Text
Dua Diujung Horison
Panas terik mendorong kita tergesa-gesa
Memojokkan kita bersama ke pohon di ujung nan lebat
Kata tertimpa frasa
Frasa tertimpa kalimat;
Lalu kita tersesat dalam percakapan yg pekat
-
Angin memanggil awan mendung agar air segera dicurahkannya
Kita berpindah ke sisi lain langit senja; bangunan dibiarkan tak bertuan, tertelan bayangan
Apakah kita ditolak oleh langit, hingga hujan menghujati kita seharian, kemudian berusaha berteduh tapi langit-langit malah runtuh?
-
Bunga menggigil layu dihantam hujan
Jatuh diantara tumpukan lumpur; menyatu
Tak harus kau bunyikan suaramu sekerasnya dihadapanku
Karena hatiku adalah pintu yang telah terlepas gagangnya
Dibiarkan menganga, masuklah ke dalamnya.
-
Atas batasan umur tak mampu kau ganti
Oleh karenanya atas rasa-rasa liar yang tercipta, kita yang harus pegang kendali!
8 notes
·
View notes
Text
Desa
Bapaknya dibopong dari luar ke dalam. Menuju dua buah pintu yg satunya rusak tak bisa dibuka. Sedikit timbul ragu apakah bisa masuk ke dalam.
Melumah sejenak di ranjang, dan nyawanya sudah tiada. Keluarga seakan tidak percaya. Belum tiga hari pulang dari rumah sakit, sudah membaik lalu langsung memburuk. Orang-orang penasaran mulai memenuhi sisi-sisi jendela. Satu orang saling bertanya satu sama lainnya. Yang sakit siapa? Bagaimana kondisinya? Apakah dia baik-baik saja? Mengapa bisa? Mengapa harus ke puskesmas kalau sudah ada rumah sakit di kota?
"Disini kami harus ke puskesmas terlebih dahulu, barulah boleh dibawa ke rumah sakit",
jawab salah satu anggota keluarganya sambil mengusap air mata yg menetes di dahi anaknya yg masih balita.
Oh. Birokrasi lah yang membunuhnya.
"Ayah! Ayah!..."
Seorang anak memanggil pahlawannya.
8 notes
·
View notes
Text
Salam Kenal/Salah Kenal?
Kita tak pernah tahu perihal siapa yang akan datang kepada kita. Nasib atau takdir?
Kita tak pernah tahu pada awalnya kamu dikirim oleh siapa. Nasib atau takdir?
Kita tak pernah tahu perihal guna segala perjuangan ini untuk apa. Nasib atau takdir?
Kita tak pernah tahu perihal semua yang terjadi atas salah siapa. Nasib atau takdir?
-
Kita tak pernah mengerti. Kita bertemu tanpa niat, berlalu dan berakhir dengan cepat.
Kita tak pernah mengerti. Ceritaku berhasil kau lengkapi, peranmu tanpa segan kuhargai.
Kita tak pernah mengerti. Berpisah telah melupakan arti, bahwa yang rusak tak berarti mati.
-
Kita tak pernah saling merasakan. Ruang bicara dibiarkan tak pernah dibuka; kita terkunci bersama di luar pintunya.
Kita tak pernah saling merasai. Sembari menatap pada ketidakterbatasan angkasa; kita membatasi diri pada rasa yang tertahan logika.
4 notes
·
View notes
Text
Sore Itu
Langit memang sedang kelam. Panas di awal keberangkatan, gerimis di sepertiga jalan, deras di duapertiga jalan, dan ketidakjelasan hujan menemui akhirnya di tujuan.
