Text
REVIEW I WANT TO DIE BUT I WANT TO EAT TTEOKPOKKI, BUKU REKOMENDASI BANYAK K-POP IDOL
Judul : I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Penulis : Baek Se Hee
Penerjemah : Hyacinta Louisa
Penerbit : Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Haru
Dimensi : 236 halaman; 19 cm
Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki Bagian Pertama Edisi Khusus Perayaan 2 Tahun Terbit (Doc. Pribadi)
I want to Die but I want to Eat Tteokpokki merupakan buku pengembangan diri (self improvement) karya Baek Se Hee, penulis perempuan kelahiran 1990 asal Korea Selatan. Belakangan buku ini banyak dicari pembaca dari berbagai negara, termasuk Indoensia, lantaran beberapa idol K-POP seperti RM BTS, S.coups Seventeen dan Hyunjin Stray Kids merekomendasikannya kepada fans mereka. Di negara asalnya sendiri, buku ini juga masuk jajaran buku best seller, selain itu juga mendapatkan rata-rata rating3,82 di goodreads dari 1865 rating.
Buku ini terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama diterbitkan pertama kali di Indonesia pada tahun 2019, yang hingga perayaan 2 tahun terbitnya telah dicetak ulang hingga 18 kali. Sedangkan untuk bagian keduanya, yang berjudul sama diterbitkan pada tahun 2020, yang kini sudah dicetak ulang kedelapan kalinya.
Sebenarnya apa yang spesial dari karya Baek Se Hee ini sampai-sampai bisa ramai diperbincangkan dan mendunia?
Buku I want to Die but I Want to Eat Tteokpokki bagian pertama berisi esai perjalanan pengobatan penulis yang sudah lebih dari 10 tahun mengalami distimia (depresi berkepanjangan) dan gangguan kecemasan. Penulis mencoba mengunjungi banyak psikolog dan psikiater hingga akhirnya pada tahun 2017 menemukan rumah sakit yang cocok dan hingga kini sedang menjalani pengobatan.
Pengalaman nyata pengobatan yang dilakukan dengan metode obat serta metode konsultasi tersebut dituangkan dalam bentuk percakapan apa adanya antara penulis dengan psikiater. Buku dibuka dengan pengantar dari dr.Jiemi Ardian, Sp.Kj yang mengajak pembaca memahami terlebih dahulu cara berpikir orang-orang yang mengidap depresi ataupun distimia. Buku terdiri dari 12 bab cerita yang ditulis berdasarkan konsultasi mingguan penulis dengan psikiater serta penutup berupa esai pendek dan kata-kata dari ahli psikologi mengenai buku ini
Daftar Isi Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki Bagian Pertama (Doc. Pribadi)
Buku ini menceritakan kondisi penulis yang memiliki kecenderungan melihat dirinya dari sudut pandang negatif sehingga memengaruhi kepercayaan dirinya dan juga tentang kondisi penulis yang memandang dunia dari sudut pandang ekstrem, yakni hanya hitam dan putih, bagai dua buah kutub yang bersebrangan yang tidak memiliki titik tengah. Selain itu, dalam buku juga dituliskan bahwa penulis berpikir secara ambivalensi, yakni pemikiran yang sama-sama dirasakan, tetapi saling kontradiktif, misalnya ingin mengakhiri hidup, tetapi saat bersamaan juga ingin hidup, seperti arti judul buku ini sendiri, saya ingin mati, tetapi saya juga ingin makan tteokpokki. Saya pernah mendengar dari podcast klub buku Kumpul Baca yang membahas buku ini, bahwa bahan baku untuk membuat tteokpokki, yakni tteok atau kue beras melambangkan umur panjang, sehingga judul buku ini pun dapat bermakna saya ingin mati, tetapi saya juga ingin berumur panjang.
Setiap bab sesi konsultasi mingguan berisi interaksi penulis dengan psikiater yang berisi cerita aktivitas penulis, sesi tanya-jawab, penilaian, saran, nasihat serta evaluasi diri yang bertujuan tujuan mengajak pembaca untuk introspeksi, mengenali dan mencintai dirinya sendiri. Perkembangan pengobatan penulis sendiri tidak selalu maju dan mulus, bahkan terkadang penulis juga merasakan stagnan atau menjadi menderita lagi karena efek samping obat yang dikonsumsinya.
Dalam buku ini, terbaca dengan jelas sekali bahwa penulis mengakui bahwa dirinya tidak baik-baik saja, oleh karena itu penulis berusaha dengan keras untuk bangkit dan sembuh walaupun dalam prosesnya tidak mudah, seperti kutipan yang ditulis pada awal buku yang berbunyi, “Salah satu cara untuk membuat diriku merasa bebas adalah dengan menunjukkan sisi gelapku. Aku ingin orang-orang yang berharga baiku mengetahui kalau sisi gelap itu juga merupakan bagian dari diriku”. Sepertinya dengan menulis buku ini, penulis merasa bebas karena telah menunjukkan sisi gelapnnya untuk merasa utuh sebagai manusia yang memang tidak sempurna. Hal itulah yang membuat saya membaca buku ini sampai tuntas, saya suka sekali dengan fakta bahwa penulis tidak menyerah dengan dirinya dan ingin mencintai dirinya sendiri agar hidupnya lebih bahagia.
Esai penulis yang berjudul “Racun Bernama Semangat” yang membahas masalah toxic positivity juga menyiratkan bahwa buku ini terasa lebih manusiawi dan lebih terhubung dengan kehidupan sehari-hari sebab terasa seperti merangkul sisi ketidaksempurnaan manusia, tidak seperti buku motivasi dengan bahasa yang muluk-muluk. Kutipan pada esai tersebut yang berkesan untuk saya, yaitu, “Tidak apa-apa jika tidak bersemangat, mungkin saja hari ini aku tidak bisa melakukan pekerjaanku dengan baik. Itu semua adalah pengalaman. Tidak apa-apa.” (hlm.197)
Karena bentuk buku ini yang berupa esai percakapan, sepertinya berpotensi membuat pembaca sedikit bosan apabila dibaca dalam sekali duduk sebab rasanya semua bagian penting untuk disimak dengan cermat, untungnya bahasa terjemahan yang digunakan cukup ringan dan beberapa bagian tertentu buku seperti kutipan dan kalimat-kalimat yang berkesan dicetak tebal dan diberi highlightdengan warna yang eye-catchingsehingga fokus mata tetap terjaga. Untuk mengurangi rasa bosan, saran saya sebaiknya teman-teman bisa membacanya dengan mencicil di waktu luang atau secara rutin ketika sebelum tidur. Terkait dengan istilah-istilah psikologi yang minim penjelasan, Dr. Jiemi Ardian sendiri telah mengatakan di bagian pengantar bahwa esai ini memang tidak dimaksudkan untuk dipahami secara teori, jika teman-teman pembaca ingin mendalami istilah-istilah tersebut, sebaiknya mencari lebih lanjut melalui sumber-sumber yang valid, seperti buku ataupun artikel ilmiah psikologi.
