Tumgik
#sunni vs syiah
kasamago · 6 years
Text
Islam Nusantara, Devide et Impera?
Islam Nusantara, Devide et Impera?
Kasamago.com — Belum jengah rasa gundah gelisah atas lahirnya istilah Sunni Syiah yang mempolarisasi Islam menjadi dua Kubu, Jazirah Arab vs Persia.
Secara politik, khususnya di kawasan Asia Barat atau Timur Tengah, separasi Sunni Syiah sukses menggagalkan persatuan Bernafaskan Religi guna membantu perjuangan pembebasan Palestina dari penjajahan Israel.
Islam Nusantara
Di tanah Nusantara tempat…
View On WordPress
1 note · View note
rmolid · 4 years
Text
0 notes
msspacewoman · 5 years
Text
Menuhankan Akal dalam Beriman itu Cara yang Salah. Jangan.
Disclaimer: ini akan jadi cerita yang panjaaaang dan cukup personal tentang iman, kepercayaan, dan perjalanan spiritual saya. Sebagai manusia biasa, saya ingin dimengerti. Jadi ga usah mulai baca kalau ga niat nyelesain daripada salah ngerti.
Sekitar 3 tahun lalu waktu saya masih beragama, ada satu masa saya rajiiiin banget berdoa memohon Tuhan meluaskan selebar-lebarnya perspektif dan persepsi saya tentang menikah. Sebenarnya bukan tentang menikahnya sih. Tapi lebih tentang berketurunannya. Tentang punya anak (tapi kan di Indonesia pada umumnya menikah itu untuk berkelurga dan berketurunan ya). Saya masih mahasiswa tingkat sarjana tapi sudah cukup concern soal itu. Alasannya, karena saya pikir niat saya untuk tidak berketurunan itu sekeras batu akik sehingga untuk melunakkannya butuh proses yang panjang. Saya ingin mempersiapkan proses itu sedini mungkin agar apabila Tuhan sang pembolak-balik hati manusia membalikan hati saya untuk menikah dan punya anak, jarak umur saya dan si anak tidak terlalu jauh hehe.
Eh tunggu. Maksud saya takut punya anak itu bukan takut melahirkan atau takut gak bisa berkarir karena sibuk ngurus anak. I loveeee kids. Anak bayi, anak kecil, dan anak besar itu terlihat sama-sama menyenangkan dengan jenis kesenangan yang berbeda. Saya hanya takut memberikan kehidupan dunia kepada makhluk innocent yang bahkan gak pernah mereka minta. Saya gak bisa menjamin kehidupan mereka di dunia akan baik-baik saja. Atau apakah saya akan jadi ibu yang baik. Atau apakah saya masih hidup sampai mereka besar untuk mendukung kebutuhan emosional, moral, dan finansial mereka. Apakah mereka akan bersyukur menjalani kehidupan sehari-harinya di dunia. Oh tapi tentu saya akan berusaha segenap jiwa raga untuk menjadi ibu yang baik, ikut asuransi kesehatan, asuransi jiwa, bahkan saya sudah mempersiapkan tabungan masa depan khusus untuk anak-anak saya nanti sejak umur 20 hehe. Tapi itu hanya rencana yang bersifat duniawi. Bagaimana persiapan akhiratnya? Seorang muslim harus percaya bahwa kehidupan sesungguhnya adalah setelah dunia: surga dan/atau neraka. Dan di kehidupan dunia lah semua amalan dipertimbangkan. Kehidupan dunia hanyalah cobaan. Masalahnya, tidak ada standardisasi(?) sistem pertimbangan amal manusia dalam menentukan nasibnya di akhirat. Bahkan dengan agama dan kitab yang sama, interpretasi dan aturan dalam menjalankan kehidupan dunia bisa berbeda-beda. Firkah Sunni-Syiah beserta mazhab-mazhab yang ada hanya sebagian kecil (walaupun mayor) perbedaan yang dapat kita temukan di dalam satu agama Islam. Di dalam masing-masing mazhab masih ada perbedaan ideologi (konservatif, fundamental, moderat, liberal, radikal,  dll), perbedaan pandangan dan aturan suatu kelompok/organisasi dengan kelompok/organisasi lainnya, perbedaan pendapat antar ulama dan antar cendekiawan, perbedaan pendapat antar keluarga dan teman, dst. Yang satu merasa lebih benar dari yang lainnya. Atau yang satu merasa paling benar di antara semuanya. Atau yang paling bijak akan berkata “Tuhan memang satu, kita yang tak sama” “semua mazhab itu benar, ikuti saja yang paling kamu yakini. Tapi harus konsisten. Jangan cuma ambil yang enaknya aja.” Hmm intinya, siapa yang bisa jamin anak-anak saya tidak akan masuk neraka? Sebaik apapun persiapan dunia-akhirat seseorang, siapa yang bisa jamin nasibnya di akhirat? Kehidupan akhirat selamanya loh. Gak bisa trial and error kayak di dunia. Buat anak kok coba-coba. Saya pikir waktu itu, masa anak-anak saya yang suci itu lahir untuk menanggung risiko berdosa dan risiko masuk neraka. Andai kemungkinan terburuk terjadi pada anak-anak saya, mungkin saya gak akan pernah bisa memafkan diri sendiri telah melahirkan mereka ke dunia yang penuh dosa ini.
Through a long journey and struggle later, here I am. A no-religion believer. Ini cerita (lumayan) lengkapnya:
Yak cerita di atas cuma intro. Saya nulis cerita ini bukan tanpa perdebatan dan konflik batin. Beberapa alasannya:
1.    Pengalaman spiritual itu cuma diri sendiri yang ngerti sepenuhnya. Orang lain hanya bisa meraba. Orang bisa salah memahami konteks. Banyak dari mereka juga mudah menghakimi. Lebih parah lagi kalau dikomentari hal-hal yang gak relevan dan sok tahu. Takut disalahartikan.
2.    Pengalaman spiritual itu sangat bersifat personal. Orang lain gak perlu tahu lah. Buat apa juga.
3.    Gak mau mengganggu iman orang lain. Kalau orang itu memang terbuka terhadap perubahan ya gak apa. Tapi kalau kepercayaannya bergeser hanya karena imannya terlalu gampang disetir atau dasar ilmunya gak kokoh jadi gampang terbawa arus yaaaa gak mau juga berperan sebagai agen perubahannya dia.
4.    Takut kalau tulisan ini sampai ke orang tua. Gak mau berargumen soal iman dan kepercayaan sama mereka. Gak mau dan gak ahli dalam menanggapi kekecewaan orang tua.
5.    Takut hubungan dengan orang-orang terdekat merenggang.
6.    Takut menyebarkan ilmu yang salah atau gak valid.
7.    Dll, dll, dll.
Tapi saya mau memberanikan nulis ini demi melepas sebagian beban dan emosi yang tertahan. Dan lagi, sebagai manusia biasa, saya ingin dimengerti.
Sejak kuliah, setiap ada kesempatan duduk bareng orang tua, sesebentar apapun, kayaknya pembahasan tentang menikah (bahasan ibu) dan pakai kerudung (bahasan ibu bapak) selalu tersisipkan. Saking seringnya pembahasan itu, saya maunya sih mati rasa aja setiap mereka ngomongin hal-hal itu. Ooo tapi tidak semudah itu Mr. Crab. Saya sudah terlanjur tercitra sebagai anak “baik-baik” di keluarga. Senyum, ngangguk-ngangguk, dan bilang “iya” adalah starter pack saya sebagai anak baik, juga sebagai anak pertama yang harus jadi contoh baik buat adik saya. Selain itu, ibu saya itu bukan orang yang bisa diajak diskusi secara rasional maupun emosional. Akan jadi masalah kalau pendapatnya diganggu gugat. Ayah saya sebenarnya bisa jadi teman diskusi, cukup bisa diajak bertukar pikiran. Tapi kalau soal akidah tauhid, diskusinya akan satu arah. Argumennya gak bisa diganggu gugat. Tapi memang begitulah seharusnya beragama.
