#ruangdisudutpikiranku
Explore tagged Tumblr posts
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (13)
사람 ≠ 사랑 (People ≠ Love)
Seharusnya, aku bahas RDSP 12.5 perihal kelanjutan Amygdala. Tetapi karena merasa belum cukup ilmu untuk ditulis, aku lanjut publish isi pikiranku yang lain.
Sudah sejak 7 atau 8 tahun yang lalu, aku merasa bahwa orang-orang dan kasih sayang sangat bertolak belakang. Bukan berarti tidak ada satupun manusia yang saling berbagi kasih sayang, tetapi ya... langka saja yang benar-benar tulus.
Waktu aku lagi di masa Anak Usia Dini, suatu hari aku pernah bermain sepeda bersama anak-anak sebayaku di lingkungan rumah, suatu hari lainnya aku hanya memandang dari balik pintu pagar memperhatikan mereka semua merayakan hari ulang tahun salah satu teman sebayaku tanpa mengundangku.
Aku berdiri dengan kepala yang begitu berisik menuntut sebuah jawaban dari pertanyaan dengan kata awal 'kenapa' atau 'mengapa'. Dan aku tidak pernah menyuarakan kebisingan itu pada siapapun hingga detik ini.
Aku juga pernah mendengar sebuah kalimat: "Kita bersahabat ya! Aku, kamu, si A, dan si B. Selamanya!" Di suatu hari yang cerah di sekolah.
Tetapi di hari lain di tempat yang sama, jelas aku mendengar kalimat: "Tidak usah bicara sama Chaca, tidak usah ditemani. Biarin dia sendirian. Anaknya aneh."
Kala itu, sebuah belati yang tak nampak wujudnya menyayat beberapa kali pada hatiku, meninggalkan luka imajiner yang sampai saat ini masih berbekas jelas pada memoriku.
Atau ketika SMP? Ketika aku berhasil membagi mungkin sedikit dari kepercayaanku atas kalimat: "Cerita saja dengan kami kalau ada apa-apa.", mulut yang sama justru mematahkan kepercayaan itu sendiri.
Selanjutnya yang terjadi? Gak kok, gak berat. Cuma difitnah dan disindir-sindir aja setiap hari tanpa ada satupun yang mau konfirmasi kebenarannya. Hari-hari di sekolah bagaikan neraka, tapi tidak semenyiksa dan sepanas neraka pada akhir kehidupan dunia 'kan?
Kalimat: "Aku menerimamu apa adanya" kini terasa seperti alunan gombalan sampah yang tak lagi membuat hatiku menghangat. Karena nyatanya, tak ada yang mampu melakukan itu selain diriku sendiri.
"Gak usah sok berprestasi, sok pinter."
"Kapan presentasi jelekmu selesai? Ngantuk, tahu."
"Sok cantik, padahal lo jelek banget."
It's okay, ada beberapa hal yang gak bisa aku kendaliin. Salah satunya mulut gak bermoral orang-orang yang kudengar saat aku kelas 10 SMA.
Semua hal itu terangkum dan seolah tersimpan dalam lembaran kertas yang terkubur jauh di dalam ruang memori kepalaku.
Dan sebenarnya ya aku baik-baik saja sekilas mata memandang. Aku masih hidup, sehat, tetap berusaha berprestasi dan proses mencintai seluruh kekurangan diri.
Tetapi aku pada akhirnya sadar bahwa manusia tidak pantas disandingkan selalu dengan rasa cinta. Manusia tidak penuh cinta seperti yang aku suka dengar pada lagu anak-anak di masa lalu.
Manusia tidak selalu saling menyayangi, manusia justru terlampau sering saling menyakiti tanpa senjata fisik.
•••
Kenapa judulnya 사람 ≠ 사랑 ???
사람 (saram) : dalam bahasa korea berarti manusia/orang.
사랑 (sarang): dalam bahasa korea berarti cinta.
Tulisannya sekilas terlihat seperti sama, tetapi jelas cara mengucapkannya berbeda. Begitu pula manusia dan kasih sayang yang sering disandingkan bersama.
"Manusia adalah makhluk penuh kasih sayang."
Bohong. Mungkin yang berkata seperti itu lupa akan sifat alamiah manusia, yaitu: berubah seiring waktu berjalan.
Yang menyayangi, akan menjadi paling membenci
Yang mencintai, akan menjadi paling asing.
Yang berkata menerima apa adanya, akan menjadi yang paling enggan.
Begitulah manusia berubah digerogoti waktu.
Berkali-kali, tidak hanya satu atau dua kali. Ditinggal, atau mungkin meninggalkan. Manusia selalu berputar pada lingkaran semacam itu.
Seperti lirik lagu BTS Suga alias AgustD berjudul People:
Everyone would live on
Everyone would love
Everyone would fade away
People change — like I have
Living a life in the world, there’s nothing that lasts forever,
Everything is just a happening that passes by.
Manusia, siapapun akan mencintai, akan menyayangi, akan hadir dan berada di sisi. Sebelum akhirnya memudar dan hilang. Manusia berubah, dan gak menutup kemungkinan bahwa aku juga berubah.
Mereka berubah, aku berubah.
Kita hidup di dunia yang tidak ada satupun hal yang abadi. Semua terjadi begitu saja, berlalu dan pergi. Seolah tidak pernah terjadi apapun.
Orang-orang di sekitarku berubah, dan dipandangan mereka aku pun berubah; pandanganku berubah, bahwa manusia dan cinta tidak selalu jadi paket yang sempurna. Tidak.
-gds_monoton
15 notes
·
View notes
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (21)
- Seribu Tahun Berlalu pun, Ayah Tidak Akan Pernah Kulupa -
Dahulu aku sering merajutkan kalimat tentang bagaimana aku menyayangi Ibuku, tapi aku sangat jarang menulis perihal bagaimana aku menyayangi Ayahku.
Kali ini, aku akan menuliskannya. Sedikit saja, meskipun dipertengahan mungkin aku akan menangis karena tembok bernama 'gengsi' di antara kami berdua begitu tinggi dan kokoh.
Terlampau sering melihat dari sudut pandang diriku yang marah, aku hanya mengingat bagaimana Ibu terlalu hebat agar terus bisa berdampingan dengan Ayah. Aku kecil yang selalu dibuat takut dengan Ayah, membuatku begitu marah dan tumbuh hanya dengan peduli pada sudut pandangku yang melihat ia begitu buruk (terlebih dalam perkataan dan emosinya)
Beranjak dewasa; ketika aku mulai mencoba berdamai dengan segala runyam, aku kembali menilik masa kecilku dengan Ayah.
Ayah pemilik kendi kata yang sangat sedikit, senyumnya begitu langka, dan yang paling sering membuat aku mendumal adalah: ia tidak pernah tahu cara mengapresiasi keluarganya.
Sejujurnya, aku banyak menelan rasa sakit dari perlakuan atau perkataan Ayah, tetapi mungkin jika dipikir ulang; tak sebanding atau setidaknya sama dengan apa yang dulu Ayah rasakan.
Biar hari ini akan kusembuhkan satu persatu dengan 10 alasan kenapa seribu tahun berlalu pun, Ayah tidak akan pernah kulupa:
1. Ayah adalah satu-satunya yang rela bermain denganku sepulang ia kerja atau di hari libur. Menawari diriku untuk bermain pahlawan kecil berkuda, ia menaruhku di atas punggungnya dan kami akan bermain peran.
