Tumgik
byzaff · 1 year
Text
Kontradiksi Social Media; Membuatmu Jadi Lebih Baik Apa Justru Menghancurkanmu?
Tumblr media
Sejarah media sosial ternyata sudah dimulai sejak tahun 1900 an, dan terus menunjukkan peningkatan drastis dalam perkembangan dan kegunaannya di tahun 2000-an terutama di zaman COVID-19.
“Hape terus!” Begitu yang kira-kira sering dikatakan oleh orang tua saat melihat anak-anaknya menatap layar smartphone. Apalagi dengan gaya telentang aka rebahan membuat sang anak senantiasa terbuai karena kenyamanannya berselancar di dunia maya, sehingga tidak menyadari sudah beberapa jam lamanya menghabiskan kuota sebab terlalu banyak terdistraksi dengan beragam konten dan hiburan yang ada.
Namun, sebagaimana kepribadian lama para orang tua, terkadang mereka tidak tahu apa yang anak-anaknya lakukan di balik itu, sehingga mengomel dan menghakimi sendiri adalah salah satu kebiasaan yang sering dilakukan saat melihat sang anak tak kunjung bergerak atau bahkan keluar dari kamarnya seharian. Kontradiksi ini seringkali terjadi bahkan mungkin sudah khatam kedengarannya bagi kita. Yang mana sosial media memang tujuan jangka panjangnya berakhir pada dua cabang besar; kehancuran atau kecerdasan.
Tidak munafik untuk mengatakan saya juga tidak suka bermain sosial media, namun saya sendiri juga memutuskan untuk menghapus aplikasi-aplikasi tersebut dan hanya menyisakan beberapa yang masih berperan penting terutama dalam halnya bertukar informasi seperti whatsapp dan telegram di ponsel. Dua tahun selama pandemi COVID-19 media sosial memang sedang dalam masa puncaknya, selain karena orang-orang dihimbau untuk menjaga jarak sehingga mau tidak mau sosial media menjadi satu-satunya penghubung untuk berkomunikasi satu sama lain.
Saya tidak mengatakan bila bermain sosial media itu akan berefek buruk, dan mungkin jika disuruh memilih maka saya akan berdiri di tengah-tengah. Namun ibaratnya jika kenal akan terkena pelet yang akan membuat orang terus menempel dan candu, saya pribadi sebisa mungkin meminimalisir penggunaannya karena merasa bermain sosial media membuat saya semakin tidak produktif dan terus mengancam psikologis di usia yang seharusnya bisa memaksimalkan kemampuan dan talenta yang saya miliki. Sehingga saya memutuskan untuk menghapus media sosial dan hanya mengunjunginya sekedar untuk mengetahui kabar teman-teman lama saya di luar sana.
Di jaman sekarang, media sosial memang bukan hanya sekedar berperan sebagai perantara komunikasi belaka. Menjalin relasi dengan orang baru di seluruh dunia, mendapatkan pekerjaan, tempat dimana bisa bebas berkarya, pendukung sarana pendidikan, sumber informasi yang tercepat dan tersingkat bahkan ladang tempatnya bercuan pun dapat dilakukan. Segudang manfaat yang dimiliki sosial media tidak lepas dari ribuan malapetaka yang hadir bak ranjau siap meledak apabila kita tidak dapat memfilter penggunaannya secara ketat dan benar.
Ibaratnya pisau bermata dua, meskipun sosial media dapat diunduh secara gratis dan mudah dikelola siapa saja, namun keberadaannya juga dapat mengancam data pribadi yang menggunakannya dan beresiko disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tak bertanggung jawab. Selain itu dampak FOMO, egoisme, dan kecemasan antar individu akan semakin meningkat. Sehingga kasus-kasus seperti penipuan, pemalsuan, cyber-bullying, dan lain sebagainya yang berujung pada psikis dan mental akan memburuk dan akan terus terbawa sampai dunia nyata.
