Part 2 kembali, (berbicara)
Sebuah cerita berkelanjutan, dari cerita sebelumnya…
November datang, Oktober berlalu-
Subuh pukul 04.00 selalu menyisakan sisa-sisa air wudhu yang seperti sengatan listrik, dan memutuskan mandi setelah itu berhasil membuat gigil dibawah tumpukan selumut tebal. Di sofa ruang keluarga aku meringkuk kedinginan membuat lek-lek-ku cengar cengir, kulit mereka sudah terlalu tebal untuk udara sedingin ini.
Setengah membuka mata ketika aku mendengar sayup suara mesin mobil berhenti didepan rumah disambut riuh, entah siapa yang datang sepagi buta ini, masih terlalu banyak kantuk yang mengantung dikelopak mata. Beberapa lama kemudian, di deret sofa panjang itu aku merasa membayang sepasang mata, hingga memaksaku membuka kelopak mata, aku setengah tersentak ketika menyadari sepasang mata itu milik Radit-
“kok disini?” tanyaku datar setangah sadar
“kamu tidur disini Ca?” tanyanya kemudian menatapku sejalan dengan menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
Aku tak menjawab, dari setengah nyawaku yang belum semua terkumpul, aku berusaha mengusir kantuk. Membuka-menutup kelopak mata berkali-kali, mengatur cahaya masuk kedalam retina lalu kemudian menjadi begitu fokus pada sepasang matanya, untuk beberapa saat mata kami bertemu, sesaat memperhatikan ia dari kejauhan, beberapa ingatan kemudian menenggelamkanku pada kelibatan bayang bertahun lalu, “kau, apa kabar?” aku membatin, entahlah dari sekian banyak hal yang ingin kutanyakan, kabarnyalah yang paling ingin kutahu, sebab aku yakin ada alasan kenapa ia kembali datang padaku setelah bertahun lalu ia pergi tanpa satu katapun, Aku kembali menutup mata dan memutuskan tidak membukanya untuk beberapa saat, mencoba mengendalikan semua rasa dalam ingatan-
“katanya disuruh kesini jam 7”
“kata siapa?” tanyaku
“kata mbah ty, kamu ngak siap-siap?”
“iya, ini mau siap-siap” jawabku lalu beranjak melepaskan lilitan-lilitan badcavor dan berjalan gontai membuatnya tersenyum
“jangan tidur lagi” teriaknya beriringan dengan langkahku kian menjauh.
Hari ini kami menonton sekaligus menjadi pemandu sorak pemberi semangat di perlombaan marchingband nasional yang di ikuti salah satu sepupuku di Gor Amongrogo, setelah itu kami makan bersama, menciptakan quality time, kami membicarakan banyak hal juga menertawakan apa saja, Meskipun aku dan dia tidak saling melempar tawa, tapi setidaknya hari ini kami menertawakan hal yang sama, bersama-
Seusai makan bersama, mbah ty beserta lek-lek, pakde dan bude memutuskan pulang lebih dulu sebab lelah, dan kami ber-empat berencana mendatangi beberapa tempat di yogyakarta, kami berjalan menuju mobil-
“lu yang bawa dit” kata Adi yang kemudian melempar kunci mobil ke Radit setelah menekan tombol unlock untuk membuka pintu mobil, Adnan dan Adi bergegas ke mobil, sengaja menyisakan dua tempat duduk dibagian depan. Aku dan Radit benar-benar dibuat kikuk dengan tingkah mereka berdua.
“mau kemana?” tanya Radit sambil memakai safety belt
“ke toko buku, gimana?” tanyaku
“mau beli buku apa?” tanya Radit
“buku pesanan-nya Rifi” jawabku, membuat bola mata Radit bergerak kesisi kiri, Ke arahku-
“sering komunikasi sama Rifi Ca?” tanya Adi
“iya, Adam sama Gons juga” balasku, yang ternyata menciptakan canggung juga seketika hening
Adam, Gons, dan Rifi adalah sahabat Radit, mereka sudah seperti saudara bagi Radit. Melalui Radit aku bertemu lagi dengan Rifi, teman semasa SMA-ku yang pindah sekolah sewaktu semester dua di kelas sepuluh. Radit pernah dengan bangga mengenalkan-ku kepada mereka, mereka yang selalu ada dan tidak pernah meninggalkan-ku bahkan saat Radit memutuskan pergi dari hidupku. Mereka ada bahkan sampai hari ini
“maunya ketoko buku mana Ca?” tanya Adi memecah hening.
