#thebeautyofsimplicity
Explore tagged Tumblr posts
borisrifelj · 2 years ago
Photo
Tumblr media
“Simplicity is the ultimate sophistication.” 👌🏻 Model: @smajll_for_the_camera 🤗 #simplicity #thebeautyofsimplicity #simplicityisbeauty #seeksimplicity #blackandwhiteportrait #bnwportrait #blackandwhiteonly #allblack #allblackeverything (at Tu negde u Beogradu) https://www.instagram.com/p/Cn372kysiAR/?igshid=NGJjMDIxMWI=
1 note · View note
Photo
Tumblr media
#thebeautyofsimplicity (at Arienzo, Positano) https://www.instagram.com/p/B1WuwtqCTqV/?igshid=122dwzzbr5gvj
0 notes
nyimasgandasari · 7 years ago
Text
the beauty of simplicity (#KenapaMilihZenius Bag.2)
*ceritanya prolog (sok excuse) sebentar...
Well, sebenarnya agak sedikit basi sih saya menuliskan bagian kedua tentang pengalaman saya bersinggungan dengan produk Zenius. Karena gini, saya emang niat-nggak niat ikut lomba blog Zenius yang diadain sama tim Zenius. Saya cuma punya dua alasan “iseng” ikutan lomba blog Zenius.
Pertama, saya pengen say thanks dengan tulus aja ke tim Zenius yang sebenarnya udah lama “menyelamatkan” saya dari merasa sendiri di program pendidikan kesetaraan--yang seringkali saya rutuki dengan sangat tidak bersyukur (bagian ini, kapan-kapan saya curhatin)--dan yang karenanya saya jadi banyak sadar akan sesuatulah. Jadi, karena merasa inferior kalo harus datang ke acara gathering yang mereka adain (sadar umur sih kalo mo gabung di acara gathering mereka, hiks), yaa daku punya kesempatan “komunikasi”--dan bilang terimakasih secara langsung--di ajang lomba itu sih.
Kedua, sejujurnya karena ada penampakan buku ini
Tumblr media
dan ini ...
Tumblr media
wehehe... Oleh karena saya abis baca Sapiens, saya jadi ngerasa “haus” sama bacaan-bacaan semisal Kosmos-nya Carl Sagan. Dan lagi, sejujurnya saya abis ngilangin buku teman baik saya yang kebetulan judulnya adalah the Math Book. Maka berbinar-binarlah saya saat si Glenn Ardi bilang di blog Zenius, doi and the gank bakal bagi-bagi buku (lagi) ke jemaah Zeniusian, dan salah satunya buku karya Om Clifford A Pickover itu. Kan saya salah satu jemaat Zeniusian juga. Jadi halal buat ngarep hadiahnya toh, yang penting ikutan nulis. Gitu, bukan? Hehe. Pokoknya pragmatis-oportunis bangetlah saya. Jadi ngarepnya sih dapat dua buku itu (ngarep dua-duanya!) Maruk kan...
Nah, maka pertengahan Juli kemarin saya langsung nulis catatan saya tentang #KenapaMilihZenius. Rencananya saya mau bikin jadi tiga bagian karena kalau udah nulis curhatan begini, saya jadi “bocor” banget. Puanjanggggg bakalnya. Kayak catatan part pertama yang bisa dikulik di sini.
Sayangnya, saya juga sudah harus menyadari satu kelemahan besar saya kalau sudah nulis bersambung; malas ngelanjutin. Kayaknya saya kudu nulis sekali napas aja gitu. Tapi ya nulis sekali napas juga napas saya nggak panjang-panjang amat. Hadeh. Intinya, setelah part pertama dan saya lupa ngelanjutin catatan #KenapaMilihZenius dan baru ngeh setelah tanggal 10 Agustusan kalau saya udah ketinggalan deadline lomba blog Zenius, yaaa saya pasrah lah. Pasrah kalo kayaknya saya emang kudu ngeganti The Math Book nya si Tyo (temen saya itu) pake duit dari kocek saya pribadi. Dan kapan-kapan lagi juga say massive thanks nya ke tim Zenius.
Tapi ternyata, saya lupa kalo saya sudah daftarkan diri saya ke tim Zenius lengkap sama link tumblr saya yang memuat curhatan tentang #KenapaMilihZenius Bag.1. Dan, entah kenapa Tuhan MahaBaik--tim Zenius juga MahaBaik, milih curhatan itu sebagai salah satu yang layak dikasih hadiah. Lahhhh...
Urusan kocek aman dong? 
