Tumgik
#skala berak
portallampung-blog · 7 years
Text
Dr. Ir. Mustafa Menjadi Bagian Dari Keluarga Kerajaan Skala Brak
Dr. Ir. Mustafa Menjadi Bagian Dari Keluarga Kerajaan Skala Brak
Portallampung.co – Lampung Barat – Bupati Lampung Tengah (Lamteng) Dr. Ir. Mustafa diangkat sebagai keluarga Kerajaan Skala Brak Kepaksian Bejalan Diway, Selasa (27/6) di Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Pengangkatan secara adat itu dipimpin oleh pejabat Kerajaan Skala Brak Suttan Jaya Kesuma IV dan disaksikan langsung  oleh Raja Skala Brak Irjen Pol Edward Syah Pernong  yang juga pernah…
View On WordPress
0 notes
dianpetro · 5 years
Text
antara rindu dan malu
bukan bukan. tulisan ini tidak akan membahas masalah percintaan antara dua insan. ini membahas pulang, rumah, tempat berkumpul, tempat berlupa.
sudah hampir genap Sembilan tahun sa merasakan lingkungan yang jauh dari rumah. dan setiap kali ada kesempatan untuk pulang, rasanya senang sekali bukan main. berkumpul dengan keluarga hingga main remi bersama teman di pos ronda. agaknya suasana ini juga sempat dirasakan oleh para perantau. selamat weekend perantau! jangan lupa kabari keluarga di rumah.
dulu itu, kan sa tinggal di asrama. kegiatannya sebenarnya asyik. dalam tanda kutip banyak teman yang menyenangkan dan guru yang sangat inspiratif. tapi bayangkan kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang tiap pekan, ya kan bosan ya. monoton. oleh karena itu, pengennya ya pulaang teros. balik rumah, main hape, wah pokoknya pelampiasan lah haha.
begitu juga dengan kuliah waktu awal-awal dulu. ditambah lagi dipertimbangkan dengan kebutuhan ekonomi. ya, soal prioritas lah. masih inget kan dulu pelajaran ekonomi membahas tentang skala prioritas. mana yang paling rugi dan untung. dulu juga sa begitu, mending uang bensin ke rumah apa 3 hari uang makan berturut-urut. bingung hehe. akhirya seringlah pulang, irit pun hati senang berkumpul dengan keluarga dan teman-teman.
lalu, kok sekarang agak berbeda ya kalo mikir buat pulang. walaupun disisi lain adalah kegiatan yang memadat. maksudnya gk cair. pun juga seperti ada rasa malu untuk memutuskan pulang ke rumah. kok malu? la iya, lah. coba kita ingat-ingat kata Imam Syafi’I, “orang yang berakal dan beradab tidak berdiam diri di kampungnya, dia berpisah dari rehatnya dan mengasingkan diri dari negerinya”. nah, gimana nih kalo pulang ternyata tambah tidak berakal dan beradab. pulang sok membawa pembaruan padahal itu tidak dibutuhkan. pulang sok bicara sana sini padahal itu tidak berarti. adanya tidak mengasingkan diri dari negerinya, tapi terasingkan dan diasingkan oleh negerinya.
hehe. sans ko ges. itu nasihat pribadi. adapun jika bermanfaat bagi teman-teman, hanya untuk saling mengingatkan. karena belajar tidak perlu disuguhi status pelajar, cukup menunduk seperti padi berisis yang berjajar.
1 note · View note
freudiancouch · 4 years
Text
oktober: manusia dan harmoni
Berlanjut dari pembahasan kita beberapa bulan yang lalu mengenai manusia yang begitu naluriah, manusia yang sangat tidak bisa untuk diam, manusia yang berakal. Belakangan saya membaca buku sejarah homo sapiens oleh Yuval Harari. Manusia bisa menjadi puncak mata rantai karena kemampuannya untuk membicarakan dua jenis realita. Realita kenyataan, seperti hutan, sungai, atau singa --yang mana kemampuan ini juga dimiliki oleh banyak spesies lain. Di sisi lain, hanya manusia yang mampu mengomunikasikan realita imajinasi, seperti dewa, uang, atau perusahaan. Manusia mempercayai adanya realita imaginasi, "communal imagination" membuat manusia bisa bekerjasama dalam skala besar, membuat manusia mengeksplor seluruh bumi, namun tidak membuat jaringan antar manusia menjadi satu entitas tunggal.