Oleh karena itu, kebijakan saat bermain sosial media perlu ditegaskan khususnya bagi anak-anak dan remaja karena akan sangat berpengaruh nantinya di masa depan mereka. Jika orang tua dapat memantau dan mengelola media sosial yang dipergunakan anaknya dengan baik, maka anak juga akan menggunakan sosial media sebijak-bijaknya, begitupula sebaliknya. Orang tua juga perlu terbuka dengan keadaan dunia dan perkembangan teknologi yang ada sehingga anak tidak merasa keberadaannya bukan hanya untuk dihakimi, namun juga diarahkan ke jalan yang lebih baik dengan menjadikan media sosial sebagai mitra kedekatan kedua belah pihak.
Akhir kata, akibat dari bermain sosial media memang ditentukan oleh para penggunanya sendiri. Apakah mereka bisa mengelolanya dengan cerdas atau justru terhanyut dengan dunia semu di dalamnya. Peran orang tua tentu tidak lepas demi kemaslahatan anak-anaknya di masa yang akan datang. Bermain sosial media sebagai pelepas penat tentu saja diperbolehkan, selama tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Jadi, bagaimana kamu mau memutuskan untuk bermain dengan sosial mediamu?
1 note · View note
byzaff · 1 year
Text
Quarter Life Crisis; Fase Dimana Kamu ‘Benar-Benar Menjadi Dirimu Sendiri’
Tumblr media
Terhitung sudah seminggu semenjak tanggal wisudaku berlalu, dan resmi sudahlah aku menyandang gelar sarjana, namun sejujurnya aku masih belum bisa menentukan akan jadi apa aku di masa depan. Akankah melanjutkan karirku yang sebenarnya sesuai dengan jurusanku saat ini yaitu menjadi guru? Atau mengikuti keinginanku yang sebenarnya memiliki bakat dan potensi di bidang lain yang lebih menonjol? Setiap memikirkan hal itu, kepalaku selalu penuh, penuh dengan rencana, maupun berbagai macam kekhawatiran dan kenangan-kenangan yang menyedihkan. Tahun ini memang penutup untukku yang telah menuntaskan amanat dari orang tuaku, sekaligus pembuka lembaran hidupku yang baru. Fase dimana aku benar-benar menentukan akan menjadi apakah aku, dan akan memutar setir kemana untuk melanjutkan hidupku yang baru. Yang akhirnya pada saat ini, sedang berakhir buntu, karena aku belum mampu untuk menentukan arah hidupku selanjutnya.
Bukan berarti aku tidak mencoba atau bahkan takut untuk mencoba, orang-orang di sekitarku selalu menyarankan untuk mengambil pekerjaan yang linier terlebih dahulu sesuai dengan jurusanku sembari menemukan passion sekaligus menambah pengalaman pekerjaanku saat terjun di masyarakat. Namun, bagaimana bisa aku memulai fase dimana aku harus ‘bekerja sesuai jurusan’ di kala aku selalu ditolak di setiap pekerjaan yang aku lamar? Kuakui aku selalu gugup apabila bertemu dengan orang baru, terlebih saat melakukan praktik mengajar dengan siswa yang baru saja kutemui. Saat melamar, aku juga tidak begitu pilih-pilih soal pekerjaan, semuanya kucoba dengan mengerahkan seluruh kemampuanku, yang akhirnya terus berakhir pada kegagalan, kegagalan, dan terus kegagalan sampai aku merasa hampa akan yang namanya kegagalan. Bahkan pekerjaan sebagai seorang tentor saja aku ditolak meskipun sudah praktek dan sampai di tahap final.
Kata temanku yang saat itu sedang menghibur dan juga menguatkanku, memang mungkin saat ini aku sedang menghabiskan stok kegagalanku di masa muda, yang akhirnya menyadarkanku di saat aku sedang terpuruk dalam trauma dan kesedihan tak berujung karena merasa tidak berguna, belum mampu untuk membantu perekonomian keluarga, serta menjadi panutan yang baik untuk adik-adikku. Lalu beberapa hari setelah wisudaku, ibu tiba-tiba mengirimiku sebuah pesan yang katanya ditulis saat berada di gedung tempat dilaksanakannya wisudaku dan membuatku menyadari, bila bahkan dari sebelum lahir pun hidupku tidak pernah berlangsung dengan mudah, sampai detik ini. Aku selalu bergantung pada privilege yang diberikan namun tidak serta merta kumanfaatkan dengan semaksimal mungkin dan menjadi penyesalan terbesarku saat ini setelah terlambat menyadari hal itu. Dan semuanya karena diriku yang terlalu terfokus dengan trauma membekas di masa lalu sampai temanku yang lain juga menegurku dengan keras dan membangunkanku dari kenyataan lagi.
