#scholarship beasiswa college universities howtogetascholarship
Explore tagged Tumblr posts
Text
SCHOLARSHIP, I’M COMING! (Part 2)
Hello...
Back again on my note. Aku lanjutkan tulisanku yaa...
Step 5: BELAJAR Horeee! Plok, plok, plok (tepuk tangan: mode on)! Kamu sudah berhasil menjalani lima step dengan baik. Kini kamu sudah punya jurusan dan calon kampus yang kamu tuju. What’s next? Persiapan ujian seleksi beasiswa. Loh, loh… kok tidak apply ke kampus? Bukannya butuh LoA ya kalau mau daftar seleksi beasiswa? Benar, kalau memang persyaratan dari sponsornya minta seperti itu. Bagaimana kalau tidak? Kembali lagi ke Step 2, kenali sponsor yang kamu pilih, supaya kamu tahu cara mengatur strategi.
Sewaktu aku memutuskan untuk ikut seleksi beasiswa LPDP, strategiku adalah mengamankan dulu beasiswanya, setelahnya apply untuk LoA. Mengapa demikian? Karena LPDP akan mengganti application fee yang kamu keluarkan andai kamu berhasil diterima di universitas yang kamu pilih. Selain itu, di masa aku ikut seleksi tersebut, LPDP masih mengizinkan untuk melakukan perpindahan ke universitas yang berbeda dari yang didaftarkan ke LPDP. ‘Kan sayang uangnya sudah keluar untuk application fee, tapi pada akhirnya aku tidak dapat beasiswanya. Mungkin sekarang kebijakannya berbeda. Sesuaikan saja dengan kebijakan yang sekarang dan susun strategimu.
Nah, karena kamu sekarang sudah punya pilihan jurusan dan universitas yang ingin dituju, saatnya belajar. Well, sebenarnya Step 5 ini bisa dilakukan simultaneously dengan step-step sebelumnya. Hanya saja, menurutku, akan lebih efektif jika kita mengerjakan sesuatu satu per satu; lebih fokus dan hasilnya optimal. Sebab, misalnya kembali lagi ke Step 2, kalau kamu belum firm dengan pilihan sponsor, bagaimana kamu akan mengatur strategimu untuk belajar? Apakah persiapan seleksi beasiswa LPDP akan sama dengan AAS? Atau apakah ujian untuk seleksi AAS akan sama dengan Stuned? Pasti berbeda. Mengertikan mengapa step-step di atas penting dilakukan? Kecuali kamu sangat pintar, multitasking, dan mampu bekerja optimal untuk setiap hal yang dikerjakan dalam satu waktu. Aku sih bukan tipe seperti itu.
Selanjutnya, apa yang perlu dipelajari? Kalau untuk seleksi beasiswa LPDP, aku belajar soal-soal Tes Potensi Akademik, lalu update isu-isu terkini tentang Indonesia dan isu global. Dari isu-isu ini, aku berlatih untuk memberikan solusi yang masuk akal untuk memperbaiki masalah, memitigasi risiko, atau meningkatkan hal yang baik. Cara berlatihnya adalah dengan menulis ide atau solusi yang sudah dipikirkan tersebut dalam sebuah essay singkat. Aku berlatih menulisnya dalam Bahasa Inggris karena aku tahu bahwa ujiannya akan dilaksanakan dalam Bahasa Inggris. Selain itu, aku juga mulai berlatih untuk tahap wawancara. Eiiits… cepat sekali sudah mau persiapan wawancara saja? Memang yakin lulus sampai tahap wawancara? Harus yakin dong! Itu namanya IMAN. Percaya akan lulus karena Tuhan menyertai dan tetap take actions sebagai manifestasi atas imanku.
Oh ya, belajar dalam hal ini bukan hanya untuk ujian seleksi beasiswa ya, tapi juga belajar untuk tes IELTS atau TOEFL, misalnya. Kalau kamu belum punya skor IELTS/TOEFL, mungkin belajar IELTS/TOEFL adalah prioritas utama kamu sebelum melangkah belajar untuk ujian seleksi beasiswanya. Untuk belajar IELTS/TOEFL, kamu dapat lakukan ini secara simultan dengan step-step sebelumnya karena biasanya skor IELTS/TOEFL merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi pada saat mendaftar seleksi beasiswa.