Saya rasa teman-teman pembaca lain juga tidak harus selalu setuju dengan pemikiran ataupun sikap penulis yang ada pada buku. Buku ini hanya bertujuan menceritakan pengalaman seseorang yang mengalami gangguan mood agar pembaca lebih aware dengan kondisi mental diri sendiri ataupun orang lain dan juga bertujuan menggandeng tangan orang-orang yang memiliki kondisi yang sama agar mereka tidak merasa sendiri. Seperti yang Baek Se Hee tulis, buku ini bukan pertanyaan ataupun jawaban tetapi harapan yang mengajak pembaca merasa ingin mencintai ataupun dicintai.
Secara keseluruhan, buku ini sangat worth to read untuk teman-teman yang ingin mencari bacaan pengembangan diri bertema psikologis dengan bahasa yang ringan.
“Rasa percaya bahwa meskipun bukanlah hari yang sempurna, hari ini bisa menjadi hari yang cukup dan baik-baik saja. Rasa percaya bahwa hidup adalah ketika meskipun aku merasa depresi seharian penuh, aku masih bisa tersenyum hanya gara-gara sebuah hal kecil sekalipun.”—Baek Se Hee.
5 notes
·
View notes
Text
Review Novel Such a Fun Age karya Killey Reid
Judul: Such a Fun Age
Penulis: Killey Reid
Penerbit: G.P Putnam’S Sons (imprint dari Penguin Random House LL)
Jumlah halaman: 310
Such a Fun Age merupakan novel debut karya penulis dari Philadelphia, USA, Killey Reid. Novel ini mendapat banyak pujian dari berbagai majalah dan koran, seperti The Atlantic, Mineapolis Star Tribune, The Guradian, Time, The Times (UK), dll. serta berhasil masuk ke daftar panjang The 2020 Booker Prize, yakni penghargaan bergengsi untuk novel berbahasa Inggris yang terbit di UK dan Irlandia. Such a Fun Age terdiri dari 4 bab utama dengan total 28 subab cerita.
Such a Fun Age mengangkat topik mengenai tindakan rasisme dan fenomena kesenjangan kelas yang masih lekat di kalangan masayarakat Amerika. Dalam buku diceritakan bahwa, Emira Tucker, seorang perempuan muda berkulit hitam yang bekerja paruh waktu sebagai baby-sitter di sebuah keluarga kulit putih, mengalami tindakan rasisme ketika bekerja. Pada suatu malam, ketika Emira merayakan ulang tahun salah satu sahabatnya, ia mendapatkan telepon dari Mrs.Chamberlain atau Alix, ibu dari keluarga tempat Emira bekerja. Emira diminta untuk menjauhkan Briar, putri sulung keluarga Chamberlain, sejenak dari insiden kecil yang terjadi di rumah keluarga Chamberlain malam itu, panggilan tersebut memang terjadi di luar jam kerja Emira, namun Emira akan mendapatkan extra –tip jika mengambil tawaran tersebut, karena sedang membutuhkan uang dan memang menyukai gadis kecil keluarga Chamberlain yang tidak rewel, akhirnya Emira menyetujui panggilan tersebut dan Mrs.Chamberlain telah mengatakan tidak keberatan walaupun Emira sedang mengenakan gaun pesta.
Emira dan salah satu sahabatnya yang ikut serta, Zara, akhirnya menjemput Briar menggunakan taksi, kemudian mereka diminta mengajak Briar jalan-jalan ke Market Depot, sebuah supermarket yang banyak dikunjungi masyarakat kelas atas yang tidak jauh dari rumah keluarga Chamberlain. Setelah Zara pergi, tak lama kemudian Emira dituduh menculik Briar oleh petugas keamanan Market Depot akibat seorang pengunjung yang mengadu karena merasa khawatir karena melihat seorang anak kecil berkulit putih bersama dengan seorang perempuan berkulit gelap menjelang tengah malam. Emira menjelaskan bahwa ia seorang baby-sitter yang bekerja karena emergency calling, namun security tersebut tidak percaya sebab Emira tengah tidak mengenakan pakaian baby-sitter dan sedikit berbau alkohol. Insiden tersebut menarik kerumunan, bahkan ada pengunjung yang merekam kejadian tersebut, akibatnya Emira merasa marah, tersudut dan dipermalukan hingga akhirnya Mr.Chamberlain datang untuk mengklarifikasi.
Namun, masalah tidak berhenti sampai di situ, situasi makin menjadi rumit ketika ternyata Emira menjadi dekat dengan Kelley, seseorang yang merekam insiden rasisme yang dialami Emira yang ternyata juga merupakan seseorang dari masa lalu Mrs.Chamberlain. Mrs.Chamberlain dan Kelley berusaha melindungi Emira dengan cara yang menurut sudut pandang masing-masing benar, Emira ibarat seperti ditarik dari kedua sisi yang berlawanan, hal itu membuat Emira yang saat itu tak berdaya secara ekonomi dan tengah berada di masa quarter life crisis merasa terombang-ambing, clueless dan cukup bingung dengan situasi yang dialaminya, namun seiring dengan berjalannya waktu dan dengan berkat dukungan sahabat-sahabatnya, Emira akhirnya berani membuat keputusan yang menurutnya baik untuk hidupnya sendiri.
Poin-poin tentang Such a Fun Age:
(+) Buku ini membuka mataku lebih lebar mengenai isu rasisme, yang nyatanya masih sering terjadi di sekeliling, mungkin bahkan kita sendiri tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan tindakan rasisme, sehingga kita harus benar-benar berhati-hati dalam bertutur ataupun bertindak.
(+) Such a Fun Age ditulis dengan bahasa Inggris yang cukup ringan sehingga mudah dipahami dan cocok dibaca ketika istirahat di waktu-waktu luang
(+) Tersedia pertanyaan-pertanyaan untuk sesi diskusi pembaca di akhir buku yang dapat memantik pola pikir kritis pembaca mengenai isu yang diangkat dalam novel
(-) Karena novel mengambil latar kehidupan sehari-hari, pada saat awal pemaparan konfilk saya merasa sedikit bosan, namun menjelang akhir, novel terasa lebih menarik hingga saya ketagihan untuk terus membalik halaman hingga selesai
0 notes
Text
Convo
"Is it half full or half empty?"
"What?"
"My feelings for you."
0 notes
Text
Semestaku
Mungkin kedua bola matamu adalah langit malam yang begitu pekat,
dingin, sunyi,
Biarkan aku menyelam jauh ke dalamnya
Dan lihatlah iris yang sewarna purnama itu
atau konstelasi tawa-sendumu
Biarkan aku bersemayam di sana.
