Text
Percakapan [2] : Pasir
"Laki-laki itu seperti pasir. Semakin digenggam semakin banyak yang lepas."
"Kata siapa?"
"Kataku. Aku kan laki-laki."
"Hm. Mungkin tidak semua seperti itu. Ada yang seperti laut, yang tak bisa habis diraup airnya, yang tak bisa digenggam. Misteri. Tak bisa ditebak."
"Kata siapa?"
"Kataku. Aku kan perempuan yang bisa membaca laki-laki."
"Berarti aku adalah laut."
"Bukan. Kamu batu kerikil. Kecil, tidak terlihat, tapi seringnya membuat orang tersandung. Menyebalkan."
0 notes
Text
Tentang [4] : Personal Value dan Personal Branding
"Bagaimana kamu ingin dikenal oleh orang lain?" Kira-kira demikian pertanyaan inti yang kutangkap dari artikel yang dilansir oleh Forbes tentang personal branding. Sebuah pertanyaan yang membuat kembali mempertanyakan apakah membranding diri sendiri adalah sesuatu yang perlu dilakukan atau hanya bentuk baru dari mencari validasi eksternal.
Siapa yang harus mengenalku?
Di era penggunaan media sosial yang semakin masif, engagement kita terhadap dunia luar rasanya semakin tinggi saja. Tanpa diminta, ada banyak sekali kabar yang berseliweran meninggalkan persepsi dan asumsi di dalam kepala. Tanpa sadar, kita menjadi ahli justifikasi tentang seseorang. Cukup dengan melihat, kita merasa 'mengenal' si seseorang ini.
Lucunya, cara kita memandang orang lain adalah cerminan terhadap diri sendiri. Tak butuh waktu lama untuk mulai ikut terlibat sebagai pengguna media sosial dan menunjukkan apa hal-hal yang tengah menarik perhatian kita.
Mengumpulkan hati
Sempitnya hati manusia adalah saat berusaha menjadi baik, ingin juga dipandang baik oleh orang lain. Selagi bisa menunjukkan hal yang baik mengapa harus menunjukkan hal yang buruk? Ya, siapa yang mau dikenal sebagai orang yang buruk? Maka jangan heran kalau sebagian besar isi media sosial adalah hal-hal yang menarik hati. Namanya saja branding. Tentu saja sedikit banyak kita ingin dicap baik hati, cantik, pintar, tegar, bajik, rajin menabung, pandai mengatur hati, bla bla bla... Kalau bisa memilih memakai baju yang bagus, kenapa tidak dipakai, ya kan?
Memilih baju adalah soal selera personal, pilihan masing-masing. Ada yang nyaman dengan pakaian glamor, ada yang nyaman dengan tampilan kasual. Seperti klasifikasi style wanita; cewek mamba, cewek kue, atau cewek bumi. Semua bisa memilih ingin terlihat seperti apa. Semua bisa diatur dengan memanajemen konten yang diunggah. Apakah untuk menarik hati, mengumpulkan simpati atau sekadar menunjukkan diri sendiri.
Mencapai nilai sempurna
Pernah tidak bertemu orang yang menyajikan kue cantik dan manis di laman media sosialnya padahal isi hatinya seperti jelantah buruk rupa? Aku sendiri tidak pernah, sebab aku tak cukup tahu isi hati seseorang. Tahu pun, aku tidak akan pernah cukup kompeten untuk menilai baik-buruknya seseorang. Akan tetapi aku tahu seseorang yang berusaha betul tampil paripurna sampai di titik kehilangan kebajikannya untuk bersikap bijaksana. Menabrak sana-sini supaya bisa terlihat baik. Self claimed.
Tak masalah.
Namun satu hal yang aku pahami betul, personal branding menggambarkan personal value seseorang. Entah yang dibranding itu sudah terjadi atau sesuatu yang mau dicapai. Atau mungkin merasa sudah dicapai padahal masih jauh panggang dari arang. Entahlah. Yang penting jangan sampai seperti retail f&b yang niat betul membranding produknya tapi yang sampai ke customer adalah sad food. Berusaha menjadi sempurna dan menutupi keburukan boleh saja. Akan tetapi jangan lupa untuk terus berbenah.
Tidak ada kata sempurna bagi manusia, namun itu artinya akan terus ada celah untuk menjadi lebih baik. Create your personal branding, keep improving.
Oktober 2023
1 note
·
View note
Text
Dari hidup [1] : Mengikhlaskan
"Jangankan dipilih, menjadi pilihan saja tidak."
Sewaktu SMA aku bercita-cita untuk bekerja di bidang perkimiawian. Untuk menghidupi cita-cita itu aku belajar sangat keras. Sampai dititik aku dipanggil guru kimiaku, "Secara matematis nilai kamu sempurna. PR, kuis, tugas, pertanyaan di kelas, ulangan harian, UAS, dan UTS kamu jawab dengan sempurna. Tapi Bapak tidak bisa memberi kamu nilai seratus. Supaya rapormu tidak terlihat turun. Jadi bapak turunkan ya nilainya?" Aku hanya mengangguk. Tak masalah nilaiku diturunkan, yang penting aku memang sudah paham materinya. Lalu di semester-semester berikutnya sampai kelulusan (kebetulan gurunya sama) aku tetap dipanggil oleh beliau untuk permakluman yang sama, nilaiku seratus tapi di rapor tidak boleh ditulis demikian. Aku tetap mengangguk, dalam hati diam-diam mengaminkan cita-citaku bisa menjadi kimiawan.