Menghubungkan semua orang artinya menumbuhkan benih-benih konflik. Jaringan ini memang saling berhubungan, tetapi tidak harmoni. Satu yang tidak homogen. Populasi manusia tidak sama dengan jamur oregon yang merupakan entitas tunggal. Manusia, ya, manusia. Saling berhubungan, tapi berbeda-beda hubungannya. Penuh fluktuasi, penuh warna. Bahkan pandemi virus corona yang sama sekali tidak memandang suku, ras, agama, kekayaan, kemampuan pun tidak bisa mengharmonikan kita.
Yuval benar, homo sapiens terlalu cepat melompat ke puncak rantai. Manusia jadi gagap, tidak siap, penuh ketakutan dan ketidakpercayaan atas apa yang kita punya. Domba yang memiliki nuklir lebih berbahaya daripada serigala yang tidak punya nuklir. Karena domba ketakutan, sedangkan serigala tidak.
0 notes
chokyusays · 4 years
Text
Imbauan #dirumahaja, WFH (work from home), social and physical distancing masih terus gencar. Malah makin gencar, mungkin, menyadari fakta bahwa korban jiwa dan penderita wabah ini semakin banyak.
Chokyu sedih, kecewa, marah, dan frustrasi bukan main ketika psikolognya memberi info bahwa layanan psikologi ditutup hingga akhir Maret. Tapi Chokyu mengira mungkin bisa lebih lama dari itu, sampai setidaknya 1 bulan ke depan, karena pemprov tempat Chokyu menumpang tinggal mengumumkan status tanggap darurat wabah diperpanjang hingga minggu ketiga April.
Tentu Chokyu tidak sendirian yang merasa begitu. Mungkin tidak hanya Chokyu yang merasa bahwa pergi ke psikolog dan melakukan terapi (apapun itu, sesederhana meniup balon sambil meluapkan emosi dalam cerita) adalah alasan untuk bertahan hidup sehari lagi.
Buat Chokyu, perubahan akibat wabah ini sangat berat. Ya, lagi-lagi tentu saja bukan hanya Chokyu yang merasa begitu. Untuk orang yang bermental sehat saja keadaan ini sudah berat, apalagi yang cukup “rentan” seperti Chokyu.
Di saat Chokyu merasa cukup berani untuk ke luar rumah, muncul imbauan #dirumahaja. Rumah di mana Chokyu saat ini menumpang bukanlah tempat yang aman. Chokyu bisa membuat tempat ini cukup nyaman, tapi sepanjang Chokyu dan para pemiliknya ingat, di rumah itu Chokyu dan mereka hampir tidak pernah merasa aman. Selalu ada kewaspadaan, kecurigaan terselubung, ketakutan, dan ketegangan di rumah itu, sekalipun isu-isu “tidak rasional” ini akan ditepis mentah-mentah jika diungkapkan kepada keluarga asuh Chokyu. Tapi memang itu yang Chokyu rasa, dan tentunya dirasakan juga oleh beberapa pemilik Chokyu yang sudah puluhan tahun menumpang di sana.
Di platform media sosial manapun, sebut saja Instagram, Twitter, Whatsapp, hampir semua kontak/pengikut/akun yang diikuti Chokyu membuat post tentang Work From Home (WFH). Ada yang mengeluh tidak bisa WFH, ada yang mengeluh terselubung karena harus WFH. Chokyu sangat ingin bisa kembali fungsional, kembali bekerja. Nampaknya kenalan Chokyu memang hampir tidak ada yang pernah mengalami masa menganggur selama Chokyu (yang sudah hampir satu tahun belakangan ini kesulitan bekerja formal, bahkan sebelumnya pernah juga begini hampir 2 tahun). Sesaat seperti tidak ada yang merasakan bahwa bekerja, di manapun itu (rumah atau kantor), patut disyukuri, selagi lingkungannya tidak toxic, tetap bisa menjadi tempat aktualisasi diri, dan tentunya dibayar untuk bisa tetap memenuhi kebutuhan hidup.
