Text
Ada yang seharusnya tidak dekat
Seperti satu pohon dengan pohon lainnya
Tidak saling berkaitan
Dan tidak saling bergantung
Sekedar menyapa, seperti kicauan burung di pagi hari
Karena ada yang layak dekat
Dan ada yang layak jauh
Manusia memang selalu memaksakan
Jika memang seperti bunga dan lebah
Yang saling menjaga dan membantu
Layaklah untuk terus menjadi dekat
Saling bertaut dan bertukar semangat
Namun jika seperti benalu dan pohon mangga
Layaklah untuk dipangkas
Agar bisa terus berbuah, dan memberi manfaat untuk manusia
Benalu harus dibuang jauh-jauh
Dan tidak seharusnya meminta maaf
Buang jauh-jauh
Tutup memori
Lalu terus berfokus untuk mematangkan buah
Agar manis dan ranum
Bogor, February 8th, 2025
0 notes
Text
Aku dibesarkan tanpa perhatian utuh dari kedua orang tua sejak kecil. Semenjak adikku terlahir di dunia, kedua orang tuaku sibuk saja dengannya. Hingga aku terabaikan. Ibuku sudah menyadari hal itu. Kemarin beliau baru mengakuinya bahwa telah mengabaikan ku saat itu. Walau terlambat karena baru menyadarinya sekarang, tapi ada banyak pelajaran yang ku dapatkan.
Karena pengabaian itu, aku jadi ingin punya teman sebanyak mungkin. Untungnya, Allah SWT dekatkan aku dengan teman-teman yang positif. Sejak kelas 4 SD aku sudah ikut belajar agama di pesantren dekat rumah. Pulang ke rumah hanya ketika setelah sholat isya atau makan ketika lapar. Selebihnya kehidupanku lebih banyak di sana. Pulang sekolah, aku bergegas ke pesantren hingga sore. Pulang ke rumah hanya untuk mandi dan makan. Menjelang maghrib sudah pergi ke pesantren lagi. Bahkan hari libur pun begitu. Kecuali orang tua ku mengajak pergi jalan-jalan.
Ketika keadaan semakin sulit, aku semakin dekat dengan temanku. Pergi ke tempat baru, mudah sekali bagiku mendapatkan teman baru. Seperti sudah tertanam dalam bawah sadar bahwa teman adalah 'rumah' bagiku. Aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya di hadapan mereka.
Pertama kali aku tertarik kepada lawan jenis, perasaan gundah saat menstruasi pertama, semuanya ku utarakan kepada yang menjadi teman dekatku saat itu. Padahal hal ini seharusnya ku utarakan hanya kepada orang tua agar aku dibimbing untuk selalu taat dan berada di jalan-Nya.
Dalam masa pencarian teman dekat ini, aku seringnya dikecewakan. Pada akhirnya mereka tidak tulus, timbul rasa iri padaku, lalu perlahan kita menjauh. Jadi, dalam setiap fase hidupku, yang menjadi sahabatku selalu berganti. Mereka menjauh-menghilang-aku mencari sahabat baru-mereka berubah menyebalkan-menjauh lagi-menghilang lagi.
Mungkin ini karena aku yang terlalu bergantung kepada mereka. Seharusnya, berteman atau bersahabat seperti biasa saja. Namun lagi dan lagi, hal ini karena di rumah yang sebenarnya aku tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman sehingga jalanku harus seperti ini.
Hingga pada akhirnya, saat masa SMA yang paling krusial di masa-masa fase remaja datang, aku mendapatkan sahabat yang ku anggap dekat sekali. Aku menyayanginya. Aku bergantung padanya. Setiap kali gundah melanda, aku datang kepadanya. Hingga masa kuliah berlalu-lalu kerja-dan akan menikah. Selama itu kami bersahabat. Lalu ada saat dimana aku menyadarinya. Bahwa aku hanya dianggap seperti serpihan debu yang bisa dia bersihkan kapan saja. Aku yang salah karena terlalu menganggapnya berlebihan.
