eujundiah
eujundiah
Ischyristariotis
45 posts
Ruang isi kepala; racauan, gurauan, igauan, impian اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ🍀
Don't wanna be here? Send us removal request.
eujundiah · 4 years ago
Text
Sekali lagi ...
Satu hari lalu, senyumku membeku ketika jari jemari kupaksa meniadakan sesuatu yang biasanya kunantikan. Warna dan cerita-cerita yang tentu saja kau ada di dalamnya.
"Udahlah, lupain aja orang kayak gitu mau sampai kapan kamu ladenin?", "Cukup buat waktu yang udah kebuang sia-sia karena Laki-laki yang bahkan menjadikan kamu hanya sebagai figuran"
Rasanya seperti ada yang menusuk-nusuk ujung telingaku ketika kata-kata itu berulang kali coba kucerna. Aku ingin berontak dan menyanggahnya bahwa itu tidak benar, sebab mungkin saja dalam hatimu ada sedikit ruang yang pernah terisi olehku.
Tapi apa boleh buat, sangkaanku tak cukup kuat.
Karena selalu saja dugaanku salah pada akhirnya. Faktanya tak pernah sekalipun kau menjadikanku sesuatu yang lebih dari sekedar "sesuatu yang dianggap wajar".
Aku suka puisi, mungkin karena itulah caramu berbahasa terkesan rapi sekali saat kita bertukar cerita.
Aku ini romantis, mungkin karena itulah sikapmu nampak manis ketika kita saling membagi mimpi.
Semua yang ada hanya "penyesuaian" saja, bukan karena aku ini sesuatu yang berarti.
Berkali-kali aku putuskan untuk mengakhiri sesuatu yang tak memiliki kepastian sama sekali, berulang-ulang pula kucoba membuang semua yang hanya angan-angan dan khayalan.
Tapi lagi-lagi aku yang kalah dan menyerah. Aku kembali lagi mengamati apa yang sedang kau lewati, cerita apa yang ada di dalamnya.
Aku kembali mengisi do'a-do'a tentang kita dengan mimpi yang entah bagaimana nanti wujudnya.
Hari demi hari, waktu ke waktu begitu, selalu, begitu.
Namun sayang sungguh sayang, mimpi-mimpu itu sepertinya terlalu semu buatku, sebab bukan "kita" melainkan hanya aku saja, tidak pernah ada "aamiin" darimu untuk jalan menuju mimpi itu.
Maka satu hari lalu, aku benar- benar memutuskan menjauh sepenuhnya darimu, mengubur dalam-dalam apa yang selama ini kupendam, mencoba semampuku menghilangkan jejak-jejak itu; suara-suara kita, tulisan-tulisan kita, titik tanpa koma.
Hanya saja, aku takut. Sungguh ! Takut, jika nanti beberapa waktu lagi aku merasakan rindu itu, sapaan dan candaan itu, semoga saja tidak ! Jika iya, akan kurutuki diriku sendiri.
Namun, lagi-lagi hanya aku saja, seperti biasa kau akan baik saja dengan atau tanpa aku di hidupmu...
6 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Sebelum ratusan hari..
Salam dariku sekali lagi, Sukabumi, 12 april 2021.
Entah berjarak berapa puluh hari dari kata terakhir yang kureka, hingga pada akhirnya aku mampu kembali merakit diksi malam ini. Jeda yang ada seolah membuat jemariku enggan kembali menari di atas kertas.
Jujur saja sempat terlintas ingin menyerah dengan kata dan tanda baca, sebab rasa-rasanya tulisanku hilang arah, tak tahu bagaimana harus memulainya, apa yang mesti diksi-diksi itu wakili, dan akhirnya, tentu saja kehilangan kepercayaan diri kalau-kalau apa yang tercipta berakhir picis, tragis.
Karena tidak seperti biasanya, kepalaku tak lagi terisi dengan suara-suara imaji yang dahulu senang sekali bersemayam disana, memenuhi rongga-rongga yang ada lalu berakhir dalam wujud puisi atau sajak-sajak yang berbiak.
senja? sudah lama aku tidak bertegur sapa dengan warna-warna saga itu, kami sedang saling bisu.
Renjana? ia seperti bosan mengajakku basa-basi sebab belum juga kukenali siapa sesungguhnya cinta.
Luka? aku yang sengaja melarikan diri darinya! berharap tak ada lagi yang tersisa di antara kami, sudah cukup ia menjalar, tak akan kubiarkan lagi mekar.
Ah, malam ini turun hujan, tanah-tanah basah. Semoga luruh segala gelisah. Sirna tak tersisa, apa-apa yang menyuburkan resah.