Mereka baru tinggal di rumah selama 2 pekan, tapi seakan itu hukuman seumur hidup. Padahal, ketika wabah ini mereda, katakan paling lama beberapa bulan lagi, mereka akan bisa bekerja seperti biasanya lagi. Tentunya mereka akan mengeluh lagi karena harus bangun pagi dan pergi ke kantor, berangkat-pulang ber-macet-ria, banyak kerjaan, “kangen” WFH, dan lainnya. Chokyu hampir bisa pastikan itu.
Kalau Chokyu mengeluh di media sosial bahwa dia ingin ke luar rumah, akan ada post-post lain yang seakan menyindir bahwa ribuan orang berjuang di luar rumah demi kemaslahatan umat manusia. Memang tidak ada yang salah di sini dan saat ini.
Yang paling berat menurut Chokyu adalah social dan physical distancing. Distancing. Sudah ditebalkan tulisannya. Baru 3 bulan belakangan ini Chokyu merasa ada harapan untuk kembali membangun hubungan interpersonal, kembali melibatkan diri dalam pertemanan dan perkumpulan.
Setidaknya Chokyu berpikir dan merasa bahwa masih ada yang ingin (atau setidaknya tidak keberatan) Chokyu mampir/muncul/hadir secara fisik dan hati di hidup mereka, sesederhana terlihat dari antusiasme psikolog/terapis Chokyu dalam menyambut sesi (dan tentunya membuat Chokyu semangat untuk melewati hari-harinya dan menyambut hari baru), teman-teman dekat Chokyu yang mengharapkan kehadiran dia untuk sekadar merampok susu beruang kutub dan camilan di kulkas mereka atau maskeran sambil menggosip (Chokyu memang agak centil) atau bahkan sekadar mampir untuk (maaf) menumpang buang air besar di toilet mereka, teman-teman baik yang senang bermain permainan olahraga dengan Chokyu, dan lainnya.
Kata “distancing” ini seakan membuat Chokyu tertolak. Sama sekali tidak ada pengaruhnya dari social diganti physical. Kata “d” itu yang sensitif tapi berefek besar dan kuat pada Chokyu. Seakan ada yang mengharuskan Chokyu menjauh, sekalipun itu instruksi pemerintah dan instansi skala global demi kemaslahatan masyarakat seluruh dunia. Salah satu ketakutan terbesar Chokyu adalah ditinggal pergi oleh orang-orang yang Chokyu anggap berarti dalam hidupnya. Di saat Chokyu baru mulai berani untuk kembali percaya dengan orang lain dan menjalin hubungan yang lebih stabil dan sehat, hubungan apapun itu (terapis-klien, pertemanan, antar-kolega, perkumpulan seminat), Chokyu kali ini dipaksa kembali membuat jarak, bukannya “terpaksa” seperti biasanya karena default sistem pertahanan diri Chokyu yang tebal dan tinggi.
Memang benar ada teknologi bernama panggilan suara dan panggilan video yang dapat dimanfaatkan untuk sesi konseling online atau tetap terhubung dengan teman. Tapi Chokyu punya seri pengalaman yang tidak terlalu menyenangkan yang melibatkan teknologi ini, apalagi melibatkan panggilan selama belasan, puluhan, apalagi ratusan menit. Lebih dari 90% dalam beberapa kali panggilan ini selalu berakhir dengan Chokyu merasa lebih kesepian, lebih hampa, dan lebih cemas. Entah kenapa. Yang jelas Chokyu sudah pernah kembali mencoba itu dengan orang-orang yang Chokyu sangat hargai eksistensinya dalam hidupnya, dengan macam-macam durasi, tetap saja efeknya begitu.