Jalanan hari ini begitu panjang, sepi dan lengang. Pemandangan gunung, pepohonan dan sebagainya, terlihat di bawah langit yang tak cerah. Angin menghembus keras seharian. Motor pun kembali kupacu; isyaratku mengiyakan dan menerima terpaan angin dengan ramah. Dan kau rentangkan tanganmu untuk menggapainya; merasakan geli karenanya. Seolah adegan di film Titanic, kamu berada di puncak dunia, diatas kapal tak berlayar dan beroda dua. Tapi sama-sama diatas air. Yang satu air lautan, dan yang satunya air kubangan bekas hujan. Aku dengar kau ucapkan sesuatu, barangkali memanggil atau apa, tapi ketika kutanya,
"Aku hanya ingin sedang berbicara sendiri. Ngomel-ngomel tidak jelas. Sama seperti langit dan hujan yang tak pernah menyuguhkan sedikitpun kejelasan."
Aku sejenak heran lalu terkekeh. Benar juga. Kita semua memang membenci ketidakjelasan.
11 notes
·
View notes
Text
Antah-Berantah
Suatu hari muncul sesuatu mengganjal hati.
"Apa ini? Apakah ini sesuatu yang baru, atau suatu hal yang telah lama terjadi, tapi baru kusadari usai menghantui dalam kesimpulan yang kusesali?"
Satu per satu keluarga aku hubungi. Teman-teman dekat aku datangi. Seharian penuh mencoba bermimpi. Mencari ketenangan di dalam tidur sunyi.
"Jadi bagaimana cara untuk memperbaiki semuanya?"
Selalu ada yang kurang di dalam nikmat. Seringkali rezeki datang dan syukur terlewat. Padahal surau di sudut gang cukup dekat. Sajadah di kamar juga terus-terusan terlipat.
Ketika dunia berhasil mencacati melalui berbagai peristiwa, aku dan keimananku telah lama tak bertegur sapa. Keimananku hanya terdiam jauh di antah-berantah. Tak pernah tersentuh, tak pernah dijamah.
Dan kami akan terpisah dalam gelap dan mati yang singkat, lalu menanti pagi kembali memberi arti.
8 notes
·
View notes
Text
Emosi Dini Hari
Malam ditakdirkan gelap, angin bernasib untuk mendinginkan segala. Dia pun lega. Telah melepas penatnya. Telah menghibur dirinya. Telah berpaling dari kota yang disinggahinya cukup lama.
Kaca ditetesi oleh gerimis yang tak lama kemudian menjadi deras. Lubang hadir di sisi dan tengah jalan diantara aspal yang berair. Langit tak lagi menangis, dan pelangi mulai nampak.
"Akhirnya reda juga", ujarnya sambil menghela nafas.
Asap mengepul didalam ruang 1,75x2 meter itu. Sigaret dua batang dihidupkannya dari mati. Diusapnya pula kaca yang berembun, sembari menyentuh pedal gasnya secara perlahan. Matanya berkilau, berkaca-kaca, basah seperti kaca kendaraannya; dia menangis tanpa sengaja.
"Heh, hujan diluar mengapa bisa masuk kemari?", ucapnya membela diri.
Digenggamnya erat roda setir, membelokkan mobil di perempatan jalan di depan; lampu sedang menyala hijau, marka memutih di tengah gelap jalan. Rasa-rasanya, hidupnya juga telah mampu dia kendalikan, dari semua rasa-rasa liar yang kadang datang kadang pergi. Tapi tetap ada beberapa makna yang gagal diresapi, dimana perpisahan melupakan konsep bahwa yang rusak tak berarti mati. Iya, dia tidak berjalan lurus. Berpaling ke kanan sini untuk membelakangi masalah di ujung kiri. Menuju titik terjauh, mendayung melebihi pulau tempatnya berlabuh, mengendarai alasan yang diperkuat oleh berbagai pembelaan.
"Barangkali aku memang jalan tanpa marka. Banyak kendaraan melintas dan berhenti di atasku. Semua menyisipkan kesan, beberapa diantaranya menyelipkan pesan. Dan aku tetap di tempat yang sama, hingga memudar di suatu hari nanti", ujarnya, memulai monolog di malam yang sunyi itu.
