#senja rogers
Explore tagged Tumblr posts
Note
We got a bachelor's edition not too long ago... who would you say are Atlanta's most eligible bachelorettes and who would you pair them with?
WELCOME TO THE BACHELORETTE: ATLANTA
@shaehiggens: @traviswalkcr, @the-jakebennett
@alexandriaroberts: @masonxwagner, @zakolton
@arielledsantos: @dakotaaren, @callum-reynolds
@senjarogers: @hadesmxson, @theodore-hawkins
@cassidyxrogers: @nathanxyoung, @kasiyalau
@isobelopez: @archer-foss, @jaymcrcer
If I missed your favorite bachelor/bachelorette, feel free to send in a specific request!
#shae higgens#alexandria roberts#arielle santos#senja rogers#cassidy rogers#isobel lopez#travis walker#jacob bennett#zak kolton#dakota aren#callum reynolds#hades mason#theodore hawkins#nathan young#kasiya laurent#archer foss#jay mercer#anonymous
6 notes
·
View notes
Text
Maybe, Everyone
Selamat -sore? Dengan aku yang kelaparan, menunggui senja, dan sendiri tanpa kopi. Tidur siangku terlampau lama, man. Efeknya berabe, dan moodku jadi fluktuatif. Dan sekarang, menghibur diri dengan senada melodi bucin milik Adera, judulnya Muara!
Aku mau cerita, tentang -lagi-lagi, dan akan selalu lagi- sekian dari relik-relik kontemplasiku selama beberapa hari ini. Pertama, aku ceritakan tentang kerangka berpikirku dulu, ya! At the first, I just wonder. Setiap hari, bergaul, berinteraksi sama banyak orang, seenggaknya cukup buat bikin aku ngerti tentang complexity of society. How the society works. How people do interact with others. Saling sapa, saling bertukar ide, cerita, atau bahkan saling berkonflik. Yah, manusia berikut kehidupannya memang unik, ya? Pantes, saking uniknya, muncul dua disiplin ilmu major, namanya Antropologi, berikut Sosiologi.
Kali ini, aku ambil spasial di ruang lingkup lokal, ya. Dalam artian, hidupku saat ini, berikut manusia-manusia pendukungnya, namanya mahasiswa. Kurang lebih, dua tahun menyandang status itu bikin aku diam-diam mengamati kebiasaan, mencermati perbuatan, juga mengkritisi pemikiran. Dan pada akhirnya, aku ngerti -kenapa dalam sejarah panjang negara +62 ini, mahasiswa akan selalu digadang-gadang buat jadi tameng pelindung di garis terdepan. Sejarah membuktikan, gerakan-gerakan reformis -selain diinisiai oleh kongsi-kongsi kelompok sosial, juga diinisasi oleh kaum-kaum akademisi, yaitu mahasiswa. Semisal, gerakan Angkatan Muda ’66, yang pada akhirnya mengebiri kekuasaan Orde Lama. Lanjut, Kasus -98 yang berakhir dengan kekuasaan Orde Baru yang dikebiri. Mahasiswa, mereka selalu ada di garda terdepan. Aku pikir, jelas. Seketika keinget sama buku ‘Psikologi Pemuda’ yang kubaca bulan Januari kemarin, dan ya – memang sudah seharusnya begitu berlaku. Okeh, habis ini masuk ke inti pemikiran.
Mahasiswa adalah pemuda, begitu konsepnya. Dan kalau ditinjau dari segi psikologis, semestinya pemuda punya kematangan berpikir yang lebih ketimbang remaja, yang pada akhirnya juga berdampak pada tindakan yang diambil. Dan kematangan dalam berpikir itu, otomatis juga akan menghasilkan ide-ide atau inisiatif atas banyak hal. so why, we call mahasiswa itu idealis. I deeply roger that.
Okeh, kerangka berpikirku sampai di poin kedua -tentang idealisme mahasiswa. Sekian lama bergaul dengan orang-orang dengan status mahasiswa -alias pengangguran terselubung, kata dosenku- aku berusaha mencari evidensi atas konsep-konsep kepemudaan yang dicocoklogikan dengan mahasiswa. Di antaranya, soal idealisme itu. And well -hasil pengamatanku menunjukkan satu fakta yang pararel, meski tidak begitu komprehensif. Di kampus, berapa banyak gerakan-gerakan sosial yang diinisiasi? Berapa banyak perlawanan -dengan berbagai taktik- yang dirancang, bahkan bertajuk tidak takut untuk samber nyawa? Dan lagi -yang paling aku rasakan sekarang adalah soal akademik, man. Sesuatu yang dirasa menohok, lantas membuat rasa dungu kian menjadi tanpa tapi.
Sering -bahkan terlalu sering aku dimintai doa buat temen-temen, yang katanya mau ikut lomba. Yang katanya lolos babak penyisihan, yang katanya otw luar negeri, dan bejibun-bejibun lomba lainnya. Pembuktian intelektualitas? Jelas. Mencari pengalaman? Ah, sudah jadi prioritas.
Setiap kali mendengar kabar, aku bahkan kebingungan, man. Antara bahagia ala-ala, atau justru merenungi diri yang seolah tak beranjak kemana-mana. Seolah semuanya sudah sprint berlari, dan aku bahkan masih merancang ancang-ancang. Seolah semuanya sudah membangun pondasi menuju gerlap langit kesuksesan, dan bahkan, aku masih perlu peta untuk menerka.
Aku merenung lama, berpikir lagi -kalau memang disebut idealisme, maka sejauh mana yang aku punya? Sejauh mana ide-ide yang tercetus, lantas bisa sedikit saja menitik di wajah dunia? Aku berpikir lama, merenung lagi -kalau memang harus idealis, maka bagian mana yang akan aku ambil, man? Mengikuti jalan-jalan yang sama dengan selainnya? Atau -berlaku seperti tokoh ‘Aku’ dalam puisi Robert Frost -The Road Not Taken ?
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
Detik ini, pikiranku mengembara lagi. Dari sekian banyak manifestasi ide, dari sekian banyak lontaran-lontaran gagasan, sejauh mana aku ambil bagian? Dan kalau nyatanya -aku harus mencari langkah perbedaan, apa yang akan dilakukan?
Aku menelan ludah. Menjelang dua puluh tahun, nyatanya masih banyak -dan semakin banyak, pekerjaan diri yang harus diselelsaikan.
Solo, 7 April 2019. 16.47
Heo, termangu.
14 notes
·
View notes
Photo
New Mix uploaded! ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ BoomBap HipHop Mix #1 Link In BIO ▶︎▶︎ @djtakma ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ https://www.mixcloud.com/djtakma/boombap-hiphop-mix-1/ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 1. Juju Rogers - Hungry (2015) 2. The Doppelgangaz - What It Seems (2020) 3. Vann - Future in You (2016) 4. ANoyd - The Mood (2019) 5. CJ Fly feat. Joey Badass - Rudebwoy (2019) 6. Method Man & Havoc - Street Life Squad Up (2019) 7. Talib Kweli & Damu The Fudgemunk - Time Leak (Redef Remix)(2019) 8. Glad2Mecha Ill Treats - On the Mic (2019) 9. Lex One & Lucian White - I'm Good (2018) 10. Godfather Don - Listen Close ( Jazz Spastiks Remix ) (2018) 11. The Doppelgangaz Feat. Apathy - Whole Wide World (Remix)(2015) 12. Devaloop feat. Ryler Smith & Dj Educut - Nino Senja (2017) 13. Bun B & Statik Selektah - Time Flies (2019) 14. Gang Starr feat. J. Cole - Family and Loyalty (2019) 15. Westside Gunn - Eric B (2018) 16. Verbz & Mr Slipz - Kemptown Blues (2017) 17. Mz Boom Bap - History (2018) 18. MZ Boom Bap feat. DJ Grazzhoppa - Potent Serum (2018) ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ #boombaphiphop #blackmusic #soul #funk #neosoul #undergroundhiphop #jazzyhiphop #newjackswing #scratch #hiphopclassic #90shiphop #90srnb #turntablism #turntablist #beatjuggling #beatjuggle #pioneers9 https://www.instagram.com/p/CAkcOaal3rE/?igshid=1qg50qd9545me
#1#boombaphiphop#blackmusic#soul#funk#neosoul#undergroundhiphop#jazzyhiphop#newjackswing#scratch#hiphopclassic#90shiphop#90srnb#turntablism#turntablist#beatjuggling#beatjuggle#pioneers9
0 notes
Conversation
iMessage 📲 Senja Rogers
Hades: Senja, are you okay??
Hades: Where are you??
Hades: Is Clea with you??
7 notes
·
View notes
Text
Before the (Morning) Light
read it on the AO3 at http://ift.tt/2rtTiJ8
by Valerie_Verushka
Steve dan Bucky membicarakan fajar di kala senja.
Words: 976, Chapters: 1/1, Language: Bahasa Indonesia
Series: Part 1 of Drabbles inspired by cheesy Local Songs that mostly the Jadul one
Fandoms: Marvel
Rating: General Audiences
Warnings: No Archive Warnings Apply
Categories: M/M
Characters: James "Bucky" Barnes, Steve Rogers
Relationships: James "Bucky" Barnes/Steve Rogers
Additional Tags: the badass Dora Milaje, UST, Kinda
read it on the AO3 at http://ift.tt/2rtTiJ8
3 notes
·
View notes
Photo
Welcome to Atlanta—
Mason Wagner
Senja Rogers
1 note
·
View note
Text
Dua Siluet di Ujung Senja
“Aku bermimpi: telah mendengar nyanyian kanak dari
kampung tak berhuni
Suara tak berujud tapi hadir, tak berkata tapi berbicara
…
Semua rebah tanpa suara dan air bercahaya
di bawah riang warna melengkung
….
Di hotel kita bertemu dan di pojok
jalan ke benteng tua berpaling muka
Kita akan saling lupa”
(Hotel – Subagio Sastrowardoyo)
Saya terlontar ke larik puisi Subagio di atas tepat begitu layar menampilkan dua sosok yang berlarian di penghujung senja. Keduanya mencari satu sama lain. Siluet mereka terengah-engah berlari sambil terus memanggil nama masing-masing. Meski sekalipun belum pernah bertatap muka, keduanya percaya akan langsung saling mengenali apabila pertemuan yang diharapkan terjadi. Tapi hari segera berakhir dan kejar-kejaran konyol ini cepat sekali jadi sia-sia.
Malam tampilkan yang siang sembunyikan, begitu kata orang-orang dulu. Dan senja adalah gerbang perbatasan dimana perjumpaan dengan yang mustahil bisa dilakukan. Saat penglihatan kita sibuk menyesuaikan diri dengan kegelapan dan panggilan ibu mulai terdengar cemas di telinga.
Kita hanya tinggal mengulurkan tangan.
Lampu bioskop dinyalakan, namun para penonton tidak kunjung beranjak dari kursi. Ada pula rombongan remaja yang keliru membuka pintu emergency. “Tunggu sampai credit-nya habis ya”, ujar seorang kawan memecah keheningan. Saya mengiyakan tawaran tersebut.
Ketika meresensi Cinema Paradiso (1990), Roger Ebert sempat meratapi nasib bioskop yang semakin ditinggalkan karena sudah tergantikan oleh VHS, Betamax, dan lain-lain. Namun baginya yang paling tragis bukanlah kemajuan teknologi yang telah menyusutkan layar sinema menjadi seukuran televisi (dan kini monitor laptop), melainkan kenyataan bahwa layar tersebut tidak lagi bisa diperbesar -- terus lebih besar lagi hingga akhirnya ia sepadan dengan film yang sedang ditampilkan. Your Name (Kimi no Na Wa), film terbaru Makoto Shinkai, adalah film seperti itu.
II
Sebetulnya kita tidak perlu menonton film Shinkai untuk bisa memahami keunikan talentanya pada kancah animasi hari ini. Jalan pintas tercepat adalah dengan menyimak iklan-iklan yang ia garap dibawah naungan CoMix Wave Films, studio animasi tempatnya bergabung. Iklan Z-Kai, misalnya, bercerita tentang perjuangan dua anak SMA untuk memasuki perguruan tinggi. Animasi dengan detail memanjakan mata, scoring melankolis, serta kisah menghadapi kesukaran hidup tersebut membuat kita lupa bahwa ini adalah iklan bimbingan belajar. Betul, Z-Kai itu masih satu rumpun dengan Primagama dan Ganesha Operation. Pendekatan serupa ia lakukan dengan Taisei, sebuah perusahaan konstruksi. Di balik sepenggal kisah cita-cita dan perpisahan, tersembunyi iklan…pembangunan jalan tol.