Sejak kecil orang tua saya memberikan asupan ilmu agama yang cukup baik. Saya masuk TK islam yang setiap minggunya harus setor hafalan surat. Waktu SD ikut madrasah pengajian sepulang sekolah. Waktu SD-SMP panggil guru ngaji privat 2x seminggu belajar tajwid, fikih, dan kajian terjemahan. Dari kecil juga sudah terbiasa baca buku-buku keagamaan dan yang berbau agama seperti buku-buku fikih, novel remaja dengan tema akhlakul karimah islam, sejarah nabi-nabi, dan buku-buku sains keislaman. Bahkan beberapa tema, atas keingintahuan, saya cari dan beli sendiri seperti buku-buku sejarah islam dan kekhalifahan, teologi, bahkan nonton dvd debat ustaz mualaf vs pendeta murtad wkwk. Itu sudah saya lakukan sejak SD. Sejak kecil juga sudah dikenalkan dengan berbagai puasa sunnah dan solat sunnah. Orang tua saya gak pernah bosan mengingatkan untuk solat dhuha dan tahajud. Saya juga gak pernah ngebandel urusan ibadah wajib. Makan/minum diam-diam saat puasa atau sengaja skip solat wajib gak pernah ada sejarahnya di hidup saya. Soal solat, dari kecil saya sudah dibiasakan solat dengan cara-cara yang tuma’ninah, khusuk, dan sambil meresapi makna dari setiap bacaan solat. Makanya saya bingung kalau ada teman yang solatnya seperti sedang lomba lari. Berbagai doa dan dzikir setelah solat juga (hampir) gak pernah lewat. Sebagai muslim, saya juga orang yang cukup menjaga kehalalan makanan/minuman yang saya konsumsi. Keluarga saya memang cukup strict soal itu. Bukan sekadar tidak makan babi dan alkohol saja, tapi juga harus halal certified atau setidaknya yakin halal. Kami menghindari makan di restoran yang juga menjual alkohol, babi, dan makanan najis lainnya. Daging-dagingan juga harus jelas asal-muasalnya, apakah disembelih dengan cara-cara syariah. Bahkan ibu saya sering parno meskipun sudah ada sertifikat halal terpajang di restoran (misal resto Chinese), dia suka bergumam “beneran halal gak nih ya”. Dulu meskipun saya pergi ke luar negeri sendiri, saya yang suka makan dan mencoba hal-hal baru ini pun akan mencari resto halal atau setidaknya menghindari daging-dagingan. Saya ke Jepang makan kebab halal, bukan ramen. Makan sushi pun soy sauce-nya bawa sendiri yang non-alkohol. Ke Hongkong makannya pun kebab. Ke Swiss makannya kebab. Pokoknya kebab is life. Bosan? Tentuuu. Tapi saya gak ngeluh karena saya ngerti kalau beribadah pasti banyak cobaannya. Dunia hanya sementara, maka bersabarlah. Intinya, saya adalah anak “baik-baik” yang gak ngebandel urusan ibadah. Nilai-nilai agama cukup terindoktrinasi dengan baik dalam hidup saya. Dan berargumentasi soal tauhid dengan orang tua adalah kesalahan besar. Bisa pingsan mereka. Kemungkinan terburuknya dicoret di kartu keluarga hehe.
—————————————————————————————
Saya bilang gak pernah ngebandel soal ibadah, ooo tapi sebagai anak muda yang hidup di lingkungan moderat tentu saya ada bandelnya. Saya pacaran, saya bersentuhan dengan lawan jenis, saya gak pakai kerudung, saya ngegosip (mostly menikmati/mendengar gosip sih, bukan ikut bergunjing), saya mengumpat, yaa gitu deh. Saya melakukan dosa-dosa yang sepertinya sudah menjadi hal-hal lumrah di lingkungan moderat Indonesia seolah itu bukan suatu kesalahan. Saya tahu itu salah, tapi saya selalu berpikir “masih muda. Nanti taubat kalau sudah agak besaran.” Hmmm padahal saya gak suka dengan prinsip beragama sesuai budaya. Seharusnya aturan agama itu berada di atas segala aturan yang ada di muka bumi ini. Saya gak suka dengan prinsip beragama itu ambil aturan yang enaknya saja, sedangkan menutup mata untuk aturan yang tidak disuka. Tapi namanya juga masih muda ya. Gak bandel gak asik.
Soal pakai kerudung, saya gak ngerti sih kenapa orang tua saya gak strict soal itu sampai saya masuk kuliah. Saya ingat waktu SMP, dengan ilmu yang saya dapat dari Quran, berbagai bacaan, dan ceramah pak ustaz, saya memutuskan untuk pakai kerudung. Bukan kerudung segitiga warna-warni, tapi kerudung panjang polos yang tidak mengundang perhatian yang menutupi dada dan sebagian besar lekuk tubuh. Saat saya sampaikan niat itu kepada ibu, dia malah kurang setuju. Katanya sayang masih muda nanti kayak ibu-ibu. Saya kira saat itu ibu saya belum terpapar ceramah ustaz-ustaz yang menggemparkan soal dosa dan neraka, tentang dosanya tidak menutup aurat. Dulu juga jumlah ibu-ibu dan teman-teman yang pakai kerudung tidak sebanyak sekarang. Belum ada hijab and hijrah wave. Sosial media belum populer. Tanpa restu dari ibu, saya urungkan niat untuk pakai kerudung. Dalam hati kecil, saya sebenarnya senang ada alasan kuat untuk tidak pakai kerudung. Kan restu ibu itu segalanya. Saya pikir waktu itu, kerudung itu terlalu visual. Akan ada lebih banyak tanggung jawab untuk menjaga nama baik Islam kalau orang lain tau saya muslim dari berkerudung. Akan ada juga hak-hak saya yang sulit didapat sebagai perempuan berkerudung, misal akan lebih susah bergaul di dunia internasional. Ya itu yang saya pikirkan saat itu, semacam gak mau pakai kerudung tapi takut dosa. Baru sejak kuliah, orang tua saya cerewet soal kerudung. Membeberkan dalil-dalil dan menjelaskan konsekuensi serta dosa-dosa dari tidak menutup aurat. Saya pikir dalam hati “ya gimana yak”. Namun satu hal yang saya sesali dari gak berkerudung adalah persepsi banyak orang terhadap orang yang gak berkerudung. Mereka pikir hanya orang yang berkerudung yang bisa relijius. Agak sebel kalau saya gak di-include ke dalam orang-orang yang pantas mimpin doa atau solat hahahaha ya akan saya tolak malu-malu juga karena jadi imam/pemimpin itu tanggung jawabnya besar tapi yaaaa namanya juga manusia.
Soal pacaran, sepertinya karena orang tua saya juga berasal dari muda mudi yang pernah pacaran, mereka tidak sepenuhnya setuju dengan sistem taaruf. Soal fikih dan tauhid, orang tua saya memang strict. Tapi soal ibadah menikah, mereka masih berpikir cara terbaik untuk mengenal calon pasangan adalah dengan pacaran, bukan taaruf. Tapi tentu pacaran yang sesuai dengan perundang-undangan mereka. Pacaran yang mengharamkan seks bebas tentunya, yang gak boleh ke luar kota berdua, yang gak boleh ada kontak fisik berlebihan, yang gak lebay, ya gitu lah wejangan yang sering mereka berikan. Saya bukan orang yang “suka” pacaran sih. Gak nyari dan gak pernah nargetin punya pacar juga. Kata “pacar” atau “pacaran” aja buat saya terdengar gak enak di telinga. Cuma saat saya punya pacar, memang momennya aja yang tepat hehe. Saat kuliah, saya berpikir kalau pacaran itu sistem yang aneh. Pacaran itu gak ada sistem legalnya. Padahal, kalau dua orang saling tertarik romantically, kenapa ya gak berteman aja tanpa harus ada title “pacar”. Bukankah orang secara alami akan menentukan skala prioritasnya sendiri (dalam hal ini orang yang diajak berinteraksi) meskipun tanpa embel-embel “pacar”? Beda dengan pernikahan yang di dalamnya diatur hak serta kewajiban secara hukum (agama maupun negara). Well, itu bisa jadi pembahasan lain.
—————————————————————————————
Entah karena pendidikan agama yang diberikan cukup intensif sejak dini atau sifat saya yang memang mudah penasaran atau gabungan keduanya, ilmu keagamaan selalu menarik perhatian saya sejak kecil. Ilmu agama saya memang masih sangat jauuuh dari apa yang dimiliki para ulama maupun ustaz/ustazah, tapi saya merasa memiliki dasar-dasar ilmu yang cukup untuk jadi bahan berpikir. Waktu kecil saat belajar agama sebatas belajar tata cara beribadah, belajar tajwid, sejarah keislaman, menghormati sesama manusia, mencintai kebersihan, belajar ikhlas dan bersabar, mencintai Allah dan Rasul, rasanya beragama itu damai dan indah sekali. Saya diajari untuk mencintai agama Islam serta kebesaran yang dibawa olehnya. Dan saya memang cinta. Belum lagi teori-teori sains yang disebutkan dalam Quran jauh sebelum ada teknologi yang mampu membuktikan itu. Tambah cinta lah. Agama gue keren. Ilmu tentang dosa dan neraka belum terlalu banyak disebutkan di fase itu.
