gitapsar
🍀
146 posts
menulis untuk merasa lega
Don't wanna be here? Send us removal request.
gitapsar · 10 months ago
Text
Saya hampir menyerah, ya Allah. Semoga di setiap hari yang Kau beri masih ada kekuatan untukku tetap berdiri.
0 notes
gitapsar · 1 year ago
Text
Tumblr media
Salah satu bukti bahagia dan duka bisa datang bersama: Di hari paket buku datang, di hari yang sama juga mesti dirawat di rumah sakit☺
0 notes
gitapsar · 2 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Danur kawanku, betapa aku bersyukur.
2 notes · View notes
gitapsar · 2 years ago
Text
       Di usia 25 ini, aku berharap memiliki seseorang yang bisa kuajak bicara, berbagi, dan bertukar pikiran. Melihat kawan-kawan yang perlahan-lahan menemukan tambatan hatinya, harus kuakui aku iri.
            Suatu hari, ponselku berdering. Beberapa panggilan tidak terjawab. Notif whatsappku ramai. Ponselku sibuk.  Siapa nih gumamku karena aku merasa asing dengan kesibukan ponsel. Mungkinkah ini waktunya?
            “Halo, benar ini dengan Anggit Apsari?” suara seorang pria terdengar di telinga dan tanpa alasan yang jelas, aku tersenyum. Sudah lama tidak ada pria yang menelepon dan menyebut nama lengkapku.
            “Iya, betul. Maaf, ini dengan siapa ya?”
            “Apa anda kenal dengan saudara XXXX XXXX? Menurut catatan kami, anda dicantumkan sebagai kontak darurat. Yang bersangkutan sulit dihubungi,”
            DAMN. Pinjol.
            Aku menyesali senyumku tadi. Moodku seketika berubah.
            Semenjak hari itu, telepon yang setiap hari masuk padaku bukanlah telepon dari seorang kekasih kepada pacarnya. Melainkan telepon seorang pegawai kantor pinjaman online yang berusaha mencari kliennya lewat kontak darurat.
            Nasib oh nasib.
            Sampai hari ini, saat aku mengunggah tulisan ini, aku masih dihubungi pihak pinjol yang meminta aku menyampaikan kepada saudaraku (berbeda kota dan tidak meminta izin dariku untuk mencantumkan nomorku sebagai kontak darurat) untuk membayar tagihan.
            Betapa hidup sudah repot, semakin saja repot dengan hal-hal yang seharusnya tidak menjadi urusanku.
            Bicara tentang utang, aku sedang tidak paham kenapa sejak tahun lalu aku banyak dihubungi entah kawan lama, kawan dekat, bahkan saudara untuk meminjami mereka sejumlah uang. Padahal, mereka semua tahu kondisi keuanganku dan kondisi pekerjaanku yang belum stabil.
            Polanya selalu sama. Meminjam uang dengan nominal besar, kemudian aku tolak karena tidak ada, lalu mereka turunkan nominalnya. Jika masih aku tolak, mereka akan berkata “Tanggal sekian diganti kok beneran.”
            Beberapa kawan memang bertanggung jawab. Meminjam, kemudian mengembalikan sesuai nominal dan tanggal yang dijanjikan. Tetapi, tidak sedikit yang pura-pura lupa. Atau meminjam dengan terkesan memaksa.
            Padahal, aku sedang berusaha keras menabung untuk membangun rencana usahaku. Kenapa aku pinjamkan? Karena mereka meminjam dengan baik, banyak diantara mereka yang merupakan kawan yang kupercaya, saudara yang kusayangi.  Aku ingin urusanku dimudahkan karena aku memudahkan urusan orang lain.
            Sebetulnya, nominal mereka meminjam mungkin tidak sampai puluhan juta. Meski begitu, tetap saja. Satu orang meminjam 100 sampai 500 ribu padaku. Tapi jika dikali beberapa orang dan berkali-kali sejak tahun lalu, seharusnya aku bisa membeli laptop baru atau hal lain untuk diriku sendiri.
Satu dua kali, aku pinjamkan. Setiap telat, tidak pernah aku tagih. Aku membiarkan mereka mengembalikan kapan saja semampu mereka. Setelah mengembalikan, seminggu kemudian meminjam lagi. Sampai akhirnya aku berpikir aku harus menolak pinjaman apapun, dan siapapun sebab lama-lama, orang tersebut menjadi seenaknya.
Minggu lalu, laptopku rusak. Sudah sulit dipakai bekerja dan sulit dibawa kemana-mana. Maklum, laptop ini adalah laptop lama yang sudah kupakai selama 7 tahun. Sepertinya sudah waktunya aku mengganti yang baru.
Aku mengecek rekening, menimbang-nimbang uang yang kupunya.
Masih jauh dari cukup.
WhatsAppku menyala. Seorang teman menghubungiku untuk meminjam uang (lagi) dan langsung kutolak.
Saat itulah aku merenung. Andaikan aku menagih utang-utangku, aku pasti bisa membeli laptop baru.