Teknik pemasaran kontemporer memang dirancang untuk menyentuh sisi emosional demi membangun keterikatan bawah sadar calon konsumen terhadap produk/jasa yang ditawarkan. Tapi menyaksikan iklan-iklan di atas, saya selalu merasa bahwa apa yang dilakukan Shinkai justru sebaliknya. Ia menggunakan produk/jasa yang sedang diiklankan demi bisa menuturkan kisah sederhana tentang perjuangan manusia dalam kesehariannya.
Di mata Shinkai, tidak ada yang lebih fantastis selain rutinitas yang banal. Bukan hanya dalam cerita orang mau masuk perguruan tinggi atau peliknya pengecoran jalan tol, hampir seluruh imaji filmnya didedikasikan untuk peristiwa keseharian yang luput dari perhatian: Daun yang gugur; Lampu jalan yang berkedip; Kapal feri bertolak dari pelabuhan; Pancaran layar handphone menerpa wajah; Kotak pos di simpangan jalan; Desis gerbong kereta saat memasuki stasiun. Sebagian diantaranya kerap hadir dalam timelapse dan montase berkecepatan tinggi. Seluruh DNA sinematik Shinkai seperti disusun oleh obsesi untuk memungut serpihan kejadian dan menyulapnya menjadi semacam mukjizat melankolis yang datang sekejap lalu pergi.
Barangkali ini juga yang membuatnya demikian penasaran dengan rapuhnya hubungan manusia. Atau tepatnya kegagalan klasik manusia dalam menggapai sesamanya. Praktis sejak debutnya, Voices of a Distant Star (2002), disambung The Place Promised In Our Early Days (2004), 5 Centimeters Per Second (2007), hingga Garden of Words (2013), Shinkai menjelma sebagai penutur romansa karam dan kisah LDR kolosal dimana kesendirian dan jarak antar manusia - sebuah realitas yang lumrah adanya - dapat ditarik hingga kemungkinan dramatik terjauhnya. Tambahkan sedikit bumbu teen angst dan (((kesendirian))), maka semangkok Makoto Shinkai pun siap disantap. Dalam The Place Promised, kedua tokohnya terhalang oleh penyakit tidur misterius yang membuat komunikasi di dunia nyata jadi mustahil. Dalam Distant Star, sepasang kekasih terpisah ratusan tahun cahaya sehingga tiap SMS baru dapat sampai setelah belasan tahun. Hiks.
Premis cerita uber-gundah macam inilah yang membuat Shinkai perlahan kian populer. Tak tanggung-tanggung, ia dan sutradara seangkatan seperti Mamoru Hosoda dan Hiromasa Yonebayashi sudah digadang-gadang sebagai Hayao Miyazaki edisi milenial. Shinkai secara halus ‘mengelak’ dari predikat ini saban kali diwawancara, “Miyazaki itu jenius. Legenda. Anda tidak ingin mengimitasi gayanya” kilahnya saat ditemui Guardian. Padahal di luar titel “Miyazaki milenial”, Shinkai sesungguhnya masih memanggul beban yang tak kalah berat. Kini ia seperti didapuk menjadi perwakilan tak resmi dari generasi baru auteur anime yang, berbeda dengan generasi Miyazaki, lebih akrab dengan hiruk-pikuk masyarakat digital, Haruki Murakami, dan light novel young adult ketimbang suasana nostalgis-pastoral, Kenji Miyazawa, dan Antoine de Saint-Exupery.
Akan tetapi, reputasi Shinkai tidak otomatis membuat orang dapat memperkirakan film terbarunya ini dapat mencapai popularitas yang demikian tinggi. Your Name kini bercokol di posisi dua film Jepang terlaris sepanjang masa - hits anime pertama pasca hiatusnya Studio Ghibli. Ia baru memenangkan kategori animasi terbaik dari Los Angeles Film Critics Award yang prestisius, mengalahkan film keren seperti Kubo and the Two Strings. Dengan hype seperti ini, bukan mustahil kalau dalam waktu dekat ia dapat merebut posisi puncak dari Spirited Away.
III
Your Name bertumpu pada Mitsuha Miyamizu dan Taki Tachibana. Mitsuha adalah siswi SMA penerus tradisi miko - pendeta perempuan dalam kepercayaan Shinto - klan Miyamizu di Itomori, sebuah kota kecil di pegunungan Hida, prefektur Gifu. Di tempat kelahirannya yang sunyi ini, Mitsuha menanti-nanti tibanya saat kelulusan. Baginya, hari-hari di Itomori terasa kian menyesakkan. Garis hidupnya seperti sudah diputuskan sejak ia lahir, yakni melanjutkan kuil Miyamizu. Padahal ia tak sabar untuk minggat ke Tokyo dan selalu bergidik acap kali membayangkan seumur hidupnya dihabiskan di tempat yang “tidak punya toko buku dan dokter gigi, tetapi entah mengapa memiliki dua pub” ini. Di tengah frustrasi, seusai prosesi ritual (ditangkap dengan elegan oleh Shinkai) yang mempermalukannya, ia memanjatkan doa yang jenaka: untuk terlahir kembali sebagai pemuda Tokyo.
Saat terbangun, ia telah berada dalam tubuh pemuda Tokyo yang sama sekali tidak dikenalnya. Demikian pula Taki - si anak Tokyo - mendapati dirinya terbangun dalam tubuh Mitsuha. Tubuh mereka tertukar. Ini terjadi berulang kali dan kontan mengacaukan keseharian mereka. Demi bisa melewati hari-hari dalam kondisi ini, mereka lantas menyepakati metode komunikasi dengan menulis laporan harian di smartphone masing-masing.
Tanpa disadari, mereka mulai menikmati kejanggalan ini. Keterikatan yang dibangun dari peristiwa ini pun perlahan-lahan membuat mereka jatuh cinta. Mereka ingin bertemu. Tapi ada dua masalah: karena sebab yang misterius, keduanya sedikit demi sedikit mulai lupa dengan apa yang telah menimpa mereka. Masalah kedua, pertukaran tubuh ini sepertinya menyimpan makna yang lebih besar dari yang mereka kira.
Dahi anda mungkin mengernyit tatkala membaca sinopsis diatas. Rom-com dengan imbuhan body-swapping memang bukan premis menjanjikan. Cheesy bahkan. Cerita tubuh pemuda-pemudi yang tertukar dalam khazanah Jepang pun sudah dimulai setidaknya sejak Torikaebaya Monogatari dari zaman Heian (794–1185) baheula. Lalu ada Tenkosei (1982), sampai serial anime yang membuat saya menyesal sudah membuang-buang bandwidth, Kokoro Connect (2012). Tenkosei tergolong cukup progresif pada zamannya karena menggunakan body-swapping sebagai titik masuk bagi pembahasan masalah gender dalam masyarakat Jepang, namun mayoritas body-swapping lainnya lebih sering dimanfaatkan demi mengejar fan-service atau jadi alasan bagi sutradara pemalas untuk membuat slapstick medioker.
Belum lagi kalau, karena berbagai alasan, anda punya keengganan tersendiri untuk berurusan dengan anime-shon. Jangan salah, meski tiap tiga bulan sekali saya selalu menyortir sedikitnya 10 judul serial anime (dari kurang lebih 50 judul yang dirilis[1]) untuk ditonton, tak jarang apa yang disaksikan memang memualkan. Kadang saya berusaha optimis dan berpikir ini ibarat memancing lele. Jika hendak memancing lele, kita harus siap menghirup aroma empang. Tapi bahkan setelah disortir, karya-karya derivatif, misoginis, or just simply dumb as shit tetap ada (kids, no matter how you look at it, Keijo!!!!!! is fucking dumb ). Di sisi lain, studio dengan perspektif segar terhadap animasi harus rutin memproduksi hits. Jika tidak, ia terpaksa beradaptasi dengan trend, harus puas dalam slot khusus seperti noitaminA, atau mengalami nasib yang sama seperti Manglobe tempo hari: tewas mengenaskan.
Ini semua bukan hal baru. Pengalaman serupa dapat kita temui dimana-mana, tak terkecuali di film hollywood dan film lokal kita. Toh kita tetap menonton. Karena sesekali ada yang sanggup membuat pengalaman buruk tadi layak untuk dijalani. Seperti munculnya karya yang bukan seperti cetakan pabrik dan mampu berbicara tentang banyak hal (atau malah tidak berbicara tentang apa-apa). Atau yang caurnya tidak karuan dan membuatmu ingin meninju jakun orang lewat. Spesies macam ini selalu punya kekuatan untuk melampaui genre bahkan medium tempat ia bernaung. Bagi saya, pada titik ini “anime” cuma jadi label yang tak begitu penting. Your Name adalah film bagus yang kebetulan saja berformat anime. Sesederhana itu.
Setidaknya ada tiga alasan yang membuat Your Name sanggup melakukannya. Pertama adalah keputusan penyutradaraan Shinkai untuk tidak berlama-lama dalam menjelaskan mengenai asal usul dan mekanisme pertukaran tubuh Mitsuha-Taki. Film dibuka oleh rentetan adegan yang sedikit membingungkan. Tapi Shinkai memilih percaya kepada penonton untuk bisa mengikuti alur cerita tanpa harus dituntun di setiap perempatan. Dan sebaliknya, penonton yang sabar mengikuti kemana Your Name berhembus akan diberikan imbalan yang setimpal.
Imbalan ini hadir dalam wujud alasan kedua dan ketiga: keseksamaan Shinkai dalam menyerakkan detail - yang nampak insignifikan namun terbukti krusial - di sekujur film serta keberaniannya untuk menyetop secara mendadak kisah komedi body-swapping yang tengah enak berjalan. Apa yang hadir setelahnya mengejutkan ekspektasi saya. Saat film dimulai kembali, secara mengagumkan ia berevolusi menjadi studi yang intens mengenai ingatan, pencarian, dan tekad untuk saling berjumpa.
Petualangan Mitsuha-Taki di paruh kedua melibatkan perjalanan lintas-waktu, komet yang melewati bumi tiap 1200 tahun sekali, tegangan antara tubuh dan jiwa, ingatan personal dan ingatan kolektif, keluarga dan individu, tua dan muda, kota terpencil dan metropolitan, modernitas dan tradisi, sakral dan profan, serta upaya konfrontasi Shinkai dengan horor yang tertanam dalam psike masyarakat Jepang akan bencana yang sewaktu-waktu dapat menimpa tanah mereka. Akumulasi segenap unsur di atas berdansa dalam klimaks yang mungkin akan membekas untuk waktu yang cukup lama.
Jalinan Your Name yang kaya jelas tak memungkinkan untuk dijelaskan seluruhnya disini. Ini film pertama Shinkai yang saya anjurkan agar ditonton lebih dari satu kali demi bisa sepenuhnya menyerap setiap lapisan cerita (contoh detail: jika anda kurang kerjaan seperti saya, bisa terlihat bahwa guru Mitsuha adalah salah satu karakter dalam Garden of Words). Dari segi struktur, narasi, dan penyertaan sekian dimensi ekstra ke dalam kisah yang awalnya sederhana, Your Name adalah film Shinkai yang paling kompleks, namun secara bersamaan, paling universal. Ia megah sekaligus intim, anggun sekaligus ambisius. Tentu saja ini film terbaik Shinkai. Lebih dari itu, film ini beroperasi pada level yang jauh berbeda dengan film-filmnya sebelumnya.