"Hei, kebetulan sekali, hidupku hanya sibuk untuk bernafas. Nafas-nafas percuma, yang nanti akan diambil oleh waktu sebagai bentuk pertanggungjawaban atas hari-hari yang kulalui tanpa progress-tanpa malu. Ambil saja sekarang bila mau!", geramnya.
Pernah diingatnya di suatu hari, hujan begitu deras, dan dia mencela nama seseorang di sela-selanya.
"Kalian sama-sama pembohong! Menjanjikan sejuk dan dingin tapi akhirnya juga malah masuk angin. Ini sama sekali tak sesuai dengan apa yg kita perjanjikan awalnya. Kita susun rencana atas segalanya dengan baik, tapi semuanya pada akhirnya berubah jadi sesuatu yang remeh. Chairil Anwar ternyata memang benar, kau bahagia dan aku yang tinggal rangka!". Lalu semua ekspresi Chairil menjadi ekspresinya di hari itu.
Perjalanan dalam sepi, monolog tentang keresahannya seorang diri, semuanya seperti mimpi. Atau kemarau yang dihapus hujan sehari. Atau ingat yang jadi lupa. Atau apapun itu. Malam itu, sunyi dan emosi mengambil semua ingatannya sampai pagi.
14 notes
·
View notes
Text
Surat Kemenangan
Keluarga di desa.
Aku kehilangan kata-kata. Karena anganku masih tak mampu kudapatkan. Karena bebanmu masih tak mampu kuringankan.
Ibuku yang baik hati.
Mengingatmu melalui ingatan adalah perkara mencari; mencuri tiap celah kesempatan yang jatuh dari cepatnya hari-hari berlari. Mengingatmu melalui pertemuan adalah perkara menemukan; mengemukakan bahwa kendala yang berada di antara, memajukan rasa padamu menuju pemikiran yang riskan.
Umur melemahkan kita, peristiwa mampu mencacati semua. Tapi kita hanyalah batas-batas, di atas jalan panjang kehidupan. Pengingat pada waktu yang memiliki rentang, dan hamba pada waktu yang mengekang.
Ayahku yang menggebu-gebu.
Aku memburu hasilmu dengan meniru usahamu. Tapi sekuat-kuatnya berjuang pasti terhalang tantangan bagai karang. Lalu disini aku hanya melempar balas dengan mengarang alasan. Dan hari-hari pun tampak hadir percuma; aku berlaku begini, mereka berlari, aku berlaku begitu, mereka berlalu.
Aku pun serasa dihabisi oleh negeri. Bekerja separuh tak sesempurna hati. Tangan terikat tali dan jari terlilit janji. Namun di dalam siang terang dan malam yang kuresapi, kuikutkan Tuhan agar tak lagi mendewakan sepi.
Keluarga baru di kota.
Aku kehilangan banyak kata. Pada debat yang melahirkan kompetisi melelahkan. Pada kerja yang mendewakan ketamakan. Pada lupa yang mengakhirkan ibadah untuk ketuhanan.
Kekasihku yang lugu dan ceria.
Mohon mengertilah padaku saat dalam duka, dengan berjalan jauh, merintih bersama dalam lelah. Lalu duduk menadah derasnya keringat dari muka, ketika pada langit sedikit memerah, kita menengadah. Dan pada langit yang menangis, peluh dihanyutkannya. Dan pada daun yang tak merapat, kita meminta teduh. Dan karena angin tak sejuk namun menusuk, jarak pun terpangkas, ditukar untuk sejenak hangat yang sulit dilupakan. Dan demi Tuhan yg memberi segala kesempatan, aku bercerita padamu akan semua mimpi yg didalamnya terpercik keberadaanmu, dengan harap kita mampu hidup meski dipeluk waktu yg mengekang, mengendalikan batasan sampai kapan kita diperkenankan untuk saling merasai komplikasi rasa dan logika.