Aku dihina secara fisik dan mental. Walau dengan bahasa yang masih halus karena disisipkan pada obrolan kami. Dan aku terlambat menyadarinya. Padahal hal tersebut sudah terjadi sejak kami dekat.
Hinaannya seperti:
Suatu waktu dia pernah cerita bahwa dia bertanya ke pacarnya, "sahabatku itu cantik gak sih yang? Kok kayaknya gak ada yang suka ya? Kasian juga jomblo terus". Hinaan fisik mulai melanda. Namun bodohnya aku hanya tertawa meresponnya. Sakit hati baru datang dua hari kemudian.
Lalu, "ah aku gak mau main ke rumah kamu. Kan masih ngontrak. Nanti aja kalo udah punya rumah sendiri." Disini aku langsung diam tapi tidak berani marah. Bodoh, seharusnya aku langsung pergi saja saat itu. Lagi-lagi penyesalan datangnya belakangan.
Dia juga selalu bilang bahwa dia senang punya sahabat sepertiku. Karena dia selalu ingin menjadi superior sedangkan aku mampu menjadi inferior jadi dia senang aku selalu berada di bawahnya dalam hal apapun. Lalu saat keadaan dunia berpihak padaku, dia menjadi agresif. Semakin merendahkan dan perlahan menjauh.
Suatu ketika, saat pertama kali bekerja, uangku memang belum banyak. Aku juga masih membantu ekonomi orang tua. Dia ingin hangout bersamaku, tapi aku menolak dengan jujur bahwa aku tidak ada uang untuk hangout. Lalu setelah itu dia selalu membahas bahwa, "aku tuh pengennya kalo jalan-jalan sama kamu aja tapi kan kamu tau sendiri keadaan kamu juga gak memungkinkan". Memang betul, tapi haruskah diutarakan? Bahkan empati pun tidak punya.
Hingga puncaknya dia mengatai orang tua ku matre lah, kok aku yang miskin ini bisa dapet calon suami mapan sedangkan dia engga. Kok karierku bagus sedangkan dia engga. Kok aku bisa menikah bak princess sedangkan dia engga. Dan dia selalu menyombongkan diri bahwa pernikahannya menghabiskan uang puluhan juta yang sudah pasti aku tidak akan mampu.
Aku pernah berpacaran dengan lelaki toxic. NPD. Hingga aku selalu merasa rendah diri. Kuceritakan semua padanya karena memang kami saling mengenal dekat. Namun ujungnya, ketika ada suatu keadaan yang membuat kami berkumpul secara tidak sengaja, sahabatku lebih memilih mengobrol dengan mantanku dan mereka nyambung karena sesama sudah menikah sedangkan saat itu aku belum menikah. Yang selalu aku sesali, kenapa aku bertahan disitu seharusnya aku langsung angkat kaki saja. Ketika pamit pulang, ku utarakan pada sahabatku bahwa perlakuan dia kepadaku tidak menyenangkan. Dan dia menjawab bahwa mantanku juga sahabatnya, jadi masa dia cuekin. Padahal dia yang paling tau masalahku seperti apa. Tapi pada akhirnya dia selalu berpihak pada yang lain. Sejak saat itu, aku segera menjauh. Pergi dari hidupnya, dan memulai kehidupan bahagia dengan suami yang sangat mencintai dan meratukan-ku. Pada akhirnya, sekarang mantan sahabatku itu merasa aku ini sombong karena ketika ekonomi membaik aku malah menjauhinya.
Terima kasih atas pelajaran hidup yang diberikan kepadaku. Karenamu, aku jadi paham bagaimana mengenali karakter seseorang hanya dari raut muka 😆 sekian curhatnya hari ini.
Bogor, February 1st, 2025
0 notes
Text
Aku terlalu seratus persen untuk orang-orang yang hanya nol persen kepadaku.
