Sebuah catatan sederhana mengenai perjalanan belajar memaknai samudera kehidupan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Let The World Wait.
Menuju akhir dan pergantian tahun, barangkali kita tak asing dengan istilah refleksi dan resolusi. Refleksi untuk kilas balik hal-hal yang tercapai selama dua belas bulan berjuang, serta resolusi untuk kembali memasang target dan segala harapan di dua belas bulan berikutnya.
Aku pun demikian. Selama ini, bergantinya angka satuan di empat digit penanda tahun kalender, ternyata kumaknai sebatas refleksi, resolusi, yang tak jauh-jauh dari target dan pencapaian. Lantas jika target-target itu meleset dari lingkaran, aku kembali memberi label "kurang", "gagal", atau kalimat-kalimat bernada serupa pada diriku sendiri.
Sampai suatu hari, ada sebuah nasihat yang lewat di beranda media sosialku. Nasihat yang aku tak tahu selama ini aku butuhkan. Bahwa dunia masih bisa menunggu.
Iya, let the world wait. Biarkan dunia yang menunggumu, bukan malah dirimu yang terbalik menunggu-nunggu dan mengejar dunia. Apapun definisi "dunia" dalam bayanganmu, ia masih bisa menunggu nanti, esok, lusa, bulan depan, bahkan tahun berikutnya. Segala target, cita-cita, keinginan dan semacamnya masih bisa diusahakan lagi dan lagi sepanjang nafas masih dikandung hayat.
Let the world wait. Urusan dunia bisa nanti-nanti. Kalau salah masih bisa revisi. Kalau meleset, bisa atur ulang strategi. Kalau gagal, ya tinggal coba lagi. Hidup tak akan semudah itu hancur lebur karena laju kita tak sebalap orang-orang.
Dan, nasihat ini cukup membuatku kembali menilik diri sendiri. Kalau ada target yang belum tercapai di 2024, mari kita upayakan lagi di 2025. Entah dengan tujuan yang sama, atau perlu mempertimbangkan kembali arah langkah.
Kalau di 2024 masih ada yang belum terlaksana, insyaAllah masih ada kesempatan-kesempatan baik berikutnya di 2025. Malah barangkali, akan Allah ganti dengan yang jauh lebih indah dan tak bisa kita bayangkan di depan sana.
Kalau ada rencana-rencana yang ditakdirkan gagal di 2024, mari kita buat rencana-rencana baru di 2025. Selama yang kita usahakan dan harapkan adalah kebaikan, insyaAllah nanti Allah yang akan tunjukkan jalan entah bagaimanapun caranya.
Hidup ini maraton. Terlalu singkat bila hanya dipersempit maknanya sebagai sprint tahunan dan kejar-mengejar dengan dunia. Akan ada banyak kejutan di depan sana. Akan ada banyak kelokan, tanjakan, turunan, begitu seterusnya. Dan karena itulah, mari gunakan sebaik-baik energi dan sumber daya yang Allah berikan untuk bisa berhasil menginjakkan garis finish dengan hati yang tenang, lapang, ikhlas, dan ridho atas segala ketetapan takdir-Nya.
Let the world wait, so that we know Hereafter is waiting for every single decisions we make in this Dunya.
Let the world wait, but dont take everything for granted, because this Dunya is part of our test to be passed.
(Semarang, 20 Desember 2024. 11:27. Dalam kontemplasi akhir tahun, kepikiran karena lagi ngisi form capaian kinerja pegawai dan tetiba jadi tulisan corat-coret curcol ini. Menanti libur panjangg untuk pulang.)
0 notes
Text
It's December again. Yeah. And as days go by, I recently discover some new songs to be added on my playlist. I found out that most of them have beautifully-written lyrics which I love so much.
Then, I wonder how did people so good at poems? I mean, like, why do people soooo toughtful when it's come to write about this kinda lyrics? I discover some new songs (well, it's mostly new to me) that i feel like they speak a lot about our precious little moments in life. Beautifully. Poeticly. Yet perfectly describe how we feel about something. I love how words and languages can hold so much "power" in it.
And I start to believe that people who are good with their words are the one who gifted. They even help me to say what I can't say and just like their lyrics speak my heart out loud.
That's why, when I send some song recommendations or show my playlist to someone, it means that someone is means a lot to me and I want him/her to know my feelings through those songs.
(14th December 2024, 22:20. Just some random thoughts after discover Ceilings by Lizzy McAlpine. And a name suddenly crossed my mind. I miss u.)
0 notes
Text
Once you realize the power of your tongue, you won’t say just anything.
When you realize the power of your thoughts, you won’t entertain just anything.
Once you understand the power of your presence, you won’t be just anywhere.