Nggak juga sih. Karena saya juga udah terlanjur beli buku The Math Book yang saya hilangkan buat si Tyo yang udah misuh-misuh mau nelen saya hidup-hiidup karena ulah saya ngilangin buku kesayangannya. Dan pula, saya dapatnya buku dengan judul The Gap yang (nampaknya) sama bagus dengan dua buku yang saya sebut di atas (belum saya baca soale). 
Tapi masalahnya, kerianggembiraan saya demi dinyatakan terpilih itu nyisain rasa nggak enak juga sih. Nggak enaknya karena kan kisahnya masih ‘ngegantung’ gitu. Dan, saya ngerasa keadaaan jadi berbalik; saya yang awalnya bener-bener mau apresiasi kerja-nyata penuh faedahnya tim Zenius di ranah pendidikan, lah malah tim Zenius yang balik apresiasi saya dengan begitu riuh pada tindakan kecil saya yang concern di pendidikan kesetaraan khusus buat komunitas marginal sekitaran Pasar Baru-Sawah Besar-Pecenongan-Kota. Hiks, jujur sih jadi terharu dapat pesan-pesan dari awak Zen itu. Tapi yaa itu tadi, jadi ngerasa “iya apa daku sekeren itu? Belommmm.... Daku belummmmm keren, sumpah...!!!”
(ooooyyy, prolog kepanjangan oooy)
================================
Simplicity in Teaching
Ada rumus belajar yang saya ingat betul karena itu dititahkan langsung dari Aki (Aki dalam bahasa Sunda berarti kakek) ke saya berbelas tahun lalu (jadi inget mendiang Aki, euy. please mengheningkan cipta sejenak dong buat Aki daku.. kiriimin doa yaks#thx). Mendiang pernah petatah-petitih gini ke saya waktu saya ngeluh karena mengalami kesulitan “mengunyah” pelajaran;
“Nyim, rumus orang belajar tuh emang gitu; menaklukin hal-hal yang rumit. Kamu bersusah-susah dulu untuk membuatnya “simple” dalam ingatan. Tapi kalau ngajarin orang dibalik ya. Kelak, kalau ngasih tahu orang, kamu bikin hal-hal yang kayaknya rumit buat dipahami jadi mudah buat dipahamin. Gimana caranya, makanya belajar dulu naklukin hal-hal rumit, make it simple.”
Saat mendiang Aki ngomong itu, saya mungkin nggak benar-benar paham maknanya apa. Maklum, masih kinyis-kinyis anak kelas 2 or 3 SD gitulah. Tapi mendiang sering ngulang-ngulang pesannya. Sampai akhirnya saya agak paham pas baligh. Dulu pas SMP-SMA sering banget  diminta teman-teman untuk menjelaskan kembali materi yang absurd banget dijelasin sama guru. Konon katanya, karena ketika materi itu dijelasin lagi oleh saya, jadi simple sih. Waktu kuliah juga gitu. (*Ah, iya tahu kok tahu, ini klaim sepihak sih kalo nggak ada testimoninya. tapi anggaplah begitu. #eh :p)
Nah, masalahnya klaim itu jadi beneran klaim doang sih. Karena justru ketika saya jadi guru, kok ya saya sulit banget mengantarkan materi dengan simpel ke murid-murid saya. Bahasa yang saya gunakan tuh bahasa Dewa (maaf, tidak bermaksud menistakan salah satu kepercayaan, ini ungkapan yang bermakna bahwa saya ngegunain bahasa yang tinggi banget). -isme -isme yang saya jelaskan itu leterlek banget. Parahnya, saya berharap benar kalo murid-murid saya itu bisa “ngunyah” bulat-bulat isme-isme yang saya sampaikan dengan bahasa Dewa yang nggak napak bumi banget itu.
Coba bayangin, sekadar ngejelasin diferensiasi sosial aja, (dulu banget) saya pengen murid-murid saya paham tentang istilah-istilah macam struktur sosial, diferensiasi sama stratifikasi yang saya terangin secara abstrak. Misal, saya ngejelasin dengan bahasa nggak napak bumi macam ini:
“Jadi guys, diferensiasi sosial itu pengelompokkan masyarakat yang sifatnya horizontal, kalo stratifikasi vertikal. Kalo horizontal ke samping, kalo vertikal atas-bawah. Paham?”
Sedetik kemudian saya tanya, mereka nggak bisa jawab. Saya ulangin dengan penjelasan yang sama. Bukannya makin paham malah tambah gagu sih murid-murid saya. Iyalah. Istilah vertikal horizontal emang nggak bisa dicari padanannya lagi, Nyim? Nggak kreatif amat! *emang (#monologhati)
Nah hal-hal macam itu, sering banget terjadi di masa jahiliyyah saya pada rentang tahun 2007-2008 sampai awal 2009 silam. Lama amat? Iya, sayanya lemot berubah gitu. 