Mungkin tidak hanya aku, semua orang pasti pernah mengalami dengan yang namanya Quarter Life Crisis, sebuah fase dimana seseorang akan cemas terhadap masa depannya. Dimana mereka kehilangan arah setelah menyelesaikan prioritas penting dalam hidupnya sehingga mempertanyakan apa langkah selanjutnya yang akan diambil dan akan memutuskan jadi apa keberadaan dirinya saat ini di tengah masyarakat. Quarter life crisis ini bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti contohnya masalah perintisan masa depan, merasa rendah diri dengan pencapaian teman sebaya, mengalami drama dalam hubungan romansa, maupun ketika ditantang untuk hidup mandiri pertama kalinya. Yang membuat seseorang kadang terjebak dalam keadaan yang membingungkan, kurang termotivasi dalam menjalani rutinitas sehingga buntu dalam menentukan masa depan karena kegagalan yang menyakitkan. Karena fase dimana kita akan menjadi apa yang kita tentukan terkadang sangatlah menyulitkan, sehingga bisa membuat depresi bagi sebagian orang. Seperti aku yang seharusnya menjadi seorang guru namun karena kemampuan berkomunikasiku yang tidak cukup baik sehingga aku terus menerus gagal saat mendaftar pekerjaan.
Meskipun kegagalan sampai sekarang masih terus menghujamku tanpa lelah, dan belum memberikanku kesempatan untuk menang, aku tidak mau berhenti berjuang sampai akhir. Kegagalanku saat ini memang belum seberapa dibandingkan mereka yang tidak kukenali diluar sana. Dan aku tidak mau banyak mengeluh lagi. Dari banyak kegagalan aku terus belajar, dan berintrospeksi dimana letak kesalahanku dan menambal kekuranganku. Dari kegagalan juga aku mencoba memperbaiki kemampuan berkomunikasi, dan di sisi lain menciptakan sebuah kesempatan dimana aku bisa mengekspresikan diriku dalam bidang yang lain dan berkarya sesuka hatiku. Aku yakin Tuhan tidak pernah tidur dan terus memantau semua usahaku. Berproses untuk mengukur kemampuan diri sendiri memang tidak mudah, namun tidak akan kunjung terlihat jika kita tidak terus mencoba dan memaksa keluar dari zona nyaman.
Fase quarter life crisisku memang belum berakhir, dan aku masih terus berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari cincin neraka tak berujung tersebut. Di sisi lain, aku bersyukur masih berada dalam keluarga dan lingkaran teman-teman yang supportif, sehingga quarter life crisis tidak terlalu mencekik kehidupanku. Terus berlarut-larut tidak akan menyelesaikan masalah. Aku harus segera bangkit dan menemukan diriku yang baru.
Jika kamu juga sedang terseok-seok di jalan bernama masa depan dan menyesali beberapa hal yang sudah terjadi di masa lalu, tolong jangan pernah mundur. Percayalah bila Tuhan tidak pernah tidur. Fokuslah pada kekuatan dimana kamu dapat mengeluarkan kemampuanmu secara penuh. Langkah pertama tidak pernah mudah, dan anggap kegagalan sebagai batu loncatanmu untuk semakin maju di masa depan. Jangan bandingkan dirimu dengan teman-temanmu yang lain karena kesempatan dan timing kesuksesan kita berbeda. Tuhan sedang mengatur tempat yang baik, dan yang lebih baik saat melihat kamu sedang berjuang untuk mencapai tempat terbaikmu itu. Berjalan di ‘You’re your own’ memang sangat menakutkan dan menyulitkan, namun tidakkah kamu tergiur dengan buah manis yang akan kamu rasakan setelahnya?
1 note · View note
byzaff · 1 year
Text
Dilema Wanita Muda Generasi Z : Karir atau Komitmen?
Tumblr media
“Mbak, pacarnya orang mana?“
“Kalau cari pasangan nanti cari yang mapan ya.”
