#sampinganku
Explore tagged Tumblr posts
kaktus-tajam · 11 months ago
Text
List Kegagalanku di Tahun 2023
Di luar arus umumnya, aku ingin berbagi kegagalan apa saja yang ditakdirkan di tahun 2023. Hehe. Panjang.
Januari
Tentunya skenario mengawali tahun baru dengan sakit.. tidak pernah ada dalam bayanganku.
Bukan. Bukan karena harus dirawat inap selama 6 hari dengan 3 dokter spesialis, sampai harus izin ganti jaga IGD karena masih berstatus dokter internsip. Bukan karena diagnosisnya cukup langka jadi ragam tes harus dilakukan. Bukan.
Agaknya aku lebih ingin menggarisbawahi bahwa 6 hari itu mengubah persepsiku tentang 24 tahun hidupku.
Dan kegagalan pertamaku adalah sempat menyalahkan diri, bahkan.. sempat mempertanyakan Allah: kenapa aku?
Sikap kontraproduktif.
Ternyata manusia memang tempatnya mengeluh, tempatnya ketidaktahuan ya.
Siapa sangka, sakitku itu justru membawa banyak keberkahan di kemudian hari. Membuka pintu-pintu unik yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Februari
Kegagalan keduaku adalah gagal mengkomunikasikan dengan baik terkait pekerjaanku sebagai asisten penelitian.
Akhirnya aku memutuskan resign dari pekerjaan sampinganku untuk fokus ke internsip dan pemulihan sakit. Di momen ini aku malu, karena rasanya gagal membina hubungan baik dengan dosen. Gagal pula manajemen diri dan waktu dengan baik. Sampai bertanya-tanya, kok bisa ya saat S1 dan koass kuat? Apa tidak pernah diuji sedemikian fisikku dan mentalku?
Tapi justru di titik ini aku belajar, suatu pelajaran penting. Ingatkah kisah tentang contoh mastatha’tum seorang syaikh, yang berlari sampai pingsan?
Di sini Allah sedang mengingatkan pertanyaanku ke seorang ustadz 2018 silam: bagaimana kita mengetahui batas kita dalam mastatha’tum ustadz?
Maret
Aku gagal menyelesaikan amanahku di komunitas yang kuikuti dengan baik. Adabku nampaknya perlu ditilik kembali.
Aku tidak bisa ikut rihlah dan menyelesaikan tugas akhirku di kelas tersebut. Pasalnya, setelah ke beberapa dokter di Indonesia, akhirnya orang tua membawaku ke Singapura untuk check up. Dan seperti cerita-cerita yang sering viral di sosial media, dokter di sana berbeda pendapat dengan dokter di Indonesia.
Aku dinyatakan berstatus “saat ini Anda sehat, tapi perlu pengawasan.” Suatu diagnosis abu-abu. Tidak dapat tegak, tapi juga tidak dapat dieksklusi. Menarik.
Siapa sangka, sebagai dokter aku justru jadi pelaku health tourism sebagai pasien? Ayah dan ibu berkata: kelak perjalanan ini pasti akan bermanfaat bagi kamu. Aamiin.
Oh ya di sisi lain, aku merasa gagal juga membuat orang tuaku bangga. Jadi sedih karena merepotkan. Terharu karena melihat sedemikian khawatirnya mereka.
April
Ternyata dalam bab ber-Qur’an pun, aku gagal mencapai target. Aku tertinggal jauh.
Kebanyakan alasan. Kebanyakan bermalas-malasan. Jaga lah, capek lah, badan sakit lah.
Tapi Allah kasih rezeki berupa Ramadhan. Dan Allah karuniakan rasa di hati: bagaimana kalau ini Ramadhan terakhirku? Itikaf terakhirku?
Rasa yang membuat bulan mulia itu begitu sulit dilepas. Alhamdulillah. Semoga kita tidak termasuk dari mereka yang mahjura terhadap Al-Qur’an.
Di kegagalan ini aku belajar tentang adab izin ke Allah: bahwa keikhlasan pun perlu diminta, keistiqomahan pun perlu diminta.. dan ternyata Qur’an memang jadi obat terbaik untuk sakitku.
Mungkin memang sebenarnya jiwaku ini yang banyak penyakitnya, ya.
Mei
Laju hidupku berubah ketika internsip periode rumah sakit selesai dan beralih ke puskesmas. Layaknya testimoni teman-teman, periode puskesmas akan lebih luang dan tidak melelahkan (dan membuat naik berat badan).
Tapi aku gagal menaikkan berat badan. Haha (naik sih, tapi turun lagi)
Memang tiga hari setelah pindah stase dari RS aku tidak nafsu makan. Aku hanya banyak menangis dan mencoba alihkan pikiran dengan game kucing. Haha.
Kenapa? Aku merasa gagal manajemen code blue dengan baik, di jaga malam terakhirku. Aku kehilangan seorang pasienku. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Kepergiannya, kelak menjadi kebaikan bagiku (dan untuk almarhum lah, aku dedikasikan sertifikat ACLS-ku). Terima kasih Pak, semoga Allah lapangkan kuburmu. Al fatihah.
Juni
Lagi-lagi gagal untuk mengelola stress. Haha. Di bulan Juni aku mendaftar tes TOEFL iBT. Setelah memantapkan hati mendaftar LPDP. Tentunya belajarnya H-10 karena mepet. Akhirnya gejala sakit kemarin muncul lagi. Duh, Hab.
Sedih juga, karena gagal mendapat nilai yang kutargetkan, kurang 4 poin.
Tapi alhamdulillah, memenuhi syarat. Walau ujian sambil merasakan macam-macam gejala efek samping obat.
Juli
Gagal mengumpulkan berkas LPDP sebelum deadline.
Terbukti benar kata Ibu, perjalanan sakitku dari Januari membawa hikmah. Itulah yang menjadi kisah latar belakang di esai kontribusi, yang seakan Allah tunjukkan: ini nih my calling.
Tapi aku mengulur waktu, dan akhirnya baru mengumpulkan berkas di beberapa jam sebelum tenggat. Di mobil. Saat aku perjalanan dari Jakarta ke Jogja. Haha. Terbayang betapa tingginya adrenalin malam itu.
Agustus
Gagal juara 1 di lomba yang kuikuti.
Sakitku.. selain menghantarkanku untuk daftar S2 (ketimbang langsung PPDS/ kerja), juga menghantarkanku untuk mencoba banyak hal untuk menambah pengalaman di CV untuk persyaratan S2.
Termasuk ingin ikut berbagai mentorship dan lomba. Aku gagal daftar mentorship dan training Cochrane. Tapi aku akhirnya memberanikan diri mengikuti MIT Hacking Medicine di Bali.
Alhamdulillah, walau gagal juara 1, mendapat juara 3 dan mendapat pengalaman yang jauh lebih berharga dari piala itu sendiri. Oh ya dan mendapat teman-teman internasional juga.
September
Gagal rasanya ketika sempat ditegur konsulen karena scientific poster ku perlu berulang kali revisi.
Pengalaman pertama mengirimkan case report
Lalu kelelahan setelah lomba. Dan akhirnya September penuh dengan bolak-balik check up kembali.
Aku pun gagal manajemen emosi ketika harus sulit mengurus rujukan ke RS dan mengorbankan banyak hal.. lalu ketika di sana.. diperlakukan kurang sesuai ekspektasi oleh dokter.
Ternyata kekecewaan itu menjadi pengingat terbaik: oh ya, kalau jadi dokter, jangan seperti ini ke pasien.
Oktober
Gagal pakai software asli non-bajakan untuk mini project di Puskesmas. Huhu.
Ketika mini project, aku berkali-kali gagal menganalisis data. Bahkan beberapa jam menjelang presentasi, aku baru menyadari kesalahan krusial yang membuatku mengulang seluruh pekerjaanku haha. Panik.
Akhirnya aku refleksi dan istighfar, mungkin ini akibat SPSS bajakan. Jadi tidak berkah. Teringat peristiwa serupa saat skripsi, akhirnya menggunakan free trial (yang legal) baru berhasil.
November
Gagal menulis rutin di Tumblr. Gagal mengajar Quranic Arabic sampai tuntas.
Nampaknya bulan November merupakan bulan yang butuh ruhiyah yang lebih kuat. Segala persiapan S2, perpisahan, pindah kembali ke Jakarta setelah internsip, adaptasi hidup bersama orang tua lagi..
Dan aku rasa futur iman-ku, terbukti dari writer’s block yang cukup lama. Pun semangat mengajar juga redup. Meng-sedihkan diri ini.
Oh ya tapi ternyata tentang kegagalanku di Maret.. Allah masih menurunkan rahmat-Nya dan mengizinkan aku ikut kembali komunitas tersebut kembali. Menebus kesalahanku yang lalu. Ya Allah. Alhamdulillah. Semoga diridhai Allah dan guru-guru kami.
Desember
Dan kurasa kegagalan terbesarku adalah sempat merasa kehilangan arah. Kehilangan diri yang dulu.
Aku ingat ketika pertama kali dengar diagnosisku, duniaku seperti dalam kondisi pause. Aku takut bercita-cita. Aku takut menulis mimpiku lagi. Aku takut membuat rencana.
Di akhir tahun ini, akhirnya aku beranikan diri menulis kembali: cita-cita, rencana, dan mimpi. Dan yang utama, cita-cita bersama Al-Qur’an.
Guru kami berkata: untuk Al-Qur’an, jangan pernah takut bermimpi
Maka aku coba kembali, tertatih-tatih sekali pun. Dan ternyata dengan memberanikan diri merapikan rencana ziyadah, murajaah, tilawah, tadabbur.. menghidupkan kembali semangat diri untuk cita-cita yang lain.
Allahummarhamna bil Qur’an..
..Sepertinya masih banyak. Kegagalan-kegagalanku.
Tapi dengan segala kegagalan, aku bersyukur Ditipkan pelajaran bersamanya.
Dan bukankah itu kesuksesan? Ketika segala tinggi dan rendahmu, menghantar kepada syukur dan sabar ke Allah.
Semoga dimampukan ya, Hab.
Selamat mensyukuri “kegagalan”, semoga Allah takdirkan setelah dosa ada taubat, setelah kegagalan ada pelajaran.
-h.a.
Kalau kamu juga berbagi kegagalanmu, sertakan #perjalanankegagalan ya, siapa tau kita saling menemukan bahwa kita semua memang hanya manusia biasa
83 notes · View notes
syncedforjune · 2 years ago
Text
The tale of salmon.
Tumblr media
Shankara.
Pukul sebelas siang. Dan keadaan langit sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kemurungan. Siang hari ini mendung, aku harap hujan tidak akan menyambut kami cepat-cepat di rumah kaca nanti. Ada beberapa hal yang ingin aku tunjukkan kepada Sena soalnya.
“Halo, Tante. Senang bisa bertemu,” sapa Sena dengan ramahnya kepada ibuku yang sudah selesai mengunci seluruh area rumah hingga pagar. Ayah sudah pergi bekerja sedari pagi. Rumah sakit sedang penuh-penuhnya akibat perubahan cuaca ekstrem akhir-akhir ini.
“Oh, iya. Senang bisa bertemu juga, Nara. Wah, kamu tinggi juga ya ternyata,” sahut ibu. Matanya berbinar-binar ketika melihat laki-laki tersebut. Wajar saja, Sena memang memiliki aura percaya diri yang amat kuat. Ditambah dengan setelannya yang rapi dan juga manis—maksudku, manis di sini karena dia memakai sweater rajut dengan pola motif yang unik. Apa itu sweater buatan tangan?
Sena kemudian menyapaku lalu kami pun langsung masuk ke dalam mobil jeep kesayangan ibu. Sementara aku kembali ke rutinitas sampinganku—membaca buku yang sengaja aku bawa karena enggan terlibat percakapan dengan Sena di sepanjang jalanan nanti.
Aku masih terlalu malu untuk terbuka.
Mobil mulai melaju. Ibu kemudian memutar lagu-lagu kesukaanku agar suasana tidak terlalu terasa sepi. Dia memutar lagu jadul seperti lagu-lagunya Green Days, Bon Jovi, Backstreet Boys, atau bahkan Oasis. Aku suka lagu-lagu yang seperti itu. Tipikal lagu yang bisa menenangkan perasaan di situasi apapun.
“Kamu suka baca buku novel juga ya, Ra?” tanya Sena tiba-tiba. Aku terkejut ketika mendengar pertanyaan tersebut. Ternyata ada yang memperhatikanku sejak mobil ini mulai berjalan. Terlebih kami memang duduk di jok belakang, bersebelahan pula.
“Ini bukan buku novel,” jawabku.
“Terus?” Aku pun menunjukkan sampul depan buku yang aku bawa. Sena mengerutkan dahinya, merasa bingung.
“Buku kumpulan teori biologi? Buat apa?” tanya dia lagi. 
“Jenaka itu memang suka baca-baca buku yang berkaitan dengan mata pelajaran di sekolahnya, Nara. Udah kayak lagi baca koran di pagi hari saja memang,” sahut ibu sambil tertawa kecil. Huh, syukurlah. Ibu memang penyelamat hidupku.
“Rajin banget… kamu kelewat rajin, Ra. Ini kan weekend,” protesnya.
“Terus kenapa kalau weekend? Memangnya gak boleh ya nambah-nambah wawasan dari baca buku kalau lagi weekend begini?” sahutku dengan nada santai.
“Enggak begitu, maksudnya, weekend tuh kan enaknya dipake buat senang-senang. Misalnya tidur seharian, liburan, or something else gitu. Bukannya dipake buat belajar,” jawabnya sambil melipat tangannya di depan dada.
“We will always learn something new disetiap harinya, Sen. Bakal ada sedikitnya pembelajaran yang kita lalui bahkan tanpa kamu sadari, tahu gak?” ucapku membela diri.
“Jadi?”
“Jadi, gak apa-apa dong kalau weekend dipake buat baca buku pelajaran. Setiap hari kita pasti bakal belajar sesuatu. Entah dari buku atau pola hidup. Do you get it?”
“You don't understand what I mean,” gumamnya. Aku menggerutu dalam diam, memilih mengalah dan enggan memperpanjang pertikaian kecil ini karena ibu terlihat sudah mengeluarkan ekspresi terheran-heran dari pantulan kaca mobil.
Maka aku putuskan untuk kembali melanjutkan aktivitas kecilku. Sesekali aku mencuri-curi pandang kepada lelaki yang kini tengah fokus dengan jalanan. Dia benar-benar fokus ketika mobil kami sudah mulai memasuki area perbukitan. Badannya membeku, terpana dengan hehijauan yang terhalang oleh kaca gelap mobil tersebut.
“Tante, boleh buka kunci jendelanya enggak? Aku mau hirup udara segar,” tanya Sena yang langsung dibolehkan oleh ibuku. Rambutnya yang gondrong mulai tidak beraturan karena angin baru saja menyapa. Mungkin setelah acara bermain ini selesai, aku akan memintanya untuk memotong rambut. Bahaya kalau sampai Pak Remi tahu jika murid baru pindahan ini sudah melanggar peraturan sekolah di hari pertamanya besok.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Narasena.
