7 Tip Teratas Untuk Memilih Mesin Fotokopi
Salah satu hal terpenting untuk dipertimbangkan adalah yang jelas: berapa banyak mesin fotokopi akan digunakan. Cari tahu berapa banyak salinan yang dibuat per hari atau bulan dan untuk apa mesin fotokopi akan paling banyak digunakan. Ini akan membantu menentukan apakah Anda akan membutuhkan mesin fotokopi berwarna atau hitam putih, seberapa besar mesin fotokopi itu dan ukuran baki kapasitasnya.
Hal kedua yang harus Anda lakukan adalah memastikan bahwa mesin fotokopi memiliki opsi dupleks. Ini memungkinkan pencetakan dua sisi dan mesin fotokopi memiliki opsi untuk mengatur pencetakan dua sisi sebagai default. Ini menghemat banyak kertas, akan ada opsi untuk pencetakan satu sisi, tetapi pastikan itu hanya digunakan jika benar-benar diperlukan.
Pastikan mesin fotokopi yang dipilih menggunakan sedikit energi siaga dan secara otomatis beralih ke mode siaga saat tidak digunakan. Banyak mesin fotokopi baru masuk ke mode siaga segera setelah tidak digunakan dan memiliki waktu pengaktifan yang sangat cepat. Beberapa mesin fotokopi baru menggunakan konsumsi energi siaga hanya 3w, dibandingkan dengan 690w untuk beberapa perangkat lama.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah apakah mesin fotokopi multifungsi akan menjadi pilihan yang masuk akal. Ini dapat mencakup penyalinan, pencetakan, pemindaian, dan bahkan mengirim faks semua dalam satu mesin fotokopi dan dapat menghemat banyak ruang jika Anda membutuhkan mesin fotokopi untuk kantor kecil, serta menghemat uang dibandingkan dengan menjalankan masing-masing perangkat ini secara terpisah.
Resolusi mesin fotocopy menentukan kejelasan tiap salinan, misalnya kualitas dan ketajaman sebuah gambar. Resolusi diukur dalam dot per inci. Beberapa mesin fotokopi dapat memiliki resolusi yang sangat tinggi, tetapi kecuali jika Anda memerlukan sejumlah cetakan dengan gambar yang sangat jelas, hal ini dapat meningkatkan biaya operasional mesin fotokopi, oleh karena itu mesin fotokopi dengan resolusi sangat tinggi seringkali hanya benar-benar bermanfaat bagi para desainer.
Kecepatan mesin fotokopi diukur dalam halaman per menit, jadi pertimbangkan berapa banyak mesin digunakan per hari, apakah orang sering harus menunggu untuk menggunakan mesin fotokopi dan jika banyak dokumen atau brosur besar yang perlu dicetak. Umumnya, semakin banyak penyalinan yang dibutuhkan per hari dan semakin tinggi jumlah dokumen yang sangat besar yang dicetak, semakin cepat pula kecepatan yang dibutuhkan mesin fotokopi.
Pastikan Anda meneliti perangkat lunak apa pun yang tersedia untuk mesin fotokopi, dan kemampuan apa yang dimilikinya jika Anda membutuhkannya di masa mendatang. Beberapa perangkat lunak sangat berguna, terutama di kantor besar, karena jual mesin fotocopy warna memungkinkan Anda melacak apa yang sedang dicetak dan mengatur kuota cetak departemen. Perangkat lunak seperti ini akan memungkinkan Anda menargetkan cetakan yang boros dan menghentikan orang membuat begitu banyak salinan yang tidak perlu, mengurangi jumlah cetakan 'tidak diklaim' yang tertinggal di sekitar mesin fotokopi.
Mesin fotokopi adalah investasi yang cukup besar untuk dilakukan perusahaan, jadi memiliki daftar periksa hal-hal yang mungkin Anda perlukan akan membantu saat membeli mesin fotokopi. Tip terakhir adalah untuk diingat bahwa sebagian besar perusahaan mapan akan menawarkan saran yang baik tentang mesin fotokopi apa yang akan digunakan dan, untuk menambah ketenangan pikiran, pilih pemasok resmi merek mesin fotokopi yang ingin Anda beli atau sewa.