Satu hal yang selalu mengusik saya setiap menonton 5 Centimeters Per Second adalah betapa segala kecemerlangan visual itu (yang disindir Emily Yoshida, kritikus Vulture, sebagai anime instagram) tak mampu menyembunyikan tipisnya narasi orang-orang yang hidup di dalamnya. Kuntum sakura yang meliuk dimainkan angin tak bisa menyelamatkan tokoh-tokoh Shinkai dari keseragaman nuansa di sepanjang film dan kehampaan satu dimensi tiap-tiap karakternya. Dalam hidup tokoh-tokoh Shinkai, tragedi asmara adalah awal dan akhir dari setiap perkara. Tak heran kemudian apabila bagian favorit saya dari 5 Centimeters adalah “Cosmonaut”, saat fokus cerita justru sedang bergeser dari si protagonis. Walaupun adegan peluncuran roket itu masih membekas dalam hati, ingin rasanya menjitak si protagonis seraya mengumpat, “YA ELAH BRO!”. Garden of Words, dengan segala keterbatasannya, cukup berhasil memperbaiki kekurangan ini. Tapi Your Name adalah lompatan jauh ke depan, dan kalau bukan karena visual khasnya, bisa jadi saya tidak percaya ini adalah karya sutradara yang sama.
Mitsuha dan Taki tidak didefinisikan oleh kisah cinta mereka. Keduanya telah terlebih dahulu memiliki riwayat, cita-cita, trauma, keluarga, dan lingkungan tempat mereka hidup dan beraktivitas. Shinkai rajin mengambil jeda demi memberi ruang bernafas bagi kisah-kisah ini. Klan Miyamizu memiliki musubi – kepercayaan akan keterikatan manusia dengan sesamanya, alam dan dewa-dewa, serta waktu yang melingkupi kita semua. Dalam tenun tradisional Itomori, benang dipilin dan dianyam sebagai perwakilan arus waktu yang “berkelindan, saling jerat, kadang terurai, tercerai berai, lalu menyatu kembali”.
Dikotomi karakter orang kota/orang desa dalam Your Name hadir natural alih-alih karikatural. Begitu juga orang-orang di sekeliling Mitsuha dan Taki memiliki kepribadian yang distingtif alih-alih hadir sebagai ornamen belaka. Kita bisa membayangkan Sayaka atau Tessie menjadi teman sekolah atau tetangga kita sendiri. Tengok bagaimana dinamika interaksi kakak beradik Mitsuha - Yotsuha dengan Nenek mereka dilukiskan. Secara subtil, Shinkai turut menyisipkan pengaruh absennya figur ibu dalam hidup Mitsuha dan Taki. Tanpa bertele-tele, kita mengerti bahwa Taki, sang pemberang yang naksir dengan seniornya, perlahan mulai memahami perubahan pada perasaannya. Hal ini cuma bisa dilakukan oleh sutradara yang memahami bahwa remaja, kelompok umur yang paling sering digeneralisasi secara gampangan oleh sinema, adalah manusia dengan pikiran dan kepribadian. Mereka bisa dilanda kebingungan, cemas, dan ketakutan, namun bukan berarti tak sanggup merumuskan heroismenya sendiri. Mereka berduka, tapi cukup kuat untuk menyadari bahwa ada duka yang tidak akan bisa disembuhkan - kita hanya jadi lebih mahir untuk hidup berdampingan dengannya.
Karakter yang sering luput dibahas adalah Itomori itu sendiri dengan ritme khas kota/desa terpencilnya. Tempo kehidupan yang mengalir pelan ini bukan karena penduduknya tidak memiliki keperluan, melainkan karena kota ini telah ada bersama mereka sejak mereka lahir. Tanpa harus tancap gas pun mereka merasa tidak akan ketinggalan apa-apa. Di Itomori, hampir semua peran sosial sepertinya masih diwariskan secara turun temurun. Saya tersenyum saat melihat raut wajah mirip Sayaka (yang aktif dalam klub broadcasting SMA) berada di ruangan broadcasting Balai Kota. Ini bukan kecelakaan desain. Sayaka, seperti halnya Mitsuha, nampaknya juga diharapkan untuk menjadi penerus tradisi keluarga sebagai penyiar pengumuman kota Itomori. Pengungkapan macam ini seringkali terjadi amat cepat. Seakan Shinkai pun tidak begitu mengharapkan penonton untuk memperhatikannya.
Terakhir yang tak kalah penting adalah pelibatan humor yang tidak sedikit ke dalam cerita. Ini hal baru dalam film Shinkai. Sulit menemukan barang sepotong guyonan pun dari elegi cinta apes dan hubungan nyungsep di film-film sebelumnya. Your Name memiliki beberapa momen yang bisa membuat tenggorokan tercekat. Tapi Mitsuha dan Taki lekas menyadari bahwa situasi mereka toh sudah dari sananya absurd. Sehingga seperti halnya film-film action terbaik, meski hal yang dipertaruhkan jadi semakin besar, ada sedikit bagian dalam diri mereka yang selalu siap menertawakan situasi. Mereka yang menyukai pendekatan cengengesan Mamoru Hosoda dalam The Girl Who Leapt Through Time (2006) atau, favorit saya, Digimon Adventure: Our War Game! (2000) bakal menikmati sisi humoris film ini.
Ragam idiosinkrasi inilah yang merupakan pasangan terbaik bagi parade animasi hiper-real Shinkai yang meletup dengan warna: denyut gedung perkantoran dan hilir-mudik kereta komuter (Shinkai sangat menyukai kereta) Tokyo yang angkuh serta lansekap Itomori yang berpendar halus. Seperti biasa, Shinkai tetap tajam dalam memotret tingkah laku perkakas sehari-hari: pintu rumah yang digeser sampai dentang kaleng es kopi dalam vending machine. Ini film yang hidup. Di kegelapan bioskop, kita dapat mendengar detak jantungnya.
Meski dengan hal-hal diatas, saya duga masih ada beberapa hal yang bisa membuat penonton sedikit terganggu dengan Your Name. Misalnya perkara kebiasaan Shinkai menyetel J-Pop pada adegan kunci filmnya. Atau pendekatan naratifnya yang getol memasuki wilayah sentimentil. Jika patokan toleransi kadar drama anime anda adalah film-film keluaran Ghibli, wajar jika film Shinkai ibarat anak emo yang tiap malam meringkuk di pojok kamar sambil mendengarkan Disintegration. Meski mahir menetapkan alur cerita yang subtil, Your Name pada akhirnya memang menempuh gaya bertutur yang bisa dianggap overblown buat sebagian orang.
Faktor selera jelas tidak akan habis kalau dibahas. Sebagian besarnya tergantung dari seberapa nyaman kita dengan pendekatan dramatik dalam anime hari ini (yang tentu saja bukan cuma keluaran Ghibli). Namun terlepas dari itu, saya merasa film ini jauh lebih besar daripada sekedar melodrama. Di sepanjang durasinya, ia memancarkan daya misterius yang dengan keras kepala berhasil membuat saya menerima segala kekurangannya. Ini erat kaitannya dengan ruh yang mendasari setiap keputusan, ketakutan, dan harapan yang mengalir di sepanjang film.
Pada akhirnya Your Name adalah kisah klasik coming-of-age tentang dua orang tak saling kenal yang perlahan jatuh cinta. Ia jadi berharga karena dengan sepenuh hati menyampaikan bahwa pertukaran tubuh – plot yang sedari dulu berkonotasi lawak belaka – dapat secara radikal dan tak terduga membebaskan kita dari klise tentang bagaimana seharusnya dua manusia memulai suatu hubungan. Dari terbangun hingga terlelap, Mitsuha dan Taki belajar mengenal, menghargai, memahami, lalu saling mencintai dengan mendiami dan menjalani eksistensi yang-lain. Memandang hidup dari mata yang-lain, mengecap melalui mulut yang-lain, melangkah dengan kaki yang-lain. Dengan mempelajari kecemasan dan harapan yang-lain, Mitsuha dan Taki memahami kecemasan dan harapan diri sendiri. Dengan saling menghidupi satu sama lain, mereka tumbuh bersama. Ikatan unik ini telah mengantar keduanya mencapai kedalaman intimasi yang tidak lagi memerlukan kata-kata. Tidak lagi memerlukan nama.
Akan tetapi, Mitsuha dan Taki tetap ingin bertemu. Meski mustahil, keduanya ingin mempertahankan ingatan tentang pengalaman yang mengikat mereka. Sebab melupakan terasa demikian menyakitkan. Keduanya toh manusia seutuhnya -- selalu berusaha, gagal, dan berusaha lagi untuk menggapai sesamanya.
Lalu komet tiba membelah angkasa. Dan meski sekejap, di ujung senja yang segera tergelincir jadi malam, dua siluet yang berkejaran tadi merasa bahwa arus waktu bisa diurai lalu dianyam ulang, lupa bisa ditaklukkan, batas antara dimulainya khayalan dan berhentinya kenyataan menjadi tidak relevan, dan pertemuan tidak melulu diakhiri perpisahan.
Untuk meraihnya, kita hanya tinggal mengulurkan tangan.
IV
Titel “The New Miyazaki” akan makin sering kita dengar pada hari-hari ke depan. Untuk itulah kita harus mulai menegaskan: Shinkai bukanlah second coming dari Miyazaki, dan sudah saatnya ia mulai dihargai dengan cara yang berbeda. Julukan ini tak hanya menandakan kegagalan dalam memahami keunikan Shinkai, ia juga dapat membatasi apresiasi kita terhadap karya-karyanya.
Miyazaki, seperti halnya komet di film ini, tak ubahnya fenomena kosmik yang cuma melintas sekian tahun sekali. Tapi Shinkai hadir dari tengah-tengah kita, menemani kita yang mendongak ke arah langit dengan terpana. Barangkali salah satu alasan Makoto Shinkai terus menampik segala julukan tersebut adalah karena ia selalu memilih berada di perbatasan antara keseharian yang meletihkan dan imajinasi akan keajaiban. Ia mengangkat harkat segala yang sepele dan membumikan yang fantastis untuk mengeja puisi tua tentang manusia: nasibnya yang tragis, ketabahannya yang memesona.
Keajaiban. Selepas 2016 yang kelabu, kata ini mungkin terdengar naif dan dangkal. Atau lebih parah lagi, jadi pertanda ketidaksanggupan kita dalam menghadapi realita. Tapi bukankah kita menonton film agar bisa sesekali menyaksikannya memperkenalkan diri di depan mata? Agar sekali lagi kita percaya bahwa setelah semua orang beringsut keluar dari kegelapan bioskop untuk kembali ditelan rutinitas; tekad bisa kandas dan waktu tidak bisa dibengkokkan, namun ingatan kita akan segala hal yang baik senantiasa bisa dipulihkan. Saya rasa itu lebih dari cukup.
- Subcommandante Macross
For Noobs: Rilisan anime - baik serial televisi maupun feature-length - mengikuti jadwal perubahan musim di Jepang: musim dingin (Januari – Maret), musim semi (April – Juni), musim panas (Juli – September), dan musim gugur (Oktober – Desember). Berdasarkan tanggal rilisnya di bulan Agustus, Your Name tergolong sebagai anime musim panas. Tiap musim, satu serial anime akan merilis satu cour (10-13 episode). Tergantung dari materi cerita, popularitas, dan faktor-faktor lainnya, sebuah serial bisa hanya diputar sebanyak satu cour saja (misal: Tatami Galaxy, Usagi Drop), dua cour (Neon Genesis Evangelion), atau bisa juga mencapai belasan cour (Bleach, Naruto, One Piece).
3 notes
·
View notes
Text
Brown Canyon, Senja Di Penghujung Hari
Brown Canyon, Senja Di Penghujung Hari
“Dusk of today embrace a new beginning of tomorrow – Prince Rogers”
Berburu (baca: menikmati) senja menjadi waktu yang istimewa bagi diriku, sama halnya saat mengejar matahari terbit di ujung Timur. Aku menyukai semburat warna-warni yang dihasilkan oleh bias sinar matahari di kedua waktu itu, menjelang pagi atau di penghujung sore hari. Waktu yang sakral, walaupun hanya sejenak. Apakah kalian…
View On WordPress
#Brown Canyon#Brown Canyon Semarang#Ikon Wisata Semarang#Semarang Hits#semaranghits#Seputar Semarang#Travel#Wisata Semarang
0 notes
Photo
You rarely have time for everything you want in this life, so you need to make choices. And hopefully your choices can came from a deep sense of who you are. -Fred Rogers- . . . 📷 at ujung gelam, karimunjawa march/april 2012 #Quote #Senja #makemagichappen #makechoices #LatePost
0 notes
Text
Before the (Morning) Light
read it on the AO3 at http://ift.tt/2rtTiJ8
by Valerie_Verushka
Steve dan Bucky membicarakan fajar di kala senja.