Seiring bertambahnya usia, kita diasumsikan sudah siap menerima pelajaran dengan level lebih tinggi: pahala-dosa; surga-neraka. Saya belajar bahwa mencuri itu dosa, melawan orang tua terutama ibu itu dosa, menyembah selain Allah SWT itu dosa, tidak berpuasa ramadan itu dosa, dll. Konsekuensi dosa adalah masuk neraka. Maka berbuat baiklah. Raih pahala kebaikan sebanyak-banyaknya. Maka ganjarannya adalah surga. Tapi saya tidak pernah diajarkan bagaimana sistem perhitungan pahala-dosa tersebut dalam menentukan nasib kita di akhirat nanti (surga atau neraka). Kalau pun ada, jawabannya berbeda-beda. Tapi jawabannya selalu terlalu diplomatis menurut saya. Entah lah, semakin mencari tahu, semakin saya pusing. Maka saat itu saya hanya ingin beribadah saja dengan baik. Urusan surga-neraka mungkin akan saya temukan jawabannya suatu saat nanti. Atau kalaupun tidak, yasudah lah yang bisa saya lakukan hanya beribadah sebaik mungkin dan berharap masuk surga.
Di usia-usia akhir sekolah dasar, pikiran-pikiran yang mempertanyakan tentang ketuhanan, dosa, dan neraka semakin berkembang. Apakah tuhan itu benar-benar ada? Bagaimana dengan nasib orang-orang non-islam di akhirat? Apakah mereka semua masuk neraka? Setiap pertanyaan tentang hal-hal itu saya lontarkan ke pak ustaz atau orang tua, jawabannya selalu seragam walau tidak sama: “manusia wajar mempertanyakan hal-hal ghaib seperti itu. Kewajiban kita hanya beribadah. Surga dan neraka itu hak prerogatifnya Allah.” Jawaban ibu saya lebih keren lagi: “Ih jangan suka mikir kayak gitu. Serem.” Tapi seperti biasa, saya bukan orang yang mudah puas apalagi terhadap jawaban-jawaban yang tidak memuaskan logika seperti itu. Tapi katanya, beragama itu jangan mengandalkan logika. Cara terbaik untuk beragama adalah dengan beriman. Dengan percaya. Tapi bukannya seeing is believing? Bagaimana bisa percaya kalau tidak pernah melihat atau setidaknya ada bukti ilmiahnya? Lagi-lagi, cara terbaik untuk beragama adalah dengan beriman. Maka saya memutuskan bahwa berargumentasi soal keimanan dalam beragama adalah suatu paradoks. Meskipun dengan kesadaran itu, saya tetap lah seorang anak yang menjalankan kewajiban beribadah, mencintai agama serta sejarahnya, serta takut akan dosa. Walaupun di sisi lain saya juga seorang anak yang selalu mempertanyakan tuhan dan surga-neraka. Oh ya, saya ingat di fase ini saya menciptkan sendiri jawaban sementara untuk menenangkan akal atas pertanyaan seputar “apakah surga hanya untuk orang islam?” yaitu: orang akan dinilai sesuai apa yang ia percayai dan ia ketahui. Misal seorang sunni muslim dengan mazhab Syafi’i akan diadili sesuai dengan hukum-hukum dalam mazhab Syafi’i yang ia percaya. Seorang katolik akan diadili sesuai hukum-hukum yang ia percaya. Seorang, budha, atheis, dll juga akan diadili sesuai kepercayaannya masing-masing. Jadi pengadilan akhirat bukanlah berdasarkan satu agama, melainkan berdasarkan pertanggungjawaban seorang manusia dalam menjalankan kehidupan dan kepercayaannya di dunia. Saya kira saat itu jawaban ini adalah jawaban paling masuk akal yang bisa menenangkan kepala saya yang bergemuruh menanyakan hal-hal yang tidak bisa dijawab oleh orang lain. Selain itu, sejak dulu saya juga sudah berpikir bahwa tidak ada kebenaran universal. Semuanya relatif terhadap sesuatu. Saya memiliki teori itu sejak lama jauh sebelum saya tahu memang ada teori filsafat yang membahas persis hal itu.
Kemudian fase berikutnya adalah fase terpisahnya urusan ibadah dan kepercayaan. Gak kok, masuk ke fase ini bukan sebuah proses yang instan. Baru sekitar usia pasca SMA dan masuk kuliah saya masuk ke fase ini. Di fase ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa saya beragama dan beribadah didasari oleh ketakutan, bukan lagi cinta atau bangga. Istilah “semakin tahu, semakin tidak tahu” sepertinya kurang tepat untuk menggambarkan proses saya dalam belajar agama. Mungkin lebih cocok dengan istilah “semakin tahu, semakin takut”. Semakin saya belajar, semakin banyak saya tahu tentang dosa dan siksaannya. Memilih-milih aturan yang mana yang ingin saya patuhi hanya membuat hidup tidak tenang. Solat lima waktu tetap tidak pernah lewat, berdzikir tetap rajin, solat qabliyah-ba'diyah boleh lah, mengaji (hampir) setiap hari, solat dhuha kalau tidak malas, solat tahajud kalau tidak ngantuk, puasa wajib di bulan ramadan, puasa senin kamis sekali-kali, kehalalan makanan/minuman tetap dijaga. Tapi saya beribadah bukan lagi karena cinta atau kebutuhan rohani, tapi untuk menggugurkan kewajiban serta koleksi pahala demi masuk surga. Beragama dan beribadah bukan lagi suatu hal yang mudah dan natural. Ada proses berjuang melawan ketakutan yang berat di dalamnya. Di dalam proses ini, saya berpikir bahwa ini adalah hal yang normal bagi seseorang yang beragama dan terbiasa beribadah sejak kecil. Akan ada saatnya keraguan dalam beribadah sampai menyakitkan kepala. Akan ada saatnya mempertanyakan tuhan membuat kita sulit tidur. Akan ada saatnya berpikir tentang akhirat membuat kita gelisah seharian. Dan yang paling meresahkan, semua itu harus dilalui sendirian. Gak ada orang yang tampak pantas untuk dijadikan tempat cerita dan diskusi. Gak ada orang yang dengan tega saya jadikan tempat sampah kegelisahan semacam ini. Saya tetap berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah fase normal seseorang yang beragama dan akan ada saatnya fase ini berlalu. Tapi di fase ini juga trauma masa kecil satu persatu dengan perlahan muncul ke permukaan, perlakukan abusive ibu, sexual harassment oleh sepupu sendiri (tai deg-degan sambil gemeteran nih ngetiknya), dan beberapa hal imoral lain yang datangnya dari keluarga sendiri. Semua belindung di balik alasan-alasan agamis seperti “surga berada di bawah telapak kaki ibu”, “tutuplah aib saudaramu, maka Allah akan menutup aibmu pada hari kiamat”, dll. Siapa yang bisa mengerti permasalahan seperti ini kalau bukan diri sendiri? Saya capek berpikir dan saya capek berpikir sendiri. Hal yang paling saya inginkan saat itu adalah mati dengan tenang. Berbagai cara untuk bunuh diri dengan “aman” dan yang paling tidak merepotkan orang lain sudah saya pikirkan. Tapi saya masih takut dosa. Semacam hidup segan, mati tak mau. Hingga ada saat-saat di mana pikiran seperti ini terlalu mengganggu atau menyerang tiba-tiba sampai saya yang gengsian ini tiba-tiba menangis di tempat dan waktu yang tidak tepat. Memalukan.
Niatan untuk tidak punya anak juga mulai muncul pada fase ini. Muncul ketakutan untuk menikah dan berkeluarga. Takut anak-anak saya berdosa, takut akhirat tidak berpihak baik terhadap mereka. Takut kalau melahirkan makhluk suci ke dunia yang penuh dosa ini adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya. Hidup saya tidak lagi seindah quotes ukhti-akhi yang baru “hijrah” di instagram. Teman saya dalam berbagi masalah ini hanya Quran, buku-buku, solat malam, channel Youtube ceramah ustaz-ustaz dan kajian agama, dan forum-forum diskusi di internet. Iya iya katanya belajar agama itu harus ada gurunya secara fisik, ga boleh dari buku atau internet aja nanti dibisikin setan. Yaa tapi saya bukan sedang mencari pelajaran agama. Bertahun-tahun saya punya guru agama: di sekolah, di madrasah pengajian, di pesantren, guru ngaji privat di rumah, ayah saya, buku-buku, sampai ustaz-ustaz di tv. Saya hanya sedang mencari ketenangan hidup. Saya pernah mencoba cari pengajian yang bagus, tapi yang saya temukan bukan yang saya butuhkan. Saya pernah beberapa kali datang ke psikolog, tapi mereka gak ngerti agama jadi kurang relate kayaknya.