Jadi, belajar itu disesuaikan saja dengan kebutuhan seleksi beasiswa yang kamu pilih. Dari pengalamanku, belajar adalah hal yang “agak” susah untuk dilakukan secara konsisten dan persistent apalagi oleh pegawai/karyawan atau pekerja yang sudah berkarir. Susahnya di mana? Time management. Orang-orang yang berkarir biasanya ambil waktu untuk belajar setelah working hours, di mana kondisi tubuh sudah lelah dan rasanya ingin rebahan saja. Belum lagi godaan untuk nongkrong dengan rekan-rekan kerja setelah bekerja atau misalnya pegawai tersebut workaholic; bekerja terus sampai lupa harus belajar Kalau tekadnya tidak kuat, ingat Step 0, belajar pun dilewatkan (baca: ditunda). Sampai nanti waktu ujiannya sudah mau dekat barulah heboh belajar.
Menurutku, ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita memberikan waktu untuk belajar. Belajar jangan dilakukan saat “mumpung ada waktu” atau karena ada sisa waktu. Namun, sediakanlah waktu untuk belajar, satu sampai dua jam, dari 24 jam waktu yang kita miliki setiap hari. Pengalamanku, Sabtu dan Minggu aku manfaatkan untuk belajar. Hari Sabtu aku gunakan untuk doing chores, setelahnya aku mandi dan belajar sampai merasa cukup. Hari Minggu, aku belajar setelah pulang dari ibadah di gereja. Begitu terus sampai tiba masa ujian. Nah, mulai dulu konsisten seminggu, lama-lama nanti terbiasa. Mengapa aku menyoroti hal ini? Karena time management akan sangat kamu perlukan saat kuliah nanti. Anggap saja ini latihan sebelum akhirnya jadi mahasiswa di universitas. So, set a time to study, be persistent and consistent, and enjoy your learning moment!
Step 6: CIPTAKAN LINGKUNGANMU Oke, apakah kamu sekarang sudah menjalani enam step dengan baik? Good jooob! Keep it up! Are you ready for the last (but not the least) step? Here we go…
Ciptakan lingkunganmu. Lingkungan dalam konteks ini dapat berarti orang-orang sekitarmu dan tempat. Analoginya begini, kamu mau diet karena kamu overweight. Kamu mulai sesak nafas, hormonmu terganggu, dan dokter katakan kamu harus diet. Kamu sudah bertekad untuk diet, sewa personal trainer untuk memandu kamu berolahraga, sudah belanja makanan sehat, dsb. Ternyata, teman-temanmu berkomentar, “Ngapain lu diet? Makanan lu sok sehat. Paling besok makan kotor lagi.” Mereka berkomentar negatif karena mereka tidak tahu alasan kamu diet. Yah, inilah yang terjadi saat kamu tidak memiliki lingkungan yang mendukung. Akan ada orang-orang disekitarmu yang hanya melihat bahwa kamu ambisius, mimpimu ketinggian, kamu tidak punya kompetensi untuk bersaing, dll. Kalau sudah begini, kamu bisa jadi goyah. Perkataan-perkataan mereka dapat menguasaimu sehingga kamu menjadi lemah dan akhirnya menyerah. Kawan-kawanku yang sedang berjuang, ingatlah kalimat ini: “Penonton selalu lebih pintar daripada pemainnya”. Mereka hanya penonton yang berharap kamu menjadi seperti apa yang mereka pikirkan. Tidak semua orang berhati tulus, apalagi kalau ceritanya tulus mendukung kesuksesan orang lain.
Saranku, temukanlah orang-orang yang sevisi denganmu; orang yang punya goal serupa denganmu. Bersama dengan mereka, kamu akan jadi lebih kuat karena mereka yang mengingatkanmu untuk tetap bertahan saat ada angin menerpa. Kamu dapat curhat dengan mereka, berbagi cerita perjalanan persiapan seleksi, berbagi informasi yang berguna untuk persiapan, dsb. Kalau kamu punya teman yang, misalnya, sudah berhasil mendapatkan skor IELTS 7 lebih dulu dari kamu, kamu pasti akan terpacu untuk belajar lebih giat lagi supaya dapat skor yang sama bahkan lebih tinggi.