0 notes
Text
Review Film The Mitchells VS The Machines
Film the Mitchells VS The Machines merupakan film kartun produksi Columbia Picures, Sony Pictures Animation, Lord Miller Productions dan One Cool Film yang rilis pertama kali di Netflix pada April 2021. Film kartun bergenre Comedy/Sci-fi ini merupakan film keluarga yang dibalut cerita petualangan untuk menyelamatkan dunia dari kemurkaan sebuah asisten pintar (AI) bernama Pal. Tokoh dari film ini adalah sebuah keluarga aneh bernama Mitchell, yaitu sang Ayah yang bernama Rick Mitchell, seorang pecinta alam yang serba bisa dalam memperbaiki apapun. Kemudian, si Ibu, Linda Mitchell, perempuan yang menyayangi anak-anaknya dan yang selalu iri dengan keharmonisan keluarga tetangga (rumput tetangga selalu lebih indah, ya Bund!), Katie Mitchell seorang remaja perempun ansos yang terobsesi dengan film dan bercita-cita menjadi film maker, si bungsu Aaron Mithcell yang tergila-gila dengan cerita dinosaurus dan juga ada anjing peliharaan mereka yang dumb dan juling, yakni Monchi.
Pada film diceritakan kalau keluarga Mitchell tidak pernah kompak, terlebih Katie dan Rick, keduanya tidak pernah sejalan dan saling mengerti pemikiran satu sama lain. Suatu hari Katie mendapat surat pemberitahuan bahwa dirinya diterima kuliah di sebuah universitas di California jurusan perfilman. Katie senang bukan main karena dia berhasil mendapatkan apa yang diinginkan dan juga di sisi lain dia bisa pergi jauh dari keluarganya yang dia rasa tidak pernah cocok dengan kepribadiannya. Pada makan malam terakhir sebelum Katie terbang ke California, dia dan ayahnya bertengkar hebat sampai-sampai laptop Katie yang berisi film pendek yang telah dibuatnya terjatuh dan pecah. Ternyata keesokan harinya Rick membatalkan tiket pesawat Katie dan berniat mengantarkan Katie ke Kalifornia menggunakan mobil butut bersama ibu, adik dan anjingnya dengan dalih family trip. Sebenarnya Ayah Katie berniat baikan dengan Katie, namun hal itu malah memperkeruh suasana, gara-gara hal tersebut Katie harus melewati acara orientasi kampus yang sudah dia nanti-nanti. Akhirnya mau tak mau Katie pun menyetujui family trip tersebut.
Di tengah perjalanan mereka tiba-tiba harus berhadapan dengan pasukan robot-robot buatan seorang developer & pengusaha teknologi bernama Mark yang telah dibajak oleh asisten pintar buatannya, Pal, yang mengamuk gara-gara Mark membuangnya begitu saja setelah dia membuat AI versi terbaru padahal selama ini Pal banyak membantu umat manusia, bisa dibilang manusia sudah ketergantungan dengan kecerdasan buatan. Hal itu memicu Pal membenci umat manusia, dia bertekad menculik seluruh manusia di muka bumi, dan memasukannya ke dalam kubikel-kubikel yang nantinya akan dilontarkan ke black hole. Manusia-manusia diiming-imingi WiFi dan segala aplikasi yang membuat bahagia agar mau masuk ke dalam kubikel, tentu saja cara tersebut berhasil, siapa yang tidak bisa hidup tanpa WiFi dan sosmed pada saat ini?
Akhirnya seluruh kubikel dari berbagai belahan dunia mulai meluncur dan terkumpul perlahan-lahan di Silicon Valley yang telah dibajak menjadi markas besar Pal. Dari invasi awal tersebut hanya keluarga Mithcell yang berhasil lolos dan mau tak mau mereka lah yang harus menyelamatkan dunia. Misi penyelamatan tersebut perlahan-lahan membuat hubungan keluarga Mitchell membaik, terlebih hubungan Katie dan Ayahnya.
Yang bikin aku suka dengan film ini adalah, problemnya yang relatable bagi siapapun yang berkeluarga, karakter tokohnya yang unik-unik, animasinya yang menggabungkan 2D, 3D dan live action (yang foto-foto asli manusia) jadi mirip dengan dunia pada film-film yang dibuat Katie, kemudian setiap kejadian dan tokoh yang dibuat itu berguna, jadi nggak ada yang sia-sia gitu, misalnya kado obeng dari si Ayah, pelajaran bikin jebakan ketika berburu, bahkan si Monchi pun memegang peranan yang penting di film, terus plot ceritanya padat dan enak untuk dinikmati, terus komedinya dapet.
Scene terfavoritku itu ketika pertempuran melawan Furby di mall, ketika Linda mengeluarkan jiwa badass emak-emaknya pas Aaron diculik, ketika si Rick nonton film buatan Katie yang diputar Mark waktu di kubikel terus pas Katie membuka video-video lama di handycam yang akhirnya dia tahu alasan Ayahnya bersikap selama ini dan yang ngena banget itu pas perpisahan Katie ketika mau kuliah, dia ngucapin dan ngelakuin hal yang sama yang dilakukan Ayahnya ketika dia akan pergi ke sekolah untuk pertama kalinya. Asli sih bikin mewek.
Yang aku dapet dari film ini ya emang nggak ada keluarga yang sempurna, setiap keluarga itu unik dan punya masalah masing-masing, sengeselin apapun mereka, mereka berharga karena sebenernya kadang semua anggota keluarga saling menyayangi cuman berbeda aja pemikirannya dan dalam mengekspresikan rasa sayang, kayak si Rick yang nggak mau Katie gagal kayak dirinya sendiri tapi Katie nganggepnya si Ayah berpikir kalau dia nggak mungkin sukses. Nah, makanya kompromi yang gede banget dan komunikasi yang baik itu perlu ada di sebuah keluarga.
Kalau kata Katie gini, "Families can be hard, but they're so worth fighting for. They might be one of the only things that are."
Skor dari aku 9/10 karena aku enjoy banget ketika nonton, ya ngakak ya nangis. Worth to watch!
youtube
2 notes
·
View notes
Text
Bayangan
Aku menimbang-nimbang, akankah semuanya masih sama?
Ketika kamu melihatku tanpa sehelai pakaian dan satu kuas riasan
Jauh ke dalam, menembus kulit dan darahku
Di sanalah duka dan kecacatanku bersemayam
Apakah semuanya masih sama ketika aku bukan seseorang dalam kepalamu?
Aku hanya seorang anak kecil kebingungan yang bahkan kesulitan mengeja namanya
yang menangis di pagi hari karena mendadak ketakutan kehilangan sesuatu yang bahkan belum dimiliki
yang mudah kelelahan karena segala sesuatu dalam dirinya tercerai-berai
Bagaimana? Ternyata aku hanya manusia biasa-biasa saja.
