Day 17 Augustrope : Friend with Benefit
Ghea x Harumi [Shika's OC]
TW : hurt, angst, mention of sex, and ... Is it categorized as NTR/cheating? I don't think so. But in case, so yea
"Kamu ada di sini untuk menerima semua rasa sakitku dari perempuan itu. Tidak lebih."
-----
"... mau kemana. ..?"
Ini masih pagi.
"Bukan urusanmu."
Ghea mau siapkan sarapan.
"Ah. Um ...."
Tapi, kenapa Harumi terus menghilang? Bahkan, tanpa berpamitan. Tanpa mengucap salam.
Kalau dirinya tidak terbangun karena grasak-grusuk di samping ranjang, mungkin lagi-lagi Ghea akan terbangun hanya ditemani jejak sprei kusut seseorang yang baru saja menidurinya.
Brak.
Tidak butuh sampai lima menit, lelaki berkulit putih cerah itu lenyap ditelan pintu coklat yang menutup. Hembusan napas panjang terdengar menyusul kemudian.
Sesak.
Ghea masih bergeming sambil mencengkeram selimut yang menutupi tubuh tanpa sehelai kain meliputinya. Ia yakin kamarnya ini lebih dari cukup untuk dikatakan luas, tapi atmosfer di sekitar terasa begitu padat. Terus dan terus menghimpit raga hingga benar-benar terpojokkan di tempat. tak mampu berbuat apa-apa, selain terus berusaha mengisi paru-paru untuk sekedar mampu melalui hari seorang diri.
"Tidak usah khawatir, Ghea. Bagaimana pun juga, Harumi pasti akan pulang."
Pasti.
Karena Harumi membutuhkan dirinya.
Dan Ghea menginginkan dia.
... tapi lelaki itu tak pernah sedikit pun menginginkan dirinya, di luar kepuasan yang bisa didapat setiap malam. Saat matahari absen dari tugasnya. Kala mereka berada di bawah lampu yang padam.
Hanya pada waktu itu, Harumi berkenan merangkul raga Ghea rapat-rapat. Saling menyentuhkan kulit sambil mendendangkan desah di tengkuk, seakan itu adalah hal terakhir yang akan gadis itu dengar seumur hidupnya.
Masih mempertahankan kain penghangat yang menempel di badan, perempuan berambut coklat serupa madu melangkah turun dari tempatnya, lantas melangkah ke kamar mandi. Sebuah kaca bundar kecil langsung menyambutnya. Memamerkan bekas-bekas membiru dan gigitan yang menempel di beberapa sisi tubuhnya.
Ghea meringis. Perihnya baru terasa. Beruntung ia selalu menggunakan gamis dan khimar panjang, jadi jejak pelampiasan Harumi takkan terlihat oleh siapa pun kecuali olehnya (dan Harumi, tentu).
Sekali lagi, Ghea menarik napas panjang, kemudian menghembuskan pelan. Terus dan terus mencoba menenangkan diri. Memasang senyum paling lebar dan paling positif kepada refleksinya di balik cermin sana.
Namun, bagaimana pun juga, fakta bahwa dia harus berjuang di sini seorang diri, lebih dari untuk meluluhlantakkan ketangguhannya. Kehangatan dari bulir bening yang jatuh satu persatu dari pelupuk mata, terasa di kedua pipinya.
Semakin keras ia mencoba mendamaikan hati, semakin kencang isak yang dia hambat di balik bekapan kedua tangan. Sepasang lutut kemerahan pun nampak tak lagi memiliki energi tersisa untuk menopang raga yang bergetar hebat.
Ghea jatuh terduduk. Membiarkan air mata jatuh di atas ubin hijau di sana. Dia bahkan tidak mampu menampik bayang-bayang Harumi yang selalu terlihat bahagia dan semangat saat ada Shella--bukan saat bersama dirinya.
Juga bagaimana Harumi menggaungkan dengan penuh cinta nama gadis itu di telinga Ghea--saat malam intim Harumi dengan dirinya--dan bukan namanya.
Gadis itu merapatkan tubuh ke dinding. Memeluk kedua kaki yang terlipat dan membenamkan wajah di sana. Sekarang, eksistensi Ghea seperti ada dan tiada di dunia ini. Ia memberikan seluruh hidupnya, seluruh raga, dan seluruh perasaannya untuk pria yang dia cintai setulus hati. Untuk bisa terus bersama dengannya.
Aku berhasil mendapatkan yang aku inginkan.
Aku pikir aku bisa menjadikan hatimu satu-satunya.
Tapi, apa?
Di kisah ini aku bukanlah apa-apa, selain makhluk bodoh yang mencoba membuka hati orang yang masih terbelenggu oleh cinta tak terbalas.
"Ghea."
Gadis yang tidak sadar sudah terlelap hingga sore menjelang, mendongak kala suara familier menyebut namanya. Wajah kusut, mata sembab, bibir yang kering dan pucat menjadi penampilan yang dia suguhkan malam itu kepada Harumi yang baru pulang entah dari mana. Mungkin, habis bertemu Shella, atau bertengkar lagi dengan pacar baru perempuan tersebut.
Meski begitu, tak ada sedikit pun raut khawatir terlukis di wajah tegas Harumi. "Sudah selesai? Aku mau mandi."
Ghea bungkam. Harumi memanggil sekali lagi, baru dia bersuara, "Harumi ...," ucapnya lirih. Terlihat jelas kelelahan dari caranya berbicara. "... Ghea pingin ... sekali saja dengar Harumi panggil nama Ghea setiap kita seks. Ghea pingin sekali saja ... diperlakukan seperti kekasih Harumi. Tidak apa-apa kalau pura-pura. Hanya semalam, Ghea pingin diperlakukan seperti Harumi ke Shella."
