Text
Assalamu'alaikum Aqsha!
Rabu, 17 Juli 2024M | 12 Muharram 1446H
اَلْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
Telah lahirnya putera pertama kami tepat di pukul 19.39 WIB di Rumah Sakit Hermina Medan.
Bismillah, aku ingin menuliskan kisah persalinan dan proses bagaimana seorang sosok penerus peradaban lahir dari rahimku kemarin.
Berawal dari merasakan kontraksi di tanggal 14 Juli. Malam hari tidurku sudah mulai tidak nyenyak, hampir setiap 10-20 menit sekali aku merasakan kontraksi. Saat aku cek juga sudah mulai ada flek dan cairan bening yang keluar.
Paginya aku dan suami langsung bergegas ke rumah sakit untuk mengecek, karena sebenernya kami punya agenda untuk mengikuti event sudut pandang dan ittiba' dari komunitas Yuk Ngaji Medan, kebetulan juga aku salah satu panitianya dan suami sudah membeli tiket kedua event tersebut.
Setelah cek di Rumah Sakit, hasilnya belum ada bukaan. Dokter langsung menyarankan aku untuk pulang, beraktivitas seperti biasa, dan lebih banyak lagi bergerak untuk jalan lahir si bayi.
Dengan memantapkan hati, aku dan suami memilih untuk pergi ke event yuk ngaji. Sembari mengikuti event, menjadi panitia, aku merasakan gelombang cinta per 10-20 menit sekali. MasyaAllah.
Tetapi pelan-pelan kontraksi itu berkurang, saat malam hari bisa 30 menit sekali mungkin kontraksi itu muncul dan hanya sebentar saja. Setelah event tersebut, malam itu aku bisa tertidur lelap. Mungkin karena kelelahan juga ya pikirku saat itu.
Besoknya tanggal 15 Juli, kontraksi juga sering muncul per 30 menit. Flek juga semakin banyak.
Malam harinya, aku tidak bisa tidur lagi. Kontraksi semakin kencang, bisa 5-10 menit sekali. Semakin sakit dan nyeri rasanya.
Suami sudah membujuk aku untuk pergi ke Rumah Sakit sejak jam 2 pagi, tapi aku masih mengurungkan niat dan menunggu, berharap kontraksi semakin cepat lagi.
Namun ternyata, pukul 4 lewat aku sudah tidak tahan. Dicoba untuk tidur pun tak bisa, kontraksi nya sangat membuatku tidak nyaman.
Aku dan suami pun langsung bergegas ke Rumah Sakit sebelum shubuh (aku tidak ingat waktu pastinya).
Tanggal 16 Juli, kembali lagi ke Rumah Sakit. Setelah di cek oleh bidan disana, aku sudah bukaan 1. Alhamdulillah pikirku. Si dedek bayi sudah ingin keluar.
Sembari menunggu bertambahnya bukaan, aku berusaha untuk jalan di sekitar rumah sakit ditemani suami, melakukan pergerakan agar si dede bayi semakin semangat untuk keluar juga.
Qadarullah, bukaannya tidak bertambah banyak. Sejak siang hari sampai besok paginya tanggal 17 Juli, bukaannya tetap di 3-4. Belum bertambah.
Kekhawatiran itu muncul dari dalam hati. Kenapa? Apakah aku masih kurang gerak? Batinku.
Karena tidak bertambahnya bukaan, dokter pun menyarankan agar aku di induksi. Aku diberikan perangsang kontraksi agar bukaan bertambah.
Alhamdulillah atas izin Allah:
- Pukul 12 siang aku sudah bukaan 5-6
- Pukul 2 siang bukaan bertambah menjadi 7-8
- Pukul 4 sore menjadi bukaan 9
- Pukul setengah 6, sudah bukaan 10.
Saat bukaan 10, aku memperhatikan sekitar ruangan bersalin, semua bidan sudah bergerak mempersiapkan persalinanku.
Tidak ada lagi jeda kontraksi. Perut, vagina, bokong, semua terasa nyeri dan aku seperti ingin mengeluarkan sesuatu sesegera mungkin.
Alhamdulillah Allah bantu, Allah mampukan. Pukul 19.39, buah hati kami lahir ke dunia ini.
Semuanya atas izin Allah.
Alhamdulillah bini'matihi tatimmush sholihaat.
Mohon do'a nya untuk teman-teman yang membaca.
Semoga anak kami menjadi anak yang shalih, qurrota a'yun, faqih fiddin. Aamiin allahumma aamiin
Yang berbahagia,
Ola & Farhan ( @farauzanotes )
| Medan, 29 Juli 2024
6 notes
·
View notes
Text
Kenapa ya, harus aku yang juara umum di kelas?
Kenapa ya, harus aku yang menang perlombaan ni?
Kenapa ya, harus aku yang dapat undian berhadiah?
Kenapa ya, harus aku jarang sakit, fisik kuat, subur, dan masih lengkap?
Kenapa ya, harus aku dilahirkan dari keluarga yang supportif dan mapan?
Kenapa ya, harus aku punya pertemanan yang kondusif?
Kenapa ya, harus aku yang karir pekerjaannya mulus?
