#soca tinggal di jepang
Explore tagged Tumblr posts
redagaudiamowrites · 1 year ago
Text
72 Jam @ Wakayama - # 1
Lima tahun tak menengok Soca, Wakayama –tempat dia tinggal dan bekerja sejak 2016—banyak berubah. 
Tahun 2014, pertama kali ke Wakayama, menjenguknya saat ia mengambil kuliah dua semester di sini, saya dan bapaknya menginap di hotel Daiichi dekat stasiun JR. Bisa ditempuh dengan jalan kaki dalam jarak super pendek. Tak jauh dari hotel tempat menginap, di sudut jalan, ada toko yang menjual segala macam mesin jahit. Dari yang modern sampai antik. Penjaganya seorang bapak, duduk di sudut toko. Ia selalu menunduk, mengerjakan sesuatu. 
Lalu di dekatnya ada toko yang penuh sesak dengan deretan bahan dan kimono yang sudan jadi. Bergantung di sana sini, tumpuk menumpuk. Tetapi yang paling menarik buat saya dari toko ini adalah dua bak besar berisi kimono dengan harga obral gembira. Di situ saya menemukan satu kimono warna merah terang untuk dibawa pulang. 
Di seberang jalan, ada sebuah kedai kopi yang juga menjual perabot dari kayu. Kedai ini bergaya modern, ruangnya diisi tanaman, dan bagian belakangnya menghadap sungai. Lampunya ditata di tempat-tempat strategis. Buat foto-foto di Instagram, bagus sekali. 
Oh, waktu itu, di stasiun kereta Nankai ada department store Takashimaya. Jangan samakan dengan Takashimaya di Tokyo atau Singapura. Yang ini kecil saja. Isinya barang keperluan sehari-hari, bahan makanan dan masak-memasak, sebaris perangkat tata rias, selorong baju. Sudah. Soca bilang, harga bahan makanan di situ tidak terlalu mahal, tak murah juga. Ada yang lebih murah di tempat lain, tetapi letaknya lumayan. Jadi kalau ditambah ongkos, sudahlah, belanja di mini Takashimaya ini saja. 
Di kunjungan kali ini, toko mesin jahit sudah tutup. Bapak pemilik toko masih tinggal di sana, tapi sudah tak jualan lagi. Kata Soca, itu hal yang sangat biasa terjadi di Wakayama. Pemilik sudah lanjut usia, lelah, sementara anak atau cucu tak ingin melanjutkan usaha keluarga. Lalu toko kimono, sudah benar-benar lenyap. Berubah jadi lahan parkir. Sedangkan kedai kopi yang menghadap sungai, yang waktu kami datangi dulu tak tahu bahwa kopi mandaeling berasal Sumatra, Indonesia itu, sekarang lantai atasnya jadi bar , sementara lantai bawah jadi tempat display jualan perabot (yang kata Soca harganya agak mahal). 
Covid 19 membuat banyak perubahan di Wakayama. Banyak toko, kedai, restoran, tutup. Tetapi banyak juga yang bertahan, Berjaya. Dan yang  baru pun bermunculan. 
Seperti Papermoon, toko baju milik Ibu Michiko yang saya temukan sejak tahun 2016. Sampai sekarang masih ada! Koleksi bajunya masih seperti dulu: serba katun dengan cutting yang sederhana, tapi enak banget di badan. Saya mampir ke sana, dan langsung jatuh cinta pada outer dengan hoodie warna hitam. Ya, langsung saya bawa pulang, dong. Dan seperti yang pada pertemuan kami sebelumnya, Ibu Michiko pastiiiiiii menjamu. Ia menyiapkan ice coffee dengan susu dan gula yang terpisah. Tak lupa menyelipkan hadiah. Kali ini 3 helai handuk wajah aneka warna. Ah, Michiko San....
Ada kedai udon di ujung Lorong Kitabura, tempat Soca tinggal. Sejak dulu, sampai sekarang, tetap ramai. Tadi siang, sebelum balik ke Jakarta, saya berniat makan siang di sana. Wah, penuh. Saya putuskan untuk jalan-jalan sedikit, lalu kembali lagi. Eh, salah besar: yang antri tak berkurang, malah nambah jadi 20 orang. Laris manis, Kak. 
Favorite Coffee, yang buka beberapa bulan sebelum Covid, ternyata tetap bertahan. Kedai kopi kesayangan Soca ini terkenal dengan apple pie yang dibuat langsung di dapurnya, dengan potongan apel besar-besar. Ampun enaknya! Oh, dia juga terkenal akan lemonade dan ginger ale buatan sendiri. Saya beruntung bisa menikmati apple pie dan ginger ale-nya. Memang juara. 