Awalnya, aku enggan menagih karena merasa akan sia-sia. Tapi adikku meyakinkanku jika utang memang seharusnya ditagih karena urusannya juga dengan Tuhan. Pun, nominalnya tidak sedikit.
Setelah melihat saldo di rekening yang sepertinya tidak cukup untukku sampai akhir bulan dan laptop yang harus segera diperbaiki, untuk pertama kalinya, aku menagih hutang.
Sampai sini, aku rasa yang memiliki kisah serupa pasti sudah tau hasilnya.
Nihil.
            Ketika mereka membutuhkanku, aku membantu mereka secepat mungkin bahkan sampai kupakai uang tabunganku karena menurutku mereka adalah kawan dan saudara yang kupercaya. Aku takut mereka sedang benar-benar butuh, tidak bisa makan, kesulitan.
Sebaliknya, ketika aku membutuhkan mereka untuk mengembalikan hak milikku, rasanya amat sulit. Aku seperti orang bodoh yang mengemis-ngemis demi sesuatu yang memang milikku.
“Bisa kak hari ini,”
Kutunggu seharian, tidak ada uang yang masuk.
“Maaf kak kemarin belum bisa, sore ya.”
Kutunggu sampai sore, tidak juga ada.
“Ini aku lagi ambil uang kak,”
Entah dia mengambil uang di benua mana yang jelas seharian kutunggu tetap tidak ada.
“Maaf kak baru bales, aku habis berobat. Hari ini ya.”
Kuucapkan lekas sembuh, tapi tetap kutagih karena aku mulai lelah.
“Nanti ya kak setelah hujan reda.”
Hujan bukan hanya sudah reda. Matahari sudah kembali bersinar. Jemuranku sudah kering. Tapi tetap tidak ada kabar.
Padahal, jika tidak ada tinggal bilang tidak ada. Tidak perlu bilang bisa mengembalikan tapi ternyata omong kosong belaka.
Aku menyerah. Kuhubungi yang lain berharap dia mengerti kebutuhanku.
“Oh hutang aku jadinya berapa ya git? Coba diitung."
Ternyata sudah dihutangi, aku juga yang harus menghitung. Hahaha.
Kubuka chat-chat sejak tahun lalu, kucatat nominal-nominal yang pernah aku kirimkan sampai aku kaget karena jumlahnya ternyata lebih banyak dari yang aku kira.
“Sekian,” kusebutkan jumlahnya dengan semangat.
Setelah itu, yang masuk ke pesanku hanya kata-kata “Waduh, belum ada Git.”
Padahal minggu lalu ia mengajakku pergi jalan-jalan yang saat itu aku tolak karena tabunganku semakin menipis. Sudahlah, tidak ada harapan.
Tadinya aku tidak ingin menulis ini. Tapi akhir-akhir ini aku terlalu sering dikirimi pesan untuk meminjamkan uang.  Frekuensi keseringannya sudah tidak masuk diakal padahal aku jarang sekali update kehidupanku di media sosial. Lama-lama aku merasa seperti lintah darat.
Entah mereka beranggapan aku punya uang dari mana.
Sebetulnya, aku sama sekali tidak menyalahkan keputusan seseorang untuk berutang. Entah itu kepada pinjaman-pinjaman online, bank atau kepada orang-orang terdekat mereka. Selama mereka sanggup bertanggung jawab, silakan. Toh, bapak dan ibuku dulu pun pernah berutang untuk membesarkan anak-anaknya.
Sayangnya, tidak semua orang bijak ketika memutuskan untuk berutang. Saat meminjam begitu ramah, menjual kesedihan sampai bantuan didapat. Setelahnya, sulit dihubungi, pura-pura lupa bahkan marah ketika ditagih.
Akhirnya menjadi pelajaran untukku agar tidak sembarangan meminjamkan uang pada yang tidak bijak.
Itulah mengapa aku selalu menghindari berhutang. Hidup sudah repot dan aku tidak ingin merepotkan orang lain.
Biarlah, semoga rezekiku terganti. Aku selalu sehat. Dan jodoh segera datang.
He he he.
0 notes
gitapsar · 2 years ago
Text
Hampir sebulan kepergian eyang putri. Masih belum terasa nyata. Menulis ini pun masih dengan hati yang gemetar. Dua tahun terakhir aku merasa aku menjadi lebih dekat dengan eyang. Tidak pernah ada satu hari terlewati tanpa mengunjungi eyang putri meski sebentar.
Eyang adalah nenek yang baik pun bijak. Atas pencapaianku yang belum sempurna, eyang tidak pernah berkomentar apa-apa selain berkata 'Keun weh ka, ngke ge aya waktuna. ' (Tidak apa-apa, Ka. Nanti juga ada waktunya).
Sambil memijat kaki eyang, eyang biasanya bertanya banyak hal. Tentang aku, tentang Ibu, tentang adik-adik. Sering kali aku meminta maaf pada eyang 'Yang, maaf, kakak belum bisa kasih apa-apa sama eyang'. Kemudian eyang hampir menangis dan kami berdua menjadi emosional.