Jadi, kebayanglah ya yang jadi murid saya gimana. Stres kayaknya mereka belajar sama saya. Belajar jadi sebuah proses yang menyakitkan pastinya bagi mereka. Udah ya saya kerjaannya rah-marah mulu kalau murid-murid saya nggak bisa. Padahal, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya nggak pernah ngajar di kelas “normal” sama sekali. 
Maksudnya?
Ya, kelas saya adalah kelas anak-anak ajaib. Setidaknya buat saya sih. Sekarang mungkin lebih banyak anak yang normal sih. Di bawah tahun 2009, peserta didik saya punya kategori ajaib yang amat-sangat variatif. 
Pernah dengar nama John Kei? Kalo pernah dengar, nah saya pernah punya peserta didik yang anak buahnya John Kei lapis keempat. Kalau belum pernah dengar, coba cek deh seberapa pentingnya doi di sini. 
Pernah pula kemasukan (pakai imbuhan dan akhiran ke-an karena emang prosesnya nggak disengaja) bandar narkoba yang nyamar jadi murid. Atau salah satu kelompok ekstrimis yang bikin anak-anak saya pernah dibaiat di Gunung Ciremai secara berjamaah (meski nggak semuanya). Sering banget dulu saya mendapati anak-anak yang entah terpapar alkohol entah air seni (karena mungkin abis pipis nggak cebok dengan benar atau mungkin nggak cebok sama sekali), entah oli-matahari, saking sarunya bau-bau yang mampir hilir mudik mampir ke hidung saya. Kok tahan? Gak lah. Demi dapat anak-anak yang cemm begitu, ya saya nyuruh mereka mandi dulu sebelum belajar biar nggak bau. Biar mereka juga bisa belajar dengan nyaman. Intinya, anak-anak yang datang ke komunitas belajar saya (khususnya di rentang tahun 2009 ke bawah) datang dengan berbagai problem sosial yang nggak bisa seluruhnya saya dan kawan-kawan saya di komunitas, kelarin.  Tapi semakin ke sini sih, murid-murid saya lebih banyak yang “normal” nggak seajaib dulu, tapi tetap special sih.
Nah, terus apa hubungannya sama proses belajar yang saya kelola?
Banyak! 
Bayangin, anak-anak yang cenderung normal aja suka ngalamin kesulitan belajar or sering banget berhadapan dengan mood-minat dalam belajar, nah gimana sama anak-anak ajaib yang lingkungan sekitarnya masuk kategori “nggak banget” atau kehidupannya emang nggak kayak manusia or orang-orang “normal”? Sekali lagi, minat belajar di kalangan murid-murid saya ini benar-benar “barang mewah”.
Trus, sebenernya kenapa mereka mo balik lagi sekolah sih?
Ya, karena sejujurnya mayoritas mereka gabung ke komunitas belajar saya (awalnya) cuma untuk dapat ijazah tho’. Katanya sih biar gampang cari kerja. Gitu doang. Di sini saya makin sadar sih kenapa angka partisipasi sekolah orang Indonesia makin naik tapi HDI kita ya tetep segitu-gitu aja (nggak naik juga). Dugaan saya sih yaaa yang ikutan sekolah melalui kelompok belajar Paket ini mungkin aja ikutan dihitung sekarang-sekarang ini (di kota-kota besar kayak Jakarta, jumlah PKBM kayak komunitas belajar saya ini jumlahnya ratusan. Di DKI Jakarta aja jumlahnya mencapai 300an lembaga. Di Jawa Barat or Jawa Timur bisa seribuan). Kalo lembaga ini rata-rata punya murid 40 orang aja setiap tahunnya, tapi niatnya nyari ijazah doang nggak belajar terus lembaganya “ngeiyain”, coba hitung gimana mereka nggak kejebak dalam kesadaran palsu dalam belajar. Mereka seolah-olah "sudah” sekolah, tapi pengetahuannya yaa sama seperti saat belum sekolah karena nggak ngikutin proses belajar). Nggak semua murid pendidikan kesetaraan macam ini sih. Tapi sayangnya di komunitas belajar saya, yang datang hampir 70% begitu, dan demi untuk menjaga idealisme saya (tsaaaah), saya menolak menerima orang-orang yang cuma mo dapat ijazah tho’ tanpa belajar. Kenapa? Ya, nggak rela aja daku nantinya bakal dipimpin sama calon generasi bodoh di masa depan (kan sebagian murid-murid ini juga masih di usia sekolah yang lebih muda dari saya. generasi penerus saya kan). (Ah, ya... keluh kesah ini saya tulis kapan-kapan lagi lah).
