Sebuah Memori
“Tun cepetan ke jendela. Lihat kembang api. Hampir jam 12 nih.”
“Iya, bentar. Lagi beresin buku.”
“Oke oke.”
“Aku udah di jendela nih.”
“Oke hitung mundur dari lima yuk.”
“Haha, siaaap. Aku duluan. Lima..”
“Empat..”
“Tiga..”
“Dua..”
Derr.. derr..
“Yaah keduluan, haha. Tapi lihat deh, bagus banget tuh. Coba kalo lampu kamarnya dimatikan, mungkin akan lebih syahdu.”
“Ah nggak mau. Tahu Buto Ijo yang katanya makan bulan kan? Takutnya nanti dia datang, lalu kembang apinya disita karena mengganggu acara makan malamnya. Buto Ijo sering datang kalo lampu dimatiin.”
“Bisa aja kamu, haha.”
“Hei Tun..”
“Apa?”
“Aku harap kita tidak seperti kembang api.”
“Kenapa bisa? Kembang api kan indah.”
“Ya, kamu benar kembang api itu indah. Tapi kan hanya sesaat. Setelah itu dia akan menjadi butir-butir kecil mirip arang lalu jatuh. Aku tidak mau kita seperti mereka. Sesaat.”
“Ooo.. begitu. Aku mengerti. Semoga saja begitu ya.”
Setelah membubuhkan tanda baca titik dua dan kurung tutup di akhir teks, bersamaan dengan jatuhnya butir-butir arang dan bau mesiu yang mulai merebak ke dalam kamar, mereka memutuskan untuk merebahkan tubuh di atas ranjang lalu bercerita tentang apapun. Saling mengantarkan tidur, saling berlagak seperti orang tua yang membacakan buku cerita kepada anaknya supaya lekas tidur. Momen awal tahun yang mereka alami waktu itu tidak bisa membuat Amat jadi remaja keluyuran, penyumet petasan, pengganggu perempuan yang lewat dengan mengatakan bahwa bokongnya bahenol. Begitu juga Atun. Mereka akan menghabiskan momen tahun barunya dengan terus saling membalas pesan, berhayal mereka berada di atas ranjang yang sama, dan tidak akan berhenti sampai salah satu dari mereka tertidur.
***
Dia bercerita banyak padaku tentang perempuan yang ia kenal lewat Facebook sepulangnya dari warnet tak jauh dari asrama. Bau keringatnya begitu apek. Mulutnya terus saja nerocos panjang lebar tentang status Facebook si perempuan, album-album fotonya, dan, tentu, proses perkenalan mereka di chat Facebook. Atun namanya, perempuan selanjutnya yang akan dia dekati setelah dia berpindah-pindah hati, pacaran sana-sini. Di mata siapapun di sekolah itu, yang mengenal Amat, akan menganggap dia adalah buaya. Buaya yang siap menerkam perempuan manapun yang mendekati dirinya.
Tapi mungkin saja pandangan mereka tentang kebuayaan Amat salah, karena baru kali ini aku melihat wajahnya sejernih itu, seriang itu, jingkrak-jingkrak tak karuan. Meski ia belum mandi. Sikapnya terlihat sangat berbeda jika dibandingkan dengan sikapnya ketika bersama mantan-mantan perempuannya. Mungkin menurutnya Atun adalah tipe perempuan yang ia idam-idamkan.
“Dia cantik, kau tahu, daster dan kerudung lebar yang ia kenakan sungguuuh, aaaah.. mempesona!” Dia menangkap senyumku dengan matanya yang penuh gairah.
Tenang, aku akan menceritakan kisah mereka. Tak apa, toh mereka tidak pernah melarangku untuk bercerita tentang kisah mereka kepada siapapun. Dan aku adalah teman yang sering menjadi tempat berlabuhnya curhatan-curhatan Amat, yang sekarang aku tahu bahwa Amat mengajariku sesuatu: betapa pun bejat atau gagal seseorang, ia berhak mempunyai pujaan hati.