2K notes
·
View notes
Text
Doing right by yourself might hurt at first. It might make you sad. It might leave you questioning. It might feel like loss. But that's part of the healing. That's part of choosing yourself. That's part of growing. That's part of becoming. Do it anyway.
893 notes
·
View notes
Text
Afirmasi
Kamu berharga dan layak mendapatkan hal-hal baik. Kamu punya banyak hal baik. Kamu memiliki kesempatan-kesempatan itu.
Hanya saja, mungkin selama ini kamu ketemu sama orang yang kurang tepat. Mereka yang terus menerus membuatmu merasa kurang, bersalah, dan merasa tidak berarti.
Hanya saja, mungkin selama ini kamu terjebak di tempat yang salah. Tempat yang terus menerus membuatmu merasa semakin merasa kecil, merasa kamu tidak bisa apa-apa, dan berujung pada hilangnya kepercayaanmu pada diri sendiri. Keraguanmu pada hidupmu sendiri semakin besar.
Kamu berharga. Kamu hanya butuh sedikit keberanian untuk pergi dari mereka dan meninggalkan tempat-tempat itu. Memang menakutkan, karena semuanya terasa samar di depan. Tapi lebih menakutkan lagi hidup dengan kondisi sekarang, seterusnya, selamanya. (c)kurniawangunadi
364 notes
·
View notes
Text
Mencintai kamu itu di dunia aja nggak cukup. Makanya bimbing aku supaya bisa masuk syurga bareng-bareng. Nggak cukup seumur hidup, maunya seumur syurga juga! Sehidup, sesyurga.
203 notes
·
View notes
Text
I've been come on my realization that friendship-heartbreak is mostly everyone's part of adulting. In this phase of life, I couldn't ever pointing the blame to all people who left, neither I can take all the guilt for not keeping them forever in my life. Actually, what really happened is nobody's left. We're just continuing our own journey through our own path and unevitably parted away. It's noone's responsibility.
It's just like.. my heart feels so down and kinda empty and I need to adapt myself all over again. I'll miss them so bad every once or twice in a while. I'm gonna replay our memories in my brain and sometimes reminiscing the old good day together. But I know we'll be okay somehow.
Oh how I miss my school moments right now. I miss when my biggest concern is tomorrow's math quiz, or physics assesment that I barely know about.
(Semarang, 28th November 2024. 13:08. November Rain all day, and blue over my heart. Is it seasonal depression or just my feelings? However, I miss you so baddd)
1 note
·
View note
Text
Aku kadang menghilang. It's my thing. Tak ada yang memperhatikan, tapi ada hari di mana aku memilih untuk menutup pintu hati, dan fokus mencoba melewati hujan dan pikiran sedih yang selalu menemukan jalannya ke permukaan.
Ada saat-saat ketika orang-orang mungkin membutuhkanku namun aku tidak dapat dijangkau. Ketika telepon berbunyi, aku hanya akan menatap penelepon dan menunggu untuk berhenti karena aku tidak ingin berbicara. Kuharap mereka tidak keberatan. Aku tidak pernah bagus dalam hal membuka diri kepada orang lain, atau dengan berbagi beban duniaku, dan kupikir itu seharusnya tidak apa-apa. Kita semua berjuang dalam pertempuran yang tidak kita ceritakan kepada siapapun.
Jangan salah sangka, hidupku banyak momen bahagia. Tapi kadang-kadang aku menghilang untuk menyelamatkan diriku, dan aku berharap itu bukan hal yang egois untuk dilakukan. Aku hanya ingin memenangkan pertempuranku juga.
— Jun Mark Patilan
179 notes
·
View notes
Text
Turbulensi.
Rasa-rasanya di setiap fase hidup, pasti ada cobaannya masing-masing. Pas sekolah cobaannya ya seputar konflik pertemanan, pas kuliah lebih kompleks lagi ke percintaan dan skripsi, kelar kuliah cobaannya di tempat kerja, belum lagi urusan tugas, kewajiban, tanggung jawab, dan banyak lagi seterusnya.
Dan kalau diinget-inget, ya memang cobaan yang dihadirkan-Nya ke kehidupan kita tuh emang yang sesuai kadar kemampuan dan kapasitas problem solving kita.
Trus jadi keinget sama sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh salah satu pembicara favoritku di CC pas dulu sesi deeptalk (semoga Allah rahmati beliau dan keluarga, aamiin).
Turbulensi itu hanya bisa terjadi dan kita rasakan ketika kita sudah lepas landas.
Waktu itu konteksnya adalah menghadapi dewasa dan masalah-masalahnya.
Sekarang menyadari bahwa, setelah lolos dari 'guncangan' hidup satu, bakal ada next-level turbulensi lagi di depan. Dan hidup ini memang ujian, kan? Baik di kala lapang maupun sempitnya, hakikatnya adalah untuk menguji bagaimana kita memaknai takdir dan percaya pada Sang Maha, yang Memegang penuh kemudi kendali hidup kita.