“jangan ke gramedia Di, ntar ngak mau diajak pulang haha” Radit menyahut setengah tertawa, memecah canggung, seolah ia paham betul Gramedia adalah tempat favorit yang tidak bisa kuhabisakan hanya dalam hitungan 1-2 jam
“hehe, toko buku yang klasik klasik gitu” jawabku menanggapi Radit
“owalah, toko buku deket malioboro itu lo mas. Apa sih namanya?” sahut Adnan
“koe ki wong yogya tapi ora eroh i piyee nan? Shopping Center taaa?” jawab Adi
“ho’oh shopping center lumayan akeh toko buku, cerak malioboro jadi sepisan dolan” balas Adnan
“mau ke shopping center?” tanya radit memastikan jawabanku
“iya, boleh” aku menjawab beserta anggukan
Shopping Center, sebuah toko buku yang terletak di tengah tempat wisata Yogyakarta, menjual berbagai jenis buku-buku bekas yang sangat membantu mahasiswa untuk mendapatkan buku yang lebih terjangkau harganya, Seandainya dikota tempatku berkuliah dulu ada toko buku seperti ini, mungkin aku akan memiliki semua buku yang ku ingini.
“udah dapat Ca?” tanya Radit
“iya udah, kamu beli buku juga?” tanyaku
“iya, pas baca-baca dapat buku bagus siapa tau bisa buat referensi tesis ntar”
“hmmm, iya bagus tuh. Adi sama Adnan mana?”
“nunggu dimobil kayanya, mereka mana betah sih Ca dibawa ke toko buku, gerah katanya haha” jawab Radit setengah terkekeh, sore ini bibirku mencipta lengkungan.
__________________
Matahari sudah nyaris tenggelam sempurna di sisi barat, kami mencari masjid terdekat untuk menyelesaikan tiga Rakaat sebelum menuju malioboro. Terletak tidak terlalu jauh dari shopping center, malioboro adalah sebuah kawaasan yang melintang sepanjang 1 KM dari utara ke selatan, yang membuat yogya terasa semakin hidup. Ruas jalan malioboro yang akan selalu mengingatkan tentang yogyakarta. Bahkan katanya -belum ke Yogyakarta kalau belum ke Malioboro- dan entah bagaimana, aku bisa mengartikan malioboro setelah kujunganku kali ini, yang bersama-nya-
“aku mau cari oleh-oleh totalbag sama pernak-pernik untuk murid-ku, kalian kalau cape duduk aja di situ” kataku, sambil menunjuk kursi pedestiran yang kosong di sisi timur malioboro
“yakin? Ntar menghilang eh hilang” jawab Adi cengengesan dengan kalimat sejuta makna-nya
“aku temanin ya Ca” Radit menawarkan diri
“iya dit temanin, aku sama Adnan mau cari hammock sekitar sini kali aja dapat” Adi menyahut
“mba, beneran gpp?” tanya Adnan setengah khawatir, aku terdiam tidak ada kata yang bisa ku ajukan sebagai jawaban selain senyuman, dan kemudian mereka berbalik arah membelakangi aku dan Radit. Kini rasanya hanya ada aku dan Radit ditengah jalan seramai ini.
Sejujurnya jalan berdua dengan Radit adalah hal yang ku hindari, apalagi kalau sampai membahas, dan mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah lama ku kubur di lembar terdalam hatiku. Aku takut, kala lembar tiap lembar bekerja bagai dua lempengan yang bergeser mengakibatkan gelombang besar yang siap menghambur apa saja, aku takut kembali hancur dan tercecer berantakan seperti bertahun-tahun lalu.
Selesai membeli pernak-pernik dan totalbag, Radit mengajakku mengelilingi jalan mlioboro naik andong, menikmati setiap jejakan suara sepatu kuda dengan suasana ramai nan syahdu, entahlah, bagiku setiap sudut yogya adalah romantisme-
“tahun lalu ke-malioboro Ca?” tanya Radit membuka percakapan
“hmm.. iya” jawab-ku singkat sambil mengingat-ingat betapa setahun lalu malioboro ku lewati hanya dengan tanya-tanya yang berputaran tentang Radit
“aku sudah berkali-kali ke yogya, tapi baru sekali ini aku kesini” Radit menghentikan kalimatnya beberapa saat, kemudian ia melanjutkan dengan tiga kata yang cukup membuat pikirku semakin berantakan
“dan sama kamu” lirih suara Radit sambil menatapku, aku melihat matanya, Ia tersenyum tapi tidak dengan binar matanya, jawaban Radit merubah suasana menjadi semakin hening, aku berusaha membunuh cangung dengan membuang pandangan kesegala arah, binar-binar lampu kala itu seperti kesatuan yang berebut masuk dalam retinaku, dan aku tak bisa mengontrol kelopak mata untuk mengatur cahaya. Hingga ku putuskan untuk menunduk, menjatuhkan muka.