Words: 976, Chapters: 1/1, Language: Bahasa Indonesia
Series: Part 1 of Drabbles inspired by cheesy Local Songs that mostly the Jadul one
Fandoms: Marvel
Rating: General Audiences
Warnings: No Archive Warnings Apply
Categories: M/M
Characters: James "Bucky" Barnes, Steve Rogers
Relationships: James "Bucky" Barnes/Steve Rogers
Additional Tags: the badass Dora Milaje, UST, Kinda
read it on the AO3 at http://ift.tt/2rtTiJ8
0 notes
Note
Senja
SEND IN A NAME FOR A FICTIONAL CHARACTER THEY REMIND ME OF:
Charlotte York - Sex and the City
2 notes
·
View notes
Text
Afiks : Pemimpi (n), Pemimpi-n
HAI, AKU RINDU TUMBLR! Haha. Nggak dipungkiri, sih. Beberapa hari yang lalu, aku sempet bikin akun Ameba, alias platform blog Jepang yang super uwu. Desainnya lucu banget, lho! Tujuan bikin blog itu, buat pelarian dari tumblr sih, hehe /g. Habisnya, kadang aku ngerasa kurang nyaman kalo harus cerita banyak ke khalayak yang super-super semacem orang-orang penghuni tumblr ini. Di ameba, aku belum ada temen, jadi ya -lebih bebas, wkwk. Bikin ameba yang bahasanya full Jepang juga bikin aku latihan bahasa lagi, hehe. Mulai dari baca, nulis, sampe ngartiin. Gapapa, aku suka! /y.
Dan hari ini, alhamdulillah bi ni’mati ta’limussaalihaat -RITUAL KOPI SENJA KEMBALI!- Sore ini lagi ngerasa lega banget, satu project essay bisa selesai dalam empat jam, yay. Buat orang kayak aku sih, itu prestasi yang kelangkaannya mirip spesies Harimau Sumatera. Essaynya lumayan greget, dan jadi pengalaman pertama buat aku bikin karangan tentang politik, ditinjau dari segi hukum, historis, sama sosial. Yay! Ketika essay itu kelar, yang ada di pikiranku cuma : ‘nulis. Ngopi. Baca buku’, dan here we are! Dengan secangkir Arabika yang masih mengepul panas, muka penuh masker, dan musik indie akustik yang jadi favorit!
Sore ini, mau nulis sesuatu yang udah diproyeksi sejak tadi siang, pas masih bikin daftar referensi di essay -yang berujung delayed. Bener, sesuai sama judul : Pemimpi, Pemimpin. Dua subjek yang interpretasinya tergantung perspektif. Bisa dinetra sebagai singular, bisa juga diliat sebagai plural. Lagian, cuma ada afiksasi satu huruf di belakang. Itu beda yang paling kentara. Tapi, dari perspektifku sendiri, keduanya saling berkelindan, man. Adalah kausalitas yang mencipta mengapa dan karena.
Duh, ini Fourtwnty kenapa saik sekali sih ☹ Oke lanjut.
Aku repetisi, ya! Pemimpi (n), pemimpi-n. Bentar. Afiksinya ‘n’, berasa lagi nyari deret geometri -_-/ g. Dewasa ini, belakangan ini, setelah baca lebih banyak buku, liat dan menukil banyak pengalaman -baik diri sendiri maupun orang lain, aku jadi punya pemahaman sendiri, kalo keduanya adalah berkaitan. Nggak kayak kita, man! /NGGAK. Pemahaman ini seolah jadi teori, setelah pemahaman sebelumnya yang masih hipotesis. Dulu, waktu masih SD, bahkan sampe SMP, aku berpikir kalo pemimpi itu ya, tukang mimpi, dalam artian literal. Persis aku dulu, yang hidup berpedoman pada novel Laskar Pelangi bajakan beserta tetraloginya. Yang saking seringnya di-tilawah-i, di ziyadah-i, dan di-murojaah-i, lembarannya putul-putul dan tercerai berai entah kemana, persis sukma yang kadang juga runtuh berantakan/NGGAK. Dalam pola pikirku waktu itu, pemimpi adalah mereka yang punya mimpi. Mereka yang nggak perlu berpikir dua kali buat merancang visi, lalu menghalalkan segala cara buat realisasi. Lagi-lagi, visualisasiku waktu itu masih sebatas usaha ultra-super-edunnya Ikal sama Arai buat sekolah di Eropa. Dan yah, it was work. Dari situ aku menarik konklusi tentang makna pemimpi secara terminologi.
Adapun pemimpin di mataku waktu itu, adalah visualisasi presiden, man. Iya, presiden yang lagi direbutin tahtanya belakangan ini. Pemimpin dalam netraku adalah sosok yang memimpin, ya Rabb pemahamanku sedangkal mata kaki ☹ Yang kegiatannya mengurus ini itu, yang perannya sebagai pembuat dan pemutus kebijakan, yang bahkan ucapannya adalah mutlak dan bakal diratifikasi. Agak kontradiksi dengan pemimpi yang sifatnya liberal, alias bebas mau mimpi se-ngawur apapun, pemimpin justru mutlak, otoriter, dan monoton. Suwer, selempeng dan sedangkal itu interpretasi dua kata dari seorang anak SD, yang kelewat dekil dan jorok karena sering main lempung di sawah tetangga. Payah. Untung dulu, dan sekarang masih /huft.
Time flies, and i grow up by the time and moments. Ungkapan melankolis semacem : Biar waktu yang mendewasakan kita, ternyata bisa dijadiin pembenaran, lho! Hari ini, di titik usia 19 tahun, aku merasa geli sendiri kalo inget pemikiran-pemikiran masa kecil yang terlampau polos bin cetek, kalo nggak mau disebut asal dan ngawur. Waktu dan pengalaman yang memperkaya kepribadian kita, ya? Dengan segala mozaik berbagai warna, bentuk, maupun tingkat kecemerlangan yang sedikit tapi pasti, mulai membentuk alur hidup kita, termasuk sikap dan pola pikir. Se-childish apapun aku, but i do feel that. Banyak pemahaman yang otomatis ter-regenerasi, atau jalan mimpi yang kembali ditinjau ulang. Ah, semoga kesemuanya tetap di koridor yang bener, ya! Terlebih soal alur hidup, yay.
Ketika remaja, aku mulai ngerti kalo keduanya berkaitan. Sebenernya, duduk perkaranya sepele, kan? Bahkan harusnya bisa ditera sejak dulu, kalo aku mau analisa dan berpikir lebih jauh. Duduk perkaranya adalah : direksi, alias tujuan. Gini. Pemimpin, setegas dan sejumawa apapun visualisasinya, pastilah juga seorang pemimpin, man! Roger that? Bisa jadi, sebelum jadi pemimpin, dia adalah pemimpi. Dan mimpi-mimpinya itulah yang bikin dia bisa jadi pemimpin. Meanwhile, ketika ia udah berhasil jadi pemimpin, ia nggak lantas membuang mimpi-mimpinya begitu aja, kan? ia masih harus punya mimpi, tujuan, dan direksi -mau dibawa kemana objek yang dia pimpin? Maka konklusinya, setiap pemimpin, pasti pemimpi. Sadar atau nggak sadar, tapi itu absolut.
Semisal nih, yang setia sama ummatnya dulu, deh. Rasulullah -may peace be upon him-. Bahkan tanpa penobatan megah, beliau adalah pemimpin negara Islam pertama di Madinah. Oke, pemimpin. Lantas, beliau juga punya mimpi, man! Memperbaiki akhlak manusia, jelas. Mendamaikan perseteruan antargolongan yang beda keyakinan, jelas. Ekspansi dakwah islamiyah, jelas. Well, Rasulullah adalah pemimpin, dan beliau juga punya target buat dicanangkan.
Atau yang namanya masih bergaung di telinga kita saat ini : Sultan Muhammad II dari Turki Utsmani, yang karena kesuksesannya mewujudkan mimpi serupa bisyarah Rasulullah, dapet label abadi sebagai Muhammad Al Fatih. Adalah mimpi, man! Adalah mimpi-mimpi yang dirakit sejak kecil buat jadi penakluk Qustantiniyyah, pusat Kekaisaran Byzantium Timur. Dan -apa? Qadarullah, terrealisasi, man! Berkat mimpi, doa, lantas usaha yang skalanya bukan recehan.
Kemudian, soal pemimpi. Sejujurnya, ketika denger kata ‘pemimpi’, visualisasiku jatuh ke titik bifurkasi, man. Satu, imaji orang yang bengong, melamun, seolah menunggu -entah ajal atau jodoh; dua, imaji seorang yang anticapek, greatful, dan bawaannya kerja rodi buat mimpi. Entah, tapi sebagai penganut mazhab positivisme, tendensiku ke nomer dua. Yay, ini blackpink campaign!/g. Pemimpi yang nomer dua, buatku adalah sebenar-benar pemimpi. Yang jelas punya visi, dan buat usahanya, jelas nggak basa-basi. Sementara yang pertama, kok kayak manusia yang prinsip hidupnya : Hidup enggan mati tak mau, sih? Ya gitu. Jadi, pemimpi adalah dia yang berani merancang visi, lantas nggak nanti buat beraksi. Kalo dianalogikan sama Hukum Om Newton III, aksi X reaksi. Aksinya adalah merancang mimpi, dan reaksinya adalah usaha. Asik, keliatan semangat banget, ya?
Oke. Disini, sedikit berkebalikan dengan yang tadi -adalah bahwa pemimpi, juga pemimpin! Tau, kan? Mungkin iya, setiap individu nggak melulu dan nggak semua akan memimpin orang lain. Tapi tapi tapi, inget QS Al Baqarah ayat 30? Halaman enam, posisi kiri atas baris pertama? Manusia adalah khalifah di muka bumi, man. Dan yang terpenting, adalah khalifah atau pemimpin atas dirinya sendiri. Masing-masing individu punya tanggung jawab itu dan berdaulat penuh atas dirinya sendiri. Semisal otak jadi ‘kepala negaranya’, maka hati jadi ‘panglima’, lantas kelima indera jadi ‘algojo’. Sounds match?
Ah, kalo bicara masalah kepemimpinan diri, jadi sedih, anyway. Keinget surat An Najm ayat 39, bahwa setiap manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang ia usahakan. Nyambung sama surat Al Muddassir ayat 38, bahwa setiap jiwa akan mempertanggungjawabkan apa yang telah ia peroleh. Huft, ternyata, memimpin diri sendiri juga butuh mimpi, ya? Semisal targetan amal, amalan unggulan atau amalan istimewa yang bisa kita jadikan sebagai wasilah, atau rencana kebermanfaatan. Sama halnya dengan pemimpin organisasi yang punya proker, jadi pemimpin diri, ternyata juga butuh proker. Yang LPJ-nya, nggak main-main, man! Sentralisasi langsung ke Allah yang mencipta. Pertanyaannya, sejauh mana persiapannya?
......
Hah, jauh ya, nulisnya? Dari mulai korelasi antara ‘pemimpin’ yang sebenernya sama urgensinya sebagai pemimpi, sampe korelasi antara ‘pemimpi’ yang sebenernya sama kewajibannya sebagai ‘pemimpin’ atas dirinya sendiri. Masing-masing saling berkelindan, saling memengaruhi, dan tentu pertanggungjawabannya bakal ditanyai. Bukan ribet, tapi qadarullah. Pilihan cuma dua, yes or yes.
Hoo, udah jam segini, man! Saatnya al matsurat, yay! Sebelumnya, mau ngasih konlusi, deh. Tentang menjadi apapun kita, pastikan secercah mimpi yang kita punya bisa jadi tambahan kebaikan di mata Allah, baik dari proses realisasi, sampe realisasinya. Dan lagi, jangan lupa -kalo kita juga punya amanah sebagai pemimpin diri, dengan tuntutan buat menyelesaikan diri. Jangan lupa sama visi berkedok proker, ya!