So, selamat lepas landas mendewasa! Semoga tetap teguh mengudara ke tujuan meskipun hidup selalu punya kejutan-kejutan dan goncangannya. Dan semoga, bisa mendarat dengan lancar di akhir hayat untuk sampai di tempat-tempat yang mulia dan ditinggikan-Nya. Aamiin.
(Semarang, 16 November 2024, 19:55. Malam minggu hujan. Hari ini seharian mendung dan gerimis. Ditulis pas lagi ngerasa kangen rumah dan pengen cuti buat ngecamp.)
3 notes
·
View notes
Text
Rambu Abu-Abu.
Setiap kali menemui ragu atau ambigu, setiap itu pula benakku gatal ingin mencari kejelasan dan menggariskannya ke kertas.
Setiap kali langitku dipenuhi kelabu, rasa-rasanya tak sabar untuk menumpahkan warna merah kuning jingga hingga ungu dan melukisnya di kanvas.
Itu aku, di depan ketidakpastian. Terombang-ambing perasaanku sendiri. Kalut pada segala kemelut yang rumit antara kita.
Dibilang tidak tapi iya, dibilang iya tapi tidak. Aku payah menebak-nebak, sedangkan kamu ucap sepatah kata pun tidak.
Kamu boleh bilang aku terlalu perasa, atau sebut aku penyair yang sedikit gila. Tapi jangan buat si penyair yang sudah hampir gila ini semakin menjadi-jadi gilanya dihujani ribuan tanda tanya.
Katakan, kamu mau bagaimana? Apa yang kamu perlukan?
Jangan hanya diam dan menungguku pulang. Jangan mencari alasan untuk menundaku lebih lama kembali ke pekerjaan. Jangan hanya sekedar membalas pesan yang lebih dulu kukirimkan. Jangan hanya sembunyi, berlindung dibalik senyum canggungmu itu.
Ceritakan segala yang jadi isi kepalamu hari ini. Tanyakan apa yang ingin kamu ketahui. Tuangkan segala carut marut itu jika harimu berat. Biarkan aku sedikit masuk ke kehidupanmu, sedikit mengkawatirkanmu, sedikit memperhatikanmu. Katakan dengan jelas maksud dan tujuanmu agar aku tak salah menangkap inginmu.
Aku bisa berbagi sedikit bebanmu itu tanpa merasa terbebani. Aku ingin dilibatkan pada pertimbangan-pertimbangan untuk keputusan besarmu. Dan akan senang hati mendengar cerita-ceritamu.
Mari kita pertegas garis putus-putus itu. Mana yang boleh kita lewati batasnya, mana yang perlu kita lindungi wilayahnya. Mana yang hanya untukmu, hanya untukku, dan mana yang untuk kita.
Diantara rambu abu-abumu yang kamu pasang itu, aku tak ingin jadi seorang yang salah baca pertanda. Aku tak ingin menyimpulkan sendirian tentang semuanya, tanpa kamu tahu segalanya.
(A short point of view. Semarang, 26 Oktober 2024, 21:22. Lagi rindu sama geng Trah Mbah Adam tapi ya masa aku terus yang nelpon duluan? hfft.)
12 notes
·
View notes
Text
Lyfe-updating.
(Ditulis sebagai emotional-dumping dan uneg-uneg curcol belaka. Warning : akan ada banyak ketikan alay, please bear with me or just kindly skip this post.)
Dua-tiga bulan terakhir, hidupku (baca: real life) lagi "seru-seru"-nya. Alias super-duper ada-ada ajaa ceritanya. Makanya lama ga nulis disini karena energi udah terkuras di huru-hara hectic-nya kesibukan duniawi (astaghfirullah *mode tobat). Jadinya ya cuma baca postingan adem temen-temen disini, scroll bentar, udah deh lanjut ke kehidupan nyata lagi.
Tapi ner bener deh. Dua bulan kerasa lama karena banyak cerita dan hal-hal yang cukup mengejutkan terjadi berurutan, tapi di waktu bersamaan juga ngerasa 2 bulan ini cepet banget kaya ga kerasa apa-apa saking banyaknya kerjaan dan hal yang kudu w selesein.
Emang ya, kehidupan dewasa kadang kerasa monoton karena rutinitas. Eh tapi juga ada aja gebrakan dar-der-dor nya pas lagi di keadaan yang ga siap.
Berasa mau ga mau, tiap waktu kudu mempersiapkan diri buat sigap kalo tiba-tiba semesta ngasih kejutan tanpa aba-aba sambil bilang, "Surprise! Selamat belajar bab baru kehidupan yahh! Nih gw kasi pelajaran dikit biar kaga kaget-kaget amat kedepanye!"
