#sitihajar ibrahimismail sai
Explore tagged Tumblr posts
Text
SAāI
Sebagaimana namanya, āhuman beingā, manusia akan terus menerus āmenjadiā; ia berkembang, berproses, bertumbuh. Segala yang ada, tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Sehingga, hakikat segala sesuatu adalah āmenjadiā (read : filsafat āmenjadiā). Konteks menjadi sangat lekat dengan manusia. Karena setiap jiwa tidak akan sama antara hari ini dan esok, tahun ini dan tahun kemudian. Setiap detik, ia akan berproses menjadi dirinya yang baru. Salah satu proses manusia yang harus dilalui adalah keterpurukan, keputusasaan, untuk menaiki fase yang lebih tinggi.
Beberapa waktu lalu, saya terlibat percakapan dengan seseorang, dan membahas tentang āketerpurukanā (down) tersebut. Kemudian, ia menyebutkan tentang proses Saāi-nya Sayyidati (Siti) Hajar. Ibrahim āalaihissalam, atas perintah Tuhannya, meninggalkan Sayyidati Hajar bersama Ismail āalaihissalam yang masih bayi, di sebuah lembah yang gersang dan sunyi. Hingga, ia kehabisan bekal air, bahkan air susunya mengering. Ismail kecil menangis kehausan. Hajar kemudian berjuang mencari air untuk anaknya, berlari-lari antara bukit Safa dan Marwa berkali-kali. Ia seolah melihat air, namun hanyalah fatamorgana. Ā
Di tengah keletihan Hajar yang dahsyat, Ismail terus menangis dan menghentakkan kakinya di tanah. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Hajar kala itu sebagai Ibu, melihat anaknya kehausan tapi tidak ada apapun untuk diminum. Ah, untung saja Hajar mempunyai hati yang luas yang tingkat kepasrahan pada Tuhannya sangat besar. Hingga kemudian, berkat rahmat Allah, terpancarlah air di ujung kaki Ismail āalaihissalam yang kelak tidak hanya memenuhi kebutuhan mereka berdua, namun hingga jutaan manusia; air zam-zam.
Kondisi seperti yang dialami Sayyidati Hajar ā keputusasaan, keterpurukan, merasa sendiri ā tentu pernah dialami hampir semua jiwa. Setiap perjalanan seorang anak Adam, akan menemui kondisi seperti putaran roda. Tuhan menginginkan setiap jiwa untuk merasakan setiap putarannya, agar ia mampu merasa. Mampu merasai, bahwa keterpurukan memanggilmu untuk kembali menjadi manusia yang āandap asorā, yang rendah dan bukan siapa-siapa. Keterpurukan, menjadi putaran yang patut disyukuri, karena dari sana kita kembali berpasrah total, atau kalau orang Jawa menyebut ādepe-depeā. Artinya, Gusti Allah, mengulurkan ātanganā-Nya untukmu, agar engkau kembali mengingati-Nya.
Tapi, di antara kegersangan yang mengelilingi Hajar, ia memaknai kepasrahan dan kesabaran bukan dengan sikap yang pasif. Ia terus mencari jalan keluar. Ia ber-saāi hingga tujuh kali, berlari antara Safa dan Marwa. Ternyata yang dicari-carinya justru sangat dekat; di bawah kaki Ismail. Meski demikian, ia harus tetap melakukan saāi nya, melakukannya adalah pra syarat untuknya menemukan air di tengah kegersangan. Seringkali, kita, manusia, harus berproses sedemikian pelik untuk menemukan kemudahan yang kadangkala sangat dengan kita. Namun, proses adalah syarat yang wajib ditempuh; seperti saāi-nya Sayyidati Hajar.
Maka nikmati prosesnya, nikmati saāi-nya. Putus asa dan terpuruk bukan hal tabu. Ia harus dilalui untuk menjadikanmu manusia yang baru.
0 notes