Di tempat les, menjelas persiapan tes masuk perguruan tinggi, dilakukan assesment minat dan bakat. Berdasarkan hasil try out, peserta ajar ditanya, "Mau kuliah apa? Dimana?" Aku menjawab pertanyaan itu dengan mantap. Akan tetapi saat mendengar jawabanku, dahi pengajarku berkerut-kerut. Aku ingat betul beliau bilang, "Hmm... kalau nilaimu segini kamu bisa tembus FK di kampus A, B, C..." sambil menunjukkan tabel passing grade jurusan kedokteran beberapa kampus ternama. Mendengar respon beliau dahiku juga berkerut. Aku mengangguk saja.
Pada assesment berikutnya, aku dipanggil lagi. Sebab jurusan dan kampus pilihanku tidak berubah. Singkat cerita, mereka minta berdiskusi dengan orangtuaku, tentu saja berkaitan dengan jurusan pilihanku. Sempat ada kalimat, "Sayang kalau dengan nilai begini tapi tidak mengambil jurusan kedokteran."
Di waktu yang berdekatan, sekolahku juga melakukan assesment minat dan bakat. Hasilnya, lagi-lagi aku dipanggil oleh guru di sekolah. Entah berapa kali aku dipanggil guru BK, wali kelas, guru mata pelajaran sampai kepala sekolah untuk memintaku masuk jurusan kedokteran.
Oh, tentu saja orangtuaku juga dipanggil.
...
Awalnya aku biasa-biasa saja dengan jurusan kedokteran. Akan tetapi karena rasanya semua orang memandang remeh pilihanku, sampai sekarang aku tidak suka betul pada pandangan, "Kalau pintar harusnya jadi dokter." Memangnya apa yang salah dengan jurusan yang aku pilih?
Bertahun-tahun aku mempersiapkan diri untuk bisa lulus di jurusan yang aku inginkan. Bertahun-tahun aku menjadikan mimpi itu sebagai semangat belajar. Namun di saat-saat penentuan, jangankan dipilih, mimpiku itu bahkan tidak masuk sebagai pilihan. Saat itu aku belum bisa berdiri di dua kakiku sendiri. Jadi wajar saja jika sedikit banyak kata-kata dari orangtua menentukan hidupku.
Tentu saja aku menangis.
Mempertanyakan mengapa keinginan yang aku perjuangkan malah dipandang sebelah mata? Bertahun-tahun aku mempersiapkan diri hanya untuk disayangkan pilihannya. Kenapa orang-orang menganggap masuk kedokteran sebagai ajang pembuktian diri? Bagaimana aku bisa menikmati hasil kalau usahaku saja tidak dianggap? Sakit, bukan?
...
Sekarang, aku sudah bekerja. Bukan sebagai kimiawan. Aku tak bisa menjadi apa yang dulu ku impikan sampai rela belajar hingga larut malam.
...
Aku tak bisa memungkiri kalau sekali waktu aku masih berandai-andai semenyenangkan apa kehidupanku kalau aku bisa menghidupi mimpiku? Akankah aku lebih bahagia? Akankah aku bisa bekerja dengan perasaan sukacita?
Tak ada yang tahu. Kecuali satu hal, apa yang kujalani saat ini adalah jalan terbaik dari Tuhan. Dikirimkannya banyak kebaikan selagi aku meniti jalan ini. Diberikannya aku teman kuliah yang baik, rekan kerja yang baik, taraf hidup yang baik, suami yang baik dan ridho orangtua. Setidaknya kebaikan-kebaikan itu yang menjagaku sampai sekarang. Banyak hal-hal baik yang datang dari apa yang kujalani sekarang. Kujadikan saja itu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menari dalam kepala.
Mungkin aku belum sepenuhnya tenang tapi aku akan terus belajar untuk mengikhlaskan. Masih banyak cara agar aku bisa berbahagia. Lagipula sudah seperti ini tidak mungkin putar balik bukan?
Jadi kita kencangkan saja sabuk pengaman dan menikmati perjalan. Kira-kira kejutan apa lagi yang akan menanti?
0 notes
Text
Tentang [3] : Rantai Kehidupan
"Saat mengalami kemalangan, manusia menyalahkan orang lain. Akan tetapi saat mengalami kebahagiaan, manusia menganggapnya itu datang karena usaha mereka sendiri."
Semua bereaksi atas aksi
Hidup ini tak akan lepas dari yang namanya sebab-akibat. Ada aksi ada reaksi. Semua hal yang terjadi pada diri kita adalah hasil dari putusan-putusan yang kita ambil di masa lalu. SEMUA HAL. Baik yang membahagiakan pun yang menyedihkan. Apa mungkin sesuatu bisa tiba-tiba terjadi? Bahkan Tuhan saja menciptakan dunia dengan proses meskipun ada perkataan "kun fayakun". Percayalah, semesta bukan tukang sulap. Semuanya berproses dan terjadi karena pilihan-pilihan yang pernah diambil. Hanya saja kadang-kadang manusia salah dalam bertindak dan seringkali tidak mengakuinya.
Orang baik tak pernah jadi korban
Aku tahu, tak mudah untuk mengunyah konsep ini. Sebab kita terlalu didoktrin untuk menjadi bahagia dan menganggap kegagalan adalah hal yang tabu dan memalukan.
"Orang yang hidupnya baik adalah orang yang selalu bahagia."
Pada akhirnya ada banyak manusia yang denial terhadap masa lalu dan menganggap dirinya sebagai korban dari kesialan atau kesalahan orang lain. Lalu berlarut-larut dalam perannya sebagai korban, padahal dirinya juga turut andil dalam menciptakan skenario, bukannya boneka yang hanya menjadi objek tak berkeinginan. Mungkin itu sebabnya ada istilah playing victim. She/he enjoy the play as a victim. Menimpakan beban kesalahan ke orang lain nampaknya menjadi sumber ketenangan bagi mereka.