Mungkin saja ini hanya persepsiku. Tapi aku merasakannya. Aku seperti tidak dianggap "ada" dan "berharga".
Yang sangat ku anggap sahabat, mungkin saja dia tidak menganggap ku spesial. Mungkin mereka hanya menganggap ku kenalan lama, atau ya sekadar "teman" yang hanya singgah untuk waktu di masa lalu.
Bisa jadi ini adalah buah yang kupetik dari diriku sendiri. Dulu, saat kehidupan tidak berpihak padaku, aku selalu memandang diriku rendah. Hingga mungkin muncullah suatu "kode" dari pancaran wajah dan ekspresiku yang mengisyaratkan orang-orang agak turut merendahkanku.
Jika memang iya, maka sudah saatnya aku peduli. Peduli untuk mulai mengubah persepsi kepada diri ini. Bahwa aku berharga. Bahwa aku layak untuk dihormati dan dicintai layaknya manusia lainnya.
Sudah saatnya juga untukku menjaga jiwa dan fisikku agar tidak terlibat jauh dengan orang-orang yang bertindak nol persen terhadapku. Kini, sudah semestinya aku melangkah ke depan bersama orang-orang yang tulus dan sama-sama saling memberikan seratus persennya padaku. Saling percaya, saling menghormati, saling mengasihi.
Bogor, January 17th, 2025
0 notes
Text
Fear of Missing Out
Orang-orang menyebutnya FOMO. Istilah anak muda zaman sekarang katanya. Dulu, rasanya bodo amat deh sama istilah itu. Tapi sekarang pas lagi ngalamin sendiri kok rasanya gak nyaman ya. Kayak merutuk diri sendiri untuk gak berperasaan negatif. Padahal kalau diselami, FOMO itu gak selamanya jelek.
"Kamu udah tau ini belum?"
"Kamu gimana? Udah tau kan?"
"Oh ya aku kayak gini loh, kamu gimana?"
Yep. Sekarang FOMO yang kurasain lagi ke arah negatif. Gak mau kalah dari orang lain. Padahal kalau diatur ke arah positif, bisa jadi penyemangat biar hidup gak selalu stagnan dan gak berkembang. Tapi, kalau FOMO nya udah cenderung iri dengki, itu yang bahaya.
Setelah sekian lama, perasaan ini muncul lagi. Iri lihat temen bisa ini, bisa itu, kok keren. Kenapa aku gak bisa? Kenapa aku banyak kurangnya?
Padahal, kalau diresapi, itu tanda kufur. Kalau kutanya sama suami, pasti dijawab, "kamu itu hebat, bisa ini, bisa itu, dan disebutkan semua kelebihanku". Tapi sayangnya, lagi-lagi aku selalu buta akan diri sendiri, padahal kalau melihat orang lain dari jarak 10 meter pun bisa terlihat sangat gamblang.
Intinya, yuk bersyukur. Kamu hebat dengan caramu sendiri ❤️
Bogor, March 13, 2023
6 notes
·
View notes
Text
Menjadi bunda untuk seorang anak perempuan yang terlahir dari rahimku sungguh menyenangkan, membahagiakan, dan penuh rasa syukur.
Sejak dulu aku sangat suka sekali dengan anak-anak. Lalu, ketika memiliki anak sendiri, rasa bahagiaku berkali-kali lipat datangnya.
Namun, membersamai anak 24 jam setiap harinya, terkadang membuatku merasa tak berdaya. Ketika lelah menghampiri, lalu aku mulai bosan menemani anakku bermain, rasa bersalah menghantuiku. Mengutuk diriku sendiri menjadi bunda yang lemah, dan banyak kurangnya.
Lalu, rasa bersalah itu dihapuskan oleh senyuman manisnya, ekspresi bahagianya ketika ia melihatku, atau meminta gendong. Sungguh, aku tak pernah berpikir sebelumnya akan menjadi sosok utama yang dibutuhkan oleh seseorang.