***
Aku masih ingat hape Nokia 1280, layar hitam putih, yang ia sembunyikan di bawah kasurnya. Kebetulan Amat sekamar denganku, jadi segala gerak-geriknya tentu aku tahu. Apalagi kegiatannya dari Sabtu sore sampai Minggu sore. Tengkurep di atas kasur, kepala menghadap pintu kamar dengan hape di tangannya yang setelah membalas pesan, ia taruh di bawah bantal. Melanggar aturan asrama? Ya, dan dia sudah terbiasa dengan itu. Dia adalah pelanggar ulung, dan juga pelanggan hukuman.
Dia pernah bercerita padaku tentang sulitnya mendapatkan nomor hape Atun. Dia selalu saja gagal merayunya, sehingga ia mencari “orang dalam” sebagai jalan pintas. Kebetulan dua orang teman dekatnya juga mempunyai relasi spesial dengan teman sekelas Atun, sehingga dengan mudahnya Amat mendapatkan nomor hape. Setiap ada plan A, pasti ada plan B. Karena plan A gagal, maka plan B ia jalankan.
Malam Minggu hingga sore hari adalah saat di mana Atun pulang ke rumah dan pastinya memegang hape juga. Karena asrama dan rumah Atun masih berada dalam kota yang sama, Atun bisa pulang ke rumah setiap minggunya. Itulah alasan mengapa Amat sengaja membawa hape yang sebenarnya melanggar aturan asrama. Tapi yang pasti Atun berhasil membuat Amat tersenyum sendiri setiap malam Minggu, yang terkadang hapenya diletakkan kembali di balik kasur saat dia curiga bahwa pembina asrama atau teman-teman yang mudah bocor mulutnya –sering kali disebut ember— terdengar seperti menghampiri kamarnya.
Inilah kisah cinta modern yang dihubungkan dengan teknologi –yang katanya bisa mendekatkan yang jauh, tapi terkadang dia bisa menjelma menjadi alat penjauh untuk sesuatu yang dekat. Karena pasti pada waktu kepulangan Atun, aku jarang diajak Amat bicara. Selain hari Minggu aku adalah alat perekam yang setia mendengarkan ceritanya, menelan mentah-mentah setiap kisah yang dia utarakan. Atun adalah salah satu topik yang sering ia bicarakan. Jadi aku mengetahui segalanya tentang mereka sehingga aku bisa menceritakannya padamu.
Pernah pada suatu malam ia disuruh menghadap salah satu pembina asrama. Apalagi kalau bukan karena hape yang ia bawa. Tapi beberapa hari sebelum dia dipanggil pembina, dia sudah paham apa yang akan terjadi. Tentu teman-teman dekatnya yang memberitahu. Lekas-lekas ia pergi ke rumah teman SMP-nya di daerah Kartasura, menitipkan HP ilegalnya. Sehingga di malam ia menghadap pembina, ia bisa bicara jujur dan tenang seolah tidak sadar sedang diincar serigala buas. Ia mendapat mandat untuk mengambilnya, tapi entah taktik apa yang ia gunakan sehingga dapat lolos dari terkaman serigala dan hape berlayar hitam putih dengan balutan skotlet kayu itu belum juga sampai pada tangan pembina. Sampai hari wisudanya.
Pernah juga ketika Ramadan, dia mampu menghatamkan Quran sampai 4 kali dalam sebulan. Aku bingung, biasanya Amat tak segiat itu membaca Quran. Malaikat mana yang merasuki tubuh kawanku ini. Rasanya dunia sedang terbalik. Atau ini April mop? Tidak, Ramadan tidak jatuh di bulan April. Karena kebingunganku, aku mencoba bertanya dan mengulik alasannya sebelum datang hari libur Lebaran.
“Heh kowe kok rajin ngono, sewulan katam ping 4. Rahasiane pie Mat?”