1 note
·
View note
Kisah Nenek Sumirah, Sebatang Kara Warga Surabaya Belum Tersentuh Bantuan Pemerintah
KONTENISLAM.COM - Seorang nenek bernama Sumirah (89), hidup sebatang kara dan hanya ditemani 2 kucing kampung. Ia indekos berukuran sekitar 2 x 3 meter setelah ditinggal ditinggal suami 2006 silam.
Sumirah indekos di Simo Jawar 1 Nomor 150, RT 01 RW 01, Kelurahan Simomulyo Baru, Kecamatan Sukomanunggal, Kota Surabaya. Ia mengaku belum pernah mendapatkan bantuan meski saat ini hidupnya serba kekurangan selama pandemi ini.
"Tidak pernah, saya tidak pernah dapat (bantuan selama pagebluk). Saya sudah tanya ke RT/RW, katanya endak ada jatahe (jatahnya), bilang begitu, Nak," ujar Sumirah pada SuaraJatim.id, Selasa (24/8/2021).
Sumirah berkisah, bertahan hidup sebatang kara dengan welas asih para tetangga sangatlah berat di masa Pandemi Covid-19 ini. Ia juga mengaku tak pernah didata oleh kelurahan, kecamatan, maupun petugas dari Pemkot Surabaya. Terakhir kali Ia mengaku didata menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2009 dan 2013.
Perihal pendataan lebih lanjut dari RT atau RW, Sumirah mengaku telah menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan, seperti fotocopy KTP, KK, hingga SKTM. Namun masih juga tak kunjung mendapatkan bantuan.
"Nate tanglet ten Pak RT, lah kulo kok dereng angsal nopo-nopo pak, mriko sanjange mboten wonten jatahe, kulo nate fotokopi ngantos 20 rangkep dijaluki, nggih dereng wonten kabar nopo-nopo, mboten angsal nopo2 blas (Pernah tanya ke Pak RT, lah kok belum dapat 'bantuan' apa-apa, pak? Dia bilangnya belum ada jatahnya. Saya sampai pernah fotocopy 20 rangkap pas diminta, ya belum ada kabar apa-apa, belum dapat apa-apa sama sekali)," katanya.
Sumirah bertanya apa alasan tidak menerima bantuan itu. Padahal, data yang diperlukan, seperti KTP, KK, hingga SKTM telah dimilikinya dan diserahkan kepada pihak terkait. Mulai dari Permakanan, PKH, hingga Bansos yang semestinya diperoleh justru tak ada sama sekali.
"Kulo sampek nate sanjang ten RT RW, pak kulo bade tanglet, nopo kulo niki gelandangan? Kok sampek mboten kedata, kulo sampe ngoten. trus disuwun KTP, tapi nggih mboten wonten kabar nopo-nopo. (Saya sampai pernah bilang ke RT RW, 'Pak, saya mau tanya, apa saya ini gelandangan? kok sampai tidak didata?' Lalu diminta, KTP, tapi ya begitu tidak ada kabar apa-apa)," ujanrnya.
Sumirah mengaku sedih ketika melihat tetangga dan warga lain mengantre bantuan dari pemerintah. Meskipun begitu Ia tetap bersyukur sebab masih diberi nikmat sehat.
"Milai corona, kulo mboten angsal nopo-nopo, sumpah Demi Allah, Nak. Mboten nate disenggol, kulo ningali tiyang-tiyang mendet beras kaleh duit, nelongso kulo nak (Mulai Corona, saya tidak dapat 'bantuan' apa-apa, sumpah demi Allah, Nak. Belum pernah juga disenggol 'mendapat kabar', saya lihat orang-orang ambil beras dan duit, hati saya menangis, Nak)," kata dia.
Untuk menyambung hidupnya, Sumirah mengaku hanya mengandalkan bantuan dari warga sekitar dan tetangga terdekat. Meski begitu, wanita yang belum dikaruniai buah hati dari pernikahannya itu mengaku bersyukur bisa hidup.
"Ben dinten diparingi tetanggi, sederek-sederek kiwo tengen sampun kados yugo kalih putu-putu kulo (Setiap hari dikasih tetangga, saudara-saudara kiri kanan sudah seperti anak dan cucu-cucu saya sendiri),"
Untuk membayar sewa kamar kos pun, ia mengaku menggantungkan uluran para dermawan yang berasal dari tetangga dan warga sekitar. Pun dengan pendapatannya berjualan makanan ringan, seperti keripik dan mi instan. "Saya kerja seadanya, tempatnya ngekos Rp 250.000 per bulan," ujarnya.