Kenapa ya, hidupku lurus aja, lempeng, dan mudah² aja?
Bukan, tulisan ini bukan tentangku, bukan juga tentang kesombongan. Aku paham diksi "kenapa ya harus aku?" biasanya digunakan untuk kejadian negatif atau kemalangan bukan?! Tapi pernah nggk sih, kita pakai itu untuk peristiwa yang menyenangkan dan kenikmatan?
Buat apa? Mungkin itu pertanyaan dibenakmu sekarang. Kamu pernah denger istidraj? Istidraj adalah suatu jebakan berupa kelapangan rezeki untuk menjadikan seseorang lalai dan durhaka.
Pernah nggk sih kepikiran? Ibadah biasa aja, usahapun seadanya, maksiat jalan terus, tapi kok aku yang dapat rezeki ini, bukan dia yang ibadah dan usahanya effort banget? Bisa jadi ini istidraj. Ini bentuk ujian. Ingat ujian kualitas keimanan bisa dari dua bentuk. Adakalanya ujian itu berupa sesuatu yang amat memberatkan dan ada pula ujian itu berwujud sesuatu yang amat menyenangkan.
Terus kalau dapat rezeki gitu, harusnya ditolak? Ya nggak gitu juga ferguso! Kalau ada ya disyukuri sambil introspeksi. Periksa segala fasilitas dan privilege yang kamu miliki, selama ini dipakai untuk apa aja dan kemana aja?
Kamu masih muda, maka kamu punya tenaga dan waktu buat kamu manfaatin bermanfaat, berkegiatan sosial bermasyarakat. Kamu kaya, maka kamu punya harta untuk di sedekahkan. Kamu pintar, memahami salah satu bidang, maka kamu bisa memberi dalam bentuk ilmu. Kenapa begitu? Agar kamu punya jawaban kalau nanti ditanya, "Privilege kamu kemarin, udah dipakai apa aja?"
19 notes
·
View notes
Text
Mikir random. Kalau ada orang dijodohin, terus ampe menikah, berarti sebenernya mereka itu adalah "jodoh" kan ya? Karena konsep jodoh itu, sama hal nya sama konsep rezeki. Mau sekuat apapun kamu berusaha, kalau sesuatu itu tidak di takdirkan untuk u, maka tidak akan pernah jadi milikmu, begitupula sebaliknya, kalau sesuatu itu di takdirkan untukmu, mau kamu hindari sejauh apapun, mau seisi bumi mencoba menghalangimu, maka dia akan tetap jadi milikmu. Maka kupikir, penjodohan itu adalah emang jodoh. Jalan ketemunya lewat penjodohan.
Lalu bagaimana jika aku dijodohkan? Yang pasti ngobrol dulu, deep talk (bahasa kekiniannya) dengan yang ngejodohin, "kenapa?" itulah yang aku tanyain. Lanjut nge cek calon nya, aku nggk muluk² kok. Cukup dia tuh yang baik agamanya, cukup dia tuh yang dari keturunan jelas (bernasab), cukup dia tuh yang di pandang ngademin, dan cukup dia tuh yang bisa mandiri keuangannya. Nggak banyak kan? Cukup 4 saja!
Heeeiii... Ayo bangun, jangan ngimpi! Karena kalaupun ada yang kriterianya begitu, dia belum tentu mau samaku, waks! Atau enggak udah jadi istri orang, kalah gercep.
Jadi apa simpulan tulisan ini? Nggak ada! Karena terus terang aku bingung, karena belum pernah dijodohin, pun kawan pun nggak ada yang dijodohin kayak drama di tv². Kalaupun ada, bahasanya tuh "dikenalin". Di fasilitasi buat kenalan, kedua calon bertukar data diri dan saling bertanya. Saling ngecek bibit, bebet, dan bobotnya. Bibit ngecek garis keturunan/status sosial keluarganya, bebet ngecek tingkat ekonomi, dan kalau bobot ngecek kapasitas pribadinya. Terlepas itu semua, bagaimana pun juga keputusan akhir untuk terus maju/berhenti tetap di mereka (kedua calon). Dan mereka lah yang akan menjalani bahtera rumah tangga itu bertahun-tahun.
12 notes
·
View notes
Text
Self Love, Self Reward, Healing... Terus terang saja kata yang berhubungan dengan mental health itu cukup mengangguku. Apa sih? Kayaknya orang tua kita dulu nggak kenal kata² tapi baik² saja. Tapi sekarang kok kayak heboh banget, seolah isu yang paling penting untuk terus dibahas, nggak beres-beres.
Bukannya tidak percaya kata² tersebut. Kebetulan aku punya teman yang memang mengalami mental health issue. Dia tidak mengklaim sendiri, tapi berdasarkan penilaian profesional, Psikolog.
Yang membuatku terganggu adalah jika kata² itu di klaim sendiri, di nilai sendiri, bermodal Informasi dari Google dan Youtube. Seolah paling tahu tentang mental health issue. Mencocoklogikan kepada apa yang terjadi, padahal sebenarnya dia sembunyi dari kemalasan atau dari pemakluman untuk diri sendiri. Kata² itu dijadikan tameng. Baru satu dua langkah minta self reward, ditegur karena salah bilangnya,
"Ya aku kan udah begini, aku mencintai diriku apa adanya!"