Malam itu, aku lebih banyak diam dari pada bersuara, ada ratusan hal tentang bertahun lalu yang berebut hadir di ingatanku hingga membuat-ku kuwalahan. Sedangkan Radit berusaha mencairkan suasana, bercerita beberapa hal mengukir tawa-nya yang ku balas senyum setengah simpul, melihat binar matanya, kemudian membatin –senyum itu masih sama-
Aku dan Radit berjalan menyusuri pinggir jalan malioboro menuju parkiran disamping stasiun tugu yogya, sesekali tanpa sengaja tangan kami bersinggungan, tertaut dan kemudian hembusan angin melepas kaitan-nya. Kami mempercepat langkah ada Adnan dan Adi yang sudah menunggu disana. Dari kejauhan aku melihat mereka berdua begitu fokus pada arah jalan kami. Kami? Entahlah-
__________________
Terletak di daerah kalasan, sleman pada jalur perlintasan yogya-Klaten, An Nurumi adalah masjid yang memiliki gaya bagunan seperti kremlin di moskow Rusia, memiliki 9 kubah warna-warni yang mampu membuatku jatuh cinta semenjak pertama kali aku melihatnya setahun lalu, Kami ber-empat memutuskan Solat Isya berjamaahan di masjid An Nurumi sebelum balik ke klaten dan kemalaman di jalan.
“indah ya ca?” tanya Adi sambil mengikat tali sepatu
“ iya indah banget Di” jawabku yang duduk disamping Adi dengan wajah menengadah
“indah mana sama Islamic Centernya Samarinda?”
“dua-duanya indah, punya keindahan masing-masing”
“punya keindahan masing-masing atau punya kenangan masing-masing?”
“yeee kenangan apaan?” jawabku menyembunyikan rasa cangung.
“haha, becanda Ca becanda” kata Adi setengah tertawa.
Seperti yang diketahui Aku, Adi, dan Radit adalah alumni salah satu universitas di Kalimantan Timur, kami adalah anak rantau beda daerah yang di pertemukan dalam satu Universitas, satu Falkutas, tetapi beda program studi yang membuat kampus kita berjauhan. sampai suatu ketika di semester 6, aku dan Radit dipertemukan dalam satu kelompok mata kuliah, sebagai salah satu syarat tugas akhir, kemudian pertemuan itulah pada akhirnya mengantarkanku mengalami banyak hal sampai hari ini, dan Masjid Islamic Center Samarinda adalah salah satu tempat yang paling sering aku dan Radit kunjungi bersama, hanya untuk menghabiskan sore hingga tiga rakaatan bersama, lalu kemudian makan bakso di sekitaran jalan cendana.
__________________
Waktu menunjukan pukul 22.45, orang se-isi rumah sudah lelap termakan letih dan menghambur ke kamar-nya masing-masing, kini hanya menyisakan aku, Adi, dan Radit yang duduk sederet di sofa panjang.
“Balik kuat ngak ya dit?” tanya Adi membuka percakapan
“kuat, biar aku yang bawa mobil. Tunggu 5 menit ya di” jawab Radit dan kemudian Adi menegakkan badan, menarik tangan membuang lelah
“Ca, sampaikan salam ke mbah ty sama yang lainnya ya” Ucap Adi berpamitan
“iya di” jawabku setengah tersenyum
“dit, aku tunggu di mobil ya” kata Adi, kemudian berdiri dan beranjak setengah gontai setelah melihat anggukan kepala Radit sebagai sebuah respon, menyisakan aku dan Radit yang menciptakan berkali lipat hening dan dingin-
“lusa aku kembali kesini, mau izin ke mbah ty, ngajak kamu keluar. Boleh?” tanyanya ditengah hening, membuat lirih suaranya begitu terdengar nyaring, aku terdiam untuk beberapa saat, tak mampu mengolah kata mengajukannya entah sebagai pertanyaan atau jawaban. Kemudian Ia berdiri, lalu melangkahkan kakinya, selangkah, dua langkah dan tiga langkah kearahku, lantas kini jarak kami sedekat jengkal, aku bergetar seperti ada degup yang sudah lama ku redam-
“sekali lagi Ca, bolehkan?” tanyanya yang tak mampu ku jawab iya atau tidak,
“lusa? berarti sabtu?” jawabku dengan kalimat yang harus diartikannya sendiri entah sebagai tanya atau sebagai jawaban
“aku jemput hari sabtu ya” jawabnya setelah ternyata mengartikan jawabanku sebagai sebuah persetujuan, kemudian Ia berdiri, aku mengikutinya, mengantarkannya sampai depan pintu pagar, Kami berjalan bersisian dan setiap langkah yang terjejak membawa diriku ke tengah-tengah kenangan dimana pernah ada aku dan dia.
“aku pamit Ca, kamu masuk ya, kunci semua pintu, aku lihatin dari sini”
“(menganggukan kepala) hati-hati” ucapku lirih kemudian aku beranjak dari hadapannya.
Aku menyadari ada hal yang jauh lebih kompleks ketika namanya kini menjadi tidak asing lagi dikeluarga besarku ku bukan hanya beralasan karena mereka teman-teman-ku. Ada hal lainnya yang membuatku lebih bisa memaknai hadirinya ditengah keluarga ini, saat mereka sanggup berkali-kali bolak-balik yogya-klaten dengan jarak tempuh yang tidak terlalu dekat-
Bersambung...
2 notes
·
View notes