Lah, w sebagai manusia yang sedang menjalani hidup seberusaha-berusahanya jadi terkedjoet kan. Paling nggak pake pertanda dulu deh kalo mau surprise-in, napa nrobos ae sih? Hati mungiel w jadi sering olahraga spot jantung. Otak juga jadi sering berkabut.
Tapi yang paling bikin gempar kamar kos w (soalnya kalo ini kaga bisa detil cerita ke siapa-siapa dulu) adalah, tetiba muncul beberapa mak comblang dalam hidup gw. Kayak, ga ada yang lebih mengejutkan apa? Menang undian umroh, kek! (Plis bantu Aamiin-in yang kenceng). Dapet trip gratis ke Raja Ampat, kek! Apa gitu yang lebih wow dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa? Ini kek, woy kenape tiba-tiba ada makcomblang? Dan ga cuma satu? Huhu (*emot nangis).
W sadar penuh kok, kalo umur udah memenuhi. Tapi ya, emangnya melayar di bahtera rumah tangga syaratnya umur minimal 25, berpenampilan menarik, dapat bekerja sendiri maupun dalam tim dan menyukai tantangan kek loker-loker diluar sana? Kaga atuhh :((
Boleh gak, kalo w rikues doain aja yang baik-baik, ketemunya sama yang sholeh dan bertanggung-jawab, gitu? Plis banget yang nanyain "kapan? kapan?" itu, w lama-lama pasang tarif juga nih, per pertanyaan 25rebu. Nah loh, bangkrut lu pada ntar kan.
Yuk, ah, lebih bijak dan hati-hati kalo mau nyomot topik pembicaraan. Kadang, beberapa hal cukup sensitif buat orang lain. Kadang melelahkan juga jawab pertanyaan yang sama yang kita sendiri juga belum tahu jawabannya apa.
Well, sebenarnyaa, aku gapapa banget kalo misal ada pihak atau siapapun yang niatnya baik mau membantuku "meluaskan networking" (baca: nyomblangin). Tapi tolong, pakai kata-kata yang ngga ofensif lah. Ameh nulung opo menthung, jane ki? (Translate: mau nolong apa ga sih, sebenernya?).
Aku pribadi sangat sangat open. Ya kalau bisa nambah temen, kenapa engga? Siapa tahu bisa nambah silaturrahim dan terbuka luas rezeki, who knows?
Kita ga tahu kan, dari mana jalan Allah membukakan pintu itu? Bisa jadi ada tangan-tangan perantara-Nya dari teman, saudara, bahkan kenalan yang memang ditakdirkan Allah untuk membantuku.
Yang jelas, entah siapapun itu nantinya, semoga jalannya menujuku dan jalanku menujunya selalu Allah jaga di koridor yang benar. Aamiiin.
Udah dulu lyfe-update dear diary episode kali ini. Berharap besok-besok udah lebih longgar buat corat-coret lagi. Byeee, take care!
(Semarang, 24 Oktober 2024. Tanggal cantik, 00:10. Kamar kos. Udah agak ngantuk tapi lagi kepikiran beberapa hal.)
2 notes
·
View notes
Text
KDRT
Waktu berita KDRT kemarin viral dan videonya sampai ke fyp-ku, aku langsung peluk suami dan bilang, "makasih ya kamu udah sayang sama aku. Ga pernah pukulin aku meski aku nyebelin. Makasih ya udah jadi suami yang ga pernah kasar sama istri..."
Aslinya mau lanjut ngomong aku sayang sama kamu banget-banget tapi ketahan, udah kadung mewek di pelukannya. Ga pelukan juga sih, aku yang meluk. Dia berdiri aja bingung, ga bergerak kaya gedebog pisang😂😂
Aku juga mau terima kasih ke abah, makasih ya abah udah pilihin aku suami yang nggak pernah main tangan..
Inget banget pas suami ngelamar aku, abahku bilang gini sebelum mengiyakan.
"Kamu boleh menikahi anak saya, tapi saya tidak akan segan ambil kembali anak saya kalau kamu melanggar dua hal. Pertama, kamu ajak anak saya keluar dari syariat dan menjauhi Allah. Kedua, kamu main tangan dengan anak saya. Seumur hidup saya, saya didik anak saya dengan kasih sayang. Kalau kamu kasar sama anak saya, saya akan bawa dia kembali."
Pas ada video ayah Cut Nabila datang, terus Cut Nabila nangis di pelukan ayahnya. Sepanjang video aku nangis banget Ya Allaaah😭😭
Tolong lindungi semua istri di muka bumi ini dari suami-suami kasar, mokondo, dan manipulatif. Tolong lindungi semua suami di muka bumi ini dari godaan berbuat jahat kepada istri dan anaknya.