0 notes
Text
Review Novel Digital-Yang Menjadikannya Abu
Yang Menjadikannya Abu menceritakan kisah seorang perempuan bernama Felisita yang mengidap insomnia hingga sering melakukan night drive supaya cepat terlelap. Suatu hari ketika melakukan night drive, tanpa sengaja Sita parkir dan tidur di halaman rumah Aditya Utama, pendiri Memoria, sebuah perusahaan rintisan teknologi-kesehatan, yang ternyata memiliki hubungan pelik dengan dirinya di masa lalu. Yang Menjadikannya Abu resmi masuk dalam jajaran kisah favorit saya di aplikasi Storial. Sebuah romance dengan balutan science fiction, tema yang cukup jarang digali kebanyakan penulis di Indonesia.
Saya sangat kagum dengan ide penulis tentang Memoria yang terasa begitu segar dan brilian, terlebih di kondisi pandemi saat ini sehingga membuat saya sebagai pembaca merasa Memoria bisa saja mewujud di dunia nyata. Kisah ini disampaikan dengan alur maju-mundur dan ditulis dengan bahasa yang ringan, cerdas, namun mudah dipahami. Satu lagi yang menarik dari Yang Menjadikannya Abu adalah bab-bab Lampiran Preliminary Report Memoria, Ltd. yang ditulis seperti format laporan hasil wawancara, bukan paragraf narasi. Saya pikir ide tersebut berhasil membuat pembaca merasa lebih dekat dan masuk ke dalam dunia ciptaan Kak Tia Widiana.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”
-Sapardi Djoko Damono
0 notes
Text
Review Novel Digital-Java Express
Java Express terasa seperti membawa angin segar ke ranah genre romance yang belakangan didominasi percintaan yangg melibatkan CEO atau anak sekolahan. Java Express berangkat dengan membawa ide unik kisah time travel, kisah melipat jarak serta menembus ruang dan waktu. Java Express menceritakan Alexa yang mendadak terlempar ke Soerabaja tahun 1914 dan menempati posisi Alene sebagai putri kedua keluarga Lisellote yang ternyata memiliki kisah cinta cukup rumit. Latar tempat dan waktu digambarkan dengan baik melalui narasi dan dialog dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami sehingga seakan pembaca diajak "tilik" ke Hindia Belanda. Sebagai seorang yang menyukai hal-hal berbau sejarah, saya sangat menikmati jalan-jalan ini.
Konflik pada novel disusun perlahan-lahan dengan rapi, dengan menyisipkan kejutan di hampir setiap bab yang mampu membuat pembaca penasaran dengan kelanjutan kisah Alexa dan Alene. Java Express juga menampilkan perbedaan kontras kehidupan perempuan pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, pada masa lampau perempuan seperti hanya menjadi objek, bukan seorang perempuan berdaulat yang memiliki pilihan, kehadiran Alexa seakan menjadi sosok yang mendobrak semua pakem itu, perempuan berhak memilih apapun untuk masa depannya, termasuk siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya nanti. Selain itu Java Express juga seolah mengatakan bahwa cinta adalah bahasa universal yang bebas dimiliki semua orang tanpa memandang perbedaan ras. Secara keseluruhan Java Express adalah kisah yang worthy untuk disimak sampai akhir.
Java Express bisa dibaca di aplikasi Storial.
0 notes
Text
Lady Bird Mengingatkan Kita Akan Masa Remaja yang Menggebu-gebu
Poster Film Lady Bird
Lady Bird (2017) merupakan film bergenre drama komedi yang menceritakan masa remaja seorang siswa SMA tingkat akhir, Christine “Lady Bird” yang menjadi murid baru di sebuah sekolah Katolik di Sacramento. Film mengambil latar waktu tahun 2002-2003, ketika remaja masih belum bergantung banyak kepada internet dan gawai seperti sekarang. Film ini mengingatkanku pada masa abege yang menggebu-gebu, masa-masa ketika punya ekspektasi tinggi tentang kehidupan, masa ketika masih labil dan tidak pikir panjang juga masa ketika merasakan beberapa hal untuk pertama kalinya dan ingin momen-momen itu terasa spesial.
Film ini seperti merangkum kehidupan remaja tidak hanya dari sisi kehidupan sekolah tapi juga dari sisi hubungan anak dengan keluarga. Dikisahkan bahwa Lady Bird tumbuh besar di keluarga yang tidak kaya, ibunya bekerja beberapa shift di rumah sakit jiwa sampai kepayahan, ayahnya baru saja dipecat dan kakaknya, lulusan Bekerley University, bekerja menjadi kasir di minimarket bersama pacarnya. Lady Bird tidak memiliki hubungan yang bisa dibilang tidak dekat-dekat amat dengan keluarganya, paling-paling hanya Ayahnya yang bersikap lembut kepadanya. Hubungan dia dengan kakaknya juga tidak bisa dibilang harmonis, apalagi dengan Ibunya, mereka sama-sama memiliki watak yang keras yang kerap berbeda pendapat sehingga memicu perdebatan meski karena hal-hal sepele, padahal keduanya saling menyayangi dan tidak ingin mengecewakan satu sama lain. Hubungan mother-daughter memang kerap terlihat kompleks. Kondisi seperti ini memang sering aku temui di sekitar, kurangnya kompromi, komunikasi dan rasa saling mengerti ibu-anak sering menciptakan jurang di antara keduanya hingga keduanya berujung saling menyembunyikan perasaan satu sama lain.
Lady Bird di sini masih memiliki ekspektasi tinggi tentang hidupnya seperti remaja-remaja pada umumnya, salah satu scene yang memorable untukku, yaitu ketika dia dan sahabatnya, Julie berdiri di depan sebuah rumah bercat biru yang memasang bendera Amerika di depan. Dia memiliki keinginan untuk tinggal di rumah seperti itu, kemudian mengundang teman-temannya untuk bermain dan meminta ibunya untuk membawakan camilan, sepele memang tapi hal seperti itu tidak bisa kamu lakukan kalau kamu bukan dari keluarga kaya..
Film ini juga menyinggung beberapa hal yang memang terjadi pada masa remaja, misalnya ketika jatuh cinta untuk pertama kalinya pada pandangan pertama, HS untuk pertama kalinya dan juga patah hati untuk pertama kalinya. Selain itu, juga pengalaman ketika ingin berteman dengan anak yang kita anggap keren dan cantik sampai melupakan sahabat kita yang selalu ada, tidak ingin di antar orang tua sampai depan gerbang sekolah, ingin menjadi hebat dengan memenangkan olimpiade but then you realized that you’re dumb LMAO, perasaan ingin berkuliah di luar kota, melihat dunia baru yang terlihat menyenangkan tanpa kekangan orang tua.