Back to issue.
Nah hubungannya dengan proses belajar, gini. Suatu waktu ada titik dimana saya menyadari bahwa saya telah melakukan malpraktik dalam pendidikan-or pembelajaran. Kaitannya karena nggak bisa ngejelasin materi pembelajaran secara simpel. Kalau dokter ngelakuin malpraktik bisa dipidana karena bisa mengancam keselamatan orang lain bahkan nggak jarang berujung pada hilangnya nyawa seseorang. Kalau guru melakukan malpraktik dalam pembelajaran? Seharusnya sih dipidana juga. Tapi nggak pernah ada kan kasus guru yang membosankan dikenai hukuman penjara. Karena mungkin sih nggak kelihatan efeknya kayak dokter yang ngelakuin malpraktik. Tapi saya mahayakin kalau malpraktik dalam pembelajaran pengaruhnya berpotensi dibawa seumur hidup. Soalnya yang disasar itu hal-hal yang sifatnya intangible (nggak kasat mata) juga. 
Misal nih, saya coba ingat-ingat kenapa saya males banget ikutan pelajaran olahraga sampai sekarang. Kayaknya gegara dulu guru penjas saya nggak asyik, ngatain saya kuntet mulu, saya jadi males buat bisa mapel itu. Kan jadi mupuk rasa inferioritas saya. Hehe (dramak!). Padahal dulu saya jago banget main roundes atawa kasti. Atau sering banget kan kita dengar si A nggak suka matematika gegara dulunya gurunya kalo ngajar nggak asyik, nggak ngenakin, matematika jadi kayak momok yang menghantui. Terus efeknya dia beneran bertahan sama stigma “matematika menakutkan, matematika susah”. Nah, saya barangkali juga pernah melakukan malpraktik dalam pembelajaran. Dan, itu bahaya, meeeeen.
Salah satu peristiwa yang membuat saya yakin bahwa saya pernah melakukan malpraktik dalam pembelajaran adalah saya mengalami kejaidan di awal tahun 2009 (yang juga jadi titik balik saya buat “taubatan nasuha” sebagai tutor yang nggak asyik). Ceritanya sepulang saya dari ngajar di komunitas belajar saya, saya pernah dicegat sekelompok pemuda berhelm (karena mereka menutupi wajahnya dengan helm dan saya nggak bisa nebak itu siapa) yang mengenderai motor, sekitar 5 orang remaja cowok. Waktu itu saya pikir saya mo dijambret or dipalak sama genk motor nih? Udah mikir yang nggak-nggak sambil bersungut-sungut dalam hati merapal doa; “ya Tuhannn, kuliah belon lulus, kayaknya Apak-Emih daku juga belum sempet daku senengin, masa daku berakhir di sini sih?” 
Di luar dugaan, sekelompok remaja itu nggak berniat merampok saya sih. Tapi kira-kira mereka bilang gini ke saya waktu itu:
“Eh, lo, kalo anak-anak lo nggak bisa pelajaran lo, mending lo yang keluar dari tuh sekolah. Nggak usah maksa-maksa buat paham. Suka-suka anak-anak lo lah mo bolos mo nggak, mo pinter mo nggak. Hidup kita udah susah, nggak usah sok iye buat ngurusin kita paham nggak paham deh. Kalo pelajarannya susah ya susah aja.”  
Aksi remaja cowok ini semacam ultimatum entah darimana--tapi pastinya adalah pihak-pihak yang pernah saya bersamai dalam belajar, yang menunjukkan bahwa saya parah banget ya kalo ngejelasin materi?
Segitunya? Iyaks, segitunya! Saya juga sampai sekarang suka nggak percaya pernah ngalamin kejadian ajaib macam itu.
Kenapa nggak gelar perkara aja sih, cari salah satu murid yang terlibat dalam aksi itu buat dihukum karena udah ngancem-ngancem gurunya?
Saya pernah mendengar saran seperti itu. Tapi kok ya malah saya mikir saya punya andil kesalahan dalam kejadian itu. Betapa saya merasa saya sepertinya sudah melukai minat dan mood mereka belajar. Iya kalo cuma nggak mood belajar, seneng-seneng dikit mood bisa balik lagi. Lah kalo kejadiannya mereka jadi benci tentang pelajaran or materi yang saya bawain padahal kesalahannya di saya? Or kalo yang belajar bersama saya jadi menebar kebencian pada hal-hal yang saya sampaikan karena materinya nggak disampaikan secara asyik sama saya? Ini yang saya sebut sebagai malpraktik dalam pembelajaran yang saya lakukan sih.