Aku ingin menulis lagi, aku ingin bercinta lama-lama dengan kata,          
sebelum jeda meraja, sebelum ratusan hari...
NB : Malam ini, semesta bersuka cita, sebab berjumpa dengan yang selalu dinantinya: hari-hari cahaya. ketika pintu-pintu syurga dibuka Tuhan dengan suka cita...
3 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
.... 16;05
Tiba-tiba kepalaku menjelma piringan hitam tua, yang memutar cerita lama; jejak yang enggan beranjak namun akan kupaksa berjarak.
Sebuah buku berwana coklat tua; awal pertemuan kita; ketika pertamakalinya kau dan aku bertukar sapa meski lewat dunia maya, hingga pada akhirnya menjadi sepasang manusia yang berbagi mimpi dan membincangkan imaji.
Sungguh, aku tidak pernah menyesali apa yang pernah terjadi, meski pada akhirnya aku dimaki oleh rasa percaya diriku sendiri;
Aku bukan pemeran utamanya
Beberapa hari ini cuaca di kotaku berubah-ubah, tidak pernah benar-benar searah. Saat pagi; warna langitnya biru, seakan-akan aku tak perlu merasa sendu, tapi tiba-tiba saja siang hari bukannya matahari menyinari; malah bias abu membuat ruang luas yang terbentang di atas bumi itu seolah-olah beku.
Maka begitulah aku, seakan apa yang kurasakan telah terwakilkan dengan baik, sangat apik.
Akhirnya tanda tanya yang selama ini memenuhi separuh rongga kepala, menemukan jawaban yang dicarinya. Perihal seseorang yang menjadi nyawa dari lema yang kau reka dan beri rima.
Aku memang tidak benar-benar tahu, apakah seseorang yang kau tuju adalah benar dia yang aku maksudkan. Tapi itu cukup memporak-porandakan menara do'a yang lama kubangun, menjadi kepingan yang berceceran.
Air mataku luruh, dadaku bergemuruh. Ada nyeri yang tidak bisa aku hindari, dan mau tak mau harus aku nikmati. Sebab sedari awal, aku tidak pernah ada dalam do'a-do'a yang kau rapal.
Tapi sekali lagi, pertemuan kita tidak pernah aku sesali, dan selalu aku syukuri, bahkan hingga detik terakhir aku merangkai huruf-huruf dalam tulisan ini.
Sebab darimu aku mengenal warna biru, ungu, kuning, dan gading. Sekelumit makna yang tidak bisa kujelaskan dengan sederhana.
Kepadamu, aku mendialogkan kesedihan, pertanyaan, candaan. Dan kau ada disana; menerima segala rambatan rasa yang ada. Terimakasih.
Maka sekali lagi, biar apa yang ada dan mungkin hanya aku yang merasa, akan selamanya abadi dalam puisi-puisi yang beberapa kali kau jumpai, namun tidak pernah kau selami.
Terimakasih, semoga apa yang kau inginkan, Tuhan kabulkan, termasuk cinta bersamanya.
0 notes
eujundiah · 4 years ago
Text
.2.4.8.10.
Berkali-kali dunia mencabik-cabik kita dengan komedinya. Dibuat tertawa, seolah semua yang ada akan baik-baik saja, tapi tak lama setelahnya, ketakutan-ketakutan kembali meluluh lantakkan apa-apa yang yang kita bangun dalam dada.
"Nggak bisa, mestinya kamu dulu gak begitu", "Coba aja kalau dulu kamu seperti itu, gak mesti akan jadi begini", "lihat orang di luar sana, bisa begitu. Salah sendiri jadi orang nggak ada motivasi".
Seketika air mata tumpah, menjadikan diri ringkih dirundung perih.
Dunia, sedemikian rupa Tuhan merancangnya dengan warna, benda, juga manusia-manusia yang entah karena apa, mulutnya sama buas dengan singa di hutan purba.
Menghakimi seolah paling mengerti, menggurui seolah paling memahami, hingga semena-mena mencerca manusia yang dirasa tak cukup baik menurut isi kepalanya.
"Sial !!! Kau pikir kau siapa? Dewa?"
Ingin rasanya memuntahkan makian.
Tapi, ada satu hal yang kerap kali luput dari ingatan ketika kesedihan begitu membenamkan. Bahwa di luar sana, Tuhan juga menganugerahi dunia ini dengan manusia-manusia baik hati, yang sama sekali tak memiliki hasrat menyakiti, apalagi membuatmu merasa mati.