Bagaimana menemukan orang-orang ini? Aku sendiri sudah memulainya dari sejak awal mau ikut seleksi beasiswa. Aku ajak dua orang temanku untuk daftar seleksi beasiswa dan berjuang bersama: satu orang di sebelah kubikelku di kantor dan satu orang teman seangkatan kuliah dan kerja (orangnya malah tinggal jauh di zona waktu WITA). Dengan teman sebelah kubikelku, aku mampu menyeberang ke pulau lain tiap minggu untuk kursus persiapan tes IELTS. Dia juga menjadi rekanku yang baik untuk English conversation dan latihan tes IELTS. Yang satunya lagi, via telepon, aku berbagi cerita dengannya tentang proses persiapanku. Dia juga melakukan hal yang sama, berbagi cerita tentang proses yang dia jalani. Dikala menemukan kesulitan, kami cari solusi bersama dan saling mendukung dengan kata-kata dan perbuatan. Menyenangkan, bukan?
Selain mencari teman yang sama berjuang, carilah orang yang kamu anggap dapat menjadi mentormu dalam persiapan. Sejak awal, aku telah menghubungi seseorang yang dulu pernah menjadi mentorku saat ikut seleksi beasiswa yang lain. Beliau adalah seorang akademisi yang memperkenalkanku pada beasiswa LPDP dan turut telah menjadi alumni awardee LPDP jenjang pendidikan S3 luar negeri. Beliau yang menjadi proofreader semua essay-ku. Beliau juga menjadi coach saat aku latihan Leaderless Group Discucssion dan wawancara.
Apalagi? Lingkungan tidak hanya orang-orang sekitar, tapi juga tempat; tempat untuk belajar. Tempat belajarku ada dua: rumah dan kantor. Saat persiapan tes IELTS, aku sengaja membeli meja dan rak buku customised dengan tujuan supaya aku dapat belajar dengan baik. Meja belajar aku atur sedemikan rupa supaya tetap semangat dan nyaman saat belajar. Kalau di kantor, aku belajar di kubikel selama satu jam setelah selesai jam kerja. Jadi, biasanya aku pulang ke rumah telat satu sampai dua jam karena belajar atau latihan tes IELTS. Yup, begitulah aku menciptakan lingkunganku. Karena tekadku sudah bulat, segala cara kutempuh. Percayalah, caraku menciptakan lingkungan tidak hanya terbatas pada ini. Aku juga berkonsultasi atau bertanya dengan teman-temanku yang sudah berhasil mendapatkan beasiswa apapun tentang bagaimana mereka dulu mempersiapkan diri mengikuti seleksi, apa yang mereka lakukan ketika mereka menghadapi situasi tertentu dalam masa persiapan, dsb. Poin utamanya adalah saat mau maju, kita butuh komunitas yang satu visi dan misi, yang sama-sama mau maju dan mencapai goal yang sama. When there is no a supportive environment around you, then create it!
Alright! Panjang sekali ya tulisanku kali ini. Ini masih tujuh step. Bisa jadi sebenarnya masih ada step lain yang belum tertuang. Kalau nanti ada, mungkin akan ditambah.
Langkah-langkah yang aku tuliskan ini banyak hasil perenungan. Dulu saat dijalani, ya rasanya hanya dijalankan saja. Namun, setelah aku memutar kembali ingatan masa perjuangan dulu, aku akhirnya sadar dan mengerti apa yang aku lakukan dulu sehingga, finally, aku mampu menuliskannya di platform ini.
Teman-teman, mungkin kalau tulisan ini kalian baca akan terkesan, “Mudah banget Arna menjalaninya”. Sejujurnya, tidak mudah, banyaaak tantangannya. Ada pengorbanannya, baik materi maupun waktu. Yah, begitulah hidup. Mau sesuatu yang terbaik, ada harga yang harus dibayar. Dalam pengalamanku ini, aku berhasil karena kesempatan itu datang ketika aku sudah siap. Proses persiapanku bukan satu hari, satu minggu, satu bulan atau satu tahun. Aku berproses sembilan tahun, dimulai sejak mimpi sekolah di luar negeri ini muncul sampai dengan aku mendapatkannya. Dengan kehendak Tuhan juga, pada waktuNya yang tepat, aku berhasil.