Terus, saya jadi coba cari-cari cara supaya bisa nyampein materi lebih asyik. Banyak beli buku tentang apapun dan membacanya tentu saja biar bisa upgrade dan kekinian. Oh, konon katanya saya kalau komunikasi verbal tuh suka kurang di bagian a, di bagian b, akhirnya saya ambil kelas public speaking atau pelatihan-pelatihan jadi tutor yang lebih asyik gitulah, sampe iseng daftar beasiswa lanjut studi bidang komunikasi cuma biar bisa komunikasi yang asyik gitu ke komunitas belajar saya. Selebai itu sih saya. Yaps, karena saya makin sadar sih the most complicated skill is to be simple. Haha. Makanya tagline opening di Zenius yang dikutip dari Woody Guthrie ini any fool can make something complicated. It takes a genius to make it simple, betulllll banget.. :(
Pertemuan Murid-Murid Saya dengan Zenius
Di catatan #KenapaMilihZenius Bag.1 saya sempat cerita awal pertemuan saya dengan Zenius. Terus kalau sampai saya gunakan Zenius sebagai “teman” belajar-mengajar saya pada komunitas belajar yang saya kelola adalah karena Zenius memenuhi karakteristik gaya belajar peserta didik saya yang waktu belajarnya terbatas di PKBM/kelas (dengan berbagai alasan), nggak suka dengar yang ribet-ribet kalo belajar, dan bikin kepo. Contohnya, kalo saya muter-muter di istilah “vertikal-horizontal” buat nyampein konsep diferensiasi-stratifikasi sosial, Zen ngasih penjelasan yang cuma lima menitan buat daku “nemuin” padanan yang lebih simpel dalam ngenalin konsep itu ke murid-murid daku cemm video di link ini.
Lebih dari itu, saya juga merasa Zenius benar-benar memenuhi gaya belajar di era abad 21 karena unsur 4C semuanya masuk; critical thinking (materi Zenius, tulisan-tulisan di blog Zenius juga bikin pembacanya jadi mempertanyakan suatu fenomena yang dibahas), creativity (selain banyak materi di Zenius yang disajikan secara kreatif, dampaknya juga bikin kita kreatif sih), communication (awak Zen yang digawangi sama banyak orang muda enerjik-ganteng/cantik-dinamis-ketjeh ini bikin Zenius ngebuka saluran komunikasi yang dibutuhin banget sama penggunanya. lo nggak tahu bisa nanya di kolom komentar. Mo ketemuan juga kadang mereka bikin gathering. Email-email-an, chatting, japri, dijabanin. Produk Zeniusnya sendiri juga kan nyata banget sifat komunikatifnya), dan collaboration (Zenius tuh sebenernya partner belajar yang kalo bisa dimanfaatin sama orangtua dan/atau guru-guru di sekolah, bisa bikin hasil belajar peserta didik makin oke. Dan, di Zenius sendiri, menurut daku sih tim Zenius ngembangin belajar yang kolaboratif dengan cara menautkan berbagai info tentang film-buku-atau bacaan yang keren untuk memperdalam pengetahuan penggunanya pada suatu isu or materi pembelajaran tertentu). Kaitannya Zenius dan gaya belajar anak milineal, saya bahas di part ketiga (insya alloh, hehe).
Nah, meski awalnya sih susah juga buat ngajak murid-murid saya buat mau akses Zenius karena mereka juga sempat ignorance gitu demi saya suruh buka link tentang “pembenahan mindset berpikir”, tapi beberapa berhasil. Awalnya mereka nggak betah nonton video-video di Zenius Learning. Padahal menurut daku sih ini jadi pondasi awal. Tapi akhirnya saya nggak lagi maksa mereka nyuruh akses video-video tentang Zenius Learning dulu sih. Saya yang ambil alih untuk mengejewantahkan pondasi belajar ala Zenius ke murid-murid saya. Niatnya satu; kebangun tuh awareness mereka tentang konsep belajar dan lebur sudah niat-niat cuma mo dapat ijazah doang.
Lama kelamaan mereka semacam dapetin “masasih” moment gitu juga. Sering nanya; “masasih, kak?” terus daku jawab, yaudah coba aja dikau klik video Zenius Learning yang daku kasih tahu kemarin. Di situ sih mereka mulai ketagihan. 