Manusia-manusia yang hatinya berkiblat pada kasih sayang Tuhan, pada apa-apa yang nabi-Nya ajarkan. Manusia-manusia yang akan bahagia ketika kau diberkati dengan hal-hal yang menyenangkan hati. Manusia-manusia yang dengan senang hati meminjamkan kedua pundaknya bagimu untuk rebah ketika dunia tak terasa ramah.
Percayalah, kamu tidak sendiri menghadapi senda gurau dunia ini. Ada mereka yang bersedia kau bagi suka dan duka. Lalu bersama memeluk luka-luka yang ada.
Ah, dan jangan pernah lupa kau punya Dia. Tuhan yang keberadaan-Nya lebih dekat dari urat nadimu sendiri. Yakinlah, Allah tidak akan membiarkanmu sendiri.
0 notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Berhenti di bait terakhir tulisan ini..
Sudah cukup lama jemari ini merakit mimpi dengan diksi-diksi; rupa, nyawa yang beraneka.
Cinta, bahagia, luka, tawa, sendu hingga lebam di kepalaku ku abadikan dengan tulisan; puisi-puisi yang lahir dari sakitnya mencintai seorang diri, sajak yang tercipta dari dada yang sesak, juga cerita dengan mama yang tak ada habisnya.
Berbagai pujian sampai di telinga,menciptakan lengkung bahagia setiap kali mengingatnya, meski seringkali air mata juga ada disana.
Sembilan tahun lamanya rangkaian kata menjadi suaka paling nyaman untuk kutinggali dengan aman.
Tapi entah kenapa semakin hari, aku tidak lagi bisa ada disana; suaka itu bising aku kehilangan hening.
Terlalu banyak suara-suara yang meminta tinggal di dalamnya; berisik membuatku terusik.
Salahku, kenapa kubiarkan dunia tahu apa-apa yang mestinya kujaga untukku saja.
Salahku, kenapa aku terbawa suasana yang hanya angan-angan maya.
Lagipula, kini manusia sepertinya suka sekali menenun diksi, hingga banyak tulisan-tulisan berhamburan.
Maka cukup bagiku mengamati mereka yang berbahagia atau menuang duka dengan kata.
Dan lagi, kepergianku bukanlah sesuatu yang membuat haru, apalagi menjadikan teman-temanku menjadi sendu. Aku juga bukan seorang penulis! Hanya amatiran menyedihkan.
Maka itu kuputuskan tak lagi menulis kenangan tersisa titik tanpa koma, entah sampai kapan waktunya. Mungkin nanti; suatu hari aku akan menulis lagi.
Menari lagi dengan puisi, atau membangun do'a dalam prosa.
Maka pada bait terakhir terakhir tulisan ini, aku berhenti..
4 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
....
Pagi ini angin melintas di sela-sela mata dan telinga,dinginnya terasa menembus dada. Seolah pertanda; aku akan baik-baik saja.
Sedang lantunan ayat-ayat Tuhan mengalun merdu merambati sendu dan pilu di kedua pundakku.
Satu persatu yang kupahami, kuresapi, ku ikat dalam diri;
"Dunia hanya senda gurau saja", "yang tampak di kedua mata, hanya fana", "semua punya masanya", "semesta akan membuat mimpi jadi nyata, atas izin-Nya".
Hingga satu kalimat kudekap erat; "Aku akan baik-baik saja".
Tuhan selalu ada; melindungi, mengasihi, mencukupi.
Ia lebih dekat dari urat nadiku sendiri;
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya. Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qaf/50:16-18]
3 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Bara di rongga dada..
Kepalaku meraba-raba kesalahan apa yang pernah kubuat hingga luka yang kurasa seolah selalu sama; itu-itu saja.
tanda tanya yang tak juga menemukan jawabannya,
Tuhan, seolah ada pecahan bara dalam rongga dada; percikannya meluluhkan segala apa yang di dalamnya. seperti temali sedang melilit-lilit hati, nyeri menjalar ke seluruh sendi.
Pintalan-pintalan masa lalu habis memukuliku hingga biru; "Seandainya dulu aku tak begitu", "seandainya waktu itu aku melakukan itu", "seandainya semua kembali ke masa itu; harusnya aku tak perlu berbuat seperti itu".
Tuhan, aku benci kata "seandainya".
Air mata tak juga menemukan muaranya; mataku merah memuntahkan segala resah.
Apa mesti aku mati? atau jangan-jangan memang sudah mati ?
Tuhan, kau tidak akan pernah pergi bukan?
2 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Diksi untuk mimpi atau dipuji ?...