Lady Bird pun akhirnya bisa berkuliah di luar kota meski belum mendapat restu dari ibunya, di part itu aku bisa relate betapa putus asanya Lady Bird ketika meminta maaf kepada ibunya yang memiliki watak keras, bahkan berbicara sepatah kata pun ibunya nggak mau hingga akhirnya Lady Bird terbang ke New York dan ibunya menyesal karena belum “baikan”. Salah satu scene yang juga memorable buatku adalah ketika si Lady Bird ini akhirnya lulus ujian SIM kemudian mengendarai mobil mengelilingi Sacramento dan mulai memperhatikan sudut-sudut tempat yang ternyata menyimpan kenangan tersendiri buat dia, dia pengen berbagi cerita itu ke ibunya, tapi nggak bisa karena lagi nggak ngomong.
Film ini memberi gambaran bahwa seburuk-buruknya kondsi kelurga kita, merekalah tempat kembali, merekalah orang-orang yang kita sayangi dan menyayangi kita. Begitupun dengan kampung halaman, akan selalu menjadi tempat yang penuh kenangan.
1 note
·
View note
Text
Soul Barangkali Bisa Bantu Kamu Menulis Resolusi 2021
Poster Film Soul
Trailer Film Soul
Soul merupakan salah satu film animasi Disney Pixar yang penayangannya sempat terganggu karena pandemi hingga akhirnya dirilis di Disney+ pada 25 Desember kemarin. Film ini sendiri udah kutunggu sejak trailer awalnya muncul. Jadi sebenernya agak kecewa juga nggak jadi nonton di layar lebar. Soul diproduksi dari Studio yang sama dengan film Inside Out dan Coco.
Film ini punya plot cerita yang sederhana yang menceritakan perkembangan karakter tokohnya, tidak ada plot twist seperti UP, aksi laga seperti Zootopia atau petualangan super asyik seperti Toy Story atau Finding Nemo. Namun, film ini terasa spesial karena memiliki kedekatan dengan penonton yang beranjak dewasa atau bahkan sudah dewasa. Menonton Soul rasanya seperti berbagi keintiman perasaan dan pertanyaan yang terpendam dalam diri tanpa merasa dihakimi. Iya, meski animasinya menggemaskan, film ini mungkin terasa kurang menyenangkan jika ditonton anak-anak, sebab yang menjadi sorotan utama adalah tema yang dibawakan.
Soul menceritakan seorang pria bernama Joe Gardner yang berprofesi sebagai guru musik SMP yang begitu mencintai Jazz, dia berpikir kalau dia sudah menemukan tujuan hidupnya, he said, "I was born to play." Dia mengira bahwa tujuan hidupnya adalah untuk bermain piano di atas panggung bersama grup musik dambaannya sampai suatu saat kesempatan itu datang tepat di depan matanya, bukan selangkah lagi untuk mencapainya, dia sudah mencapainya, pendiri grup musik jazz impiannya sudah memintanya untuk hadir, tapi hidup tidak pernah bisa ditebak, apa yang kita pikir akan terjadi belum tentu akan terjadi sesuai rencana, tidak lama setelah mendapat kabar bahagia itu Joe jatuh terperosok ke gorong-gorong New York dan nahasnya mengalami koma dan jiwanya terjebak di dunia antara hidup dan mati.
Dalam dunia lain tersebut (Great Beyond), Joe yang masih denial kalau dirinya sudah akan menjemput maut malah berusaha kabur ke dunia lain dan akhirnya terjebak di Great Before dan berujung bertemu dengan jiwa nomor 22. Jiwa 22 merupakan jiwa yang selalu gagal mendapat "Spark"/"api" atau passion di lencana yang berfungsi semacam kartu pass untuk siap "terjun" ke bumi. Dan di situ lah petualangan Joe untuk berusaha hidup kembali ke raganya dimulai dengan dibantu 22 yang merasa penasaran mengapa Joe begitu ingin hidup kembali sedangkan dirinya sendiri tidak pernah ingin dilahirkan ke bumi.
Aku kira film ini bakal mempertanyakan eksistensi orang-orang yang belum menemukan passion seperti film-film bertema serupa pada umumnya, mengkotak kotakkan orang udah sukses dan menemukan passion dan orang-orang yang kebingungan dalam hidupnya, tapi ternyata tidak, aku merasa film ini merangkul kedua pihak itu, mengajak merenung bersama tanpa menghakimi, tentu bukan kerugian dalam hidup untuk menemukan passion dan juga bukan kegagalan dalam hidup bagi orang-orang yang belum menemukannya. Film ini menunjukkan bahwa passion bukan satu-satunya tujuan hidup seseorang, seperti Joe yang akhirnya bisa merasakam hari yang telah ditunggu-tunggunya setelah sekian lama, tetapi ketika sudah berhasil mencapainya, kemudian apa? Ia kembali ke hari-harinya yang repetitif. Hidup sendirian di tengah padatnya New York dengan aktivitas yang itu-itu saja. Deep inside sepertinya Joe tidak merasa hidup, dia tidak merasa bahagia.
Jadi sebenernya tujuan hidup itu apa? Di film ini seperti dicerotakan kalau tujuan hidup nggak bisa didefinisikan dengan satu jawaban pasti. Agaknya tujuan hidup memang harus selalu dicari selama hidup, dicari melalui mensyukuri dan menikmati setiap momen yang terjadi di sekitar kita, bersama orang-orang di sekitar kita, orang-orang yang berarti dalam hidup, melalui kebahagiaan-kebahagiaan meski karena hal-hal kecil dan juga melalui passion kita. Passion bukan inti tujuan hidup, tapi melalui passion kita bisa merasa hidup, passion terasa seperti salah satu kereta yang membawa kita menuju stasiun, tapi stasiun itu sendiri tidak pernah berada di satu tempat yang pasti. Passion seperti kayu bakar untuk menyalakan api, tapi untuk membuat api menyala tidak hanya dibutuhkan kayu bakar bukan? Memang benar passion adalah anugerah, tapi jangan sampai passion menjadi obsesi, kalau kata Moonwind gini, "The zone is enjoyable But when that joy becomes an obsession, ones become disconnected from life."