Kesetaraan perasaan
Akupun sempat terjebak dalam kubangan itu. Sampai suatu hari seorang kawan dekat menyadarkanku kalau semua perasaan itu sama pentingnya. Perasaan senang, sedih, marah, cinta, dan sebagainya itu sama derajatnya. Dengan kata lain, setiap kejadian yang menghasilkan perasaan-perasaan itu juga sama kedudukannya dalam kehidupan kita. Kejadian yang membuat perasaan benci sama pentingnya dengan kejadian yang membuat perasaan bahagia. Yang satu jadi pelajaran yang satu jadi harapan untuk diulang. Mau bagaimanapun manusia tidak dibekali penghapus masa lalu. Lagipula, di masa lalu kita sempat menganggap keputusan yang diambil adalah jalan terbaik (sebelum perasaan menyesal datang). Bukan korban namanya kalau kita masih punya kuasa untuk mengambil jalan. Validating our emotion means accepting our past without blaming anyone.
'Merantai' kehidupan
Rantai-rantai kehidupan manusia semakin lama semakin panjang. Memilih keputusan tertentu akan menyebabkan keputusan-keputusan lain harus dijalankan. Kabar baiknya, rantai itu tidak mengikat kaki-kaki manusia. Akan tetapi jadi catatan yang akan sangat berguna jika mau dibaca ulang. Mana keputusan-keputusan yang baik untuk hidup. Mana keputusan-keputusan yang tidak menyenangkan untuk diulang. Rantai kehidupan mana yang harus disambung dan mana yang harus diputus. Rantai-rantai kehidupan akan semakin panjang tapi tidak sedikit manusia yang malah merantai hidupnya.
September 2023
1 note
·
View note
Text
Percakapan [1] : Kalau saja
"Kalau saja kamu jadi ke Belanda dan aku tidak jadi ke Jakarta, apa kita tetap seperti ini?"
"Iya."
"Kamu yakin akan tetap menikah denganku meskipun kita tidak menjalani kisah yang sama?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Semesta pasti mempertemukan kita, apapun jalannya. Serta aku juga akan sepenuh hati mencarimu."
"Walau sulit?"
"Tidak ada yang benar-benar sulit saat kamu selalu membuatku tenang. Apapun yang terjadi aku akan selalu kembali padamu."
1 note
·
View note
Text
Tentang [2] : Garbage in - garbage out
Setelah bertahun-tahun bergelut dengan pengumpulan dan pengolahan data di pekerjaan, salah satu hal yang nampaknya bisa ditarik sebagai pelajaran hidup adalah prinsip "Garbage in, garbage out" dalam statistika. Prinsip ini dapat dijelaskan dengan: "Sepandai-pandainya ahli statistik mengolah data, kalau datanya sampah ya hasilnya tetap sampah." Berpegang pada prinsip ini, aku dan rekan-rekan kerja di kantor dituntut untuk bisa memastikan data yang dikumpulkan benar berkualitas. Apakah variabel, responden, pun instrumen pengumpulan datanya sudah reliable? Jangan sampai ada sampah-sampah yang masuk.
Di kehidupan, prinsip garbage in, garbage out ini seringkali aku jadikan sebagai pengingat untuk memperbaiki diri. Membersihkan aliran diri dari hulu agar bagian hilir tetap bersih. Berusaha agar aku tetap meniatkan kebaikan dalam semua sikap, tingkah, pun putusan yang aku ambil. Berniat baik mungkin bisa jadi bias di mata orang lain. Akan tetapi niat buruk tetaplah menjadi buruk meskipun dipoles dengan sedemikian rupa kata-kata pujangga. Garbage in, garbage out. See?
Lalu bagaimana jika ada orang yang melemparkan 'sampah' ke kehidupan kita? Ya, tinggal dibuang. Ada banyak hal penting lain yang bisa kita olah untuk dijadikan informasi. Nothing good coming from garbage that we keep in our pocket. Cepat atau lambat kita paham kalau sampah-sampah itu harus dibuang.
Garbage in, garbage out.
September 2023
0 notes
Text
Tentang [1] : pencapaian
Beberapa waktu belakangan, aku mulai menerima tidak semua hal harus sejalan dengan keinginan kita. Rencana, doa, pun harapan yang kita aminkan tak serta merta selalu diwujudkan bulat-bulat begitu saja oleh alam raya. Pencapaian dalam hidup bukan hanya masalah objek yang mau dicapai tapi juga bagaimana kita bisa menikmati lika-liku prosesnya. Tentu saja dengan rasa damai. Bagiku, pemahaman seperti ini adalah sebuah pencapaian.
.
Bisa jadi aku sudah mengatur tangga prioritasku. Akan tetapi Tuhan yang Maha Mengetahui menunjukkan ada hal lain yang harus kulakukan terlebih dahulu. Sekarang aku mulai bisa merasa, "Tak apa, mana yang lebih dulu akan sama saja." Mengimani ketetapan Tuhan akan membuat tawakal jadi lebih mudah, bukan?
.
Lagipula semakin bertambah umur, semakin banyak yang ditimang pun ditimbang. Saat masih kecil, aku yakin bahwa akan selalu aman untuk berlari kencang di jalan yang terjal sekalipun. Sebab aku tahu ada banyak tangan yang siap menjaga. Sekarang, giliranku yang menjadi penjaga. Berkeras kepala malah akan menambah pelik. Berniat baik saja kita masih bisa menyakiti. Apalagi sengaja menyakiti (sudah pasti tidak ada kebaikan yang menyertai). Mungkin itu juga yang membuatku semakin sering tenggelam dalam isi kepala sendiri. Bukan tenggelam dalam badai, kok. Melainkan aku sibuk menelisik keping-keping puzzle. Kalau dulu aku hanya dihadapkan pada satu atau dua puzzle berukuran kecil, sekarang aku harus menyusun banyak puzzle. Beribu-ribu keping masih menanti untuk dicari, dicocokkan, dan ditempatkan.