Sebelum berdagang seperti saat ini di kamar kosnya sendiri, Sumirah sempat menjadi perawat anak dan tukang pijat di kampungnya.
"Sakderenge kulo momong lare-lare alit, sakmeniko sampun mboten kiat, sampun sepuh, kaleh mijet menawi wonten ingkang mados (sebelumnya saya merawat anak-anak kecil, sekarang sudah tidak kuat, sudah tua. Sama pijat juga kalau ada orang memanggil)," kata Sumirah.[suara]
from Konten Islam https://ift.tt/3sIfxrl
via IFTTT
source https://www.ayojalanterus.com/2021/08/kisah-nenek-sumirah-sebatang-kara-warga.html
0 notes
Banner
[ I like you more than I’ve planned🌼]
ㅤ
Ujung kelopak bunga yang baru saja disiram tadi, secara perlahan menjatuhkan air lebihnya ke dasar tanah yang tandus.
Aku jadi punya pikiran bahwa bisa saja ini kulakukan sebagai seorang manusia.
Anggaplah airnya adalah pikiran kita, ketika pangkalnya tak mampu menampung semua yang dihujankan kepadanya, secara otomatis akan ia limpahkan kepada daun dibawahnya, kala penuh, diturunkan lagi ke bawah, dan begitu saja seterusnya sampai benar-benar hilang di dasar.
Unfortunately, hidup manusia tidak bekerja se-simple ini.
“Sal,”
Begitu aku menoleh. Tau-tau sudah ada pantat botol minuman isotonik yang mengarah tepat di depan muka dengan vulgarnya. “Makasih, Sayang.” Balasku tanpa perlu tahu siapa yang menyodorkannya, “Nanti gue bayar kelar nyiram tanaman.” Tambahku seraya mengambil botol.
Siang ini adalah hari pertama kami menjalani musim kemarau dengan menggantikan piket adik tingkat yang kabarnya ambil cuti karena ada urusan di kampung. Kami memiliki sistem piket bergilir untuk memelihara tanaman yang menghiasi area kampus setiap sebulan sekali.
Aneh ‘kan? Yup.
Tapi percaya, deh. Ini bukan satu-satunya kebijakan aneh yang diciptakan oleh komite.
Lagipula, nggak mau sewa cleaning service aja udah aneh. I don’t know what am I supposed to expect?
Orang yang kupanggil Sayang tadi langsung ikut berjongkok di sebelah. Dari sudut mata dalam posisi meneguk minum, bisa dipastikan sebentar lagi lelaki ini mau protes.
“Wah, gokil. Masih temenan aja udah manggil Sayang. Gimana entar jadi pacar? Nggak kebayang.”
Aku hampir tersedak karena ocehan anak basket yang satu ini.
Untungnya enggak.
“’Kan nama lo Sanjaya Lanang. Kalau disingkat? Sayang.” Jawabku enteng.
Sebelum akhirnya menaruh botol tadi di samping.
“Ngaco,” cibir lawan bicaraku sebelum mengedepankan ransel dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Terasa fresh from the oven, dinilai dari hawa panas yang terpancar dari lembaran tersebut. Ketahuan baru keluar dari fotocopy-an beberapa menit lalu. Padahal sudah kusuruh ia untuk melakukannya kemarin, atau.. lusa lalu?
Pokoknya sudah agak lama sampai aku sendiri pun lupa.
Sejauh mata memandang kelihatan bahwa isinya merupakan jadwal talkshow yang akan diadakan kepanitiaan minggu ini. Tepatnya nanti sore. “Makasih, Yaya.” Kata lelaki yang (aslinya) umum dipanggil Yaya seraya menyerahkan kertas tersebut. “Good job, Sayang. Sekalian sama pokarinya, okey?”
“Panggil Sayang sekali lagi kita pacaran, ya?” Tantangnya.
Aku hanya tertawa pelan menanggapinya.
Yaya menghela napas lelah. Kayaknya ia hampir dalam batasnya menghadapiku yang sedemikian ngeselinnya. “Yaudah. Gue kesini cuma mau ngasih itu doang.”
“Dih. Nggak ada niatan mau nyiram setengah bunganya lagi?”