Bukannya introspeksi dan memperbaiki malah nyari pembenaran. Makin kesini kok hidup makin banyak drama nya ya.
Hati² pakai kata² itu, selain harus penilaian profesional, kata² itu bisa saja membuatmu sulit berkembang. Membatasi dirimu sendiri. Nggak mau capek. Padahal kalau mau berkembang ya harus capek. Itulah makanya nggak banyak orang yang berkembang, karena nggak mau capek. Yu bisa yu, bangun, qerja!
15 notes
·
View notes
Text
"Ayah, Ayah ayo cerita, cerita yang kemarin belum selesai!" -Ucap Nayla.
"Iya Ayah, gimana kelanjutan Raja Angin, apakah Ia menang melawan Monster Duri?" -Sambung Fadli dengan antusias.
Ayah hanya tersenyum, matanya melirik ke dua piring anaknya. Di atasnya masih tersida makanan. Dua sampai tiga suap lagi. Kedua anaknya langsung mengerti, karena itu aturan nomor tiga di rumah itu. Tidak boleh menyisakan makanan sedikitpun.
Nayla dan Fadli dengan cepat melahap sisa makanan yang ada. Mereka tak sabar mendengar cerita selanjutnya. Siapakah yang akan menang? Raja Angin atau Monster Duri?
Dua menit berlalu, makanan habis tak bersisa. Semua makanan telah meluncur ke lambung dua anak periang itu. Mereka duduk manis, siap mendengarkan cerita.
"Hayoo kalau setelah makan ngapain?" Tanya Ayah.
Setelah berdo'a, mereka sigap membereskan alat makannya. Mereka sudah terbiasa membereskan urusan pribadi sendiri, seperti merapihkan tempat tidur, menyusun buku sekolah, dan menyimpan sepatu. Ayah yang mendidik mereka seperti itu. Kata Ayah, jadi orang harus bisa mandiri, kalau bisa dikerjain sendiri, kerjain sendiri!
"Berdo'a Ayaaah!" Jawab Nayla dan Fadli serentak.
Setelah semuanya selesai mereka kembali ke ruang "serbaguna". Iya ruangan itu memang serba guna, disitu tempat makan, tempat kumpul, tempat setrika, juga seringkali jadi tempat tidur. Rumah itu kecil, hanya ada ruang serbaguna, dua kamar tidur, dapur, dan toilet yang sekaligus menjadi tempat mencuci baju dan piring.
"Kita ceritanya di luar yuk" -Insiatif Ayah.
Ayah bilang kebetulan malam ini sedang pertengahan bulan. Sayang untuk dilewatkan melihat bulan bulat penuh seutuhnya hadir di langit.
Nayla dan Fadli mengikuti. Mereka mengambil selimut. Rumah mereka di dataran tinggi, udara diluar cukup dingin. Dan ternyata mereka beruntung, malam ini langit cerah, terlihat bintang-bintang menghiasi angkasa, menemani Sang Rembulan.
"Malam ini Ayah mau bicara yang lain, Boleh?" -Tanya lembut Ayah.
Nayla dan Fadli saling melirik. Mereka masih penasaran dengan cerita kemarin.
"Yang pasti nggak kalah serunya!" -Seru Ayah
Mereka mengangguk, mata mereka berbinar, menantikan cerita Ayah.
"Nayla, Fadli, kalau kalian bisa melakukan apa saja, apa yang mau kalian lakukan?" -Tanya Ayah
"Aku mau jadi Raja Angiiin!" -Spontan Nayla
Karena Raja Angin bisa terbang katanya. Ia bebas pergi kemanapun. Nayla ingin sekali terbang ke langit, menuju bulan dan bintanng yang sedang dilihatnya. Walaupun itu hanya imajinasi, Ayah tetap menyimaknya dengan seksama. Ayah tersenyum, anak keduanya ini memang penuh dengan kejutan dan imajinasi.
"Kalau kamu Fadli?" -Tanya Ayah.
"Fadli mau jadi Animator terkenal Ayah. Fadli mau buat animasi untuk anak-anak Ayah!" -Jawabnya dengan mata berbinar.
Fadli cukup berbeda dari anak sebayanya, dia lebih dewasa dari anak seumurannya. Dia senang sekali menggambar. Apalagi menggambar di tablet milik bos Ayahnya jika sedang kunjungan ke rumah.
Begitulah keseharian mereka, Ayah selalu bercerita kepada Fadli dan Nayla. Walau Ayah hanya seorang pemetik teh dan kopi. Juga dari keluarga yang sederhana, tapi Ayah tidak mau anaknya punya mimpi dan imajinasi yang sederhana.
25 notes
·
View notes
Text
Dulu saya berusaha semaksimalnya untuk menyeimbangkan keadaan. Gak enakan dan mengalah jadi jawaban, karena malas ngadepin keributan dan selalu merasa masalah orang lebih penting dari saya.
Lamaaa nahan-nahan perasaan dan merasa paling berkorban.