Terakhir, mengutip kalimat dari Bang Raditya Dika : “Bermimpilah setinggi langit-langit kamar, agar ketika kamu gagal, kamu bisa jatuh di atas kasur.”
YAYAY.
Banjarnegara, 6.2.2019
Heo, yang ditinggal menyelesaikan diri.
14 notes
·
View notes
Video
BoomBap HipHop Mix #1 Link In BIO ▶︎▶︎ @djtakma ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ https://www.mixcloud.com/djtakma/boombap-hiphop-mix-1/ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 1. Juju Rogers - Hungry (2015) 2. The Doppelgangaz - What It Seems (2020) 3. Vann - Future in You (2016) 4. ANoyd - The Mood (2019) 5. CJ Fly feat. Joey Badass - Rudebwoy (2019) 6. Method Man & Havoc - Street Life Squad Up (2019) 7. Talib Kweli & Damu The Fudgemunk - Time Leak (Redef Remix)(2019) 8. Glad2Mecha Ill Treats - On the Mic (2019) 9. Lex One & Lucian White - I'm Good (2018) 10. Godfather Don - Listen Close ( Jazz Spastiks Remix ) (2018) 11. The Doppelgangaz Feat. Apathy - Whole Wide World (Remix)(2015) 12. Devaloop feat. Ryler Smith & Dj Educut - Nino Senja (2017) 13. Bun B & Statik Selektah - Time Flies (2019) 14. Gang Starr feat. J. Cole - Family and Loyalty (2019) 15. Westside Gunn - Eric B (2018) 16. Verbz & Mr Slipz - Kemptown Blues (2017) 17. Mz Boom Bap - History (2018) 18. MZ Boom Bap feat. DJ Grazzhoppa - Potent Serum (2018) ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ #gangstarr #statikselektah #methodman #boombaphiphop #blackmusic #soul #funk #neosoul #undergroundhiphop #jazzyhiphop #newjackswing #scratch #hiphopclassic #90shiphop #90srnb #turntablism #turntablist #beatjuggling #beatjuggle #pioneers9 https://www.instagram.com/p/CAp06TbnCKM/?igshid=1i6aj0bl91b0l
#1#gangstarr#statikselektah#methodman#boombaphiphop#blackmusic#soul#funk#neosoul#undergroundhiphop#jazzyhiphop#newjackswing#scratch#hiphopclassic#90shiphop#90srnb#turntablism#turntablist#beatjuggling#beatjuggle#pioneers9
0 notes
Text
Before the (Morning) Light
read it on the AO3 at http://ift.tt/2rtTiJ8
by Valerie_Verushka
Steve dan Bucky membicarakan fajar di kala senja.
Words: 976, Chapters: 1/1, Language: Bahasa Indonesia
Series: Part 1 of Drabbles inspired by cheesy Local Songs that mostly the Jadul one
Fandoms: Marvel
Rating: General Audiences
Warnings: No Archive Warnings Apply
Categories: M/M
Characters: James "Bucky" Barnes, Steve Rogers
Relationships: James "Bucky" Barnes/Steve Rogers
Additional Tags: the badass Dora Milaje, UST, Kinda
read it on the AO3 at http://ift.tt/2rtTiJ8
0 notes
Photo
The following roles have been accepted. You now have twenty-four hours to create your character’s account and send it into the main! Please all track these tags and follow everyone on the follow list. We can’t wait to begin roleplaying with you!
Aiden Hayes played by Lexi
Arielle Santos played by Queen Liz
Austin Reed played by Kira
Bianca de la Cruz played by Mimi
Daphne Drake played by Kelly
Gianna Lagomarsino played by Charlotte
Jay Song played by Heather
Mason Wagner played by Megan
Samantha Belrose played by Steph
Senja Rogers played by Hannah
1 note
·
View note
Text
Incompatible Zodiac Sign
[ LINE PC with Lealia ]
Eh salah kirim bil
Btw katanya seru lho
Udah nonton?
Bagas mengirim pesan chat itu kepada Lealia. Sebenarnya bukan salah kirim, tapi sengaja. Dia ingin mengajak Lealia nonton tapi gengsi kalau mengatakannya langsung. Bicara soal Lealia... dia adalah teman Bagas yang spesial. Sudah 3 tahun ini mereka dekat sampai Bagas memberi gadis itu panggilan kesayangan. Si gembil, cocok untuk merepresentasikan pipi Lealia yang gembil. Kedekatan mereka itu tidak bisa dikatakan teman biasa. Diam-diam Bagas menyimpan rasa yang lebih kepada Lea, namun belum punya keberanian untuk menyampaikannya selama 3 tahun kedekatan mereka.
[ LINE PC with Lealia ]
Tadinya mau kirim ke siapa?
Belooom. Kamu udah?
Hari ini di Starbucks ada promo 25rb-an loh.
Kepo
Belum juga hehe cie hehe
Promo apaan?
Biarin dong
Cie aja terus. :-) Lebih jagoin Batman atau Superman?
Promo ChocoRilla! Aku mauuu
Jagoin IronMan sih aku :-)
Kamu pulang jam berapa?
IronMan kan mirip papaku!
Jam 2, tapi mau ngerjain tugas sebentar sampe jam 3. Kenapa?
Lah IronMan mirip calon mertuaku
Yah- aku ada latihan jam 4
Loh, emang udah nemu calon mertua?
Latihan apa kamu?
Udah
Latihan bal-balan tapi pake tangan
UN aja dulu Gas. :-)
Bal-balan? Aku bacanya bala-bala. :-( Laper.
Moodbreaker banget si -_- masih minggu depan
Makan. Buknnya curhat
Habisnya futuristik banget mikirinnya mertua. :-)
Aku mau seblak. :-(
Bagus dong biar masa depan tertata :-)
Jadinya kamu mau ChocoRilla apa seblak? -_-
Dasar Cancer.
Aku mau makan seblak sambil minum ChocoRilla. :-(
Bagas berpikir, mulai memetakan rencana kencan dadakannya senja nanti. Sampai mengeluarkan note dan pensil segala.
Dia menuliskan.
1. Jemput Lea
2. Beli Seblak
3. Beli ChocoRilla
4. Nonton(?)
Masih banyak tanda tanya. Pertama, jemput dimana dan jam berapa.
[ LINE PC with Lealia ]
Kamu ngerjain tugasnya dimana, mbil?
Di sekolah. Kenapaaa?
Sekolah. Bagas menambahkan tanda panah setelah kalimat 'Jemput Lea' dan menuliskan kata 'sekolah'. Tapi dia kan masih ada latihan basket jam 4 nanti? Masa iya Lea disuruh menunggunya selesai latihan? Kata Alan (sahabat dekat sekaligus konsultan cinta "Treat her like a princess, jangan buat dia menunggu". Dalam kasus ini, Bagas merasa dirinya adalah Steve Rogers sementara Lea adalah Peggy Carter.
[ LINE PC with Lealia ]
Kamu ngerjain tugasnya gak bisa sampek jam 6 sore aja?
Sedetik kemudian dia baru sadar. Kok jadi terkesan maksa?
"Aduh bego!"
Tapi terlanjur deliv. Mau gimana lagi.
[ LINE PC with Lealia ]
Ya nggak bisa lah, nanti aku jaga sekolah dong sama satpam? -_-
Nah kan balasan yang tadi sangat tidak layak. Lea belum pernah mengirim emot-muka-bete itu ke Bagas. Baru sekarang. Yakali belum jadian aja udah bikin bete. Jangan sampek.
[ LINE PC with Lealia ]
Eh anu itu maksudnya gini
Aku kan latihan jam 4
Kamu mau aku ajakin latihan dulu? Bentar doang. Sekalian alibi biar bisa pulang duluan
Sudah deliv, Bagas mikir lagi. Apa dia tidak terkesan bawel tadi? Kenapa ngechat doang bisa bikin dia banyak mikir begini?
"Serius amat kayak lagi dikejar rentenir aja, Gas!" Tepukan mendadak di pundaknya nyaris membuat Bagas menjatuhkan ponselnya.
"Tsk!" Bagas berdecak, kemudian menendang kaki si pelaku, Alan.
"Lea pasti ya?" goda Alan sambil ngekeh.
"Berisik."
Tak lama kemudian, balasan dari Lea muncul.
[ LINE PC with Lealia ]
Mau sih
Tp ga ganggu nih kalo aku ikutan?
"Gak capek di-PHP cewek, Gas?" Alan meledekinya lagi.
"PHP apaan sih? Tsk," dengus Bagas seraya membereskan alat tulisnya ke dalam tas. Diliriknya layar ponsel yang menampilkan balasan dari Lea.
"Tiga tahun itu kemana aja?" sindir Alan dengan tawanya.
Kalau dipikir lagi memang benar sih. Tiga tahun ngapain aja, kok gak jadi-jadi? Apa emang Lea gak suka dia? Atau kodenya terlalu rumit sehingga Lea tidak peka? Bagas tidak tahu kenapa gadis itu, selama 3 tahun ini kelihatan tidak ada minat khusus padanya. Mereka memang sering jalan bareng, tapi seperti teman biasa aja.
"Nanti jam 4 balik latihan," ucapnya datar sembari berjalan keluar ruang club basket untuk mengambil motornya. Dapat dia dengar tawa penuh ejekan Alan. Masabodo. Sambil berjalan Bagas membalas line dari Lea.
[ LINE PC with Lealia ]
Nggak lah. Aku jemput ya
Tiba di parkiran dia langsung mencolokkan kunci motornya, siap pergi.
[ LINE PC with Lealia ]
Okay, aku tungguin yaaa.
***
Bagas hanya butuh 3 menit untuk tiba di sekolah Lea karena jarak SMAN 3 Bogor dan SMA Bogor Raya sangat dekat. Begitulah, rumah dekat. Sekolah dekat. Sebenarnya Bagas dan Lea sudah punya banyak kesempatan untuk lebih dekat lagi. Heran kenapa gak jadi-jadi. Makanya itu, hari ini ada niatan Bagas untuk... istilah formalnya mencoba mengajak Lealia membina hubungan ke jenjang berikutnya. Istilah bekennya nembak. Tak heran jika dia begitu semangat menjemput Lea. Sampai lupa pakai helm, lupa kalau seragamnya awut-awutan. Sambil siul-siul dia mengendarai motornya ke SMA Bogor Raya. Setelah menghentikannya di depan gerbang, Bagas mengeluarkan ponsel lagi untuk membalas chat Lea.
[ LINE PC with Lealia ]
Udah di depan nih, mbil
Mendadak Bagas ingat Pak Didin, sopir pribadi Lea yang biasanya jemput. Itu juga tidak dia perhitungkan. Kalau dia ketangkep gimana?
Pak Didin itu orangnya labil. Kadang, dia bisa tiba-tiba ada di pihak Lea, tapi kalo lagi nyebelin, dia pasti pindah ke pihak mamanya. Nah, hari ini belum bisa dipastikan Pak Didin lagi nyebelin apa enggak.
Mencoba untuk tenang walau ada kemungkinan tertangkap basah, Bagas nyanyi-nyanyi di tempat. Sambil lalu ia rapikan rambutnya, sadar penampilannya agak berantakan.
"Eh, seragam."
Saat hendak merapikan seragamnya itu, ponselnya bergetar panjang. Ada panggilan masuk yang ternyata dari Lea.
"Kok nelpon? Bukannya keluar." Bagas mengernyit, namun mengangkat panggilan tersebut. "Iya, mbil?"
"Gas! Kamu harus nyumput, buruan! Aku takut kamu ketahuan Pak Didin!" Terdengar suara Lea yang teriak-teriak panik melalui panggilan mereka. Ternyata firasat Bagas soal Pak Didin benar. Suara panik Lea ini menandakan keadaan tidak aman. "Kamu sembunyi dulu gih, di balik pohon atau semak-semak kalo nemu," ucap Lea yang sukses membuat Bagas bingung. Mana ada juga semak-semak di sekolahan.
"....hah?" Saking bingungnya Bagas speechless. Tapi dia mencoba berpikir jernih untuk memutuskan jalan keluar terbaik. Dikantonginya ponsel tanpa memutus sambungan telepon, lalu ia menyalakan mesin motor lagi. Mau tak mau Bagas harus sembunyi sesuai instruksi Lea. Tapi dimana?