Untuk texting secara aktif (walaupun tidak seaktif dulu) saja saat ini Chokyu sudah punya kemajuan pesat. Bahkan untuk kembali dan tetap mengaktifkan internet di HP saja sudah perkembangan luar biasa dalam beberapa bulan terakhir. Jadi, bukan karena Chokyu yang memang “ingin menjauh” ketika orang lain berusaha mendekat, tapi semata-mata Chokyu mau melindungi diri dan meminimalisasi mimpi buruk ketika tidur di malam hari.
Kalau ditinjau ulang, alasan Chokyu begitu “bermasalah” dengan #dirumahaja sementara hampir setiap hari dalam setahun belakangan ini memang selalu di rumah-tidak bekerja juga-cuma goleran, adalah karena Chokyu merasa kembali terperangkap di masa-masa kelam yang pernah Chokyu alami. Insecurity Chokyu yang cukup krusial, yang sama sekali belum teratasi dengan baik, malah meningkat.
Terapis Chokyu pernah berkata yang kurang lebih begini, “Selama treatment, kita tidak selalu berjalan ke depan. Kadang maju selangkah, ke samping 2 langkah, ke belakang 3 langkah.” Intinya, vektor (jarak dan arah) tidak berpengaruh selagi kita terus melangkah. Satu hal yang membuat Chokyu belum bisa setuju dengan perkataan terapisnya adalah bahwa Chokyu bisa menerima arah ke depan dan samping, tapi Chokyu tidak mau kembali ke belakang. Chokyu merasa 5 tahun adalah waktu yang cukup lama baginya (dan beberapa orang yang masih peduli dengannya) untuk banyak memaklumi kemunduran dirinya. Dia tidak bisa mengambil risiko 5 tahun lagi untuk setidaknya (jika tidak mundur terus) terus begini. Itulah mengapa Chokyu selalu berusaha keras dalam setiap sesi terapi untuk mengatasi masalah dan ganjalan dirinya, sekalipun melakukan itu sakit dan berat bukan main. Sesederhana dia tidak ingin membuang waktunya lagi (dan tentunya waktu terapisnya yang sangat berharga karena beliau sangat jago).
Sudah puluhan sesi dan mungkin ratusan jam yang dihabiskan Chokyu bersama terapisnya, hampir setiap kali terapis Chokyu mengingatkan untuk tidak terlalu keras dengan diri sendiri, tapi Chokyu belum bisa melakukan itu karena hasrat terbesar Chokyu adalah ingin segera kembali fungsional, ingin segera kembali punya hubungan interpersonal yang baik dan sehat, ingin perlahan kembali bisa memaknai hidupnya secara duniawi dan spiritual dengan menjadi pinguin yang tidak sia-sia diciptakan.
Tapi kembali lagi, pandemi ini memang membuat seluruh dunia dalam tekanan. Seluruh dunia. Hanya makhluk hidup yang tidak berakal dan tidak berperasaan yang tidak terpengaruh dengan ini.
Saat ini Chokyu hanya bisa mencoba bertahan dan berdoa.
Bertahan untuk kembali tenang walaupun serangan panik/cemas itu selalu mengintai dan siap menerkam tiap saat. Bertahan tetap tidur meskipun hanya mimpi buruk yang menanti lelapnya. Bertahan untuk tidak mengikuti impulsivitas yang berpotensi merusak dirinya lebih jauh. Bertahan satu jam lagi, satu jam berikutnya, satu jam berikutnya, terus sampai tiba waktunya pandemi ini berakhir dan Chokyu bisa perlahan kembali bebas.
Berdoa kapanpun Chokyu mampu, sekalipun hanya Tuhannya Chokyu yang berhak menentukan apakah ibadah dan doa Chokyu diterima karena sering lupa (tidak ibadah/doa pada waktunya, tidak sempurna sesuai ketentuan, atau mungkin ibadahnya dobel/tripel) atau sering tidak dalam kondisi mampu.
