Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
soal stasiun, bandara, dan terminal
Aku selalu merasa jika stasiun, bandara, dan terminal adalah tempat yang aneh. Mereka adalah saksi bisu di mana pertemuan dan perpisahan diselenggarakan. Soal tangisan selamat jalan atau tangisan haru menyambut seseorang pulang, bisa terjadi bersamaan. Lucu jika berpikir akan sebuah probabilitas, soal dua hingga tiga orang yang duduk bersebelahan dalam perjalanannya menuju kota yang sama, masing-masing bisa saja memiliki nasib yang berbeda sesampainya di tujuannya. Ada yang disambut dengn peluk dan kecup yang tak ada habisnya oleh orang-orang tersayang. Ada pula yang harus beradaptasi kembali dengan rutinitas yang membosankan. Ada dari mereka yang sampai dengan penuh kekhawatiran soal apa yang akan datang. Namun, ada juga dari mereka yang mungkin merasa, bebas.
Tempat-tempat itu tadi mungkin juga menjadi saksi sebuah pendewasaan akan pemahaman soal rindu dan definisi soal pulang. Soal syukur dan doa-doa keselamatan dirapalkan, serta di mana papan selamat datang dan selamat tinggal, dipajang bersisian.
0 notes
Link
Virtual PPT Night Sessions
Kalau boleh jujur, niatnya saya mau bolos menulis hari ini karena kondisi saya yang kurang kondusif. Tapi tiba-tiba malah mendapatkan ide untuk membagikan sesuatu ketika saya sudah siap-siap mau tidur.
Selama masa karantina ini, ada sebuah kegiatan yang rutin saya ikuti. Kegiatan ini bernama Virtual PPT Night yang dimulai dari sebuah komunitas fandom dari sebuah boyband yang saya ikuti ((yang kebetulan boyband-nya baru saja bubur bulan Januari lalu)). Dan semuanya berawal dari video di atas.
Video itu sempat beberapa kali muncul di timeline Twitter saya, sampai akhirnya ada salah satu akun yang saya follow yang memiliki ide untuk merealisasikan PPT-Night tersebut secara virtual karena masa itu adalah awal mulai merebaknya virus COVID-19 di Indonesia dan orang-orang mulai dianjurkan melakukan kegiatan work from home maupun #DiRumahAja.
Konsep yang diusung mungkin bisa dikatakan mirip dengan acara Pecha Kucha. Bedanya, batasannya diterapkan pada waktunya saja, bukan pada jumlah slideshow. Kegiatan Virtual PPT-Night ini sebetulnya terbuka bagi siapa saja, meskipun sampai saat ini, rata-rata presenter dan audience-nya berasal dari komunitas fandom K-Pop. Eits, meskipun presenter-nya rata-rata berasal dari fans K-Pop, tapi materi yang dibawakan sangat beragam dan tidak berputar pada K-Pop saja. Karena para presenter dibebaskan dan tidak dibatasi dalam memilih materi yang disampaikan, topik-topik yang dibawa dalam virtual PPT-Night ini cukup beragam. Mulai dari rekomendasi series, resep makanan, review buku, hal-hal berbau trivia (misal, slang dalam bahasa Australia), sejarah Indomie dan cat rambut, pengetahuan soal berbagai bidang pekerjaan, hingga topik-topik pengembangan diri seperti self-decision making. Semuanya disampaikan secara ringan dan santai (meskipun sedikit harus diburu-buru waktu). Para audiens juga diberi kesempatan bertanya kepada para presenter sehingga kegiatan ini jadi lebih interaktif (selain itu, para audience juga bisa berinteraksi lewat kolom komentar). Ketika kegiatan ini berjalan, semua peserta wajib mematikan video dan microphone mereka, kecuali host dan presenter yang mendapat giliran presentasi.
Kegiatan Virtual PPT-Night ini sebetulnya masih belum terjadwal secara rutin dan baru diadakan tiga kali hingga saat ini. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan ketika host kami sedang luang saat weekend.
Belajar dari sesi uji coba kami, pada sesi kedua dan ketiga Virtual PPT-Night dirancang dengan lebih sistematis. Jumlah presenter dan audience mulai dibatasi (meskipun jumlah audience-nya terus berkembang hingga sesi ketiga kemarin). Tiap presenter diberikan waktu maksimal 5 menit untuk mempresentasikan topiknya dengan kuota penanya sebanyak 2-3 orang.