.
Menariknya, semakin aku tenggelam dalam kegiatan menimbang-nimbang, semakin aku nyaman menutup pintu rapat-rapat. Barang yang kubutuhkan, orang-orang yang kusayang sudah ada semua di balik pintu. Tak perlu lagi aku mencari validasi dari orang-orang yang tak benar-benar kuijinkan untuk bertamu. Lain kali akan kujelaskan mengapa demikian.
.
Pemahamanku ini tentu saja belum bulat, masih banyak lubang di dalamnya. Tak apa, aku percaya bahwa kita semua pasti bertumbuh menjadi lebih baik. Semoga kepala kita tetap terbuka untuk mengerti bahwa tak ada yang benar-benar bisa mengukur pun mendikte pencapaian manusia. Daripada sibuk menghakimi pertimbangan orang lain, lebih baik kita mengurus timbangan sendiri. Apakah bisa lebih berat kanan daripada kiri.
Agustus 2023
2 notes
·
View notes
Text
Kotak Waktu
Tiba-tiba saja aku teringat padamu yang mengajariku untuk menghargai kenangan, dengan membuat kotak waktu.
.
.
Kala itu musim panas baru saja datang dan kita mulai bisa mendengar suara kumbang di halaman belakang rumah. Ada dua gelas beling di atas meja rotan. Satu yang masih penuh isinya, punyamu. Satu lagi yang sudah kosong, punyaku. Aroma teh hibiscus masih berputar-putar di mulutku saat kamu tiba-tiba mendekat lalu menciumku, agak lama.
"Kopimu akan terasa aneh!" Ujarku begitu kamu melepaskan ciuman. Aku menyeka bibirku dengan ujung baju. "Teh... tehku terlalu kecut."
Kamu tertawa. "Aku hanya merasakan cinta." Lalu duduk di kursi sebelah. Menyesap es kopi yang sudah hilang es batunya. Hening memenuhi udara. Kamu menikmati es kopimu, aku menikmati kamu yang memenuhi pandanganku. "Bisa berhenti memandangiku? Binar matamu itu terang sekali. Aku,... sampai merasa sangat silau."
Kali ini aku yang tertawa. Sejak pertama kita berbicara, aku selalu menikmati percakapan-percakapan seperti ini denganmu. Kamu yang spontan berkata-kata seperti itu tampaknya cocok denganku yang agak sulit memberikan afirmasi bagi pasangannya.
"Kalau kamu memandangiku seperti itu, kamu harus membuat kotak waktu." Kamu menggerakkan jari telunjukmu dan membuat kotak imajiner di udara.
"..."
"Jangan cuma lihat aku! Lihat juga halaman belakang ini, ingat-ingat betapa bersihnya halaman ini setelah aku mencabut rumputnya. Lihat langitnya, seperti apa bentuk awan disana. Lihat gelas kita, apa isinya. Yah, gelasmu sudah kosong sih. Tapi tak apa."
Aku mengernyitkan dahi. Tak mengerti. Akan tetapi diam-diam kuikuti juga kata-katanya.
"Tutup matamu. Coba rasakan betul-betul bagaimana perasaanmu sekarang."
Aku menutup mata. Tiba-tiba seperti ada angin dingin yang mencelos di dadaku. Rasanya kakiku terangkat sesaat dari ubin, badanku menjadi ringan. Perutku geli.
Aku membuka mata, takjub. Aku melihatnya, aku lebih takjub lagi. Ternyata perasaan punya bentuk visual, dan di depanku adalah cinta.
"Selamat, kamu sudah berhasil mengisi kotak waktumu." Kamu menepuk-nepuk puncak kepalaku.
"Bagaimana... kamu bisa tahu?"
"Tahu cara ini? Karena aku punya seseorang yang sangat aku sayangi jadi aku mencari cara untuk bisa membekukan potongan waktu yang kulewati bersamanya."
Kamu tersenyum, manis sekali.
.
Kita mulai mengisi kotak waktu kita. Dengan rasa, kata, dan apapun yang bisa kita temukan di udara. Bukannya terasa sesak, kurasa kotak waktunya semakin membesar ukurannya. Semakin kuisi semakin ku tak bisa berhenti. Membekukan waktu dan menyimpannya rapi-rapi ternyata menyenangkan sekali.
Semoga sampai renta nanti, kotak waktu kita tak menemukan batas penyimpanannya.
Agustus, 2023
0 notes
Text
Saya memahami bahwa panjang usia manusia sudah ditetapkan. Hidup dengan menerapkan pola hidup sehat tidak menjamin umur menjadi panjang. Kematian bisa datang lebih tiba-tiba daripada hujan di musim kemarau.
Akan tetapi, saya berdoa dan berupaya agar bisa menikmati hidup dalam keadaan yang menyenangkan. Terlepas dari panjang pendeknya usia saya, saya tidak ingin menghabiskannya bersama alat bantu pernapasan, terbaring di kamar asing sendirian. Tak tahu kapan waktu akan berhenti membawa rasa sakit, lalu perlahan-lahan membuat percaya bahwa untuk mati lebih mudah daripada berharap untuk sembuh.
Jika saya sehat pun, saya tak ingin menghabiskan waktu dengan berlarian mencari fasilitas kesehatan yang bisa menampung ibu saya yang sakit. Berebutan tabung oksigen. Saat dapatpun, hati masih saja bisa mencelos kapanpun. Bukannya menjadi tenang karena ibu sudah dirawat, jari-jari saya mungkin akan tetap gemetar karena terlalu kuat saling menggenggam untuk merapal doa. "Sembuhkan, Ibuku."
Belum lagi jika semua kewarasan diri diuji saat harus terpaksa sendiri. Empat belas hari. Teknologi memang menawarkan komunikasi tanpa batas, tapi tak bisa memeluk dan mencium orang-orang yang saya sayang? Ah, bukankah itu sama saja seperti tak punya kawan? Dan merasa sendirian bukan perasaan yang menyenangkan.