Semoga usaha Chokyu dan jutaan orang lain yang sedang melakukan karantina diri untuk pencegahan penyebaran wabah dan sebagai upaya mandiri pelandaian tren kasus pandemi tidak sia-sia.
Tumblr media
0 notes
janatunrahmilah · 6 years
Text
Boleh Jelajahi Media Sosialmu, Asalkan...
Sudah selesai pekerjaanmu? Sudah tilawah? Sudah baca berita? Sudah tengok Bab 4? Sudah siapkan media pembelajaran? Sudah baca materi? Sudah bantu Ibu? Sudah baca buku? Sudah ke penghulu?
Boleh kok. Mau menjelajahi sakerekebek medsosmu, silakan. Hahaha. Tapi pastikan itu...
Konten Positif. Entah itu melihat, menonton, menyukai, menyebarluaskan. Semua halnya harus serba positif.
Ingat Waktu. Jangan sampai Ibu menggerutu gara-gara main instagram melulu, haha pengalaman nih.
Media Dakwah. Nah, media sosial ini adalah ajang kita selaku muslim untuk terus aktif menebar kebaikan. Kalau mereka bisa eksis, kita juga harus istiqomah eksis dalam menyebarluaskan Islam.
Ada beberapa hal yang sebenarnya sedang saya jalani sebagai kontrak akses media sosial. Hahaha. Jadi ini cara saya mengontrol waktu dan rasa ingin tahu berlebih. Terutama Instagram! Seperti yang kita tahu, dari semua media sosial, IG ini menjadi 'kekhawatiran' tersendiri bagi saya.
Di angkot buka IG, lagi ngobrol sama ortu buka IG, lagi di jalan buka IG, lagi makan buka IG, lagi nugas buka IG, lagi berak buka IG, lagi apapun buka IG.
Ini saya, bagaimana kamu?
Dengan banyaknya waktu yang terbuang oleh IG, saya membuat kontrak akses medsos ala saya haha. Kalau mau diterapkan salah satunya boleh banget nih. Atau kamu punya cara tersendiri boleh dong sharing.
Boleh main media sosial, asalkan...
Sudah baca buku? Nah, saya beli buku baru dari tiga bulan yang lalu. Tapi belum selesai dibaca sampai hari ini. Makanya saya masukkan syarat ini sebagai pengendali. Avatar kali ah.
Sudah baca berita/artikel? Karna terlalu terbuai oleh deretan story teman, sampai kita lupa baca berita. Apa yang terjadi hari ini, apa yang sedang terjadi di dalam negeri atau luar negeri, prestasi Indonesia di mata dunia, hutang Indonesia yang semakin melesat uwuwuuw, dsb. Jangan hanya tahu tentang yang viral seperti ingin berduaan dengan dirimu Eiqbwall~~ tuh kan nyanyi.
Tapi perlu juga menambah wawasan, sekaligus mencari referensi untuk pembelajaran di kelas, mungkin. #hahaseeq
Atau saya juga menerapkan beberapa penguat ruhiyah.
Sudah baca Al-Matsurat? Jadi, dulu tuh tiap bangun tidur pasti aktifkan HP dan langsung menghubungkan koneksi internet. Dengan adanya pertanyaan ini semoga menyadarkan akan pentingnya interaksi kita dengan Allah dulu, baru interaksi kita dengan manusia.
Sudah baca Al-Qur'an? Ini yang paling membuat khawatir. Jadi target tilawah terbengkalai karna kesibukan (baca: main IG). Makanya perlu diingatkan dengan kontrak yang satu ini. Penting!
Sudah melanjutkan Bab 4? Hahaha. Ya maaf atuh kalau nyeredet hate. Mengingatkan sekaligus meng-eling-kan.
Saya juga ingin menerapkan yang lebih ketat lagi (belum terlaksana). Kuota 2 jam/hari untuk media sosial (IG/FB). Unlimited untuk baca berita/artikel/chatting.