“Ngerti ora, Atun ngatamne Quran wis ping 5 wulan iki. Atun luwih akeh cak. Yoo.. aku ra gelem kalah lah. Nah, atun cerito ning aku nek pas poso mungkin luwih jarang SMS-an, soale deke nduwe target katam ping 5. Barang apik ojo dibuang. Aku nyobo niru Atun, tapi wis ketinggalan sak kataman. Lha meh pie maneh to, akhire yo gur entuk papat.” Dia berdiri lalu berkacak pinggang setelah mengemasi barang-barang yang akan dia bawa pulang. Mukanya meyakinkan. Meski terlihat agak aneh, anak ini lumayan jenaka.
“Pengen ngerti rahasiane?” dia meneruskan, “nggoleko pacar kono lho, Hahaha..” tawanya menderai, sambil meliuk-liukkan tubuh tanda penghinaan.
Aku pengen menampar mukanya yang penuh ejekan itu.
“Emange kowe wis dadi pacare Atun po?”
“Durung, hehe..” lagi-lagi, senyum anehnya muncul. Dia langsung terlihat lemas. Dikulumnya senyum aneh itu. Dia kembali mengemasi barang-barangnya dan memastikan tak ada satupun barang –yang harus ia bawa pulang— terlupa.
Aku tahu dia amat mencintai Atun dan sudah terlalu lama ia menyimpan perasaannya, bahkan sampai beberapa minggu sebelum acara wisuda. Perasaan itu selalu ia simpan di setiap teks yang ia kirimkan ke Atun dan 100 bonus SMS dari operator setiap dua kali mengirim pesan dengan pulsa yang berkurang 350 rupiah. Liburan telah tiba dan apa yang mereka bicarakan selama itu, aku tak tahu. Yang jelas, pasti banyak sekali basa-basi dan rayuan gombal yang Amat lemparkan pada Atun. Dan pasti kejadian tersebut berlangsung setiap hari karena keleluasaannya di rumah bertambah secara drastis. Tapi yang aku bingung, mengapa Atun begitu betah dengan basa-basi, rayuan, dan humor-humor Amat yang menurutku tidak begitu asik –bahkan garing— itu. Memang benar, Amat adalah lelaki yang asik, mudah bergaul, dan begitu simpatik dengan yang namanya perempuan. Dulu, waktu kelas satu, dia sempat menjadi primadona di asrama putri. Bagaimana tidak? Sekitar 14 santriwati mengaku tertarik dengannya. Perempuan-perempuan tersebut sampai menyempatkan berkumpul dan membicarakan satu lelaki buaya ini. Hingga setelah beberapa perempuan yang mengidolakannya ia terkam dan putus berkali-kali, namanya menjadi tercemar. Bau. Terlimbahi bahan-bahan kimia dan mengendap di ujung namanya. Bahkan lebih busuk dari got tempat pembuangan bekas-bekas masakan atau saluran pembuangan kamar mandi.
Hingga suatu hari ia mengaku berupaya meloloskan perasaannya yang katanya setiap hari sedikit demi sedikit menggerogoti hati dan otak, melemahkan jantung, lalu suatu saat akan membunuhnya. Dia tak tahan, katanya. Dia mengungkapkannya padaku panjang lebar lewat SMS. Akhirnya ketika ia sedang mengantar ibunya ke pasar untuk membeli beberapa peralatan menjelang lebaran, ia mencoba membuka pintu kandang yang ia gembok berbulan-bulan, dan perasaannya yang masih terhitung liar itu meraung-raung dalam pesan teks. Setelah beberapa kali melakukan upaya edit, hapus-tulis, dia mengirimkan pesan itu dengan hati yang menderu, menggetarkan toples-toples dan beberapa panci di toko di mana ibunya mencari beberapa peralatan. Tapi dari mimik mukanya, ia terlihat tenang, sebab dia membubuhi senjata andalan di akhir pesannya: “Aku hanya mengungkapkan perasaanku. Diterima atau tidaknya, itu terserah kamu.”