Inilah surat kemenanganku atas segala sajak yang kubimbangkan, di dalam berulangnya pulang dan kembali pada perantauan, dan rindu yang sembuh nanti kambuh, dan rasa yang tersampaikan dan berjuta bahagia lahir bergantian, dan nyaman yang ditinggalkan dan kematian menguasai seluruh.
Pada-Nya ku senandungkan, kata-kata sakral yang kubanggakan; tak ada cerita tanpa derita, tak ada cinta tanpa nafsu dan dahaga. Hidupku terpacu dari semangat keluarga; segala tentangku bermuara.
11 notes
·
View notes
Text
Kilau Sebuah Nyawa
Kamu masih tersenyum. Sebenarnya, apa yang masih dapat kau syukuri?
Terbaring lemas, terbujur kaku. Kau tak lagi mampu berbuat semuanya semaumu. Jendela lah yang memberimu pemandangan langit karena matamu hanya mampu memandang langit-langit. Siang malam tak jauh berbeda karena lampu kamar terus menemanimu.
Kamu juga tak banyak bicara, jawabanmu menanti sabar pada setiap tanya, seolah tahu akan segera kehabisan kata-kata di dalam pembicaraan karena tak tahu dunia sedang apa dan bagaimana rupa wajahnya saat ini juga.
"Hei, ceritakan aku tentang semua", sebutmu lirih, seusai tak mampu menjawab beberapa pertanyaanku tentang dunia.
Penyakit buas yang harusnya dapat kau cegah dan usir ini akhirnya berhasil mencengkrammu keras hingga buatmu lemas. Bukankah itu salah satu wujud nyata kemalangan?
"Celaka dapat menimpa semua orang. Di tengah jalan, di dalam tidur, atau di atas kasur. Kali ini giliranku. Ini hal yang wajar", ucapmu sambil sedikit terkekeh.
Kawanmu tak segera kau kabari, sehingga hanya keluarga dan tetanggamu yang mengulurkan jari-jari tangannya. Tapi aku bisa apa? Temanmu bisa apa? Kamu sudah terlanjur seperti ini. Apakah keajaiban akan datang? Bukankah keajaiban hanya ada dalam dongeng masa kecil? Dongeng dengan akhir cerita yang pasti? Padahal dongeng pun jika merunut pada versi aslinya, banyak yang berakhir tragis. Apakah kamu akan seperti itu juga?
Tuhan menitipkan pesan melaluimu, tentang ketidakberdayaan kita semua. Aku dan kamu yang seringkali lelah merubah nasib, sama-sama lemah di hadapan takdir. Lukamu yang lalu, hari ini maupun di hari esok tak mampu kusembuhkan. Dengan menangis sekalipun, aku tak mungkin ringankan seluruh bebanmu semudah itu.
Lain hari aku akan kembali, kamu akan kutemui. Jagalah senyummu, aku berpesan begitu sebelum menutup pintu kamarmu. Sejarah pernah bercerita tentang berbagai kilauan. Kilauan emas yang datang dari bagian bawah daratan, kilauan kejayaan berbagai kerajaan dan penjajah penguasa lautan, kilauan para martir yang berjuang demi kepercayaan. Namun semuanya menemui akhir.
Aku berdoa akan sebuah pengecualian; senyummu tidak demikian.
2 notes
·
View notes
Link
Hehe, ini tumblr alternatif punya saya, isinya diusahakan sajak-sajak yang panjang. Monggo difollow 😂
3 notes
·
View notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/8cfda2cbf160f1bc7b2506ac48f7f9b0/tumblr_p2wx10JPMo1vbjn8go1_540.jpg)
Pada puncak yang jalannya bila tak dilalui tak akan mendatangi Turis dengan bermacam wajah asli yang tersembunyi datang menghampiri Pada topeng yang tampaknya tak ada yang sekalipun peduli Sesekali aku pandang indahnya di salah satu Terpercik warna-warna, tanda kehidupan Bergaris tipis panjang berliku, sayat masa lalu pikirku
-
Padamu yang bersampul manis tak tebal lagi Hasratku berangan untuk miliki Berapapun luka kau hayati Sedalam apa sepi tak kau sadari
-
Ambil sisi terlemahku, peluk dengan penuh rindu Untai namaku dalam goresan tersuci doamu
5 notes
·
View notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/565bafd7328f9eee6b389edb0cb19f35/tumblr_p2ww9ytvm41vbjn8go1_540.jpg)
Jauh aku kelam membiru Jatuh membisu di laut kelabu Kemudian berkemudi sampan mencarimu Apa guna bila hanya menjaring rindu?