Selebihnya kita bisa memilih kontrak akses media sosial sesuai apa yang kita inginkan. Sama halnya dengan kontrak kerja dan kontrak belajar, tidak boleh melanggar. Tapi disini BOSnya KAMU SENDIRI, kamu bisa saja melanggar sesekali, karna tidak diketahui orang lain, toh ini perjanjian pribadi kan? Apakah komitmenmu sepicik itu? Mari kita belajar mengasah kejujuran.
Kemarin pertama kali buka IG lagi setelah dua pekan puasa IG. Saya banyak mengambil hikmah, membaca artikel tentang dampak positif dan negatif medsos dari beberapa blog/web penulis, sampai akhirnya saya menulis ini. Dan saya langsung lihat IGTV Ust. Felix Shiauw, beliau bilang "Kalau bukan kita yang mengisi media sosial, lantas apa kabar dengan mereka yang menyebarluaskan fitnah terus-terusan tentang agama kita. Manfaatkan media sosial sebagai ajang dakwah". Ini nasehat yang langsung nusuk ke ubun-ubun haha.
Saya juga sempat baca artikel Jamil Azzaini, dan mencoba menerapkan metode Ive Lee yang beliau jelaskan.
Menuliskan 6 hal penting untuk di terapkan besok. Dan jangan lupa membuat skala prioritasnya. Baiklah, saya pun mencoba. Hari ke 1, ada yang terlewat lupa dikerjakan, lanjut hari ke 2, nambah dua kegiatan terlewat haha, saya lanjut hari ke 3, 4, 5 dst alhamdulillah mulai terbiasa. Padahal hanya 6 hal ya.
Dengan metode ini, saya merasa lebih produktif. Target setiap harinya tercapai. Terus lakukan sampai tiga bulan agar menjadi kebiasaan. Saya biasa menuliskan di NOTE HP agar lebih mudah. Nah, kalau sudah menyelesaikan 6 hal ini, barulah kamu BEBAS akses media sosial. Main medsos itu di akhir waktu yang tersisa, bukan di awal waktu, itu saya. Kan kita sudah (berjanji) menuliskan skala prioritas hari ini di hari kemarin. Berikut contoh punya saya.
Tumblr media
Contoh yang saya tampilkan ini belum dibuat urutan prioritas, baiknya kamu mengurutkan dulu dari skala 1-6 agar lebih tertata. Saya juga mau perbaiki deh hehe. Cara ini MANJUR PISAN buat saya. Tanpa perlu menonaktifkan akun segala kaya kemarin-kemarin tuh haha, apalagi menghapusnya permanen. Kita masih bisa mengakses medsos, lalu berbagi konten kebaikan. Ya kaaan? InsyaAllah sah.
Jadi kalau saya akses media sosial, berarti saya sudah menyelesaikan 6 hal penting di setiap harinya.
Camkan itu. Haha.
Mulai kapan? Ya mulai sekarang! Memulainya mudah, mempertahankannya susah. Ini berat, tapi kita kuat! Haha.
Mau cara yang mana? Bebas. Hanya kamu yang bisa mengontrol bagaimana seharusnya dirimu bermedia sosial. Selamat mencoba! :)
Seperti biasa, yang menulis tak lebih baik dari yang membaca. Semoga manfaat.