Saya tahu. Saya tahu betul bahwa ajal bukan penyakit yang menentukan. Namun saya benar-benar berdoa, agar saya, orang-orang yang saya sayangi, dan semua orang diberikan perlindungan. Untuk apa hidup lama jika dihabiskan dalam perasaan kesakitan?
2 notes
·
View notes
Text
Selain mendiang Bapak, Abang adalah satu-satunya laki-laki yang bisa kutatap matanya. Pandangan Abang teduh serupa kolam yang dikelilingi bulu matanya yang tebal. Kini kedua mata itu tengah menatapku, khawatir.
Aku mengalihkan pandangan, mendongak. Menatap langit-langit. Ada banyak balon helium tergantung disana. Tali-talinya turun ke bawah, bergoyang-goyang dihembus angin. Sesekali ada suara decit jika balon-balon itu saling bergesekan.
"Yaya, kalau ada apa-apa cerita saja ke Abang. Selama ini juga Yaya begitu, kan?" ujarnya, menarik perhatianku dari balon-balon helium. Suaranya mengisi kupingku, menyelingi deru pendingin ruangan.
Aku hanya tersenyum, terdiam. Tak bisa memberikan reaksi lebih dari itu. Sejak dulu, aku tak pernah bisa berbohong pada Abang. Sejak dulu, aku lebih memilih memendam daripada harus mengucapkan kata-kata yang kurasa akan menyakiti nya. Semakin lama, aku menemukan diriku semakin banyak diam setiap kali berbicara dengan Abang. Rasa-rasanya aku tak tega membiarkan Abang tahu duniaku yang kelam (yang entah sejak kapan dimulainya).
"Yaya... Yaya kenapa sebenarnya? Yaya ada masalah apa?" Kali ini Abang meraih telapak tanganku. Berhati-hati agar tidak menyenggol selang infus.
Aku menepis tangannya perlahan. Tersenyum lagi. "Yaya cuma capek, Bang."
Abang menghela napas. Ah, aku benci melihatnya seperti ini. Terlebih-lebih kalau alasannya adalah aku. "Yaya capek kenapa? Yaya kalau mau istirahat, istirahat saja. Bilang sama Abang. Nanti Abang yang urus ijinnya ke kantor Yaya." Ia menyentuh ujung hidungku perlahan. "Kan dari dulu juga biasanya begitu. Abang yang minta ijin ke guru Yaya kalau Yaya lagi malas sekolah atau malas mengaji."
"Iya ya... Kalau bukan karena Abang aku nggak bisa ikut berburu ikan cupang di sungai. Atau mencari anggur sawah." Kami tertawa perlahan-lahan.
Suara tawa Abang adalah salah satu hal yang membuatku ingin terus menemuinya. Tawanya pelan, namun selalu terdengar menyenangkan. Mendengar Abang tertawa setidaknya membuatku merasa dunia tidak sekejam itu menyembunyikan semua kebahagiaan dariku.
"Tapi Yaya tidak mau merepotkan Abang. Dulu kan kita masih anak-anak, tidak punya banyak urusan. Masa sampai sekarang Yaya buat Abang repot?"
"Kalau Yaya begini Abang lebih repot. Abang khawatir. Abang merasa gagal menjaga Yaya. Kalau Yaya bilang dari awal, kalau Yaya cerita ke Abang dari awal, Abang akan senang. Tidak merasa direpotkan. Malah merasa bisa diandalkan sama Yaya."
"..."
"Jadi Yaya tahu kan Abang lebih suka yang mana."
Aku mengangguk. "Bang, Yaya mau makan apel," aku berusaha meraih apel merah di nakas sebelah kasur dengan mengulurkan tangan kiri. Gerakan itu membuat lengan piyamaku tersingkap.
Abang menarik tanganku. Genggamannya terasa hangat. Ia menyingkap lengan bajuku, lebih tinggi lagi, sampai siku. Aku melihat Abang menunduk menatap lenganku yang dipegangnya. Disana, ada banyak guratan. Beberapa sudah sembuh dan hanya tersisa bekasnya. Beberapa masih terlihat baru. Beberapa masih ditempeli perban. Semuanya bentuk pertaruhanku atas rasa sesak di dada dan kepala. Semakin lama, modal judiku semakin besar untuk bisa menang dari rasa sesak itu. Sekarang, perjudian itu sudah diketahui banyak orang, mengundang banyak hakim gratisan, tentu saja menambah rasa sakitku. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang selain kembali berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, lebih baik dari sebelumnya. Bahwa aku menerima segala tuduhan dan bersyukur atas 'pengampunan' dari penghakiman. Padahal, "Sudah, Bang. Abang lihat juga nggak bakal bikin lukanya semakin cepat sembuh," aku tetaplah aku. Dunia tetap memberiku peran sebagai orang yang depresi. Hanya saja, naskah itu disembunyikan diam-diam dibalik naskah palsu bertuliskan "Kehidupan Yaya yang bahagia."
"Iya, Abang bukan tabib. Karena itu Abang mau lihat supaya Abang ingat untuk menjaga Yaya lebih baik lagi."
Ah, Abang selalu begitu. Menganggapku perlu dijaga. Lama-lama aku akan dianggapnya beban. Balon-balon helium berdecit semakin keras. Mereka bergerak mendekatiku.
"Abang tidak perlu begitu. Yaya tidak mau membebani. Yaya cuma capek, Bang." Aku menepis tali balon menyentuh dahiku. Membiarkan balon itu menampar balon-balon yang lain.