Tokoh-tokoh animasi dalam film ini dibuat dengan menggambarkan manusia apa adanya dengan beragam fisik, karakter dan keseharian yang mendobrak stereotip tipe ideal karakter utama yang harus terlihat sempurna untuk jadi panutan penonton. Yang menarik, tokoh 22 ini seperti penggambaran orang-orang usia young adult yang sedang mengalami quarter life crisis yang kerap mempertanyakan eksistensi mereka di dunia ini, persis seperti dialog yang 22 bilang, kira-kira begini, “The truth is, I’ve always worried that maybe there’s something wrong with me. You know? Maybe I’m not good enough for living...”. Tapi sayangnya di akhir film nggak ditunjukin kehidupan 22 ketika dia sudah hidup di bumi, kukira ada di post credit tapi ternyata nggak ada atau mungkin emang mau dibikin filmnya sendiri kali, ya? wkwk. Tapi seperti yang kukatakan tadi, film ini kurang menampilkan petualangan entah di dunia atau great beyond/great after yang sepertinya masih bisa digali, mengingat kehadiran Terry si accountant yang berpotensi untuk menjadi antagonis dengan aksi yang lebih menantang.
Film ini cocok ditonton di awal tahun karena mengajak untuk merekonstruksi makna dari hidup, bisa bantu nulis resolusi tahun 2021 :))
Rating dari aku, 8.9 /10.
"I'm Going to live every minute of it."- Soul Movie (2020)
0 notes
Text
Confession
Matahari sudah lama terbenam Lampu-lampu telah dimatikan Kesibukan kota perlahan-lahan surut Beberapa orang terlihat buru-buru kembali ke kamarnya Kau sibuk di atas meja kerjamu Kau mendengar jelas suara penyiar di saluran radio kesukaanmu mengucap salam perpisahan, suara berisik tuts keyboard komputer, suara kertas dari buku yang melulu kau bolak-balik juga suara derit kursi yang kau duduki Tidak ada yang salah, tidak pernah ada Sampai kau mendengar hela suara nafasmu untuk waktu yang lama Dan menyadari bahwa hanya ada telingamu yang mendengar detak jantungmu serta sepasang lengan yang memeluk tubuh sendiri
1 note
·
View note
Text
The Scariest Things About Love
Jika topi tinggi pesulap bisa mengubah setangkai mawar jadi kelinci
Maka lain halnya dengan cinta,
Dia bisa mengubahmu menjadi bukan siapa-siapa
Ketika tidak ada sepasang mata yang melihat, dia akan menjelma menjadi trik picisan kotor yang merampas paksa penglihatanmu,
pendengaranmu,
perasamu,
perabamu
Dia pun tidak segan-segan akan memotong tangan dan kakimu
Menyisakanmu menjadi cangkang kosong menyedihkan yang tidak tahu kepada siapa harus melolong tolong
Dia akan mengisapmu sampai habis, dan kau tidak pernah tahu
Karena dia terus-terusan bersembunyi seperti pengecut di balik lidahnya,
yang selalu kau percaya.
5/11
0 notes
Text
Enola Holmes: film tentang pencarian jati diri yang dibalut dengan cerita detektif
Poster Film Enola Holmes/ Doc. IMDB
Berlatar tempat di Inggris tahun 1884, masa ketika perempuan didekte untuk patuh pada standar tertentu, masih dianggap sebelah mata, tidak memiliki kuasa, ketika perempuan harus dituntut menjadi penurut, ketika masa depan perempuan hanya menikah lalu punya anak. Enola tumbuh besar pada masa itu, beruntungnya dia memiliki Ibu yang visioner, cerdas, tangguh, namun juga penyayang dan pengertian.
Film menceritakan tentang pencarian Enola Holmes (adik Sherlock Holmes & Mycroft Holmes) akan ibunya, Eudoria Holmes yang tiba-tiba lenyap begitu saja pagi hari tepat ulang tahunnya yang ke-16. Di tengah pencariannya, Enola bertemu dengan seorang bangsawan muda bernama Tewkesbury yang saat itu juga sedang melarikan diri. Alhasil dia pun seakan jadi melakukan 2 tugas, mencari Ibunya & merasa bertanggung jawab untuk membantu Tewkesbury.
Setelah memecahkan beberapa petunjuk, bertemu beberapa orang, membantu si Tewkesbury, Enola jadi bertanya-tanya sebenernya worth it ngga sih semua yang sudah dia lakukan? Apa benar Ibunya pengen ditemukan? Apa benar Ibunya sayang dia? Pertanyaan itu memaksa Enola memilih suatu keputusan, yaitu untuk membuat prioritas dan Enola berujung untuk mendahulukan menolong Tewkesbury. Namun, selama misi tersebut perlahan-lahan Enola jadi paham mengapa Ibunya melakukan semua ini, mengapa Ibunya tiba-tiba menghilang.
Eudoria pengen putrinya menemukan jati dirinya ketika beranjak dewasa, dia pengen putrinya hidup dengan bebas tanpa terkekang sistem yang dibuat masyarakat saat itu, oleh karena itu sejak kecil Eudoria memilih mengajari puterinya sendiri karena mungkin seakan sudah muak dengan sistem yang ada atau memang karena alasan lain yang berhubungan dengan “pekerjaannya” yang terkesan bertentangan dengan pemerintah.
Enola sejak kecil diajari untuk menjadi cerdas, menjadi berani, menjadi tangguh, menjadi kuat, untuk apa? Agar dia menjadi kuat ketika sendirian, agar dia bisa jadi pelindung untuk dirinya sendiri, untuk mencintai dirinya, agar bisa menjadi Holmes versi dirinya sendiri, agar dia menyadari bahwa dia luar biasa.
Mencintai diri sendiri dengan cara menemukan kebebasan dan tujuan hidup, untuk merayakan hidupnya sendiri seperti kata Enola, "My life is my own and our future is in our hand". Eudoria nggak ingin putrinya disakiti siapapun dan apapun, termasuk oleh stigma dan segala image/tuntutan masyarakat yang mengekang dan ditimpakan kepada perempuan pada masa itu.
Enola kalau dieja dari belakang jadi Alone, tapi ingat, sendirian bukan berarti kesepian, selama kita bisa menemukan "diri sendiri".
"You’ll do very well on your own, Enola." - Eudoria Holmes
0 notes
Text
Mencari Irisan Realita dengan Utopia Kehidupan
Judul: 5cm: Aku, Kamu, Samudera dan Bintang-Bintang
Penulis: Dhonny Dhirgantoro
Editor: Abinustra, Yay Dewintya
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Cetakan Pertama: Juli 2020
Tebal: 498 halaman
“Setelah ABG yang absurd, datang seventeen yang emang selalu sweet, abis itu turbulence twenty one, now is terrible twenty five, with a bullet, yang paling berat. It’s now or never.”
Aku, Kamu; Samudera dan Bintang-Bintang, sebuah sekuel dari 5cm akhirnya terbit setelah 15 tahun semenjak seri pertamanya 5 cm terbit pada tahun 2005. Novel ini menceritakan hari-hari Zafran, Genta, Ian, Arial dan Riani setelah kepulangannya dari puncak Mahameru. Ternyata setelah hari yang sangat memorable itu segalanya terasa berbeda. Mereka kembali ke realita yang harus dihadapi untuk terus bertahan hidup, mereka kembali menyelami kesibukan masing-masing berkawan hiruk-pikuk ibu kota. Bermula dari renungan Zafran di atas kereta Matarmaja dan obrolannya dengan Genta soal kehawatiran tentang pekerjaan, tentang cinta, juga tentang persahabatan mereka. Kemudian kekhawatiran itu seakan berubah menjadi kenyataan sedikit demi sedikit, waktu demi waktu hingga mengakibatkan turbulen pada diri masing-masing yang kerap kita sebut “Quarter life crisis”.