Nah, perihal ketagihan belajar ini juga yang jadi kesan dari belajar bareng Zenius sih. Beberapa murid saya setelah dengerin video tentang Belajar dan Masalahnya itu hampir setengahnya berubah jadi punya sustainable motivation. Ini bukan buat mereka ngadepin doang Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) doang sih. Tapi meaning banget buat hidup mereka. 
Di bawah ini saya kasih foto saya dan salah satu murid saya; Aknes (yang di sebelah kanan). Doi usianya sudah 19 tahun ketika gabung ke komunitas belajar saya di tahun 2015 lalu. Putus sekolah pas kelas 2 SMP karena ngakunya sih bandel; nyoba-nyoba ngerokok (meski katanya sih nggak sempet narkobaan), bolos, maen ke klub malam, karena krisis identitas saat tahu doi adalah anak pungut dan ngerasa dapat perlakuan beda dari Ibu dan sodara-sodaranya saat Papahnya meninggal. Di satu titik, Aknes nyesel pernah sebandel itu dalam mengatasi krisis identitasnya dulu. Dia mulai membenahi diri dengan ngedapetin the second chance buat belajar lagi. Meski ngakunya udah tobat, penyakit lamanya Aknes nggak bener-bener sembuh sih menurut saya; dia masih seneng banget bolos pas belajar di PKBM saya. Meski alasannya karena lembur kerja (komunitas belajar saya belajarnya emang malam hari sih). 
Demi mendengar alasan-alasan yang sama saat jelang UNPK, saya akhirnya ngomong serius ke Aknes. Daku bilang, 
“Nes, daku sih nggak apa-apa kalo dikau nggak masuk sekolah karena PKBM tutor-tutornya nggak ada yang asyik. Dengan maksud dikau bisa cari cara belajar sendiri yang lebih asyik di luar PKBM. Nah, dikau kek gitu nggak?”
Aknes tentu jawabnya nggak, karena emang masalahnya dia kedistract sama kerjaannya (setelah beberapa kali konflik sama keluarga dia memutuskan buat menghidupi dirinya sendiri, kerja serabutan).
Kan jadi kasihan ya sayanya, maka saya memintanya untuk mengakses Zenius. Saya kasih username dan password produk Zenius buat dia belajar. Harapan saya simpel sih; sesibuk apapun dia nyari nafkah buat dirinya sendiri, dia nggak lupa juga buat belajar, dimana dan kapanpun. Sepekan. Dua pekan, saya cek progres nya belajar bareng Zenius. Nggak ada progres kayaknya. Sampe di pekan keempat Aknes wasap saya awalnya cuma nanya gini “Bu, sustainable apaan sih?” saya jawab singkat tentang artinya dan dia cerita soal penemuan terbesarnya; SUSTAINABLE MOTIVATION. 
Reaksi saya ketika itu: “Hah?” --nggak mudeng.
Baru pas dia cerita lebih dalam mengenai video tentang Zenius Learning tentang Belajar dan Masalahnya, saya ngeh. Aknes mulai ngikutin beberapa pembelajaran di Zenius saat dia harus lembur kerja dan sesekali diskusi sama saya tentang apa yang ia dapat di sana, sekadar minta konfirmasi atau penjelasan lebih dalam, ketika masuk sekolah.
Di hari akhir pelaksanaan UNBK Paket B, Aknes narik saya untuk nanya begini;
“Saya bisa ngelanjutin ke SMA or SMK formal atau negeri nggak, bu?”
Nggak tahu saya harus senang atau kaget. Karena saya memang selalu mengarahkan anak-anak yang masih usia sekolah (baik di Paket A setara SD atau Paket B setara SMP, or Paket C setara SMA) untuk kembali ke sekolah formal or melanjutkan ke jenjang sekolah formal berikutnya. Kenapa? Karena PKBM saya punya keterbatasan dalam melayani kebutuhan belajar yang lebih menyeluruh. Pun, di sekolah formal ada banyak pengembangan diri yang bisa diupayakan oleh murid-murid saya usia sekolah di masa perkembangannya. Tapi ini Aknes yang minta. Usianya sudah 21 tahun pada Juli 2017 lalu. Dan, saya khawatir rencananya yang ternyata dia jadikan sustainable motivation itu bubar jalan karena aturan usia seseorang pada sekolah formal. 
Demi untuk tak mematahkan mimpinya, saya jawab mantap ; “Bisa, Nes. Kenapa nggak bisa lanjut ke SMA Negeri coba?” Padahal ketika itu saya takut nada-nada khawatir keluar dari suara saya. Duh.