“Overthinking itu sebenarnya anugerah. Overthinking adalah sesuatu yang seharusnya disyukuri, bukan disesali” adalah kata-kata yang sepertinya paling menenangkan yang saya dengar sejak beberapa tahun. Kata-kata tersebut keluar dari mulut seseorang yang tidak pernah saya sangka, dosen pembimbing tugas akhir saya hehe. Diucapkan di tengah-tengah bimbingan skripsi. Aneh. Mungkin itu adalah awal dari fase terakhir (the latest phase, bukan final phase karena final phase adalah saat saya mati. Apa sih bahasa Indonesianya?) saya dalam perjalanan spiritual beragama dan beribadah. Di fase ini, saya mencoba berdamai dengan logika dan diri sendiri. Saya kembali mengeluarkan paradoks berpikir beragama yang saya simpan baik-baik dan merinci hal-hal yang menjadi kegelisahan saya dengan kepala dingin. Ada banyak hal yang dapat diterima akal, tapi juga tidak kalah banyak hal yang sulit dirasionalisasi dalam beragama (islam). Pada akhirnya logika saya menyerah untuk beriman. Dan ketenangan saya dapat bukan lagi dari kitab suci, tapi dari tarikan napas yang dalam serta menyerahkan diri pada kehidupan. Saya tidak lagi menerima konsep surga-neraka sebagai konsekuensi dari kehidupan dunia, tapi sebagai suatu pengalaman dan pembelajaran menarik dalam hidup. Menerima konsep bahwa manusia diberi kehidupan di dunia untuk beribadah kepada satu Zat dengan “satu” cara, yaitu islam, yang tidak semua orang dapat mengerti untuk kemudian berakhir di neraka adalah hal yang paling tidak rasional yang pernah saya percaya. Padahal merasionalisasi segala sesuatu adalah keistimewaan manusia dibanding makhluk lainnya. Dan manusia dipaksa untuk tidak bergantung pada akalnya dalam beriman. Ya namanya juga iman.
Sekarang saya bukan lagi penganut agama tertentu. Sekali seseorang beragama dan beriman dalam islam, selamanya seseorang harus beragama dan beriman dalam islam. Tidak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan dosa besar kemurtadan, mimpi buruk para pejuang islam, para orang tua, para ulama. Di saat terjepit seperti itu, pilihannya hanya satu yaitu menciptakan pilihan. Pilihan untuk percaya atau tidak percaya. Dan saya memilih untuk tidak percaya bahwa hanya ada satu cara, yaitu dengan menjadi seorang muslim yang taat, untuk terhindar dari api neraka. Saya juga memilih untuk tidak percaya adanya neraka. Dan kepercayaan itu bukan saya dapat dari kebutaan atau sekadar perasaan, melainkan juga dari akal yang dianugerahkan “Tuhan” sejak saya tercipta.  Setelah 20 tahun lebih, saya baru melihat persoalan ini sebagai sebuah pilihan.
Mungkin orang yang kurang dekat dengan nilai-nilai agama, kurang terindoktrinasi ajaran agama, atau orang yang tidak terbiasa beribadah sejak kecil tidak bisa mengerti pergumulan yang saya lalui. Masalah percaya atau tidaknya akan konsep ketuhanan dan agama mungkin akan terdengar sederhana dan bukan masalah besar bagi mereka. Juga mungkin bagi orang beragama yang jarang melihat keluar “rumahnya” cerita ini akan sulit dicerna. Tapi bagi seorang yang tumbuh sebagai agnostik-dalam-pikiran-dan-muslim-dalam-keseharian seperti saya, hal ini bisa membuat depresi. Seperti saya bilang sebelumnya, perjalanan spiritual itu sifatnya personal banget. Mungkin ada saatnya orang lain yang belum mengerti akan mengerti. Mungkin juga ada saatnya hal-hal yang belum saya mengerti akan saya pahami nanti. Saya gak pernah menutup diri akan pengetahuan masa depan yang tidak saya ketahui sekarang. Mungkin akan ada orang yang saat membaca ini dia akan berkata “semoga kembali ke jalan yang benar” atau “semoga Allah memberikan kamu hidayah”. Maka akan saya aminkan. Siapa yang tidak ingin berada di jalan yang benar? Dengan senang hati saya akan mencari kebenaran dan ketenangan hidup. Beberapa orang menemukannya dalam beragama. Beberapa orang lainnya menemukannya dalam kemanusiaan. Saya tidak masalah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, satu ideologi ke ideologi lain, satu ajaran ke ajaran lain. Tapi prinsipnya harus jelas: tidak melukai kemanusiaan dan tidak mencederai akal.
Anyway, sepertinya saya sudah berdamai dengan diri sendiri dalam hal kepercayaan. Tapi soal berketurunan, saya belum bisa memecahkan masalahnya. Di Indonesia pada umumnya dan di lingkaran keluarga saya pada khususnya, menikah bukan hanya persoalan tentang dua orang tapi tentang dua keluarga, keluarganya keluarga, teman-temannya keluarga, keluarganya teman-teman, dst. Terlalu banyak tuntutan sosial dan tekanan dari berbagai arah. Tekanan untuk menikah dan punya anak adalah satu hal. Belum lagi tuntutan untuk mendidik dan membersarkan anak dengan cara-cara yang mereka inginkan. Tapi pergi menjauh dari lingkungan yang serba menuntut dan serba menekan bukan pilihan yang tepat saat ini. Entah nanti. Saya masih terlalu menghormati dan sayang ayah saya. Menjaga hubungan baik dengan beliau adalah salah satu hal yang paling ingin saya lakukan dalam hidup. Entah kenapa. Mungkin imbas dari sisa-sisa ajaran agama atau hanya karena saya manusia biasa.
Saya sangat jarang menulis. Tapi kalau rasanya kepala terlalu penuh dan butuh membuang sampah yang cukup banyak, biasanya di sini saya akan membuangnya.
Jadi apa yang sebenarnya kita tuhankan? Tuhan atau surga?
Apa yang sebenarnya kita takutkan? Tuhan atau neraka?
Sing it…
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau bersujud kepada-Nya?
hehehe
p.s.
Tidak beragama tidak lantas menjadikan saya manusia yang tidak menghormati orang yang beragama. Saya menghormati segala pilihan dan proses menuju sebuah kesimpulan. Terlebih lagi, saya pernah ada di sana. Kamu pernah ada di sini? Selamat merayakan Idulfitri kalau ucapan ini masih relevan! Selamat berkumpul dan bersenang-senang!
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
SAUDI VS QATAR, TRIK LAMA ADU DOMBA ALA AMERIKA
SAUDI VS QATAR, TRIK LAMA ADU DOMBA ALA AMERIKA
Harianpublik.com – Kata Al-Qur’an: “Dalam kisah-kisah mereka terdapat PELAJARAN, wahai orang-orang berakal.”
Kata Soekarno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
QATAR & SAUDI adalah dua negara yang bersahabat baik, peduli dengan Islam dan kaum Muslimin; tergolong negara pembela Ahlus Sunnah sedunia.
KEDUA negara ini sedang DIADU DOMBA dan DIPECAH-BELAH oleh Amerika dan kawan-kawan. Tujuannya jelas: Untuk merusak kebaikan-kebaikan pada kedua negara itu; sekaligus MEMOTONG DUKUNGAN MEREKA kepada Islam dan Muslimin.
CARA ini pernah dilakukan oleh Amerika Cs dalam PERANG TELUK 1990-1991. Caranya sama, modusnya serupa.
MARI kita kaji cara lama Amerika dalam menghancurkan Irak, Kuwait, Saudi, dan kaum Muslimin, sebagai berikut:
[1] Dulunya Irak (Saddam) itu negara pembela Sunni. Begitu juga Kuwait dan Saudi. Tentu saja mereka BERSAHABAT BAIK. Dan uniknya, ketiga negara masuk NEGARA MINYAK TERKAYA.
[2] Mula-mula diplomat Inggris dan Perancis aktif mensuplai “data intelijen” ke Saddam Husein. Judulnya: “Ditemukan bukti kuat, Kuwait menyerobot minyak Irak.” (Jelang Perang Irak 2003, Saddam pernah mengancam akan membeberkan fakta-fakta hasutan itu).