Ia lega. Aku yakin ia sangat lega. Mahluk liar yang ia kandangkan berbulan-bulan berhasil ia lepaskan, berhasil ia jinakkan. Berjam-jam ia menunggu pesan balasan. Mungkin Atun sedang sibuk, atau sedang mandi, atau memijit kaki bapaknya, atau apalah. Amat selalu mencoba berpikir positif tentang Atun. Atun marah? Mungkin saja. Tapi dia tetap mencoba tenang karena senjata pamungkas di akhir kalimat yang ia bubuhkan pasti menahan kemarahan Atun. Dia pikir begitu.
Jangkrik sudah mulai mengerik malam itu. Mencari teman kawin dengan pikatan suara gesekan sayap. Amat percaya bahwa yang dimiliki si jangkrik jantan itu bukan sayap. Sebab dia belum pernah melihat jangkrik terbang. Cuma ada satu binatang yang tekstur tubuhnya mirip jangkrik dan dia bisa terbang. Belalang. Tapi kenapa jangkrik tidak bisa? Pertanyaan itu yang selalu menguatkan pendapat Amat bahwa yang dimiliki jangkrik bukan sayap. Dengan ketololan dan pikirannya yang aneh, ia mencoba menamai benda mirip sayap itu. Ia berpikir jika ia menemukan namanya, maka ia akan membuat nama itu masuk dalam KBBI, dan dialah penemunya. Lalu ia berpikir jika jangkrik punya kelebihan mengerik, belalang bisa apa? Seketika itu ia sadar, setiap hewan memiliki keunikan masing-masing. Begitu juga manusia. Dia dan Atun pasti memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Aduh, Atun lagi, Atun lagi. Gumamnya. Selalu ada Atun di setiap hal yang ia pikirkan. Muncul lagi ingatan tentang pesan yang ia kirimkan kepada Atun di pasar siang tadi. Dia curiga bahwa Atun marah, karena sampai malam setelah ia mengirimkan pesan bersenjata itu belum juga dibalas. Dibacanya terus-menerus pesan yang ia kirimkan kepada Atun. Ia koreksi berulang-ulang. Ia baca berkali-kali. Lalu membayangkan Atun membalas pesannya dengan amat sangat gembira, juga dengan pesan yang membawa berita gembira. Tapi setelah dirasa matanya begitu lelah dan daya tubuhnya yang digenjot seharian membantu orang tuanya ke sana ke mari, ia memutuskan untuk tidur. Memejamkan mata.
Drr.. drr..
Ada pesan masuk. Amat pikir hanya pesan dari operator, atau pesan usil seseorang tentang mama yang sedang di kantor polisi dan minta dibelikan pulsa. Barangkali. Karena sudah semalam ini, pasti Atun juga sudah tidur nyenyak di kasurnya. Eh, tapi apakah sebelum tidur Atun memikirkan Amat? Ah bodoh, mana bisa dia tahu. Dia melanjutkan tidurnya.
Tanpa disadari Atun masih mengganggu pikirannya. Musik bergenre pop rock yang ia nyalakan beberapa jam lalu dari laptopnya ia keraskan volumenya sedikit. Hape agak ia jauhkan supaya getarnya tidak mengganggu. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi tetap ada Atun yang terlihat melongok dari jendela dan menyebut namanya.
Dia gelisah.
Drr.. drr..
Pesan lagi.
Dengan mata yang sedikit tertutup, dia meraih hapenya malas-malas.
“2 pesan diterima.”
“Paling operator ngiklan atau salah kirim.”
Ia buka notifikasi itu. Tetiba mimik mukanya berubah. Dua pesan baru dari Atun.
Dengan rasa penasarannya yang menggila, ia buka pesan yang pertama terkirim.
“Maaf, aku belum bisa menjawabnya sekarang. Aku belum bisa mencintai lelaki sampai saat ini.”
Lalu yang kedua.
“Hei, kamu tidur? Maaf pending.”