Akhir kata, selamat berjuang teman-teman! Tulisan ini sifatnya berbagi; tidak menjamin bahwa pembaca dan pelakunya akan berhasil mendapatkan beasiswa yang diidamkan. Semua kembali kepada kualitas diri, kesiapan, dan kehendak Tuhan. Sampai bertemu di cerita berikutnya ya… God bless!
0 notes
Text
SCHOLARSHIP, I’M COMING! (Part 1)
Halo!
Sudah lama aku tidak menulis cerita di sini. Padahal cerita yang terjadi banyak sekali dan sangat baik kalau ditulis supaya di masa depan bisa dibaca kembali. Sesungguhnya, aku akhir-akhir ini sangat sibuk. Apalagi sejak kembali bekerja pasca sekolah master di Australia. Ternyata load pekerjaan di kantor pusat luar biasa. Bayangkan saja, dua bulan di awal tahun ini aku sering pulang malam. Melemburkan diri sendiri demi menyelesaikan pekerjaan yang jatuh tempo. Tapi, ya sudahlah. Setiap pekerjaan punya kesusahannya sendiri dan yang paling penting, aku menikmatinya
Cerita tentang sekolah, akhir-akhir ini aku perhatikan, pemerintah Indonesia memang lagi giat-giatnya untuk menyekolahkan anak-anak Indonesia ke jenjang yang lebih tinggi, baik S2 maupun S3. Sebuah kemajuan yang luar biasa. Apalagi Indonesia punya sebuah lembaga yang didirikan untuk mengelola dana pendidikan dan riset, bernama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang kini sudah menyekolahkan puluhan ribu anak-anak Indonesia. Sekolahnya tidak hanya di universitas dalam negeri tapi juga luar negeri. Keren! Aku sendiri masih sering tidak menyangka pernah menjadi awardee beasiswa LPDP. Beasiswa ini sudah aku incar sejak tahun 2013 saat lembaga ini launched pertama sekali. Puji Tuhan, beasiswa ini Tuhan kasih ke aku, finally, pada Desember 2018.
Well, balik lagi ke cerita sekolah. Ajakan melanjutkan kuliah lagi ke jenjang berikutnya itu tidak hanya datang dari pemerintah Indonesia tapi juga karena pengaruh dari selebriti dan influencers di media sosial yang berbagi cerita tentang keberhasilannya dapat beasiswa dan cerita kehidupannya jadi mahasiswa lagi di sebuah kampus tertentu. Tidak dapat dipungkiri, ini jadi pemicu bagi kaum muda ingin punya kehidupan jadi mahasiswa di kampus-kampus keren dengan beasiswa. Belum lagi kalau belajarnya di luar negeri, hmm… mengertilah ya! Dari cerita-cerita yang dibagikan para selebriti dan influencers di media sosial mereka, kini orang-orang sangat mudah mendapatkan informasi tentang persiapan bagaimana cara mendapatkan beasiswa, cara memilih kampus, cara belajar Bahasa Inggris, cara buat essay atau personal statement, dsb. Kalau aku bandingkan situasinya pada waktu aku persiapan dulu, informasi seperti ini tidak banyak. Dulu aku persiapan dengan bermodalkan baca blog orang-orang yang tersedia di internet atau juga bertanya kepada rekan/teman yang sudah berhasil mendapat beasiswa apapun. Eh, tapi, ntahlah ya… Apa dulu aku memang tidak aware saja dengan informasi seperti ini di media sosial?