Sampai kakak saya bilang "beban seisi bumi bukan punya kamu!"
Sampai akhirnya saya mikir, rasa "paling" secara nggak langsung adalah "ego" dalam hal yang nggak perlu.
Saya merasa paling berkorban, padahal belum tentu. Bisa jadi orang di depan saya pun merasa hal yang sama, cuma dia lebih tenang dan nggak ngungkapin.
Merasa "paling" bertanggung jawab nanggung ini semua. Padahal cuma ke insecure-an saya dan kesulitan mempercayai orang.
Merasa "paling" sedih buat saya merasa nggak langsung mengecilkan masalah mereka. Padahal bukan tugas membandingkan nasib kita.
Akhirnya saya paham,
Kata "merasa paling" itu bisa jadi bumerang.
Sejak itu saya berusaha untik menyederhanakan banyak hal.
Belajar mendengarkan, belajar bilang nggak kalau nggak nyaman, belajar delegasi kalau sudah di luar kapasitas.
Dan paling penting sih belajar kenal kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
Kita bisa cari obatnya, kalau tahu sakitnya.
Saat saya ngerasa paling berkorban, saya berarti belum sepenuh hati ngasih sesuatu.
Kalau mau berbuat baik atau berkorban ya seikhlas-ikhlasnya. Kalau masih diperhitungkan dan dibandingkan, mending nggak usah.
Ada hal yang udah diciptain sejak dahulu kala sebelum teknologi secanggih sekarang,
"KOMUNIKASI"
Kalau orangnya nggak mau komunikasi, ya ngapain maksa.
Kalau udah pada dewasa, pasti udah sadar responsibilatas masing-masing. Masa harus diojok-ojok, disuapin.
Eh kok rasanya nggak nyaman ya, perasaan gue doang kali, eh tapi berasa terus, nggak enak ah ngomong, nggak penting ah perasaan gue, nanti dia tersinggung, terus... lama ditahan, dilupa-lupain. Sampai kepercik dikit satu hal kecil.
Bom waktu.
Marah dan pecah.
Semoga banyak hati melunak, banyak marah mereda, banyak kecewa yang pulih.
Tulisan dari BERKORBAN - NKCTHI
5 notes
·
View notes
Text
Keyakinan dan Prasangka
Tahun lalu, pagi hari, di sebuah taman pusat kota, aku mendapatkan sebuah nasehat.
"Kalau ada rekan timmu yang nggak bisa hadir disini, maka yakinlah dia sedang melakukan kebaikan yang lebih besar disana!"
Aku hanya mendengar, tidak berkomentar apapun. Memikirkan nasehat itu, walau waktu itu aku belum begitu mengerti. Tapi aku berkesimpulan kalau hal itu rasanya mudah untuk dilakukan.
Belakangan aku pelan-pelan mulai mengerti, bahwa nasehat itu adalah tentang berprasangka baik. Bahwa kita sebaiknya memilih memikirkan hal-hal positif yang mungkin sedang dia lakukan disana. Bisa sedang mengerjakan amanah yang lebih besar, bisa sedang membantu orang tuanya berjualan, sedang bimbingan tugas akhir, atau bisa saja sedang sakit belum sempat mengabarkan. Maka arahkanlah pikiran menuju kesana.
Lalu, apakah hal itu benar-benar mudah dilakukan? Ohh.. tentu saja tidak!
"Alah malas aja dia!"
"Dasar nggak tanggung jawab!"
"Chatting grup bisa, datang langsung nggak bisa!"
Sialnya pemikiran ini seringkali turut menghantui diperjalanan. Maka, saat mulai pikiran "nakal" ini hinggap, segera arahkan ke nasehat,
"Kalau ada rekan timmu yang nggak bisa hadir disini, maka yakinlah dia sedang melakukan kebaikan yang lebih besar disana!"
Bisa jadi terasa sulit, namun yakinlah itu hanya awalnya saja. Karena aku percaya, mekanisme kerja tubuh manusia itu ada namanya alam bawah sadar atau refleks. Kalau kamu mau berdiri jalan kaki atau buka mulut pas mau makan, apakah kamu akan memikirkan bagaimana agar berdiri seimbang atau seberapa besar mulut harus dibuka? Tentu tidak dong! Otomatis bergerak sesuai porsinya.
Begitu juga pikiran, jika kita latih secara sadar, maka secara nggak sadar hal pertama yang keluar dari pikiran adalah hal yang sering kamu pikirkan. Dalam konteks ini adalah tentang berprasangka baik.
Itu nasehat untuk kita sebagai orang pertama. Lalu kalau sebagai orang kedua (orang yang dituju), maka kamu jangan se-enaknya. Mentang² dia punya prasangka baik kepadamu, kamu menyia-nyiakannya. Justru kamu harus bantu dia, agar punya prasangka baik terhadapmu. Kok bantu? Iya harus bantu jagain prasangka baik dia.