Dia berburu tempat aman bersama motornya, apa aja yang penting wujudnya gak kelihatan. Beruntung disana banyak pepohonan. Layaknya tentara yang sedang berperang, Bagas mengamankan diri di antara pepohonan itu. Barulah dia kembali berbicara dengan Lea.
“Berasa lagi perang aja. Udah nih.”
“Tungguin ya!” jawab Lea dari seberang. Suara gadis itu masih terdengar panik. Bagas juga bisa mendengar langkah kaki tergesanya.
Dari balik pohon Bagas bisa melihat adegan kebohongan Lea, Pak Didin, dan temannya yang dia kurang tahu namanya siapa. Cuma sebentar, sepertinya Pak Didin percaya. Mobil itu keluar dari area sekolah tak lama setelahnya. Dilihatnya Lea malah cium-ciuman sama temannya itu, membuat dia menggumam.
"Hm... kenapa gak sama aku aja, mbil?"
Tapi tidak apa-apa. Bagas harus sabar. Tinggal dikit lagi kok.
"Udah Gas, sini keluar!" Didengarnya suara Lea yang menyuruhnya keluar dari persembunyian, dia pun mengendarai motornya dan berhenti di depan dua siswi Bogor Raya, yaitu Lea dan temannya. Bagas memasang tampang ramah keren bak idola sekolah. Kan kata orang dia mirip personil boyband Korea.
"Udah belajarnya?" tanyanya sok kalem, sok perhatian.
“Belajar apaan? Lea mah kerjaannya nyalin tugas aku kalo soal matematika," jawab teman Lea usil. Mendengar itu Lea jadi kelihatan sebal, lalu cemberut dan merajuk, memukuli bahu temannya pelan. "Gas, kok mau sih sama cewek kayak gini? Liat tuh, tukang pukul. Terus pendek lagi." Bagas heran sekaligus bangga karena teman Lea ternyata hafal namanya. Sementara Bagas sendiri sudah lupa teman Lea yang ini namanya siapa.
Dua cewek itu pasti gak akan sadar kalau sedari tadi Bagas senyum-senyum blo'on selama memperhatikan tingkah Lea. Memang lebih baik jangan sadar.
"Nggak apa-apa, pendek lebih gampang didekep," jawab Bagas sambil ngekeh.
Tak hanya teman Lea ini yang komentar. Teman-teman Bagas pun sering tanya kenapa mau sama cewek bulet, pendek, dan buntel. Tapi namanya udah jatuh cinta ya, Bagas anteng menjawab kalau yang seperti itu justru imut. Membuatnya malah makin ingin mengayomi.
"Udah ah, berisik!" Lea merajuk, tetap ngambek sambil naik ke motor Bagas. "Yuk Gas, pergi aja. Biarin aja Karina mah, tinggalin aja."
Oh... namanya Karina. Baguslah sekarang Bagas tahu namanya. Jadi tidak akan bingung lagi kalau mau manggil.
"Kita pergi dulu ya, temennya Lea." Bagas lempar senyum bersahabat pada teman Lea itu sebelum motornya benar-benar melaju meninggalkan sekolah. Dapat dia rasakan kedua lengan Lea memeluknya seperti biasa. Sudah berkali-kali dipeluk begitu di atas motor, Bagas masih saja merasa spesial.
"Kita jadinya ntar tuh mau nonton, Gas?" tanya Lea keras-keras. Banyaknya hembusan angin yang menerpa membuat suara mereka tersamarkan. "Kamu mau latihan basket dulu? Yakin nggak akan hujan? Lihat deh, langitnya aja udah mendung, Gas.”
Ucapan Lea ada benarnya. Ya, namanya juga Bogor. Kalau kata orang-orang, cuaca di sini itu hanya satu. Musim hujan saja, apalagi di tanggal-tanggal seperti ini. Hujan bisa datang setiap hari. Langit juga mulai mendung. Bisa diperkirakan beberapa saat lagi akan turun hujan. Ini latihan rutin sih, jadi bisa ditiadakan karena alasan tertentu. Yah, Bagas sih justru seneng kalau latihannya gagal. Jadi bisa lebih lama bersama Lea.
"Pokoknya ke sekolah dulu deh. Jadi nggaknya latihan itu kapten yang ngatur. Kan aku bukan kapten. Hahaha," sahut Bagas. Kepalanya sedikit ia tolehkan ke belakang agar Lea mendengar.
Kini motornya memasuki gerbang sekolah, berhenti di parkiran terdekat.
"Gas, aku gapapa nih, ikut kamu? Nanti temen-temen kamu ngerasa keganggu lagi gara-gara ada aku?" celetuk Lea seraya turun dari motor Bagas.
Tepat saat itu, hujan turun dengan derasnya. Padahal Bagas baru saja turun dari motor dan mau menjawab pertanyaan Lea. Sepertinya memang tidak diizinkan latihan basket hari ini. Tapi masa rencana kencannya gagal juga?
"Gas, hujan Gas, ayo buruan!" Lea menarik tangan Bagas untuk segera berlari bersamanya. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk menutupi kepalanya agar tidak kehujanan.
"Eh, deres!" Bagas melepaskan genggaman tangan Lea dan malah menggunakannya untuk menutupi kepala gadis itu, berniat melindunginya dari hujan. Sumpah ini bukan modus, tapi dia reflek melakukannya karena takut Lea kehujanan terus sakit. Pasalnya sekarang gadis mungil itu jalan dengannya, berarti tanggung jawabnya. "Ke depan kelas, mbil!" digiringnya langkah ngebut mereka ke koridor kelas terdekat dengan lapangan basket.
"Aduh, Gas, kamu basah banget. Awas masuk angin. Bawa baju ganti nggak?" tanya Lea dengan nada khawatir.
Memang sudah konsekuensi. Karena melindungi Lea, seragam Bagas jadi basah kena hujan. Menanggapi penuturan gadis itu dia hanya cengengesan.
"Gini doang gak apa-apa. Kamu tuh lebih unyil pasti lebih gampang sakit," ucapnya sok tahu. Diliriknya kaki Lea yang sedikit kotor karena terkena cipratan air hujan. Sepertinya memang tidak mungkin pergi nonton dalam keadaan begini. "Kamu tunggu di sini bentar ya. Aku mau nemuin Alan dulu," pamitnya, dengan niatan mau meminjam mantel hujan milik Alan. Siapa tahu ada yang untuk berdua. Kan manis tuh bisa dempetan hujan-hujanan.
"Ih, gak mau! Enak aja, masa aku ditinggal-tinggal sendiri di sekolah orang?" Lea protes sambil cemberut.
Mungkin karena seragam sekolah Lea berbeda sekali dengan seragam anak Smanti (sebutan untuk SMAN 3 Bogor). Pasti kelihatan lah, dia anak sekolah lain. Apalagi, warna rok seragamnya biru tua. Agak beda dengan seragam anak SMP sih, tapi bisa saja kan, ia dikira anak SMP kurang kerjaan, main-main ke sekolahnya anak SMA?
Akhirnya Bagas membiarkan gadis itu mengekor ke gerombolan teman-temannya yang juga terjebak hujan karena tak bisa pulang. Bisa dilihat ekspresi wajah Alan yang paling kontras. Jelas godain Bagas sambil menaikturunkan alis. Bagas memelototinya dan memberi kode untuk diam.
"Ada mantel hujan yang buat berdua gak?" tanyanya langsung ke inti.
"Gak ada. Gak ada yang bawa. Hahaha," Alan yang menjawab sambil tertawa, kentara sekali ingin menggoda Bagas dan Lea.
Bagas pun melotot lagi, mengerti niat Alan yang pasti sengaja bilang tidak ada.
"Enak aja mau pinjem. Kita mau pulang juga ini," jawab Joe, ikut-ikutan Alan. Pasti teman-temannya sudah dihasut oleh Alan.
"Udah yok pulang aja. Duluan, nyet," Raka makin parah, menarik mereka semua agar pergi.
‘Dasar,’ umpat Bagas dalam hati.
Jadi kesimpulannya, Bagas dan Lea terjebak di sekolah sampai hujan reda gitu? Mana hujannya deras banget. Hujan di Bogor tidak dapat diprediksi memang. Tidak jelas juga kapan berhentinya. Bagas facepalm.
"Mbil, kayaknya gak bisa jalan. Jas hujan punyaku cuma untuk satu orang...."
"Gas, kok temen-temen kamu pada pulang sih? Aku ganggu ya?" Bukannya menjawab ucapan Bagas, Lea malah membahas kepulangan teman-temannya. Dari nada bicaranya sih, dia merasa tidak enak. "Kalo ngga bisa jalan, kita tunggu di sini sampai reda ya?" tanya Lea sambil melihat ke arah lapangan. "Oh iya, sini, itu wajah sama leher kamu basah banget. Heran deh, kok basah banget gini?" Lea maju selangkah, mendekat ke arah Bagas. Tangannya yang sudah memegang tisu kering ditempelkan ke pipi Bagas, membersihkan wajah lelaki itu yang basah banget. "Kok kamu basah banget sih, bagian atasnya?" Lea terus mengelap bagian wajah Bagas sambil menggumam penasaran. Sepertinya Lea tidak sadar kalau Bagas tadi melindunginya agar tidak kehujanan.
'Tahan, Gas. Tahan.'
Bagas jadi grogi sendiri karena jarak dirinya dan Lea begitu dekat. Bisa ngobrol berdua saja jantungnya serasa ikut pacuan kuda. Sekarang malah dielapin mukanya pakai tisu. Bagas butuh EKG.
"Jalan-jalan aja terus, jadian kagak!" tiba-tiba suara temannya yang hendak ke parkiran terdengar. Bagas kaget bukan main.
"Status ngambang. Lebih dari sekedar temen, tapi gak sampek pacaran," disusul suara berikutnya, Bagas hafal itu suara si Raka.
"Udah pegang-pegangan tapi cuma dianggap temen."
Kalau saja dia tidak sedang bersama Lea, pasti Bagas sudah menendangi mereka satu per satu. Sungguh, teman-temannya itu merusak suasana. Bagas menangkupkan kedua tangannya di telinga Lea. Maksudnya ingin mencegah gadis itu mendengar ledekan teman-temannya, tapi sepertinya sudah terlambat.
"Mbil, jangan didengerin. Mereka emang rese. Pasti lagi lapar," kata Bagas, berharap Lea tidak berpikiran macam-macam.
Untungnya, Lea tidak memberi respon apa-apa perihal ledekan teman-teman Bagas. Gadis itu hanya melanjutkan kegiatannya membersihkan wajah Bagas yang basah dengan menggunakan tisu.
"Udah selesai, tuh," Lea tersenyum kecil memandangi wajah Bagas yang sudah kering dan bersih. Tapi tetap saja rambutnya masih agak basah sih.
Sempat terjadi moment of silence dan moment of salting. Sekolah jadi lengang karena kawan-kawannya pergi. Hanya suara hujan yang menyelimuti, seperti backsound dalam sebuah film remaja. Bagas dan Lea pemain utamanya. Terlebih adegan yang terjadi antara mereka saat ini, membuat Bagas deg-degan.
'Ngomong. Nggak. Ngomong. Nggak. Ngomong. Nggak.'
Bagas dalam dilema. Sebenarnya rencana awal mau ngomong sambil nonton film, jadi jika jawaban Lea cukup menyakitkan hati dia bisa pura-pura tidak dengar karena suara film yang diputar. Berhubung rencananya tidak jadi ya....
"Ekhem, mbil. Denger suaraku gak?"
Entah kenapa, Lea kelihatan salting. Apa karena sedari tadi tangannya menempel di pipi Bagas, ya? Begitu Bagas bersuara lagi, Lea segera menurunkan tangannya.
"Iya, denger kok, Gas. Kenapa?" tanya Lea, sedikit memiringkan kepalanya.
Sekarang Bagas makin grogi. Harusnya Bagas melakukan persiapan yang lebih matang. Misalnya, nonton film romantis dulu agar kalimatnya tertata semanis kisah cinta Peter Parker dan Mary Jane. Tapi tontonan terakhir Bagas malah film ghore yang dibawa Raka ke rumahnya kemarin lusa.