Janatun Rahmilah
Bandung, 26 Juni 2018
7 notes · View notes
superhaaen-blog · 8 years
Text
Seperti itu
Hujan yang turun bukan pertanda adanya jawaban atas keresahan tadi pagi. Mungkin hanyalah cuilan akan sulitnya menemui jalan bagaimana cara tersenyum hingga mempengaruhi orang di sekitarku, kalau aku memang betul sedang baik-baik saja. Aku termasuk orang yang sulit dipengaruhi orang lain, bilamana tujuan ia untuk menyalurkan keburukan padaku. Jangankan yang kurang baik, hal yang kuanggap baik saja masih sempat panjang dipikirkan. Mudahnya saja dia bernafas lega lagi bahagia seolah nominal uang di layar ATM berubah sesaat dapat kabar dari ayah. Tapi nyatanya ia tidak. Karena bagiku, orang-orang yang kau anggap kurang persis denganmu sebut saja aspek kepintaran, dirimu kira mereka tak lebih pintar darimu sampai-sampai dengan ringannya ada niat darimu agar terus mengelabuhinya. Namun bagiku kau sudah terbodohi dengan dirimu sendiri. Coba pikir lagi, pelan-pelan. Orang yang kau tuju sudah tahu jika kau ingin membodohinya. Orang yang kau anggap "teman" mu itu paham secara matang akan ego, juga nafsumu yang kamu anggap terkendali itu. Materi berbentuk barang yang seakan mengajakmu lebih memilihnya dibanding sang pemilik barang itu. Semurah itukah kepintaranmu ? Kecerdasanmu seolah membentengi dalam mengkomparasikan dengan mahluk berakal lainnya. Dalam apa ? penggunaan ? Atau skala jarang tidaknya mengakui diri ? Hanya saja kenyataan akan mendongengkanmu lebih lanjut sebelum kau jatuh ke alam bawah sadarmu. Itu semua khayalanmu saja, belum berevolusi jadi real. Coba amati dan renungkan lagi, ada tempat ibadah yang merindukan kehadiranmu. Pada akhirnya hujanlah yang lebih lancar menceritakan padaju, bahwa tiap rintiknya rela bertemu apapun yang ia jumpai. Tiap desir airnya mengundang pujian para mahluk yang hari-harinya terisi dengan panas terik kekhawatiran. Ditambah cacian dari mereka yang kurang bersyukur akan apa apa yang sanggup dikerjakan, hingga nihilnya manfaat yang ia sebar kepada teman sejawat. Keluar dari mulutnya cerita buruk seolah itu bukan akibat dari kefatalan tindak tanduk kelakuannya. malah makin menjadi-jadi tuk menghardik keadaan. Yang jelas, hujan lebih paham akan segala manfaat yang ia tularkan meski pada akhir ataupun ketika perjalanannya banyak berpapasan dengan aneka kerasnya tanah, lembutnya dedaunan, hingga betah dirinya mampir ke permukaan wajah manusia yang indah. Seiring memberi penjelasan penuh harapan memperbaiki keadaan dan kenyataan. " Jadilah orang yang bermanfaat, jangan sampai jadi orang yang merasa bermanfaat." Tangerang, hujan sore. 6 Januari 2017.
2 notes · View notes
portallampung-blog · 7 years
Text
Festival Skala Brak, Pemkab Lambar dan TNBBS akan Gelar Lomaba Jelajah Alam
Festival Skala Brak, Pemkab Lambar dan TNBBS akan Gelar Lomaba Jelajah Alam
Portallampung.co-Dalam rangka Festival Skala Brak IV Pemerintah Kabupaten Lampung Barat bekerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BB-TNBBS) akan menggelar Lomba Jelajah Alam Kubu Perahu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan IV (JAKP TNBBS IV). Demikan dikatakan, Ketua Pelaksana Kegiatan JAKP TNBBS IV Drs. Sandarsyah mendampingi Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan…
View On WordPress
0 notes
mojokco · 10 years
Text
Godaan Melecehkan Agama, dari PKI hingga Charlie Hebdo
“… adalah satu kenjataan bahwa partai2 Nasionalis dan Komunis di Indonesia tidak melakukan propaganda anti-agama; baik tentang al Qur’an, tentang mesjid, tentang isteri Nabi, tentang geredja, dan tentang hal2 agama pada umumnja” ~ Editorial Harian Rakjat/PKI, Februari 1965
Teror mengerikan yang menimpa tabloid Charlie Hebdo (CH) di kota yang melahirkan prinsip universil “Liberté, Egalité, Fraternité” menjadi frontpage dari 400-an koran di semua benua di muka bumi ini. Dengan mengusung jurnalisme satir, pemuatan secara berulang-ulang karikatur yang melecehkan keyakinan orang lain, para jurnalis “left wing” yang bekerja di belakangnya menerima serangan balik paling mematikan dan menggegerkan dunia.