Hal yang paling aku takutkan ketika berteman dengan orang baru adalah: aku takut orang tersebut mempunyai hewan peliharaan yang tak lain dan tak bukan adalah seekor kucing. Atau mungkin dia punya dua sampai tiga ekor kucing? Terserah.
Menurut kabar burung, binatang berbulu itu rata-rata selalu dipelihara oleh keluarga yang memiliki anak perempuan. Dan ternyata kabar burung tersebut memanglah nyata adanya.
Kara memelihara seekor kucing. Kucing berwarna hitam legam yang tidak terlalu gendut. Aku mengetahui fakta itu ketika kami sudah sampai di tempat tujuan. Ada banyak villa mewah yang disewakan di atas lahan hijau. Tempat ini benar-benar dingin dan membangkitkan semangat hidupku. Sungguh.
“Pistachio enggak nakal semalaman tadi, dia banyak tidur, Ra,” ucap seorang wanita dengan penampilan sangat rapi ketika kami menghampiri salah satu villa. Mungkin itu kenalan dekatnya keluarga Kara karena mereka terlihat sudah akrab sekali. 
“Kamu baru pulang dari klinik hewan ya, June? Maaf kalau kami menganggu waktu kerja kamu,” tanya ibunya Kara. Oh… wanita itu ternyata adalah seorang dokter hewan. Tapi pertanyaannya, kenapa dia tiba-tiba bisa nyasar di area perbukitan begini?
“Ah, gak masalah. Shift-ku masih nanti sore, kok. Aku minta janjian di sini sekalian pengen cek villa tua ini aja. Pistachio juga pasti udah kangen banget sama Kara,” jawabnya. Aku hanya diam, membuat jarak dengan Kara yang sudah menggendong makhluk berbulu tersebut.
“Eh, ada teman baru ya ternyata di sini?” ucap wanita itu yang baru menyadari akan kehadiranku. Padahal sedari tadi aku sudah tersenyum ramah kepadanya. Aku rasa dia hanya menganggapku sebagai salah satu dari banyaknya pohon pinus atau pohon ek spesies quercus argentata yang banyak tumbuh disekitar sini.
Hah. Cukup tahu deh.
Ibu Kara pun kemudian memperkenalkanku kepada wanita tersebut. Kami pun berkenalan. Dan dia memintaku untuk memanggilnya dengan namanya saja—June. 
“Aku pemilik dari semua villa ini, aku juga bekerja sebagai dokter hewan di klinik yang ada di pusat kota. Pistachio ini adalah pasien langgananku. Senang bisa berkenalan denganmu, Nara,” ucap June. 
“Pasien langganan?” sahutku.
“Pistachio enggak bisa melihat, Sen. He's blind. Lambungnya juga sering bermasalah akhir-akhir ini. Jadi memang sering bolak-balik ke klinik Dokter June. Semalem aja dia muntah lagi, jadi mau gak mau aku bawa aja deh ke kliniknya Dokter June untuk pemeriksaan lebih lanjut,” jawab Kara. Jawabannya membuatku terkejut. Apa? Kucing itu tidak bisa melihat katanya? Apa dua bola mata yang sedang mengintimidasiku saat ini hanya sebuah mainan? Eh, bagaimana sih?
“Jadi dia enggak bakal bisa gigit aku, kan?” tanyaku yang entah kenapa mengundang tawa mereka. 
“Kamu takut sama kucing?” tanya June. Aku mengangguk, sedikit malu untuk mengakui hal tersebut. Pasti sehabis ini Kara akan mengejekku.
“Tapi jangan salah paham dulu, aku ini bukan laki-laki cemen. Aku takut soalnya lenganku pernah digigit sama kucing dewasa. Lihat, bekasnya masih ada sampai sekarang. Udah kayak bekas gigitan vampir aja,” jawabku sambil menunjukkan bekas luka gigitan yang berada di lengan kiriku. Mereka kembali tertawa. Tapi menurutku itu bukanlah sebuah bentuk hinaan atau merendahkan. Mereka tertawa karena aku sadar, kalau aku sudah terlihat konyol di depan ketiga perempuan tersebut.
Tapi aku benar-benar takut dengan kucing semenjak insiden gigit menggigit itu terjadi. Sungguhan.
“Pistachio enggak bakal ngigit kalau kamu gak ngeluarin bebauan yang dia suka,” ucap Kara.
“Bebauan kayak apa contohnya?”
“Bau daging, tulang ayam, dan makanan kucing lainnya,” jawabnya sambil tertawa kecil. Oh, aku kira apa tadi.
“Bagus deh kalau gitu. Untungnya badan aku cuma bau daun eucalyptus.”
“Nah, kalau bau itu biasanya Pistachio malah pengen deket-deket,” ucap Kara lagi. Sialan.
“Kalau gitu besok aku ganti parfum.”
Ibu Kara dengan sabar mengusap-usap pucuk kepala kami karena gemas. Kami pun akhirnya berpamitan dengan June karena rumah kaca tujuan kami ternyata berada sedikit jauh dari area villa. Mobil sudah terparkir di tempat semestinya dan kini, kami harus berjalan dulu melewati jalanan setapak yang dikelilingi oleh banyaknya pohon-pohon besar.
Aku sempat bergumam sambil tertegun melihat sekitar—mengatakan kalau aku merasa bahagia karena sudah diajak kesini dalam bahasa Jepang yang membuat Kara menoleh kearahku. 
“I'm pleased,” ucapku mengulang gumaman tersebut dalam bahasa yang dia mengerti.
“Terima kasih udah ngajakin aku kesini,” ucapku lagi sambil melirik ke arah Kara yang ada di sebelahku. Kami saling menatap satu sama lain sampai Pistachio mulai mengendus-endus sweater-ku karena jarak kami terlalu menempel, aku pun kabur menjauh.
“How dare you!” pekikku yang langsung berlari meninggalkan Kara dan memilih untuk berjalan sejajar di dekat ibunya saja karena takut jika kucing itu akan merayap pindah ke tubuhku. 
Akan aku nobatkan Pistachio sebagai musuh abadiku mulai detik ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Shankara.
Sedari tadi Sena enggan dekat-dekat denganku ketika kami akhirnya sampai di depan rumah kaca. Dia lebih memilih untuk melihat pemandangan yang disajikan—ada sungai yang bercabang mengalir menuju danau di hadapannya dan juga hehijauan yang amat menawan. 
Aku pun memutuskan untuk menitipkan Pistachio kepada ibuku yang sedang merawat tanaman. Kucing hitam itu tampak masih lemas, dia malah rebahan dan tidak meracau. Baguslah.
“Naka, coba kamu ajak Nara jalan-jalan disekitar sini. Pasti dia suka,” titah ibu yang langsung dibalas oleh anggukanku.
Aku pun bergegas pergi mendekat ke arah lelaki itu. Lelaki tinggi dengan bahu yang lebar. Porsi tubuhnya bagus, sepertinya Sena adalah remaja yang sangat rajin berolahraga.
“Kucingnya kemana?” tanya dia yang sudah menyadari kehadiranku sebelum aku memanggil namanya.
“Tidur,” jawabku. Dia ternyata sedang asyik memandangi sungai yang mengalir tenang. Airnya jernih hingga bebatuan berlumut yang ada di dalamnya pun sampai terlihat transparan. Aku tidak pernah memperhatikan lebih jauh sungai kecil ini sebelumnya. Ternyata indah juga.
“Ra,” panggil Sena tiba-tiba. Aku berjalan mendekatinya, berdiri di sebelah dia yang masih fokus memandangi aliran air sungai.
“Ya?”
“Kamu tahu cerita soal perjuangan hidup ikan salmon, gak?” tanya Sena. Aku mengerutkan dahiku tanda bingung.
“Apa hubungannya sama kamu yang lagi mandangin aliran sungai kayak begini?” tanyaku balik.
“Ada, ada hubungannya.” Dia kemudian berjongkok di pinggiran sungai, mencelupkan tangan kanannya ke dalam air yang jernih.
“Ikan salmon berenang puluhan bahkan ratusan kilometer dari lautan menuju ke hulu sungai cuma untuk bertelur. Bisa aja sungai ini pernah dilewati sama mereka. Sungai ini mengarah ke laut kan?” tanya Sena lalu kubalas dengan sebuah anggukan. Aku pun ikut berjongkok di sebelahnya.
“Terus apa yang terjadi sama ikan salmonnya?” tanyaku mulai mencelupkan dua tanganku ke dalam air. Ternyata air sungai ini dingin dan terasa segar sekali.
“Nah, ternyata, waktu telur-telur mereka menetas jadi salmon-salmon kecil, nantinya para salmon kecil itu bakal berenang ke laut lepas sampai dewasa, terus kembali ke hulu sungai untuk bertelur lagi. Sama kayak orang tuanya. Siklus ini terus berputar.”
Oke, sekarang aku mulai tertegun mendengar penjelasannya.
“Kamu tahu, yang bikin terharu itu perjuangan mereka menuju ke hulu sungainya, Ra. Soalnya, perjalanan mereka dari laut menuju kesini itu enggak mudah. Begitu juga dengan perjalanan mereka dari hulu sungai menuju ke laut sama susahnya. Dan hal yang menyedihkannnya adalah, setelah bertelur, salmon-salmon dewasa gak akan bisa kembali ke laut lepas lagi,” ucapnya.
“Kenapa?”
“Itu karena siklus pertumbuhan mereka memang berhenti disitu, masa mereka udah habis. Walaupun biasanya ada aja yang bisa kembali lagi ke laut lepas, tapi, itu kebanyakan cuma jenis ikan salmon atlantik. Jenis ikan salmon pasifik yang udah selesai bertelur kebanyakan bakal mati dan jadi bangkai di sungai. Cuma, perjuangan mereka enggak sia-sia. Bangkai mereka bakal tersebar dan jadi nutrisi alami bagi ekosistem sekitar. Keren, kan?” Klimaksnya yang membuat hatiku terenyuh. He's well spoken… oh God. Aku benar-benar terharu. Aku bisa langsung paham apa makna yang dia selipkan di dalam cerita tiba-tibanya tersebut.
“Kematiaan yang tidak sia-sia akan datang kepada siapapun yang mau terus bekerja keras di dalam hidupnya. Cerita ikan salmon ini selalu terngiang-ngiang dikepalaku, really. Aku tahu cerita ini dari ibu. Dulu kami sering berkunjung ke hulu sungai yang ada di pelosok Fukuoka. Kebetulan, kami pernah nemuin satu koloni ikan salmon yang lagi berenang menuju lautan—” ucap Sena menghela napasnya sesaat.
“Dan kamu juga harus tahu soal cerita ini, Ra. Semua orang harus tahu, harus paham kalau kematian akan selalu datang kalau memang usahamu udah begitu keras di dunia ini. Mereka enggak bakal mengkhianati kehidupan yang udah diberikan sama Tuhan,” lanjutnya. Entah kenapa mataku mulai terasa perih sekarang.
“Jadi, semangat hidup, Ra!” serunya menatapku. Namun, raut wajah cerianya mendadak tertekuk kembali ketika melihat reaksiku.
“Kara?” panggil Sena. Kami berdua pun kembali berdiri, saling berhadapan.
“Wah, ceritaku tadi terlalu dalam ya? Maaf deh—”
Aku sontak membungkuk hingga sembilan puluh derajat ketika mendengar apa yang barusan Sena ceritakan kepadaku. Lelaki itu malah bergeming, shock dengan reaksiku yang sebenarnya.
“Senang bisa berteman denganmu, shisho!” sentakku.
“Shisho?”
“Iya. Tolong ajari aku hal-hal yang lainnya lagi sehabis ini, shisho.” Lagi-lagi dia bergeming, namun kali ini tangan kirinya sibuk menggaruk tengkuk yang aku rasa tidak terasa gatal sama sekali.
“Kamu tahu arti shisho itu apa kan, Ra?” tanya dia sambil tertawa cekikikan. Aku mengangguk dengan semangat. Pokoknya aku harus menjadi anak muridnya mulai dari sekarang!
“Hmmm. Memangnya aku ini master dalam bidang apa kata kamu?” tanya Sena. Aku terdiam berpikir sejenak.
“Master dalam bidang menjelaskan kisah perjuangan ikan salmon, kayak tadi. Itu termasuk perbincangan yang keren, tahu? Otak kamu cerdas juga ternyata,” sahutku.
“Masa sih?” tanya dia lagi sambil mengelus-elus dagunya dengan raut wajah yang sedikit menyebalkan.
Waduh, ada yang mulai kepedean rupanya. Ga-gawat.
“Ah, itu bukan apa-apa kok. Udah, yuk, kita bantuin ibu kamu aja sekarang, kasihan dia malah beres-beres sendirian.” Sena kemudian pergi meninggalkanku di tepi sungai. Aku terdiam memandangi alur sungai itu untuk beberapa saat.
“Kara! Ayo! Kok malah bengong?” teriak Sena. Aku pun tersadar dari lamunanku lalu akhirnya berlari menghampirinya.
“Kira-kira sungai itu beneran pernah dilewati koloni ikan salmon gak ya?” tanyaku.
“Bisa jadi. Tapi gak tahu pasti, sih. Soalnya aku kan bukan ikan salmon,” jawabnya lalu tawa kami pun pecah begitu saja. Tawa itu... lepas sekali. Begitu lepas dan juga sangat membahagiakan.
Aku rasa Sena memanglah orang yang baik. Tidak ada alasan bagiku untuk menjaga jarak dengannya. Mungkin memang tidak untuk sekarang.
9 notes · View notes
kikakikaku · 5 months ago
Text
Pekerjaan sampinganku yang cimit- cimit selesai, yang kukerjakan 2 jam perhari. Kadang bangun tengah malam, jam 2 atau jam 3 terus mengerjakannya 30 menit terus lanjut tidur, ternyata belum seminggu selesai juga. howraiii bukan. Sekarang fokus ke agenda pekerjaan utama dengan dinamika perubahan yang sulit ditebak.
Perkara cinta, sabodo teuing!
0 notes
wickysthings · 2 years ago
Text
Bahagia
Bahagaiaku itu ternyata bukan seberapa banyak harta, bukan seberapa tinggi jabatan, bukan seberapa panjang gelar. Lebih dan cukupnya tak melulu.
Bahagiaku itu ternyata tercipta dari seberapa besar manfaat dan value yang aku berikan, tinggalkan, atau goreskan. Memang berbeda dengan idealnya kebanyakan orang. Mungkin itu karena gabungan dari bakat yang tinggi akan Belief dan Intellection yaa?
"Kerja itu, bagaimana kita dapat menukarkan waktu kita dengan value"
Pekan lalu aku diberikan sebuah penawaran untuk privat online. Sebutlah dengan rate ku. dia bertanya, "Apakah bisa untuk biayanya segini kak? Karena untuk les privat ini aku bayarnya pake uang hasil sampinganku". Dan tidak tanggung tanggung, belum pernah ada yang menawar sebanyak itu, minta diskon 60% dengan alasan yang masuk akal sebenernya. Dan aku menghargai usahanya belajar dan menghargai uang. Aku terima dengan penawaran baru. Iyaa gapapah segitu tapi ditambah hasil karya yang dijualnya, terserah bentuk atau harganya berapa. Fyi, dia menjual lukisan atau tote bag tie dye gitu. Bukan soal seberapa besar uangnya. Dari sana aku respect dengan prosesnya. Mungkin, suatu hal yang mudah untuk meminta uang ke orang tua. Bukan soal rate les yang tinggi juga. Karena pada ranah jasa, waktu yang aku berikan harusnya senilai dengan kualitasnya juga. Aku suka proses nya dalam menghargai waktu, sama sama memberi waktu dengan kualitas. Meski jauh dari rate biasanya. Waktu yang aku tukar dengannya, menurut ku sepadan. Dan aku bahagia saat mengajarinya, karena niat belajarnya tinggi. Meski hasil karya tak ternilai harganya. Aku percaya dia menukarkan waktu yang sama dengan kualitas.