2. Ayah tidak pernah sekalipun absen dalam mengabadikan masa kecilku. Pertama kali aku dapat berjalan, saat aku makan, saat aku mendapatkan mobil mainan pertamaku, bahkan saat aku menangis karena kami sekeluarga batal pergi melihat danau sebab teman kerja ayah datang ke rumah. Ia bahkan menuliskan keterangan manis di setiap foto-foto yang ia ambil tentangku.
3. Walaupun kalimat Ayah terlalu kasar ketika bertengkar dengan Ibuku, dan ia terlalu menyakiti saat mengkritik diriku, tetapi dia adalah orang pertama yang berkata bahwa ia merindukanku saat aku menginap beberapa waktu di rumah nenek seorang diri.
"Ayah lihat foto kecil kamu di lemari, eh masa ayah kangen."
Itu terjadi saat aku masih usia sekolah dasar, tentunya.
Lalu hubungan kami semakin mengering, jarang terhujani dialog meski sederhana hingga akhirnya aku dewasa.
4. Ia yang tidak pernah berkata: "Ayah sayang kamu", tetapi selalu berusaha menyalurkan kasih sayangnya dengan menjemput diriku yang berkuliah di Ibu Kota, satu jam empat puluh menit dari tempat aku tinggal.
5. Ayah adalah orang pertama yang menulis di akun pribadinya bahwa ia merindukanku (lagi),di hari pertama aku masuk boarding school.
6. Ayah tidak perna memahami bagaimana cara mengatakan: "Hebat, terima kasih kakak sudah berusaha", tetapi ia selalu mencoba mendukung apapun yang merupakan hobiku dengan memfasilitasinya, membelikan apapun yang ia bisa dan ia tahu berkaitan dengan hobiku.
7. Kerap kali aku menangkap ia bertengkar dengan Ibu, tapi aku juga begitu memahami bahwa sebenarnya ia sangat menyayangi Ibuku. Ayah membawa kami pergi makan malam di luar setiap Ibu berulang tahun dan mencoba memberikan hadiah pada Ibu, meskipun sangat sederhana.
8. Ayah adalah Ayah. Ia tidak pernah tampil bagai malaikat hanya untuk menyenangkan kami. Ia tampil apa adanya, sesuai apa yang memang menjadi karakternya yang terbentuk dari masa kecilnya. Dan aku mulai sangat menghargai hal itu.
9. Karena Ayahku adalah Ayah.
10. Karena Ayahku adalah Ayah.
Mungkin beberapa hal lain membuat aku kesal, marah, dan sedikit trauma. Akan tetapi, beberapa hal lainnya membuat aku bersyukur memiliki Ayah seperti Ayah.
Aku sadar, ayah sudah berusaha semampu yang ayah bisa. Tidak ada sekolah untuk belajar menjadi Ayah, sementara Ayah memiliki masa kecil yang cukup berat.
Jadi, seribu tahun berlalu pun, aku akan selalu bersyukur menjadi anak Ayah (akan lebih berusaha bersyukur dibanding tahun-tahun sebelumnya)
Seribu tahun berlalu pun, ayah tak akan pernah kulupa.
-gdsmonoton.
3 notes
·
View notes
Text
Ruang di Sudut Pikiran (12)
Halo? Lama tidak mampir ke RDSP dan menuliskan perasaanku, mungkin karena itu kepalaku jadi lebih berisik akhir-akhir ini.
Aku kembali dengan bahasan sesuatu yang berkaitan dengan salah satu track album D-Day (Trilogi AgustD), yaitu: AMYGDALA.
Um, aku cuma mau bercerita experience mendengarkan lagu AMYGDALA dan menyampaikan apa yang aku tangkap dari salah satu masterpiece dari seorang Min Yoongi ini.
Lagu ini mungkin jadi salah satu comfort song bagi banyak ARMY, kemungkinan juga menjadi salah satu lagu yang mungkin dihindari karena memancing semua hal kurang mengenakan dari masa lalu.
Aku pribadi menjadikan lagu AMYGDALA sebagai comfort song yang bisa membuat aku merasa kalau aku gak sendirian mengalami hal sulit di muka bumi.
Sulit sekali mendapatkan teman bercerita ketika usia kita semakin dewasa. Seakan kesepian akan menjadi teman setia di usia 20 tahun ke atas. Banyak hal baik dan buruk yang aku lewati di masa lalu, tetapi memori buruk bersemayam lebih lekat dibandingkan memori-memori baik.
Amigdala merupakan salah satu bagian dari sistem limbik yang berbentuk seperti kacang almond, yang berada di sebelah hippocampus dan memiliki fungsi utama mengatur respons emosional, seperti perasaan bahagia, takut, marah, dan cemas. Selain itu, Amigdala juga berperan mengaitkan emosional dengan ingatan—menentukan seberapa kuat ingatan itu untuk disimpan. [Pusat Jurnal Ilmiah UMA, (Sistem Limbik yang Berperan Penting dalam Fungsi Otak), https://pji.uma.ac.id/index.php/2021/12/16/sistem-limbik-yang-berperan-penting-dalam-fungsi-otak/, (diakses: 29 Mei 2023 pukul 23:10 WIB)]
Dalam lagunya, Yoongi (Aka SUGA BTS, aka AGUSTD) menceritakan berbagai rentetan memori buruknya di masa lalu. Bagaimana ia merasakan cemas dan ketakukan, lalu mencoba melawannya hingga ia bisa bertahan sampai saat ini.
Musik menyampaikan pesan tersirat, dan aku menangkap bahwa Yoongi ingin orang-orang yang mendengarkan AMYGDALA menyadari bahwa mereka tidak sendirian di dunia ini, bahwa mereka hebat karena dapat bertahan sejauh ini dari segala rasa sakit pada masa lalu.
Aku biasa mendengarkan lagu AMYGDALA ketika di malam hari aku merasa kesulitan untuk tertidur. Waktu tersebut cukup pas untuk aku memulai sesi berbincang dengan diriku sendiri, meluapkan segala perasaan sedih dan ketakutan yang tak pernah bisa aku ungkapkan pada siapapun.
Sambil melakukan butterfly hug, terkadang aku tidak sadar kalau aku sudah menangis tanpa suara hanya beberapa detik dari setelah aku mendengarkan lagu AMYGDALA.
Aku terlalu tidak percaya pada orang-orang yang kutemui, setiap hari ada kekhawatiran mengenai apakah aku bisa percaya dengan orang ini? Ataukah tidak? Dan lagu AMYGDALA seolah hadir menjadi teman berbincangku bersama diriku sendiri di malam hari.
Aku bisa melakukan pengeratan hubungan dengan diriku sendiri, memahami 'anak kecil' dalam diriku yang mungkin masih belum menerima segala luka masa lalu, juga bersyukur—sebab aku bertahan, sebab aku mampu mengendalikan segala ketakutanku dan berdiri kokoh hingga saat ini.
Kadang aku berpikir, apakah aku bisa menghilangkan segala rasa sakit hatiku? Segala memori buruk yang tertanam di otakku, apakah aku bisa menghapusnya? Tetapi, akhirnya aku mencoba memahami bahwa satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah mencoba untuk berdamai dengan masa lalu.
Memang sulit sekali, buktinya aku masih sering menangis jika mengingatnya. Masih sering menyalahi beberapa keadaan yang tidak bisa diubah, dan menjadi khawatir tak berujung. Tetapi, kita juga tidak bisa selamanya tenggelam di dalamnya.