[3] Saddam terpengaruh laporan, lalu menyiapkan pasukan untuk Meng-INVASI KUWAIT. Negara itu benar-benar dikuasai Irak, dan diklaim sebagai bagian PROVINSI IRAK. Tidak lupa, Saddam juga menyerang Saudi Timur.
[4] Begitu Saddam terjebak “dalam permainan”, Amerika segera muncul sebagai “pahlawan” penyelamat Kuwait dan Saudi.
[5] Dengan berlagak bak “superhero” Amerika memimpin negara-negara NATO dan anggota PBB menggebuk Irak sehancur hancurnya. (Kata orang Jawa: sampek ledeh). Warisan sejarah ASWAJA di Irak, ikut hancur lebur di dalamnya.
[6] Tentunya perang Amerika ini tidak gratis. Saudi dan Kuwait DIWAJIBKAN MENANGGUNG BIAYA PERANG secara keseluruhan. Uang kas Saudi waktu itu benar-benar terkuras. Mereka juga dipaksa menerima HADIRNYA PANGKALAN MILITER AMERIKA di Saudi. Katanya “untuk jaga jaga”.
[7] Lucunya, perekonomian Amerika menanjak naik pasca perang tersebut. Clinton pun Dipuji puji sebagai presiden yang sukses.
KONDISI masa kini mirip sekali. Hanya beda negara. Yang dibidik QATAR, lewat isu TERORISME. Sangat mengerikan. Nas’alullah al ‘afiyah (Kita memohon keselamatan pada Allah).
AMERIKA berdiri di dua kaki, di antara Saudi dan Qatar. Padahal keduanya masih “teman Amerika”.
TUJUANNYA jelas, memecah kedua negara, merusaknya, lalu menjadi KERUGIAN BAGI UMMAT ISLAM SEDUNIA.
Para ulama dan organisasi Islam ini itu yang dituduh “Teroris”, hanya dalih doang. Intinya, merusak KEPENTINGAN UMMAT.
Saat Bashar Assad dan Syiah terdesak di Suriah; dibuat konflik baru untuk MEMOTONG DUKUNGAN kepada para pejuang Sunni di Suriah.
KALAU Anda setuju dengar artikel ini, bantu sebarkan seluas-luasnya. Semoga mendapat pahala dan keberkahan di bulan Ramadhan 1438 H ini. Jazakumullah khairan wa rohmatan wasi’ah. Amin
(Ust. Sam Waskito) Sumber : Source link
0 notes
simplyka-blog · 8 years
Text
Satu hikmah dari sebuah pertemanan baru.
Abrar Quraini. Apa yang terbesit di benak lo ketika lo liat nama ini? Orang arab? Ya. Islam? Ya. Well, dia adalah seorang cewek keturunan Iraq yang sekarang tinggal di USA. Pertama kenal lewat jejaring sosial instagram. Tujuan gue kenal sama abrar atau abi (her nickname) ini cuma pengen biasain buat ngobrol pake bahasa inggris sih, walaupun akhirnya ya ga ngaruh2 amat :v . Dia adalah orang asing ter wellcome yang gue kenal. Baik, cantik, dan setahu gue dia sangat patuh dengan hukum-hukum islam bahkan dia gak pacaran (gak kaya gue yang pernah pacaran :v). Suatu hari, dia cerita dia deket sama seorang cowok dan mungkin suatu hari dia bakal nikah sama cowok ini. Beberapa hari kemudian dia curhat lagi, "gue kayaknya ga bakal dapet restu buat nikah sama cowok ini, karena cowok ini sunni dan gue syiah" nah lho?. Kira2 apa reaksi gue saat itu ketika yg tiap hari gue konsumsi di sini berita tentang syiah itu munafik, kafir dan bukan islam? Gue sempet rasain 'syiah-phobia' pas baca chat dia yang ini. Wtf? Selama ini gue chat sama syiah? Gimana nih, gue bakal ketularan syiah gak ya?. Mindset gue saat itu adalah seakan2 syiah virus yang cuma dengan lo nafas dekat mereka aja lo bisa jadi syiah. Syiah bukan islam!!!!! Jangan pernah deket2 sama syiah!!!!!. Akhirnya karena penasaran, gue tanya perbedaan syiah sunni emang apa?. Ya secara umum perbedaannya cuma siapa khalifah yang mereka anggap ketika nabi Muhammad SAW meninggal. Semua yang gue denger berita tentang syiah disini gue konfirmasi ke abi. Ya dia udah gak kaget. Kalo emang syiah selalu difitnah macem2. Dia cerita pernah pengen cari shia salah di youtube tapi yang dia temuin adalah shia salah versi yang palsu. Someone pretend to be shia and spread fake rumours, she told me. Ada emang berita yang bener tapi dengan cara penyampaian yang buruk. kaya fakta bahwa sholat shia sama sholat sunni (which is sholat orang2 Indonesia) beda. Ga bersedekap. Trus kenapa? Gue telusurin juga gak ada kok ulama yang anggap hal itu sesuatu yang sesat. Masalah syiah menghina abu bakar, umar, usman, gue tanya ke dia, mereka ga menghina mereka hanya ga menganggap kekhalifahan mereka karena menurut shia khalifah setelah nabi Muhammad SAW adalah Ali RA, jadi ini cuma masalah sejarah dan perbedaan perspektif. Gue pernah baca kok thesis anak UIN tentang sistem kepemimpinan dalam islam dan disitu dibahas gimana sistem kepemimpinan imammiyah versi syiah dan note syiah itu ada banyak dari yang moderat sampe yang paling ekstrem. Sama kok kaya sunni. Pernah liat kan orang sunni yang suka ngekafir2in muslim lain semenjak pilkada DKI? :v jadi ga perlu mengeneralisir. Masalah perayaan karbala? Nah ini dia salah satu data yang cara penyampaiannya buruk. Gini deh, yakin semua syiah ngelakuin hal itu? Kalo iya, emang mereka ga cacat skrg? Buktinya banyak aja tuh orang syiah yang anggota tubuh masih utuh. Setelah gue tanya abi, dia bilang " ya they are so stupid, shia isn't perfect" yang ngelakuin itu cuma 1% dari keseluruhan, dan balik lagi syiah ada banyak, yang ngelakuin kemungkinan aliran ekstrem. Sama kaya ISIS yang ngaku2 islam sunni tapi ngelakuin hal membabi buta kaya gitu. Dan banyak lagi fakta yang kalo dicerna pake logika itu ngerontokin brain-wash yang selama ini gue dapet di media. Lo tau gak sih rasanya nyadar selama ini udah di bego-begoin? Udah percaya dengan mudahnya berita-berita dari golongan lo sendiri yang bikin lo membenci suatu golongan. Padahal di Islam ga pernah diajarin membenci. Islam Rahmatan Lil Amin, Rahmat bagi seluruh makhluk. Islam agama yang paling masuk logika, jadi gue ga percaya sama orang yang bilang "belajar agama jgn pake logika" halah!!!. Ustadz Nouman Ali Khan di video kajian beliau bahkan bilang "when ummah stop thinking, the worst things will happen" dan emang bener. Kalo lo cuma percaya pake mata dan telinga dengan gampangnya, maka lo bakal mudah disetir sesuai kepentingan suatu golongan. And i wont be like that, dude. Seriously... Saudi sama Iran lagi panas dan ada kemungkinan PD III bakal kejadian di timur tengah. Udah banyak orang Indonesia di brain wash yang akhirnya mau jadi mujahiddin ke ISIS. Imam syafii bilang di penghujung zaman bakal ada dua macam ulama bukan? Dan antara lo mau pilih ulama yang mana itu balik lagi ke diri lo sendiri. Apa pemahaman lo terhadap islam? Terhadap agama? Dan terhadap tujuan manusia lahir dan turun ke bumi. Pegangan gue saat ini cuma agama akan selalu mengajarkan manusia untuk melakukan kebaikan dan Islam Rahmatan lil Amin. Rahmat bagi seluruh makhluk. Dan kalo dipikir2, heran gak sih sekarang orang islam sibuk perangin saudaranya sendiri? Contoh ISIS, perang di Suriah, perang Yaman vs Saudi. Menarique
0 notes
usrahjauharah-blog · 8 years
Text
📄 Tajuk : Perbezaan Fikrah Vs Ukhuwah Islamiyah ☎ Sumber : Wacana Ilmiah Sahabat Yadim oleh Dr Yusri B Mohamad 🏡 Tempat : Usrah  Jauharah 🕘 Masa : 9 : 00 PM 📆 Tarikh : 12 Jamadilawal 1438 // 09 February 2017 👸🏻 Naqibah : Biha 20 ( Ahli )                        
♥ Wacana Ilmiah; Perbezaan fikrah vs Ukhuwah Islamiah ♥
Oleh: Dr Yusri Bin Mohamad (YDP YADIM)
Hakikat disebalik program ini utk mentakzim utk sunnah berjemaah, menghayati agama ini secara kolektif.