1 note · View note
jasacetakkemasanternate · 3 years ago
Text
WA +62 812 2966 9370 TERMURAH Kemasan Alumunium Foil
Tumblr media
Mau kemasanmu di buat menarik seperti ini ??? Butuh Kemasan Standing Pouch ??? Kami @zinergypack satu satunya yang bisa cetak mulai 100an (paper foil).. Keuntungan menggunakan kemasan @zinergypack :
Follow @jasaadminmedsos.id
Follow @zinergydesign
0. Cetak mulai 100
1. Kemasan lebih cantik full desain
2. Menghemat tenaga tidak perlu memotong stiker dan tempel tempel lagi, jadi bisa fokus jualan terus.
3. Biaya lebih MURAH
4. Meningkatkan nilai jual
5. Kemasan Padat & Kuat
6. Kartu Garansi
7. GRATIS DESAIN*
8. Kartu Member
9. Bottom Kuat
Segera ganti sekarang juga kemasan Anda.
Kami @zinergypack siap bersinergi untuk UMKM naik kelas.
Tidak hanya kemasan Produk @zinergyindonesia
Juga ada PAPER FOIL, BOX, SABLON CUP, UNDANGAN, SOUVENIR, BERBAGAI MACAM KEMASAN
Masih belum punya desain??? Tidak perlu khawatir, kami DESAINkan GRATIS !
Konsultasi kemasan & Harga :
+62 812 2966 9370
0 notes
catatanbumi · 2 years ago
Text
Senaning, 29 Oktober 2022
Sore hari ini tiada senja yang datang menyapa. Yang ada hanyalah gradasi hitam yang mendominasi dengan sesekali angin dingin hilir mudik silih berganti.
.
Sudah lama rasanya aku tidak menorehkan keresahan ku pada dinding yang sepi pengunjung ini. Bukan karena tiada resah lagi. Namun hanya energi menulis yang kerap terkikis. Sinyal internet yang kerap kali tak bersahabat pun menjadi alasan mengapa kini jarang aku menulis. Ah, wajar saja. Kami yang tinggal di batas negeri ini, belumlah benar-benar merdeka. Bahkan saat malam dengan petangnya menyapa, banyak di antara kami yang masih harus menyalakan pelita sembari berjalan dengan meraba-raba. Tak apa, kami sudah benar-benar terlatih dan terbiasa. Buktinya, kala penduduk kota beramai-ramai mengeluhkan BBM naik dan minyak goreng langka, kami masih tetap bersyukur. Setidaknya bensin masih ada walau di sini harganya 15.000 per liternya. Jika memang saat itu minyak goreng tak ada, kami masih bisa masak dengan alternatif resep makanan rebus seperti biasa. Pada intinya, kami sudah lelah mengeluh dan berharap. Kemandirian adalah solusi. Sedang mengeluh hanya akan menambah beban hidup dan mematikan daya juang dan kreasi.
Dalam beberapa hari yang lalu, kegiatanku dipadati dengan kunjungan ke desa-desa dimana aku ditugaskan dalam bekerja. Mengawasi sekaligus mengkoreksi kinerja petugas lapangan menjadi amanah utama yang diberikan kepadaku. Kelihatannya mungkin sangat sederhana dan mudah saja dilakukan. Namun pada kenyataannya tidak semudah itu. Ada berbagai masalah yang kemudian menyisakan beban dalam pikiran. Mulai dari kinerja petugas yang di bawah standar, lambannya proses pendataan, hingga pengisian data yang kerap kali ditemukan kesalahan. Sehingga jika ditemukan masalah tersebut, maka harus aku sendiri yang mengecek lembar-perlembar dari hasil kerja mereka, sekaligus memvalidasi informasi yang mereka masukan.
Selain disibukkan oleh kegiatan pendataan, aku juga kini masih aktif menerima pekerjaan sampinganku sebagai joki tugas kuliah, dan pembuat desain grafis. Alhamdulillah, ada yang mempercayakan aku dalam menangani tugas kuliahnya dan juga memintaku untuk mendesain beberapa gambar untuk pamflate atau posternya.
Jujur, memang terasa sangat lelah. Lelah yang datang bertamu kini tidak hanya menguras tenaga, namun juga pikiran. Bagaimana tidak, setelah projek pendataan ini berakhir maka aku harus kembali segera mencari peraduan dan tempat bernaung. Sedangkan jasa joki dan desain grafis aku akui tidak dapat menjadi tambatan penghasilan. Keduanya hanya bergantung pada faktor kebetulan dan tiada menjanjikan kepastian.
Berangkat dari hal itulah saat ini aku sangat bersyukur atas lelah dan amanah yang Allah masih berikan. Tiada ku ingin mengeluh pada lelahku. Karena aku percaya, bahwa lelah ku sekarang adalah cita-cita mereka yang masih kebingungan. Kegiatan ku yang katanya padat ini adalah harapan bagi mereka yang sedang mencari kesibukan. Aku sungguh bersyukur.
Lantas saat aku melihat banyak sekali keluhan dari berbagai orang yang berteman dengan ku di sosial medianya, aku hanya dapat tersenyum dan berkata lirih dalam hati.
"Sungguh, kau tidak bersyukur".
Tiada pernah aku melihat orang hebat menceritakan keluh kesah di media sosialnya. Kita hanya tau perjuangan mereka dari media yang memberitakannya. Pun jika ada, mereka hanya pencitraan agar nampak benar bekerja.
Karena, coba bayangkan. Apa untungnya bagi mereka mengeluh dan menceritakan kegiatannya di sosial media? Jika memang ingin curhat, mengapa tidak menulis dalam diary yang privat? Atau setidaknya, tempat dimana hanya orang-orang tertentu yang akan menemukannya. Bukan salah, hanya saja bukankah itu perbuatan yang memalukan diri sendiri? Banyak yang lebih dari kita tapi mereka lebih santai dan bersyukur atas keras dunia yang mereka lalui. Jika memang niatnya untuk menarik simpati, maka lakukanlah dengan cara yang baik dan elegan. Menulis karya adalah salah satunya. Ia akan abadi dalam karya dan menjadi mengingat kala kita lupa, serta menjadi penegur saat kita sudah hidup nyaman dan berada.
Semangat untuk kita semua. Terimakasih karena sudah berjuang hingga titik ini. Kita hebat.
...
3 notes · View notes
arghasena · 2 years ago
Text
Ketika semua orang tertidur dan beristirahat aku masih tetap berfikir bagaimana caranya mendapatkan tambahan penghasilan dari video yang aku buat di platform yang semua orang sudah tahu namanya. Penghasilan dari pekerjaan sampinganku bisa berlipat-lipat dari gaji bulanan yang aku dapatkan dari pekerjaanku sebagai pegawai pemerintahan. Platform tersebut tidak lain adalah platform yang sudah dibeli oleh raksasa internet search engine "google" pada sekitar tahun 2006. Tiga orang pemuda di Amerika Serikat yang bernama Steve Chen Hurley, Chad Hurley, dan Jawed Karim bersama-sama membuat platform untuk berbagi video pada tahun 2004. Platform tersebut bernama "youtube", youtube memberikan dampak yang luar biasa kepada orang yang bekerja menjadi konten kreator, termasuk aku, walau bukan konten kreator besar akan tetapi aku berhasil memperoleh penghasilan tambahan selama aku menekuninya sejak akhir tahun 2017, penghasilan pertama yang aku terima adalah pada akhir tahun 2018, ketika itu gaji pertama yang aku dapatkan sekitar 3 juta rupiah. Mungkin aku adalah satu dari sekian juta orang di dunia ini yang diberikan penghasilan tambahan oleh google melalui youtubenya, google di buat oleh dua orang yang bernama Sergey Brin dan Larry Page, konon kabarnya mereka adalah orang berdarah yahudi berkebangsaan Amerika Serikat entah dari garis ayah atau ibunya. Yahudi yang dibenci setengah mati oleh sebagian orang kita, tapi tidak secara langsung kita dimudahkan oleh otak-otak cerdas yahudi. Bisa kita buktikan orang yang suka mencaci yahudi dan benci setengah mati dengan yahudi, apakah bisa dijamin mereka tidak menggunakan alat yang diciptakan oleh orang yang mereka laknat. Dari sistem operasi komputer, android, internet, google, facebook, windows, bom nuklir, vaksin polio, laser, firewall, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan. Disisi lain kita mencaci disisi lain kita menikmati hasil karya mereka.
Jadi kita seharusnya lebih objektif dalam menilai, dan jangan pernah menggeneralisir seluruh kaum dengan perlakuan sebagain kaum tersebut. Sedangkan kita, apa yang sudah kita sumbangkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini? Jangan selalu bernostalgia pada zaman kejayaan peradaban Islam, itu sudah lalu dan itu bukan kita yang andil dalam menciptakan peradaban ilmu pengetahuan tapi mereka para pendahulu kita di masa yang sudah sangat jauh berabad-abad lalu.
***
Sebenarnya tidak ada karya besar yang dapat dibanggakan dari diri ini, akan tetapi aku hanya ingin menuliskan kisah hidupku dalam tulisan yang mungkin kelak akan dibaca oleh anak cucuku dimasa depan dan semoga dapat menginspirasi kehidupan mereka atau bahkan orang lain. Dari perjalanan hidup seorang anak pedesaan yang ingin mengubah nasib dengan berjuang sekuat tenaga untuk tetap bisa bertahan hidup seperti manusia lainnya, dan aku yakin tidak semua manusia mau menuliskan kisah hidupnya.
Dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh tantangan ini aku selalu ingat kata-kata ibuku saat masih hidup dulu, ibu selalu mengatakan,
"Adewe iki ojo nganti gembeleng, ojo pelit, ojo njikok seng udu hakmu, ojo nggawe isin wong tuo, adewe ki wong ra ndue, inget iki yo!!! "
(kita jangan pernah sombong, jangan pelit, jangan mengambil hak orang lain, jangan pernah mempermalukan orang tua, kita ini orang miskin, ingat itu).
Kurang lebih itulah yang sering dikatakan oleh ibu ketika itu, pendidikan moral yang terus diajarkan beliau yang nantinya akan bermanfaat dimasa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Pengalaman hidup yang dilalui tersimpan dalam memori tercurah kembali dalam bentuk narasi yang mungkin tidak semuanya dapat diceritakan, mungkin ada hal-hal negatif atau yang tidak baik yang tidak mungkin aku ceritakan, tapi tentunya lebih banyak hal baik yang aku akan bagikan dalam cerita ini. Manusia tidak akan pernah luput dari kesalahan, jalan lurus tapi kadang kita harus berhenti untuk keluar jalur, mungkin hanya untuk sekedar melepas lelah ditepi jalan, menjauh dari jalan utama agar selamat dari pengguna jalan lainnya. Begitu sudah hilang penat kita bisa kembali lagi mengarungi jalan lurus yang menjadi pakem agar kita selamat sampai tujuannya nanti. Tapi jalan lurus tidak selamanya datar dan halus, banyak juga lubang bermacam-macam bentuknya, ada juga gundukan yang berbahaya jika kita terlalu kencang melaluinya.
***
Saat aku kecil aku pernah membaca sebuah buku yang aku dapatkan di perpustakaan sekolah waktu itu, ini perpustakaan SD bukan perpustakaan universitas yang bukunya terjaga dan lengkap. Buku itu sudah lupa aku apa judulnya, seingatku buku itu tentang bahasa indonesia atau sastra indonesia. Sebagian sudah di makan rayap berlubang-lubang, karena hobi utama adalah membaca maka aku baca buku itu. Ternyata didalamnya ada kisah yang menarik yang sampai saat ini aku masih bingung menyimpulkannya.
Dalam buku itu diceritakan, ada seorang pria dengan gelar akademik Sarjana yang sedang menyebrangi sungai untuk melakukan penelitian atau semacamnya di sebuah desa yang sangat terpencil. Sarjana itu menaiki sebuah perahu yang di nahkodai seorang pria paruh baya, menyebrangi sebuah sungai yang cukup luas dengan arus yang deras dan banyak sekali balok kayu yang bertaburan di sungai tersebut. Sarjana itu sembari duduk menghadap kebelakang berhadapan langsung dengan pria paruh baya yang membawa perahu tersebut. Mereka mulai mengobrol dan tentunya sang Sarjana lebih banyak berbicara karena ilmu yang dia dapatkan, sedang sang bapak perahu itu hanya menjawab seperlunya sembari mengawasi sungai yang siap menenggelamkan mereka jika sampai tertabrak kayu-kayu yang hanyut tersebut.
Dalam sebuah dialog sang sarjana bertanya, "Apakah bapak pernah mendapatkan pendidikan?"
"Tidak sama sekali, saya tidak pernah bersekolah," jawab bapak itu.
"Jika memang bapak tidak pernah mendapatkan pendidikan, maka seperempat hidup bapak sudah hilang." Jawab sang sarjana tersebut.
Bapak pembawa perahu hanya diam sembari mengawasi sungai yang penuh dengan ancaman bahaya itu.
Kemudian sang sarjana bertanya lagi,
"Apakah bapak memiliki falsafah hidup?"
Sang bapak dengan kesal kembali menjawab,
"Pendidikan saja saya tidak memilikinya, apalagi tentang falsafah hidup, tentu saya tidak mengerti dan tidak memilikinya."
Sang sarjana dengan tersenyum sombong kembali mengatakan,
"Jika bapak tidak memiliki falsafah hidup maka separuh dari kehidupan bapak sudah hilang."
Karena dari tadi sang sarjana ngoceh terus dan ternyata ocehannya membuat konsentrasi sang bapak tidak lagi fokus, maka di akhir pembicaraan sang bapak balik bertanya kepada sang sarjana yang berpendidikan itu.
"Anak muda saya juga ingin mengajukan sebuah pertanyaan".
"Silahkan, apa itu?" Jawab sang sarjana.
"Apakah anda bisa berenang?" Tanya sang bapak dengan raut muka tegang.
Sang sarjana pun menjawab,
"Saya tidak bisa berenang."
Maka bapak pembawa perahu itu kembali berkata,
"Jika anda tidak bisa berenang, maka seluruh kehidupan anda akan hilang saat ini, karena perahu kita segera menabrak kayu balok yang melaju dengan kencang, dari tadi anda mengajak saya berbicara sehingga konsentrasi saya terganggu!"
Sang sarjana pun panik dan berteriak histeris,
"Tidak!!!"
Dan akhirnya tenggelamlah perahu tersebut menabrak balok kayu yang melaju dengan deras, nasib sang sarjana selesai di saat itu juga karena dia tidak bisa berenang.