Tetapi yang paling juara dari semua itu adalah bagaimana pemerintah daerah Wakayama mengubah beberapa sudut kotanya. Takashimaya mini itu, sudah tak ada lagi, berganti dengan PERPUSTAKAAN 3 lantai: Wakayama Civic Library. 
Lantai dasar diisi oleh TOKO BUKU dan kedai kopi asal Amerika. Selain buku yang boanyak (90% berbahasa Jepang), ada juga alat tulis dan suvenir yang bikin hati tergoda habis-habisa. Belum lagi majalahnya yang cakep-cakep dengan bonus hadiah lucu-lucu. Bahaya!  
Lantai 2, yang didahului oleh mezzanine dengan deretan rak buku yang dipilih khusus sehingga menghasilkan “motif” di dinding, ada perpustakaan yang dilengkapi dengan ruang baca dan ruang kerja. Saya mampir ke sana pukul 7 malam, sebagian besar ruangan terisi oleh murid SD sampai SMA. Usai jam sekolah, mereka ke perpustakaan untuk bikin PR. Setelah selesai baru pulang ke rumah. 
Di lantai 3, Kembali rak-rak buku memenuhi ruang. Ada bangku-bangku besar, lebar dan empuk. Yang mau baca sambil goler-goler di situ, boleh. Tetapi yang perlu ruang kerja tenang, tak berisik, bisa juga. Di lantai ini, saya bertemu banyak mahasiswa yang duduk menghadap buku-buku tebal terbuka. Mungkin sedang bikin skripsi. 
Juara gedung perpustakaan ini ada di lantai 4: perpustakaan khusus untuk anak. Jangan ditanya koleksinya! Bikin panik! Selain itu ada ruang khusus untuk bercerita, bikin acara, ruang bermain, day care. Buat pengunjung yang tak mau meninggalkan perpustakaan karena PR belum selesai, sementara perut lapar, bisa mampir ke ruang makan di lantai 4 ini.
Selain perpustakaan, Wakayama sekarang punya gedung pertemuan yang bisa digunakan sebagai tempat konser, dan berbagai kegiatan kreatif lainnya. Terserah deh maunya apa. Namanya Wakaura Art Cube. Tak jauh dari kastil Wakayama. 
Dan kastil! Ah, ini juga seru. Malah sekarang ada perkembangan menarik di sana. Tapi itu saya ceritakan di bagian berikut, ya. 
Wakayama, tak jauh dari Osaka, tetapi mungkin teman-teman kurang mengenalnya. Begitu pun saya. Kalau bukan karena Soca yang memilih menetap dan bekerja di sini, saya tak akan tahu apa-apa tentang Wakayama. Tetapi setelah datang beberapa kali, buat saya, kota ini cantik, asri, dan tenang. Bebas hiruk-pikuk. Penduduknya ramah sekali.
Untuk semua yang ia miliki: saya suka. Dan mungkin itu yang membuat Soca betah di sini. 
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
redagaudiamowrites · 11 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
72 jam di Wakayama
Part 2: KERETA KUCING
Kunjungan ke Wakayama kali ini, saya ditemani Fenny dan Frisca, usai kegiatan kami di Tokyo.
Wakayama tak seperti Osaka atau Kyoto. Apalagi Tokyo. Jadi kalau keduanya mengira ada gedung Uniqlo berlantai-lantai macam di Umeda, jelas nggak bakal jumpa. Wong di Wakayama hanya ada Aeon, ukuran cilik. Begitu juga dengan Don Quixote.
Saya curiga keikut-sertaan mereka ke Wakayama karena terjerat oleh promosi yang saya sampaikan berkali-kali (termasuk kiriman link dan foto-foto) tentang Tama Den, kereta kucing yang berangkat dari stasiun JR Wakayama.
“Kereta Kucing” itu istilah buatan saya saja. Nama resminya adalah Wakayama Tama Densha Train Line. Mengapa disebut kereta kucing? Karena station masternya adalah seekor kucing, bernama Tama.
Berbeda dengan kereta lain yang karcisnya bisa pakai kartu ICOCA yang tinggal tap in dan tap out, kereta kucing punya loket sendiri. Karcisnya adalah sehelai kertas kecil bergambar kereta kucing. Karcis seharga 800 Yen seorang berlaku sepanjang hari. Mau bolak-balik, turun naik kereta kapan saja, selama dalam sehari: silakan.