Bisa dibilang kegiatan ini belum sempurna, tapi senang rasanya mendapatkan informasi dan bersosialisasi dengan orang-orang baru. Mungkin juga, banyak yang menganggap kegiatan ini akan merepotkan karena harus menyiapkan materi presentasi dan lain-lain. Tetapi, bukankah menyenangkan buat berbagi hal-hal yang kalian pahami dan suka kepada orang lain? Sekalian bisa juga belajar presentasi sambil mengisi waktu di tengah pandemi ini. Siapa tau bisa jadi alternatif kalau sudah bosan main Gartic.io sambil video call atau memberikan sensasi baru pada sesi zoom-night, WebEx-ing, Hangout, maupun berbagai applikasi video-conferencing yang kalian pakai untuk bersosialisasi dengan teman-teman.
ps: mau memberikan credits untuk host Virtual PPT Night kami tapi kami semua kenal lewat second account sehingga agak ragu untuk mencantumkan username-nya di sini, but thank you Kak D for always being a kind and good host during those PPT Night sessions.
0 notes
Text
nanti, nanti, dan esok hari.
Selama hampir dua bulan ini, kata ‘nanti’, mungkin menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan dalam berbagai okasi. Entah diucapkan pada orang lain atau kepada diri sendiri. Dimulai dari yang paling sederhana, seperti “nanti setelah corona selesai, kita harus ketemuan ya!”, yang sedikit banyak mengeluarkan materi, “nanti kalau udah kelar corona kita kudu liburan, plis!”, atau berbagai janji yang diucapkan pada diri sendiri, “nanti kalau corona udah kelar aku mau begini dan begitu!”
Ada banyak pengharapan yang dibawa oleh kata nanti. Padahal kalau diingat-ingat lagi, kata nanti, dulu lebih sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif dan dikaitkan dengan menunda-nunda sesuatu, “iya nanti!” “nanti dulu, sebentar”. Tapi sekarang, kata nanti menjadi sesuatu yang bisa sedikit memotivasi, setidaknya di tengah-tengah pandemi ini.
Jadi, aku harap kita semua akan diberi sehat dan selamat, sampai nanti. Dan semoga, kita semua bisa mewujudkan berbagai nanti yang masih tertahan hingga saat ini.
(Dan sementara kita menunggu nanti itu terwujud, mari melakukan hal-hal yang bisa dilakukan saat ini!)
Have a good day!
0 notes
Text
Hari #2, berkirim postcard dengan orang asing (literally)
Ada satu kutipan dari film To All The Boys I've Loved Before yang cukup menggelitik bagi saya. Kalimat itu datang dari tokoh utama, Lara-Jean, ketika sedang galau-galaunya menetapkan hati pada si pacar bohongan, Peter Kavinsky, atau Josh Sanderson, si sahabat kecil/tetangga/Lara-Jean's long time crush/mantan pacar kakaknya.
"My Life was a mess, but i could clean my room"
Mungkin kutipan itu kelihatannya nggak spesial-spesial amat. Tetapi, kutipan itu sedikit banyak mengingatkan pada –bisa dibilang– coping mechanism saya setiap ada hal yang mengganggu pikiran (meskipun pada dasarnya saya memang suka beres-beres, sih). Dengan intensitas berada di rumah yang semakin tinggi, kegiatan beres-beres kamar pun semakin kerap dilakukan, yang mengantarkan saya untuk membereskan laci meja belajar beberapa hari yang lalu. Saya menemukan beberapa koleksi postcard yang saya dapatkan melalui Postcrossing di laci tersebut (iya, intinya post ini cuma mau bahas Postcrossing aja kok tapi panjang banget yaw intronya).
Mungkin kalian sudah pernah mendengar soal Postcrossing melalui media sosial atau internet. Atau malah, kalian pernah ikut berkirim postcard lewat platform ini??
Postcrossing merupakan sebuah proyek bertukar postcard dengan stranger dari seluruh dunia. Awalnya, saya tahu soal Postcrossing ini dari salah satu illustrator kesukaan saya di Twitter. Sebulan sekali, ia rajin mengunggah Postcard yang didapatnya dari Postcrossing. Naifnya, saya sempat mengira kalau sistem Postcrossing itu seperti sistem subscription, alias kamu hanya mendaftarkan data dirimu lalu bimsalabim! sebuah Postcard akan datang ke alamat rumahmu!