Kisah ini selalu aku ingat sebagai pelajaran, bahwa menghadapi hidup tidak bisa dengan teori-teori saja, akan tetapi harus dengan tindakan. Bahkan kita harus menguasai medan, membekali kemampuan diri untuk menghadapi segala keadaan yang tidak menentu. Jangan pernah sombong dengan orang lain, jangan pernah menganggap remeh orang lain. Lihat nasib sang sarjana, dia cerdas, ilmunya tinggi tapi dia tidak menguasai satu ilmu yang dibutuhkan pada situasi tersebut, yaitu ilmu berenang. Maka semua ilmu yang dia dapatkan selama belajar di universitas tidak ada gunanya untuk menyelamatkan nyawanya. Hikmah yang dapat kita petik adalah, kita harus menguasai ilmu yang tepat untuk diri kita, seperti bapak perahu itu, dia memang tidak berpendidikan tapi dia tahu bahwa melewati sungai harus bisa berenang, untuk mengantisipasi hal yang tidak terduga seperti perahu terbalik dalam cerita tadi. Maka bapak itu mempelajari ilmu yang sangat tepat dengan profesinya. Cerita ini masih aku ingat dengan jelas walau sudah puluhan tahun yang lalu aku dapatkan, dan pastinya bukunya sudah hancur, judul nya saja aku tidak ingat, tapi kisah yang penuh pelajaran itu tetap terekam dalam memori dan dapat aku bagikan dalam tulisanku ini.
***
Sebagai seorang kepala keluarga yang lulus cpns pada tahun 2014 dengan tanggal melaksanakan tugas di SK tertanggal 1 januari 2015 dengan gaji sekitar 1,8 juta yaitu 80% dari gaji total, ternyata membuat otak bekerja keras. Bukan maksud tidak bersyukur dengan rezeki yang sudah Allah berikan, padahal sebelumnya aku adalah pemuda pengangguran yang sudah sekitar 1 tahun menganggur tidak bekerja karena alasan yang nanti akan aku ceritakan.
Pada saat aku remaja atau anak-anak aku berfikir menjadi PNS akan merubah nasib keluargaku yang memang berasal dari keluarga miskin, walau pun tidak miskin-miskin betulan, karena makan kami tidak pernah kesulitan karena di kampung kami menanam padi dan sayuran sendiri. Jika ingin ikan tinggal mancing ke pinggiran hutan yang ada sungai kecilnya, saat itu ikan berlimpah ruah disana, kalau sekarang mungkin sudah sulit mencari ikan, karena hutannya sudah habis dibabat dijadikan perkebunan sawit.
***
Aku melihat dan memperhatikan orang yang menjadi pegawai sepertinya kaya dan enak hidupnya. Masuk dan pulang kerja tidak ketat (ini pemikiranku waktu kecil) dapat gaji dan tunjangan, bisa beli rumah, motor, dan lain sebagainya. Sangat jauh berbeda dengan kehidupanku yang orang tuanya hanya sebagai petani kecil, yang ayahku kadang pergi berburu rusa dan babi hutan untuk menambah pendapatan diluar menjadi petani. Walau dikatakan makan tidak kurang tapi kami pernah mengalami kesulitan beras saat itu sekitar taun 1998 kalau tidak salah, kami sekampung gagal panen besar karena kemarau panjang, sulit air. Akhirnya persediaan padi tidak mencukupi perputaran kebutuhan pokok makan kami. Akhirnya kami mencampur beras dengan jagung, dan menyelingi memakan tiwul dan gatot, makanan yang terbuat dari ubi kayu sampai keadaan kembali normal. Ibuku adalah wanita yang sangat luar biasa, walaupun beliau wanita tapi ketika bekerja tidak kalah dengan pria. Dia membabat semak belukar bahkan hutan untuk membuka lahan persawahan di lokasi yang sedikit jauh dari pemukiman desa. Desa kami adalah salah satu desa transmigrasi jawa yang berlokasi di Kalimantan Barat, ketika itu penghubung ke kota yang dapat dilalui hanyalah menggunakan motor air atau kapal tambang atau speed atau transportasi air selain sampan atau perahu. Perjalanan menggunakan kapal tambang sekitar 4 jaman sampai pelabuhan dan lanjut menggunakan kendaraan darat sampai pusat kota sekitar 1 jam dari pelabuhan. Listrik belum tersedia di desa, hanya di pusat kecamatan itu pun hidup hanya setengah hari.
Aku adalah anak yang tidak kuat fisik dibandingkan anak lainnya di kampungku, walaupun anak petani tapi kulit ini tidak kuat ketika kontak dengan miang padi atau rumput, seketika langsung menjadi gatal2 parah, dalam bahasa saat ini bisa dikatakan alergi. Sakit-sakitan sudah menjadi langganan, asma sering kambuh dan bahkan mungkin sampai parah. Akan tetapi karena orang tua juga pendidikan tidak tinggi, ayah smp tidak selesai dan ibu SD juga tidak selesai, maka pengetahuan tentang kesehatan juga tidak begitu maksimal. Pada suatu ketika ayah dan ibu memberikan obat berupa air seni ayah sebanyak satu gelas, katanya untuk obat dan aku pun meminumnya sampai habis, sungguh sangat lucu tapi miris pengalaman ini. Aku tidak pernah menyalahkan pengobatan tersebut, karena memang minimnya pengetahuan pada waktu itu. Air seni ayahku pun habis aku telan satu gelas besar, ketika itu aku mungkin masih belum bersekolah atau awal-awal masuk Sekolah Dasar.
Ketika aku balita kedua orang tuaku tidak pernah mengajarkan bahasa Indonesia, jadi bahasa yang kami gunkan adalah 100% bahasa Jawa. Hal ini ternyata menjadi penghambat ketika masuk Sekolah Dasar, guru atau wali kelas ternyata menggunakan bahasa Indonesia yang tidak aku mengerti. Sebagai catatan saat itu belum ada Taman Kanak-kanak, dan masuk Sekolah Dasar harus minimal berumur 7 tahun, karena mungkin untuk membatasi anak yang masuk sekolah karena keterbatasan kelas waktu itu. Benar saja, kami di bagi menjadi 2 kelas ketika di kelas satu Sekolah Dasar kelas A masuk pagi kelas B masuk siang. Kembali pada permasalahan bahasa, aku waktu itu sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia, sehingga ketika guru berbicara aku tidak tahu maksud dan tujuannya. Sampailah ketika ulangan datang, aku sama sekali tidak mengisi soal yang dibagikan dan karena aku tidak tahu harus bagaimana aku pun menangis. Alhamdulillah aku ingat dengan guru wali kelasku ketika itu, memberikan kesempatan kepadaku untuk naik tingkat kekelas selanjutnya sampai akhirnya bahasa Indonesia pun aku kuasai.
Anak-anak saat sore hari selalu bermain beramai-ramai, ada yang bermain kelereng, kejar-kejaran, dan melakukan permainan-permainan tradisional lainnya. Tapi berbeda dengan anak-anak lainnya, aku lebih suka membaca komik legendaris karya Tatang S. Jika kalian yang membaca ini seumuran denganku pasti kalian tahu komik yang bercerita tentang hal mistis gaib yang dibintangi oleh Petruk, Gareng dan Bagong. Koleksi komik yang aku miliki cukup banyak, aku tidak pernah membelinya menggunakan uang, tapi menukarkan beberapa botol beling bekas minuman atau kecap atau apalah waktu itu. Pasti kalian ingat dengan mamang-mamang (abang-abang) yang membawa dagangannya berupa mainan anak dan komik tersebut dengan sepeda. Pedagang mainan tersebut tidak hanya menjual mainan, tetapi bersedia menukar rongsokan besi dan botol beling dengan mainan yang menjadi barang bawaannya. Sungguh kenangan yang tidak mungkin dapat dilupakan, pastinya dengan kalian juga yang mengalami kehidupan di pedesaan di waktu dan zaman yang kurang lebih sama.
Cerita mistis dalam komik tersebut ternyata membawa dampak yang luar biasa dalam pengalaman kecilku. Bahkan bukan hanya komik hantu, waktu itu ibuku mempunyai buku-buku mistis yang lain ada primbon, ada juga majalah misteri yang berisi berita dan cerita-cerita yang berbau mistis, klenik, dukun, hantu, paranormal dan lain sebagainya. Dan parahnya karena aku suka membaca, buku-buku itulah yang aku baca sehingga aku sampai ingin menjadi orang sakti, cita-cita yang bisa dibilang cukup tragis.
Sampai pada suatu ketika aku dapat melihat penampakan makhluk yang bisa dikatakan makhluk halus ketika aku masih kecil. Akan aku ceritakan tiga kali penglihatanku tersebut terhadap makhluk halus atau sejenisnya, nanti kalian simpulkan sendiri apakah pengalaman mistisku ini adalah nyata terjadi atau hanya ilusi atau imajinasi dari proses informasi dalam otakku yang sudah terpengaruh dari cerita-cerita yang aku baca tersebut. Tapi beberapa kejadian ada yang aku alami saat aku belum bersekolah, artinya jelas aku belum bisa membaca, boro-boro membaca guru berbicara menggunakan bahasa Indonesia saja aku tidak faham.
***
Kisah yang pertama ini terjadi ketika belum bersekolah mungkin kira-kira saat usiaku dibawah 7 tahunan. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak di zaman belum adanya android atau yang sejenisnya, setiap sore hari bermain dan berkumpul bersama, tentunya setelah perut masing-masing dipenuhi dengan nasi putih hasil tanam mandiri orang tua masing-masing. Sekitar tahun 1995 kami di pedesaan nun jauh dari pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia di Pulau Jawa, jauh dari pertikaian politik ataupun pengaruh dari luar, karena memang media sangat terbatas, di desa yang mempunyai televisi hanya orang yang benar-benar kuat secara ekonomi. Karena listrik harus di hasilkan sendiri dengan mesin diesel, yang pastinya cukup mahal di zamannya, tapi di tempat kami ada yang mampu membelinya karena memang ekonomi keluarga tersebut cukup kuat di kampung kami. Jarak rumahnya sekitar 2 Tersier dari rumahku, satu TR (Tersier) memiliki jarak sekitar 200 meter, jadi jarak keluarga yang mempunyai televisi sekitar 400 meter lebih dari rumahku di kampung. Cerita ini bukan untuk membahas masalah televisi atau pun orang yang memilikinya tapi kembali lagi kepada pengalamanku mendapatkan penglihatan janggal secara logika. Udara sore itu terasa sangat hangat dan kering, akan tetapi matahari hanya terada hangat tidak menyengat, lagi pula di sepanjang jalan banyak terdapat pohon-pohon tinggi yang di tanam oleh orang-orang pada awal-awal transmigrasi di buka. Teduh terasa menahan sinar matahari sore yang mulai tergelincir miring ke arah terbenamnya, kalau boleh diperkirakan mungkin sekitar pukul 14.30 sampai dengan 16.00 WIB. Anak-anak yang umurnya sepantaran denganku berkumpul untuk melakukan tugasnya masing-masing menjadi seorang anak, layaknya tugas anak umur 5 atau 6 tahun adalah berpetualang dengan imajinasinya masing-masing ketika itu. Setelah bermain kejar sana kejar sini, akhirnya kami beramai-ramai pergi ke jembatan penghubung parit antara TR 20 dan TR 21, paritnya hanya selebar sekitar 4 meter, dan dalamnya parit kira-kira sekitar 2,5 meter. Saat mataku terarah ke arah parit yang panjangnya 2 km dari jembatan, tiba-tiba mata ini menangkap penampakan yang bisa di bilang tidak logis bagi kita yang sudah dewasa. Apa yang aku lihat saat itu adalah, ada sesosok wanita berjalan di tebing parit sangat jelas sekali karena mataku masih sangat tajam, mata muda yang blum terkontaminasi oleh hal-hal buruk dari internet, otak yang masih segar dari noda-noda kotor yang sering menghinggapi pikiran orang dewasa, dalam pandanganku dia sangat jelas berjalan dalam posisi tidak wajar yaitu di tebing parit tanpa terjatuh. Ingat film spiderman yang berjalan merayap didinding gedung-gedung tinggi, bedanya yang aku lihat tidak merayap tapi berjalan santai layaknya kita saat berjalan di tempat datar, sedangkan sesosok itu berjalan dalam posisi pijakan kakinya miring hampir 90⁰, dia menggunakan pakaian serba bagus berwarna merah dan terlihat menggunakan banyak perhiasan. Waktu itu posisiku sedang ada di jembatan bersama teman-teman bermain. Aku pun penasaran karena melihat pemandangan yang unik tersebut dan bertanya kepada yang lainnya.
"Cah kae opo yo (teman itu apa ya)?" Tanyaku.
Temanku yang bernama Supri menjawab,
"Iku ki babine mbah Pawiro (itu adalah babinya mbah Pawiro)", jawabnya.
Aku pun hanya mengangguk mengiyakan karena aku nalarnya belum sampai, jadi aku berfikir memang itu babi bentuknya seperti itu.
***
Kisah yang kedua, ketika masa anak-anak aku selalu tidur di ayunan sampai umur 5 atau 6 tahun seingatku, karena ketika malam kejadian adikku sepertinya belum lahir, karena ayah dan ibu saja yang ada dalam kelambu diwaktu malam penampakan. Ketika malam itu aku tidur di ayunan, sedang kedua orang tuaku tidur di kelambu dan kami sama-sama tidur di ruangan tengah. Saat pengalaman tidak biasa tersebut terjadi tidak jelas jam berapa yang jelas hari sudah larut malam karena semua orang sudah tertidur pulas, aku terbangun dan mendengar sesuatu sedang berjalan, terdengar seperti kayu atau tongkat menghantam lantai rumahku yang terbuat dari semen. Suara itu semakin mendekat ke arahku, tok... Tok... Tok...
Benar saja apa yang aku dengar sekarang melihatku melewati celah ayunan yang terbuat dari karung, karena aku sudah bukan bayi lagi maka ayah membuatkan ayunan dari karung agar kuat menahan berat badanku. Aku sangat ketakutan ketika itu, aku terdiam menahan nafas dan pura-pura tidur. Jika aku ingat-ingat makhluk yang mendatangiku waktu itu bukan manusia, tapi berbentuk tongkat kayu seperti gagang atau batang cangkul. Setelah aku terdiam sejenak menahan ketakutan, tongkat tadi pun pergi entah kemana, menghilang dalam remang-remang malam yang diterangi lampu minyak tanah.
Setelah aku merasa keadaan sudah aman aku pun melompat ke kelambu tempat ayah dan ibuku tidur, aku tabrak ibuku dan keduanya pun terbangun. Ibuku bertanya ada apa kenapa aku meloncat dari ayunan, aku pun menjawab dan menceritakan apa yang aku alami tadi. Anehnya ibu hanya tertawa kecil dan menyuruhku tidur lagi. Aku pun tidur bersama orang tuaku di dalam kelambu, dan itu menjadi malam terakhirku tidur di ayunan, aku kapok tidak mau lagi tidur di ayunan karena terauma takut di datangi tongkat itu lagi.