Baiklah, akhir-akhir ini, aku sering dapat DM di Instagram atau chat Whatsapp dari orang-orang sekitar maupun orang-orang yang tidak disekitar (hehehe…) yang bertanya atau konsultasi mengenai persiapan daftar seleksi beasiswa. Biasanya sih aku jawab langsung sesuai dengan pertanyaan mereka. Kalau aku sempat, aku balas. Kalaupun aku balas, balasnya suka lama. Kasihan, mereka menantikan jawabanku. Aku pernah diposisi mereka, bertanya pada para pendahulu yang sudah berhasil dapat beasiswa, Senang sekali rasanya kalau chat dibalas dengan penjelasan yang panjang dan cukup detail. Namun, ada juga sih yang jawab seikhlasnya. Itu menyedihkan. Well, karena aku pernah diposisi itu, rasanya aku tidak tega untuk tidak berbagi apa yang aku alami dan ketahui kepada teman-teman yang sekarang jadi pejuang beasiswa, yang lagi on fire mau sekolah lagi.
Tentu yang aku tuliskan ini hanya berdasarkan pengalamanku saat jadi pejuang beasiswa LPDP. Tapi, mudah-mudahan tulisan ini applicable untuk persiapan beasiswa dari sponsor manapun. Dimulai dari…
Step 0: TEKAD Dimulai dari 0 (nol) ya… biar kayak di SPBU. Yup, Step 0 ini adalah permulaan dari segala sesuatu yang mau diperjuangkan, termasuk beasiswa. Tekad itu sangat penting. Tekad tidak bisa seperempat, setengah, atau tigaperempat. Harus satu atau bulat. Tekad menolong aku untuk tidak mudah menyerah dan terus cari solusi. Aku sadar, tantangan untuk mencapai goal itu akan banyak dan bervariasi. Kalau aku tidak punya tekad yang bulat, sedikit rintangan saja bisa membuat aku menyerah dan rasanya masalah tidak memiliki jalan keluar. Jadi, mau ikutan seleksi beasiswa, miliki dulu tekad yang bulat ini. Yakinkan diri bahwa kamu bisa.
Step 1: BERDOA Yes, berdoa! Ini super penting. Apapun keyakinanmu, ingatlah, seberapa baik kita telah merencanakan sesuatu untuk mengejar goal, kalau Tuhan tidak terlibat di dalamnya, ambyar! Tentu, sebagai seorang Kristen, aku diajarkan untuk selalu melibatkan Tuhan dalam segala perencanaan; ini juga ada di Alkitab. Selain itu, doa sebenarnya merupakan manifestasi kesungguhan kita dalam mengejar mimpi. Bayangkan kamu berdoa, bilang ke Tuhan, “Ya Tuhan, aku mau ikut seleksi beasiswa. Tolong aku ya…” lalu besoknya kamu malas-malasan belajar, banyak main game, hang out tidak jelas. Kira-kira, Tuhan mau tolong tidak ya? Logikanya sederhana, kalau kita sudah doakan dihadapan Tuhan, berarti kita harus bertanggung jawab dengan doa kita. Take actions! Do what you can do, keep praying, and God do the rest.
Step 2: TENTUKAN SPONSOR Tentukan sponsor maksudnya adalah tentukan mau ikutan seleksi beasiswa apa. LPDP kah? AAS kah? Chevening kah? Stuned kah? Ministrial kah? Setiap sponsor punya visi dan misi masing-masing. Mungkin sponsornya mencari pemimpin masa depan, mencari orang-orang yang akan menjadi global influencers atau mencari scientists, dll. Cari, tentukan, dan sesuaikan dengan kebutuhanmu dan kebutuhan sponsors. Menentukan sponsor akan menentukan strategimu; termasuk menentukan apakah kamu belajar di kampus dalam negeri atau luar negeri. Dengan demikian, kamu akan tahu harus mempersiapkan apa, seperti bagaimana cara mempersiapkan essay dan wawancara jika kamu lulus hingga tahap akhir. This is about strategy. Pelajari juga, sponsornya menyediakan dana apa saja dan menanggung biaya apa saja. Apa menyediakan full scholarship atau hanya setengah? Bagaimana skema pembiayaannya? Berapa kuota awardee yang tersedia? Apa persyaratannya? Ini penting dan jangan malas ya untuk cari tahu.