Nabi disyariatkan bergerak secara berjemaah.
Mesti ada proses tafaqquh fiddin bukan sekadar menghafaz alquran.
Kumpulan yang mula-mula menyeleweng ialah khawarij; kerana kurangnya dalam tafaqquh walaupun semangat AlQuran itu tinggi. 
Sekitar 6000 orang berpisah daripada Saidina Ali dan berkumpul di suatu lembah.
 Ibn Abbas RA mahu berunding, sampai disitu, terdengar seperti bunyi lebah, rupanya mereka mengaji. 
Mereka bersemangat agama, dahi gelap kerana kuat sujud, pucatnya muka, namun kurangnya tafaqquh hingga keluarnya mereka dari kelompok Saidina Ali.
Mereka memahami tanpa guru, memahami terlalu zohiri dan literal. Walaubagaimana pun 2000 dari 6000 akhirnya kembali.
Jangan terlalu cepat nak menoktahkan perjalanan kita mencari kebenaran.
Para nabi sebelum kenabian pun sudah ada kehebatan sejak sebelum zaman kenabian. 
Bila terlalu cepat dan terdedah kepada agama, ia akan sampai kemuncak atau semangat pada tempoh yang awal. 
Tetapi bila dah universiti jadi lain, malas.
Ini sepatutnya kita jaga betul-betul.
Semangat memuncak awal namun tiada kefahaman agama yang baik; masalah.
Adakalanya budak agama ni, sampai universiti dia jadi kejutan budaya. Jadi malas nak faham islam dari sudut lain. 
Bahkan dipimpin oleh hawa nafsu. Jaga diri baik-baik dan hati-hati.
Perlu utamakan kesatuan ummat, daripada perbezaan.
Ada yang kata: Siapa lebih agresif dia lebih baik. Ini silap. Sedarlah kita di zaman fitnah.
Kata Syeikh Ben Bayyah, ini zaman yang paling mencabar.
Zaman ini kene banyak berhati-hati. Ledakan maklumat yang pelbagai.
Jika terlalu semangat, silap-silap kita berperang sesama kita. Fahaman asas perlu betul.
Lihatlah kisah Nabi Musa dan Nabi Harun. 
Nabi Musa naik ke Thur Sina, dan pesan pada Nabi Harun supaya jaga umat. 
Bila pulangnya Nabi Musa; Kemungkaran berlaku tanpa ada khilaf langsung!
Hayati agama bukan hanya dengan semangat, tapi perlu tafaqquh disamping memahami fiqh zaman.
Dalam menghadapi perbezaan:
1. Jangan diingkari hal-hal yang mukhtalaf, Yang patut ingkari yang mujmak 'alaih (muktabar).
Rujuk Al-Ishbah Wannazair- Imam As-Suyuti.
Sesi Soal Jawab:
1. Bagaimana menghadapi isu taqrib Syiah-Sunni?
Syiah ni sesat yang dah lama. Tiada khilaf lagi. Bahkan mereka sudah ada kitab-kitab dan kutubkhanah tersendiri. Tiada taqrib dari sudut Fikri. Namun tiada masalah taqrib dari sudut Siasiy. Seperti menghadapi musuh yang sama.
Bahkan dengan non-muslim pun kita boleh bekerjasama dari sudut politik; menghadapi musuh yang sama.
2. Non-Muslim bertanya, kenapa Islam sama Islam ni banyak gaduh.
Church pun ada kafirkan church yang lain. Semua memang bergaduh. Ini perkara lazim. Manusia ini ada kecenderungan untuk bergaduh. Hidup ini gelanggang ujian, salah satu ujian ialah perpecahan dalaman.
Jika berlaku perkara ini, kita perlu ambil sikap yang benar. Takkan Habil dan Qabil berbunuh jika perkara ini bukan perkara yang lazim? Tinggal kita mahu mengambil sikap Habil atau Qabil. Sedangkan lidah lagi tergigit.
3. Bagaimana nak bezakan agama itu digunakan sebagai alat politik atau politik itu dijadikan wasilah dalam memperkasakan agama?
Perkara yang banyak mengelirukan ialah politik. Begitu sukar mahu mencari kebenaran dalam parti politik.
"Kalau dah teruk sangat, tinggalkan."
Mungkin uzlah. Tidak semestinya hakiki, mungkin hanya dalaman. Sifat dalaman yang tidak suka.
"Jika kau dah lari, datang juga fitnah itu, maka pilihlah menjadi anak Adam yang lebih baik".
Politik ialah ruang yang terlalu banyak. Allah tinggalkan secara tidak jelas dan detail. Kerana sifat politik ini berubah-ubah. Jangan terlalu mengharapkan politik itu datang secara qati'ie. Banyak ruang untuk khilaf, dan banyaklah ruang untuk berlapang dada.
Sukar untuk kita bezakan kerana itu hal dalaman. Bahkan kita tidak diperintah pun dalam Islam untuk menghukum perkara itu.
"Kita menghukum yang zahir, bukan yang dalaman".
Kita perlu tahu mem'break', bukan hanya tekan minyak.
Jangan senang-senang guna istilah 'makan dedak'. Silap-silap yang kita tuduh makan dedak itu merupakan para ulama atau wali.
Mengapa sukar nak bezakan?
1. Tak nampak, ini hal niat, jadi tak perlu korek-korek. 2. Atau mungkin tak cukup ngaji, tak cukup tajam firasat, kerana banyak dosa. Allah tidak beri firasat yang tajam mungkin kerana kurang imannya.
"Orang yang kuat imannya, tajamlah firasatnya." -
Tamat.
Imran Zaki 12.57 tengahari, Dewan Muktamar.
Wallahualam bissawab.
Alhamdulillah berakhir sudah perkongsian kita untuk kali ini.
📘Semoga Allah SWT melimpahkan taufik dan hidayah-Nya 💗 kepada kita agar ilmu yang kita dapat diberkati Allah SWT.
🕋🕌In shaa Allah
🌸🔴Dipersilakan berkongsi namun sebarang MENYUNTING dilarang sama sekali.
Hormati ilmu 📜 dan pemberi ilmu dengan TIDAK MENGUBAH atau MEMBUANG mana-mana bahagian dalam perkongsian ini. 🙅🏻
0 notes
pacar-merah-blog · 8 years
Text
Ada Hantu Berkeliaran Di Umat Islam, Hantu Syiah
“Musuhnya Fisika, Matematika, Musuhnya Ilmu Pengetahuan Itu Bukan Kebodohan Tetapi Ilusi,” Tegas Hawking
Syiah, bagaimana kata itu merajalela di mana-mana. Bukan adem ayem saja di negara tercintanya Republik Islam Iran atau negara timur-tengah yang bertetangga manis denganya. Tapi sekarang masuk ke ruang-ruang media-media yang seharusnya hanya menjadi pemanis. Dari umatan masyarakat muslim Indonesia yang memang butuh hiburan dari dera-deru aktivitas kehidupan.
Memang sialnya, kurangnya literasi umatan Indonesia (baca : Muslim) membuat segalanya terasa runyam saja. Media Sosial, macam Facebook, Twitter,hingga beberapa media asem lainnya yang berisi potong-potongan informasi. Malah menjewantah menjadi sebongkah data yang tanpa filter dalam alam pikir umatan (baca : keyakinan). Sepotong-potong data asem yang sebenarnya kalau kita giat saja mengumpulkannya tidak lebih dari : potongan Omong Kosong saja.
Kalau dari itu, umatan menjadi manut-manut saja, ya kita pun akan mafhum belaka, toh para “kekuasa” itu memang ingin membuat kita terbelakang selamanya? Tapi bila “sekumpulan data” itu menjadi teror, hingga kita (baca : umatan) saling takut menakuti dan tuding menudingi, tentulah ini perkara lain. Perkara yang bila saja kita liar untuk menggulirkanya, bukan hanya perkara persatuan umat (baca : solidaritas) yang terpecah, tapi juga hilangnya peri kemanusian.
Saya sendiri beberapa hari lalu sempat mengikuti sekolah sejarah di Fakultas Budaya, Universitas Indonesia. Pemateri sendiri membawakan tema, “Sekte-Sekte Sesat dalam Islam.” Walau kurang lebih selama 4 jam lamanya, pemateri hanya berkutat dengan masalah Syiah, yang sekarang begitu menjadi hantu dalam umatan muslim. Yang begitu menjadi informasi hingga patut di gorang-goreng, entah untuk lapisan mana saja, tanpa melihat batasan informasi mana yang patut atau tidak untuk disampaikan.  