***
Kisah yang ketiga, inilah kisah yang paling menyeramkan dari ketiga kisah penampakan anomali yang pernah aku alami. Sudah menjadi kebiasaan saat masa anak-anak, setiap malam pergi menonton ke rumah tetangga yang sudah diceritakan, keluarga yang lumayan kaya dan terpandang pada masa itu. Televisi satu-satunya, listrik diesel satu-satunya di RT kami kala itu, saat nasib baik maka kami di izinkan masuk untuk menonton dirumah itu, jika nasib jelek maka aku dan teman lainnya akan ditutupkan pintu, sebenarnya bukan pemilik rumah yang mensortir anak-anak yang boleh atau tidak untuk masuk tapi keluarganya yang lainnya, karena mereka adalah keluarga besar, sampai sekarang aku masih ingat yang mengusir itu, sampai tulisan ini dibuat orangnya masih hidup. Orang itu melihat anak-anak yang datang ingin melihat televisi, yang masih ada sangkutan keluarga mereka boleh masuk dan bagi yang tidak, mohon maaf dan mohon ampun dipersilahkan untuk kembali ke tempat masing-masing.
Malam itu nasib bagus aku datang sendirian dan tidak ada teman lainnya, akhirnya aku dipersilahkan masuk karena yang tukang jaga pintu sedang tidak bertugas malam itu. Malam itu aku menonton film horor indonesia yang aku juga lupa judulnya, tapi sekitar produksi tahun 80 atau 90an. Film horor yang cukup mengerikan, ceritanya sudah banyak lupa tapi yang aku ingat ada manusia jadi makhluk menyeramkan dengan lidah panjang menjulur dan bercabang seperti ular, dengan wajah yang tidak berbentuk manusia sempurna. Akhirnya satu jam mungkin lebih berlalu, film pun selesai, dan akhirnya waktunya pulang. Malam itu mungkin sekitar jam 21.00 atau lebih, berbarengan dengan mendung dan angin yang kuat. Sungguh kampungku gelap gulita karena belum ada listrik, tapi waktu kejadian pemerintah sudah mulai memasukkan tiang-tiang listrik walau pun belum di tegakkan. Kegelapan itu di tambah dengan mendung yang tebal, angin bertiup kencang. Jalanan tanah berpasir ternyata sangat membantu penglihatanku, karena jalan di kampung itu berpasir putih jadi saat malam bisa di bedakan mana jalan mana bukan. Dengan mengayuh sepeda aku mulai meluncur pelan-pelan, memang ada rasa takut malam itu karena seperti yang diceritakan tadi, habis lepas nonton film horor. Sesekali kilatan cahaya petir menyambar menerangi jalanan, menembus gelapnya dunia kala itu. Kehebatan anak zaman itu punya penglihatan yang sangat sensitif dan bagus, dalam gelap saja masih bisa melihat walau menebak-nebak, berbeda dengan zaman ini mati lampu sebentar saja sudah tidak bisa melihat di kegelapan, mata kita sudah sangat bergantung dengan cahaya lampu. Jembatan pertama aku dapat lalui tanpa terjatuh karena penglihatan yang terbatas, akhirnya aku pun melewati jembatan kedua, dimana aku melihat penampakan wanita berpakaian bagus dengan perhiasan seperti yang telah diceritakan.
Sampai kira-kira 100 meter dari rumahku, aku melihat dari kejauhan ada sesosok tubuh di pinggir jalan sebelah kiri tepat di depan rumah almarhum mbah Marto, yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Meninggalnya aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dia mati tenggelam di sungai buatan yang jaraknya juga tidak jauh dari posisiku saat ini. Sungai buatan itu ditempat kami disebut dengan kali yaitu sekunder atau sungai buatan, sedangkan paritnya disebut tersier disingkat dengan TR. Kronologi tenggelamnya mbah Marto aku tidak faham karena saat itu aku masih lebih kecil atau mungkin masih balita, saat orang beramai-ramai mencari jenazahnya yang tenggelam aku juga hadir disana bersama kedua orang tuaku. Akhirnya dengan bersusah payah warga menemukan mayatnya, dan aku masih ingat jenazah nya itu di gendong di belakang dengan kaki diatas dan kepala dibawah. Aku melihat mata almarhum melotot, badan dan tangannya berjuntai-juntai, aku lupa siapa orang yang menggendong jenazahnya kala itu. Posisi menggendong seperti itu mungkin bertujuan untuk mengeluarkan air yang masuk kedalam saluran pernafasan dan paru-paru, tapi memang pada saat itu mbah Marto sudah meninggal dunia.
Kembali kedalam perjalanan pulangku yang sudah sampai di depan rumah yang orangnya sudah meninggal karena tenggelam itu. Sesosok tubuh yanga ada di pinggir jalan itu terlihat berjalan juga kearah yang sama dengan ku, dan dari perawakannya aku tahu itu siapa. Itu adalah tetanggaku yang lainnya yang rumahnya lebih jauh lagi dari rumahku skitar 600 meter. Karena aku tahu siapa yanga ada di depanku maka rasa takut yang tadinya tersirat dalam benak, akhirnya hilang karena ada orang yang aku kenal sedang berjalan juga di hadapanku. Beberapa saat pun berlalu dan akhirnya aku berada di posisi sangat dekat dengan sosok tersebut, karena perasaan aku mengenalnya maka aku berniat menegur. Saat badan tersebut sudah sejajar dengan sepedaku yang aku kayuh dengan pelan, aku pun menoleh untuk menegurnya. Tapi ternyata sosok yang aku lihat malam itu bukanlah sosok manusia yang aku kenal, dari penampakan yang dapat aku lihat aku baru melihat wajah manusia yang seperti ini bentuknya. Wajah hancur seperti membusuk, dengan mata yang sudah meleleh dan melotot keluar, dengan gigi-giginya yang sudah tidak terbungkus bibir lagi, terlilit kain di badan sampai kepala yang diikat di atas kepalanya. Bisa di katakan apa yang aku lihat adalah hantu pocong yang sering orang-orang ceritakan.
Jantung ini rasanya mau copot, ketakutan dan sangat histeris aku berteriak dan langsung mengayuh sepedaku sekuat tenaga, terasa makhluk itu mengejar dan membuntuti-ku. Yang aku pikirkan kala itu adalah aku takut diludahi oleh sesosok pocong yang menampakkan wajah busuknya di hadapanku secara langsung, karena dari cerita orang-orang kalau sampai kita diludahi pocong maka tubuh kita akan berbau bangkai, konon katanya baunya bisa sangat menyengat. Sambil berteriak aku pacu kecepatan sepedaku dengan kecepatan semaksimal mungkin. Karena jarak antara tempat kejadian dengan rumah hanya sekitar 100 meter, maka dalam beberapa detik aja aku sudah sampai di rumah. Aku menabrakkan roda depan sepeda ke pintu rumah sambil berteriak meminta ibu membukakan pintu.
"Mak bukake lawang!!! Mak bukakke lawang!!! Enek pocong mak!!! Mak buakake lawang!!!"
("Mak bukakan pintu!!! Mak bukakan pintu!!! Ada pocong!!! Mak bukakan pintu!!!")
Terikaku sambil ketakutan setengah mati.
Dengan santai tanpa tergesa-gesa ibuku pun membukakan pintu, sambil tersenyum dan bertanya.
"Ono opo mbengok-mbengok koyo ngunu?".
("Ada apa teriak-teriak seperti itu?")
Aku ceritakan semuanya dengan ibu apa yang barusan aku alami, tapi tanggapan ibu datar dan biasa saja seperti tidak ada apa-apa. Akhirnya aku pun di suruh-nya untuk segera tidur, dan tentunya sulit untukku tidur dengan tenang dan cepat karena trauma dan ketakutan yang baru aku alami. Entah berapa jam setelah kejadian aku baru bisa tertidur. Keesokan paginya aku bangun dan memikirkan kembali apa yang tadi malam aku alami. Aku penasaran dengan apa yang aku lihat, akhirnya aku memutuskan pagi-pagi itu aku datangi lokasi dimana sang pocong menampakkan wajah imutnya tepat di hadapanku. Sesampainya di tempat kejadian aku sangat kaget, ternyata yang aku lihat tadi malam hanya seonggok karung yang dipasang di atas tongkat kayu untuk memberikan tanda bahwa di bawahnya ada tiang listrik yang siap di tegakkan, mungkin karung itu di taruh disana dengan tujuan agar orang tidak menabrak besi tersebut. Aku pun mulai berfikir mungkin malam tadi aku hanya mengalami ilusi karena gelapnya malam bukan halusinasi, ilusi membutuhkan objek sedangkan halusinasi tidak membutuhkan objek dan halusinasi adalah tanda orang yang sedang mengalami skizofrenia atau gangguan kejiwaan, yang menjadi pertanyaan adalah saat aku melihat sosok tersebut dari jarak sekitar 50 meter rasa takut ku hilang karena aku menyangka itu adalah tetanggaku. Tapi begitu aku menoleh ternyata wajahnya adalah wajah yang mengerikan, wajah itu sangat realistis dan aku masih ingat benar bentuk dan rupa wajahnya.
Sekarang setelah dewasa aku telah menjadi orang yang sangat realistis dan aku mempercayai teori yang pertama, yaitu aku mengalami ilusi terhadap suatu bentuk objek yang tidak jelas karena gelapnya malam. Sampai sekarang aku tidak bisa berdiam di tempat yang gelap tanpa teman jika di ruangan tersebut ada benda-benda di gantung seperti pakaian atau semacamnya, karena ilusi tadi maka benda-benda yang digantung tersebut bisa menjadi bentuk yang mengerikan. Aku juga tidak suka melihat sebuah ruangan kosong yang pintunya di buka, apa lagi dalamnya gelap, aku bisa ketakutan dengan sendirinya. Pengalaman yang satu ini tidak dapat aku lupakan, masih terekam jelas dalam ingatanku dan akhirnya aku tuliskan disini untuk kita jadikan sebagai cerita pengalaman yang aku rasa cukup unik.
***
Pada tahun 2015 tepatnya tanggal 8 November aku menikah dengan seorang wanita yang sudah lama aku kenal sejak sekolah di SMA disalah satu sekolah negeri di Kota Pontianak. Ternyata menikah dengan status gaji CPNS membuat aku lebih berfikir ektra bagaimana caranya mencukupi kebutuhan yang lumayan besar untuk ukuranku sebagai laki-laki yang baru berkeluarga. Awal pernikahan gaji 80% tidak ada masalah dan sangat cukup untuk kami berdua, karena istri juga bekerja sebagai tenaga honorer dengan gaji yang kurang lebih sekitar 1,5jt atau lebih. Prinsip yang aku pegang dan pertahankan dengan keuangan istri adalah, gaji istri adalah mutlak hak istri dan gaji suami adalah hak kami berdua. Akan tetapi istri pengertian ketika sang suami dompet dan rekeningnya sekarat maka istri dengan rela bersedekah membantu.
Kisah awal adalah ketika anak pertama lahir pada tahun 2016 tepatnya pada tanggal 11 Oktober, kebutuhan pun semakin meningkat. Dari pampers dan kebutuhan rumah tangga ada peningkatan yang luar biasa, sebelum anak lahir aku dan istri mulai mencari rumah KPR. Rumah kreditan bagi rakyat yang kurang mampu dengan subsidi dari pemerintah, kami berdua mencari rumah berkeliling di pinggiran kota. Jelas dengan alasan lokasi perumahan di pinggiran kota pasti menawarkan harga yang jauh lebih murah dari pada di pusat kota, walau pun pastinya fasilitas infrastrukturnya pasti lebih minim, sebut saja PDAM dan Internet kabel yang belum tersedia, sedangkan sinyal ponsel saja seperti hidup mati tak mau. Tapi kami memutuskan mengambil dengan persyaratan tertentu yang disediakan di bank pemerintah.
Ketika anak lahir dengan operasi, saat itu juga ternyata ada panggilan dari bank untuk melakukan perjanjian akad pembelian rumah. Semua syarat sudah aku penuhi apalagi sebagai pegawai CPNS biasanya akan lebih mudah kepengurusannya. Akhirnya akad pun dilaksanakan bertepatan dengan lahirnya anak pertama kami. Masalah keuangan pun mulai terasa gaji yang hanya 1,8 juta dengan tunjangan istri jadi skitar 2 jutaan haru di potong untuk membayar tagihan perumahan sekitar 1 juta perbulan, selama 15 tahun tenor yang disetujui pihak bank. Kehidupan memang unik, berapapun gaji yang kita dapatkan pasti cukup. Gaji kecil tetap saja cukup ketika gaji besar malah kurang. Dalam keadaan seperti ini tentu saja kita akan berfikir keras bagaimana caranya menghasilkan uang tambahan untuk menutupi kebutuhan hidup. Akhirnya aku mulai mencoba untuk berjualan dari kampung ke kampung, saat itu aku menjual barang-barang murah seperti lampu tenaga surya dan lain sebagainya. Aku tidak peduli orang mengatakan, rakus atau apalah, sudah menjadi pegawai masih saja berjualan. Mereka tidak tahu apa yang aku alami dengan kondisi keuangan yang belum stabil. Seperti yang sudah aku ceritakan bahwa dulu aku berfikir jadi pegawai bisa kaya hidupnya, ternyata tidak demikian. Ternyata mereka yang menjadi pegawai yang kebetulan aku tahu keluarganya, memang sudah kuat ekonomi dari orang tuanya, sedangkan aku memang berasal dari keluarga yang sedikit kurang beruntung.
BERSAMBUNG SAMPAI BATAS WAKTU YANG TIDAK BISA DITENTUKAN!!
5 notes · View notes
pagidanpetang · 3 years ago
Text
Bersandar
Tumblr media
Semakin aku bertambah usia, semakin orangtuaku menua, kurasakan bahwa kami makin berhati-hati dalam menyampaikan hal-hal yang berkecamuk dalam pikiran, kesulitan-kesulitan, juga menyikapi perbedaan-perbedaan atas pilihan dalam menjalani kehidupan. Ada hal-hal yang kini tak mudah untuk diutarakan. Mungkin karena aku telah memiliki kehidupan sendiri, dengan segala permasalahannya. Mungkin karena kami takut membebani pikiran satu sama lain. Mungkin karena sama-sama tak ingin menimbulkan friksi yang akan merenggangkan hubungan.
Namun aku terkadang dapat menangkap "sesuatu" dari semburat air muka mereka.
"Papa udah seneng kok dapat sekian puluh ribu sehari. Yang penting bisa buat makan," kata Mama. Beliau bercerita tentang uang yang didapat Papa dari hasil mewarnai kerajinan bambu, salah satu usaha keluarga kami, yang mulanya adalah usaha sampinganku, lalu qodarullah justru menjadi wasilah bagi orangtuaku.
Aku memaksakan diri tersenyum, "Alhamdulillah. Yang penting cukup kan?"
"Iya cukup, Alhamdulillah," ujarnya.
Hatiku rasanya sesak. Di usia senjanya, mereka tak memiliki tabungan apa-apa di rekening. Namun, mereka tak pernah tampak susah di depan cucu-cucunya. Tiap anak-anakku datang, atau bahkan ketika mereka berkunjung ke rumah kami, pasti ada uang yang mereka rogoh untuk membeli jajanan untuk cucu-cucu. Dan aku melihat raut bahagia mereka dari kegembiraan anak-anakku tatkala menerimanya.