Meskipun aku beranjak dewasa dan sudah lulus kuliah, eyang masih begitu peduli dan penuh perhatian. Eyang masih sering bertanya apa aku punya uang atau tidak dan tentu saja aku jawab 'Ada, Eyang' karena jika kujawab aku tidak punya uang, eyang akan memberiku uang jajan.
Tidak hanya padaku, tapi eyang juga selalu perhatian pada cucu-cucunya yang lain. Di mata eyang, kami semua berharga. Eyang tidak pernah membeda-bedakan perlakuannya.
Meski adik-adikku tidak sedekat aku dengan eyang, eyang akan selalu bertanya bagaimana keadaan mereka, kondisi sekolahnya, kesibukannya dan selalu berkata 'Kalau butuh apa-apa, kasih tau eyang. Jangan malu-malu.'
Eyang juga selalu berterima kasih bahkan atas hal-hal kecil. Mengapresiasi segala yang aku lakukan.
Suatu hari, eyang menjatuhkan kopi yang masih penuh. Aku membersihkannya karena saat itu kondisi eyang sudah tidak bisa banyak bergerak (hanya terbatas duduk di kursi roda). Dan eyang hampir menangis 'Hampura eyang, kakak.' (Eyang minta maaf, Kakak)
Sambil menahan diri agar tidak menangis, aku berkata bahwa eyang tidak perlu minta maaf. Sudah tugas anak-anak dan cucu eyang untuk mengurus eyang. Eyang tidak perlu merasa bersalah. Tapi eyang selalu merasa begitu. Tidak hanya padaku tapi juga pada anak dan cucunya yang lain.
Sejujurnya dadaku sesak mengetahui eyang selalu merasa bersalah dan selalu merasa merepotkan. Eyang tidak seharusnya memiliki perasaan itu.
Sebelum eyang tidak sadar, aku sempat mengobrol dengan eyang sambil seperti biasa aku memijat kaki eyang.
'Kak, eyang teh kenapa ya? Mau sembuh atau mau pulang (meninggal dunia)? Kalau mau sembuh ya sok atuh sembuhkeun ya Allah, karunya barudak sareng incu abdi. Kalau harus pulang, sok pulang.'
Untuk pertama kali, aku tidak bisa mengendalikan bulir air mata. Aku berusaha tenang kemudian berkata 'Sembuh eyang. Eyang harus banyak istirahat, banyak makan. Insya Allah eyang sembuh.'
Takdir berkata lain. Kurang dari sebulan, disaat eyang menunjukkan kebahagiaannya karena sudah mulai bisa berlatih jalan, eyang tiba-tiba demam. Tiga hari kemudian, eyang berpulang.
Tidak pernah rasanya hati teramat sakit beberapa tahun terakhir. Tidak punya uang, tidak punya pekerjaan tetap, gaji yang kecil, masalah jodoh seakan menjadi masalah yang beratnya hanya seujung tai kuku.
Kehilangan eyang adalah duka yang mendalam.
Terlebih, beberapa hari kemudian aku diberitahu bahwa ternyata sebelum berpulang, eyang meninggalkan catatan.
Sore itu aku sedang mandi. Adikku mengetuk pintu kamar mandi memberitahu jika aku diminta ke rumah eyang segera.
Begitu tiba, aku diberikan kertas dengan tulisan tangan eyang.
Eyang menyebut namaku dalam dua poin suratnya.
Eyang menghadiahi beberapa barangnya untukku serta menitipkan dua sepupuku yang biasa aku jaga saat om dan tanteku bekerja.
'Ka... ' begitu aku ditulis eyang dalam catatannya
Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku tahu eyang sayang aku tapi aku tidak tahu kalau sayang eyang padaku jauh lebih besar dari yang aku kira.
Eyang, selamat jalan.
Izinkan kakak melanjutkan hidup.
Dalam waktu yang lama, akan kakak kenang eyang dengan segala kebaikan dan pelajaran yang eyang berikan.
Salam untuk Bapak dan Eyang Kakung.
Semoga surga untuk kalian semua.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
gitapsar · 2 years ago
Text
Bagaimana jika
Dihadapanmu dan banyak pasang mata, aku salah bicara?
Kemudian kamu membuat kesimpulanmu sendiri
Padahal tidak ada maksud hati selain terkejut karena lemparan pertanyaan yang tiba-tiba
Andai aku pandai bicara,
tentu akan kujawab betapa hati tengah memikirkan satu nama
Namamu
Yang selalu melintas di sela-sela waktu
0 notes
gitapsar · 2 years ago
Text
Seruang kecil dalam hatiku yang gusar menerka-nerka,
mengusik hari yang semula sedamai gerak perahu yang mengalun pelan di atas lautan tenang
kini telah riuh
Ramai disesaki pertanyaan tanpa jawaban
Aku terombang-ambing
'Kau, mengapa tidak bertanya agar aku bisa menjawab?'