Sayap-kiri dan anti-agama, begitu CH diidentikkan, kembali mengusik dan mengganggu ingatan historis kita. Di Indonesia, sayap-kiri paling gahar itu Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan mereka secara laten diidentikkan dengan rombongan besar yang menganut politik anti sila pertama Pancasila.
Untuk mengetahui sejarah sehari-hari PKI, terutama generasi ketiga di bawah kepemimpinan politbiro D.N. Aidit, saya membaca secara tekun koran yang mereka terbitkan. Koran itu merekam apa yang mereka kritisi, dan bagaimana mereka mengambil tindakan lewat ucapan propaganda terhadap masalah yang berada di depan mata.
Dari 12.500 halaman Harian Rakjat; dan ada 3.500 editorial Harian Rakjat yang sudah diketik ulang di Warung Arsip, saya masih belum juga menemukan bahwa PKI secara sengaja dan berulang-ulang dengan ekstase yang membuncah-buncah melecehkan agama atau figur yang di-suci-kan umatnya.
Ada memang drama “Matinya Gusti Allah” yang dipentaskan keliling di Jawa Tengah, tapi ini anomali di antara ribuan karya kreatif yang diciptakan PKI atau mereka yang merasa sreg dengan garis ideologi dan politik yang diusung partai ini.
Puisi, cerpen, novel, pidato, drama, lirik lagu, karikatur, dan lusinan statemen politik dalam debat dan demonstrasi hampir tidak berurusan dengan keyakinan agama yang disucikan penganutnya.
Kalaupun terarsir dengan kiai, ulama, Darul Islam, Masjumi, itu bukan karena perkara pokoknya pada sentimen anti-agama, melainkan relasi ekonomi-struktural dalam proyek rebutan konstituen dan agraria yang dicanangkan politbiro dan commitee central.
Bagi PKI dan fans-nya, mengolok-olok dan melecehkan agama lewat editorial dan pictorial bukan saja kontraproduktif bagi perjuangan politik, melainkan juga cari mati secara konyol. Selain itu, melecehkan agama adalah pelecehan pada iman konstituennya yang notabene kebanyakan beragama samawi.
Maka ketika pada Januari 1965 ada isu berhembus dari Kanigoro, Kediri—dan ini yang terpanas yang saya bisa temukan—bahwa PKI injak-injak Kitab Suci, masuk rumah yang di-suci-kan dengan memakai alas kaki, PKI dan Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dalam Front Nasional Jawa Timur dengan sigap dan cepat melakukan investigasi. Hasilnya minor.
Tindakan PKI, untuk menjelaskan secara terbuka duduk perkara sebuah kasus, sama cepatnya ketika muncul isu Ketua Ranting Barisan Tani Indonesia (BTI) Jatiwates yang menyuruh dua bocah umur 6 dan 8 tahun berak di undakan kolam Masjid Jami, Jombang. Sebab jika dibiarkan, isu ini bisa membakar apa saja dengan daya rusak mengerikan.
Bagi PKI, melecehkan agama lewat produk jurnalistik (termasuk karikatur), karya kreatif, dan aksi-aksi demonstrasi adalah selera rendah dalam politik massa. PKI sadar melakukan tindakan itu adalah langkah bunuh diri yang konyol. Alih-alih menghina agama samawi, PKI justru habis-habisan di Sidang Konstituante 1957-1958 membela eksistensi keyakinan pribumi—yang oleh negara saat ini diringkus dalam frase: “aliran kepercayaan”.
Demikian itulah, namanya saja nasib sial, ia datang tanpa diduga skala rusaknya. Bahkan dengan tidak melecehkan agama pun, kaum kominis Indonesia ini dibantai, dan dikerangkeng dengan kuantitas bejibun-jibun, yang makin ke sini makin tinggal kenangan statistik.
0 notes