Amat mulai menekan tuts hape, merangkai kata-kata menjadi kalimat, dan mimik wajahnya mulai berubah. Yang awalnya layu menunggu pesan balasan, sekarang menjadi lebih layu bahkan membusuk.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sekedar meloloskan perasaan yang selama ini terkurung. Kan kasihan dia kalau dikurung terus. Takut terlalu kurus. Hehe..” Balasnya, menghibur diri.
Tiba-tiba seanak panah kilat meradak dalam kalbu.
***
Ya, tepat sekali. Sehari setelah kembali ke asrama dan Amat membawa berita buruk tentang cintanya yang ditunda oleh Atun, aku menjadi juru pendengar. Memang itu masa-masa di mana kami, anak kelas 3, sedang santai-santainya mempersiapkan acara pentas seni persembahan terakhir, acara perpisahan, dan acara wisuda. Acara-acara padat di akhir sebelum bebas dari tempat yang katanya penjara suci ini sudah menjadi tradisi dari jaman dulu, malah mungkin sejak tahun pertama asrama ini dibangun sudah ada acara seperti ini. Tapi kalau pensi, aku tidak tahu kapan tahun kemunculannya.
Setelah bercerita panjang lebar, aku penasaran bagaimana kelanjutan kisahnya. Hingga mulutku langsung bergerak mengikuti perintah otak.
“Terus piye saiki kowe karo Atun? Jik akrab opo ora?”
“Santai cak, isih akrab kok. Mung Atun saiki dadi rodok cuek, rodok ora penak dijak guyon. Mbuh ngopo cak. Ketoke wedi karo aku.” Dia menunduk. Matanya berputar-putar seperti sedang memikirkan sesuatu.
Aku lekas mengambil gayung berisi peralatan mandi dan sesegera beringsut keluar kamar seraya menggertak, “BOYO!!”
Sontak aku agak berlari karena mungkin Amat akan mengejarku. Tapi setelah agak menjauh dan aku menengok ke belakang, Amat tidak terlihat keluar dari kamar.
Karena penasaran, aku mencoba kembali ke kamar dan mengintipnya. Apakah ia akan menjadi remaja labil sesenggukan lalu bersiap-siap pergi ke warnet untuk menulis status galau di sosial media, atau ia akan terisak sambil menunjamkan mukanya pada bantal?
Ternyata tidak. Dia di atas kasurnya, tengkurep, wajahnya terlihat agak bercahaya. Mulutnya mengulum senyum. Bukan karena mendapatkan ilham yang membuatnya rajin mengaji atau membaca kitab-kitab kuning. Bukan. Sudah jelas ia sedang menggenggam hape.
Aku kembali lagi menuju kamar mandi, menggerutu, ”Ealah, boyooo.. boyo.”
***
Desas-desus hubungan Amat dengan Atun mulai menyebar. Apalagi setelah Amat mengungkapkan perasaannya pada Atun. Menyebarnya desas-desus ini bukan hal besar yang perlu dipikirkan atau bahkan sampai dilaporkan ke polisi sebagai tindak pidana pencemaran nama baik. Hal ini lumrah terjadi, apalagi di lingkungan asrama yang notabene siswa-siswi yang saling kenal menambah cepat laju penyebaran berita. Dengan kata lain, Amat dan aku sudah tidak lagi kaget dengan hal seperti ini. Hanya, ditakutkan berita ini menyebar sampai ke pembina, yang bisa saja tiba-tiba mendatangi Amat, lalu menumpahkan selusin pertanyaan mendebarkan seperti di acara kuis Who Wants to be a Millionaire.
Setelah beberapa minggu hingga datanglah hari-hari istimewa bagi santri: hari libur tahun baru. Aku lihat Amat sudah mulai membereskan pakaian-pakaiannya. Ingin bergegas kembali ke rumah. Apalagi kalau bukan karena keleluasaan SMS-nya dengan Atun.