Terima kasih anakku, telah mencintai bunda dengan sepenuh hati. Bunda pun mencintaimu sepenuh hati. Terima kasih juga atas segala kesabaranmu menemani Bunda belajar setiap hari untuk menjadi Bunda terbaik bagimu.
Tumbuhlah sehat, panjang umur, dan bahagia selalu.
I Love You, Kaka Kay.. 🥰
0 notes
Text
Barusaja aku membaca sebuah buku "Berhenti Berhitung Mulai Merasakan" milik Raden Prisya. Di salah satu judul sectionnya ada tulisan mengenai sahabat. Katanya, biarlah sahabat yang dulu sudah bersama kita selama bertahun-tahun lantas menghilang karena satu dan lain hal, karena akan terganti oleh sahabat baru yang akan datang.
Sepertinya aku sedang "relate" dengan hal itu. Bisa dibilang aku telah kehilangan seorang sahabat. Bisa jadi dia berpikir bahwa aku yang telah meninggalkannya. Memang separuhnya benar. Namun, banyak sekali faktor yang menjadikan itu terjadi.
Pertama, aku telah menemukan jati diriku. Aku telah disadarkan bahwa selama ini aku hanya dianggap "rendah dan tak bernilai" dimatanya. Dari segi ekonomi tidak ada bagus-bagusnya, bahkan dia menganggap fisikku juga tidak memenuhi kriterianya. Hingga yang paling menyakitkan, dia sampai memvalidasi "apakah aku cantik dan layak dicintai oleh lelaki" kepada pacarnya. Waw!
Kedua, hatiku telah tersakiti oleh banyak sekali perkataan maupun sikapnya. Menjelekkan orangtuaku, merendahkan keadaanku, bahkan pernah mengabaikanku dihadapan orang yang pernah sangat menyakitiku.
Ketiga, jarak yang jauh telah membuat kita berbeda. Sulit bersua, sulit menyapa karena dia hanya ingin disapa dan sungkan menyapa.
Lalu, perlahan semuanya memudar. Aku merasa kehilangan, namun telah tertutupi oleh sakit hati. Kemudian, rasa itu perlahan pergi, namun sakitnya masih menetap tak kunjung pergi. Mungkin turut memudar, namun masih belum kurasakan ikhlas menyapaku di dalam hati.
Biarlah kutuliskan disini, agar semoga saja ikhlas datang menyapa dan aku bisa berdamai dengan luka ini. ❤️
31-01-23
0 notes
Text
Lifelong Learner
Kehidupan berubah begitu menjadi Ibu. Setiap hari rasanya diisi dengan penuh kebahagiaan dan suka cita karena menemani, membersamai, dan menikmati anak bertumbuh. Yaah semuanya kan selalu hadir berpasangan. Jika ada suka, pasti ada duka.
Duka menjadi seorang Ibu sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah kurangnya rasa syukur, sabar, dan ilmu. Jadi dukanya adalah karena aku, sebagai seorang Ibu masih harus banyak belajar bersyukur, bersabar, dan belajar ilmu tumbuh kembang anak dan parenting lebih banyak lagi.
Setiap hari, saat ini, rasanya menjadi hal baru bagiku. Seorang manusia kecil bertumbuh amat cepat setiap harinya. Kemarin masih belum marah jika tidak boleh bermain saat mandi atau makan, eh tiba-tiba saja hari ini langsung marah dan menangis jika tak boleh bermain saat waktunya mandi, ganti baju, ataupun makan.
Sepertinya, seorang Ibu perlu buku panduan khusus untuk setiap harinya dalam menghadapi anak. Andai bayi bisa berbicara dan diajak berdiskusi, mungkin ilmu tumbuh kembang anak dan parenting tidak ada lagi di dunia ini. Tapi kalau dibayangkan pun, seram sekali :(
Lalu, yang kupahami saat ini adalah ternyata menjadi seorang Ibu bukan berarti harus selalu memahami perasaan anak. Bagaimanalah pula seorang Ibu akan mampu memahami perasaan dan keinginan anak jika ia sendiri pun belum mampu memahami perasaan mereka sendiri, belum mampu memahami keinginan mereka sendiri.