0 notes
gitapsar · 2 years ago
Photo
Tumblr media
ilustrasi: canva
0 notes
gitapsar · 3 years ago
Photo
Tumblr media
Amirah adalah saksi perjalanan hidup sejak SMP. Sahabat yang terlampau tau seluk-beluk, tindak-tandukku. Berbagai emosi pernah kami hadapi. Berantem gara-gara hal sepele, adu argumen, sampai perang dingin pernah kami lewati. Momen-momen bahagia apalagi. Banyakkk. Dan semoga, kami masih bisa melewati berbagai momen lainnya sampai kami tua. Di 24 tahun usianya hari ini, aku ingin berterima kasih sekaligus berdoa. Semoga berkah dan bahagia selalu hidupnya sebagaimana dia selalu membuat orang-orang disekitarnya bahagia. https://www.instagram.com/anggitapsari/p/CX-CUz5vMOu/?utm_medium=tumblr
0 notes
gitapsar · 3 years ago
Text
24
Tahun ini, aku merasa sepertinya aku terlalu bisa bahagia ditengah segala kesulitan yang ada. Ditengah kabar duka di sana-sini. That's why I didn't repost any birthday wishes from my friends on instagram.
Tumblr media
Egoisnya, aku gak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Aku terlalu bahagia untuk menyembunyikan kebahagiaan yang aku punya selama 24 tahun aku hidup.
Seiring usia, aku merasa bahwa ulang tahun bukan untuk dirayakan dengan meriah, tetapi untuk disyukuri. Dimaknai kembali.
Aku pernah ada di titik terendah dalam hidup. Melewati ratusan kesedihan, kepedihan, melewati juga banyak kepergian dan kehilangan. Aku pernah menangis meraung-raung, mempertanyakan kenapa hidup begitu tidak adil. Kenapa untuk bahagia, rasanya begitu sulit. Kenapa untuk bangkit, mesti lewati sakit.
Sudah dan mungkin masih akan kulewati.
Tapi, aku gak mau lagi menyalahkan hidup. Aku gak ingin larut dalam kesedihan atau persetan apapun itu namanya. Aku ingin aku lebih bersyukur karena aku merasa 24 tahun hidupku ini ajaib.
Dihidupku yang terkadang masih lupa Tuhan, Tuhan masih sayang aku.
Aku diberikan begitu banyak hal mewah yang gak melulu tentang harta.
Aku diberikan keluarga yang gak pernah menuntutku untuk menjadi siapapun selain diriku sendiri.
Aku diberikan sahabat-sahabat yang bukan hanya sekadar ada saat aku diberi lebih harta dan bahagia, tapi juga ada saat aku terluka dan ngga punya apa-apa.
Aku bersyukur bisa menjalani hari-hari yang sangat berat, tetapi masih dengan hati yang ringan dan riang.
Aku bahagia.
Aku bersyukur.
Terima kasih, ya Allah.
Berikanlah selalu pertolongan dan perlindunganmu untuk orang-orang baik yang senantiasa ada di kehidupanku.
Aamiin.
0 notes
gitapsar · 3 years ago
Text
Bukan Cerpen
2020, aku pernah membuat catatan yang isinya:
Tumblr media
Konteksnya? Apapun. Pekerjaan, keinginan, pasangan atau hal remeh-temeh sekalipun. Meskipun catatan itu sebetulnya aku tulis setelah putus hubungan dengan seseorang.
Hubungan terakhir membuatku sangat kelelahan, membuatku ketakutan dan khawatir untuk memulai kisah yang baru. 
Aku lelah mengenal seseorang lagi dari awal. Aku lelah menaruh kepercayaan kemudian dikhianati. Karena itulah akhirnya aku berdoa jika aku harus memulai hubungan lagi, semoga bukan dengan orang yang sangat jauh yang baru kali itu namanya kudengar. Aku berharap siapa tahu jika dengan orang yang setidaknya namanya aku tahu, aku akan lebih mudah untuk bisa percaya kembali. Dan saat menulis catatan itu, aku tidak sedang memikirkan siapapun.
Setelah catatan itu ditulis, aku tidak pernah lagi menggebu-gebu ingin memiliki pasangan. Biarlah, toh nanti pun datang sendiri. Urusan cinta, jadi prioritasku paling bawah. Ada tanggung jawab yang lebih besar: mencari pekerjaan, mengejar karier, menjaga rumah agar tetap hangat, dan menjaga diriku sendiri agar tetap bahagia.
Saat ada yang datang, aku tak pernah berharap lebih. Aku tak pernah berharap mendapatkan komitmen. Aku membiarkan yang datang, aku tidak meratapi yang pergi. Mungkin semacam mati rasa. Saat dihubungi, aku memberi respons, ketika tidak dihubungi, aku tidak mencari. Suatu hari, aku ditawari ajakan pada arah serius. Hati-hati aku memikirkan jawaban, tapi aku menyerah. Aku belum siap memulai apapun.
Begitulah aku menjalani hari-hari selama hampir dua tahun ini. Bahagia dengan segala yang kupunya tanpa memikirkan kapan aku punya pasangan.