Pertanyaan itu seolah membekukan saya saat pertama kali mendengarnya, lalu seperti mendengar alunan violin yang sumbang, sebuah senyum miris mungkin adalah jawaban yang paling tepat yang bisa saya berikan padanya. Namun walau begitu, beda di mulut, beda pula di hati. Saya terus saja mengomel apa hak dia tahu mengenai hubungan percintaan saya, dan apa pula keuntungannya bila tahu? Namun semua kata-kata itu hanya bisa tenggelam di benak begitu mengingat status dan hubungan dengannya.
Setelah itu dengan sopan saya jawab sejujur-jujurnya bila belum menjalin hubungan dengan siapapun, sambil menjelaskan mengapa belum mencari pendamping saat ini. Selain karena masih mencoba membangun karir dan menentukan akan bagaimana dan siapa saya di masa depan, saya masih ingin terus menggali dan memanfaatkan potensi yang ada dalam diri, sehingga pikiran untuk mencari pacar atau membangun hubungan masih jauh diluar rencana yang terjadi di depan mata.
Saya yakin kejadian serupa tidak hanya terjadi pada saya, namun pada hampir seluruh wanita muda yang hidup di bumi ini khususnya di Indonesia kecuali karena alasan-alasan tertentu pasti pernah mengalaminya. Pertanyaan-pertanyaan pribadi perihal hubungan khusus dengan seseorang, keberhasilan studi, keberlanjutan karir, dan lain sebagainya yang tidak akan ada habisnya sampai berakhir pada perbandingan satu sama lain itu sesungguhnya benar-benar sangat mengganggu, yang menuntut kami (sebagai manusia muda yang hidup di zaman sekarang) untuk mengejar hal-hal tersebut secepat-cepatnya. Tidak bisakah kita hidup nyaman tanpa mengusik privasi orang lain?
Namun bukan berarti saya tidak ada keinginan untuk hal-hal tersebut. Tentu setelah mengalami pergulatan yang cukup panjang menimbang-nimbang kondisi diri saya, keadaan baik secara mental maupun finansial membuat saya harus kembali berpikir berkali-kali saat ingin berkomitmen pada sesuatu. Meskipun kita menginginkan segala sesuatu berjalan lancar dan berakhir dengan baik, namun tetap saja ada banyak sekali halangan dan kendala tak terduga yang hadir, dan meskipun kita ingin segalanya dapat diselesaikan secara bersamaan, pasti ada saja satu akar pokok yang harus dituntaskan terlebih dahulu sehingga mau tidak mau kita uraikan dahulu masalah intinya sehingga bisa melanjutkan ke hal-hal yang berikutnya.
Banyak wanita muda di generasi sekarang atau lebih tepatnya generasi Z (1997-2012) menginginkan untuk hidup mandiri terlebih dahulu, di tengah dunia yang semakin kompetitif dan perkembangan teknologi yang meningkat pesat. Kecenderungan untuk ingin menjadi lebih bebas juga semakin bertambah mengingat banyaknya tuntutan hidup serta harapan membuat banyak wanita muda cukup terbebani dan bimbang saat dihadapkan pilihan antara karir dan pernikahan. Ibaratnya bagai meniti di atas tali tambang, terlalu banyak resiko serta memerlukan kehati-hatian dan kecermatan yang tinggi agar tidak berakhir menjadi penyesalan seumur hidup saat sudah memutuskan sesuatu.
Namun sebagai manusia, kebutuhan-kebutuhan duniawi contohnya seperti perhatian dan kasih sayang terhadap lawan jenis tentu tidak dapat dihilangkan dengan mudah karena pada dasarnya manusia di dunia ini tidak ada yang dapat hidup sendiri. Karena begitulah alasan Allah menciptakan Hawa untuk Adam dan sebaliknya. Tidak ada wanita yang tidak haus kasih sayang dan membutuhkan sandaran serta dukungan disaat mereka membutuhkan support dan penyemangat dalam menjalani hidup mereka.