Ternyata, bukan hanya seorang guru yang harus belajar tanpa henti (lifelong learner) seorang ibu pun sama. Harus menjadi pembelajar tanpa henti (re: sepanjang hayat). Sialnya, keduanya adalah profesiku saat ini. Maka, selamat belajar selalu untuk setiap detikmu, wahai diriku!
25-01-2023
0 notes
Text
#38weeks
Hello, little one! We are waiting for you here so badly.
Please, be strong and healthy and I will do the same.
I love you even if we had never met before.
So please, come out and we can see each other. I'm loving you since the first time you are exist in my belly.
0 notes
Text
Aku Kufur, Aku Lemah
Riuh gemuruh
Rasa gelisah membuncah
Entah mengapa dan bagaimana
Diriku rapuh tak berdaya
Aku merasa lemah
Seperti tak memiliki apa-apa
Rasanya seperti tak ada yang bisa kubanggakan dari diriku
Melihat keberanian orang lain saja aku gundah
Bisakah aku seberani dan setangguh mereka?
Namun nyatanya, aku tersadar
Aku hanyalah seorang yang sedang kufur akan nikmat-Nya
Sudah berkali-kali ku diperingatkan
Namun nyatanya, hatiku tak bisa berbohong
Aku harus terus bersyukur agar semuanya terasa indah dan tak ada lagi gundah
Bogor, March 21, 2022
0 notes
Text
New Chapter
Mencoba keluar dari zona nyaman memang sulit sekali, dan aku mengalaminya. Ketika aku sudah berdamai dengan hal-hal terkait pekerjaanku (tekanan, deadline, tuntutan kerja, hingga ekspektasi diri sendiri untuk semakin berkembang) aku diharuskan untuk pergi melepasnya. Melepas dengan alasan terbaik, yang kuyakini akan mengubahku menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Semenjak resign dari pekerjaanku kemarin, rasanya hari-hariku mulai sepi. Tak ada lagi bunyi berisik notifikasi dari grup kerja (padahal dulu aku merasa terganggu). Tak ada lagi feedback atasan jika aku mulai lalai, maupun curhatan kawan-kawan soal kesulitan maupun tekanan yang dialaminya.
Sebulan setelah resign, aku memasuki babak baru. Yaitu menjadi istri, yaa bisa disebut juga sebagai Ibu Rumah Tangga. Tidak terlalu mengagetkan, karena harus kuakui aku menikmatinya. Terlebih, suamiku sangat kooperatif soal pekerjaan rumah. Aku sangat bersyukur soal itu.
Lalu, ketika sudah nyaman di rumah aja dengan segala kegiatan dan kesibukan rumahan, aku akan memulai menjadi wanita karir lagi. Rasanya aneh. Apalagi ini daerah baru bagiku. Daerah baru, suasana baru, status baru, dan menjadi aku yang baru. Entahlah akan bagaimana nanti aku mampu beradaptasi dengan keadaan itu. Yang pasti, aku sangat bersyukur untuk saat ini, untuk pekerjaan baru ini. Semoga, aku mampu menjalani berbagai macam peran dalam sehari.
3 notes
·
View notes
Text
Pura-Pura
Tak jarang memang, orang-orang berpura-pura untuk peduli hanya untuk menjatuhkan. Aku memang belum pernah menjadi teman atau sahabat yang sempurna, baik hati, peduli, dan selalu mengerti. Namun, aku sedang berada di proses itu. Hingga akhirnya bom waktu meledak tiba-tiba dihadapanku. Bum! Lalu semuanya menghilang begitu saja.
Respek. Adalah kata yang dapat mewakili berbagai macam perlakuan baik dalam pertemanan ataupun persahabatan. Ya, sejak aku tahu bahwa selama ini mereka hanya memanfaatkan kelemahanku agar menjadikan mereka lebih superior dariku, aku sudah kehilangan respek-ku untuk mereka.