Ada banyak hal yang dapat menjadi alasan mengapa kita harus bertahan lebih lama lagi. Di mulai dari hal sekecil ingin menikmati berbagai macam jajanan kaki lima, ingin berkeliling tempat wisata, melukis, melihat matahari terbit dan terbenam, dll.
Seberat apapun memori buruk masa kecil menghantui, sesakit apapun luka masa kecil yang tertoreh, kita harus tetap memiliki welas asih pada diri kita sendiri, menghargai hadirnya diri sendiri, dan menyadari bahwa kehidupan kita sangat berarti.
Hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi di masa lalu, hal-hal yang berada di luar kendali kita, tidak pernah kita minta dan diharapkan terjadi. Tetapi pilihan terbaik adalah bertahan.
Karena suatu saat kita akan menemukan rasa haru, sebab kita tidak memilih untuk menyudahi kehidupan, sebelum waktunya selesai.
-gds_monoton.
2 notes
·
View notes
Text
Ruang di Sudut Pikiran (23)
-Menghindari Mati yang Sekian-
Aku pernah mendengar seseorang berkata, ketika kita berkali-kali mengatakan ingin menyudahi kehidupan itu bukan berarti kita benar-benar ingin mengakhirinya. Katanya kita hanya terlalu lelah, lalu tidak tahu harus melakukan apa untuk sekadar meredakan lelahnya.
Aku tidak menyangkalnya, karena memang benar. Berkali-kali aku berteriak ingin mati, nyatanya aku sangat ingin mempertahankan hidup yang tidak selalu baik ini.
Hidup tidak selalu baik, memang. Tidak hanya aku, setiap manusia memiliki lukanya masing-masing, mereka diberikan ujian pada level mereka masing-masing, aku sangat memahami itu.
Sejak lama aku ingin mati, bahkan aku tidak pernah bisa lagi menghitung berapa kali kepalaku menyusun rencana untuk itu. Akan tetapi, rencana hanyalah rencana.
Aku sudah berkali-kali menghindari kematian yang kepalaku susun sendiri. Terakhir kali adalah baru-baru ini. Entah kenapa, aku yang sudah mulai terbiasa untuk tidak terbelenggu dengan keinginan orang lain, kini kembali merasa terbekap.
Aku merasa kurang sanggup, sebab baru saja aku memulai untuk menerima kekurangan dan kelebihan diriku tiga tahun yang lalu. Aku mulai memantapkan diri untuk menyadari bahwa manusia tidak ada yang sempurna, dengan begitu aku tidak perlu takut untuk menjadi diriku sendiri.
Dalam proses menerima diri sendiri, aku pernah mendengar bahwa kita akan terus dihadapkan pada hal-hal yang mungkin akan membuat kita kembali terjatuh. Dan aku tidak pernah membayangkan bahwa akan seberat ini.
Aku meneriakkan pada diriku sendiri bahwa aku ingin sekali mati, semua terasa begitu lelah sampai aku tidak dapat melakukan apapun lagi untuk menjelaskannya.
Tetapi, aku hanya diam. Berbicara pada diriku sendiri, bahwa mungkin ada banyak hal yang sangat indah, yang tidak mungkin bisa aku lihat jika aku memilih mati.
Aku memeluk tubuhku, mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Aku tetap bisa menjadi diriku sendiri, tetap bisa berproses menikmati kekurangan dan kelebihan diriku.
Sesakit apapun itu, bagaimana orang lain menilaiku, memandangku, dan bertingkah laku padaku adalah di luar kendaliku. Aku hanya perlu mendengarkan, memilah lagi mana yang memang baik untukku, dan membuang yang menyakitkan.
Aku selalu mencoba untuk seperti itu.
Seperti kata Namjoon, tidak ada yang bisa menolong diri kita selain diri kita sendiri, tidak ada yang kita miliki selain diri kita sendiri, dan hidup merupakan sebuah proses yang sangat layak untuk dijalani.
Mungkin akan sedikit lama, mungkin aku akan tiba di saat yang seperti ini lagi; berada dalam titik terendah dan merasa ingin menghilang. Akan tetapi, selama aku masih bisa mengendalikan diri, aku akan selalu bisa menghindari kematian-kematian yang ke sekian. []
-gds_monoton.
1 note
·
View note
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (22)
• Yang Tertumpuk dan Semakin Menyesakkan •
"Aku mau jadi putri cantik di kerajaan, pakai gaun yang mengembang, aku mau disayang dan dipeluk hangat."
Aku pernah menulis kalimat di atas, saat kelas 2 SD di atas kertas harvest yang aku sudah lupa seperti apa detailnya.
Sewaktu kecil, aku membayangkan dunia sama seperti dongeng peri yang aku baca di buku cerita anak-anak. Sayangnya, aku kecil memang belum memahami makna dari dongeng.
Aku berpikir jika kehidupanku akan begitu indah. Meskipun aku bukan terlahir di kerajaan manapun, meskipun aku tidak memiliki gaun mengembang yang mewah dan menawan.
Aku selalu berpikir lahir sebagai anak pertama adalah yang paling indah. Guruku di SD berkata kalau anak pertama adalah sosok yang sangat dinantikan kedua orang tua; hadiah yang akan sangat disyukuri dan membuat bahagia orang tua.
Aku selalu berpikir, dengan menjadi anak pertama—yang bisa menghabiskan beberapa tahun pertamaku hidup dengan bermain puas dengan Ayah dan Mama—adalah hal paling membahagiakan dan aku akan terus diikuti kebahagiaan lainnya.
Setelah aku memahami untuk menjadi putri kerajaan terlampau mustahil, aku memimpikan mempunyai adik-adik yang cantik dan tampan, lalu menjadi sosok yang mereka banggakan, yang selalu mereka bicarakan pada teman-teman mereka, dan yang selalu mereka peluk sayang.
Maka dari itu, aku selalu bertekad menjadi kakak yang baik dan membanggakan. Aku ingin jadi anak yang cerdas, lalu dapat mengajarkan mereka banyak hal. Aku ingin mengetahui banyak hal, lalu bercerita dan berbincang setiap hari dengan mereka; dekat dan membangun kenangan baik yang melekat pada mereka.
Tapi, ternyata tidak semudah itu.
Keinginanku yang terlalu naif di masa kecil; hidup tidak pernah semudah dan seindah itu.
20 tahunan aku hidup, aku selalu berusaha menekan rasa sedih dan kecewaku; memaklumi apa yang memang adik-adikku lakukan padaku, karena aku sangat-sangat tahu bahwa mereka tidak pernah membenciku dengan serius.
Akan tetapi, sesuatu yang terlampau sering tertumpuk seolah membuat dadaku tertekan dan sesak menguasai.
Dalam keadaan semacam itu aku menjadi sosok yang paling tidak bisa berpikir sejernih air.
"Kenapa aku yang selalu memaklumi?"
"Aku yang salah lagi??"
"Apa ini sepenuhnya kesalahanku?"
"Kenapa mereka tidak pernah sesekali memahami dari sudut pandangku?"
Aku yang terlalu ingin jadi kebanggaan adik-adik, sering sekali merasa bersalah. Aku tidak pernah mempermasalahkan berapa banyak aku meminta maaf agar aku dan mereka kembali baik-baik saja.
Tetapi, pada kondisi seperti itu, aku merasakan ketidakadilan. Berujung membenci diri ini, "Kenapa harus aku sih yang lahir jadi anak pertama? Capek, perasaan aku gak digubris. Salah terus."