“No thanks. I did my job.” Lelaki itu bangkit, “Mending rehearsal. Soalnya gue kebagian intro.”
“Lah, gue juga? Kan kita partner MC,”
Hening.
Aku dan Yaya hanya diam saja, saling bertukar tatap. Sepertinya kita sama-sama baru ingat kalau telah dijadikan partner host in last choice minggu lalu sebelum finalisasi. Tentu, dalam hidup ini beberapa ada yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Termasuk kegiatan kepanitiaan. Kita yang biasanya bertanggung jawab dalam PDD atau akronim dari publikasi, dekorasi, dan dokumentasi. Harus banting setir menjadi pembawa acara dadakan dalam kurun waktu 3 hari.
“Ya, pokoknya..” Yaya berdeham, “Porsinya tetep banyakan bagian gue. Jadi gue yang harus latihan semaksimal mungkin.” Sambungnya lagi.
“Enggak bisa gitu, namanya gladi bersih harus bareng-bareng!“
“Udeh. Mending lu disini aja, ya? Banyak bunga aster disini, kesukaan lu.” Yaya yang siap kabur langsung kutarik ranselnya.
“Enak aja!” Seruku. “We are in this together.” Apesnya aku dan Yaya punya jadwal piket yang sama.
“Emang, disini tuh enak sembari lu siramin tanaman, bisa sekalian juga berdoa. Barang kali Mark lewat sini.”
“Enggak! Kali ini gue nggak bakal jatuh dalam tipu muslihat lo, Yaya!” aku makin menarik tasnya.
“Lepasin, Sal—noh, malu diliatin Mark!” Yaya menunjuk ke arah sembarang.
“Mana?!”
Sementara aku terdistraksi, Yaya spontan ngibrit sekencang mungkin sampai sosoknya hilang dibalik tembok bangunan ini.
Sialan.
Mark adalah kakak tingkatku yang kuliah di jurusan Teknik Sipil. Tapi juga unggul di bidang olahraga, karena aktif di UKM futsal. Makanya, Yaya juga kenal dengan Mark walau berbeda bidang, tapi setidaknya mereka pasti bertemu beberapa periode sekali.
Bisa dibilang, gara-gara peringatan hari olahraga nasional setahun lalu yang diadakan di kampus. I catched a feeling for him. Kalau bukan karena ia mengajakku menonton pertandingannya, dan aku dengan santainya datang.
Mungkin aku akan mendapatkan hasil yang berbeda.
Cepat-cepat aku menggeleng untuk mengusir lamunan. Tidak boleh menyesali perbuatan yang jelas-jelas diputuskan secara sadar waktu itu.
Aku yang tadi sempat terseret karena Yaya yang terus bergerak maju, Membuat jeansku kotor dan harus dibersihkan. Begitu selesai, aku kembali mengambil pot siram untuk mengisinya di keran dekat pintu masuk lapangan basket.
Dari kejauhan, ada suara ramai yang familiar. Khususnya untuk telingaku. Ketika air mulai mengisi pot, aku penasaran dan berbalik ke arah sumber suara.
Menemukan salah satunya lebih dulu menatapku.
Itu Mark.
Aku langsung menelan ludahku dengan kasar. Kemudian perlahan berbalik pada pot yang nyatanya sudah mulai penuh. Namun, setelah keran ditutup. Terdengar langkah kaki seseorang menyusul dari belakang.
Siang ini terik, aku bisa saja berdelusi karena kekurangan cairan. Harusnya kubawa saja botol minumku tadi.
Tapi bisa saja, aku malah memasuki fase denial. Setelah apa yang terjadi sebelum mengenal Mark dan jadinya.. well, both of them are bad. Bad enough to give me another hope.
Kemudian dirasa ada yang menepuk bahuku pelan.
Aku sempat terkejut, entah kenapa, padahal sebetulnya sudah tahu bahwa Mark, akan datang menghampiri secara kontan.
“Halo, Kak.” Sapaku dengan senyum yang agak canggung.
“Whoa, santai aja!” ia balas tertawa pelan, “Just Mark, alright?”
“Ini lagi latihan buat talkshow nanti sore. Takutnya kalau pas lo nanya, gue malah kelepasan.”
“No need to. Gue yakin lo pasti bisa. You will nailed it!”