Harumi mengepalkan tangan. "Kamu lupa apa yang kamu sendiri tawarkan padaku, Ghea?"
Lakukan saja apa yang Harumi mau. Ghea siap jadi pelampiasan Harumi, asalkan Harumi mau tinggal lagi sama Ghea.
"Kamu ada di sini untuk menerima semua rasa sakitku dari Shella. Tidak lebih," sambung Harumi kemudian. Sorot mata coklatnya tetap menyalang tajam. Tak peduli. Tidak mau tahu.
"Tapi, Ghea lelah! Ghea juga punya perasaan! Ghea mau dimanja. Ghea mau merasakan dicinta, seperti Shella! Ghea mau nama Ghea yang diucap Harumi, dan bukan nama perempuanmu itu! Sekali saja, Harumi! Sekali saja ...."
"Untuk sebentar saja, balas perasaan Ghea yang masih tidak berubah sejak kita putus!"
Ghea memperadukan manik ungunya dengan milik si pemuda. Berharap akan hadirnya kelembutan dan penerimaan di sana. Namun, yang dia terima tetaplah kebisuan dan dingin yang terus menusuk hingga ke tulang. Menembus ke dada dan membekukan jantung yang mulai berdetak lambat.
Aku menang.
Sang gadis bangkit sempoyongan dengan kepala menunduk dalam. Membiarkan beberapa helai rambut terurai menutupi wajah. Melangkah pelan ke orang di depan sana. Kedua tangan terulur dan mendarat di sisi kepala Harumi, saat jarak hanya tersisa satu jengkal. Kemudian, menghilang satu detik kemudian.
Aku menang.
Ghea menyatukan bibirnya dengan bibir Harumi, dan tetap dalam posisi untuk beberapa saat. Menikmati kekenyalan dan lembutnya tekstur tersebut. Betapa hangat dan nyamannya setiap hembusan napas yang menerpa kulit wajah. Membebaskannya memenuhi pikiran dan menjadikan hal itu satu-satunya keberadaan di sana. Menggantikan kekecewaan dan rasa sakit yang terus menyiksa.
Tanpa sadar, tubuh Ghea mulai bergerak atas kehendak sendiri. Bibir tak lagi mengecup, melainkan melumat. Menjilat mulut Harumi yang masih terkatup rapat. Menggoyang tubuh hingga selimut jatuh ke lantai dan menampakkan kembali kealamian badannya.
Perempuan itu seakan sengaja menggesek-gesekkan buah dadanya pada dada bidang si lelaki. Menggodanya. Begitu putus asa. Bak budak seks yang meminta untuk segera dihancurkan dengan segala kuasa yang dimiliki Harumi atas tubuh dan jiwanya, demi sebuah kehidupan.
Harumi menerima suguhan itu dengan tangan terbuka. Diambil alihnya permainan, seraya menggotong tubuh enteng wanita lemah tersebut ke atas ranjang dan mengabulkan apa yang Ghea pinta.
Aku menang, tapi sesungguhnya aku sudah kalah telak sejak awal. Dan, tidak ada cara lagi untukku kembali ke titik awal dan menanggalkan semua rasa menyakitkan ini, selain terus menjadi budak pelampiasan duka.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ghea bisa tersenyum lebar dan terbahak dari hatinya yang patah.
--End
0 notes
Another fave from The Met's #KimonoStyle show for #FrockFriday + bonus #FroggyFriday:
Fireman's Jacket (Hikeshi-banten) w/ Shogun Taro Yoshikado
Japan, Edo period (1615-1868), mid-19th century
Quilted cotton with tube-drawn paste-resist dyeing (tsutsugaki) with hand-painted details
John C. Weber Collection
“[The jacket] features a scene popular in Kabuki & based on a print by Utagawa Kunisada (1786-1865) in which the warrior Yoshikado asks a frog sage for magical powers to avenge the murder of his father.” This is that print:
Utagawa Kunisada (Japanese, 1786-1865)
"Actor Nakamura Shikan IV as Shōgun Tarō Yoshikado"
1862, 12th lunar month
Publisher: Hiranoya Shinzō
Dimensions: 14 9/16 × 9 3/4 in. (36.99 × 24.77 cm) (image, vertical ōban)
Print (ukiyo-e / yakusha-e); Woodblock print (nishiki-e); ink and color on paper
Portfolio: From Toyokuni's Drawings: A Magic Contest (Toyokuni kigō: Kijutsu kurabe 豊国揮毫 奇術競)
Minneapolis Institute of Art 2016.137.2
BTW that “frog sage” is Gama Sennin, the Toad Immortal; here is another woodblock print (actually a triptych) by the same artist of the same legend:
Utagawa Kunisada (Japanese, 1786-1865)
“Gama Sennin Instructing Yoshikado and Takiyasha," 1845
ôban triptych (38 x 77.5 cm)
“Gama Sennin is the toad immortal, and here they appear almost like an old woman, with their long hair fashioned from a toad-faced pelt and appearing in a toad-like body. Here the magician demonstrates their magic, causing the image of a young woman to materialize on their breath. Gama Sennin, the Toad Immortal, is based upon the Chinese Immortal Liu Hai, the Sage with the Toad on his back, a benign sage with great magical powers. Kuniyoshi has outdone himself with the cave of Gama Sennin, as all the rocklike outcroppings are comprised of frogs, and a giant frog spectre hovers over the magician. In the center panel, Yoshikado has been consulting a scroll of some sort, and looks up in surprise, his hands in the ‘astonished’ gesture that Kuniyoshi favored. The motivation of the two young people is of course vengeance for a murdered loved one. A scarce design.”
image & info via https://egenolfgallery.com/products/kuniyoshi-gama-sennin-and-frog-magic
41 notes
·
View notes