***
Malam tahun baru. Remaja-remaja dengan pakaian agak compang-camping memenuhi tepi jalan raya. Tempat tongkrongan mereka. Sesekali ada yang lewat berboncengan menaiki sepeda motor dengan pacarnya, barangkali, menuju tempat entah di mana. Mungkin saja mereka menuju hotel, merayakan tahun baru dengan lenguhan-lenguhan penuh birahi dan puting-puting yang basah terkena air liur. Sebagian juga, yang tidak memiliki pacar, bersiap menyalakan kembang api, atau mercon, membisingkan jalan dan perkampungan. Hal yang lumrah di zaman serba moderen ini. Jangan bingung. Ya, jangan bingung.
Tapi Amat bukan mereka. Amat hanya menikmati malam tahun barunya di kamar, tentunya bersama pesan-pesan masuk dari Atun. Tersenyum, pasti. Tertawa? Mungkin. Tapi paling sering hanya dituliskan ‘haha’ saja di pesan-pesan yang ia kirimkan ke Atun. Pembohongan sebenarnya. Tapi tak apalah.
Pukul 11 malam, satu jam menuju pergantian tahun. Amat masih menghadap layar hapenya. Sesekali tengkurap, terlentang, duduk, tersenyum. Tangannya sesekali merogoh selangkangannya meski sedang tidak gatal atau menegang. Stagnan sekali malam tahun barunya. Kalau Atun? Aku tak tahu. Yang jelas mereka berdua menikmati malam dan SMS-an.
Hingga tiba-tiba Amat terperanjat dari tempat tidurnya, jingkrak-jingkrak, sesekali menggerutu. Bukan gerutuan jelek, bukan. Tapi dia seperti mendesis, mengucapkan mantra, lalu berguling-guling di atas ranjang. Sebab ada satu pesan menggemparkan dari Atun yang ia baca.
“Aku mau bilang. Aku mencintaimu.”
Lagi-lagi tanda baca titik dua dan kurung tutup di akhir teks.
Mereka merayakannya di bawah kerlip kembang api. Bahagia, jelas.
***
Seorang perempuan pastilah mempunyai teman dekat. Teman yang bisa dipercayai menjadi pendengar setia. Teman yang dipercayai bisa menyimpan keluh kesahnya dan berharap memberikan solusi. Benar juga, beberapa bulan setelah wisuda, Atun bercerita tentang pendapat teman-temannya sebelum ia menerima Amat sebagai.. sebagai.. tidak jelas. Mereka saling mencintai, tapi tidak pernah mengaku berpacaran. Dan nahasnya, pendapat teman-teman Atun tentang Amat selalu negatif. Mereka ingin Atun menjauh saja dari Amat. Amat itu buaya, playboy. Amat pasti akan menyakitimu. Amat kurang ajar, berani-beraninya dia mendekati perempuan sepertimu. Dan begitulah. Dan begitulah.
Perlu diketahui ada beberapa alasan mengapa teman-teman Atun mencegahnya untuk dekat dengan Amat. Yang pertama Atun bisa dibilang bintang kelas. Kata teman-temannya dia cerdas. Disiplin. Rajin. Lembut. Bahkan tulisannya sering diterbitkan di koran. Ooh sungguh cerdasnya ia. Yang kedua, Amat adalah.. ya kau tahulah, playboy. Buaya. Pemalas. Pelanggan hukuman di asrama. Perokok. Dan semakin jelas ada dinding yang sangat tebal dan dingin di antara mereka. Perbedaan.
Tapi dari cerita Amat soal Atun, aku bisa menyimpulkan bahwa cintanya begitu besar. Aku yakin itu. Dan dia juga mengaku begitu. Tapi entahlah, aku tidak bisa membaca isi hati seorang pria, meskipun ia teman dekatku.
Amat sedih mendengar berita ini. Tapi yang Amat bingungkan adalah: mengapa desakan-desakan dan saran-saran baik dan rasional itu sama sekali tidak digubris oleh Atun?