"Menulis itu perihal menyampaikan perasaan dengan bahasa yang bisa dimengerti". Begitu katanya.
Tapi entah mengapa semakin lama jari-jemarinku beku. Seperti kehilangan kemampuan untuk meramu.
Apa yang salah sebenarnya? Apa karena kepala sudah tak ada isinya? Atau ketakutan akan kehilangan? Iya, kehilangan mereka yang selalu berkata "aku suka tulisanmu".
Hhhh~ kepada diri sendiri; untuk apa sebenarnya kamu merangkai kata? Pujian dari pembaca? Atau merangkai mimpi lewat diksi-diksi?
Coba telisik lagi, apa yang kamu cari? Jangan biarkan "yang sementara" merajai isi dada.
Ingat ya, di kiri dan kanan mu ada dua malaikat yang tak pernah luput dari mencatat..
3 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Tumblr media
Terimakasih Tuhan,
Pagi ini, langit di atap rumahku berwarna biru. Do'aku; semoga sirna pilu dan sendu. Berganti bahagia dan cahaya.
2 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Hari ini, aku kembali dilanda nyeri; Segala luka kembali terbuka.
Kesekian kali aku habis tenggelam dalam airmataku sendiri; sebab tanda tanya riuh di kepala
"Untuk apa kau ciptakan duka dan bahagia, Sedang aku tidak mampu menampung keduanya?"
"Bolehkah jika sekali saja aku bllang "aku lelah", "aku ingin istirah?"
ada sesak yang menyeruak
Hingga di akhir aku menulis huruf-huruf ini, air mataku tidak juga mau berhenti.
Bodoh, bahkan untuk menulis ini saja aku masih memikirkan rima dan metafora.
Untuk apa? Tidak ada guna
Kenapa tidak bisa kumuntahkan saja semua?
tanpa harus basa-basi sok berpuisi.
Tuhanku yang merdu, terimalah senandung dalam kepalaku..
Aku ingin selesai.
4 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Ombak biru di kepalamu adalah gema
Memantul di udara; dentang, kenang, datang berulang.
Tapi yang kau beri elegi; jejak-jejak duri.
Riuh, basuh, gemuruh, bersauh.
Nirguna; serupa bergandengan di atas perapian
Maka yang tersisa tanda tanya; balada, air mata purba.
5 notes · View notes
eujundiah · 4 years ago
Text
Memberanikan diri menulis lagi..
Setelah sekian lama menepikan diri dan menjadi sunyi, kuputuskan kembali bermain dengan diksi-diksi yang entah nanti merupa puisi atau sekedar racauan dan igauan.
Beberapa waktu ini, berkali-kali kepalaku dihantam oleh rasa tidak percaya diri, sebab merasa bahwa aksara yang kutata tidak memberi nyala cahaya, melainkan hanya seikat luka atau cinta sepasang manusia; nirguna.
Tak ada bahasan tentang Tuhan, ungkapan kesyukuran atau pengingat diri untuk kembali menjalankan kewajiban; alasan-alasan mengapa kita diciptakan.
Jari jemariku kelu, seperti tidak lagi berani mengurai suara-suara di kepala dan mengubahnya menjadi frasa. Ada ketakutan yang menggenang dan perlahan-lahan menenggelamkan.
"Dia sering sekali menabur aroma luka, "dia sedang jatuh cinta, "dasar perempuan gila", "dasar bucin pemuja mecin". Begitu prasangka memantul di udara. Seperti belenggu yang membuatku beku dan tak lagi cukup berani.
Imaji kupaksa diam, terbungkam kalam.
Hingga suatu hari kujumpai satu ucap singkat yang membuatku kembali cukup kuat;
"yang liar itu sajaknya bukan orangnya"
Seperti sesak dalam dada berhamburan keluar lewat sudut mata, ketakutan yang ada mulai terkikis dan menipis.
"Setiap kita punya cara masing-masing dalam membagikan risalah Tuhan, jangan takut !! Bicara cinta atau luka dalam sastra tidak berarti kamu enggan dengan Tuhan, tidak juga bermakna kamu buta dengan agama". Begitu jiwaku bicara.
Aku tak ingin berlama-lama menyandera diri dengan pandangan manusia, apalagi terluka karenanya. Sebab semua berhak atas isi kepala mereka.
Yang kuyani, Tuhan amat sangat memahami, hamba-Nya yang satu ini senang sekali menari dengan puisi, mengagumi arunika dan swastamita.
Dia tidak akan murka, selama nama-Nya kuhidupkan dalam dada, menggema dalam jiwa.