Sampai akhirnya, aku dibuat bingung oleh seseorang.
Seseorang yang sama sekali jauh dari bayangan, yang sama sekali tidak terpikir olehku bahwa kelak aku akan menaruh hati pada orang ini. Seseorang ini bukan hanya dekat, tapi erat.
Kami bertahun-tahun saling mengenal. Bertemu, berkumpul, bersama-sama dalam waktu yang lama. Aku kenal betul humornya, aku tau rupa-rupa ekspresi wajahnya, aku hapal betul suara, gaya bicara dan gestur tubuhnya.
Bahkan, saat ada kesempatan berdua, aku sama sekali tak pernah memandang dia sebagai 'laki-laki'. Aku menganggapnya hanya sebagai kawan yang aku pedulikan. Sebagai saudara. Tidak pernah ada satu kali pun aku merasakan perasaan apapun pada orang ini. Jauh. Jauh dari bayangan. Seberapa dekat pun fisik kami berdekatan, aku berani bersumpah bahwa tidak pernah ada debaran.
Hingga suatu hari, kami berbalas pesan. Biasa saja. Dia bercanda seperti biasa, aku merespons sewajarnya dan tidak beranggapan apa-apa. 
Percakapan itu berlanjut hingga berhari-hari.
Tentu aku tidak ingin berpikir terlalu jauh. Toh, percakapan kami santai, sehingga aku menganggapnya sebagai percakapan antar teman seperti biasa yang kebetulan panjang dan berkelanjutan. Apalagi, kami juga sudah jarang bertemu semenjak pandemi. Berbalas pesan, siapa tau cara kami melampiaskan kerinduan satu sama lain.
Tiga hari, empat hari, lima hari...
Seseorang ini melemparkan banyak topik pembicaraan, antusias bertanya banyak tentangku, banyak memujiku, menunjukkan kegemarannya, menunjukkan gambar hasil karyanya, berterima kasih atas hal yang memang sudah seharusnya aku kulakukan, bahkan yang membuatku tersenyum, ia memintaku untuk jangan bosan berbincang dengannya.
Bagaimana aku bisa bosan, jika percakapan ini menyenangkan
Aku mulai beranggapan bahwa kawanku ini punya maksud lain dalam arti ia mungkin menaruh perasaan padaku sebab sebelumnya sama sekali tidak pernah dia semanis ini.
Jika iya, aku senang, tapi sejujurnya aku khawatir.
Dia adalah kawan dekatku. Aku bingung bagaimana seharusnya aku bersikap jika benar memang ada maksud lain. Setiap dia menurutku sedang gombal, aku tau arah percakapannya ke mana, tapi aku berpura-pura tidak mengerti dan seringkali mengalihkan topik ke arah lain. Aku tidak mau gegabah dengan langsung merespons riang setiap kali menurutku dia sedang 'gombal', meskipun dalam hati dada berdebar.
Yang jelas, dia mulai membuatku berandai-andai bagaimana jika kami akhirnya menjadi pasangan.
Entah kenapa, setiap memikirkan itu, aku merasa damai. Aku merasa jika aku menjadi pasangannya, aku tidak perlu khawatir akan banyak hal. 
Baik itu subjektif. Tapi selama bertahun-tahun, aku mengenalnya sebagai laki-laki yang memiliki sikap. Kepribadiannya mendekati sempurna. Aku suka cara bagaimana dia memperlakukan kawan-kawannya, aku suka bagaimana cara dia berinteraksi dengan banyak orang. Ia ramah dan riang kepada siapa saja. Aku suka bagaimana santun tutur kata dan perilakunya pada orang yang lebih berusia. Aku suka bagaimana dia bisa menempatkan diri dengan siapa dia berbicara dan berinteraksi. Dan hal lain yang juga penting, aku tau dia bukan laki-laki yang tidak bisa jika hanya dengan satu wanita saja.
Sangat banyak hal-hal yang baru aku sadari selama percakapan terjadi yang membuatku penasaran dan kagum pada orang ini.
Sampai pada hampir dua minggu kelanjutan percakapan kami, kepalaku mulai penuh sesak akan pertanyaan, perasaanku mulai tidak karuan. Apa yang sebenarnya kawanku ini sedang lakukan? Pendekatan? Atau hanya sekedar butuh teman untuk berbalas pesan? Aku butuh tau jawaban itu. Aku butuh tau agar aku bisa merespons dengan tepat. Aku takut aku salah paham pada perasaanku. Aku takut salah responsku menyebabkan perkawanan kami menjadi canggung. 
Akhirnya, aku berasumsi bahwa mungkin saja dia ingin lebih mengenalku karena penasaran. Tidak lebih. Aku berusaha meresponsnya degan tidak terlalu girang karena aku takut percakapan kami ini tidak berarti apa-apa baginya. Aku memutuskan akan memastikannya dengan melihat bagaimana kami sebulan ke depan. Kalau satu bulan ke depan percakapan ini masih terus berlanjut, sudah pasti tujuannya padaku bukan sekadar mencari teman berbalas pesan. Dan aku akan memikirkan respons yang lebih baik, respons yang seharusnya.