Gimana caranya? Pertama, kalau kamu nggak bisa ikut hadir kegiatan, tapi kamu buat story lagi have fun, ya dia jadi bingung juga dong mau prasangka baik gimana. Kedua komunikasi, terus terang, jelaskan padanya apa kendala kehadiranmu. Jujurlah karena ini penting. Tak usah ngerasa nggak enakan. Tak perlu menyusun alasan yang dibuat². Percayalah, diumur kita yang sekarang, orang itu tahu kok mana yang alasan yang benar mana yang dibuat². Kadang orang malas aja nyari tahu lebih lanjut, jadi di "iya" in aja.
Katakan kepada dia apa adanya saja. Karena apa yang disampaikan dengan ketulusan, akan diterima dengan ketulusan juga.
6 notes
·
View notes
Text
Aku punya dua pertanyaan, pilih yang menurutmu lebih mudah untuk dijawab
Kasih tahu, kamu itu siapa?
Menurutmu dia itu gimana?
Pertanyaan mana yang lebih mudah dijawab? Yang kedua. Kenapa? Begitulah cerminan kita, lebih mudah menilai orang lain daripada diri sendiri. Bermudah-mudah menyimpulkan seseorang padahal belum tahu keseluruhan.
Sejatinya kita tidak bertanggung jawab atas apa yang orang lakukan, maka untuk apa menyibukkan diri menilai orang lain?! Justru kita sepenuhnya bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan sendiri.
5 notes
·
View notes
Text
Bahasa Mereka
"Kak lihat flashdiskku nggak ya?" Tanyaku pada senior kerja.
"Yang kek mana Han?" -Tanyanya sambil menyeruput minuman boba.
"Warna merah hitam gitu!" Jawabku sambil membuka-buka laci di meja.
"Nggak ngeliat aku!" -Sahutnya singkat.
Gawainya berdering, ada yang menelpon. Dia menaruh minuman kemudian mengangkat gawainya sambil berjalan keluar ruangan. Sementara aku masih mencari-cari flashdisk. Jika bukan karena data-data penting milik atasanku didalamnya, aku tak perlu repot-repot mencari seperti ini.
10 menit berlalu. Aku masih belum bisa menemukannya.
"Gimana han, dah jumpa?" -Tanya seniorku itu sambil masuk kembali keruangan.
Aku terdiam. Aku berpikir. Aku mengingat-ngingat, apakah hari ini aku ada janji bertemu orang?
"Eh maksudnya, udah ketemu flashdisknya?" -Katanya seolah mengerti kebingunganku.
Aku tertawa. Diapun tertawa. Dalam kamus pikiranku, kata "jumpa" digunakan untuk pertemuan dengan orang (manusia). Tapi di kota ini kata "jumpa" bisa disandingkan dengan benda mati.
Itu baru satu kata. Dalam perjalanan waktu di kota ini, aku banyak menemukan kosa kata baru dari mereka seperti pasar, pajak, kereta, galon, mentel, roti, mancis, dan kata-kata lainnya. Itu baru kosa kata, belum di gaya bahasa yang berbeda dengan tempat kelahiranku.
Indonesia ternyata memang benar-benar luas ya kawan. Ini saja baru dari segi bahasa, belum budaya, wisata, kuliner, dan hal-hal menarik lainnya.
5 notes
·
View notes
Text
Mengenal Dia
"Ya sekarang kita perkenalan dulu, tapi pekenalannya dengan cara mengenalkan teman di sampingnya!" -ucap seorang Widyaiswara pada pertemuan perdana.
Widyaiswara adalah sebutan pengajar di lingkungan lembaga pendidikan dan pelatihan pemerintah. Bisa dikatakam Widyaiswara adalah dosen nya Aparatur Sipil Negara (ASN)
Tiba-tiba kelas menjadi ramai. Ramai dengan percakapan. Percakapan tentang 5 pertanyaan yang tertulis di papan tulis.
Nama lengkap & panggilan;
Asal daerah;
Nomor sepatu;
Hobi;
Status.
Kurang beruntung, aku berada di posisi tempat duduk ujung, paling terakhir. Itu artinya aku harus mengenalkan dia, orang yang pertama—yang belum aku kenal itu, setidaknya sampai saat ini. Aku tak bisa bertanya langsung padanya lewat suara karena kami terpisah cukup jauh. Pun tak bisa mendekatinya karena acara 'perkenalan' sudah di mulai. Aku berpikir sejenak, "Oh iya ada WhatsApp!"
Dari sinilah aku mulai mengenalnya.
2 notes
·
View notes
Text
Aku Kesal pada Bapak
Dulu, aku kesal pada Bapak. Bapak bilang batas waktu pulang adalah Adzan Maghrib. Bagaimana kalau terlambat? Jangan harap pintu rumah dibukakannya. Bahkan jika aku menangis, pintu tetap saja rapat membisu. Kalaupun dibuka, toilet adalah tempat hukumanku selanjutnya. Dikunci disana untuk beberapa waktu. Aku kesal padanya karena disaat yang sama teman-temanku diizinkan pulang larut malam bahkan hingga boleh saling menginap.
"Aku kan laki-laki, aku udah besar!" pikirku waktu masih sekolah dulu.
Kemudian aku menyadari, kalau hal² buruk/kejahatan lebih banyak terjadi pada malam daripada siang hari. Ternyata perintah Bapak ini adalah untuk menjaga diriku.