Mungkin terdengar klise, kekanak-kanakan, atau mungkin baperan. Namun itulah yang aku rasakan hingga saat ini. Memang sih, setiap orang memiliki potensi untuk menyakiti orang lain, bahkan menyakiti sahabatnya tanpa sengaja. Begitu pula aku. Mungkin saja, tanpa kusadari aku pun sering menyakiti orang lain, atau sahabat-sahabatku.
Kalimat-kalimat menyakitkan telah kutampung satu per satu. Di setiap pertemuan, selalu kudapatkan kalimat menjengkelkan yang membuatku patah. Lalu aku mulai tersadar, akan siapakah yang benar-benar peduli padaku. “Kamu hati-hati ya sama dia, apalagi hubungan kalian dilakuin jarak jauh. Jangan sampe kamu sakit hati lagi kaya dulu.”
“Ah masa sih dia serius sama kamu?”
“Oh ya? Sekarang semenjak pindah rumah, kamu jadi banyak berubah. Bukan jadi kamu yang dulu lagi. Pasti gara-gara pengaruh temen kerja kamu ya. Hati-hati jangan kebawa arus, mereka tuh gak baik”
“Duh gimana yaa, main ke rumah kamu? Ntar aja deh kalo kamu udah punya rumah sendiri, kan itu masih ngontrak juga.”
“Oh pantesan kamu kemaren ditinggalin sama mantan kamu, soalnya mungkin aja dia takut diporotin keluarga kamu.”
Aku mudah sekali percaya akan omongan orang lain. Tidak memfilter mana yang baik untukku dan tidak. Namun, karena terus menerus ditumpuk, aku jadi muak.
Bukankah seharusnya, semakin kita tahu kelemahan sahabat kita, semakin kuat pula dukungan kita terhadapnya agar tidak selalu memandang kelemahan itu sebagai sebuah kelemahan. Sebaliknya, seorang sahabat yang tahu kelemahan sahabatnya, akan menutupnya dengan kekuatan, dukungan untuk maju bersama-sama dan menutup kekurangan itu dengan apik hingga tak memdulikan bahwa kekurangan itu ada.
untuk Dinda, terima kasih atas semua dukungannya. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Aku gak pernah merasa rendah diri sama kamu. Namun sebaliknya, kamu menjadikan aku sama-sama kuat dalam melewati apapun.
Dalam kalimat “terpengaruh teman kerja”, aku akan menyangkalnya dengan tegas. Memanglah semua orang tidak sempurna, tapi janganlah men-judge orang lain seenaknya tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Mengenal 1-3 hari gak akan cukup. Bahkan, kita saja perlu seumur hidup untuk mengenal diri kita sendiri bukan?
Karena, bisa jadi aku berubah bukan karena terpengaruh orang lain. Toh teman-temanku yang lain tidak menganggapku telah berubah. Jadi, berkacalah dan temukan alasannya sendiri kenapa belakangan aku menghindar dan berubah. :)
terima kasih.
Cirebon, March 20, 2021
1 note
·
View note
Text
Aku Hebat dengan Caraku
Baru saja pagi tadi aku membaca buku yang berjudul "Berani Tidak Disukai". Lalu aku tiba pada bab yang membahas tentang kompleks inferioritas dan superioritas.
Kompleks inferioritas terjadi saat seseorang tahu dia punya kelemahan dan menggunakan kelemahannya untuk mencari dukungan orang lain.
Kompleks superioritas sebaliknya, dia akan menggunakan kekuatannya, bahkan prestasinya di masa lalu, yang akan dia banggakan terus hingga kini untuk meraih dukungan dan perhatian orang lain.
Ketika membaca buku, seringnya aku berpikir dan merasakan bagaimana jika aku yang memang seperti itu, seperti yang buku itu sedang bicarakan.