Aku tidak meminta banyak hal, bukan pula mengungkit kebaikan yang telah atau yang akan selalu kuberikan pada mereka.
Aku hanya ingin mereka mendengarkan sudut pandangku, menghargaiku selayaknya manusia. Tidak perlu membatasi aku adalah kakak, dan mereka adik. Hanya, tolong lihat aku sebagai manusia yang juga punya perasaan. Sama seperti mereka.
Dengan kesadaran penuh, aku memahami bahwa untuk menjadi kakak, aku masih penuh dengan rumpang. Aku minta maaf, dik. Ternyata menjadi kakak sempurna seperti yang aku inginkan dulu tidak semudah itu.
Tapi aku juga manusia, aku punya perasaan meskipun lebih sering kutekan dan kuabaikan.
Maaf, terkadang aku berpikir dan menerka apa yang mereka rasakan saat memiliki kakak seperti diriku?
Senang? Bangga?
Tapi aku rasa tidak.
Aku lebih sering mengecewakan, mungkin itu adalah alasan kenapa aku sering kali menelan kecewaku sendirian akan mereka.
Maaf, karena kalian punya kakak seperti aku.
Maaf, tapi kali ini benar-benar sudah terlalu tertumpuk. Aku berusaha melampiaskannya dalam tulisan ini agar kalian tidak perlu mendengar amarahku.
Maaf ya, kakak kalian harus aku. Besok; nanti ketika Tuhan mungkin memberikan kesempatan kedua untuk hidup, aku akan berusaha menjadi kakak yang lebih baik lagi.
Atau... kalian justru berdoa pada Tuhan dan enggan memiliki aku sebagai kakak kalian lagi?
-gdsmonoton.
0 notes
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (20)
“Secarik Pesan Untuk Diri”
Aku selalu berkata jika aku membenci diriku sendiri untuk beberapa hal. Salah satunya adalah ketika aku terlalu pemikir dan mudah percaya dengan janji seseorang yang mengatakan bahwa mereka bersedia menerima rumpangku seutuhnya. Aku benci ketika aku mulai berbagi kisahku pada orang lain, karena aku akan menjadi sosok yang terus menerus bercerita tanpa henti dan akan kesulitan sendiri ketika mulai kembali membatasi diri setelah menyadari berbagi energi negatif terlalu banyak pada orang lain akan membuat mereka juga kesulitan.
Aku mengatakan aku membenci diriku sendiri karena terlalu takut ditinggal oleh orang lain, padahal manusia terlahir dan akan mati seorang diri. Aku benci ketika aku tidak mampu mengidentifikasi apa yang tengah aku rasakan dan sangat sulit menjawab pertanyaan seperti: “Apa kamu baik-baik saja?” dan “Bagaimana perasaan kamu hari ini?”
Aku terlalu banyak membenci diriku. Aku selalu saja mengutuk diriku sejak kecil ketika apa yang aku lakukan tidak sesempurna apa yang aku rencanakan, ketika segalanya berjalan tidak sesuai dengan keinginanku, dan ketika aku melakukan kesalahan atau kegagalan.
Aku benci diriku yang terus-terusan mengalah, yang tetap berkata bahwa aku baik padahal kepalaku sangat berisik dan perasaanku berantakan, aku benci.
Terlampau sering mengatakan aku benci diriku, sampai aku melupakan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang bisa aku banggakan dari diriku.
Berapa banyak berantakan yang aku lalui, meskipun aku tidak pernah bisa menjawab dengan jujur dan lebih sering kepayahan mengatasinya, tetapi aku tidak pernah membiarkan diriku kehilangan diri ini.
Seberapa sering aku tergores dan tersungkur, pada akhirnya aku tetap berdiri lagi dan tidak melupakan apa yang biasa aku lakukan.
Aku tetap mengerti apa yang aku suka. Menulis, berbicara dengan diriku sendiri setiap kali sesak menghampiri, mengalihkan riuh kepala dengan mewarnai atau melukis acak.
Walaupun terkadang aku menepi dari orang-orang di sekitar, aku masih bisa memahami dan membatasi diri akan apa saja yang kemungkinan akan meledak.
Jadi... seburuk apapun diriku, sebanyak apapun rumpang yang aku miliki; aku masih mengenal diriku sendiri. Tubuh ini masih terus berusaha agar aku tidak kehilangan diriku sendiri lalu perlahan mati karena tak lagi mengenal rumahnya sendiri.
Dan di usiaku yang kali ini; di kesempatan hidupku tahun ini, aku ingin belajar untuk lebih banyak mengatakan cinta, lebih banyak menebar energi positif, lebih banyak menghujani tubuhku dengan kasih sayang. Ketidaksempurnaan yang aku miliki adalah hal yang membuat aku tidak pernah berhenti untuk belajar, jadi aku harus lebih banyak merayakannya.
Sekecil apapun itu, atau mungkin kegagalan yang pasti terjadi dalam setiap perputaran roda kehidupan manusia; aku harus bisa merayakannya.
-gds_monoton.
0 notes
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (19)
Siapa Datang, Siapa Pergi; Tuhan Selalu Punya Maksud Baik.
Aku pernah berkata pada Ibuku jika aku akan menyayangi siapapun yang tidak pernah memutuskan pergi dari sisiku. Aku menyadari kekuranganku; segala bentuk rumpang yang menguras energi.
Begitu naif bagi anak berusia 9 tahun, aku begitu percaya bahwa manusia yang Tuhan datangkan di dalam hidupku akan terus bersamaku. Sampai akhirnya aku mengerti bahwa Tuhan menghadirkan seseorang untuk memberikan pelajaran, lalu mereka akan pergi untuk membuat kita menjadi lebih kuat lagi.
Aku pernah menuliskan sebuah cerita (yang sampai saat ini masih tersimpan apik sebagai draft), tentang bagaimana proses terjadinya siklus manusia datang dan pergi, apa saja yang terjadi selama siklus itu terjadi, siapa yang diajarkan, siapa yang mengajarkan. Pada intinya aku percaya bahwa siapa yang datang dan siapa yang pergi sudah mengantungkan maksud dari Tuhan.
2023 hampir berakhir, dan aku menghitung siapa-siapa dari manusia yang datang dan pergi. Aku berterima kasih pada mereka untuk segala yang diukir.
Meski tidak dapat dipungkiri mereka yang pergi meninggalkan luka yang begitu dalam, mungkin saja aku meninggalkan luka bagi mereka juga. Untuk perihal memaafkan, mari untuk tidak membahas itu. Karena perihal memaafkan adalah sesuatu yang terdengar mudah, tetapi tidak semudah itu untuk dilakukan.
Mereka yang pergi biarlah pergi. Bagiku, itu pertanda bahwa tugas mereka mengajarkan sudah selesai. Aku pun sudah selesai berbagi pengajaran bagi mereka.
Dan untuk mereka yang datang, aku akan sepenuh hati menikmati berbagai macam hal yang terjadi. Tentu, kehadiran mereka akan memberikan pengajaran—kami akan saling berbagi pengajaran.
Siapa yang datang, siapa yang pergi; Tuhan punya maksud untuk semua itu. []
-Hanya sebuah catatan singkat sebelum tahun berganti, selamat menikmati akhir tahun!
-gds_monoton.
1 note
·
View note
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (18)
"Mengapa bintang bersinar? Mengapa manusia harus belajar dari pengalamannya?"