Dulu, aku kesal pada Bapak. Bapak menyuruhku untuk kuliah. Aku maunya setelah SMA itu bekerja, berjualan, nyari uang. Buat apa kuliah? Toh waktu sekolah aku bisa menghasilkan uang sendiri--pikirku
"Kalau udah kenal uang, susah buat kuliah." katanya waktu itu.
Kemudian aku menyadari, ternyata benar begitu adanya. Sekarang aku sedang bekerja dan berkuliah. Cukup berat rasanya memang. Apalagi jika dihadapkan dengan pilihan perjalanan dinas atau kuliah. Perjalanan dinas jelas ada insentifnya langsung. Belum lagi rasa lelah, ngantuk, dan ada malas² nya kuliah turut menyertai setelah seharian bekerja. Beruntungnya kuliah kali ini dilakukan secara daring, disatu sisi, ini sangat menolongku.
Dulu aku kesal pada Bapak. Bapak belum merestuiku untuk menikah. Nanti ya--jawabnya singkat setelah malam itu meminta restu padanya.
Kemudian aku menyadari, pada waktu itu aku berpikir jangka pendek, sementara kehidupan rumah tangga adalah jangka panjang. Aku hanya bermodal nekat dan rasa suka sesaat. Jika aku berada di posisi Bapak, sepertinya aku pun akan melarang karena masih ke kanak-kanakan yang banyak persiapan.
Ternyata apa yang Bapak perintahkan dulu, semuanya adalah untuk kebaikanku. Aku terlambat menyadarinya. Aku pun belum sempat berterus terang dan bercerita ini langsung pada Bapak. Jadi lewat tulisan ini saja.
Makasih Pak telah menjagaku dari sejak pertama. Maaf aku terlambat sadar.
5 notes
·
View notes
Text
“Agama itu mengontrol sains agar selalu bermoral. Ditemukan nuklir agar nggak dijadikan bom untuk membinasakan orang, maka perlu agama disana. Agama butuh sains untuk menjamin agar agama bersih dari mitologi-mitologi. Kalau dibiarkan agama ini isinya mitos-mitos karena di dalam isinya keyakinan. Karena itu perlu diverifikasi melalui sains. Sains pengertian yang luas termasuk didalamnya sosial, filsafat, dan lain sebagainya.”
-Habib Husein Jafar: Saleh Akal dan Sosial, Bukan Hanya Ritual | Endgame S2E27
2 notes
·
View notes
Text
Aku baru menyadari, ternyata menulis itu adalah sebuah keahlian yang perlu dimiliki pada setiap profesi, dijabatan apapun itu. Karena menulis adalah sebuah proses menerjemahkan pikiran dan rasa menjadi sebuah informasi. Disampaikan kepada entitas lain. Aku gunakan diksi “entitas” karena informasi tidak hanya disampaikan kepada orang, tapi juga pada perusahaan, pemerintah, lembaga swadaya, dan sebagainya.
Ternyata tidak mudah merubah dimensi abstrak (ide) menjadi dimensi konkret (tulisan). Menuliskannya saja tidak mudah, apalagi menyampaikannya pada yang lain. Nggak percaya? Coba kamu deskripsikan diri kamu dalam lima kalimat saja. Untuk yang belum biasa, perlu waktu. Bukan karena tidak tahu apa yang akan kamu tuliskan. Kamu itu sebetulnya tahu, hanya saja bingung bagaimana menerjemahkannya dalam bentuk tulisan.
Kamu tahu... seringkali aku memikirkan atau merasakan sesuatu, namun masih sulit ku terjemahkan. Masih ngambang dalam pikiran. Kemudian tak sengaja membaca tulisan orang dan aku berkata “nah ini nih yang ku pikirin maksudnya!” Kamu juga pernah begini kan?
2 notes
·
View notes
Text
"Orang Engineer itu umumnya tertutup, jarang terbuka, ataupun bercerita." Ucapnya di kelas.
Ah jadi teringat masa lalu, Andai saja aku tahu dan mengerti ini lebih awal. Andai bisa mengulang masa itu, aku akan menempatkan diriku lebih baik. Membaca salah satu buku dari dua lemari miliknya untuk menjadi bahan pembuka obrolan. Menjadi pintu masuk untuk memahami pola pikirnya, seperti apa cara pandangnya. Memahami setiap keputusan pilihannya. Mengambil semua ilmunya. Meniru keahlian miliknya. Mempelajari kegigihannya. Masih banyak hal yang belum kupahami tentangnya. Ah Andai saja ya!
2 notes
·
View notes
Text
Pendidikan Yang Menumbuhkan
Pendidikan adalah tentang masa depan. Pendidikan adalah tentang menyiapkan generasi baru. Pendidikan bukanlah membentuk, tapi pendidikan adalah menumbuhkan. Karena ia menumbuhkan, maka hal yang fundamental yang dibutuhkan adalah tanah yang subur dan juga iklim yang baik.