Tapi tiba-tiba, dia menghilang. Di dua minggu percakapan kami, dia mendadak berubah. Tidak ada antusias, tidak mencari topik pembahasan seperti yang biasa dia lakukan, tidak melempariku banyak pertanyaan, bahkan berhenti menunjukkan kelanjutan gambarannya lagi.
Aku sedih. Tapi tidak ada kuasaku untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Daripada marah, aku lebih khawatir aku pernah salah ucap, aku khawatir aku membuatnya tidak nyaman. Aku khawatir aku memberikan respons yang tidak dia inginkan karena perubahan itu benar-benar mendadak tanpa aku tau penyebabnya. Malam sebelum dia berubah, dia masih dengan manis bercanda bahwa dia akan berlatih mengedit foto kemudian akan menunjukkan hasil editan fotonya kepadaku saat dia sudah pandai. Aku meresponsnya dengan jawaban iya.
Malam itu, aku tersenyum, tidur dengan nyenyak dan tidak sabar untuk memulai hari tanpa tau bahwa keesokan harinya, tidak ada lagi pesan-pesan manis yang biasanya kutunggu.  
Sial.
Dua minggu yang singkat membuatku jatuh cinta dengan sangat.
Tuhan, akankah yang jauh-jauh kucari ini ternyata benar dekat? Atau hanya sekadar lewat?
1 note · View note
gitapsar · 3 years ago
Text
Tumblr media
Seseorang menambahkan senyuman ke dalam foto telapak tangan yang aku kirim. Entah kenapa foto yang semula biasa, setelah kulihat ulang, maknanya menjadi berbeda.
Barangkali senyum itu harus kugenggam sebagai pengingat bahwa kebahagiaan ada di mana-mana. Bahwa alasan tersenyum amatlah banyak.
0 notes
gitapsar · 4 years ago
Text
Tumblr media
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Memasuki usia 36 tahun, sudah barang tentu bukan usia main-main. Kalau organisasi ini berwujud manusia, mungkin dia sudah berkeluarga dan punya anak hehehehe. Pastilah sudah panjang perjalanan dan lika-liku yang dilaluinya. Asam manis, suka duka, kedatangan dan kepergian. Organisasi ini telah mengalami banyak hal.
Berada di organisasi ini adalah salah satu keputusan dalam hidup yang aku syukuri. Betapa tidak, bukan hanya satu dua hal yang bisa kuambil. Tapi banyak. Tidak pernah kuhitung karena terlalu melimpah.
Satu yang memikat hati saat pertama kali aku berada di organisasi ini adalah semangat juang dalam kalimat slogannya: Tiada kata berhenti untuk terus berarti.
Suatu hari aku pernah merinding membaca slogan ini.
Waktu itu, kira-kira di tahun kedua sebagai anggota, aku berniat untuk mundur. Jadwal kuliah yang padat, tugas menumpuk, ditambah beban organisasi yang tidak sedikit, membuatku goyah.
Aku merasa tidak bisa melakukan itu semua secara bersamaan. Waktu untuk diriku sendiri berkurang, waktu untuk pulang lebih awal berkurang, waktu untuk bermain atau sekadar nongkrong dengan kawan-kawan pun turut berkurang.
Aku merasa waktuku dirampas.
Kemudian, saat kami akan menggelar sebuah kegiatan donor darah, setelah persiapan malam, aku terjaga. Tidak bisa tertidur mengingat besoknya aku akan menyampaikan pernyataan pengunduran diri kepada ketua.
Tiba-tiba, seorang kawan lewat dihadapan dan membetulkan posisi banner raksasa yang sedikit miring karena tali rapianya kurang kuat.
Melihat banner raksasa dan berada di gedung yang besar saat itu, membuatku berpikir. Apa yang sedang kulakukan ini bukanlah sesuatu yang kecil. Aku disini atas pilihanku sendiri. Atas keinginanku sendiri.
Aku berkaca-kaca, kemudian slogan yang pada akhirnya selalu tertanam dalam diri bahkan sampai hari ini, malam itu mendadak muncul diingatan.
Tiada kata berhenti untuk terus berarti.
Ya Tuhan, betapa aku ingin terus menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Betapa aku ingin terus menjadi arti yang baik bagi orang-orang di sekitarku. Dan betapa aku ingin bertanggung jawab atas pilihan yang kupilih.
Jika aku mundur dengan alasan tugas organisasi yang terlalu berat, lantas bagaimana kawan-kawanku yang lain? Bukankah nantinya aku hanya akan merepotkan? Jika aku mengundurkan diri, tugas yang semula jadi tanggung jawabku mau tidak mau harus dibagi pada kawan-kawan lain yang tugasnya sudah berat, bukan?