-
Apakah hidup harus kupeluk kuselami untuk mengepul arti? Akankah hal kecil yang gagal kumaknai akan memupuk benci? Lalu menghantui dalam kesimpulan yang nanti kusesali?
-
Pada perahu retak yang tak setabah manusia pemberi makan anaknya setiap hari; Disini menanti yang berkenan memaknai
3 notes
·
View notes
Text
Di Malam Itu
#2
Pada malam yang senantiasa ditakdirkan gelap, angin menusuk dengan dinginnya, menyulap mereka yang nyaris terlelap menjadi hanya menguap
Sembari menggaruk kepala dan leher yang mulai kaku tak terbiasa dengan beban kerja dan prinsip hidup yg tampak tak adil
Aku denganmu dalam jarak tak jauh, sedekat daun-daun diantara pepohonan dalam hutan lebat; seakan menyatu menutupi, tapi terpisah, hanya beberapa titik ujung yang saling bertemu
Harap yang dipacu malah jatuh kelam, memaksa untuk memangkas celah yang memisah, menjadikannya tiada
Kugenggam berani tanganmu secara pasti, segala harap menjadi satu dalam deklarasi ini yang mungkin tak mampu kau pahami
Kemudian tanya datang dari mulut yang biasa kudengarkan dengan seksama, menyeruak dengan maksud menyela, "Bagaimana mungkin aku menerima paksa halusmu, bilamana aku tak sedikitpun sukarela padamu?"
Dan angin bertiup menghamburkan dedaunan yang tak sempat terbang
Dan ingin tertiup menyanyikan kesedihan yang tak ingin terbayang
Di malam itu
kerlip bintang begitu kabur
Sayang...
3 notes
·
View notes
Text
Diperlukan Pelukan
Langkahmu membiru
Aku rasakan perangmu telah berlalu
Lalu kemudian kemana arah kemudimu menuju?
Kau berjalan di atas lautan tak tentu
Tak lagi terdengar sekalipun merdu
Pada berulangnya lagu air kakimu
Pada kasihmu aku menguping sedih
Ketika kau berujar-mengumbar pamit yg melukai layaknya janji;
“Sabarkan rasamu, rasakan janjiku!”
“Percayalah!”
“Bahwa aku diperlukan dalam pelukmu!”
“Di tengah area anti selamat
Sekalipun menjelma tawanan sekarat,”
“Dalam menit-menit sengit menuju pembebasan
Detik nafas tersengal menuju penghabisan
Aku diperlukan dalam pelukan”
2 notes
·
View notes
Text
Mendayu
Mohon mengertilah padaku saat dalam duka,
Dengan berjalan jauh, merintih bersama dalam lelah,
Lalu duduk menadah derasnya keringat dari muka,
Ketika pada langit sedikit memerah, kita menengadah,
Dan pada langit yang menangis, peluh dihanyutkannya,
Dan pada daun yg tak merapat, kita meminta teduh,
Dan karena angin tak sejuk namun menusuk, jarak pun terpangkas, ditukar untuk sejenak hangat yg sulit dilupakan,
Dan demi Tuhan yg memberi segala kesempatan, aku bercerita padamu akan semua mimpi yang didalamnya terpercik keberadaanmu.
Dengan harap kita mampu hidup meski dipeluk waktu yang mengekang,
Mengendalikan batasan sampai kapan kita diperkenankan untuk saling merasai komplikasi rasa dan logika.
0 notes