Aku masih sering merasa terlalu inferior dari orang lain. Terlalu banyak kekurangan yang kupunya. Hingga aku tersadar, orang-orang dengan kompleks superioritasnya menjadikanku senjata mereka untuk bisa merasa unggul.
Ada yang pernah bilang padaku,
"Adanya sosmed itu buat bikin orang-orang tau kalo kita bahagia, dan kita gak semenyedihkan itu. Biar orang-orang sadar, kalau keadaan hidup kita udah berubah. Kita udah gak kayak dulu. Kita udah bahagia, dan mampu beli apa aja yang dulu kita gak mampu beli."
Aku yang memang mudah termakan omongan orang lain, lantas terpikir. "Oh apakah memang begitu orang-orang berpikiran tentangku? Karena memang selama ini aku jarang sekali, bahkan sangat jarang memposting kehidupanku di sosmed."
Entahlah, rasanya aneh saja pamer ini itu. Bukan aku banget.
Terus, tiba saatnya ketika aku mengatakan. "Iya, aku udah punya calon suami."
Ternyata respon mereka hanya menertawakan. Seolah aku berbohong, dan aku membual hanya agar aku terlihat tidak mengenaskan sebagai seorang jomblo sejak SMA.
Hingga aku masih bertanya-tanya. Apa yang salah denganku. Bagaimana sekarang aku harus bersikap agar orang-orang tak lagi membuatku rendah.
Sahabat baikku berkata, "jangan berpikir seperti itu, kamu itu hebat. Orang yang ngerendahin kamu itu, mereka cuma iri karna gak bisa kaya kamu. Mereka gak mau kamu kalahin mereka. Mau itu dari hal prestasi, karier, sampe jodoh."
March 11, 2021.
Cirebon
0 notes
Text
Berteman Secukupnya
Ada yang bilang, bertemanlah secukupnya saja.
Jangan kau beri seluruh yang kau punya padanya hingga kau benar-benar percaya bahwa dia tulus berteman denganmu.
Ya, kisah ini akan kuceritakan. Aku sampai tak paham ada apakah gerangan pada diriku hingga membuat orang-orang seperti tak ingin kalah dariku. Hei! Aku tahu aku belum kaya! Tapi tolonglah, jangan membuatku seolah aku tak berharga.
Sudah banyak kejadian yang ingin membuatku sadar bahwa dia tak cukup baik untuk kusebut sebagai sahabat. Namun rasanya aku menutup semua pintu itu. Lagi dan lagi, aku memaafkannya. Mau bagaimanapun menyakitkan omongannya, aku akan tetap menjadikannya benar dan percaya. Entahlah akan sebodoh apalagi diriku ini.
Dari dulu aku ingin sekali menjadi sahabat yang selalu ada untuknya suka maupun duka. Namun memang bukan kriterianya yang suka membagi apapun dengan orang lain termasuk sahabatnya. Hingga seolah aku menjadi sahabatnya yang buruk. Tidak tahu menahu akan apa sebenarnya yang sedang dia alami dan rasakan. Padahal, sekuat apapun aku bertanya, tetaplah jawabannya "tidak apa-apa."
Lalu, aku menjadi kurang bersyukur pada hidupku sendiri karena kelemahanku selalu diungkap olehnya. Hingga aku mampu terhanyut dan terhasut untuk juga menilai orang dari sisi buruknya saja.
Tapi anehnya, saat ada orang yang menyakitiku dengan sangat kejamnya, dia malah membelanya. Membuatnya seolah-olah menjadi korban dan akulah pelakunya. Memaafkan memang harus, namun perkara sejarah seharusnya dia lebih tau siapa yang salah dan siapa yang benar. Bukankah aku sahabatnya?
Telah dia goreskan luka yang nyata entah untuk yang ke berapa. Kepercayaanku runtuh saat dia jelas jelas membela musuhku daripada aku. Melindungi musuhku dan mengabaikanku.
Lalu aku berusaha menguatkan diri.