Dia tidak akan membenci, selagi aku bisa membawa pesan-pesan kebaikan, meski tidak melalui diksi; Aku punya caraku sendiri, sesuatu yang semoga Ia ridha atasnya.
Maka aku putuskan kembali mengais patahan-patahan kata yang tenggelam dan mulai karam; menyulamnya dengan rima.
Kembali, aku memberanikan diri menulis lagi.
8 notes · View notes
eujundiah · 5 years ago
Text
Sahabat sedunia - sesyurga..
Dan betapa Allah maha atas segala..
Ini tentang cinta, yang kembali diberi-Nya lewat wanita-wanita luar biasa. Masing-masing dari mereka bernama; ah, jangan. Tak perlu kutulis disini, biar saja nama mereka bermetafora diantara aksara yang coba kutata.
Kepada mereka- mereka yang menjadi inspirasi lahirnya tulisan ini, terimakasih banyak. Semoga persahabatan yang terjalin, mengantar kita sampai pada ruang-ruang syurga.
lagi-lagi rezeki terlalu sempit jika hanya dimaknai dengan materi. 
kehadiran mereka-mereka yang mendekatkan kita pada sang pencipta, juga adalah harta berharga. 
Dari mereka kita belajar, bahwa Allah senantiasa membersamai dan tidak akan pernah pergi. Dia selalu ada, menjaga, dan tidak lupa memberi kasih sayang pada, hamba-hamba-Nya.
Dengan mereka sempit tidak akan menghimpit, kesakitan takkan melumpuhkan, dan kebahagiaan dapat merupa sebuah kesederhanaan. meski mungkin hanya sekedar guyonan atau sekedar saling memimjamkan telinga, membagi cerita.
jika dalam hidup kita saat ini, ada mereka-mereka yang sengaja Allah kirimkan maka jangan lepaskan. genggam erat mereka, lewat cinta, lewat do’a-do’a.
4 notes · View notes
eujundiah · 5 years ago
Text
Eu. Jundiah & Biru muda -
Hari ini dua puluh dua juli
Di bibir jendela, mayapada samar berwarna jingga
Sebuah jurnal dan halaman-halaman yang tanggal;
Album nostalgia dan serpihan cerita yang masih tinggal;Bersepah, ruah; meluruh, jatuh
Suara-suara di kepala
haruskah kita?
haruskah bila?
Sepi berhenti di nadi
Hening, nalar berdenting;
Untuk apa tanda tanya itu?
Bukankah titik telah tepat menduduki lokanya?
Bukankah semua sudah usai semestinya?
Dan bukankah telah terbuka halaman berikutnya?
Ini gelisah paling parah di kaki langit yang memerah
Kita? Haha
tak lebih dari sekedar tanda tanya
Lalu sunyi kembali berbunyi;
Cakrawala terperangah; pesona merah kian rendah,
Layu, biru; suram mencekam
Namun samar mulai cemerlang; nalar kian sadar
Waktu kembali bergerak maju
Menyudahi elegi, memaksa semua tanda tanya pergi
Pada akhirnya kita; serupa tanda petik yang hadir sebelum titik; Ada namun percuma.
3 notes · View notes
eujundiah · 5 years ago
Text
Dia; Kalandara
Bunyi di tengah sunyi
Nirbana, semoga
Berbiak senantiasa baik
1 note · View note
eujundiah · 5 years ago
Text
Kepada Senja yang tak hanya satu penantinya; kau tak seperti biasanya..
Sore ini, tak seperti biasanya; jingga dan saga yang kau punya tak lagi membuatku mudah berkata-kata. Aku justru membisu dan kelu.
Sore ini, ada nyeri yang menjalar ke seluruh sendi. Membuat diri enggan berjalan lebih jauh lagi. Semoga aku tak lekas mati.
Sore ini, semesta tak jauh beda dari kakek tua yang akan segera tutup usia, Renta. Luka-luka menampakan wajahnya.
Sore ini, tak seperti biasanya; jingga dan saga yang kau punya tidak lagi membuatku berpuisi, tapi mengantarku menari di atas puing-puing duri.
Lalu tanda tanya mengapung di udara, nyaring, bising ..
"Lebih merah mana, Senja atau duka?"
2 notes · View notes
eujundiah · 5 years ago
Text
Tidak sampai penghujung waktu, kadang terburu-buru, kadang ke hilir dan ke hulu, kadang berujung buntu.
Tapi bicara denganmu, sanggup membuatku berjeda dengan luka. Terimakasih, ya.
3 notes · View notes