Dulu Abang memang jadi pelindung di garis depan, navigator pertama, bahkan badut gratisan. Apa-apa, aku mencari Abang. Terlebih semenjak aku tak bisa lagi bertemu Bapak. Sampai pada titik, aku sadar tidak mungkin aku terus-terusan menempeli Abang. Tidak adil bagi Abang kalau seluruh waktunya harus untukku. Memangnya aku siapa? Selain teman kecilnya. Pacar? Bukan. Saudara? Bukan. Istri? Apalagi. Aku cuma tetangganya. Cuma. Tetangganya.
Semakin aku mencari alasan untuk mencari-cari Abang, yang kutemukan malah alasan untuk tak mengganggunya lagi. Ya, tak adil baginya kalau aku terus-terusan bergantung padanya. Sedang Abang punya kehidupan lain yang bisa ia hidupi, tanpa aku. Aku takut terlalu tenggelam pada kebaikannya dan malah menjadi parasit di kehidupannya yang sudah baik.
Suara deru AC tak lagi terdengar. Balon-balon tak lagi saling bergesekan. Kupingku dipenuhi degup jantung Abang. Tak cuma lenganku. Abang yang menarikku dalam pelukannya membuat seluruh badanku merasa hangat. Seluruh duniaku luruh dan berputar pada suara dari dada kiri Abang. Detak jantungnya perlahan. Lebih cepat dari tangannya yang mengelus-elus rambutku.
"Yaya bukan beban. Yaya bukan beban." Bisiknya.
Aku mendongak. Di langit-langit balon-balon helium itu masih ada disana. Menempel pada langit-langit kamar sedang talinya menjuntai ke bawah. Jumlahnya memang lebih sedikit daripada yang ada di langit-langit kamar tidurku. Namun, apa bedanya? Aku tetap mendapati balon dimana-mana.
Abang melepas pelukannya. Seketika aku menggigil terkena hembusan angin. Ruangan ini mungkin terlalu dingin untukku.
Ah, bukan. Bukan ruangannya. Aku baru sadar. Aku yang memang kehilangan kehangatan. Seperti aku kehilangan segala hal lainnya semenjak berusaha sendiri tanpa Abang. Namun aku akan berusaha tetap kuat selama Abang masih melihat. Setidaknya aku berterimakasih dengan cara itu. Membuat Abang percaya aku bahagia agar ia tak terbebani lagi. Agar Abang tak usah repot-repot karena aku lagi.
"Yaya tadi mau apel? Biar Abang kupas dulu." Abang mengambil pisau dari dalam laci, mulai mengupas apel merah.
Aku merebahkan diri di atas kasur. Kasur rumah sakit tak pernah bisa terasa lebih nyaman daripasa ubin rumah sekalipun. Begitu meletakkan kepala di atas bantal, pandanganku bertumbuk dengan langit-langit. Lalu melihat balon-balon. Aku menutup mata. Balon-balon itu masih terlihat. Beraneka warna, dengan ukuran yang sama. "Apakah kalian harus kuraih?" Bisikku.
"Drrtt..."
Aku membuka mata. Melirik ke nakas, ada handphone Abang disana.
"Nah, Yaya. Ini apelnya setengah dulu, ya. Abang angkat telpon dulu." Ujarnya lalu mengangkat telpon sambil bangun dari kursi.
Aku menghela napas sepelan mungkin. Rasa sesak di dadaku mulai muncul. Kepalaku kembali terasa penuh. Telapak kakiku mulai terasa basah. Aku merasa seperti ingin kencing, sedang tenggorokanku kering bukan main. Tiba-tiba, aku merasa lidahku pahit. Guratan-guratanku terasa nyeri. Sekilas, aku kembali melihat balon-balon helium yang mendekatiku.
Aku melihat Abang keluar dari kamar.
Tak pikir panjang, aku meraih pisau di meja. Lalu menarik tali-tali balon. Tanpa ragu menusuk balon itu.
Byar!
Hal terakhir yang kulihat adalah isi balon yang ternyata berwarna merah dan cukup cair untuk membanjiri selimut dan sprei. Sedang suara terakhir yang kuingat adalah dari Abang, "Iya, Sayang..."
Balonnya pecah. Aku juga.
0 notes
Text
Seorang Kawan
Ia tengah sibuk mencabuti sayap capung saat aku mendekatinya. Di ujung kakinya terdapat puluhan capung tanpa sayap yang kini menyerupai batang bunga yang kering. Uap panas mengepul dari cangkir kopi di sebelah kirinya. Sebungkus cokelat yang sudah terbuka sedikit meleleh karena sengatan sinar matahari.
Ia duduk di sebuah batu besar, dibawah pohon akasia. Pohon tempatnya bernaung tumbuh dengan sempurna. Tegak dengan dahan yang merambat kemana-mana. Sementara itu, ia duduk, membungkuk. Wajahnya menunduk, menghadap ke arah capung yang sedang sibuk ia cabuti sayapnya.
Aku mendekatinya lagi. Memastikan ia sesungguhnya sedang apa. Namun aku tak mendengar isak tangis maupun cekikikan tawa. Ia tak sedang gila, bukan?
“Tak usah mendekat kalau kamu menganggap aku gila.”
Aku terdiam. Ia tetap sibuk mencabuti sayap capung. Melemparkan serpihan sayap ke arah belakang. Benda tipis itu melayang tak karuan di udara, lalu menghilang dari pandangan. Angin bertiup pelan seperti lagu seorang ibu. Daun-daun akasia saling bergesekan dan mengeluarkan suara simbal terhalus yang pernah kudengar.