Tren yang sedang viral di tiktok dengan lagu "Mengapa Bintang Bersinar" berkali-kali lewat pada laman fyp akunku. Awalnya hanya sekadar empati, tapi lama-lama ini mengusik pikiranku.
Sebagai seseorang yang juga pernah memiliki pengalaman kurang baik di masa kecil, aku ingin menuliskan kisahku agar bisa menjadi bahan pertimbangan bagi kita sebelum bertindak—terutama jika kita adalah seorang tenaga pendidik.
Aku juga seorang tenaga pendidik saat ini, ini tahun pertamaku. Dengan pengalaman mengajar yang masih sangat-sangat minim dan hanya bermodalkan teori yang masih terus kugali dari bangku perkuliahan, menjadi seorang tenaga pendidik pada ranah usia dini bukanlah sesuatu yang mudah.
Aku bukanlah seseorang yang mampu menjaga kesabaran dengan baik. Oke, aku hampir tidak pernah terlihat meraung marah pada seseorang di depan umum, cenderung diam dan sekilas nampak tidak memiliki emosi. Tetapi, aku adalah pemilik emosi yang tidak stabil.
Guru juga manusia, orang dewasa juga tidak serta merta mampu menjadi malaikat; mereka juga masih terus belajar. Aku paham, aku kini merasakannya.
Akan tetapi, seorang anak kecil yang masih menganggap dunia selalu baik kepadanya akan merekam peristiwa dan seluruh perkataan menyakitkan yang mereka terima, kemudian membekas seperti kerak yang tak kunjung dapat dibersihkan pada ingatannya.
Pertanyaan yang pertama kali terbesit pada otakku saat melihat ratusan video tren "Mengapa Bintang Bersinar" di fyp-ku adalah:
"Siapa yang harus di salahkan atas luka masa kecil yang menghantui hingga ke masa kini?"
Apakah itu orang tua yang tidak pernah memiliki sekolah khusus untuk menjadi orang tua yang baik? Apakah itu guru di masa kecilnya yang bukan sesosok malaikat dengan kesabaran yang tidak pernah habis? Apakah itu pribadi si pemilik luka yang tidak memiliki kemampuan menyembuhkan dan membiarkan seolah luka itu tidak pernah hadir?
•••
Waktu itu aku kelas 3 SD. Hanya sosok anak berusia sekitar 9 tahun yang mengitari lingkungan sekolah karena bosan menunggu Ibunya yang telat menjemput. Melewati parkiran sepeda setelah berhasil membeli makanan dari kantin untuk membunuh rasa bosan, dan kemudian tersentak.
Aku tersentak ketika mendapati kerudung biruku terkena saliva salah sasaran dari seorang kakak kelas yang keluar dari koridor parkiran dengan sepeda merahnya.
Saat itu, aku hanya mampu bertanya kenapa dia membuang saliva ke arahku dan meminta bantuannya untuk membersihkan bekas salivanya di kerudungku. Hanya itu.
Tetapi yang kudapati hanya kalimat: "Yaelah, gue gak sengaja. Bersihin sendiri. Jijik lo?", lalu dia pergi mengayuh sepedanya.
Aku mencoba mendatangi wali kelasku dengan air mata menggenang di pelupuk. Kakak kelas itu benar, aku jijik. Aku kecil sangat mengingat ucapan Ibu yang berkata kalau ludah, ingus, dan upil itu adalah sesuatu yang kotor dan memiliki banyak virus—aku tidak boleh sembarangan membuangnya.
Aku menemui wanita yang merupakan wali kelasku, mengadukan apa yang aku alami dan meminta bantuannya untuk memberikanku tissue atau apapun yang dapat membuatku mudah menghilangkan bekas saliva itu.
Yang kudapati adalah jawaban berupa: "Jorok banget! Ngapain ke sini?! Gak usah nangis, cengeng banget! Itu tinggal dibersihkan sendiri pakai air keran di depan. Jangan ngadu hal yang tidak penting, <beliau menyebut namaku>. Sudah besar masih cengeng."
Setelah itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah mengatakan pada siapapun apa yang aku rasakan dan meminta bantuan pada orang lain.
•••
Lalu di kelas 5 SD, aku masih mengingat jelas bagaimana guruku mengataiku "dongo" hanya karena aku melakukan sedikit kesalahan dalam pengerjaan soal pecahan di papan tulis. Itu begitu membekas pada ingatanku dan membuatku membentuk diriku sendiri untuk tidak pernah melakukan kesalahan apapun agar tidak mendapatkan kalimat menyakitkan dari orang sekitar.
Dan ini adalah aku yang sekarang. Aku tumbuh sebagai sosok dengan sifat over perfectionist, memiliki kekhawatiran terlalu berlebihan atas apa yang bagiku kurang sempurna kulakukan, enggan meminta bantuan orang lain, dan takut mengungkapkan apa yang aku rasakan atau aku butuhkan.
Aku akan begitu takut ketika harus berbicara secara spontanitas di depan banyak orang, mengutuk diriku sendiri di saat aku ceroboh dan menggagalkan rencanaku sendiri.
Sebagai seorang guru, aku tidak mau apa yang aku alami kembali dialami oleh anak-anak didikku. Tetapi aku sadar, aku juga seorang manusia. Apalagi segala macam luka masa kecil yang kupunya membawaku menjadi seorang pribadi yang tidak memiliki kestabilan emosi.
Maka ketika aku marah atau merasa sedang lelah, aku akan menepi sejenak. Memperhatikan dari jauh apa yang anak-anak didikku lakukan (selama masih dalam batasan aman), kemudian menarik napas panjang. Aku boleh sesekali menegur mereka dengan tegas, anak usia dini juga harus mulai diajarkan untuk mengetahui apa yang salah dan benar untuk dilakukan—hanya saja, jangan sampai aku mengungkapkan kalimat yang kasar, lalu melukai batinnya, tersimpan lekat dan berkerak pada ingatannya, kemudian membawa mereka menjadi pribadi yang sepertiku.
Aku tidak menyalahkan siapapun atas masa kecilku. Guruku seorang manusia, mungkin saat itu mereka sedang memiliki kerumitan lain yang memancing mereka berlaku kasar. Orang dewasa juga tidak benar-benar ahli dalam berlaku dan berkata baik—mereka bukan malaikat.
Tetapi aku juga tidak menyalahkan diriku sendiri karena tidak mampu menghapusnya. Manusia memiliki bagian dalam otaknya untuk menyimpan segala kenangan buruk maupun baik.
Hanya saja, ada baiknya sebagai orang dewasa yang sudah memiliki kontrol diri, kita memilih opsi untuk menepi; menenangkan diri untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yang nantinya akan berdampak begitu buruk bagi orang lain di masa depan.
-gds_monoton.
1 note
·
View note
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (17)
Manusia, Cinta, Pelukan — Sosok kecil yang membawaku pada pelajaran yang terlupa di masa kecil.
Sekitar bulan Juni 2023, aku menulis sebuah sajak perihal pelukan. Rasanya begitu lega ketika aku berhasil menungkapkan apa yang selama ini terkubur jauh di dalam hatiku meski hanya melalui sebuah tulisan.
Aku menuliskan bahwa pelukan adalah sesuatu yang sederhana, tetapi sulit sekali didapatkan. Sesuatu yang mudah dipikirkan, tetapi sulit dilakukan karena tidak semua orang menganggap bahwa sekecil pelukan dapat menenangkan orang sekitar.