284 notes
·
View notes
Text
Pemantik Rindu.
Rasa-rasanya gemerlap duniawi sudah berhasil mengelabui hati, bahwa memasang angka dan pencapaian tinggi adalah harga diri yang harus mati-matian diperjuangkan.
Tapi malam ini, aku tertampar oleh VR berdurasi 15 menit, dengan judul 'Hijra'. Aku datang dengan niat semoga bisa kembali menyemangati diriku yang merasa sedang futur dan butuh diingatkan kembali.
Di VR —yang sejujurnya terlalu- singkat itu, dipaparkan sekilas narasi dan highlight kisah hijrahnya Rasulullah SAW. dari Mekkah ke Madinah. Aku seolah ikut merasakan ketegangan saat rumah Rasulullah SAW. dikepung kaum kafir Quraisy.
Aku turut merasakan takut dan cemas saat Rasulullah SAW dan sahabat beliau, Abu Bakar Ash-Shidiq bersembunyi dari kejaran musuh di gua Tsur. Kemudian merasakan tenang yang mengalir ke jiwa saat tahu bahwa pertolongan Allah sedekat itu, lewat perantara bantuan laba-laba dan burung merpati.
Dan puncaknya, ketika video VR 'mengajak'ku berjalan di pelataran masjid Nabawi, mengajakku duduk di Rhaudhah, dan akhirnya tangis yang kutahan-tahan pecah saat melihat makam Rasulullah SAW. dan kedua sahabat beliau, Abu Bakar Ash-Shidiq RA dan Umar bin Khatab RA.
Meski hanya visualisasi dari VR, hatiku rasanya ada gejolak yang besar sekali. Perasaan yang aneh bagiku. Karena bagaimana mungkin kita bisa merindukan sesuatu yang belum pernah kita lihat lamgsung dengan mata kepala sendiri?
Iman yang setitik ini, dengan tatih-tatih langkah, kembali 'disentuh'-Nya dengan lembut. Seperti Allah sedang berbisik, "Kamu sudah jauh, hamba-Ku.. Kemari, pulanglah ke rumah-rumahKu. Kamu boleh mengadu dan menangis sepuasmu. Kemarilah, Aku akan menerimamu, hamba-Ku."
Sungguh, aku tak tahu dampak video VR durasi 15 menit bisa semenggetarkan ini. Lalu sehebat apa rasanya bila bisa lamgsung bertamu ke rumah-Nya disana? Sehebat apa rindu dengan Rasulullah SAW. di Raudhah sana kalau melihat makamnya via VR saja sudah se-menggebu ini perasaanku?
Yaa Rabbi, panggil kami. Panggil hati-hati kami yang mulai dilalaikan oleh urusan duniawi. Panggil hati-hati kami yang seringkali lupa memupuk rindu untuk mengusahakan berkunjung ke rumah-Mu. Panggil hati-hati kami agar senantiasa berbenah dan memantaskan dan mempersiapkan diri untuk menemui-Mu.
Mungkin seharusnya memang rindu-rindu macam ini yang mestinya rajin dipupuk dan terus berusaha mencari pemantiknya.
Ya Allah, izinkan kami menuju-Mu, mengunjungi rumah-Mu, dan menjadi tamu-Mu. Aamiin.
(Semarang, 9 Agustus 2024, 21:12. Perasaan rindu sepulang menonton VR Hijra yang rasanya kurang lama durasinya.)
2 notes
·
View notes
Text
Tak Sebanding.
Kalau kita mencari-cari apa yang kurang dan tidak ada dalam diri kita, akan selalu ada serentetan daftar panjang yang mudah sekali terpikirkan.
Lalu, daftar panjang itu entah sadar tak sadar membuat kita melihat kesempurnaan yang dipunya orang lain. Seolah kita tak punya apa-apa, dan orang lain punya segalanya.
Kalau kita sibuk menghitung karunia milik orang lain, maka di detik yang sama, rasa syukur kita akan menguap seketika. Yang semula cukup menjadi kurang, yang semula lapang jadi sesak. Lantas lupa akan tak terhitung banyaknya nikmat yang kita punya, yang boleh jadi orang lain sedang usahakan.
Kalau kita selalu mengukur dan menakar apa-apa yang tak tertulis untuk kita, maka hanya akan menjadi pembandingan tiada akhir. Kekhawatiran dan kegelisahan kita jadi hanya sebatas hal-hal yang nampak dan terukur oleh parameter manusia. Lupa bahwa nanti, bukan semata-mata itu yang diperhitungkan dan dipertanyakan-Nya.