Tapi ternyata saya salah (yaiyalah!). Sistem yang dipakai Postcrossing mungkin bisa dibilang mirip seperti barter. Jadi, setelah mendaftar di akun Postcrossing, kamu akan diminta mengirim sekitar postcard terlebih dahulu kepada 5-6 random people yang alamatnya dipilih secara acak oleh sistem lewat opsi Send A Postcard di akun kamu. Setiap postcard yang dikirim, wajib mencantumkan nomor identitas yang akan didaftarkan oleh penerima postcard di sistem (biasanya si penerima sekaligus meninggalkan balasan dari tulisan di postcard yang kamu kirim di kolom komentar). Setelah kamu melakukan konfirmasi jika telah mengirimkan postcard-postcard tersebut, kamu baru akan mulai menerima postcard dari para random people ini. Kalau berdasarkan pengalaman, setiap saya mengirimkan 6 postcards, biasanya saya akan menerima balik 6-7 postcards. Jadi, bisa dikatakan Postcrossing ini sistemnya ini bakbuk alias impas.
Setelah menerima postcard, kamu juga harus mendaftarkan ID Postcard yang tertera untuk mengkonfirmasi pada sistem Postcrossing dan pengirim jika postcard mereka sudah sampai di kamu (agar sistem juga bisa mengatur kalau si pengirim ini sudah bisa mendapatkan postcard dari orang lain). Kegiatan ini memang membuat kita kudu bersabar sedikit karena nggak jarang ada kasus postcard yang nggak sampai ke alamat tujuan. Ada juga yang baru mendapatkan postcard-nya setelah hampir dua bulan. Kalau tidak salah, Postcrossing juga memberikan tenggat waktu dua minggu untuk mengirimkan postcard dan dua bulan sejak postcard dikirimkan untuk konfirmasi penerimaan postcard.
Sebelum memutuskan ikut Postcrossing, salah satu kekhawatiran saya terletak pada biaya. Saya pikir, biaya mengirim postcard ke luar negeri akan mahal dan ribet (apalagi setelah membaca beberapa keluhan soal harga perangko dan pelayanan pos). Tapi ternyata, biaya untuk mengirim postcard bisa dibilang cukup terjangkau. Harganya tergantung pada negara tujuan dengan tarif kirim mulai dari 7000 hingga paling mahal 9000, kalau tidak salah. Tetapi, berdasarkan pengalaman, rata-rata saya cuma menghabiskan sekitar 28.000-36.000 untuk mengirim 6 postcards. By the way, saya kirimnya dari kantor pos dekat gelanggang UGM dan selama mengirim dari sana, saya cuma tinggal kasih postcard dan membayar ke petugas (hehe senang). Jadi, nggak perlu pusing memilih dan nempel-nempel perangko (meskipun jadi nggak bisa milih perangko, sih, tapi memang semuanya ada kelebihan dan kekurangan masing-masing).
Sedangkan untuk postcard-nya, bisa dibeli dengan harga yang beragam. Kalau saya sih, biasa membeli dari Posnesia karena mereka menjual set postcard dengan illustrasi yang lucu dan harga terjangkau (mereka juga sering mengadakan diskon, yeay!). Ada juga @lestari_id yang menawarkan ilustrasi postcard yang apik. Ada pula @Artlinx_store, yang menawarkan berbagai jenis postcard karya para local artist. By the way, kalau kalian tinggal di Jogja dan suka dengan pritilan-pritilan seperti sticker atau postcard, bisa coba datang ke toko Artlinx Store di Condong Catur. Sebuah godaan bagi para pecinta stationary dan printilan lucu. Selain toko-toko tadi, kalian juga bisa mencari postcard lewat toko buku (meskipun agak sulit), e-commerce, lewat media sosial local artist favorit kalian, atau malah, kalian bisa mencetak postcard sendiri menggunakan foto atau gambar kalian sendiri (saya pernah dapat satu postcard bergambar cabai kering dan bawang yang diambil oleh pengirimnya ketika Ia berlibur ke Tuscany).
Dari pengalaman Postcrossing yang cukup singkat ini, saya mendapatkan berbagai postcard yang menarik, baik secara isi maupun illustrasi postcard. Salah satu postcard favorit saya datang dari seseorang bernama Brad di Amerika. Ia memberikan sebuah coloring postcard dengan perangko jenis scratch and sniff bergambar popsicles. Sesuai namanya, ketika saya menggosok perangkonya, ada bau wangi yang menguar dari perangkonya. Meskipun terdengar norak, tapi bagi saya itu hal yang menarik banget??!! Selain itu, saya juga merasa senang setiap menerima postcard yang datang. Rasanya seperti mendapatkan hadiah yang nggak terduga (karena waktu pengiriman yang lama, sampai kadang-kadang kamu lupa soal postcard-nya).