Step 3: MAU BELAJAR APA? Step ini suka di skip sama beberapa orang yang pernah tanya atau konsultasi ke aku. Mereka belum tahu mau belajar apa, sudah langsung menentukan kampusnya mau di A, di B, di C. Well, wajar sih, namanya juga bingung mulai dari mana, yang paling mudah biasanya tentukan kampusnya dulu. Pengalamanku adalah aku menentukan terlebih dahulu mau belajar apa. Saat itu, aku punya beberapa pilihan: Economic, Public Policy, dan Accounting. Mengapa? Sebagai ASN, aku menyesuaikan pilihanku dengan beberapa rumpun ilmu yang jumlah kebutuhannya di organisasi masih cukup tinggi dan ini juga sesuai dengan kebutuhanku ikut beasiswa LPDP lewat jalur Afirmasi PNS, TNI, POLRI. Seiring dengan perjalanan waktu, pencarian dan perenungan yang cukup alot dan panjang, aku memutuskan belajar Accounting. Mengapa? Selain alasan yang sudah aku sebutkan sebelumnya, jurusan ini in line dengan latar belakang pendidikan sarjanaku, aku butuh ilmu akuntansi dalam pekerjaanku di organisasi, ini bukan barang baru bagiku sehingga aku tidak perlu extra effort untuk mempelajari sesuatu yang baru, dan aku bisa jadi dosen di masa depan dengan background pendidikan di bidang ilmu yang sejalan.
Mungkin pengalamanku ini belum tentu applicable dengan teman-teman yang bukan jalur kedinasan. Tapi, mudahnya begini, pilihlah jurusan yang sesuai dengan kebutuhanmu atau tempat kerjamu, minatmu, ataupun rencana masa depanmu. Ingat, tujuannya mau sekolah, bukan mau bunuh diri! Loh, kok ekstrim? Iya, karena ada juga yang pilih jurusan tertentu supaya terlihat keren, supaya terkesan serius, supaya ini dan itu. Alhasil, saat sekolah, jadi tidak mampu catching up material dan gagal. Renungkan, pikirkan, dan tentukan jurusanmu dengan serius dan matang. Pilihlah jurusan yang akan menambah value padamu. Selain itu, jurusan yang kamu pilih akan menentukan strategimu dalam menulis essay dan juga wawancara jika kamu tiba di tahap akhir seleksi. So, be wise!
Lalu, apakah boleh pilih jurusan yang tidak align dengan pendidkan sarjanamu? Tentu boleh. Let say, kamu S1 Akuntansi, tapi kamu ingin belajar dan perdalam ilmu Information Technology (IT), silakan pilih jurusan IT di kampus yang menyediakan jurusan IT. Tapi, sebelum kamu tiba pada keputusan mau belajar IT, cari tahu dulu kira-kira jurusan IT itu belajar apa. Informasi ini bisa ditemukan di internet, seperti Google atau Youtube. Lebih mudahnya lagi, pilih salah satu universitas yang menyediakan jurusan IT, boleh calon universitas yang akan dilamar. Cari jurusan IT di situs universitas tersebut, cari kurikulumnya, dan lihat mata kuliah yang ditawarkan. Kira-kira ada mata kuliah asing yang tidak pernah didengar atau diketahui sebelumnya, cari tahu di Google. Dengan begitu, kamu bisa mendapatkan gambaran, kira-kira jika belajar jurusan IT, kamu akan menghadapi apa. Siapkah dengan tantangan belajar hal baru di kampus tersebut?
Dari situs kampus tersebut, kamu juga dapatkan informasi mengenai learning achievement, sistem penilaian (ada ujian tiap semester atau lebih menekankan pada pengerjaan projects/assignments), sistem kredit semester, dsb. So, do your research well, take notes, pray for it, and decide!