Ahistoris Tentang Syiah?
Syiah dari namanya bukan barang baru dalam kultur umatan masyarakat muslim dunia. Epos babak “pembidanaan” Syiah tidak terlepas dari fitnah yang dilakukan oleh Abdullah Bin Saba kepada Khalifah Ustman Bin Affan. Abdullah Bin Saba saat itu bersama rombongannya melakukan pengepungan selama 40 hari. Walau saat itu khalifah Ustman Bin Affan mempunyai kekuatan untuk melawan pemberontakan. Tapi dirinya berprinsip tidak ingin menumpahkan darah umat islam. Akhirnya Utsman pun wafat sebagai syahid pada tahun 35 H, ketika para pemberontak berhasil masuk ke rumahnya dan membunuh Ustman saat sedang membaca Al-Qur’an.
Setelah itu adu domba dikalangan umatan tidak terperikan lagi, apalagi perbedaan pandangan dari para sahabat sendiri. Sejarah pernah mencatat bagaimana janda Rasulullah, Aisyah bersama Talhah dan Zubair berhasil diadu domba hingga menimbulkan perang Jamal, melawan Khalifah Ali. Tapi perang saudara yang terperikan adalah antara Muawiyah dengan Ali Bin Abi Thalib yang juga prihal peradilan pembunuhan Khalifah Ustman Bin Affan, hingga akhirnya memunculkan perang Shiffin (657 Masehi).
 Alhasil perang ini menimbulkan dua kubu berbeda, syiah (baca : pengikut) Muawiyah dengan syiah (baca : pengikut) Ali Bin Abi Thalib. Pertempuran yang terjadi selama dua hari ini menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan umatan islam. Hal inilah yang begitu meresahkan para sahabat juga kalangan muslim di kedua belah pihak, perdamaian pun tercipta.
Namun tetesan darah seperti tidak mau jauh dari umatan Muhammad yang menjunjung rahmatan lil alamin ini. Berawal dari perpecahan Syiah (baca : pengikut) Ali menjadi golongan Khawarij. Meneteskan bara dalam sekam yang akhirnya menimbulkan peristiwa terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib, oleh Abdur-Rahman Bin Muljam. Setelah itu mulailah rentetan kematian keturunan Ali Bin Abi Thaib, dari Hassan hingga Husein, serangan berdarah Yazid ke Madinah, dan terbunuhnya beberapa sahabat oleh kalangan umatan sendiri. Menimbulkan ironi sendiri bagi umat Islam yang selama ini selalu diikat oleh rasa persaudaraan : Tidak Halal Darah Umat Musilm.
Tapi disitu, fragmen sejarah haruslah ditempatkan sesuai dengan konteks keadaanya. Bahwa perbedaan saat itu hanya berasal dari masalah politik semata, tanpa adanya unsur perbedaan teologis. Bahkan banyak sahabat Nabi yang memilih menjauh dari kekuasaan, supaya tidak masuk dalam perpecahan umat. Tapi sesuai konteks zamanya pun, kita bisa tahu bagaimana bara sekam “penyesatan”, telah menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan umat.
Syiah, Dan “Pembantaian” yang Dilegalkan
Saya sendiri memang tidak begitu tertarik membahas masalah ajaran sesat dalam Syiah, biarkan saja para ahli dan Ulama yang membahas dari pencegaah hingga penangkal. Namun, bagaimana saya sendiri lebih bertanggung jawab untuk menjaga akal sehat dalam pikiran. Karena saya memang sadar bahwa pengakuan kaum terdidik bisa sekejap sirna. Bila membiarkan hati yang tanpa batas itu dikuasai oleh nafsu tanpa kendali pikiran.
Al Ghazali pernah berkata, “Ilmu itu kehidupan hati daripada kebutaan, sinar penglihatan daripada kezaliman dan tenaga badan daripada kelemahan.
Kita sendiri (baca ; umatan muslim Indonesia) sekarang sedang dipertontonkan panggung pembantaian di abad modern, setelah epos Palestina yang belum usai. Kita sekarang dialihkan dengan rentetan konflik berdarah di timur tengah, yang konon karena perbedaan Sunni dan Syiah. Membuat kita seperti bisa melegalkan tindakan pihak Sunni (koalisi teluk) dan Syiah (pasukan pemerintah baik Suriah ataupun Yaman), dan pihak-pihal lain. Untuk melakukan serangkaian-serangkaian pembantaian di wilayah tersebut.
Tapi sayangnya melihat konteks Timur Tengah sekarang hanya dari kacamata perbedaan dalam agama, akan membuat kita sangat sempit. Toh, kalau kita bicara hanya tentang jurang Sunni dan Syiah, bagaimana kita bicara konteks Mesir saat penggulingan Morsi? Disitu kita tidak bisa menafikan peran Arab Saudi yang memberikan sokongan dana kepada Menhan Mesir, untuk melakukaan kudeta. Lalu setelah itu Mesir pun melarang partai Morsi, Ikwanul Muslimin, kemudian Arab Saudi pun tidak ketinggalan melakukan pelarangan dan memasukan Ikwanul sebagai organisasi teroris pada tahun 2013. Padahal pun kita tahu bahwa Ikwanul adalah aliran Sunni. Sebuah ironi lagi kalau kita mengetahui realitas sejarah bagaimana, Arab Saudi pernah bergitu mesra dengan Iran.
Toh kita pun sudah tahu, bagaimana kuatnya Arab Saudi di wilayah Timur Tengah selama ini. Namun seperti kata sejarah, tidak ada yang pernah abadi : apalagi bila berbicara tentang kekuasaan. Arab Saudi mengalami “diaspora” dalam segala lini saat ini, defisit keuangan, turunya harga minyak, hingga pencabutan subsidi BBM, membuat kondisi kerajaan Arab Saudi kurang stabil. Lalu, pada sisi lain, Iran sebagai negara Republik yang menganut paham Syiah, mulai sedikit demi sedikit menguatkan hegemoninya di Timur Tengah.
Sebagai negara yang masih memakai sistem Monarki dalam pemerintahanya, ketakutan Arab Saudi atas Syiah (baca : Iran dan sekutunya) bukan hanya karena mahzabnya, tapi juga lebih besar kepada kestabilan negaranya. Apalagi bisa kita lihat bagaimana, hegemoni Arab Saudi terhadap Yaman ataupun Irak, lama kelamaan mulai memudar setelah partai Syiah berhasil menguasai negara tersebut. Sayangnya keterdesakan tersebut malah membuat Arab Saudi melakukan berbagai cara bahkan melakukan tindakan represif, bukan saja kepada negara-negara tersebut, tapi juga tokoh-tokohnya (baca : eksekusi  Nimr Baqir al-Nimr).  Alhasil, bukan hanya saja meneteskan cuka kepada luka, tapi juga menaburi minyak di kobangan api. Konflik Timur Tengah pun terus menerus memanas, menghabiskan tenaga bahkan darah umat muslim. Sayangnya moncong dan darah umatan terus-menerus habis, bukan untuk skala prioritas yang lebih tepat (baca : umatan muslim Palestina). Tapi malah kepada umatan muslim sendiri yang begitu rentan terkena adu domba dari pihak luar (baca : eksternal umat islam). Lalu, bisakah umatan muslim Indonesia bersikap arif dan kritis melihat konteks Timur Tengah hari ini? Atau malah menjadi terhantu-hantui, layaknya anak kecil yang terhantui Wewe Gombel, Pocong dan segala sekutunya?
Darurat Syiah? Atau Darurat Baca?
Bara sekam yang terjadi beberapa tahun belakangan ini di Timur Tengah, ternyata tidak hanya merembet ke beberapa tetangga. Tapi juga melintasi pegunungan,lautan hingga samudra. Perkembangan teknologi saat ini, bukan hanya membuat akses segala informasi menjadi lebih cepat, tapi malah lebih kepada luapan banjir informasi. Umatan Indonesia (baca : Muslim) yang memang tidak disediakan sekoci, harus berenang ke sana kemari, ada yang selamat tapi lebih banyak yang tenggelam.