Itu perasaanku yang sejujurnya. Tentang aku yang jarang sekali mendapat pelukan Ayah, sebab Ayah masih terus belajar untuk menjadi Ayah yang baik. Atau pelukan Mama, sebab Mama menyayangiku bukan dengan cara memberikan pelukan.
Menjadi seseorang yang hanya mendapat pelukan dari diri sendiri ketika hari terasa sulit, ternyata sempat membuatku merasa penuh beban.
Tetapi hidup memang seperti kotak kejutan. Aku mulai bekerja di lembaga pendidikan anak pada bulan Juli akhir, dan apa yang selama ini aku pikirkan—tentang pelukan yang sulit sekali kudapatkan—nyatanya tidak benar.
Sehari-hari kini tak akan kulewatkan tanpa sebuah pelukan. Anak kecil adalah makhluk paling tulus di muka bumi, dan aku begitu menghangat ketika mendapatkan pelukan dari mereka.
Tulus. Ketulusan mereka begitu murni dan tidak akan terselip sedikitpun kepalsuan pada setiap perbuatan dan perkataan mereka.
Ternyata kalau dikaji lagi, kelekatan manusia dan cinta memang benar ada. Contohnya adalah anak-anak kecil. Mereka selalu jujur dalam keadaan apapun. Segala yang mereka lakukan penuh dengan cinta yang tulus.
Kalau bisa, aku ingin memutar waktu pada masa kecilku. Aku ingin menjadi lebih tulus dan jujur pada diriku di saat itu. Aku ingin belajar dari mereka semua perihal jujur meski manis atau pahit dan perihal tulus.
Aku ingin berani menungkapkan:
"Mah, aku sedih tidak punya teman bermain."
"Mah, kenapa Ayah melempar tempat abu rokok ketika adik menangis?"
"Mah, kenapa aku takut?"
"Mah, kenapa nenek dan kakek memperlakukanku berbeda?"
"Mah, aku sedih tante mengomeliku dengan bola mata memutar kesal saat aku jatuh dan kakiku berdarah."
"Mah, aku sayang sekali sama Mama karena Mama hebat. Aku juga sayang dengan Ayah meskipun Ayah memiliki banyak kekurangan."
"Mah, aku mau dipeluk ketika aku memiliki masalah. Cukup dipeluk."
Dan masih banyak lagi.
Mungkin dengan begitu, aku tidak akan setakut sekarang untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain selain Mama.
Tetapi, aku tahu masa lalu tidak akan pernah bisa diubah dan aku tidak bisa selamanya menyesal. Aku hanya perlu mengamati anak-anak didikku, belajar hal-hal tulus dan jujur dari mereka, lalu mulai menerapkannya meski terkesan terlambat. Setidaknya, aku tidak boleh lagi bohong pada diriku sendiri.
Jika awalnya aku berpikir menjadi guru berarti memberikan pelajaran pada mereka yang masih bertumbuh, ternyata yang terjadi adalah hubungan timbal balik.
Aku mengajari mereka hal-hal yang belum mereka pelajari, seperti bagaimana berbuat baik, bagaimana mengenal huruf dan angka, bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi yamg baik, dll. Kemudian mereka mengajariku hal-hal yang aku lupakan atau tinggalkan dari masa kecil, yaitu perihal ketulusan dan kejujuran pada diri sendiri.
-gds_monoton
0 notes
Text
Ruang Di Sudut Pikiran (14)
Untuk apa, Untuk Apa Perempuan Tercipta?
Ini pengalaman pribadiku, serta bagaimana dua puluh tahun aku memendam berbagai pertanyaan di kepala.
Untuk apa perempuan tercipta, untuk apa?
Sejak kecil, anak perempuan cenderung banyak yang sudah diajarkan menyapu, mengepel, dan melipat baju dengan rapi. Salah satu alasannya adalah demi menjaga kebersihan.
Diriku kecil menurut saja, tetapi satu pertanyaan tercipta di kepalaku. Kenapa hanya perempuan? Bukankah menjaga kerbesihan itu adalah tugas tanpa memandang jenis kelamin? Menjaga kebersihan adalah tugas seluruh manusia.
Kemudian ketika aku mulai memasuki remaja, aku memahami kenapa sejak kecil perempuan sudah diajarkan ini dan itu. Oh, ternyata ditambah perlu pandai memasak. Katanya itu semua tugas perempuan. Kalau perempuan resik, gesit, dan pandai memasak, itu akan membuat laki-laki senang. Pertanyaanku, memangnya kami ini perempuan lahir untuk apa? Menjadi babu di rumah sendiri kah setelah menikah?
Semakin aku besar, aku semakin banyak mendapatkan kalimat-kalimat menyebalkan tentang 'Perempuan harus bisa ini dan itu' juga 'Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena nanti kembalinya hanya ke dapur, mengurus rumah, anak, dan suami.'
Aku bahkan pernah memiliki pengalaman yang agaknya sangat tidak mengenakan saat baru saja akan memulai perkuliahan. Aku adalah anak gap year, tidak langsung kuliah sesaat setelah lulus dari SMA. Selama masa kosong itu, aku banyak mengisinya dengan tampil sebagai penggiat literasi, menjadi salah satu tim dalam komunitas literasi, menulis beberapa antalogi, belajar bahasa korea, dan menyusun trilogi sajak.
Setelah setahun berlalu, aku mencoba membanting stir untuk terjun ke dunia pendidikan anak. Sebab selama masa kosong setahun itu, aku memiliki ketertarikan berbeda pada bidang pendidikan anak tersebut.
Mama—sebagai salah satu pendukungku dalam terjun ke dunia pendidikan anak—menemaniku dalam mengurus berbagai macam hal yang berkaitan dengan kuliahku. Beliau ingin tahu, dan beliau ingin mendampingiku.
Sepulangnya, aku dan Mama berkunjung ke salah satu kenalan lama Mama. Seorang yang sejak lulus SMA sudah diambil pihak keluarga untuk menjalani usaha keluarga besar; sudah terjamin pekerjaannya. Beliau berkata: "Untuk apa kamu kuliah 4 tahun? Itu buang-buang waktu. Perempuan tidak perlu membuang waktu selama itu untuk pendidikan, nanti ujungnya urus anak dan suami. Jadi pandai-pandai saja di dapur dan mengurus pekerjaan rumah."
Hatiku sakit bukan main. Mama tidak pernah menahan hobi dan cita-cita anak-anaknya, meskipun kami semua adalah perempuan. Sementara orang yang bukan dari keluarga intiku malah dengan percaya diri mengungkapkan hal semacam itu.
Aku bisa dengan tenang menjawab pertanyaan meremehkan itu, dan semua kuanggap tidak ada masalah.
Waktu berlalu dan aku hampir saja menyelesaikan satu semester, saudara dekat Mama datang berkunjung saat aku baru saja tiba di rumah sepulang kuliah. Basa-basi yang terlalu basi; bertanya perihal sudah kuliah semester berapa, kemudian mulutnya berucap: "Kamu kuliah ini sudah telat usianya. Belum pernah punya pacar, sekarang sudah ada belum? Buru-buru cari, nanti kalau kelamaan takut jadi perawan tua. Malu."
Pertanyaanku lagi, apakah harga diri seorang perempuan hanya diukur dari apakah dia cepat menikah atau tidak? Jadi yang belum menikah meski usianya sudah matang itu adalah perempuan yang memalukan? Iya begitu??