Bukankah sudah seharusnya kau berdiri pada kakimu sendiri saja?
Cirebon, 28 Januari 2020
9:48 pm
0 notes
Text
Berkorban
Ada masa yang terlalu panjang
Jalan terasa terlalu terang dan menyilaukan
Seolah masa depan terasa luas namun dekat
Indah, bahagia, berdebar
Namun tak berarti jika hanya kau seorang yang merasa
Hidup adalah keseimbangan
Jatuh-bangkit
Hidup-mati
Pun gelap menutup cahaya
Atau cahaya membuka tabir kegelapan
Lihatlah, kau telah bangkit
Berterima kasihlah pada cahaya
Sebuah kesakitan tetap akan berujung manis
Terima kasih juga sabar, yang telah menemani melawan racun
Karena racun tetaplah racun
Bagaimanapun dan dimanapun berada
Perlahan, ia mencoba membuatmu gulita
Buta akan sekitar hingga dibuatnya kau merana
Kesakitan seperti terpenjara oleh waktu
Tak akan pernah mampu bangkit
Tenanglah sayang, dirimu adalah cahaya
Racun tak akan pernah bisa mencoba menyakitimu
Ia justru akan binasa ditelan oleh kesombongan semu yang diciptakannya
Mati, merana, membusuk oleh waktu
Sedangkan kau, kau akan semakin bersinar terang
Menawan
Dan mawar itu telah menantimu
Selalu siap sedia memelukmu
Mendukung segala keputusanmu,
Menyayangi dan mencintaimu tanpa syarat
Bahkan dunia iri akan kekagumannya padamu yang tiada batas
In the train to meet my blue rose.
Des 24, 2020 -- 8.12 a.m
0 notes
Text
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/4e9f0c73a28695195f86bb34a95d0446/27064fef9ce9edb6-04/s540x810/692adf7a5cfd4403d1fd39a3efb6d15732ca0e82.jpg)
Ada resah yang tak bermuara
Ada dingin yang menggigit
Rindu yang kutampung telah meruah
Meluber tak kenal celah
Membaur pada hati yang merekah
Oleh cinta yang ditabur tak kenal waktu
--Adethiaa
0 notes
Text
Terinspirasi dari drama "True Beauty" saat tokoh utama perempuannya mengatakan, "ternyata hanya aku saja yang menganggapnya teman".
Kita selalu mengulurkan tangan kita kepadanya, mencoba menghiburnya ketika dia hanya diam.
Namun ternyata dia memang tak butuh apapun dari kita. Dia hanya merasa kasihan kepada kita karena tidak memiliki teman atau bahkan tidak layak untuk menjadi teman karena kita yang terlalu hebat atau memang dia yang terlalu hebat untuk kita.
Merangkul. Sudah selayaknya begitu. Tidak mengada-ada dan tidak dibuat-buat.
Memang sudah seharusnya, kita berdiri pada kaki kita sendiri. Kita memeluk diri kita sendiri.
Karena menunggu uluran tangan dari seseorang yang kita anggap teman, akan menyusahkan dan membuat lelah hati saja.
Kamu hebat, Adethia..
Kamu hebat dengan dirimu sendiri.
Bersabarlah sebentar lagi. Sebentar lagi kau bisa pergi dari tempat yang sudah tidak menghargaimu ini.
Cirebon, 13 Desember 2020
0 notes
Text
Ada cinta yang terkirim melalui tiramisu
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/276f3cb31b03bb61a88c95bc5297e61a/7c211b938bffb3fd-b5/s540x810/3397bd646ec614b3edc20fbbdb136bf8b5420193.jpg)
Aku bilang, "Aku badmood".
Kamu bilang, "Mau kubelikan yang manis-manis?"
Lalu, sampailah pada abang go-food yang mengantarkan ini ke rumah.
Terima kasih, untuk segala kedekatan yang tercipta diantara ratusan jarak ini.
Aku layaknya pagi yang mencintai embun.
0 notes