bertemu kalian semua, mungkin lagu-lagu Banda Neira hari ini masih nganggur begitu saja ngejentrung di harddisk laptop. Atau bahkan tak akan pernah tercipta sama sekali. Mungkin saya masih berkubang di lumpur yang itu-itu juga, termakan perasaan rendah diri yang tak henti-hentinya bercokol di kepala.
Bag III
Yang amat tak diduga-duga dari semua pengalaman ini adalah rentetan peristiwa yang terjadi setelah kami mengumumkan bubar 23 Desember 2016 lalu. Pada hari itu saya sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan buruk. Menyiapkan diri kalau saja ada yang menghujat keputusan kami. Jika ada yang marah-marah karena kami tak bisa mempertanggungjawabkan karya. Tapi respon yang kami terima malah kebalikan dari segala bayangan-bayangan buruk itu.
Sungguh sampai saat ini tak bisa saya mengerti, teman-teman sekalian malah banyak mengucapkan terima kasih ketimbang marah-marah kepada kami. Sampai-sampai di media sosial banyak bertebaran tagar #terimakasihbandaneira. Tak pernah saya bayangkan lagu-lagu yang kami buat bisa begitu menyentuh teman-teman sekalian, bahkan tak sedikit yang mengatakan jadi soundtrack fase-fase dalam hidup teman-teman sekalian.
Agak sulit membayangkannya karena saya tahu persis bagaimana proses lagu-lagu itu dibuat. Ada yang melodinya muncul tiba-tiba ketika sedang bermacet-macet ria menunggang motor di Jakarta, seperti lagu Kisah Tanpa Cerita. Lagu Rindu, misalnya, diselesaikan saat listrik di rumah sepupu saya di Jakarta padam. Kebetulan saya sedang menginap di sana, dan dalam suasana gelap gulita, panas, dan pengap karena listrik padam lumayan lama, saya ambil gitar, genjrang-genjreng tak disangka-sangka menemukan melodi lengkap lagu Rindu.
Sampai sekarang kadang saya masih tak habis pikir bagaimana lagu-lagu Banda Neira bisa bekerja dan punya arti dalam diri dan hidup teman-teman.
Menulis pesan terima kasih itu barangkali suatu hal yang ringan saja buat teman-teman. Kalian barangkali tak akan pernah tahu seberapa besar dampak ucapan-ucapan itu pada diri saya. Atau pada diri Rara. Sulit juga menjelaskannya. Kalau boleh berlebay-lebay kata, rasanya seperti orang terlahir kembali, dibangkitkan kembali setelah mengalami keterpurukan yang teramat dalam.
Seperti Pram yang berhasil beroleh tonggak kemenangan melawan perasaan rendah diri yang berlebih itu, saya pun merasa sama. Satu per satu saya baca semua ucapan terima kasih teman-teman, saya merasa hari bubarnya Banda Neira 23 Desember lalu itu adalah hari saya beroleh kemenangan menaklukkan inferiority complex. Merasa terbebas dar masalah yang menghantui bertahun-tahun belakangan.
Kebebasan itu rasanya seperti mendadak terlempar ke hutan pinus Alaska setelah bertahun-tahun hidup di gurun Sahara. Pergulatan bertahun-tahun itu akhirnya selesai juga –atau setidaknya saya nyatakan selesai. Tak ada gunanya berkubang berlama-lama dalam perasaan rendah diri. Keluar dan berkaryalah. Banyak terima kasih saya ucapkan kepada kalian yang sadar tak sadar membantu saya keluar dari masalah itu. Saya berutang banyak sekali pada teman-teman sekalian.
Bag IV
Rupanya ada untungnya juga kami tak pernah memberi nama bagi pendengar Banda Neira. Tak membuat semacam fans club atau sejenisnya. Juga ada hikmahnya kalau kami enggan menyebut Banda Neira sebagai duo walau hikmahnya baru diketahui sekarang-sekarang ini.
Setelah bubar, Banda Neira bukan lagi saya dan Rara Sekar. Namun itu justru membuka kemungkinan lebih besar. Dulu, sering kami katakan bahwa separuh, sebagian, atau sebagian besar Banda Neira adalah Rara Sekar. Atau separuh, sebagian, atau sebagian besar Banda Neira adalah Ananda Badudu. Sekarang itu tak lagi berlaku karena kami sudah berpisah jalan.
Sekarang, siapapun boleh menyebut mereka adalah Banda Neira. Hmm, terdengar aneh, tapi rasanya tak salah. Kini separuh, sebagian, atau sebagian besar dari Banda Neira adalah kalian juga. Kalian yang terus memberi nyawa dan kehidupan pada lagu-lagu itu. Perjalanan sepanjang empat tahun itu perlahan mengubah kami menjadi kita. Lagu-lagu itu kini jadi punya mu juga.
Terima kasih untuk pengalaman yang begitu mengubah hidup. Semoga kalian pun beroleh kebaikan, sebagaimana kami banyak beroleh kebaikan dari kalian semua. Akhir kata, izinkan saya merangkai-rangkai judul album sendiri menjadikannya penutup tulisan ini. Agar yang patah lekas tumbuh dan yang hilang kelak berganti, kita mesti senantiasa berjalan dan berjalan lebih jauh.
Juga perkenankan saya untuk membalas tagar #terimakasihbandaneira dengan #terimakasihpadakaliansemua. Atau kalau itu kurang cocok, bolehlah kita coba tagar yang ini: #KitaSamasamaSukaBerterimaKasih.
Maaf kalau terlalu personal. Maaf juga kalau terlampau sentimentil. Semoga dimaklumi. Gapapa lah ya, sekali-sekali :)
Sekian. Selamat menyongsong tahun baru 2017. A luta continua.
Salam,
Ananda Badudu
Bandung, 31 Desember 2016
ps:/��x�(��
774 notes
·
View notes