Apakah perempuan tercipta hanya untuk menjadi tukang bersih-bersih rumah, mengurus suami, dan mengurus anak seorang diri? Padahal menjaga kebersihan di rumah bukan hanya tugas perempuan, mengurus anak juga tugas kedua orang tua karena ayah dan ibu memiliki perannya masing-masing dalam proses tumbuh kembang anak.
Apakah segala bentuk insekyuritas laki-laki adalah kewajiban perempuan untuk menanggungnya? Laki-laki tidak mau memiliki perempuan yang pendidikannya lebih tinggi dari mereka dengan alasan yang sampai sekarang masih tidak bisa diterima akal sehatku.
Masih banyak sekali bentuk pemikiran patriarki yang ternyata negara ini masih terus lakukan secara turun temurun. Jadi, untuk apa? Untuk apa kami perempuan diciptakan? Selalu penuh tuntutan dan sering sekali menjadi pihak yang disudutkan jika tidak sempurna.
Untuk apa, untuk apa?
-gds_monoton
1 note
·
View note
Text
Ruang Di Sudut Pikiranku (6)
Akhir-akhir ini aku gemar berandai-andai. Mengandaikan keputusan-keputusanku terdahulu dan mencoba menyusun jalan cerita yang berbeda.
Aku berpikir tentang bagaimana seandainya aku tidak terlahir sebagai aku yang sekarang? Bagaimana jika aku tidak menjadi anak kedua orang tuaku? Bagaimana jika aku lebih jujur pada segala perasaanku sejak kecil dan tidak memendam sendiri pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala kecilku dahulu?
Sejak kecil aku memang kurang bisa menunjukkan apa yang aku rasakan, aku akan menekan rasa sedihku dan tidak menunjukkannya pada Mama atau Ayah. Ketika memiliki berbagai pertanyaan, aku tidak melontarkannya kepada kedua orang tuaku. Aku memilih diam dan memikirkannya seorang diri hingga kepalanya sering berdenyut dan ujungnya aku berusaha menekannya lagi dan mengabaikan pertanyaan-pertanyaanku.
Aku tidak pernah menyadari jika efeknya akan sekacau ini. Aku tidak pernah menyadari kalau hal itu yang membuatku tumbuh menjadi diriku yang saat ini. Sedikit menyesal, makanya aku jadi sering berandai-andai perihal itu akhir-akhir ini.
Aku juga berandai beberapa hal yang lain. Bagaimana seandainya aku tidak memilih untuk membalas perasaan lawan jenis yang menyukaiku di masa SMP? Bagaimana seandainya aku mengikuti kata hatiku untuk fokus belajar dan tidak peduli perihal cinta? Bagaimana seandainya aku tidak memilih belajar di boarding school dan mengalami hal-hal paling menyakitkan sepanjang masa remajaku?
Bagaimana jika aku tidak memutuskan untuk bertahan sampai detik ini? Bagaimana seandainya aku benar-benar menuruti pikiran konyolku untuk berhenti dan tidak peduli dengan pemikiranku yang berkata jika mati tidak akan memberikan efek menguntungkan?
Aku berandai-andai, kemudian mencoba menyusun cerita yang berbeda dengan apa yang saat ini tengah aku jalani.
Dan aku tersadar akan satu hal:
"Semua ini adalah pilihan dari Tuhan yang terbaik untukku."
Bukankah memang Tuhan adalah penulis skenario sekaligus sutradara terbaik dalam kehidupan hambanya?
Okay, mungkin jika pengandaianku menjadi sesuatu yang nyata—aku tidak akan menghadapi hal-hal yang aku hadapi saat ini dan membuatku merasa lelah.
Tetapi, belum tentu juga apa yang aku andai-andaikan akan membuat segalanya lebih baik dari yang kujalani saat ini.
Jadi aku kembali mengarahkan pikiranku untuk bersyukur atas segala yang sudah terjadi dan kujalani saat ini. Perihal apakah nanti hasilnya akan sesuai dengan kemauanku, atau tidak—itu yang menurut Tuhan baik.
Aku mencoba untuk membulatkan tekadku:
Berdamai dengan diriku sendiri, belajar menerima kekurangan dan kelebihan diri, mengontrol perasaan-perasaan yang meluap dari dalam diriku, dan mencintai diriku sendiri.
Bukannya aku terlalu memasrahkan diri dan tidak memiliki semangat dalam menjalani kehidupan. Aku justru memiliki semangat, dengan aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri—aku memiliki semangat untuk hidup lebih baik lagi.
Aku juga pernah menuliskan sebuah kalimat di salah satu buku:
"Mencintai diri sendiri adalah pelajaran yang tidak akan pernah selesai seumur hidup."
Dan, yaa.. :)
-gds_monoton
3 notes
·
View notes
Text
Ruang Di Sudut Pikiranku (3)
Aku tahu sebuah proses tidak akan ada yang instan, sama seperti proses mengendalikan rasa khawatir yang sejak dulu sering mengganggu kegiatan harianku.
Mungkin beberapa orang akan tertawa, aku mudah sekali panik, khawatir, lalu berujung overthinking hanya karena sebuah hal sederhana. Biasanya hal-hal tersebut adalah hal yang aku tak mengerti apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya.
Karena penyebabnya saja gak jelas, aku jadi gak tahu harus bagaimana mencari jalan keluarnya. Dan itu bisa membuat aku panik, khawatir berlebihan, overthinking, hingga mengalami ketakutan jangka panjang yang melelahkan.
Setelah menemukan jalan keluarnya dan akhirnya dapat terselesaikan, apakah bagiku cukup? Sayangnya enggak. Aku akan tetap kepikiran dengan sebab hal itu terjadi.
Biasanya otakku dengan spontanitas membuat urutan daftar pertanyaan yang sebenarnya hanya membuat kepalaku semakin sakit;
-Kenapa bisa seperti itu?
-Apa penyebabnya?
-Munculnya setelah aku melakukan hal apa? Apakah hal itu masuk akal?
-dll.
Terkadang aku merasa sangat kesal, diriku terlalu memperbesar masalah. Hal kecil bisa terasa besar karena skenario-skenario buruk yang pikiranku buat—padahal semua itu belum tentu akan terjadi.
Aku pernah mendengar sebuah kalimat; "Kalau yang indah-indah saja belum tentu terjadi, begitu juga dengan pemikiran burukmu. Berlaku adil lah kamu. Jangan hanya mempercayai harapan baik belum tentu terjadi, tetapi terlalu mudah percaya dengan skenario buruk yang kau buat sendiri. Mereka sama—belum tentu terjadi."
Manusia terlalu sibuk menakuti hal-hal buruk yang berenang liar di pikiran mereka, tetapi mudah sekali menepis angan-angan baik yang terlintas sejenak pada pikiran mereka. Sedikit tidak adil, tetapi aku akui bahwa aku juga masih suka seperti itu.
Mungkin aku harus lebih sabar lagi, setiap hari aku selalu berdoa agar aku bisa lebih baik lagi dalam mengendalikan semua perasaan di dalam diriku sendiri—agar tidak menyakiti dan membuat lelah tubuhku, juga agar tidak merepotkan orang lain.
Aku mencatat sebagian hal—dari mana saja pemicu timbulnya perasaan panik, anxiety, overthinking, dan paranoidku?
Selain mencatat, aku juga mencoba membuat evaluasi secara tidak langsung—tentang bagaimana aku mengatasi dan mengendalikan diriku sendiri saat rasa-rasa seperti itu muncul.