Dan masalah tersebut berakhir membuat wanita pada generasi Z mengalami dilematika yang cukup kuat saat dituntut untuk memilih antara karir dan komitmen. Di usia yang mungkin baru saja menyelesaikan studi dan dihadapkan pada fase quarter life crisis, mereka pasti juga sering mendapatkan kisah tentang orang-orang yang berkomitmen di usia muda di sosial media, sehingga memang mau tidak mau harus mematangkan dan mendewasakan mental dan psikis terlebih dahulu sebelum siap menjalani hubungan dengan pihak kedua. Berkomitmen dengan seseorang juga bukanlah penyelesaian yang tepat dan cepat saat dirundung berbagai masalah, dan bukan sekadar romansa berpacaran secara islami karena saat berkomitmen berarti mengenai perbedaan dua pikiran, jiwa dan masalah akan disatukan sehingga resiko perpecahan dan perselisihan akan semakin besar manakala kedua belah pihak belum mampu mengatur ego dan logikanya.
Ada banyak faktor yang mendasari mengapa wanita muda banyak yang memilih untuk berkarir terlebih dahulu. Selain untuk memiliki finansial yang stabil dan mungkin sedang membantu perekonomian keluarganya, gelar yang didapat setelah menyelesaikan studi yang sudah digeluti bertahun-tahun lamanya juga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, serta talenta maupun kecerdasan yang dimiliki sangat disayangkan jika tidak dimanfaatkan pada yang lain. Dengan berkarir, juga membuat wanita muda menjadi lebih percaya diri dan semakin merawat penampilannya karena mereka juga banyak belajar dan pintar mengurus manajemen diri. Dan lambat laun melatih beragam soft skill serta membuat mereka semakin produktif. Wanita karir selalu memiliki pandangan yang jauh kedepan, yaitu ingin memiliki masa depan yang cerah dan tentunya tidak ingin menjadi beban hidup pasangannya kelak sehingga mereka sama-sama bisa menopang bahtera hidup pernikahan yang dijalani berdua.
Di sisi lain, membangun karir juga memerlukan waktu yang tidak sedikit karena pasti ada banyak sekali faktor yang menghambat perjalanannya. Meskipun banyak wanita yang mumpuni saat mengerjakan berbagai pekerjaan secara bersamaan atau istilahnya dapat multitasking, namun itu bagai pisau bermata dua bagi mereka karena disitulah pemicu stres dan depresi berasal. Banyak wanita yang cenderung tidak dapat memisahkan urusan pribadi dengan kantor sehingga hal tersebut dapat mengoyak keprofesionalitasan mereka. Tidak seperti pria yang cenderung menggunakan logikanya saat menyelesaikan sesuatu, hati wanita yang lembut serta tekanan pekerjaan yang berat membuat mereka kadang kala terpojok dan akhirnya memilih berniat mengakhiri menyandarkan kehidupannya pada yang lain.
Untuk itu, bagi kalian para wanita generasi z, menjadi wanita di zaman sekarang memang tidak mudah, namun bersyukurlah karena dunia semakin terbuka lebih luas dan kesempatan untuk menjadi apa yang kita inginkan semakin banyak. Kadangkala usia hanyalah sebuah angka, namun cukup yakinkan pada pencipta bila rezeki sudah diatur sebaik-baiknya. Tidak ada proses yang tidak memakan waktu namun tidak ada pula proses yang berakhir mengecewakan, asal tetap tekun dan yakin untuk berpegang teguh pada hal tersebut. Tetap semangat, ya!
0 notes
byzaff · 1 year
Text
Baca ini jika kamu sering mendapatkan kritik saat ingin tampil cantik
Tumblr media
“Banyak orang-orang mengungkapkan bila kecantikan itu sifatnya subjektif,
Tapi mengapa masih ada standar ganda untuk menilai kecantikan seseorang?”
Lebaran memang telah berakhir beberapa bulan yang lalu, namun rupanya kenangan buruk itu masih terus terngiang dalam ingatan saya. Di momen yang harusnya kami saling maaf-memaafkan dan mengharu biru di hari yang penuh kebahagiaan, justru kata-kata tidak mengenakkan malah saya dapatkan di momen yang harusnya penuh fitrah ini. Dan semua itu anehnya bermula dari riasan make-up dan lensa kontak yang saya gunakan pada saat itu, entah apa sebabnya mereka tiba-tiba mengomentari saya dengan buruk di depan orang banyak dan mulai melarang-larang sesuatu yang akan saya kenakan ketika keluar rumah pasca kejadian tersebut.