Saya pertama kali naik kereta ini lima tahun lalu, diajak Soca. Keretanya berlantai kayu, dindingnya penuh hiasan serba kucing. Dari tapak kaki kucing sampai Monalisa berwajah kucing.
Seperti kegirangan saya melihat kereta kucing pertama kali, begitu juga Fenny dan Frisca. Sejak terima karcis, naik, turun, naik lagi, turun lagi, naik lagi, dan turun lagi, mereka tak henti memotret. Fajar, yang menemani kami hari itu (karena Soca harus mengajar), adalah pemandu wisata yang sangat baik. Fajar yang menceritakan kepada kami asal usul kereta ini.
Jadi, tahun 2006, jalur kereta Kishigawa Line yang menghubungkan Wakayama dan Kishi (14 stasiun berjarak pendek-pendek) akan ditutup. Bangkrut. Ketika persiapan dilakukan, warga yang tinggal di jalur ini, meminta agar Kishigawa Line dipertahankan. Mitsunobu Kojima, presiden direktur Wakayama Electric Railway, mempertimbangkan permintaan itu, dan memutuskan untuk  berkunjung ke Kishi, lihat situasi.
Setibanya di Kishi, Kojima disambut oleh Tama, kucing jalanan yang selama ini bermain di stasiun, dan menyapa penumpang yang turun dari kereta. Seakan tahu siapa yang datang, Tama langsung mendekat, mengajak Kojima bermain. Detik itu juga Kojima –yang penyuka anjing—jatuh cinta pada Tama. Kojima, melihat Tama bertindak sebagai kepala stasiun, yang menyambut para penumpang, memesan topi stationmaster untuk Tama.
Setelah Tama menjadi kepala stasiun, jumlah penumpang yang mondar-mandir Wakayama – Kishi bertambah! Dari yang hampir bangkrut, Kishigawa line malah menguntungkan, penumpang naik hingga 3000%, dan menghasilkan 1,1 milyar Yen! Semua ingin bertemu Tama.
Melihat keseruan ini, diajaklah Eiji Mitooka, designer kereta super cepat Jepang, untuk mendandani kereta Tama. Gerbong yang sederhana itu langsung berubah menggemaskan. Lokomotifnya jadi berkumis, lantai dan jendela dari kayu, dipertahankan. Sementara dinding dihias, dan diberi  rak-rak berisi buku anak-anak berbahasa Jepang, Inggris, Prancis dan Jerman. Ada satu gerbong yang menyediakan arena bermain, papan tulis untuk menggambar, lengkap dengan spidol warna-warni. Begitu kereta ini siap, melaju, langsung peminatnya tumpah ruah. Yang naik tak hanya dari wilayah Wakayama saja, tetapi dari seluruh Jepang, juga dunia.
Kalau Teman-teman naik kereta ini, pasti maunya di situ terus, karena memang asyik banget.  
Tetapi karena punya one-day-ticket, pakailah untuk  mampir ke stasiun-stasiun yang dilewati. Karena ini pun menyenangkan. Ada stasiun yang mengantar kita ke sebuah kuil yang diisi oleh 12 patung shio yang terbuat dari kayu. Diukir dengan bagus. Gagah. Oya, souvenir di tempat ini terkait dengan shio-shio itu.
Lalu kereta akan membawa kita ke stasiun di tepi danau kecil, dengan café St. Zephyr yang sangat cantik. Kue strawberry tart-nya enak banget. Lalu ada stasiun kecil dengan pasar super kecil, berisi  beberapa penjual buah segar, mochi…
Dan akhirnya kereta berhenti di stasiun akhir, Kishi. Di sini kita disambut oleh sang station master: Nitama. Anak dari Tama yang tutup usia di tahun 2015. Dia duduk di “ruang kerjanya” yang berdinding kaca. Kita bisa menyapa, memotretnya. Tetapi kalau dia tidur, jangan diketok-ketok dindingnyanya. Kasihan, dia pasti sedang sangat kelelahan bekerja.
Segala sesuatu serba kucing di sini. Stasiunnya bertelinga. Ada toko souvenir, kafe, toilet, dengan ornamen kucing. Silakan pesan kopi, latte, atau coklat di sini. Juga club sandwich, hot dogs, croquette. Kalau nggak salah, spaghetti Bolognese juga ada.
Sudah puas?
Mari pulang.
Atau mampir ke stasiun-stasiun yang tadi tak sempat dikunjungi.
Fenny dan Frisca?
Saya berharap mereka suka dengan kereta kucing ini. Dan mau kembali lagi, mengajak teman-teman lain.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
2 notes · View notes