Dan sepeti paragraf pertama, memang tidak ada yang instan. Semua berproses, tetapi aku merasa perlahan berkurang dan mulai membaik.
Ketika aku panik, biasanya tubuh terasa lemas dan pikiran tidak tenang. Sekarang aku sudah mulai bisa menarik napas, kemudian menenangkan diriku agar tidak berbuat gegabah.
Lalu jika anxiety sedang muncul ( biasanya disertai oleh overthinking), aku mencoba menenangkan diri dengan memijat kedua telapak kakiku—mencoba memberikan relaksasi sembari menepis skenario-skenario yang mulai tersusun di kepalaku, menimbunnya dengan kalimat penenang dan beberapa hal positif.
Saat paranoidku sedang mengganggu, biasanya aku alihkan dengan bercerit pada orang terpercaya—siapapun itu, yang mengerti cara mendengarkan dan memberi respon menenangkan, bukan membuatku semakin ketakutan. Atau, aku menulisnya—seperti yang saat ini aku lakukan.
Bukan berarti aku tidak mengakui perasaan itu, aku tetap mengakuinya, kemudian mencoba untuk tidak tenggelam di dalamya karena semua itu berbahaya untukku ke depannya.
Mengakui perasaan, bukan berarti harus terus menurutinya tanpa mencoba keluar dan belajar mengendalikannya—memperbaikinya.
-gds_monoton
3 notes
·
View notes
Text
Ruang Di Sudut Pikiranku (7)
"Apa fungsi kehidupan yang sesungguhnya?"
"Untuk apa kita hidup di sini?"
Semenjak dua tahun lalu (2020), setelah sebuah peristiwa membuatku—kalian juga sempat harus berjauhan dengan orang-orang di luar sana dan membuat kita terbatas dalam berpergian sesuka hati, aku mulai mengamati dan merekam sekitarku dengan mata dan pikiranku.
Aku melihat bagaimana seorang Ibu yang berusaha menawar harga sebuah mainan yang diinginkan putranya hingga merengek kepada penjual mainan.
Lalu di lain tempat aku menangkap seorang Ayah yang dengan bahagia memberikan es krim dan menumbuhkan kebahagiaan sederhana pada hati kedua putranya—direkamnya kenangan itu, kemudian Sang Ayah tertawa ketika melihat es krim milik Si Bungsu terjatuh ke tanah (aku ikut tertawa kecil mengamatinya).
Kemudian seorang Ibu tua yang datang ke apotek untuk mencari obat untuk suami tercintanya yang tengah batuk-batuk.
Aku juga pernah menangkap dua remaja putri yang mendatangi toko buku untuk membeli buku pada daftar keinginan mereka masing-masing, juga seorang kakak laki-laki yang menemani adik perempuannya membeli alat tulis.
Di lain waktu dan tempat, aku melihat seorang gadis belajar tanpa ingin diusik seorang diri di dalam cafe kopi, juga seorang pemuda dengan baju lusuh yang bernyanyi dengan ukulelenya ke tiap-tiap toko demi mendapatkan uang receh dan bisa membeli makan sekurang-kurangnya sehari sekali.
Ternyata banyak hal di sekitarku yang sangat beragam. Dan tujuan hidup setiap orang pasti juga berbeda.
Untuk memberikan cinta paling besar untuk orang sekitarnya, untuk menjadi orang sukses dan membanggakan Ayah serta Ibunya di masa depan, untuk menunjukkan rasa sayangnya pada Sang Anak, untuk mendapatkan uang makan dan bisa melanjutkan hidup yang masih harus terus berjalan.
Beberapa hari yang lalu juga aku berbincang dengan guruku. Putri kecil yang yang baru lahir diberikan nama panggilan yang sama dengan namaku, beliau berharap putri kecilnya bisa menjadi orang yang juga pandai menulis sepertiku.
Aku menjawab, "Ibu, tapi saya juga masih harus banyak belajar."
Kemudian Ibu guruku ini menjawab, "Memang itu tujuan manusia, Kak. Terus belajar, sampai Tuhan mengatakan bahwa itu sudah cukup, kemudian kita kembali pulang kepadaNya."
Tujuan hidup setiap manusia memang berbeda, tetapi kita semua memiliki satu tujuan yang sama, yaitu untuk belajar.
Belajar bukan hanya kita duduk di bangku Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi kemudian mewujudkan cita-cita.
Belajar adalah kata umum yang memiliki beragam arti—sama seperti kehidupan yang beragam.
Belajar mencintai diri sendiri, belajar menyalurkan cinta kepada orang lain, belajar untuk menjadi orang tua yang baik, belajar menjadi kakak yang bisa melindungi adiknya, belajar banyak hal—seluruhnya dalam hidup.
Akhirnya aku menemukan jawaban atas pertanyaan di masa kecilku yang masih terus berenang di kepalaku.
Ketika kecil aku bertanya di setiap malam yang sepi, "Apa tujuan aku lahir? Kenapa aku harus tinggal di bumi dan hidup? Aku pasti membawa tujuan, apa itu?"
Lalu seiring waktu berjalan aku dapat menyimpulkan sendiri jawaban atas pertanyaan dalam diamku. Dan itulah jawabannya:
Untuk belajar.
-gds_monoton
0 notes
Text
Ruang di Sudut Pikiranku (2)
—Ketakutan—
Aku pernah baca di suatu buku kalau ketakutan itu adalah hal yang wajar dimiliki oleh makhluk hidup terutama manusia. Rasa takut membuat diri kita lebih bersikap hati-hati agar tidak menemui sesuatu yang sangat tidak diinginkan.
Tetapi, banyak juga manusia yang justru tidak bisa mengendalikan rasa ketakutannya sehingga semakin lama menggerogoti diri dan menimbulkan masalah-masalah lain.
Aku termasuk salah satunya. Sering sekali rasa takut lebih menguasai diriku, dan menimbulkan masalah lain seperti kekhawatiran yang berlebih, detak jantung yang berdegup begitu cepat sehingga membuatku cepat panik, dan hal-hal lainnya.
Bagaimana cara aku mengatasinya?
Bagaimana agar aku tidak kelelahan seperti ini mengendalikannya?
Setiap hari pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengganggu kepalaku. Aku tak mau tenggelam dalam rasa takutku sendiri dan menghancurkan segalanya perlahan-lahan.
Jadi aku mulai menulis hal apa saja yang tengah menjadi ketakutanku, kemudian membacanya berulang kali dalam hati—meyakinkan apa hal itu benar-benar sebuah hal yang perlu ditakuti? Atau hanya aku saja yang berlebihan?
Di kelompokkan menjadi ketakutan biasa, dan ketakutan yang benar-benar menyita ruang pikiranku. Jika memang aku tak bisa mengelompokkannya, aku mencari cara lain—mengakui perasaan takutku, kemudian memberi sugesti baik agar aku tidak ketakutan berlebih.
Baru-baru ini aku membuka buku harianku dan terdapat ketakutan yang menyita ruang kepalaku awal tahun lalu.
Setelah empat bulan berlalu dan aku membacanya kembali, ternyata aku bisa melalui segalanya. Semua tidak seperti apa yang aku takuti saat itu.
Jadi, ketakutan wajar.
Boleh sekali divalidasi, tetapi jangan sampai ia menguasai kita dan membuat kita tenggalam jauh di dasar gelap ketakutan.
-gds_monoton
0 notes