Padahal, di momen-momen keseharian sebelum lebaran, saya memang jarang terlepas dari make up. Selain untuk menutupi bekas jerawat yang masih terlihat dan membuat muka saya agar kelihatan lebih fresh, banyak yang sering mengira saya adalah orang yang lemah dan ngantukan. Lensa kontak pun saya gunakan karena minus yang semakin bertambah dan hidung saya yang bertipe pesek sehingga saya selalu merasa kurang nyaman saat menggunakan kacamata (selain karena ternyata tidak cocok untuk muka saya juga.) Tidak hanya kritikan tajam yang saya dapatkan saat ber make-up, kebebasan menggunakan skincare pun dibatasi karena dianggap tidak berguna dan kelihatannya hanya menghabiskan uang saja.
Rupa-rupanya tidak hanya saya yang mengalami celaan sebab riasan yang digunakan di hari raya, banyak teman sepantaran ikut mengungkapkan hal yang serupa. Dikutip dari laman menfess yang saya ikuti di aplikasi Twitter, banyak dari mereka mengungkapkan bila kata-kata kasar itu justru tak terduga keluar dari mulut orang terdekat, sehingga akan terasa semakin menyakitkan saat mendengarnya. Bahkan kalimat tak senonoh seperti pelac*r, bond*n, spontan terucap hanya karena memakai nail art dan make-up (konteksnya para gadis saat itu sedang berhalangan sehingga tidak bisa mengikuti ibadah sholat ied). Di lain sisi, ada juga yang mengungkapkan bila terlalu sering memakai make-up tidak akan membuat wajah pengantin menjadi ayu karena terlalu sering menampakkan riasan di wajahnya. Saya sendiri mendapatkan teguran katanya riasan yang saya gunakan terlalu menor padahal saya hanya menggunakan foundation satu tingkat diatas warna kulit, sampai ada yang melarang saya untuk menggunakan lensa kontak padahal minus saya diatas 1,5. Lalu, siapa yang bersalah disini? Apakah sebagai kawula muda pada masa ini masih tetap tidak boleh memiliki kebebasan berias dan mendapatkan kepuasan untuk menjadi cantik hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri semata?
Di zaman sekarang ini, meskipun kedengarannya terasa seperti omong kosong, namun beauty privilege ternyata nyata adanya. Saya merasakan betul perbedaannya di saat memperhatikan penampilan dengan berias dan berpakaian rapi ketika keluar dibanding saat berpenampilan apa-adanya. Orang-orang asing mulai menyapa dengan ramah, dan melayani saya sesuai usia. Memiliki kepercayaan diri yang rendah sebab tidak diberkati dengan wajah yang simetris dan rupawan, dan seringkali terabaikan membuat saya menjadi pribadi yang pemalu dan rendah diri, sehingga saya seringkali menutup diri dari orang lain.
Demi membangkitkan sebuah kepercayaan diri karena pengalaman demi pengalaman yang terus membekas, saya kemudian belajar merawat tubuh saya melalui skincare dan bodycare secara mandiri melalui berbagai macam review orang-orang di sosial media. Jatuh bangun belajar mulai dari mencoba yang alami sampai yang buatan dan jujur saya memang masih belum merasakan efek yang maksimal dari perawatan yang digunakan sebab masih terkendala kuliah dan sebagainya, namun sampai saat ini saya belum pernah patah semangat. Saya tahu bila tidak ada proses yang berhasil dalam sekali coba, begitupun dengan khasiat akan perawatan yang digunakan. Namun, saya menarik poin dari sinilah saya harus belajar mencintai diri saya dengan merawat apa yang Dia berikan meskipun memang tidak ada yang tercipta secara sempurna. Kerap mengalami breakout membuat saya juga mulai ikut mempelajari teknik make-up untuk menutupi kendala yang ada pada wajah saya secara instan saat akan bepergian. Pun ibarat dikata orang menggunakan topeng membuat saya diam-diam mencibir perkataan mereka. Bukankah munafik apabila mereka mengatakan lebih menyukai sesuatu yang natural kalau nyatanya mereka juga terkesima dengan penampilan yang ‘fresh’ dan polesan yang dikenakan orang lain di layar kaca? Dan bukankah di era ini penampilan memang lebih diutamakan?