Padahal, kita tak berhak membanding-bandingkankan hidup kita dengan yang lain. Kita tak punya kapasitas untuk memberi penilaian hidup siapa yang lebih baik dari hidup siapa. Kan, kita hanya menjalani hidup kita sendiri dan bukan mereka. Terlalu dangkal bila semua hal di standardisasi dengan satu variabel yang tak pasti.
Apa yang sudah jadi ketetapan Allah adalah adil. Sudah diukur, ditakar, ditimbang, dan dihitung sesuai dengan perhitungan-Nya.
Kalau-kalau sedang di fase comparing begini, memang rasanya seolah kita sendiri yang tertinggal sedangkan orang lain sudah melangkah jauh di depan sana. Karir, keuangan, percintaan, keluarga, jodoh, kesehatan, fisik yang rupawan, jejaring hebat, studi, dan apalah itu kamu sebut saja semua.
Padahal kalau mau mengingat-ingat lagi, berhasil sampai di titik ini pun, kita juga melewati dan mencapai banyak hal. Bergelut dengan pikiran dan perasaan diri sendiri juga bukan hal mudah, tapi buktinya bisa kita lalui meski beratus-ribu kali remedinya.
Malam-malam panjang diisi tangis yang ditahan supaya tak ada orang lain yang dengar, luka-luka menganga yang coba kita obati sendirian, perasaan-perasaan tak berharga yang kita simpan rapat-rapat, serta pikiran-pikiran yang ingin sekali kita singkirkan dari kepala —kalau bisa semudah itu. Semua itu, apa tak bisa juga kita sebut sebagai pencapaian yang sepatutnya diapresiasi?
Semua perjuangan yang jungkir-balik kita lakukan itu, tak sebanding dengan hal-hal yang sering kita banding-bandingkan dengan orang lain itu.
Boleh, kalau pembandingan itu adalah bentuk motivasi diri. Sebagai inspirasi. Tapi sudah, tarik garismu dan tentukan batas. Jangan terlarut lalu hanyut pada pembandingan-pembandingan yang hanya akan menyakiti dirimu sendiri.
Dearself, semua orang punya waktunya, begitupun kamu. Kamu boleh jalan, boleh lari, berbelok arah, berhenti sebentar, atau bahkan putar haluan. Tapi sekali lagi, jangan bandingkan jalurmu dengan yang lain. Semua lajur yang kamu pilih punya jurang dan bukitnya masing-masing.
Tak perlu mengukur yang tak bisa kita ukur, atau menghitung yang tak bisa kita hitung. Kalau mau mengukur dan menghitung, coba pakai milik sendiri. Jangan bandingkan apa-apa yang tak sebanding, ya?
(Semarang, 8 Agustus 2024, 20:03. Self reminder setelah melihat orang-orang yang sudah tiba duluan pada fase-fase pencapaian penting di hidup mereka. Sebuah catatan overthinking malam ini.)
8 notes
·
View notes
Text
Berlindung (dari) Diri.
Kadangkala, kita sebagai orang dewasa merasa bahwa apa-apa yang kita yakini dan lakukan adalah hal-hal yang selalu benar.
Padahal, menjadi dewasa bukan berarti lantas terbebas dari bias pada cara kita berfikir, cara kita memandang sesuatu, bahkan cara kita melakukan sesuatu.
Dan bias-bias itulah yang seringkali membuat kita menjadi tidak menyadari ketika memang langkah kita tergelincir sehingga melakukan kesalahan.
Boleh jadi, kesalahan-kesalahan yang tidak kita sadari itu ternyata melukai hati orang lain, atau bahkan sampai merugikan baik secara material maupun non-material. Betapa mengerikan kalau kita selama ini merasa aman-aman saja, padahal diam-diam dzolim kepada orang lain? Na'udzubillahimindzalik, ya Allah..
Kadang takut sekali kalau membayangkan diri bisa tidur nyenyak dan lahap makan sedangkan di waktu yang sama sedang dzolim. Yang berusaha kita jaga saja seringkali tak sengaja menggores hati orang lain, apalagi kalau serampangan dalam berlisan dan bertingkah laku.
Semoga, diri kita Allah jaga dari ucapan, sikap, tulisan, dan apapun yang kita lakukan dari menyakiti orang lain.
Semoga, Allah tunjukkan pada kita kejelasan antara yang benar dan salah supaya langkah kita tak terjerumus pada jalan-jalan yang dibenci-Nya.
Semoga, Allah lembutkan hati-hati kita untuk terus menjaga apa-apa yang dititipkan-Nya pada kita, termasuk hati, lisan, akal pikiran, dan seluruh anggota tubuh kita, agar tak bermudah-mudah mencemarinya dengan dosa.