Step 4: KAMPUS APA? Setelah melewati tahapan perenungan yang panjang untuk menentukan jurusan angkot, eh… jurusan perkuliahan, melangkahlah pada pemilihan kampus. Mau kuliah di mana ya? Memilih kampus akan menjadi lebih mudah setelah kita menentukan kita mau belajar apa. Pengalamanku, pilihan calon kampus ditentukan dari daftar kampus yang disediakan oleh LPDP. Jadi, aku tidak dapat memilih kampus di luar dari pada daftar tersebut. Setahuku, LPDP sudah menentukan Top 200 universitas dunia yang dapat dilamar. Jadi, jangan khawatir. Apapun kampus yang dipilih, selama berada di daftar itu, pastilah kampus yang terbaik. Nah, ini applicable juga dengan sponsor yang lain. Itu mengapa Step 2 harus dilakukan. Jangan inginnya kuliah ke Amerika tapi pilih sponsor AAS atau Stuned. Pun kalau mau kuliah di UI tapi pilih sponsornya Chevening. Salah alamat jadinya! Kalau mau yang flexible ke negara mana saja, pilihlah LPDP, misalnya. LPDP pun menyediakan beasiswa kuliah di dalam negeri. Mengertikan mengapa memilih sponsor itu penting?
Bagaimana caraku memilih kampus saat itu? Setelah aku memutuskan aku mau belajar Accounting, aku memilih beberapa kampus yang tersedia dalam daftar LPDP. Aku apply ke satu universitas di Belanda, beberapa kampus di UK, dan satu di Australia. Mengapa banyak ke kampus yang di Eropa? Tidak bohong, karena aku memang ingin belajar di Benua Eropa. Rata-rata kampus di UK masuk Top 100 Universities di dunia dengan jurusan Accounting yang terkenal baik. Selain itu, baik Belanda, UK, dan Australia, sudah mengadopsi IFRS, sama seperti Indonesia. Mengapa tidak ke Amerika? Well, Amerika menggunakan US GAAP sehingga tidak relevan dengan sistem akuntansi di Indonesia. Mau jawaban lebih nyeleneh lagi? Andai Amerika pakai IFRS, aku sadar diri, aku tidak sanggup harus belajar GMAT dan tes lagi. Jadi, dalam memilih kampus, jujurlah pada diri sendiri. Jangan memaksakan keinginan yang tidak dibarengi dengan kapasitas dan kapabilitas yang cukup, hehehe…
Oke, balik lagi ke pemilihan kampus. Aku pilih kampus di beberapa negara yang menyediakan jurusan akuntansi, which is buaaanyak. Untuk mempermudah dan mempercepat pencarianku, aku mengunjungi QS World Universities Ranking dan Times Higher Education (referensi pemilihan peringkat kampus secara global), aku tetapkan bahwa aku hanya mengambil Top 100 Universities. Biasanya, peringkat kampus hasil QS World Universities dan Times Higher Education beririsan. Lalu, dari hasil tersebut tambah lagi filter, misalnya, ranking by subject dalam hal ini Accounting. Nah, semakin mengerucut pilihannya ‘kan? Apakah dari hasil pencarian itu aku cek satu-satu situs kampusnya? Tentu tidak. Aku kan sudah tetapkan di awal negara apa yang aku mau tuju. Jadi, dari hasil pencarian tersebut, aku hanya mengunjungi situs kampus yang ada di negara Belanda, UK, dan Australia dengan peringkat jurusan akuntansi terbaik di dunia.
Jujur saja, proses ini cukup panjang sebab dalam pemilihan kampus, aku harus membaca kurikulum termasuk di dalamnya screening potensi mata kuliah yang akan dipelajari. Aku bandingkan kurikulum kampus-kampus tersebut dan aku sesuaikan dengan minat atau konsentrasi yang ingin kupelajari. Bandingkan sistem belajarnya seperti apa, jenis perkuliahannya apakah coursework atau with dissertation, sistem penilaian selama perkuliahan bagaimana, dll. Saranku, buatlah daftar pertanyaanmu sendiri untuk melakukan filter dan perbandingan antar kampus. Bisa dalam bentuk matriks, misalnya, sebagai cara yang efisien untuk mendapatkan jawaban terbaik. Masukkan variabel-variabel yang kamu anggap penting dalam pemilihan kampus. Be real and be patient! Take your time, think wisely and strategically. Make sure, universities of your choice will accept you as a student later.
Oke, tulisanku ini masih panjang. Aku sambung di note berikutnya di SCHOLARSHIP, I’M COMING! (Part 2). Happy reading!
0 notes