Tapi Amat tetap tenang. Atun sudah menjadi miliknya, meski belum sepenuhnya. Dia hanya melancarkan pertanyaan kepada Atun yang jelas menanyakan sebab mengapa Atun memilih bertahan. Mengapa pendapat-pendapat rasional ciptaan teman-teman dekatnya tidak ia jalankan? Mengapa?
“Cinta tidak butuh logika Mat. Entah mengapa aku lebih memilih tidak menghiraukan pendapat-pendapat mereka. Aku bertahan sejak hari kau mengungkapkan perasaanmu sampai malam tahun baru itu. Bertahan dari desakan-desakan. Mencoba meloloskan diri dari suasana pengap nan panas. Aku lebih memilih untuk tidak terbawa dan berpikir akan menemukan alasanku sendiri mengapa aku mencintaimu.”
“Terus dengan aku yang begitu berandal di mata teman-temanmu, mengapa kamu tetap mencintaiku? Apa alasan kamu mencintai seorang berandal?”
“Tidak tahu.”
“Bicaralah. Aku orang yang kamu cintai, dan sepatutnya aku mendengar alasanmu.”
“Sungguh aku tidak tahu. Jangan tanya itu lagi.”
Setelah itu Amat dengan rasa penasarannya yang terlalu merekah, terpaksa mengalihkan pembicaraan ke lain topik. Amat kembali tersenyum, dan mungkin, Atun di sana pasti juga tersenyum.
“Aku kira, aku semakin mencintaimu.”
Dan sejak saat itu Amat bersikukuh akan terus mempertahankan perasaannya.
***
Sekarang mereka berdua meneruskan kuliah di tempat yang jaraknya lumayan jauh. Awalnya. Amat pergi ke Jakarta, dan Atun tetap di kota tempat tinggalnya. Amat mendalami ilmu agama dan Atun mendalami ilmu kedokteran. Hingga dua tahun lamanya hubungan mereka tetap erat. Hingga Amat memutuskan pindah kuliah di negeri nun jauh di sana, dan Atun masih saja di kota tempat tinggalnya. Hingga Atun hampir wisuda, dan Amat masih wisuda 3 tahun lagi. Meski Amat tertinggal banyak semester dan pastinya takut ditinggal menikah duluan karena biasanya perempuan banyak yang menikah dini, aku yakin mereka masih bisa sama-sama merasakan sakit atau bahagia atau lelah atau marah. Karena cinta bukan hanya udara kimia homogen rasa cinta belaka. Perkelahian, perbantahan, kejengkelan teremban juga dalam keseluruhan yang disebut cinta itu. Tapi dalam cinta memang perkelahian menjadi lain.
Semoga mereka tetap begitu, saling mencinta. Dan aku harap suatu saat mereka benar-benar bersatu di atas ranjang yang sama.
***
Begitulah kisah cinta mereka. Banyak hal yang belum aku ceritakan padamu. Tentang anak-anak hayalan mereka, sebab-sebab pertikaian sengit, masalah-masalah kedewasaan yang mereka hadapi, dan lain sebagainya. Aku tidak menambah atau mengurangi sedikitpun kisah mereka. Mungkin kamu menganggap kisah ini terlalu biasa, seperti kisah cinta anak SMA di tipi-tipi, terserah. Aku hanya yakin bahwa kisah cinta setiap insan pasti membekas di sel-sel otak setiap mereka. Sama halnya dengan Amat dan Atun. Kisah mereka pasti tertulis dalam otak mereka, dan pasti lebih detail dari ini. Tapi secara tidak sadar mereka juga membekaskan beberapa noda dalam ingatanku yang membuatku bergairah menuangkannya dalam tulisan, sekedar mengingat teman akrabku dan kelakuannya yang agak jenaka dan.. yaaa kurang ajar terkadang. Berandal jenaka yang mendapatkan cintanya, bermodal nama yang tercemar limbah dan berbau busuk.
Semoga dia tidak menjelma buaya lagi. Selamanya.
Gamik Atas. Sabtu, 27 Agustus 2016
3 notes
·
View notes