Dan semoga, Allah lindungi kita dari diri kita atas segala ketidaktahuan dan kecerobohan yang seringnya tidak kita sadari. Kalaupun kita sebagai manusia khilaf melakukan kesalahan, semoga Allah bukakan hati kita untuk segera menyadarinya, Allah lapangkan hati kita untuk segera meminta maaf, dan Allah bantu kuatkan diri kita untuk senantiasa memperbaikinya dan mengambil pelajaran.
Allohumma arinal haqqo haqqon warzuqnat tibaa'ahu, wa arinal bathila bathilan warzuqnaj tinaabahu. Wa laa taj'alhu multabisan 'alayna fanadlilla, waj'al a lilmuttaqiina imaama. Artinya: “Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami untuk menjauhinya. Janganlah Engkau menjadikannya samar di hadapan kami sehingga kami tersesat. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
(Semarang, 6 Agustus 2024, 16:25. Ditulis sebagai catatan untuk diri sendiri. Posisi masih di kantor, sambil merenung akibat kecerobohan diri sendiri yang kusesali. Lain kali semoga nggak ceplas-ceplos dan grusa-grusu soal apapun ya, Rum! Plis jangan merasa selalu benar juga karena kan kita ga tahu semua hal yang ada di bumi ini :" biasain tabayyun atau konfirmasi yuk!)
6 notes
·
View notes
Text
JOMO
Well, udah beberapa waktu aku berhenti ngikutin igs orang-orang, terutama teman yang kukenal. Mungkin udah sekitar 3-4 tahun (?) dan awal mulanya dipicu oleh that so called 'anxiety' hit me when I was doing my Final Project as a final year college student during pandemic.
Iya, kabar-kabar bahagia yang bertebaran di linimasa dan instagram story (igs) berandaku pada waktu itu ternyata berefek sebegitunya pada 'kewarasanku'. Bukannya aku tidak senang melihat teman dan orang-orang yang kukenali pada waktu itu berbahagia, hanya saja, kondisiku yang waktu itu diambang ketidakpastian dan bercampur kelelahan psikologis, membuatku justru menyalahkan diri dan jadi membanding-bandingkan. Which is a big red-flag buat diriku sendiri.
Waktu itu, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti 'kepo' pada story mutualku, dan juga mute, block, hide story orang-orang tsb. Dan ditengah 'pelarian diri' dari hiruk-pikuk instagram yang menyilaukan, aku menemukan Tumblr sebagai tempat amanku bercerita tanpa harus cemas akan siapa-siapa saja yang melihat storyku atau menyukai postinganku. Di sini, aku bisa menulis tanpa khawatir harus bagus, atau harus membanggakan, berprestasi, dan hal-hal memukau lainnya —yang mana itu juga bagus.
Tumblr justru membuatku lebih tenang kalaupun aku harus ketinggalan trend viral tiktok maupun instagram. Karena ya di pandanganku, penghuni laman biru ini cukup ramah. Atau setidaknya minim perang di kolom komentar, minim gosip, dan jarang sekali ada trend aneh-aneh. Malahan, banyak nemu akun yang tulisannya adem.
Hal lain yang kusuka di sini yaitu, aku jadi ga perlu takut untuk menunjukkan kekurangan, kelemahan, perasaan-perasaanku yang punya tone negatif, dan bahkan luka yang kupunya lewat tulisan-tulisanku disini.
Ya intinya, kalau aku sering liat igs orang, biasanya adalah akun-akun yang menurutku inspiratif atau menghibur. Aku hampir tak pernah lagi memantau igs teman-temanku. Meskipun begitu, kami tetap berhubungan baik saat ketemu, kok. Aku cuma merasa life-updating kayanya bakal terasa lebih berarti kalau ketemuan langsung, karena ya siapa sih jaman sekarang yang bikin story lengkap soal kehidupan pribadi ke sosmed? We only share what we permit, right?
Kalaupun aku misalnya sekali-dua kali cek story ig temen, itu mungkin karena memang dia bagian penting di kehidupanku, atau aku lagi sekangen itu sama orangnya.
Yah, intinya (lagi), aku udah nyaman sama ke-JOMO-an ini. Aku juga udah ga terlalu merasa tertinggal kalau ada mutual-ku yang ternyata lebih dulu sampai ke impiannya (yang kadang-kadang adalah mimpiku juga).
Setiap orang punya alasan dan peta perjalanannya, kan?
So, lets just cherish our own journey and appreciate them as much as we could. Tanpa harus menjatuhkan yang lain, tanpa harus comparing progres satu orang dengan lainnya. Shall we?
1 note
·
View note
Text
Anticipatory Grief.
youtube
Sal Priadi-Gala Bunga Matahari.
Lagu ini adalah salah satu lagu yang bikin aku cirambay tiap dengernya setelah lagunya Eric Clapton-Tears in Heaven, Saybia-The Second You Sleep, Ada Band-Yang Terbaik Bagimu (Ayah), dan Melly Goeslaw-Bunda (Potret).