“Thanks,” Kemudian aku menatap pot siram tadi sebelum beralih pada Mark, “Ini gue mau lanjut piket dulu. Permisi—”
“Gue aja yang bawain!” lelaki itu langsung menghadangku dengan gesit. “Tapi, temen-temen lo..?” Aku menoleh dari balik punggungnya, menampakkan teman-teman yang tadi ia ajak bersamaan. Terlihat sedang duduk di bangku pinggir lapangan seraya menoleh kesini. Isyaratnya mengatakan bahwa mereka sedang menunggu Mark sampai usai bicara disini.
“Gue udah izin, nanti mau nyusul di perempat waktu.”
“Oh? Mau pada main basket?”
“Iya. Hahaha.” Mark tertawa renyah, “Anak futsal boleh ‘kan sekali-kali main basket?”
Aku hanya mengangguk mengerti seraya menyambut kembali senyum yang selalu hangat.
Tak berhenti sampai dibawakan pot, lelaki ini juga sekalian menyiram sisa tanaman yang tinggal barang sejengkal lagi. Sementara aku hanya terpaku akan raganya yang apik. “Sal, lo tau?” pecahnya tanpa membuat kontak mata dan terus tertuju pada semak bunga yang terhampar di hadapan kami.
“Apa?”
“Bunga aster ini, dalam bahasa bunga, artinya melambangkan kemurnian, kesetiaan, dan kesabaran.” Jelas Mark.
“Kok, tiba-tiba?”
Ia mengedikkan bahu secara tak acuh, “I thought it a lot.. lo menyematkannya emoji bunga ini di display name di Line.”
Aku mendelik cepat, “Bisa-bisanya inget.” Lalu aku tersipu malu.
“Sure.” Mark menyerahkan pot tadi kepadaku. Sementara suara temannya sudah menggema dari lapangan, mengajaknya untuk masuk kedalam tim.
Time is up.
Kemudian ia tersenyum, “And it suits you.” Tambahnya lagi.
“Wait—”
“See you in the afternoon!” Mark lansgung berlari meninggalkanku sendirian. Aku hanya bisa menonton punggunya perlahan menjauh. Sesekali ia lambaikan tangannya padaku ketika pandangan kami bertemu. Ia terlihat memasuki arena pertandingan dan bergabung dengan yang lainnya.
I like you more than I’ve planned.
Aku menoleh bunga aster, pot, dan Mark yang berada di lapangan secara bergantian.
It’s because..
Kaos hitamnya mulai terlihat basah akan peluh. Tapi ia tetap berlarian disana dengan senyum yang aku tau tak pernah luntur.
..you sow the expectation on me more that I need.
BRAK
Bola basket yang dilemparnya tepat mengenai ring. Mengundang sorak-sorai timnya.
Dan hal ini.. sama halnya seperti bagaimana bunga aster ini ditanam. Tumbuh berkerumun akibat pupuk dan air yang cukup—kadang lebih dari yang dibutuhkan. Kemudian akan terlihat bersinar dibawah terik matahari.
Mark yang daritadi curi pandang bahkan disela suka cita akan kemenangnya. Mengingatkanku pada momen saat masanya membawa fakultas ini jauh diatas para pesaing di acara olahraga tahun lalu.
“SAL!”
Aku terkesiap kala Yaya meninggikan intonasinya. Seakan sedang merapal naskah sketsa pembawa acara beserta schedule-nya, aku menengadah. “Kenapa?” tanyaku senatural mungkin.
“Jangan bengong.”
“Enggak, kok.”
“Mata lo menghadap kertas, but there was no soul. You are zoning out.”
Aku menggeleng tak percaya, “How?”
“Gue hafal.” Kemudian Yaya langsung mengambil mic dari atas speaker di sebelah kursi, “Udah siap?” Lalu memberikan yang satunya kepadaku.
Aku masih memikirkan tentang Mark dan kejadian tadi siang. Agak menyita perhatian ya karena tiba-tiba ia membahas bunga dan bagaimana bahasa bunga itu cocok denganku.
“Siap.” Ujarku percaya diri sambil meraih mic dari tangan Yaya.
Para panitia yang bersangkutan dan segelintir mahasiswa sudah berkumpul di tempat, Rajin juga ya ada mahasiswa yang sudah kumpul walau acaranya masih butuh 20 menit lagi buat mulai.
“Tes! Tes! Satu, dua, tiga!”