"Kamu kan pendek, bantet, bulet, gendut, tembem nih. Gak ada rencana memperbaiki keturunan gitu?" malah itu yang Bagas ucapkan.
"Iiih, kirain mau nanya apaan!" Lea jadi ngambek lagi. Dadanya Bagas dipukuli pelan, tapi sang adam berhasil menghalau dan menahan pukulannya. "Ya mau lah! Kasihan juga nanti anak aku kalau pendek kayak gini. Nanti dia diledekin terus sama temen-temennya!" Lea cemberut, kedua tangannya terlipat di depan dada.
Bagas sebenarnya mau menertawakan Lea, tapi karena gadis itu merajuk, dia tahan.
"Eh, ssst. Denger dulu lanjutannya." Bagas nyengir karena wajah lucu Lea yang sedang cemberut. "Nah, mau ‘kan memperbaiki keturunan. Aku bisa bikin keturunan kamu gak pendek dan bantet, Mbil. Tapi nanti aja bikin keturunannya, sekarang kita pacaran dulu yuk."
Memang kedengarannya Bagas mengatakan itu dengan lancar dan tenang. Tapi tidak ada yang tahu bahkan Lea sekali pun, bahwa jantungnya sudah seperti mau copot.
"...Hah? Tadi kamu bilang apaan?" tanya Lea. Wajahnya yang tadi cemberut sekarang malah terlihat bingung. Pandangannya dialihkan dari Bagas. Entah karena nervous atau justru karena tidak tertarik pada Bagas dan bingung cara menolaknya.Yang jelas respon Lea membuat semangat Bagas luntur perlahan. Apa kode-kodenya selama ini masih kurang?
"Ya gitu, Le," karena perubahan suasana hati, Bagas jadi memanggil Lea dengan nama aslinya. "Aku udah suka kamu lama. Nggak dari pandangan pertama juga sih. Pokoknya sejak les bareng kelas 10 itu. Lama-lama jadi makin suka. Itu aku sih. Gak tahu kamu gimana," nada bicara Bagas jadi serius.
"Aku juga suka Gas, sama kamu..." Lea mulai menjawab, tapi masih melihat ke arah lain. Sejenak Bagas optimis lagi karena Lea mengaku suka padanya. Tapi ucapan Lea selanjutnya membuat harapannya jatuh berkeping-kepin. "Aku suka. Sangat suka sampai rasanya aku pusing sendiri. Tapi..."
Ternyata benar kata orang. Pernyataan cinta yang paling sakit itu jika dibuntuti oleh kata ‘tapi’.
"Tapi apa, Le?" Bagas sudah galau duluan. Sepertinya memang akan ditolak. Bukan sepertinya lagi, tapi udah jelas.
"Itu... zodiak kamu, Gas," jawab Lea sambil menggigit bibir bawahnya. "Kamu Cancer, Gas. Aku Gemini... Kita sama sekali gak cocok katanya," jelas Lea.
"Hah?" Bagas speechless. Memang dia sudah tahu kalau gadis yang disukainya ini sangat terobsesi dengan astrologi. Lea suka membaca karakter orang melalui zodiaknya, tak terkecuali Bagas. Namun, kenyataan yang baru saja dia terima ini rasanya terlalu tidak adil. Dia ditolak karena zodiaknya Cancer? Anyway, Bagas bahkan gak tahu zodiaknya apa sebelum Lea yang memberi tahu.
"Kamu water sign, aku air sign, gak cocok sama sekali Gas," tambah gadis itu lagi.
"Hah?" Bagas makin tidak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasan Lea selanjutnya. Siapa sih, yang menciptakan teori tentang cocok tidak cocoknya Cancer dan Gemini? Bagas tidak bisa jadian dengan Lea hanya gara-gara teori itu. Apa salah jika dia lahir tanggal 17 Juli? Apa dia harus minta bundanya menelan dia lagi agar bisa dilahirkan pada tanggal lain yang zodiaknya cocok dengan Gemini? "Terus gimana caranya biar aku gak punya zodiak Cancer, Le?" saking putus asanya, Bagas bertanya demikian.
"Nggak, gak bisa diubah Gas..." jawab Lea dengan nada sedih. "Aku takut kalau kita pacaran, kita beneran gak cocok dan sering berantem. Kalo nanti kita putus, gimana? Aku takut kita gak bisa deket kayak gini lagi, Gas," Lea meraih tangan Bagas dan menggenggam tangan pemuda itu erat, sesekali mengelus punggung tangannya. "Tapi percaya deh, Gas, aku sukaaaa banget sama kamu.”
Iya, tahu. Suka banget tapi gak mau pacaran. Sama aja bohong. Jadi dia pdkt 3 tahun, main kode-kodean kayak anak pramuka, tahu-tahu ditolak cuma karena zodiak? Bagas emang percaya bahwa dirinya adalah calon penyelamat dunia, tapi ditolak begini bukan berarti dia kebal akan sakitnya.
"Ya udah, kalo emang gak bisa." Lalu dia bisa jawab apa? Di-yaudah-in aja. Tidak mungkin memaksa anak orang untuk mau diajak pacaran, ‘kan? Mungkin dia harus ikut kata orang, untuk bahagia dengan cinta walau tak memiliki. "Udah lumayan reda. Aku antar pulang ya," Bagas langsung mengalihkan topik obrolan.
Lea tidak menjawab, tapi malah berjinjit dan mengecup pipi Bagas yang jauh lebih tinggi darinya. Hanya kecupan kecil, setelah itu, Lea langsung menundukkan kepalanya.
"Kamu... jangan berubah sama aku ya, Gas?" pinta gadis itu masih terus menunduk dan dengan suara yang sedikit bergetar.
Bagas sempat mematung, tidak habis pikir kenapa Lea bisa setega itu. Sudah menolaknya, tapi malah memberi harapan lagi dengan mencium pipinya. Belum lagi suara sang dara yang seperti hendak menangis, membuat Bagas luluh lagi.
"Eh, jangan nangis dong," segalau dan sekecewa apa pun Bagas tidak bisa menahan diri untuk tidak merangkul Lea, bahkan mendekapnya. "Iya, gak apa-apa. Gak usah dipikirin. Yang penting aku udah bilang dan sekarang udah lega. Aku ngerti kok."
Padahal sepik aja. Dalam hati Bagas masih galau luar biasa dan berniat akan langsung tidur saat tiba di rumah nanti.
"Gak mungkinlah gak aku pikirin, Gas," Lea malah kedengaran semakin ingin menangis ketika Bagas memeluknya. Akhirnya tumpah jugalah tangisannya. Wajah gadis itu tersembunyi di dada Bagas, meredam tangisnya. "Kamu pasti nganggepnya aku konyol banget ya... hiks, nolak kamu gara-gara zodiak doang?" tanya Lea lagi sambil sedikit terisak.
Bentar. Bagas makin bingung sekarang. Ini ‘kan Bagas yang ditolak, harusnya dia yang nangis dong. Kenapa malah Lea yang sesenggukan?
"Jangan nangis, Mbil," Bagas memeluk Lea, mengusap-usap rambut panjangnya serta mencium puncak kepalanya. "Nggak konyol, kok. Semua orang punya prinsip. Kebetulan teori kecocokan zodiak itu udah jadi prinsip kamu dan aku gak berhak maksa kamu buat ngubah prinsip itu. Aku gak akan berubah. Besok aku antar jemput les kayak biasanya. Kalau perlu, aku temui mama kamu buat minta izin. Biar gak perlu main kucing-kucingan lagi sama Pak Didin. Gimana?" Ya, namanya juga udah sayang. Ditolak dengan alasan gak masuk akal pun tetap bertahan. Bagas melonggarkan pelukannya, menangkup pipi Lea dan menghapus air matanya. "Kasihan pipinya tambah bengkak kalo nangis, Mbil."
"Iya... Aku mau diantar jemput sama kamu kayak biasanya," jawab Lea sambil mencoba menghapus sendiri air matanya yang mengalir ke pipi. "Kamu memangnya berani ketemu mamaku?"
Bagas lega mendapati tangis Lea mereda. Setidaknya pulang nanti tidak bawa anak orang dalam keadaan menangis.
"Ya rada takut sih. Tapi udah biasa ngadepin yang kayak gitu," ujar Bagas, bermaksud menyinggung soal bundanya yang juga cerewet. "Dimarahi dikit gak masalah. Yang penting aku gak kelihatan kurang ajar karena nyulik kamu terus." Bagas mencubit pipi Lea. "Udah yok, pulang dulu. Soal yang tadi jangan terlalu dipikirin. Belajar aja buat UN." Mulai sok bijak lagi, Bagas merangkul Lea menuju parkiran tempat motornya berada.
“Gak mungkin gak aku pikirin, Gas..." jawab Lea, ikut berjalan bersama Bagas menuju tempat parkir motor. "Jadi, hari ini kita gak jadi jalan nih?” Lea mendadak mengalihkan topik. “Terus kita mau nonton Batman vs Superman nya kapan, Gas? Aku udah penasaran banget tauuu!"
Tiba di dekat motornya, Bagas memberikan satu helm (yang memang selalu dia bawa selain helmnya sendiri, sejak naksir Lea) kepada Lea.
"Kapan ya?" Bagas mencoba mencari hari yang tepat. "Minggu depan UN. Takut ganggu belajar kamu."
Kalau Bagas sendiri sih tidak apa-apa. Sudah belajar dari jauh-jauh hari dan memang biasanya H-7 ujian dia sudah bersenang-senang. Masalahnya, dia tidak yakin Lea begitu. Bagas menunggangi motornya setelah memakai helmnya sendiri, kemudian menyalakan mesin motor.
"Gak ganggu kok, engga!" Lea menjawab dengan yakin. Sepertinya gadis itu sudah kebelet ingin nonton film produksi DC itu sampai tidak bisa menunggu sampai UN selesai. Setelah selesai mengenakan helmnya, Lea naik ke atas motor dan memeluk Bagas seperti biasanya. Tadinya Bagas mau tersenyum, tapi ingat penolakan tadi. Senyumnya urung mengembang. "Pokoknya aku mau nonton itu sebelum UN! Kalau gak sama kamu, ya sudah aku nonton sama yang lain aja!" ancam Lea.
"Yaudah nonton aja sama yang lain. Aku juga gak begitu minat sama produk DC," ucap Bagas seiring melajunya motor meninggalkan sekolah. Ia jadikan label saingan Marvel itu sebagai alasan, tapi hanya bercanda. Dia ingin tahu seberapa nekatnya gadis itu nonton dengan orang lain. Kalau pun tetap nonton dengan yang lain, pasti tak jauh dari teman perempuannya, atau karibnya satu yang bernama Zayn itu.
"Ya sudah, aku nonton sama Faza aja ya? Temenku yang Libra itu," jawab Lea. Ah, lagi-lagi statusnya terancam karena zodiak.
"Hm- zodiak aja terus," Bagas menggumam di balik helm. Entah Lea dengar atau tidak. "Jumat malem habis les. Jangan minta makan macem-macem tapi biar gak telat ke sananya," kata Bagas akhirnya.
Bukan berarti dia percaya zodiak Libra akan menggeser posisinya. Gak mau aja Lea merasa lebih nyaman dengan orang lain dibanding dirinya.
"Yay! Asyiiik!" jawab Lea kegirangan.
Jarak dari Smanti ke rumahnya memang dekat. Lea dan Bagas kini sudah tiba di depan rumah Lea. Bagas menghentikan motornya di depan pintu pagar. Ditungguinya Lea turun dan melepas helm.
"Makasih ya, udah anterin aku pulang." Lea menambahkan senyum di akhir kalimatnya. "Jangan lupa hari Jumat! Aku gak sabar pengen liat Ben Affleck!" Lea mengingatkan lagi sebelum mulai melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Hati-hati di jalan, Bagas!"
Bagas memperhatikan gadis yang dia sukai itu berjalan dengan riang ke dalam rumahnya. Hari ini tidak berjalan sesuai keinginannya. Mulai dari kencan yang gagal karena hujan, sampai proses confession yang akhirnya ditolak. Sakit sih, tapi bukan berarti Bagas akan menyerah sampai di sini. Dia yakin ke depannya akan banyak jalan untuk mendapatkan hati Lea dan menjadi pacarnya, walau Cancer dan Gemini (katanya) tidak cocok.