Saya sendiri sebetulnya sudah berhenti melakukan kegiatan Postcrossing sejak tahun lalu. Tapi, gara-gara menemukan postcard-postcard ini, saya jadi ingin melakukan kembali kegiatan Postcrossing setelah pandemi ini berakhir (berdasarkan website Postcrossing, proyek mereka masih jalan hingga saat ini, hanya saja negara yang dipilih menjadi sangat terbatas). Selain itu, saya jadi kepikiran dengan orang-orang asing yang ‘disuruh�� untuk mengirimkan postcard kepada saya. Semoga mereka semua baik-baik saja di tengah pandemi ini.
ps: kalau ada yang mau kepo lebih lanjut soal Postcrossing, bisa dilihat lewat website mereka di sini. Thank you! Have a good day!!
0 notes
Text
Sebuah tulisan pembuka untuk #31HariMenulis
ehem... *mic check one two three..* Sebetulnya bingung banget mau menulis apa di hari pertama 31HariMenulis ini. Please, jangan mengharapkan tulisan intelektual dari peserta yang satu ini karena hidupnya akhir-akhir ini cuma dihabiskan dengan membaca berbagai fan works, belajar main gitar, catching up serial Brooklyn Nine-nine, frustasi mengikuti Hospital Playlist yang cuma tayang seminggu sekali, kadang-kadang disambi dengan baking, membangun rumah di The Sims, serta berbagai hal random lainnya. Ikut 31 HariMenulis pun merupakan buah dari perilaku impulsif yang didorong oleh ajakan teman-teman sebaya (yang berakhir dengan kontemplasi harus menulis apa di hari pertama sejak sahur tadi). Oleh karena itu, daripada saya pusing-pusing, mari kita buka dengan hal-hal ringan dulu, alias tulisan pembuka tanpa konteks (meskipun ke belakangnya mungkin juga diisi dengan berbagai tulisan ringan yang dipenuhi oleh konten TMI).
Jujur, meskipun bertahun-tahun jadi mahasiswa komunikasi UGM (cia, bertahun-tahun), ini kali pertama saya ikut ajang menulis yang paling kondang se-Ilmu Komunikasi UGM. Mungkin benar kata Mbak Diana Rikasari yang live IG-nya baru saja saya tonton sore tadi, #DiRumahAja membuat orang-orang punya waktu untuk mencoba hal-hal baru, dan ikut 31HariMenulis ini salah satu hal baru yang mau saya coba. Jadi, mari kita berdoa saja, semoga saya bisa istiqomah dan terdorong untuk rutin menulis di sini. Sekian dulu dari saya. Semoga saya bisa membawa tulisan yang lebih informatif untuk esok hari. Trims.
0 notes
Video
youtube
So, Red Velvet is back with a new mini album and Zimzalabim is their title track. My impression about the comeback actually a little bit complicated (but not so complicated if you’ve been into Kpop for so long). The song was okay, or at least better than their last title track, RBB. This song remind me a little bit with SNSD’s IGAB (i bet many of you also feel the same, right?) but it isn't as great as IGAB. I feel something missing about the song, even it’s very ear-catchy, but i think the song could be a little bit better. I lost the sense of the song after the EDM part. The EDM part is good, but the part after it was a little bit lacking and a little bit hasty, if i may say. And i really hate Wendy’s costume through the MV (i also hate other member’s costume but Wendy caught my eyes the most). I think they could do better with the color-palette of the costume. A little bit like Rookie-vibe costume would be good. But, aside from my rants, the other songs in the album are good. Zimzalabim is good but maybe because i expect a little bit too much and it makes me feel this way. As a song for an album called “The Ree Festival”, Zimzalabim definitely suit the theme very well. You could feel the vibes of magic and circus-like in the songs. And that is why I’m gonna be in a love-hate relationship with the song.
0 notes
Text
hi!
i was here a long time ago. But some bad things happen so i had to restrain my writing. And here i am, 2019, coming back again, a little bit mature and braver than before. I wish things would go differently this time.
1 note
·
View note