Tiba-tiba ia berdiri, menepuk-nepuk rok hitamnya yang berdebu. Sayap-sayap capung yang menempel disana bertebaran, kocar-kacir sebelum hilang dan mencari permukaan lain untuk mendarat. Matanya menjelajah seluruh badan, sebelum menepuk-nepuk bagian pakaiannya yang lain yang berdebu. Lalu ia berdiri, menghadap ke pohon akasia. Cahaya matahari yang jatuh di kulitnya menunjukkan wajah sayu, namun matanya berbinar sarat kehidupan. Lengannya yang kecil terangkat dan menyentuh kulit pohon dengan begitu halus, seolah-olah pohon itu adalah sarang laba-laba yang sudah kuyup oleh hujan. “Sekarang kamu sudah kesepian? Daripada mendengarkan capung-capung yang sombong karena sayapnya, lebih baik bersama aku bukan? Kita sama-sama melihat dunia dari titik terendah. Sebagai sesama penginjak tanah aku akan menemanimu.”
Di atas tanah capung-capung sedang terdiam, kaku. Beberapa menggelapar dengan tangan dan kaki yang menggapai-gapai udara. Sisanya tak berbentuk karena sudah terinjak-injak, menemui kematian.
Seekor capung tiba-tiba melintas. Lalu aku menemukan diriku sendiri duduk terbungkuk-bungkuk di bawah pohon akasia. Mencabuti sayap capung.
0 notes
Text
Kenapa Menikah Muda?
Dingin. Gerimis. Gelap. Jalanan yang berlubang. Perut yang kelaparan.
Pintu kulkas terbuka seperti pintu masuk minimarket di malam minggu. Namun dengan ketiadaan lampunya yang biasanya menyala sebelum mati untuk sebentar saja. Benda kotak setinggi satu meter itu jadi kotak pendingin tak berguna. Selain karena listrik yang padam semenjak tiga jam yang lalu, juga karena ia hanya berisi sirup markisa dan terasi udang merk tiga abjad. Ah, oh ada juga bumbu nasi goreng.
Aku menggeliat-geliat di kasur, di bawah selimut merah muda. Mengeluh, merutuk kebodohan sendiri karena selalu lupa beli makan malam sepulang dari kantor. Kan kalau sudah malam gelap gulita begini, aku hanya jadi perempuan pengecut dengan segala kenegatifan di pikirannya. Terlampau takut dan malas untuk keluar mencari makan. Lebih memilih untuk menikmati lapar daripada menyalakan motor dan mencari warung yang buka.
Bekerja jauh dari pusat kota memang memaksaku untuk hidup disiplin. Warung-warung makan yang tak pernah buka lebih dari jam sembilan malam. Jalanan yang mulai menyeramkan begitu adzan magrib berkumandang. Permukaan aspal yang tak pernah mulus. Sinyal yang datang dan pergi bagaikan kenangan. Minimnya pekerjaan yang tersangkut paut dengan jasa. Semuanya mendikteku untuk hidup disiplin jika ingin bertahan hidup, sebagai manusia yang sehat, di tempat ini. Sekali saja bermanja-manja dengan diri sendiri, akan menimbulkan kesulitan-kesulitan di kemudian hari.
Ya, seharusnya disiplin, tapi pikiranku tak semudah itu menyerah pada keadaan. Pola pikir yang masih manja sebab empat tahun di ibukota negara dimana aku bisa dapat makanan layak dekat kosan pada jam dua pagi sekalipun masih membuatku terlena. Setiap menatap isi kulkas yang kosong, aku meratapi ketiadaan jasa pesan antar makanan disini, ketiadaan jasa pesan antar air galon, mahalnya gas elpiji, hobi Perusahaan Listrik Negara mengadakan pemadaman bergilir yang entah mengapa tak pernah melupakan jalur listrik di tempat tinggalku. Semuanya membuatku merutuk, mengutuk tidak jelas, sambil sesekali memperbaiki posisi selimut karena dingin.
Aku mengambil handphone.
“Bagaimana kalau aku menikah saja?”
“Lemah kamu. Itu namanya kamu lagi butuh asisten rumah tangga, bukan suami.”
“Ya, sekalian toh. Sekalian dijagain, diurusin.”
“Menikah itu bukan buat mengatasi masalah hidupmu saja, tapi harus siap juga menghadapi masalah suamimu. Bisa-bisa kamu frustasi kalau menemukan masalah di kehidupan pernikahanmu. Mau jadi janda muda?”
“Hidupmu kayaknya enggak banyak masalah. Mau kan keluar belikan aku makanan malam-malam?”
“Enak aja. Aku mau nyari istri yang rajin masak. Jadi kalau mati lampu begini, aku enggak perlu susah payah keluar malam. Tinggal makan.”
“Itu namanya kamu nyari tukang masak, bukan istri.”
Aku mendengar tawanya yang renyah di ujung telpon. Beberapa saat sebelum panggilan terputus karena sinyal yang tiba-tiba pergi. Memaksa kami untuk tetap waras di kehidupan serba mandiri. Entah sampai kapan hidup sendiri.
4 notes
·
View notes
Text
Memories
Am I possesed by you? I miss everything 'bout you. I still recall every word you said between our conversation. And I am still hurt since the day you left me. I remember how I let you go. I told you its okay for you to go. But then I realized that makes me hurt, so much. So much that I can't cry anymore. Are you okay? Have you eat? All those questions are lingering in my head. And its all about you. I know that everytime I talk to you, my heart ache. But I cant help yet missing you. Is it okay if I ask you to come again? Is it okay to believe you will come again? Is it okay to wait you over again?
1 note
·
View note
Text
Siapa yang Bicara?
Pernah dengar kata-kata bijak, “Jangan lihat siapa yang berkata, tapi dengarkan apa yang ia katakan.”?
Sekarang, menelan bulat-bulat kalimat itu ibarat memakan makanan enak tanpa peduli bahannya apa. Apa iya, kamu tetap mau makan siomay enak di warung A saat kamu tahu yang jualan menggunakan daging tikus sebagai campuran bahannya. Nggak mau, kan?