Ambisi saya untuk berpenampilan menarik dan merawat diri semata-mata saya lakukan bukan untuk orang lain. Justru karena tindakan dan kata-kata buruk yang pernah saya dapatkan di masa lalu membuat saya semakin terpicu untuk meningkatkan kualitas diri sendiri. Dan saat itu saya juga menyadari bila saya mendapatkan kepuasan batin saat merawat diri dan mulai memperhatikan penampilan, seperti kepercayaan diri yang meningkat membuat saya mulai berani mengambil selfie dan bergaya di depan kamera. Dan kalau dipikir-pikir sendiri, berlian saja tidak serta merta didapatkan dengan mudah, dan dijual dengan harga murah. Untuk membuat sebuah bongkahan batu yang didapat dari tambang dan mengubahnya menjadi sebuah berlian membutuhkan sebuah proses yang teramat sangat panjang, begitupun halnya dengan kita yang masih berjuang. Jadi, jika kita memang tidak tercipta dengan cantik dari lahir, kenapa kita tidak mencoba saja untuk berusaha menjadi lebih cantik dengan perawatan? Tidak ada yang salah dengan hal itu, selama kita lakukan untuk menghargai diri sendiri.
Kembali lagi dengan topik yang saya sebutkan di awal paragraf, sebenarnya baik kedua generasi menghadapi problematika berbeda dan situasi yang berlawanan sehingga masalah keduanya pun tidak dapat disamaratakan. Dan yang memahami dunia ini pasti menyadari bila pada dunia ini dasarnya bergerak secara dinamis, tidak akan pernah berpatok pada zaman yang sama, begitupun dengan perubahan pandangan. Ada kalanya di masa itu kawula muda memang belum menyadari tentang betapa pentingnya perawatan, pentingnya menggunakan tabir surya untuk melindungi wajah dari kerusakan faktor eksternal, selain kondisi ekonomi pada saat itu yang memang masih serba menyulitkan. Keterbatasan pengetahuan dan keberagaman produk-produk perawatan yang tersedia di pasaran mungkin juga ikut mendukung faktor pemasaran skincare dan makeup yang belum lumrah. Tidak seperti sekarang yang produk-produknya semakin menjamur bahkan terjual di aplikasi online dan harganya semakin ramah di kantong sehingga dapat digapai sekalipun oleh kaum pelajar.
Di zaman dahulu juga orang-orang mungkin tidak begitu memperhatikan penampilan. Kebanyakan berlandaskan kesahajaan, sehingga menjadi cantik dan pintar adalah nilai plus di mata orang-orang biasa, tentu berbeda dengan sekarang dimana teknologi dan internet semakin maju dan berkembang. Dengan tulisan, video, maupun gambar, kita bisa memantau perkembangan orang lain dari berbagai belahan dunia, dan mau tak mau mulai ikut terpengaruh oleh gaya dan perilaku mereka. Karena biasanya tren ikut-mengikuti apa yang ditonton itu semakin populer, membuat tren pun akhirnya tercipta, dan penampilan tidak memungkiri adalah hal yang pertama kali diperhatikan saat ingin mengenali seseorang maupun sebaliknya.
Jadi tidak ada salahnya mengikuti perkembangan zaman dengan merawat dan menjadi cantik, terlebih lagi untuk kebaikan dan keuntungan kita sendiri. Pendapat orang lain mungkin memang tidak bisa dikontrol karena memang di luar kuasa kita. Namun dengan mengikuti kata hati terkadang ada cara tak terduga yang dapat memberitahu maksud baik kita, selama apa yang kita lakukan tidak menyakiti dan merugikan mereka.
Kritik memang terkadang terdengar menyakitkan, namun tak ada yang salah dengan berusaha menjadi cantik. Meski cantik rupa itu fana dan terbatas masanya, tidak perlu berkecil hati. Jika kamu tidak terlihat cantik namun ingin belajar make-up, maka lakukanlah. Jika kamu tidak terlihat menarik namun ingin mencoba merawat dirimu dengan skincare, lakukanlah tanpa mempedulikan opini orang lain. Perlahan dan seiring berjalannya waktu, kamu akan menyadari apa esensi cantik sebenarnya yang menguar dari dirimu, jika kamu mau terus belajar dan terus mengevaluasi diri. Jadi bagaimana keputusanmu setelah ini, cantik?
1 note · View note