Setiap tokoh mendapat porsi yang pas untuk diceritakan kehidupannya: Zafran dan segala konfliknya tentang pencarian irisan antara idealismenya dengan realita; Genta antara move on dan kesibukan pekerjaan; Ian yang terpaku template dan berkubang di zona nyaman; Arial dengan segala tetek bengek urusan pernikahan dengan Indy; serta Riani dengan kebingungan dengan cinta dan karier. Setiap tokoh memiliki puncak konfliknya masing-masing, namun untuk kelima sahabat itu puncak konfliknya adalah momen ketika persahabatan mereka merenggang dan tidak bisa berkumpul bersama lagi. Konflik diceritakan dengan perlahan-lahan hingga ¾ bagian buku. Hal tersebut sedikit membuat saya, pembaca merasa bosan, selain itu terkadang terlalu banyak repetisi kalimat atau diksi di setiap paragrafnya yang terkesan bertele-tele, tapi tentu hal tersebut bersifat relatif untuk setiap pembaca sebab bisa jadi gaya tersebut memang cara bertutur khas dari penulis.
Setelah lika-liku kehidupan di ibu kota yang rasanya bergerak lambat, pembaca diajak untuk mengeskplor alam Nusantara yang begitu cantik, sama seperti pertualangan Mahameru, namun kali ini tentu dengan destinasi yang berbeda. Kecantikan alam Indonesia ditonjolkan melalui narasi-narasi yang membawa pembaca turut membayangkan keramaian jalan raya, hijaunya pepohonan, birunya laut, suara deburan ombak hingga gemerlap konstelasi bintang. Momen travelling bareng kelima sahabat tersebut itu ditambah dengan Dinda seakan menjadi pelipur lara setiap tokoh. Berkumpul kembali dan bertualang bersama sahabat tercinta seakan jadi ajang untuk menjernihkan pikiran sebelum kembali bertarung dengan masalah kehidupan.
Novel ini mungkin akan terasa membosankan bagi pembaca baru yang belum mengikuti kisah persahabatan mereka di novel pertama atau bagi yang belum pernah menonton adaptasi filmnya. Namun berbeda bagi seseorang yang seakan sudah akrab dengan 5 sekawan tersebut.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungi kembali tentang makna hidupnya, tentang memperjuangkan impian, mengajak untuk menysukuri kehidupan sebagai manusia ciptaan Tuhan, mengajak untuk menghargai sejarah, alam semesta dan juga memaknai persahabatan.
“Hiduplah dengan pencarian makna-makna, hidupi hidupmu dengan memberi arti pada setiap perjalanan, hidupi hidupmu dengan makna, kamu akan menemukan betapa indahnya diri sebagai seorang manusia.”
0 notes
Text
Perempuan Berambut Perak
Siang yang panas itu kami sedang menunggu kereta datang dari Surabaya. Sukma, perempuan yang selalu mengaku bahwa dia dulunya hidup sebagai seorang putri pemilik perkebunan teh pada jaman kolonial itu tak henti-hentinya mengoceh. Dia menceritakan hal-hal secara acak, apapun yang terbesit di kepalanya lantas dia lontarkan kepadaku. Tapi tidak apa-apa, aku suka melihatnya banyak omong begitu.
Kami duduk di kursi tunggu yang hanya diisi segelintir orang dan pedagang asongan. Sambil sesekali menyesap es Roli kacang hijaunya, Sukma protes soal dot bayi yang dibiarkan tanpa tutup milik seorang ibu yang duduk cukup jauh dari kami. Sukma protes katanya anak bayi itu bisa kena diare jika dotnya dihisap lalat.
Sukma diam sejenak. Dia sibuk dengan es nya sedangkan aku sibuk memandangi sekitar kami. Stasiun nampak lebih lengang dari biasanya. Beberapa anak kecil tanpa alas kaki dengan baju tanpa lengan berlarian ke sana kemari. Fatamorgana akibat panas yang begitu menyengat terlihat dengan jelas mengambang di atas baja rel.
"Tomo, suatu hari nanti stasiun ini akan berubah, bangku-bangku yang kita duduki akan dicat ulang, orang-orang yang berjualan dan tukang sapu itu akan pindah, pun kereta yang akan kita tumpangi nanti. Semuanya akan berubah."
"Oh ya?"
Sukma mengangguk lalu kembali menyesap es rolinya yang mulai mengecil.
"Tapi Tomo tahu apa yang tidak akan berubah?" Tanyanya. Sepasang mata bulat miliknya menatapku.
"Kita?" Jawabku dalam hati. Tapi tentu yang sebenarnya terjadi adalah aku hanya bengong saja.
"Warna rambut saya." Kemudian Sukma tertawa kecil. Tepat ketika itu terdengar pengumuman kedatangan kereta. Sukma bergegas berdiri, rambut perak pendeknya bergoyang-goyang terkena hembusan angin kering yang panas.
0 notes
Text
Perpisahan
Udara malam semakin menusuk tulang. Di luar hanya diterangi lampu jalan yang nampak temaram. Saya ingat waktu itu kamu menyaksikan saya berkemas dengan cemas, seperti anak itik yang kehilangan induknya.
Saya menumpuk tas bawaan. Selesai sudah. Semuanya sudah siap. Kamu lantas mengantar saya sampai ke depan pintu. Kamu terlihat hanya diam, wajahmu muram, tapi saya tidak tahu isi kepala kamu.
Tepat di ambang pintu, antara rumah yang hangat dan jalan malam yang gelap, kamu membantu merapatkan jaket hitam saya, menarik risleting sampai atas. Lalu menepuk-nepuk bahu saya, memberi saya tatapan itu lagi. Saya berusaha setenang mungkin.
"Kamu tentu sudah tahu bagaimana cara menghubungi saya nanti." Kataku. Kamu hanya diam lalu memberiku kecupan di pipi kanan. Kehangatan menjalar di tengah dinginnya sebuah kenyataan. Kehangatan sebuah tanda perpisahan.
Saya tersenyum, mungkin wajah saya terlihat jelas memerah kalau saja dunia tidak begitu gelap. Kemudian saya menjauh pelan-pelan sambil membawa semua tas saya.
0 notes
Text
əˈpäkəˌlips 21st.