Setiap kali mendengar kabar duka dari keluarga, kerabat, sahabat, atau bahkan seseorang yang personally tidak terlalu dekat tapi kenal/tahu baik di dunia nyata maupun dari media sosial, setiap itu pula seperti ada yang menekan tombol aktif trigger 'anticipatory grief' yang selama ini seolah terbenam di diriku.
Sudah sejak cukup lama, aku punya ketakutan ini. Ketakutan akan ketidaksiapan diri untuk kehilangan orang-orang yang teramat penting di hidupku, terutama kedua orangtuaku. Dan memang mungkin tidak ada yang siap kehilangan orangtua mau sedewasa apapun kita nantinya.
Aku menulis ini di hari aku mendengar kabar duka yang datang dari salah satu sobatku, dan kebetulan bertepatan dengan hari ulang tahunku. Kutulis unggahan yang mungkin akan panjang ini dengan kecamuk hati yang sulit dijelaskan.
Aku jadi membayangkan bagaimana kalau seandainya itu terjadi kepadaku, dan seandainya aku yang ada di posisinya.
Kematian adalah niscaya. Pun sama halnya dengan kehilangan. Entah sudah berapa ribu kali kumainkan skenario di kepalaku seandainya hari menakutkan itu tiba, namun sebanyak apapun aku berlatih, tetap saja rasanya sesak walau hanya membayangkannya saja.
Tentu, aku sadar betul bahwa hari itu akan tiba di masa depan sana, kalau memang Allah takdirkan bukan aku yang pergi duluan. Aku tahu momen itu akan datang. Yang aku tidak tahu adalah, bagaimana aku menghadapinya, bagaimana aku mempersiapkannya, bagaimana nanti aku hidup setelah hari itu, bagaimana nanti aku bisa mengatasi rasa sedih dan kehilangan yang dalam itu.
Aku selalu berdoa semoga orang-orang terdekatku Allah beri panjang umur dan Allah limpahkan anugerah kesehatan sampai usia senja. Supaya aku punya lebih banyak waktu untuk menata hatiku dan menyiapkan ruang ikhlas yang besar saat hari itu tiba. Supaya aku punya ketegaran yang lebih besar dan kokoh ketika harus memuliakan saat-saat terakhir orang-orang tersayangku sebelum mengantarkannya pulang ke haribaan Sang Maha Pengasih dan Penyayang.
Dari beberapa literatur singkat yang kubaca sekilas, anticipatory grief yakni kedukaan yang dirasakan lebih dini. Adalah sebuah perasaan berduka atau kehilangan yang terjadi sebelum benar-benar kehilangan. Seperti tengah mengalami duka padahal kenyataannya sedang tidak di fase berduka. Biasanya dipicu oleh pikiran-pikiran, kekhawatiran, atau kenyataan mengenai keadaan kesehatan yang cukup parah dari orang yang kita sayangi.
Kita tahu, duka adalah bagian dari emosi manusia yang dirasakan ketika kita kehilangan. Dan berduka merupakan bagian dari proses how we deal with the loss that we experience.
Tapi berduka sebelum kehilangan juga menurutku adalah perasaan yang cukup menakutkan dan menyedihkan, in a complicated way. Dan kita semua juga tahu, ngga ada obat dari berduka. Yang kita mampu adalah terus berjalan melanjutkan hidup, memulung bekal perjalanan, sembari menghargai momen-momen yang masih bisa kita habiskan dengan orang-orang tersayang itu.
Teruntuk sobatku yang tengah berduka, aku memelukmu lewat doa.
Semoga Almarhum Bapak disana sudah sehat dan muda lagi, ya. Semoga Bapak sudah bisa istirahat lebih tenang sambil mengawasi putra kesayangannya yang sudah tumbuh dewasa. Meskipun bagi Bapak, barangkali kamu tetap jadi putra kecil menggemaskan bagi beliau.
Kuat-kuat, ya, Sobat. Jauh, jauh di suatu waktu di depan sana, mungkin aku akan bertanya satu-dua pertanyaan yang boleh jadi tak ingin kamu dengar. Pertanyaan yang sebenarnya pun sama sekali tak ingin aku tanyakan karena takut.
Mari lanjutkan bakti, meski lubang menganga di hatimu itu tetap akan disana dan tak ada yang bisa mengganti. Tetap saling doa, ya. Take your time, the world can wait.
(Semarang, 29 Juni 2024. Kabar duka tak terduga dari ayahanda salah seorang Sobatku. Di post 25 Juli 2024 22:06 setelah hampir sebulan baru berhasil mengumpulkan keping-keping keberanian. Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa robbayaani saghiiraa. Al Fatihah.)
3 notes
·
View notes