Saat hari pengumuman kelulusan, saya dibuat takjub oleh Aknes, karena untuk mapel Bahasa Inggris ia meraih nilai 90 (meski untuk nilai lain dia cuma dapat nilai so-so antara 50-65). Awalnya saya cuma ngeledek dia begini:
“Wah, pake jimat apaan nih, nilai dikau bagus begini Bahasa Inggrisnya?”
Aknes misuh-misuh saya ledek begitu dan bilang; “Ya, buat apa saya belajar bareng Kak Dona juga di Zenius kalo saya nggak masuk PKBM, bu?”
Kali ini saya benar-benar dibuatnya melongo... Beneran yaks efeknya Zenius segitunya buat Aknes? Ah, damn! Keren emang Zenius...
Segini dulu yaks...
bersambung lagi....
Tumblr media
=======================
Kesimpulan di bagian dua ini kira-kira begini:
1. Berawal dari kesadaran saya di masa jahiliyah saat jadi tutor nggak asyik, saya pernah merasa kesulitan dalam menjadi simple. Ngakunya sih saya orang yang simpel. Tapi komunikasi verbal saya kadang belepotan. Kalau mau nerangin materi yaaa nggak dicari dulu konteksnya biar bisa dipahamin sama murid-murid saya. Ngejelasin konsep struktur masyarakat saya pernah nyinggung-nyinggung teorinya Durkheim yang ketinggian. Sebelum ketemu Zenius sebenarnya saya trial and error sih buat nemuin pendekatan yang pas untuk nyampein materi-materi macam itu. Nyoba berbagai cara. Misal, ketika kelar baca buku Garis Batas nya Agustinus Wibowo, daku pernah minta murid-murid daku buat belajar konsep Diferensiasi Sosial dari buku itu. Tapi pas ada Zenius, cara itu saya padukan dengan meminta murid-murid juga mengakses beberapa materi terkait di Zenius. Hasilnya? Beyond my expectation! Kelas justru riuh sama diskusi tentang, “emang orang Islam sama Kristen itu contoh Diferensiasi Sosial kayak yang dibilang di Zenius ya Bu? Saya kok nggak setuju ya, Bu.” dan Yaps, saya lebih senang murid-murid kasih respon yang demikian dan menyusun kembali kepingan pengetahuan yang mereka dapat untuk diikat dalam ingatan di benak mereka ketika mereka menemukannya sendiri. Dengan begitu, mereka jadi active learner, bukan? Nyari referensi tambahan dll. Materi eksak juga sama gitu juga. Itulah #KenapaMilihZenius sampe saat ini.
2. Zenius memiiki pesonanya sendiri dengan menghadirkan the beauty of simplicity (tanpa harus ngegampang-gampangin sesuatu juga) di setiap pembahasan soal maupun materinya. Saya kadang berlatih menjadi simple dari Zenius loh.
3. Aknes salah satu pengguna aktif Zenius di komunitas belajar saya. Tapi saya juga punya dua lusinan kisah lagi yang hampir sama dengan Aknes. Rata-rata karena murid-murid saya, sama seperti Aknes, menemukan sustainable motivation yang dibilang sama Zenius dan mulai attempt to break her limits. Untuk pekerja kayak Aknes dan beberapa murid saya, #KenapaMilihZenius karena Zenius benar-benar memenuhi keutuhan belajar mereka yang menembus batas ruang kelas dan waktu. Kalau gitu, harusnya PKBM saya bubar aja yaks? Kan teratasi sama Zenius tuh. Hehehe. Seharusnya yaks! Tapi saya masih bergelut sama tugas-tugas yang belum selesai sih; bikin sebagian mereka yang belum terbangun kesadarannya untuk terus belajar, selalu belajar dan ketagihan belajar--kayak yang Zenius lakukan. Oya, Aknes juga sekarang lanjut di SMK formal di jurusan perhotelan dan pariwisata dan meski bukan di SMA, dia bertekad buat nabung biar bisa beli voucher atau produk Zenius lainnya biar bisa belajar tambahan di sela waktunya di luar sekolah.
4. #KenapaMilihZenius juga karena Zenius jadi tren gregets yang memenuhi pembelajaran abad 21 dengan 4C nya; critical thinking, creativity, communication dan collaboration. Di part ketiga saya coba bahas agak dalam (insya alloh) dan lebih serius (nggak mendayu-dayu curhat cemm ini). He..