Mungkin itu yang disebut dengan hati yang kaya.
Aku anak pertama perempuan, yang mungkin telah mengecewakan hati mereka--meski mereka tak berucap apa pun. Aku melepas harapan-harapan mereka. Karir sebagai ASN, gaji dan tunjangan, serta proyeksi hak pensiun di masa depan. Semua telah kulepas menginjak tahun ke-10 ku mengabdi pada negara. Keputusan yang telah bulat dan telah kupikirkan sejak lama.
Meski orang berkata aku telah melakukan perniagaan yang terlampau mahal. Namun bagiku, karir dan dunia yang terbentang di hadapanku, adalah murah, dibanding hidayah yang harus diupayakan agar tetap terjaga dan bertambah. Bukankah Allah berjanji akan memberikan ganti yang lebih baik? Mudah-mudahan Allah mencatat niatku ikhlas semata-mata karena mengharap wajah-Nya.
Aku tahu mama khawatir ketika melihatku tak tampak sibuk mengerjakan pekerjaan paruh-waktu di depan komputer. Sudah beberapa bulan ini, aku memang berhenti menerima pekerjaan lepas. Kusadari, anak-anak butuh perhatian lebih banyak untuk pendidikannya, dan aku baru memulai pendidikan rumah tahun ajaran ini. Aku berharap, Allah akan memberikan kecukupan dengan sebab aku memilih menunaikan prioritas-prioritasku, amanah dari-Nya.
Aku berdoa, semoga Allah memudahkanku untuk dapat berbakti pada keduanya, dalam segala kondisi hidupku. Dan Allah berikan taufik dan ketakwaan pada orangtuaku.
Sebagai orangtua, janganlah terlampau berharap pada anak. Sebagai istri, janganlah terlampau berharap pada suami.
Kita harus terus menerus berbaik sangka akan kemurahan Ar-Rohim. Betapa bodoh manusia , ketika menyangka ketenangan itu datang karena kita dapat bersandar pada suami, pada anak, pada negara, pada perusahaan, pada usaha kita yang mengalirkan profit dengan derasnya. Padahal tidak demikian. Ketenangan yang hakiki adalah hanya karena kita mengingat-Nya, sebagai satu-satunya tempat bersandar.
Aku tak pernah lupa akan sebuah nasihat dari Ustadz "Jangan berharap pada manusia karena engkau akan kecewa. Berharaplah pada Allah, niscaya Engkau tidak akan pernah kecewa."
Menulis sebagai renungan.
4 September 2021
3 notes · View notes
astarindri · 5 years ago
Text
My #StayAtHome Story (2)
Di minggu kelima, aku mulai tergila-gila sama online class lagi. Tapi, tidak setamak minggu-minggu sebelumnya. Kebetulan, komunitasku mengadakan online class yang tentunya aku butuhkan dan berfaedah. Plus, ada prakteknya juga. Wah, aku bisa merasakan langsung kalau materi-materi yang disampaikan tidak semudah yang kita bayangkan ketika materi tersebut dipaparkan.
Di minggu kelima ini juga, aku mendapat tugas sampingan yang cukup menantang dari kantor. Sebenernya sederhana sih, tapi krusial dan ga bisa disepelein juga. Di awal minggu masih ringan. Begitu jalan sampai akhir minggu, tugas ini semakin demanding. Ulala, di sini aku mulai belajar juggling sama kegiatan yg ada.
Di minggu kelima ini juga, aku mendapatkan tugas sampingan dari seseorang yang sangat aku respect. Wah, ini kesempatan belajar yang menurutku tidak akan datang dua kali!! Ya, kali ini aku lagi belajar menjadi content writer. Tentunya, tim yg membersamaiku bukanlah orang yang kaleng-kaleng, tapi memang memiliki pengalaman profesional di bidangnya. Aku memang terpikir untuk memiliki pekerjaan sampingan yang mengasah kemampuan menulisku, dan mungkin ini wadahku untuk belajar mendalami hal tersebut.
Ya. Di minggu kelima ini, aku dituntut untuk juggling sama tugas-tugas yang ada. Hingga fokusku terbelah kemana-mana di satu waktu. Ga bagus sebenarnya, tapi aku senang. Aku merasa lebih hidup (halah wkwk).
Minggu keenam tidak sehectic minggu kelima. Tugas kantor seperti biasa, mengalir begitu saja. Tugas sampingan ini yang menantang. Jujur aku belum sepenuhnya memahami tugas sebagai content writer secara A sampai Z itu seperti apa. Aku ga tau gimana cara mengkomunikasikan konten yang aku mau dengan desainer. Aku masih meraba cara bikin konten yg baik dan benar, yg sifatnya engaging. Semakin didalami, semakin aku merasa kerdil. Caleuy (artinya caleuy apa ya? Bodoh yg lebih halus di bahasa sunda kali ya). Ga berguna. Mendadak rendah diri bgt.
Pikiran-pikiran itu pun bermunculan di kepala.
“kamu yakin ambil job itu Ndri? Ga salah?”
“hahaha sombong banget dirimu. Ngerti engga, punya background disitu juga engga. Main ambil aja.”
“jangan-jangan kamu malah jadi duri di tim kamu. Numpang eksis.”
“katanya mau belajar, Ndri. Kok hasilnya malah hasil kamu dirombak?”
Dan masih banyak lagi. Maklum, overthinker.
Sampai akhirnya, aku menemukan caption-nya Jouska yg ini. Wow, nyess rasanya.
Tumblr media
Sepertinya aku lupa, bahwa setiap orang pasti mengalami yang namanya pertama kali. Kuliah di hari pertama. Sidang kelulusan pertama kali. Interview pertama kali. Kerja di hari pertama. Menjadi posisi “head”, yang punya tanggung jawab membawahi tim, pertama kali. Begitu juga dengan tugas sampinganku ini. Ya, pertama kalinya aku menjalani profesi ini. Pertama kalinya aku menulis secara professional, yang tujuannya jelas. Ada ukurannya. Terlebih, ini butuh tingkat kreativitas yang lebih tinggi lagi. Kreativitas selalu menjadi tantangan tersendiri untukku dalam bekerja.
Well, aku ingin berterima kasih kepada diriku sendiri karena sudah meng-iya-kan tawaran itu. Sudah mau belajar. Sudah mencoba untuk go extra miles. Good job, girl J
Selamat Ndri, kamu sudah memberanikan diri untuk mencoba hal baru. Selamat, karena kamu telah mengalahkan rasa ragu dan takutmu sendiri. Tidak apa-apa kalau kamu belum berhasil di percobaan pertamamu. Tidak apa-apa kalau kamu belum mengerti. Yang penting langkahmu tidak terhenti sampai di sini.
1 note · View note
chindis · 3 years ago
Text
Bunda Cekatan Batch 3
Kelas Ulat-Ulat
Jurnal Pekan Ketujuh
Refleksi Belajar
Tepi Danau Cermin
------------------------------------------------
Tumblr media
Sudah enam pekan berada di tahap ulat-ulat. Mulai dari mencari makanan utama dari teman-teman ulat lainnya, lalu masuk ke gua the jungle of knowledge yang mana kita mencari makanan melalui suara berupa podcast.
Kemudian mencari makanan lagi bersama-sama dengan keluarga baru yang mempunyai kesamaan dan kemiripan makanan. Tak lupa kita pun saling sharing dan berdiskusi tentang peta belajar masing-masing. Beranjak ke pekan berikutnya, setelah banyak melahap makanan dan cemilan, maka saatnya mengumpulkan dalam satu keranjang apel, mana saja yang termasuk makanan besarku.
Setelah berbagi bersama keluarga, kita pun duduk bersama di camping ground dan berkenalan dengan tetangga baru, teman ulat baru yang berbeda regional, regu dan keluarga. Kita saling berkenalan dan mencari tahu apa yang menjadi apel favoritnya dan alasannya.
Sudah saling mengenal, maka di pekan berikutnya, kami saling berbagi makanan yang disukai teman ulat, walaupun kita sendiri tak menyukainya. Saling memberi hadiah tentunya menyenangkan, apalagi jika teman ulat yang diberikan pun menerima. Aku sendiri senang sekali diberi hadiah oleh para teman ulat.
Enam pekan penuh kejutan, maka di pekan ketujuh ini, sambil duduk di tepi Danau Cermin, kami pun diminta untuk merefleksikan apa yang telah kami pelajari selama ini. Kami membongkar kembali ransel dan peta belajar untuk melihat apa saja yang sudah kita dapatkan, apakah sesuai dan menunjang kebutuhan belajar kita, atau mungkin masih ada yang perlu kita tambah untuk mencapai tujuan yang telah kita buat pada peta belajar.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Selama enam pekan ini, makanan utama yang kudapatkan di hutan kupu cekatan ada beberapa yang sesuai dengan peta belajarku, yaitu:
Menulis blog: SEO dan copy writing, oleh Amelia Pantouw
Menulis Artikel ala Jurnalis, oleh Riris Novi
Anger Management, oleh Mega Anindyawati
Podcast Komunikasi Produktif, oleh Dyah A. Kusumastuti
Podcast Tiga Ide Sumber Menulis, oleh Ani Christina
Podcast Asyiknya Menulis Cerita Anak, oleh Merlin Nursmila
How to Become a Script Writer, oleh Nuri Hasnani
Menemukan Ide dan Mengenal Writer's Block, oleh Dewi Sri
Tips Self Editing, oleh Indria Erni
Yuk, Kenalan sama SEO, oleh Talitha Rahma
Asyik Menulis Cerita Anak, Ratnasari Hadiningrum
Jiwaku Tenang, Keluarga Senang, oleh Nike Riztiani
Menulis untuk Menyehatkan Jiwa, oleh Surayya H.
Hajatan: Tips Sukses Menulis Buku Solo, oleh Wafi Azkia
Tips Menemukan Ide Buku Cerita Anak, hadiah Wafi Azkia
How to Deal with Writer's Block, hadiah Ani Christina
Upgrade Skill Komunikasi dengan Anak, hadiah Fevi Rizqa
Beraksi dengan Karya Fiksi, hadiah Halida Umi Balkis
Selain dari Hutan Kupu Cekatan, ada makanan yang selama enam pekan ini aku lahap sebagai makanan utamaku, yaitu:
- Belajar Menulis Blog dengan Kerangka Tulisan, Workshop KLIP, oleh Risna, Lendy, Shanty Dewi Arifin
- Rahasia Konsisten Menulis, Podcast, Dahlan Iskan
- Mengenal Free Writing, Kelas Persiapan KLIP, Shanty Dewi Arifin
- Tips dan Trik Menulis Buku, Sharing Session, Hessa Kartika
- Mengatasi Writer's Block, KBM Belajar dari Bintang, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia
- PUEBI, Kenapa Mesti?, Kelas Persiapan KLIP, Satwika
- Anger Management for Mom, Webinar IIKBM, Diah Mahmudah
- Kiat Menulis Novel Menjadi Film, IG Nulisyuk, Dwitasari
- Postingan dan Sharing dari IG Nulisyuk
- Postingan dan Sharing dari IG Guepedia
Tak hanya makanan utama dari Hutan Kupu Cekatan dan yang kuperoleh dari luar Hutan Kupu Cekatan saja yang kumasukkan dalam keranjang apelku selama enam pekan ini.
Walaupun tak banyak karena khawatir tidak fokus, ada beberapa cemilan dari Hutan Kupu Cekatan yang menjadi asupan nutrisi sampinganku, yang menurutku menarik untuk menjadi pendukung dalam peta belajarku untuk menjadi ibu pembelajar yang bahagia dan berdaya, yaitu:
- Bermain Suara Menguatkan Makna Saat Read Aloud, oleh Viensa Andjani
- Canva Jalan Ninjaku, oleh Megantari Pradina
- Self Image to Build Self Confidence, oleh Puput Maulani Mariam, hadiah Eka Raditia
- Ragu Mengajari Anak Bahasa Inggris? Mudah kok Caranya, oleh Ailyxandria Hadiwangkoro
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Saatnya merefleksikan belajarku selama ini sebagai cara atau bekal untuk meningkatkan kemampuan diri menjadi lebih baik dari sebelumnya.
1. Apakah makanan yang kudapatkan sudah sesuai dengan kebutuhan makanan yang ada di petaku?
🍎Alhamdulillah selama enam pekan berada di tahap ulat Hutan Kupu Cekatan ini aku mendapatkan makanan-makanan yang kubutuhkan dan ada di dalam peta belajarku.
Masih banyak ilmu dan pengetahuan lainnya yang ingin aku pelajari secara bertahap sesuai dengan kebutuhan.
Mulai dari makanan utama yang kudapatkan, lalu sedikit cemilan menarik serta makanan yang kudapatkan dari luar Hutan Kupu Cekatan, cukup memenuhi makananku, sambil aku tetap belajar untuk menggali lebih dalam lagi ilmu-ilmu yang kuperlukan dan sesuai dengan peta belajar yang kususun berdasarkan prioritas kebutuhan.
2. Mana yang lebih banyak kudapatkan selama berkelana di hutan pengetahuan, makanan utama atau cemilan? Mengapa?
🍎Selama aku berkelana di Hutan Kupu Cekatan ini, kebetulan makanan utamaku cukup banyak juga kuperoleh. Ada yang dari makanan teman-teman yang dibagikan untuk dicicipi dan diambil sebagai makanan kita juga.
Sementara itu, aku tak begitu banyak cemilan, hanya beberapa yang menarik hatiku, karena menurutku aku juga perlu ilmu tersebut, sebagai supporting peta belajarku.
3. Apa yang membuatku bahagia belajar di hutan pengetahuan? Mengapa?
🍎Alhamdulillah sejauh ini kegiatan belajar di hutan pengetahuan cukup membuatku bahagia, bisa saling berbagi bersama-sama teman-teman ulat baru, mendapatkan ilmu-ilmu dan pengetahuan tambahan.
Di hutan pengetahuan ini aku mendapatkan banyak ilmu-ilmu baru yang mungkin sebelumnya tak banyak kuketahui. Tentu saja mendapat teman baru yang berbeda regional, regu dan keluarga merupakan pengalaman yang seru dimana aku bisa berkenalan dengan teman ulat baru dan berdiskusi tentang peta belajar.
4. Apa strategi belajar yang kurasakan berhasil selama di hutan pengetahuan?
🍎Untuk strategi belajar pada saat di Hutan Kupu Cekatan yang kulakukan tidaklah susah. Aku hanya mengatur waktu kapan aku harus mencari makanan yang kubutuhkan sesuai peta belajar.
Aku memilah dan memilih tema atau ilmu yang memang aku ingin pelajari, menyimaknya dan tak lupa mencatat hal-hal penting sebagai bahan dan bekalku untuk meningkatkan diri lagi menjadi lebih baik.
5. Apa yang harus kutingkatkan lagi?
🍎Masih banyak ilmu dan pengetahuan yang harus aku cari dan pelajari lagi lebih dalam, sesuai dengan peta belajar yang telah kususun sejak awal, melalui orang yang lebih berpengalaman dan memiliki ilmu lebih baik.
Ilmu kepenulisan, ilmu mengelola emosi dan ilmu komunikasi produktif yang menjadi fokus pada peta belajarku ini, tetap masih membutuhkan banyak ilmu pembelajaran yang bisa menguatkanku, serta menjadi bekalku untuk menjadi ibu yang selalu bahagia dan tetap berdaya.