Saya sedang memutar lagu-lagu dari album Selamat Ulang Tahun milik Nadin Amizah saat menulis ini, barangkali mau tahu.
Tiga tahun terakhir saya sempat kehilangan makna ulang tahun. Hari Ulang tahun hanya sekadar pengingat bertambahnya usia di dunia yang saya benci. Bertambah usia belum tentu bertambah dewasa. Iya, hidup saya sempat penuh dengan hal-hal negatif. Saya benci diri saya sendiri, perawakan saya, sikap saya, kemampuan saya bahkan saya nggak ngerti lagi apa kemampuan saya, pokoknya saya benci hidup saya dan pertanyaan soal mengapa saya dilahirkan selalu menghantui.
Pernah melewati hari-hari berat dalam masa perkuliahan. (......................) Masalah-masalah itu seakan mengumpul menjadi satu titik angin yang berhembus bebarengan dalam satu waktu. (...................................) Satu tanda yang nggak saya alami cuman Keinginan Suicide karena saya takut mati beneran karena saya sadar saya punya banyak dosa.
Saya pernah nonton wawancara idol yang belakangan saya sukai, karena mereka kasih saya energi untuk menjalani hari-hari. Mereka semua punya alasan untuk hidup—iya penggemar mereka. Mereka bersyukur banget karena telah dilahirkan, mereka berterima kasih ke orang tua atas kelahiran yang diberikan. Mereka punya alasan buat terus berkarya yang menginspirasi banyak orang, yang nolong banyak orang. Mereka punya memori-memori once in a life time. What a pricious moment. Nah sedangkan saya nggak punya hal baik apapun untuk diingat, saya nggak ngerti kenapa saya harus berterima kasih untuk dilahirkan.
Kemudian saya mikir hidup saya kok nggak bahagia banget, ya? Apa yang saya ingat cuman penyesalan, kesedihan, kehilangan. Kok rasanya saya nggak punya memori bahagia, ya? Kok saya nggak bahagia, ya? Kok rasanya seisi dunia ini nggak ada yang sayang sama saya? Dan saya pun rasanya nggak bisa merasakan sayang ke orang lain, saya nggak bisa cinta ke orang lain. Sebagai manusia dengan skill overthinking saya terus-terusan berpikir. Apa yang salah ya dengan diri saya ini.
Jawaban ini nggak saya temukan dalam waktu instan, saya cari setiap hari dari banyak hal, dari midnight talk, deep talk dengan sahabat saya hingga ngobrol-ngobrol dengan orang asing yang nggak saya kenal-kenal banget, ngamatin orang lain, ngamatin apa yang sedang terjadi di sekitar saya, dari baca buku, nonton film, sampai dengerin lagu-lagu berbagai musisi. Jujur yang memeluk erat saya waktu itu adalah beragam lagu-lagu yang saya dengar (Kok gak ngaji woy?!?!! wkwk). Rasanya, saya berhutang budi kepada beberapa album hehe. Saya inget waktu itu nonton konser Mas Aji (Mantra-Mantra) sambil nangis dan hujan-hujanan bareng teman-teman kampus. Haha saya nggak ngerti efek sebuah lagu ternyata bisa semagis ini
Agak lama sekitar usia 20 tahunan saya mulai nyadar, ternyata semua ini karena saya benci diri saya sendiri, saya benci hidup saya karena agaknya saya kecewa terlalu dalam karena hidup nggak berjalan seperti apa yang saya inginkan. Saya hidup dalam standar yang saya buat sendiri padahal saya nggak ngerti itu endingnya baik atau nggak buat saya. Perlahan saya berjalan untuk menerima, untuk merelakan, untuk melepaskan segala yang bukan takdir saya. Perlahan saya mulai menerima bentuk tubuh saya, rupa saya, segala apa yang bisa saya lakukan dan yang tidak, perlahan saya mulai menerima kehidupan saya yang begini adanya, mungkin memang sudah takdir dari yang Kuasa, mungkin memang begini semesta yang sedang bekerja. Saya belajar berhenti untuk banyak menuntut. Saya pelan-pelan belajar untuk bersyukur atas segala yang saya miliki dan mulai untuk mencitai diri saya sendiri.
Tuhan emang sangat baik ke umatnya, Tuhan kasih saya bantuan lewat perpanjangan tangannya. Saya baca novel, sekuel dari 5cm, Aku, Kamu, Samudera dan Bintang-Bintang. Dari buku itu saya sadar, hina banget saya belakangan ini jadi manusia, kok bisa-bisanya saya meragukan dan memandang remeh diri saya sendiri sebagai manusia. Saya nggak bersyukur banget jadi makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna. Dari situ perlahan saya mulai mencoba bersyukur atas hidup saya, atas diri saya sebagai manusia.
Ada satu line yang saya ingat betul dari buku itu yang bikin saya diam, kurang lebih begini bunyinya, “Hidupmu sendiri adalah seni yang perlu dirayakan.”
Saya diam lama banget. Tuhan, saya minta maaf karena udah meragukan Kuasa-Mu, menyia-nyiakan anugerah yang Tuhan berikan.
Dampak Self love ini ternyata luar biasa, pelan-pelan saya mulai berdamai dengan segala turbulen dalam diri sendiri. Saya kembali punya mimpi—hehe saya pengen nulis novel lagi. Saya kembali punya semangat buat ngejalanin hari-hari yang entah seperti apa nantinya. Saya udah nerima kalau saya kuliah di jurusan ini. Saya pelan-pelan bisa mendamaikan idealisme dan realita. Yang pasti sekarang saya lebih bisa berbahagia atas segala hal baik yang terjadi. Saya berproses pelan-pelan. Semoga selalu konsisten.
Saya menyadari saya manusia yang jauh dari sempurna, tapi saya janji ke diri sendiri bakal berusaha menjadi versi terbaik dari diri sendiri, saya janji buat merasa layak untuk memperjuangkan sesuatu, saya janji untuk tidak lupa berbahagia. Saya janji bakal berjuang buat memberi makna yang baik atas hidup saya. Terima kasih kepada sahabat-sahabat saya yang saya cintai yang baik banget sama saya dan orang-orang yang menginspirasi saya sampai di titik ini, semoga kebaikan semesta Tuhan selalu menyertai kalian, doa terbaik saya untuk kalian orang-orang tersayang.
Friedrich Nietzsche pernah bilang, katanya “You must have chaos within you to give birth to a dancing star.”
Kalau saya rasanya lebih dahsyat dari Chaos ini, saya berantem habis-habisan sama diri sendiri, udah parah kayak Little Boy atau Ledakan Big Bang kali ya, haha. Semoga Bintang yang terlahir juga terang, seterang Sirius di konstelasi sana.
Happy 21st. Selamat ulang tahun anak cengeng sok strong manusia overthinking sok nyeni sok nyastra, you deserved to be happy!
0 notes