5. Massive thanks kepada seluruh awak Zen atas apresiasi tulisan daku dan hadiahnya dan doanya dan semangatnya dannnn.... semoga kapan-kapan beneran bisa kopdaran sekadar bahas isu-isu tentang pendidikan or apapun yang bikin Indonesia makin keren... *tabikpokoknya :) (pembahasan hadiah dari Zenius kubuat terpisah yaks)
Rawamangun, 25 Agustus 2017
Keterangan foto selain foto saya : saya ambil dari internet... linknya lupa euy..
ini saya kasih bonus video sebagian keciiiiiil banget murid-murid saya yang pernah belajar bareng-bareng saya. Di dalamnya ada Aknes dan Vicky yang juga ikut memanfaatkan Zenius sebagai teman belajar mereka (dulu Aknes masih ngebayangin bisa jadi dokter gitu, sekarang katanya cita-citaya berubah mau jadi pengusaha bidang MICE, he..). Aknes dan Vicky sekarang masuk ke SMA dan SMK formal, ngelanjutin sekolah dan masa eksplorasi yang lebih gregets di sana. Anti, Helen sama Angga nggak sempat akses Zenius tapi berhasil saya bujuk untuk kembali ke sekolah (SMP dan SMA negeri/formal). Cekidot...
youtube
2 notes · View notes
ladrondearte · 6 years ago
Photo
Tumblr media
#thebeautyofsimplicity #spring #douthinkurspecial #meditate #everystep #nanjing #focus #unbalanced (presso Nanjing, China) https://www.instagram.com/p/BwM6ctzHmpl/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=hrqvlskk3wr2
0 notes
alisabarry · 7 years ago
Photo
Tumblr media
building layers of flavor | corncobs cooking in cream for corn soufflé. . . . #theartfulkitchen #summer #flavor #thebeautyofsimplicity #eatlocal #theartofslowliving #southern #liveauthentic #thatsdarling #f52grams #thatsdarling #foodstorieS #foodstagram #vegetarian #recipe
0 notes
pachecojam · 4 years ago
Photo
Tumblr media
18.06.2020 La belleza de lo simple. No hay nada que le guste más a un niño que soplar a un diente de león. Es la cosa más simple del mundo, pero es ahí donde radica su encanto, en la belleza de lo simple. Los peques vieron estos y querían todos soplarlos... Pero fueron bastante respetuosos unos con otros. Se pusieron de acuerdo y lo hicieron coordinados, y mira que es difícil... Creo que estamos haciendo bien nuestro trabajo, que es educar a los cachorros para que sean grandes personas en el futuro... :) #dientedeleon #labellezadelosimple #flores #naturaleza #dandelion #thebeautyofsimplicity #flowers #nature — view on Instagram https://ift.tt/2YRLv5F
0 notes
iairmenachem · 9 years ago
Photo
Tumblr media
היופי המרגש שבפשטות. בניה שאינה מתיהרת, אינה מתיימרת לכבוש שחקים, ובכל פרט מכל פרטי פרטיה תמצא סיפור מניב תבונה. בתים של אנשים אוהבים ארץ המתברכים בה מן השמים. La belleza emocionante de lo simple. Construccion que no se envanece, no pretende conquistar cielos, y en cada detalle de sus detalles minuciosos hallaras una historia que da sabiduria. Casas de hombres que aman la tierra, y desde el firmamento son bendecidos en ella. #thebeautyofsimplicity
0 notes
Photo
Tumblr media
"Within the Walls. Within the tunnel." One of the 10 Famous Plazas in Intramuros. Taken at Plaza Maestranza, Intramuros. November 2, 2015
0 notes
robertcraymer · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Putting up the #tree the first time in a long time .. It's a good day.. #thebeautyofsimplicity the #craymerguys celebrating #thankyou... (at Iota Brew Cafe)
0 notes
kristofferramos · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Tonight were running an acoustic set. #thebeautyofsimplicity #graceabounds #nextgenministries (at NexTgen)
0 notes
momentanerzustand · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Minimalism, Symmetrical, The Beauty Of Simplicity, Simplicity by Takaya wafa on EyeEm
0 notes
morningmode · 11 years ago
Photo
Tumblr media
Minimal #morningmode #loveit #thebeautyofsimplicity
7 notes · View notes
nickycawood · 11 years ago
Text
Enjoy the simple things in life!!!
0 notes
alisabarry · 7 years ago
Photo
Tumblr media
fresh ricotta + a drizzle of raw honey | #thebeautyofsimplicity @sundaysuppers #cooking #class with @littlethingsbyjulia #eatlocal #eatgoodfood #brooklyn (at Sunday Suppers)
0 notes
Photo
Tumblr media
Psalm 143:8 NLT
Let me hear of your unfailing love each morning, for I am trusting you. Show me where to walk, for I give myself to you.
Taken at Masinag. 6:45am
October 21, 2015
1 note · View note