Menyaring makanan yang dimakan berdasarkan komposisinya, sama halnya seperti menyaring informasi yang masuk berdasarkan si pemberi info. Jangan bangga bisa tahu dan berkoar-koar tentang banyak hal kalau semua hanyalah kabar burung, lebih fatal lagi kalau kabar itu salah. Lantas, bagaimana caranya menyaring informasi saat menyebar berita semudah meng-klik tombol share di facebook?
Lihat sumbernya. Lihat siapa penulisnya. Lalu lihat tulisannya, sudah kredibelkah si-”dia” menuliskan hal-hal itu. Maksudnya, kalau ada orang yang menuliskan tentang kebijakan ekonominya Amerika, pastikanlah ia memang bersinggungan dengan ekonomi makro/mikro. Bukannya orang yang mengurus ekonomi sendiri saja belum mampu. Kalau ada juga orang yang menuliskan resep memasak, pastikan si penulis memang bisa/paham caranya memasak. Bukannya orang yang belum bisa membedakan mana merica mana ketumbar.
Kalau ada yang bilang, “Ini kan zamannya semua orang bebas mengeluarkan opini,” maka sebagai penerima informasi, kita juga berhak mendapatkan dan mempercayai informasi yang benar. Jangan hanya karena jumlah like dan share, kita jadi ikut meyakini hal yang salah. Lebih-lebih karena terpengaruh kalimat-kalimat di kolom komentar yang entah siapa penulisnya. Jangan sampai hanya karena ikut-ikutan, kita lebih meyakini perkataan seorang pedangdut tentang penemuan fosil dibandingkan perkataan arkeolog sendiri. Bukannya saya tidak menghormati opini seorang pedangdut, tapi pengetahuan seorang arkeolog di dunia fosil hampir bisa dipastikan lebih tinggi daripada pelantun lagu dangdut. Hal yang sama juga berlaku dalam kontes dangdut, alih-alih mengundang arkeolog sebagai dewan juri, tentu saja orang-orang seperti Umi Elvi Sukaesih yang berhak berkomentar. Ya, intinya semua ada posisinya masing-masing. Kita sebagai penerima berita dituntut untuk mengerti dimana posisi si penulis/pembuat berita. Hal ini wajib dilakukan sebelum akhirnya kita memilih untuk setuju atau bahkan membagikan berita tersebut ke orang-orang.
Susah, ya?
Ya, memang susah. Seperti petuahnya Uncle Ben ke Spiderman, “With great power comes great responsibility,” kekuatan media sosial harus bisa dimanfaatkan dengan bijak.
.
.
Oh ya, aku ini siapa?
2 notes
·
View notes
Text
Tulisan : Pemikiran
Saya seringkali sengaja menarik diri dari arus. Semacam berusaha untuk melihat arus itu dari atas agar tahu ke mana arahnya, ada apa di tepiannya, dan apa saja yang terbawa arus, dan mengira seberapa derasnya. Saya senang mengamati, menyaksikan peristiwa satu demi satu kemudian merangkainya. Hal ini pula yang mungkin menjadi tanda bahwa saya jarang mengeluarkan statement tertentu terkait peristiwa yang sedang berlangsung.
Dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki. Saya berusaha memahami setiap hal dengan baik. Semacam ketika saya ditanya tentang sesuatu dan saya tidak tahu, jawabannya tentu saja; “izinkan saya untuk belajar lebih dulu.”
Tulisan ini pun adalah sebuah perenungan tentang apa yang terjadi hampir satu tahun terakhir ini. Betapa begitu banyak orang yang “tampak” memuja-muja pikirannya. Menuliskan pemikiran-pemikiran tentang segala hal dan betapa bangganya ia dengan pemikirannya itu.
Kalau kita mengamati perkembangan opini, tulisan yang banyak dibagikan, bagaimana tulisan itu bermuatan aneka ragam. Kita akan semakin memahami bahwa pikiran manusia itu mengerikan. Lebih mengerikan ketika orang tersebut sudah pada tahap memuja pikirannya sendiri. Dan saya menjadi mengerti mengapa Allah menutup mata hati orang-orang yang demikian.
Saya sendiri menuliskan banyak sekali hal yang saya pikirkan. Beberapa saya memuatnya. Dan saya pernah dirundung kekhawatiran semacam itu, saya takut terpesona, terpukau, bahkan memuja pemikiran saya sendiri. Apalagi ketika pujian atas tulisan dari pemikiran itu berdatangan. Rasanya di atas angin dan dibenarkan.
Hal inilah yang terjadi saat ini. Ketika pikiran seperti di-tuhan-kan, ketika pemikiran lebih dituruti daripada pedoman keimanan. Sebagai orang yang beragama dan mengimani, saya percaya bahwa pikiran kita terbatas, amat sangat terbatas hanya pada hal yang kita tahu. Dan untuk itu pula saya terus belajar agar bisa tahu. Meski pada akhirnya saya mengerti bahwa pemikiran kita akan tetap terbatas. Ada hal-hal yang tidak akan sanggup kita pahami dan itu levelnya sudah menggunakan keimanan. Ada hal-hal yang tidak sanggup kita jabarkan dan itu tempatnya bukan lagi di pikiran.
Semoga kita lebih bijak dalam berpikir, menuangkannya, dan menjadikannya perilaku.
yogyakarta, 23 mei 2017 | ©kurniawangunadi
432 notes
·
View notes
Quote
Kau mencoba tidak peduli? Terimakasih, aku bahkan tidak peduli. Aku berjanji, suatu hari nanti, kita tak akan bersama. Namun, kau akan mengingatku dalam suatu yang bahagia. Kau akan tertawa, juga terluka.
0 notes
Quote
Nikmati saja, dulu. Kalau berujung patah hati, ya sudahlah.
1 note
·
View note