Semoga di pekan-pekan berikutnya, refleksi belajar ini bisa menjadi bekal tambahan bersama dengan peta belajar yang kumiliki.
#institutibuprofesional
#bundacekatanbatch3
#hutankupucekatan
#tahapulat
#jurnalpekanketujuh
#refleksibelajar
#tepidanaucernin
#KLIP22
#Maretke9
0 notes
jasacetakkemasansamarinda · 3 years ago
Text
Tumblr media
WA +62 812 2966 9370 TERMURAH Kemasan Alumunium Foil
Mau kemasanmu di buat menarik seperti ini ??? Butuh Kemasan Standing Pouch ??? Kami @zinergypack satu satunya yang bisa cetak mulai 100an (paper foil).. Keuntungan menggunakan kemasan @zinergypack :
Follow @jasaadminmedsos.id
Follow @zinergydesign
0. Cetak mulai 100
1. Kemasan lebih cantik full desain
2. Menghemat tenaga tidak perlu memotong stiker dan tempel tempel lagi, jadi bisa fokus jualan terus.
3. Biaya lebih MURAH
4. Meningkatkan nilai jual
5. Kemasan Padat & Kuat
6. Kartu Garansi
7. GRATIS DESAIN*
8. Kartu Member
9. Bottom Kuat
Segera ganti sekarang juga kemasan Anda.
Kami @zinergypack siap bersinergi untuk UMKM naik kelas.
Tidak hanya kemasan Produk @zinergyindonesia
Juga ada PAPER FOIL, BOX, SABLON CUP, UNDANGAN, SOUVENIR, BERBAGAI MACAM KEMASAN
Masih belum punya desain??? Tidak perlu khawatir, kami DESAINkan GRATIS !
Konsultasi kemasan & Harga :
+62 812 2966 9370
#macamusahasampingan #carausahasampingan #carikerjasampingan #sampinganku #bisnissampinganonline #kerjasambilbelajar #usahasampinganmakanan #kerjaanaksekolah #bisnissampinganonline #usahasampingandirumah #danasampingan #pendapatansampingan #kerjateruss #kerjaparttime #kerjajangannyerah #kerjaberseragam #kerjasampaisukses #sampinganmahasiswa #usahasampinganmakanan #inspirasimakanan #makananenak #inspirasi #inspirasipelajar #inspirasifoto #inspirasiusaha #usahaanakjakarta #usahaanaksurabaya #percetakansurabaya #kerjasampinganmenghasilkan #kerjasampinganpelajar
1 note · View note
itsanaphalisjavanica · 3 years ago
Text
Hidupku Emang Lucu
Setahun yang lalu (atau lebih, aku lupa) aku menyembunyikan segala postingannya di Instagram, termasuk ig story. Berharap hidupku lebih tenang, lebih tepatnya berharap si hati ini adem-ayem sambil menunggu Ia bisa hijrah dengan sendirinya. Kemudian beberapa bulan yang lalu (atau lebih, aku lupa lagi) aku mulai berhenti menyembunyikan postingannya di Instagram. Alasannya karena aku punya dua akun dan umumnya aku berdiam di akun sampinganku. Sedikit banyak aku mulai mengurangi interaksi dengan orang-orang di akun utama, termasuk dengannya.
Aku pikir, setelah semua terjadi begitu saja, tak apa-apa kalau tiba-tiba aku melihat postingannya. Aku pikir aku akan mengabaikan setiap postingannya. Aku pikir aku sudah tidak peduli dia pergi dengan siapa, foto dengan siapa, saling bertukar komentar dengan siapa. Yaaaa... bulan silih berganti kupikir sudah cukup untuk menenangkan diri ini. Keyakinanku bahwa dia sudah menjadi sosok yang biasa saja ternyata... salah. Salah. S A L A H.
Baru saja beberapa lagu yang lalu, saat sibuk melihat satu-satu ig story mutualku di Instagram dan kemudian ketika gilirannya, aku terdiam. Kutekan layar agar story-nya tidak berpindah. Video pendek, Ia dan beberapa orang. Ia dan senyumannya. Senyumannya... ha ha ha. Sudahlah.
Sebagai orang yang hanya lewat cepat dihidupnya, rasanya memendam rasa padanya memiliki peluang yang sangat kecil, nyaris mendekati nol. Namun, Tuhan rasanya sedang mengajakku bercanda. Ia istimewa. Ia berbeda. Lewat cepat hanya omong kosong. Ia bertahan begitu lama. Mengendap disana, mungkin sedang tidur nyenyak. Mungkin terbangun lagi ketika tiba-tiba ku iseng menemuinya di Instagram (read: berhenti menyembunyikan postingannya). 
Tuhan, hidupku lucu sekali untuk masalah ini. Besok atau nanti atau entah kapan yang jelas semoga secepatnya, aku harap kelucuan ini mulai menguap. Di masa itu, kamu, postinganmu, dan apapun yang menyangkut tentangmu, seperti kuanggap angin lalu. 
0 notes
syncedforjune · 3 years ago
Text
Nikola: pertemuan pertama, dua piring dan beberapa kertas.
“Bacaanmu bukan main, Dek. Jarang-jarang rasanya ada anak sependek kamu datang kesini untuk beli buku-bukunya mereka.” Entah pujian atau penghinaan bentuk tubuh secara tidak langsung yang aku dengar ketika aku sudah selesai membayar buku-buku bekas dari toko buku langgananku. Itu hanya beberapa buku-bukunya Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, dan juga Wiji Thukul saja.
“Eh, ini bukan buat saya, Mang. Ini buku pesanan kakak saya, hehe,” jawabku agak sungkan karena itu memang bukan untuk bacaanku. Sejujurnya, aku masih terlalu sibuk dengan buku paket pelajaranku, ya walaupun, hasrat ingin membaca semua buku-buku tebal milik kakak keduaku—Sadewa selalu menggebu-gebu di setiap waktu.
Sadewa memang si penggila buku. Walau kegemarannya tak jauh sama seperti aku dan juga kakak pertamaku, tetapi, Sadewa masih tetap yang paling gila.
”Gue ini penerjemah, jadi gue perlu banyak buku bacaan untuk nambahin kosa kata yang gue tau,” kata Sadewa dengan alibinya sebagai penerjemah di pusat penerbitan terkenal yang ada di kota Bandung. Padahal, dia hanya ingin melengkapi kembali koleksi bukunya yang hilang akibat kecerobohannya sendiri.
Err… omong-omong soal ceroboh, tentunya sifat ceroboh itu menurun kepadaku. Aku juga sering kali ceroboh, terlebih ketika aku melakukan kecerobohan, aku suka sekali panik tidak karuan. 
Itu bocah SMA emang masih labilan… maklumin aja, Yah. Susah emang kalau lagi masa puber gitu, kesukaannya kalau gak suka sama cewek ya kerjaannya open war di mana-mana. Sindir kakak pertamaku yang bernama panjang Manggala Rahagi Julius, aku biasa memanggilnya Gala, Mas Gala. Dia selalu menyindirku ketika aku tak sengaja melakukan satu kesalahan atau tengah menggerutu tidak jelas karena kesalahanku sendiri di depan ayahku yang biasanya sedang menyeruput secangkir kopi di ruang makan.
“Makasih ya, Mang. Saya permisi dulu,” pamitku ketika si pemilik toko hanya menjawab jawabanku yang tadi dengan kata 'oh' saja.
Aku berjalan sedikit pincang sembari menenteng tujuh buah buku tebal yang sudah diikat dengan sehelai simpul tali rafia. Dengkul kaki kiriku sedang luka akibat terjatuh didorong oleh si bodoh yang selalu menggangguku di sekolah lusa lalu.
Aku terpaksa memakai celana pendek selutut di tengah udara yang cukup dingin ini karena lukaku masih basah. Aku tidak mau mengerang kesakitan hanya karena luka itu menempel dengan kain celana panjang kalau semisalnya aku pakai.
Soal si bodoh yang aku sebutkan, dia adalah murid kelas IPA yang selalu mengganggu kedamaianku di sekolah. Ditemani dengan antek-antek berbadan sok layaknya preman pasar Senin, mereka selalu menindasku karena aku terlihat seperti kutu buku yang gampang sekali untuk ditindas.
Huh, semoga mereka selalu berak paku di setiap harinya, amin! Sumpah serapah itu selalu aku katakan di dalam hati karena kejengkelanku kepada mereka. Aku bisa saja melawan, tetapi aku enggan membuang-buang tenaga dan waktuku karena aku harus bersekolah sembari mencuri-curi waktu ketika ada jam kosong atau bahkan saat jam istirahat untuk mengerjakan pekerjaan sampinganku, kerjaan sampinganku berkaitan dengan kepenulisan.
Menjadi seorang content writer sudah menjadi makanan keseharianku di umur genap delapan belas tahun ini. Tidak ada cara lain untuk bocah seusiaku mencari pundi-pundi rejeki tanpa harus mematahkan tulang-tulang yang ada selain dengan cara menggunakan otakku untuk bekerja lebih keras lagi.
Rumit, satu hal yang hanya bisa aku katakan ketika ada yang bertanya, kok bisa sih lo ambil job yang biasanya diisi sama orang-orang dewasa? Lo kan masih SMA? Ya… intinya semua itu terjadi karena kelebihanku, relasi serta kebaikan Sadewa, dan juga rasa optimis yang berada di dalam diriku demi membantu perekonomian keluarga di tengah berakhirnya masa kejayaan ayah beberapa tahun yang lalu.
Ayah punya rematik kaki, saat ini berjalan saja sudah menjadi rintangan tersulit baginya. Jadi, ayah memutuskan untuk berhenti bekerja menjadi wartawan utama di perusahaanya dan kini, ayah lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sembari mencoba untuk kembali membuat usaha kecil-kecilan—hanya pangsit basah dan juga bakmi untuk pesanan yang selalu ada saja dari tetangga-tetangga kami. Atau bahkan dari orang asing yang melewati rumah karena spanduk bakmi kecil yang terpasang di depan pagar.
Haa… ayahku memang serba bisa dan tidak pantang menyerah, rindu rasanya melihat dirinya bersama mendiang ibu membuat bakmi lezat sedunia untuk merayakan ulang tahun si sulung Gala.
“Mas!”
“Mas awas nubruk tiang!”
“Hah?”
Dugh!
“Aduh!”
Kampret, ternyata aku sedari tadi berjalan sambil melamun, untung saja aku hanya menabrak tiang lampu jalan dan bukannya tiba-tiba menyebrang tanpa adanya kesadaran, fyuh.
“Mas, nggak apa-apa?” tanya seorang gadis berambut nanggung yang barusan mewanti-wantiku.
Aku menoleh ke arahnya lalu sedikit tertegun, astaga, manis sekali wajahnya. Aku belum pernah melihat wajah gadis semanis itu sebelumnya. Terakhir ya… wajah dari mendiang ibuku saja yang tak pernah terkalahkan oleh siapapun.
“Mas?”
“Eh, iya. Gak apa-apa. Makasih, Bu.”
Aduh! Dia bukan ibu-ibu, Nikola. Kulit masih kencang dan bersih begitu malah dipanggil 'Bu', gimana sih kamu?
Akupun kembali tersadar kalau aku sudah sampai di tempat tujuanku yang selanjutnya—sebelum aku kembali pulang ke rumahku yang ada tak jauh dari sekolahku—SMA Negeri 20 Bandung. Benar, spanduk rumah makan Bu Murni sudah menyapaku serta gadis tadi yang bergegas pergi dan memasuki rumah makan tersebut diikuti denganku di belakangnya.
Ayah, ayah pasti belum makan sore. Aku sengaja menyisihkan uang gaji bulananku untuk membelikannya makanan lezat sesekali. Ayah pasti bosan jika harus memakan bakmi, atau bahkan oseng-oseng sayur dengan nasi hangat yang sering dibuat Gala untuk kami semua.
“Weits! Ada Mas Nikola, mau pesen apa nih?” sapaan ramah itu selalu aku dapatkan setiap kali aku berkunjung kesana. Dulu… aku, Gala, Sadewa, ibu, dan juga ayah sering kali mampir makan di rumah makan Bu Murni. Pelayanan ramahnya tidak pernah pudar sampai keluargaku sudah jarang sekali datang karena beberapa alasan.
“Hm… nasi bebeknya aja dua porsi, Mang. Tapi saya mau dibungkus satu sama makan di sini satu.” Aku mulai memesan pesananku. Diambilnya nasi panas mengepul ke atas piring kaca. Gadis yang mewanti-wantiku tadi terlihat sedang duduk di kursi meja tengah rumah makan itu sembari melihat sekeliling—interior rumah makan tersebut sangat sederhana dan nyaman untuk dipandang, tak lupa foto band rock kesukaan si pemilik—The Beatles ikut menghiasi dinding tua yang ada.
Aku menaruh buku bawaanku di atas meja panjang tak jauh dari tempat gadis itu duduk. Rasanya mubazir jika aku tidak menempati tempat yang masih kosong.
Percakapan tampak hening, hanya ada suara lalu lalang mobil dan motor di luar sana. Sore hari di jalan Kiara Condong kota Bandung hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya, sejuk dan juga merindu.
Pesanan pun datang, ternyata gadis itu memesan pesanan yang sama denganku—nasi bebek plus sambal bawang yang tidak pernah ada duanya.
Tanpa berlama-lama, aku mencuci tanganku dengan air kobokan yang sudah disediakan lalu berdo'a dan kemudian, mulai menyantap makananku karena aku tidak bisa berlama-lama di sana. Aku sibuk. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan diselesaikan si ribut ini.
Andai saja aku bisa relaks sejenak. Relaksasi sangat dibutuhkan sebagai pengganti pasokan oksigen yang masuk ke dalam tubuhku, sungguh.
“Enak juga ya ternyata,” ucap gadis itu, sepertinya dia ingin mengajak lelaki pemalu ini mengobrol sejenak karena tidak ada pengunjung lain selain diriku di dekatnya.
“... iya, nasi bebeknya Bu Murni emang nggak pernah mengecewakan.”
“Kamu asli orang sini?” tanyanya tiba-tiba, aku pun spontan mengangguk walaupun sebenarnya, aku ada darah campuran Jawa Timur tepatnya dari kota kelahiran ibuku, Malang. Betul, ibuku asli Malang sedangkan ayahku asli Bandung. Ada cerita menarik dibalik pertemuan mereka. Jadi, tolong di wajarkan kalau aku selalu memakai bahasa yang cenderung campur-campur. Kadang pakai bahasa Jawa, kadang pakai bahasa Sunda campur bahasa gaul, kadang juga pakai bahasa Inggris untuk sekedar mengasah kepandaian diri.
“Kalau kamu? Asli orang sini juga?” tanya balikku yang sok asik ini.
“Bukan, aku baru pindah dari Jakarta. Kebetulan, aku nemu rumah makan ini jadinya aku coba mampir sebentar deh.”
Oh, dia orang ibu kota. Pantas saja gerak-geriknya seperti orang yang kebingungan, ternyata dia orang baru di sini.