Suara Yaya menggema seantero area, mengisi ruang kosong yang sebentar lagi dipenuhi oleh orang banyak.
Saat aku mulai naik keatas podium sambil—sekali lagi—merapal naskah sketsa acara. Terdengar suara melengking dari microphone yang dibawa jauh dari pemancar sinyalnya. Lalu, disusul oleh suara Dirga yang lari-lari seraya berteriak, “GANA! TRENGGANA! BALIKIN MIC-NYA!” semua orang tak terkecuali aku pun langsung beralih.
Dan benar saja, Dirga berlari mengejar Gana, sampai naik keatas tangga tempat para audiens nanti. Hingga kejar-kejaran ini bermuara pada sekelompok orang yang duduk di section atas. Gana segera memberikan mic-nya pada seseorang di tengah. Sebelah tangannya memegang sesuatu yang aku identifikasi sebagai..
banner?
“Ya, selamat.. sore?” laki-laki yang menerima mic tadi terlihat memukul-mukul pelan pangkalnya. Supaya ia tahu apakah alat ini berfungsi dengan baik atau tidak. “Selamat sore semuanya!” lanjutnya lagi.
Suara ini familiar.
Aku beralih fokus pada orang yang berkerumun di sekitarnya. Sejauh mata memandang, mereka semua juga dirasa tak asing. Malah orang yang disebut-sebut sebagai Trenggana pun sudah mengobrol dengan Dirga sambil mencuri pandang kepadaku.
Aku kontan mengernyit heran.
What is happening..?
“Oke. Sebelum acara ini dimulai, gue minta waktunya sedikit. Khususnya, teruntuk salah satu our lovely host sore ini, Shalza.”
Semua orang langsung menoleh ke arahku.
Lelaki itu memberi mic-nya pada salah satu teman yang duduk di depan. Lalu ia langsung mengibarkan banner yang dipegangnya daritadi.
Warna dasarnya pink fanta, kemudian semua tulisan diatasnya menggunakan font comic sans dan helvetica yang dicampur secara acak dengan warna yang sama nggak karuannya, bertuliskan;
I know we just saw each other earlier, but I can’t wait to see you tomorrow, again, and forever.
Kelakuannya mengundang tarikan napas semua orang yang ada di balairung ini. Bahkan, Renjana yang sedang mengatur sound system saja langsung mengeluarkan ponsel dan merekam seluruh kejadian yang terjadi sekarang.
Teman Mark yang ia berikan mic tadi bangkit dari kursi dan mengarahkan mic-nya pada mulut lelaki dengan air muka berseri. As he always to do.
“Gue tau, banner ini nggak sebagus yang lo desain buat tim futsal gue tahun lalu. But, I do my best.”
Desain banner futsal..?
OH.
Aku ingat bahwa seminggu sebelum acara olahraga dimulai, Mark secara personal memintaku untuk bikin desain banner timnya.
Ujung jari jemariku mulai dirasa dingin, rahangku perlahan jatuh kebawah. Gugup. Bercampur bingung juga harus merespon apa. Ini adalah sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
“Mark.. is that you..?”
“Sal! Shalza!” bisik Renjana dari bawah dengan ponsel yang masih menodong ke arahku. Aku menoleh sedikit sebagai respon, “Pakai mic-nya.” Katanya lagi. Perempuan itu menunjuk-nunjuk microphone yang berada di tanganku sejak tadi.
Bahkan, aku sampai lupa bahwa aku sudah memegang mic.
“Oh.” Aku langsung menyalakan benda tersebut. “Mark, is that you?” ulangku.
“Yes, I am. So, Shalza. Will you?” jawab Mark.
Aku hendak berbicara walau sebenarnya tak tahu apa yang harus kukatakan. Kemudian pandanganku beralih lagi ke bagian bawah podium. Karena Yaya terlihat berlari kecil disana dan berhenti tepat di depanku. Ada ekspresi elusif terulas pada wajahnya, tapi untuk satu kali ini saja, ia membuat simbol ‘Ok’ padaku bukan untuk meledek.
Seakan-akan semua gesturenya mengatakan, ‘You go! You deserved someone better and a new chapter of the story.’
Aku mengangguk pelan.
Kemudian aku balik lagi menatap kerumunan nun jauh disana.
“Yes. I will.”
0 notes