Tidak terkecuali isu Syiah, yang entah bagaimana sudah terdapat kata darurat disana? Melebihi kata Darurat Korupsi? Darurat Pembodohan? Darurat Pemiskinan? Segala lini masa, baik media sosial (baca : Facebook, Twitter, dan sejenisnya), hingga portal berita baik konvensional ataupun Muslim. Begitu rajin menggorang-goreng isu tersebut, entah untuk kepentingan umat? atau viewers/oplah? atau malah eksistensi? Tapi apapun kepentinganya, menempatkan potongan informasi tidak pada tempatnya, bahkan hanya setengah-setengah jelas bukan seseuatu yang bijak.
Toh, memang bila jurang perbedaan yang dikemukakan hingga pelebel an “sesat” menjadi begitu liar, hingga semua orang boleh melakukaan. Tidak terperikan bagaimana beratnya mengangkat kembali spirit Rahmatan Lil Alamin, karena kepada Lil Muslimin saja sudah terjadi “penyesatan”? Karena memang bila jurang perbedaan yang dikemukaakan, umatan Indonesia pun sudah sejak dulu mengenalnya. Pun sudah hidup di tengah-tengahnya bertahun-tahun lamanya. Bahkan sebelum isu Hantu Syiah ini begitu manis untuk diperbincangkan.
Saya sendiri lahir dari keluarga yang terdiri dari begitu banyak perbedaan antar mahzab, Ayah saya sendiri sempat Kristen walau lama sebelum menikah menjadi Muallaf, lalu lama tinggal (baca : saat kerja di Jawa) di lingkungan Muhammadiyah jadi beberapa kali beliau Idul Fitri selalu lebih dahulu  Walau begitu, beliau toh masih tetap saja hadir untuk tahlilan (baca : budaya NU), bahkan saat beliau sudah wafat pun keluarga juga melakukan Tahlilan, tidak ada yang saling larang-melarangi atau kafir mengkafirkan.
Perbedaan antara umatan (baca : Muslim) seharusnya menjadi salah satu langkah kita membangun silahturahmi (baca : solidartas), bukan entah melakukan benar-membenari, sesat-menyesatkan, atau dururat mendaurati. Toh bukannya kalau kita bijak sebagai muslim, bukanya bila Sunni dihapus? Syiah dihapus? NU dihapus? Muhammadiyah dihapus? Ikwanul dihapus? HT dihapus? bukanya tidak ada masalah?
Tapi memang kita sudah begitu terbiasa sejak kecil (baca : saya pun), selalu ditakuti-takuti dengan hantu, yang entah bagaimana bentuknya begitu menyeramkan walau kita pun belum melihatnya. Hantu itu direkontuksi kepikiran kita, menjadi bentuk-bentuk seperti sekarang : Pocong, Wewe Gombel, Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, hingga Babi Ngepet, yang punya tugas masing-masing dan bentuknya sendiri-sendiri.
Bahkan berbicara tentang Babi Ngepet misal, hantu yang satu ini begitu akrab dengan hidup saya (Mungkin nanti akan saya perbincangkan). Saat beberapa waktu lalu, di daerah Bekasi sempat terjadi isu warga yang kehilangan uang, lalu singkat cerita warga pun memukuli seekor Anjing yang dianggap bersekutu dengan Babi Ngepet. Mungkin kita akan geli sendiri melihat alam pikir seperti itu. Tapi alam pikir seperti itu pun tidak sala-salah amat, karena dengan kemiskinan yang mereka rasakan, kehilangan uang 100-200 ribu begitulah berarti, apalagi tidak adanya akses mereka “kekeuasa”, Jadi bagi mereka, memang apasalahnya sih kita percaya bahwa hantu Babi Ngepet yang mencuri penghasilan kami?
Pada titik ini, saya menjadi begitu khawatir bila Hantu Syiah itu menjadi konsumsi umatan. Tanpa adanya “kekaffah”, tentang cabang atau pokok, lokal atau global, sektrerian atau umattan. Hantu itu akan terus membayangi umatan, lalu berbagai pihak akan meniup-niup hingga kabut tidak lekas menyingkir, selama itu kita terus merekontruksi Hantu Syiah itu supaya lebih mengerikan, lebih menakutkan, lebih Iblis daripada Iblis.  Karena yang pasti, bila itu terjadi dan cendikiawan dan ulama (baca : muslim), tidak mencegah. Korban dari Hantu Syiah ini, pastilah bukan hewan atau sejenisnya (baca : seperti kisah Hantu Babi Ngepet), tapi ya Manusia itu sendiri.
Tapi ya, kalau kita memang masih ingin merumeti masalah Hantu Syiah dan Hantu Mahzab-Mahzab ini, sampai di ubun-ubun kepala kita, toh bikinlah sebuah karya dari berbagai literasi, debatlah dengan arif, lalu islahnya untuk kepentingan umatan. Lalu please, berhentilah saling hantu-menghantui, darurat-mendarurati, saling benar-menbenari, saling sesat-menyesati, TITIK
1 note · View note
pribuminews · 9 years
Text
Gencatan Senjata Berakhir, Arab Saudi Kembali Serang Pemberontak Houti di Yaman
Gencatan Senjata Berakhir, Arab Saudi Kembali Serang Pemberontak Houti di Yaman
PRIBUMINEWS — Gencatan senjata antara kelompok pemberontak Syiah Houthi dan tentara pemerintah Yaman berakhir setelah bertahan lima hari tanpa kesepakatan untuk memperpanjangnya.
Sejam setelah gencatan senjata berakhir, koalisi pimpinan Arab Saudi kembali melancarkan serangan udara menghantam kawasan istana presiden di kota pelabuhan Aden yang dikuasai kelompok pemberontak, seperti dilaporkan…
View On WordPress
0 notes
negarajiv · 11 years
Text
Sunni vs Syiah
Memang benar jika akan selalu ada permusuhan abadi di Dunia ini. Selama masih ada Siang dan Malam, Sunni akan terus memusuhi Syiah. Begitupun sebaliknya. Di mana Kebenaran akan berpihak? Sebab pada tataran aplikatif masing-masing punya teori otentik yang mampu meyakinkan orang bahwa lawan mereka adalah iblis. Ketika Sunni banyak menggemborkan kekejaman Syiah, sebenarnya kenyataan tidak jauh berbeda jika Sunni dalam posisi yang dapat menghancurleburkan Syiah.
Dalam perjalanan hidupku, kenyataan-kenyataan yang kudapati, bukti-bukti yang kupelajari, serta pendidikan yang sampai padaku kebanyakan berpihak pada kebenaran Sunni. Namun akhir-akhir ini ada beberapa hal yang sedikit membengkokkan alur berpikirku. Salah satunya adalah ketika sentimen sektarian ini dimanfaatkan untuk tujuan politis dan perebutan kekuasaan. Serta menjadi dalih wajib bagi pelanggaran hak asasi manusia. Kebenaran ibarat pedang, dapat juga ia dipakai untuk memenggal leher kawan dan saudara sendiri jika dipegang oleh orang yang salah.
Di Indonesia dewasa ini, banyak diadakan seminar yang membahas isu-isu yang berkembang seputar masalah ini. Terlebih ketika meledaknya pemberontakan di Suriah. Perang opini pun terjadi. sosial media, dan media massa menjadi medan perang yang tak henti-hentinya memuntahkan amunisi untuk saling membantai sampai ke akar-akarnya. Dalil-dalil kembali diteriakkan oleh kedua belah pihak, dan dukungan demi dukungan dicari dan dikumpulkan dengan berbagai cara.
Terdengar mengerikan jika mendengar ramalan-ramalan dan prediksi berbagai kalangan jika Syiah berkuasa di Nusantara. Dari berbagai sumber yang berseliweran di Facebook, terdapat gambaran sadis nan kejam jikalau seandainya Syiah berhasil memantapkan cengkeramannya di Indonesia. Membuat ciut memang. Tapi ketika pola perenunganku kuperdalam dengan sedikit mengintip ke ranah literasi yang dimotori oleh aktifis pro-Syiah maupun kaum netral dari kalangan Humanis, aku mendapati sentilan berupa kenyataan yang justru akan menjadi tidak jauh berbeda jika toh Sunni yang berkuasa. Selama sifat dan sikap kebinatangan masih melekat dan mengendalikan pikiran dan tindakan manusia, selama itu juga penindasan maupun pembantaian akan langgeng. Baik jika pemimpinnya Syiah maupun Sunni. Begitupun jika esensi Islam dan Kemanusiaan yang menjadi tolak ukur seseorang pemimpin, hal-hal menyeramkan tidak akan pernah terjadi. Darimanapun pemimpin itu berasal, Sunni maupun Syiah.
Kiamat sudah di depan mata, apakah perang Sunni-Syiah akan menjadi skenario Allah sebelum kedatangan Dajjal?
1 note · View note