Aku ber'oh' ria lalu melanjutkan makanku, tulang-tulang bebek itu aku gerogoti sampai dagingnya tidak tersisa. Kami sama sekali belum bertukar nama. Oh ayolah, siapa juga yang ingin berkenalan dengan orang asing yang baru saja bertemu di sebuah rumah makan jadul.
“Itu semua… buku-buku punyamu? Itu buku-bukunya Tan Malaka, Wiji Thukul, sama Pramoedya kan?”
Wow, aku terkejut ketika dia tahu buku apa yang sedang aku letakkan di atas meja. Gadis itu sedikit membuatku tertarik untuk sekedar bertukar nama saja sekarang.
“Iya, lebih tepatnya punya kakakku,” jawabku.
“Wah, keren. Aku juga punya buku-buku itu di rumah.”
“Oh ya? Kamu juga baca buku-buku mereka?” Aku mulai mencari topik pembicaraan, ah… seharusnya aku tidak melakukan itu.
“Nggak semua, buku-buku mereka terlalu rumit buat dipahami.”
Aku tertawa kecil. Perkataannya memang benar. Sebenarnya, aku juga sudah membaca beberapa dari buku mereka dan aku memilih untuk berhenti sejenak, kepalaku bisa pusing kalau harus membaca buku-buku itu dan juga buku-buku pelajaranku secara bersamaan.
Makanan kami pun akhirnya habis, tangan kanan sudah kembali bersih dan raga sudah siap untuk kembali pulang ke rumah.
Aku duduk sebentar untuk menurunkan makanan yang ada di perutku, begitu juga dengan gadis itu. Terlihat ia seperti sedang sibuk memeriksa kertas-kertas yang dirinya bawa sejak awal kami bertemu.
“Apa ada yang bisa aku bantu?” Aku menawarkan diri karena kasihan, sepertinya dia terkena serangan stress ketika berhadapan dengan kertas-kertas itu.
“Aku nggak yakin kamu bakal ngerti,” sahutnya.
“Emangnya apa? Itu kertas apa?”
Ah! Iso meneng ora seh, Nik?! Kepo banget jadi orang!
“Semua kertas ini isinya tulisan-tulisanku doang, sih… ada beberapa bait-bait puisi sama syair yang aku tulis juga. Aku cuma lagi gak pede soalnya, semua kertas-kertas ini bakal dinilai sama ibuku sendiri,” jawabnya.
“Oh, aku ngerti kok kalau soal karya tulis. Kamu mau minta komentar dariku gak? Ya… itung-itung biar kepedean diri kamu bisa meningkat lagi, mungkin.”
Aku tidak lanjut bertanya apakah ibunya seorang penulis atau bukan, tapi, aku langsung menawarkan diri lagi. Gadis itu pun mengangguk pasrah lalu memberikan semua kertas-kertas itu untuk aku baca dan juga beri komentar.
“Wah… cantiknya…,” gumamku yang sepertinya terdengar olehnya.
“Gimana? Jelek ya...?”
“Eh, engga! Ini udah bagus. Cuma mungkin, kamu bisa nambahin satu atau dua diksi lagi dibagian sini,” jawabku mendekatkan diri kepadanya sembari menunjuk bagian yang menurutku kurang greget setelah membaca semua tulisan-tulisannya.
“Oalahhh, oke. Nanti aku perbaiki, ada lagi?”
“Udah cukup, yang lainnya udah bagus kok. Kamu gak perlu insecure lagi sama tulisan kamu sendiri.”
“Hehe, makasih ya….” Dia menjeda ucapan makasihnya seolah-olah menungguku untuk mengucapkan namaku.
Huh, akhirnya sesi berkenalan juga.
“Nikola, panggil aja Niko.”
“Oh, oke, Niko. Aku Mikha, panggil aja Mikha, jangan panggil aku 'Bu' soalnya aku masih SMA. Senang bisa berkenalan, makasih juga udah mau bantu koreksi tulisanku, hehe.”
Aku hanya bisa manggut-manggut. Mikha, namanya lucu. Aku jadi penasaran apa nama kepanjangannya. 
Drrt drrt.
Kampret! Tiba-tiba saja Sadewa menelponku, berarti sudah waktunya aku harus cepat-cepat pulang. Dengan kaki yang masih terpincang-pincang aku membayar pesananku lalu pamit kepada Mikha. Pertemuan itu hanya sebentar tanpa banyak kalimat dan diakhiri oleh senyumannya yang sedikit membekas di dalam ingatanku.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Aku harap aku bisa bertemu lagi dengannya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Mereka yang lahir sebagai teman untuk sibungsu, Manggala Rahagi Julius dan Pasifik Sadewa Julius.
Tumblr media
72 notes · View notes
kikakikaku · 5 months ago
Text
Seperti kejar tayang, dia berlari mengejar waktu yang begitu terbatas sebelum aku balik nanti.
Sepasang sepatu dia belikan, pikiranku langsung tak karu karuan. Aku senang tapi aku juga merasa berat menerimanya. Dia selalu bilang dia tahu berhitung, dia tidak mungkin mengeluarkan uang jika memang tidak ada. Tapi aku tahu dia harus membiayai berapa rumah tangga. Solo, banjar sudah cukup banyak yang harus dia biayai, kalau ditambah dengan harus mengeluarkan banyak biaya lagi dengan kehadiran satu kepala lagi aku menjadi merasa berat.
Aku tahu dia masih membiayai yang di banjar, sekarang ditambah lagi aku. Aku sangat menghargai dan sangat senang, tapi aku juga tidak ingin dia babak belur. Kalau disituasi ini aku yang harus mengalah dan mengerti, biarlah aku yang mengalah.
Dia punya tanggung jawab yang harus dia nafkahi, sementara aku dengan penghasilanku yang tidak bisa dibilang besar setidaknya cukup, karena aku tidak memiliki tanggung jawab menafkahi. Aku memang punya orang tua dan adik- adik yang setiap bulan harus aku berikan uang, tapi setidaknya aku tidak punya tanggungan anak. Dengan pekerjaan sampinganku setidaknya itu cukup membantu ketika aku menginginkan sesuatu.
0 notes
nukeau · 5 years ago
Text
Tumblr media
Riuh ramai ramai-ramai
Setahun sudah sejak awal perjuanganku dimulai di tanah itu
Riuh ramai ramai-ramai
Beberapa detik setelah tes selesai, ibu, bapak, opung, mamak, uda, mak, mama, papa, mbak, kakak, mas, mbak, sesiapapun yang mengamati dengan seksama fluktuasi nilai dari tes itu ada yang riang pun muram. Ibuku riang, tapi teman sekolah rendahku muram.
Riuh ramai ramai-ramai
Malam gerhana kala itu senyap. Aku dan ibu memilih pergi ke masjid untuk melaksanakan ibadah sunnah.
Sesampainya kembali ke rumah, aku tertegun, dan kusampaikan itu semua pada ibu dan mbahku.
Riuh ramai ramai-ramai
Aku bisa melihat air mata yang menggenang bahagia dalam keriuhan malam itu, sungguh bahagia rasanya melihat mereka bahagia.
Riuh ramai ramai-ramai
Perjuanganku di tanah bernama Bintaro dimulai, jujur itu kali pertama aku dan ibuku menapaki bagian barat pulau jawa. Kagum, tertegun, pun udik sudah menjadi penghias hari-hari pertamaku.
Riuh ramai ramai-ramai
Ada yang butuh dikenalkan, segala dinamika kehidupan disana yang dituangkan dalam suatu kegiatan bernama Dinamika. Aku masih ingat betapa riuh dinamika dalam Dinamika setahun yang lalu. Segala properti, penugasan, pelatihan, perintah, petuah hingga sanksi masih membekas riuh ramai sampai hari ini, dan memang walaupun lelah, sakit, marah, pun air mata, itu adalah proses perkenalan yang paling berkesan selama ini.
Riuh ramai ramai-ramai
Perjuangan yang sebenarbya dimulai, awalnya kami diam, senyap, hingga akhirnya riuh, ramai. Satu semester penuh suka duka bahkan tragedi yang tak mampu nalar membayangkannya.
Kawan, mungkin tahun kemarin bukan hal yang baik, maafkanku yang tak mampu meriuhkan senyapmu. Kuharap tahun ini segala kebaikan datang ramai-ramai dariNya untukmu.
Riuh ramai ramai-ramai
Setelah hasil dari perjuangan satu semester itu tampil ramai-ramai barulah kami melihat beberapa duka dalam senyap diantara ramai riuhnya kegembiraan. Ada teman juga kakak yang belum diberi kesempatanNya melanjutkan perjuangan atau menunda perjuangan.
Riuh ramai ramai-ramai
Pisah! Terdengar jahat tapi itulah yabg kami dapat dengan teman-teman kami untuk diisi dengan teman baru kami, bukan diganti tak ada yabg bisa diganti.
Riuh ramai ramai-ramai
Perjuangan semakin riuh dengan kontribusi-kontribusi yang kuusahakan demi almamater, dan Allah meridhoiNya. Walau ada beberapa hal yang harus dipertaruhkan. Angka katanya, tapi bagiku itu bukan efek samping kontribusi sampinganku selain kuliah, tapi buah kelalaian seorang manusia biasa.
Riuh ramai ramai-ramai
Kami diberi kesempatan satu bulan mencicipi kehidupan "orang dewasa" untuk mendewasakan kami. Dan benar saja, di umurku yang berkepala dua aku masih merasa seperti anak sekolah rendah saja, entah mungkin belum dewasa, dan aku berusaha mendewasakan diri. Dalam keriuhan itu aku menemukan banyak orang baik yang membantuku menjadi orang yang lebih baik.
Riuh ramai ramai-ramai
Pengumuman angka yang diberi nama IPK hingga suatu kata LULUS, mewarnai keriuhan dalam ramainya dinamika kehidupan seorang anak manusia. Sebuah pengukuhan kelukusan di tempat yang sama saat pengukuhan mahasiswa mengajak ingatan melanglang dalam momen-momen selama perjuangan setahun itu, walau hasilnya tak sempurna, tapi aku berterimakasih kepadaNya yang memberi kesempatan dan kekuatan pada diri untuk mampu berjuang dan bertahan dalam medan juang selama setahun itu.
Riuh ramai ramai-ramai
Indah sekaligus pilu rasanya di suatu perayaan MOMENTUM yang mungkin menjadi akhir pertemuan kami sebelum nanti berpencar dalam medan juang sendiri-sendiri, terimakasih dan semoga sukses!
Semoga Allah selalu menempatkan kita dalam keriuh-ramaian kebaikan di bumi ini ramai-ramai.
0 notes
catatanbumi · 2 years ago
Text
Pontianak, 24 September 2022
Menurutku setiap orang ingin selalu untuk terus produktif. Terlepas cara yang dilakukan seperti apa, "bertumbuh" merupakan misi yang kerap diperjuangkan oleh segenap manusia yang mendambakan kemajuan.
Ini adalah keresahan yang lahir dari kebiasaanku dalam mencoba produktif. Produktif dalam hematku berarti melakukan sesuatu yang berdampak positif, baik dalam hal pengetahuan seperti belajar hal baru, maupun mengembangkannya, mengerjakan tugas yang merupakan kerjaan sampinganku, maupun hingga merenung di tengah keramaian sembari mengambil makna dari setiap fenomena yang hinggap dan berlalu dalam cerita hidupku.
Baiklah, akan ku buka tulisan ini dengan kalimat pembuka kesukaanku.
Jadi gini...
Kebiasaanku dalam mengerjakan tugas yang cenderung harus ditemani oleh segelas kopi dan sinyal wifi mengantarkanku pada jajaran warung kopi yang menawarkan keduanya. Berpegang pada prinsip "murah" dan "banyak", membuat aku tak begitu peduli dengan asap rokok yang seringkali memadati setiap pojok warung kopi, lengkap dengan kebisingan yang ada di dalamnya. Bersama senjata andalanku, yakni laptop, hp, cas, dan, headset aku betah berlama-lama larut dalam tugas maupun hiburan yang kerap kali mendominasi tugas yang sejatinya lebih penting.
Namun setelah mengenal coffee shop, sebut saja Lokale, dan CW Coffee, warung kopi yang biasa menjadi markas dalam melabuhkan berbagai pekerjaan kini tersingkir. Bukan karena gaya-gayaan. Bahkan aku hanya memberi produk kopi termurah yang mereka jajakan, tidak lebih. Yang membuat aku jatuh cinta pada coffee shop ialah suasana dan lingkungannya. Oleh karenanya, lokasi yang aku pilih juga harus sesuai dengan kriteria yang aku terapkan. Tidak begitu mahal dan menawarkan lokasi yang nyaman untuk bergiat bersama laptop adalah standar utama bagiku dalam menentukan coffee shop mana yang sesuai dengan isi dompetku. Menurutku sekeren apapun konsep yang ditawarkan, atau seenak apapun kopi dan makanan yang dijajakan, namun tidak menyediakan ruang nyaman untuk sekedar membuka laptop, maka itu sama saja dengan sebuah pemborosan. Karena uang yang kita keluarkan sama, maka kita akan mencari fasilitas sebanyak mungkin agar yang dikeluarkan dapat sesuai dengan apa yang kita dapat. Iya, hal yang ingin kudapatkan adalah lingkungan dan suasana yang mendukung produktivitasku.
Setelah seringkali bergeriliya dari cafe ke cafe demi menumbuhkan semangat produktivitas, diriku kini agak sulit fokus untuk bekerja di rumah. Entah mengapa, seolah semangat itu buyar, dan di rumah maunya hanya rebahan saja atau sekedar mengerjakan pekerjaan rumah semata. Alhasil pekerjaan akan lama selesai jika dikerjakan di rumah sehingga memaksa diriku untuk kembali ke ruang kerja ternyamanku, cafe.
Aku tau bahwa ini adalah kebiasaan yang buruk dan harus aku kondisikan. Selain tidak baik bagi kesehatan karena meminum gula yang beraroma kopi, kebiasaan ini juga sangat tidak baik bagi dompetku. Sudah banyak aku mendengar edukasi finansial yang bercerita bahwa kebiasaan membeli kopi secara rutin sama saja seperti membolongi perahu yang kita naiki sendiri. Alih-alih sampai ke tujuan, kita malah tenggelam dipertengahan jalan.
Namun kini aku ada cara baru dalam mensiasati kebiasaan kurang baikku ini. Aku terapkan peraturan yang membolehkan aku ke cafe hanya jika aku mendapat tugas dari pekerjaan yang aku lakukan. Nilai dari tugas itu juga harus lebih dari 80% dari secangkir kopi yang aku pesan. Misalnya aku ada projek yang angkanya Rp. 200.000, maka dengan perhitungan harga kopi yang biasa kubeli ialah Rp. 15.000, dan ditambah parkir Rp. 2.000 yang berarti totalnya ialah Rp. 17.000, maka aku boleh ke cafe karena tidak melebihi 20% dari nilai tugas yang aku kerjakan.
Saat ini aku sedang berusaha untuk konsisten dan menahan diri untuk sesuatu yang tidak perlu. Harapku sederhana, semoga kelak aku bisa menciptakan ruang kerja pribadi dengan suasana cafe agar tidak perlu lagi uang mengalir ke kantong mereka hanya demi memuaskan hasrat produktivitasku.
...
0 notes