Dan itu melenceng sangat jauh dari tujuan semulaku. Jika aku mengundurkan diri, maka aku tidak berarti dan tidak bermaanfaat lagi sebab pengunduran diriku hanya akan merepotkan banyak orang. Aku juga akan menurunkan kualitas diri dengan menjadi orang yang tidak menuntaskan apa yang sudah kumulai dengan sadar.
Aku menangis malam itu dan akhirnya mengurungkan keputusan gegabahku untuk mundur.
Sejak saat itu, aku percaya sesulit apapun kesulitan di depan mata, pasti akan lewat juga.
Apalagi, organisasi ini mempertemukanku dengan banyak orang luar biasa. Yang membuatku banyak tersadar dan terus belajar.
Organisasi ini sudah seperti keluarga kecil lain yang kupunya. Aku bertemu kakak-kakak yang mengayomi, kawan-kawan yang suportif, adik-adik manis yang membanggakan.
KSR UPI juga terlalu banyak menghadiahiku hal manis.
Kenangan. Senyuman manis orang-orang. Jabat tangan erat. Rangkulan hangat.
Sekali pun, aku tidak pernah menyesal memilih KSR UPI sebagai bagian dari perjalanan hidupku.
Terima kasih, KSR UPI.
Selamat bertambah usia.
Maaf, atas segala tindakku yang pernah menyakiti organisasi.
Panjang umur perjuangan.
Untuk kawan-kawan yang sedang berjuang, ingatlah:
Tiada kata berhenti, untuk terus berarti.
6 notes · View notes
gitapsar · 4 years ago
Text
Saya tau saya salah. Tapi ada kalanya ingin istirahat. Tidak memikirkan apa-apa, hanya melakukan yang diri ingin. Berkecamuk sekali dalam kepala untuk tetap bertahan mengingat tanggung jawab yang besar. Tapi bagaimana? Apa yang harus saya lakukan untuk tetap bisa bertahan? Sudah seringkali istirahat rasanya masih lelah. Melanjutkan perjalanan yang sebentar lagi selesai, rasanya balik kanan bukan pilihan. Tak ada lagi jalan untuk mundur. Tapi bertahan dan melanjutkan perjalanan dengan kapasitas diri yang serba kurang, kemampuan yang minim dan kekosongan isi kepala, saya tidak mampu. Malu saya pada kawan-kawan yang kompetensinya luar biasa, yang tetap bisa stabil padahal saya yakin mereka pun sama; pusing dan sakit kepala.
Aduh, dasar saya. Makhluk tidak berguna yang bisanya hanya mengeluh dan mengeluh.
0 notes
gitapsar · 4 years ago
Text
Membayangkan hari-hari yang merdeka.
0 notes
gitapsar · 4 years ago
Text
Cerpen: Negeri di Awan
Senandung lembut itu menjejali telinga. Relaksasi paling istimewa sepulang kerja. Di atas kasur sebelum pulas tertidur, setelah bait terakhir, ia akan mencium keningku dan berkata 'Tinggalah di negeri awan, istriku.' Kemudian ia mematikan lampu dan memastikan kain selimut menutupi kaki hingga dada kami. Aku yang kelelahan tak pernah komentar apa-apa.
'I love u,' tutupnya.
Dua tahun terakhir, ia seperti terobsesi dengan awan. Galeri gawainya penuh dengan gambar kapas raksasa itu. Lukisan-lukisan yang ia beli untuk ruangan di kantornya, hampir semua bertema langit. Belum lama, ia juga mencoba melukis sebuah istana yang berdiri cantik di atas awan-awan. Bahkan, lagu yang setiap malam ia nyanyikan juga berkisah tentang negeri di awan. Entah.
'Aku atau awan?' tanyaku suatu pagi setelah dia hampir satu jam lebih berada di balkon rumah memandang langit.
'Tolong, kalau cemburu, kira-kira, Sayang.'
***
Hari ini hari ulang tahunnya. Aku ambil cuti. Bahan-bahan kue sudah kubeli sejak semalam. Saat dia bekerja, aku membuat kue tar ditambah kukis kesukaannya yang kubentuk awan.
Menjelang pukul delapan malam, aku bergegas menata meja makan. Kutaruh tar dengan lilin menyala ditengah meja dikelilingi kukis-kukis awan yang sudah kuwarnai dengan krim biru agar terlihat seperti aslinya. Di sebelah kue, kutaruh bingkai kecil foto kami saat liburan di Bandung tahun lalu. Aku juga menggunting satu gulung kertas krep merah jambu untuk ditabur disebar menghias meja makan. Sentuhan terakhir, kuikat beberapa balon gas di punggung kursi.
Demi Tuhan, menyenangkan sekali menyiapkan semua ini.
'Aku pulang,' dia membuka pintu.
'Selamat Ulang Tahun, Sayang.'
Kupeluk dia erat-erat disambut ciuman hangat dan lembut di kepala, kening dan bibir darinya. Setelahnya kami berpandangan. Mutiara yang menumpuk di pelupuk matanya jatuh. Aku menariknya duduk. Kusimpan tasnya. Kami tak melakukan apa-apa selain hanya kembali berpandangan kemudian meniup lilin dengan tenang.