Kalau kita membayangkan anak-anak itu sebagai bibit (biji), maka biji itu tidak kelihatan batangnya, tidak kelihatan akarnya, dan tidak kelihatan daunnya karena ia masih biji. Sehebat apapun sebuah biji, maka tidak akan kelihatan semua komponennya. Namun nanti ketika biji tanaman itu sudah tumbuh berkembang, maka akan terlihat batangnya, akan terlihat daunnya, akan terlihat buahnya, akan terlihat bunganya. Tapi saat itu masih berupa biji belum terlihat.
Kadang-kadang kita melihat biji seperti melihat tanaman yang lengkap.
Lalu kita ingin biji ini punya semuanya. Punya bunga dan lainnya. Tentu tidak bisa. Untuk menjadi tumbuhan yang lengkap, biji itu memerlukan waktu, memerlukan proses penumbuhan. Biji yang baik juga membutuhkan lahan yang subur. Di mana lahan yg subur itu? Diantaranya:
Di rumah. Rumahnya harus menjadi lahan yang subur.
Di sekolah.
Di antara rumah dan sekolah, yaitu di lingkungannya.
Karena itu, ketika berbicara tentang pendidikan maka bayangkan seperti kita menumbuhkan biji itu. Karena itu saya sering mengatakan jangan gunakan kata membentuk, apalagi kalau akhlaq. Akhlaq itu ditumbuhkan, karakter itu ditumbuhkan tidak bisa dibentuk.
Dulu saat kita sekolah pasti pernah praktek biologi tentang dua tanaman yang satu dipasang dekat matahari, yang satu jauh dari matahari. Beloknya beda bukan? Bibitnya sama, tanahnya sama, potnya sama, arah tumbuhnya sama tidak? Maka jawabannya tidak sama. Jadi kita mau belok kanan, belok kiri itu bukan daunnya yang dibelokkan, tapi rangsangannya yang berbeda. Cuacanya diatur, lokasinya diatur. Karena itu mengelola sebuah sekolah, mengelola sebuah intitusi pendidikan itu adalah mengelola rekayasa.
Sebagai contoh, di rumah kita bisa menjadikan anak kita menjadi anak yang individualis atau anak yang dekat dengan saudara-saudaranya.
Misalnya sebuah keluarga dengan empat anak. Kita buat setiap kamar ada kamar mandinya agar semuanya rapi bersih semua. Kamar mandi di dalam kamar. Sementara keluarga yang lain, dengan empat anak juga memiliki rumah dengan kamar mandi satu, di luar kamar. Maka apa yang terjadi? Keluarga yang pertama anak-anaknya tumbuh individualis. Semuanya diselesaikan sendiri. Keluar kamar semua sudah bersih.
Sedangkan keluarga kedua, anak-anak tiap hari rebutan kamar mandi: Ada yang sikatannya lama, ada yg kalau mandi harus diketok-ketok, ada yang sering samponya ketinggalan. Mereka akan tumbuh berbeda dengan anak-anak di keluarga pertama.
Oleh karena itu jangan bayangkan pendidikan itu sesuatu yang tertulis, dibaca, dihafalkan, lalu diuji. Karena pendidikan itu adalah proses pembiasaan.
Jadi kita bisa merancang anak kita sesuai skenario yang kita buat. Karena itu kemewahan keluarga dan kemewahan institusi pendididkan adalah bagaimana membuat aturan main yang membentuk perilaku.
Saya berharap kita yang bergerak dalam bidang pendididkan memikirkan rekayasa itu. Sekolah kita hari ini: anaknya abad 21, gurunya abad 20, ruang kelasnya abad 19.
Kalau mau memikirkan sekolah dan pendidikan, maka pikirkanlah masa depan. Rekayasalah untuk masa depan. Umat islam gagal atau berhasil bukan masalah mampu dan tidak mampu, tapi bagaimana cara mengantisipasi perubahan. Ini PR-nya.
Karena itu kalau mengukur keberhasilan anak-anak kita sekarang kita jangan lihat hari ini. Bijinya di nilai nanti kalau sudah tumbuh baru akan nampak dan bisa dinilai, biji, daunnya, dan batangnya.
Jangan terlalu puas dengan penilaian hari ini. Penilaiannya besok, karena inilah proses penumbuhan. Sehingga kami berharap Anda yang mengelola bidang pendidikan jangan puas dengan ukuran hari ini dan siapkan masa depan.
Dalam proyeksi pendididkan abad 21 ada 3 komponen yang mendasar:
1. Karakter/akhlaq
a. karakter moral (iman, taqwa, jujur, rendah hati)
b. karakter kinerja (ulet, kerja keras, tangguh, tidak mudah menyerah, tuntas)
2. Kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif / kerjasama)
3. Literasi/Keterbukaan wawasan (baca, budaya, teknologi, keuangan)
Di masa sekarang, dalam ujian anak-anak disuruh menjawab pertanyaan di sebuah kertas. Di masa depan mungkin ujian hanya dengan kertas kosong tanpa pertanyaan.
Tukang pos bersaing dengan teknologi: WA, email. Profesi hari ini belum tentu di masa depan masih ada, sehingga tanyakan kepada anak-anak besok mau membuat apa? Jangan bertanya mau jadi apa!