***
"Nah, mau ‘kan memperbaiki keturunan. Aku bisa bikin keturunan kamu gak pendek dan bantet, Mbil. Tapi nanti aja bikin keturunannya, sekarang kita pacaran dulu yuk."
Bagas tidak tahu bagaimana isi hati Lea sebenarnya. Lea juga menyukai Bagas sejak lama. Memang awalnya dia in denial terhadap perasaannya sendiri hanya gara-gara zodiaknya dan zodiak Bagas tidak compatible. Tapi lama-lama dia semakin yakin bahwa dirinya sangat menyukai Bagas.
Lea jadi salting banget saat tiba-tiba Bagas mengajaknya pacaran. Salting sampai tidak berani untuk menatap wajah cowok itu. Jadi aja, sekarang Lea nunduk terus ke bawah. Sekali-kali pandangannya ia alihkan ke sekeliling sambil menunggu perkataan apa yang akan Bagas ucapkan selanjutnya.
"Ya gitu, Le," ucap Bagas, membuat Lea jadi cemas karena lelaki itu memanggil nama aslinya. "Aku udah suka kamu lama. Nggak dari pandangan pertama juga sih. Pokoknya sejak les bareng kelas X itu mulai numbuh-numbuh sukanya. Lama-lama jadi makin suka. Itu aku sih. Gak tahu kamu gimana." Nada bicara Bagas jadi serius.
Lea malu sekaligus senang mendengar pengakuan dari Bagas. Sebetulnya, ia sudah tahu kalau Bagas suka juga pada dirinya. Tapi entah kenapa lebih senang mendengarnya dengan langsung seperti ini. Ini sangat jelas, Bagas benar-benar suka padanya. Bukan hanya kode atau apapunlah itu yang menimbulkan banyak spekulasi yang bisa jadi salah.
Gadis itu menghela napasnya, mencoba untuk tenang. Ia sangat ingin loncat-loncat kegirangan karena lelaki ini. Tapi ia harus tetap tenang, bukan?
Lea suka sekali pada Bagas. Sangat suka. Tapi entahlah, ia tidak tahu apakah ia ingin berpacaran dengan lelaki itu?
Masalahnya... Bagas itu Cancer. Sedangkan Lea Gemini. Zodiak mereka benar-benar berlawanan, Tidak cocok. Tidak cocok sama sekali. Kalau mereka pacaran lalu putus, gimana? Nanti Lea gak bisa deket-deket Bagas lagi dong? Lea gak mau itu sampai terjadi.
"Aku juga suka Gas, sama kamu..." Lea menjawab grogi. Ia melihat ke arah lain. Yang penting tidak melihat wajah Bagas. "Aku suka. Sangat suka sampai rasanya aku pusing sendiri. Tapi..."
"Tapi apa, Le?"
Lea menatap wajah lelaki itu. Rautnya berubah jadi... sedih? Aduh, Lea jadi gak tega kan jawabnya.
"Itu... zodiak kamu, Gas," jawab Lea sambil menggigit bibir bawahnya. "Kamu Cancer, Gas. Aku Gemini... Kita sama sekali gak cocok katanya," jelas Lea.
"Hah?" Hanya itu respon Bagas dan Lea memakluminya. Kesannya memang kekanakkan sekali sih, menolak gara-gara zodiak mereka tidak kompatibel. Tapi mau bagaimana lagi? Lea sangat terobsesi dengan hal-hal astrologi.
"Kamu water sign, aku air sign, gak cocok sama sekali Gas," tambah gadis itu lagi. Masih menolak untuk memandang wajah Bagas, Tidak mau melihat lelaki itu bersedih.
"Hah?" Lagi-lagi Bagas terdengar shock. "Terus gimana caranya biar aku gak punya zodiak Cancer, Le?"
Lea rasanya ingin menangis saat Bagas bertanya begitu. Sungguh, hatinya juga sakit menolak Bagas seperti ini. Ia suka Bagas, sukaaaa sekali. Bisa dikatakan mungkin bahkan lebih dari suka? Lea sayang Bagas sampai-sampai hatinya merasa sakit juga menolak lelaki itu.
"Nggak, gak bisa diubah Gas..." jawab Lea dengan sedih. Gimana dong? Kenapa sih, Bagas bukan Aquarius, Libra, atau Leo yang cocok dengan Gemini? Kenapa ia harus Cancer sih? "Aku takut kalau kita pacaran, kita beneran gak cocok dan sering berantem. Kalo nanti kita putus, gimana? Aku takut kita gak bisa deket kayak gini lagi, Gas," Lea meraih tangan Bagas dan menggenggam tangan cowok itu erat, sesekali mengelus bagian atas tangannya. "Tapi percaya deh, Gas, aku sukaaaa banget sama kamu.”
"Ya udah, kalo emang gak bisa," jawab Bagas akhirnya. Kedengaran pasrah, tapi Lea tahu kalau pemuda itu sedang kecewa. "Udah lumayan reda. Aku antar pulang ya," dia langsung mengalihkan topik obrolan.
Lea masih merasa sangat sedih, apalagi Bagas langsung mengalihkan topik pembicaraan. Tangannya terus saja menggenggam tangan cowok itu, tidak mau melepasnya pergi. Lea suka sekali sama Bagas, ia ingin nangis juga karena menolak cowok yang disukanya hanya karena masalah zodiak. Kenapa sih, water sign gak cocok sama air sign? Lea jadi kesal sendiri.
Entah dapat dorongan dari mana, Lea berjinjit dan mengecup pipi Bagas yang jauh lebih tinggi darinya. Hanya kecupan kecil, setelah itu, Lea langsung menundukkan kepalanya malu. Ingin menangis juga.
"Kamu... jangan berubah sama aku ya, Gas?" pinta gadis itu masih terus menunduk karena malu, dan juga karena sepertinya air matanya hampir saja menetes sekarang.
"Eh, jangan nangis dong." Bagas mulai mendekap tubuh Lea untuk menenangkannya. "Iya, gak apa-apa. Gak usah dipikirin. Yang penting aku udah bilang dan sekarang udah lega. Aku ngerti kok."
"Gak mungkinlah gak aku pikirin, Gas." Lea malah jadi semakin ingin menangis ketika Bagas memeluknya. Akhirnya tumpah jugalah tangisannya. Disembunyikannya wajahnya di dada lelaki itu, dirinya sudah mulai terisak. "Kamu pasti nganggepnya aku konyol banget ya... hiks, nolak kamu gara-gara zodiak doang?" tanya Lea lagi sambil sedikit terisak. Ia benar-benar sedih sekali. Sudah ingin menangis sedari tadi sebenarnya.
"Jangan nangis, Mbil," Bagas memeluk Lea, mengusap-usap rambut panjangnya serta mencium puncak kepalanya. "Nggak konyol, kok. Semua orang punya prinsip. Dalam kasus kamu, teori kecocokan zodiak itu udah jadi prinsip kamu dan aku gak berhak maksa kamu buat ngubah prinsip itu. Aku gak akan berubah. Besok aku antar jemput les kayak biasanya. Kalau perlu, aku temui mama kamu buat minta izin. Biar gak perlu main kucing-kucingan lagi sama Pak Didin. Gimana?" Bagas melonggarkan pelukannya, menangkup pipi Lea dan menghapus air matanya. "Kasihan pipinya tambah bengkak kalo nangis, Mbil."
Lea malah semakin sesenggukkan saat Bagas memberikan ciuman ringan di puncak kepalanya. Ia sedih sekali. Gadis itu benar-benar suka sama Bagas. Apa harusnya ia terima saja ya? Ia jadi menyesal. Tapi kalau beneran tidak cocok, gimana?
Ketika cowok itu menangkup pipinya, tangisan Lea jadi mereda. Kini gadis itu memberanikan diri untuk memandang wajah Bagas sambil ngangguk-ngangguk sesekali.
"Iya... Aku mau diantar jemput sama kamu kayak biasanya," jawab Lea sambil mencoba menghapus sendiri air matanya yang mengalir ke pipi. "Kamu memangnya berani ketemu mamaku?" tanya Lea bingung. Pasalnya, Bagas sudah tahu betapa cerewet dan galaknya mamanya Lea.
"Ya rada takut sih. Tapi udah biasa ngadepin yang kayak gitu," ujar Bagas. "Dimarahi dikit gak masalah. Yang penting aku gak kelihatan kurang ajar karena nyulik kamu terus." Bagas mencubit pipi Lea. "Udah yok, pulang dulu. Soal yang tadi jangan terlalu dipikirin. Belajar aja buat UN," ajak Bagas seraya merangkul Lea menuju parkiran tempat motornya berada.
“Gak mungkin gak aku pikirin, Gas..." jawab Lea jujur sambil ikut berjalan bersama Bagas menuju tempat parkir motor lelaki itu tadi. "Jadi, hari ini kita gak jadi jalan nih?" Lea mengambil satu lagi kesimpulan yang dialaminya hari ini. "Terus kita mau nonton Batman vs Superman nya kapan, Gas? Aku udah penasaran banget tauuu!"
Lea mendadak ingat rencana mereka untuk menonton film yang satu itu, super excited karena kali ini yang berperan sebagai Bruce Wayne adalah Ben Affleck, gebetannya setelah Bagas. Tiba di dekat motornya, Bagas memberikan satu helm kepada Lea.
"Kapan ya? Minggu depan UN. Takut ganggu belajar kamu." Bagas menunggangi motornya setelah memakai helmnya sendiri, kemudian menyalakan mesin motor.
"Gak ganggu kok, engga!" Lea menjawab dengan yakin. Gadis itu sudah kebelet ingin nonton film itu. Tidak bisa menunggu sampai UN selesai. Setelah selesai mengenakan helmnya, gadis itu naik ke atas motor dan memeluk Bagas seperti biasanya. Ia sangat suka memeluk cowok itu, rasanya hangat dan aman, tak tahu kenapa. "Pokoknya aku mau nonton itu sebelum UN! Kalau gak sama kamu, ya sudah aku nonton sama yang lain aja!" Lea sok-sok mengancam. Padahal dia juga gak berniat nonton sama yang lain selain Bagas.
"Yaudah nonton aja sama yang lain. Aku juga gak begitu minat sama produk DC," sahut Bagas, membuat Lea sedikit kecewa karena kedengarannya lelaki itu malah menyuruhnya nonton dengan orang lain.
"Ya sudah, aku nonton sama Faza aja ya? Temenku yang Libra itu," jawab Lea asal. Padahal ia juga tidak ingin menonton apapun atau melakukan kegiatan apapun dengan temannya itu. Ia hanya ingin Bagas, Pokoknya hanya Bagas seorang, titik. Lea hanya ingin tahu saja apa respon Bagas ketika dirinya menjawab itu.
"Hm- zodiak aja terus," Bagas menggumam di balik helm. "Jumat malem habis les. Jangan minta makan macem-macem tapi biar gak telat ke sananya," kata Bagas akhirnya.
"Yay! Asyiiik!" Lea jadi senang sendiri karena dengan membawa-bawa nama temannya yang berzodiak Libra itu, Bagas jadi mau nonton dengannya.
Jarak dari Smanti ke rumahnya memang dekat. Lea dan Bagas kini sudah tiba di depan rumah Lea. Dilihat dari garasi rumahnya sih, mobil ibunya tidak ada. Berarti ibunya belum sampai di rumah. Yes! Aman. Setelah melepas helmnya, Lea memberikan helm itu ke Bagas.
"Makasih ya, udah anterin aku pulang." Lea menambahkan senyum di akhir kalimatnya. "Jangan lupa hari Jumat! Aku gak sabar pengen liat Ben Affleck!" Lea mengingatkan lagi sebelum mulai melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Hati-hati di jalan, Bagas!"
***
Cerpen ini dibuat dari plot Satria Bagaskara Adipramana (dulu @boc_wonwoo, sekarang @rc_jwonwoo) dan Lealia Naraya Putri (dulu @boc_eunha)
0 notes