Mata lelaki yang duduk di hadapanku, luar biasa indah. Ditatapnya sedalam ini masih membuatku berdebar. Hangat.
'Aku boleh minta tisu, Sayang?'
Sekembalinya aku dari ruang depan mengambil kotak tisu, kulihat dia menundukkan kepala. Menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Air terjun tak henti dari matanya. Bunyi tangisnya membuatku juga ingin menangis.
Kupegang erat tangannya.
'Dari lama, aku mau tanya. Kamu kayaknya akhir-akhir ini banyak pikiran. Tapi aku ga berani bilang. Aku tahan. Mungkin kamu belum mau cerita. Liat kamu nangis kayak gini, aku juga ikut sedih. Aku tau kamu mau bilang banyak hal,'
Dia membetulkan posisi duduknya, menggeser kursinya ke arahku.
'Kalau rindu aku, kamu tidak boleh sedih. Tatap awan seperti aku menatapnya tempo hari. Suaramu, meski dalam hati, akan tetap jadi melodi yang paling ingin kudengar. Embusan angin yang membelai rambutmu, adalah jawaban. Bahwa aku selalu ada.'
****
Di taman hari ini aku berjalan. Mengenang segala kehidupan yang pernah sama-sama kita lakukan. Wajahmu masih yang paling ingin kulihat. Suaramu masih yang paling ingin kudengar. Senyummu meski hanya dalam ingatan, masih jadi yang paling meneduhkan.
Di bangku taman, setelah memandangi air wajahmu yang kutangkap dalam awan, aku menutup mata. Menghirup sedalam-dalamnya udara.
Sepertinya kini aku mengerti. Negeri di awan adalah kedamaian paling abadi.
*terinspirasi dari lagu Katon Bagaskara - Negeri Di Awan
2 notes · View notes
gitapsar · 5 years ago
Text
Pernah ngga sih punya keinginan akan sesuatu hal, mau banget coba, tapi rasanya ‘ah gabisa nih’ tapi pengin banget?
Aku punya nih. Entah keinginan random dari mana tapi ini cukup bertahan lama di kepala.
Bungee jumping & menikmati naik kincir raksasa.
Serius. Kalau denger dua kata itu, liat orang-orang bisa melakukan dua hal tersebut, aku ngiler parah.
Kok gak dicoba?
Mau banget tapi sayang aku punya phobia ketinggian.
Boro-boro naik kincir atau bungee jumping. Lewat jembatan gantung kebun raya bogor aja deg-degannya kayak apa. Gausah jembatan gantung yang goyang-goyang deh. Lewat jembatan penyebrangan jalan yang diem aja mesti liat ke depan dan gaboleh mepet ke pinggir. Liat ke bawah rasanya lebih horor daripada ngulang mata kuliah di kampus.
Pernah, satu kali naik kincir di Dufan. Tapi sungguh ga menikmati sama sekali. Begitu duduk dan bianglala perlahan mulai muter ke atas, nama-nama Allah langsung dirapal dalam hati, muka tegang, keringet dingin, boro-boro mau ngobrol, yang ada berdoaaaa terus pengin cepetan ada di bawah aja rasanya. Apalagi partner naik bianglala iseng goyang-goyangin badan biar kincirnya goyang. Bener-bener ngeselin.
Padahal, andai aku ga punya phobia ketinggian, aku pasti akan sangat menikmati naik bianglala karena bisa menikmati bianglala itu romantis menurutku. Kita cuma duduk, ngobrol dengan orang yang naik bianglala sama kita sambil liat kota dari ketinggian. Orang-orang, bangunan-bangunan yang mengecil dan percakapan-percakapan ringan menyenangkan.
Sayangnya, naik bianglala bukanlah hal yang ‘cuma’ untukku. Bisa naik sekali aja rasanya udah prestasi.
Mau banget sekali lagi coba naik bianglala tapi dinikmati.
Terus bungee jumping.
Entah kenapa pengin banget sekali seumur hidup coba bungee jumping. Seneng aja kayaknya bisa teriak sekenceng mungkin, menjatuhkan diri, membebaskan diri, merasakan sensasi jatuh tapi selamat. Ditengah alam pula.
Meskipun pasti ada kemungkinan kecelakaan tapi itu sangat kecil karena tempat bungee jumping sudah sangat memperhatikan keselamatan dengan peralatan yang aman. Dicek berkali-kali, peralatan dirawat, dan biasanya ada asuransinya barangkali kita kenapa-kenapa. Jadi sebetulnya ga perlu tuh khawatir bakal jatuh. Tapi ya gitu, untuk yang phobia ketinggian, bungee jumping biasanya hanya angan-angan. Liat tempat bungee jumping dari jauh atau liat dokumentasi orang-orang dari youtube aja lutut udah lemes. Hahaha.
Semoga aja suatu saat phobia ketinggianku menghilang dan bisa coba dua hal tersebut.
Kapan? Suatu hari, barangkali.
1 note · View note