Pengelola pendidikan jangan terpukau dengan cerita masa lalu, tapi gelisahlah dengan masa depan. Kemenangan itu disiapkan di ruang keluarga dan di ruang kelas.
Tadi adalah catatan ringkas dari sambutan Bapak Anies Rasyid Baswedan, mantan menteri pendidikan yang sekarang menjabat sebagai gubernur Jakarta ketika membuka acara Education Expo ASESI (Asosiasi Sekolah Sunnah Indonesia) di TMII tanggal 29 Oktober 2017. Catatan itu dinukil dari grup ASESI dengan sedikit penyesuaian.
12 notes
·
View notes
Text
MELEKAT (Part 2/2)
6 Juli 2021 | 19:12
Gawai sudah berada di tangan. Aku sedang melihat pecakapan grup. Mencari sudut kamar yang nyaman. Menyandarkan bahu ke dinding. Merenggangkan jempol tangan. Melakukan persiapan. Tiga menit lagi acara dimulai. Aku tidak salah jadwal. Untuk acara malam ini aku memang meminta lebih cepat. Dimulai pukul 19:15 WIB. Walau akan kepotong waktu Isya, tapi itu lebih baik dari pada acaranya selesai sampai larut malam, semoga.
“Baru mulai, pertanyaannya udah deep.” Pesanku dalam grup setelah melihat tujuh pertanyaan pertama.
Bukan, tulisan ini bukan untuk menuliskan kembali pertanyaan dan jawaban dalam acara itu. Biarlah manusia-manusia di grup itu saja yang tahu. Tulisan ini adalah tentang pertanyaan-pertanyaan menarik dan mengapa menarik bagiku. Ada enam pertanyaan bahkan hingga sekarang masih terngiang.
Pertama. Suka minum susu coklat Bang?
Pertanyaan itu diajukan pada urutan ke-3. Entah siapa yang bertanya dan kenapa ia menanyakan. Tapi pertanyaan ini dalam bagiku. Ada kenangan masa kecil disana. Kenangan MINIMAL dua kali sehari dilakukan, pagi sebelum berangkat sekolah dan sebelum tidur. Aku sengaja menggunakan kata “minimal” dengan huruf kapital. Karena itu kegiatan itu WAJIB dilakukan. Jika tidak dilakukan? Jangan harap Ibuku akan memberikan uang jajan atau membiarkanku tertidur lelap. Padahal Ibu sangat tidak suka susu. Pernah suatu waktu Beliau harus minum susu. Beliau minum dengan susah payah sambil menutup hidung. Lucu sekali melihatnya.
Kedua. Hal terpenting dihidup?
Pertanyaan ke-6. Aku cukup lama mencari jawaban pertanyaan ini. Bahkan hingga sekarang, pertanyaan itu terus muncul dibenakku. Apa hal penting dalam hidup? Apa prioritasmu sekarang? Apa yang sebenarnya kamu cari? Kamu kerja untuk apa dan siapa?
Ketiga. Lebih milih orang baru atau orang dari masa lalu?
Pertanyaan ke-7. Pertanyaan tentang pertemanan. Lucu, semakin besar, justru lingkungan pertemanan semakin kecil. Teman semakin sedikit. Mereka mulai sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Apa itu buruk? Tidak. Hal ini wajar terjadi. Walau kuantitasnya berkurang, tapi kualitas pertemanannya terus bertambah.
Keempat. Kang, motivasi terbesar mau masuk di STAN apa?
Pertanyaan ke-47. Pertanyaan yang mengingatkan masa kuliah. Masa berbagai rasa. Masa senang, bergairah, bersama, sulit, kecewa, sedih, lengkap sudah. Sejujurnya, aku kuliah disana karena “ketidaksengajaan”. Teman-teman SMAku tahu, kemana sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolah. Tapi dari sana, aku menyadari makna manusia meminta apa yang diinginkan, tapi Allah memberikan apa yang ia butuhkan.
Kelima. Kang, apa yang ingin dikenal oleh orang banyak dari Kang Farhan?
Pertanyaan ke-49. Lagi-lagi pertanyaan yang membuat pusing kepala. Pertanyaan, tentang pencarian, tentang harapan, tentang pandangan jauh ke depan, juga tentang warisan (legacy).
Keenam. Cita-cita dulu pas SD?
Pertanyaan ke-73. Pertanyaan tentang masa kecil lagi. Pertanyaan yang mengingatkan lagi ketika bersama Ibu. Saat itu aku selalu mengucap keinginan dan cita-cita ku. Aku ucapkan sembarang, apapun yang terbenak dipikiran. Ia hanya tersenyum kemudian meng-amin-kan. Beliau mengusap kepalaku, lalu meluncurlah do’a-do’a dari mulutnya. Waktu itu aku masih lugu dan belum mengerti.
Pegal, itulah yang jempolku rasakan. Setelah 74 pertanyaan ku selesaikan. Waktu menunjukkan pukul 23:26 WIB. Aaahh... ternyata aku keliru, acaranya tetap selesai larut malam.
1 note
·
View note
Text
Kalau tidak bisa lebih baik, lebih baik tidak.
25 Juli 2021
1 note
·
View note