#psikologi netizen Kodeetik
Explore tagged Tumblr posts
hellofakhirahrobbani · 6 years ago
Text
MAHA BENAR NETIJEN DENGAN SEGALA DIAGNOSANYA
Tumblr media
@fakhirah.ir
Saya merasa resah. Republik netijen itu kadang memang ahli menghakimi. Anonimitas memang jadi kunci sakti melawan sebuah kunkungan norma sosial yang bersifat kasta dan menjunjung tinggi unggah-ungguh. Internet menjadi platform bagaimana yang di dunia nyata kita terkungkung norma, di dunia maya norma itu menipis, bahkan bisa hilang sama sekali.
Saya akan mulai dari kasus 12 orang pembully dan Audr*y. Kalau anda bertanya pada saya, kok bisa si 12 orang itu berperilaku bully ke orang lain sedemikian tega, motifnya apa dan beberapa hal terkait pelaku, saya jawab tidak tahu. Setiap manusia itu unik dan punya dinamika psikologinya masing-masing. Tapi, saya bisa berusaha menjelaskan secara umum terkait fenomenanya (bukan personnya lho yaaa) mengapa orang berperilaku menyimpang.
Untuk memahami 1 orang dan motivasi bertindaknya, para psikolog saja harus mendalaminya beberapa lama sebelum menyimpulkan. Prosedur standarnya kalau masuk ke biro psikologi ada wawancara awal, tes kepribadian, tes ini itu. Pada beberapa kasus dibutuhkan minimal observasi 3 bulan baru (jangka waktu rata-rata) setelah itu kita bisa menegakkan sebuah diagnosa.
Dilalah…..
Republik netijen telah mengalahkan semua prosedur itu dan meloncat tahap ke diagnosa yang hanya berdasarkan pemberitaan-pemberitaan. Ya Tuhan. Tolong hamba.
Beberapa waktu lalu, seseorang ibu mengirim gambar anaknya yang merobek-robek bajunya sendiri kepada saya. Dia punya kecenderungan merobek baju pakai tangannya sendiri. Ibunya mengirimkan foto kepada saya via WhatsApp. Saya mengatakan, “Ibu, silakan bawa ke psikolog terdekat untuk diagnose awal,” “Emang mbak nggak bisa?” ya saya jawab tidak bisa. Saya perlu mengamati si anak, bola mata (klien anak dengan kasus autism punya spesifikasi di bagian bola mata), atensi dan lain-lain. Apalagi ini kalau anda hanya baca berita rol yang terdiri dari beberapa paragraph.
Bukan dukun. Bukan. Ingat wk.
KODE ETIK PSIKOLOG
Sebelumnya saya ingin mengingatkan kembali beberapa prinsip mendasar soal kode etik psikologi. Kita semua perlu memahami bahwa mayoritas kita adalah bukan orang yang berinteraksi langsung dengan si A ataupun 12 anak yang (dianggap) membully itu. Sebenarnya saya ga tega ya bilang “si pembully,” Sumber utama kita adalah media, yang mana, merupakan sumber sekunder, belum lagi sifat media yang “You know lah”, apalagi jenis berita di media online kayak jualan onlen yang pakai kekuatan click bait, mereka berlomba menyajikan berita seperti judul sinetron.
Menghakimi hanya berdasarkan fakta-fakta media sebagai akademisi tentu saya rasa agak kurang bijak dan sangat lemah landasannya. Saya dengan segala kekuranga n saya akan mencoba membedah kasus Aud**y atau kasus lainnya Namun, saya akan menyatakan dengan lapang hati bahwa apabila saya ada kekeliruan dalam menanggapi kasus ini dan itu tersebab lemahnya sumber daya, maka saya mengaku salah dan akan merevisi tulisan saya.
Thanks to @GiovannyPutriAndini yang sudah mengingatkan saya lewat postingannya yang cukup menyentil, “percayakah kita pada media?” Dalam proses menulis soal Audrey, jiwa peneliti saya itu tergelitik, “Apa benar kata media?” “Alasan mereka apa?”. Rasanya ingin wawancara langsung biar data basah dan primer. Bukan data kering disaring dijemur diperas dan dikebas. Kita cuma dapat data kebasan aja. Sisa. Tidak otentik.
Dalam konteks menegakkan diagnosa spesifik terkait seseorang, para psikolog dilarang untuk turut bicara tanpa bersinggungan langsung dengan yang didiagnosa (klien). Rekam medis klien itu privasi lho. Bahkan sesame psikolog, ga boleh sharing nama klien dsb. Kecuali pihak lainnya adalah pihak yang terlibat langsung dan atas consent dari klien. Misal, pernah beberapa waktu lalu kasus Marsh*nd*, orang beramai-ramai mengatakan marshanda bipolar dan sebagainya, padahal para psikolog tidak berani mendiagnosa orang hanya lewat layar kaca sepintas-sepintas (kecuali rekaman yang bersifat khusus untuk merekam perilaku yang komprehensif). Sementara, malah yang tidak punya kapabilitas turut serta merta menghujat.
Adapun kita diperbolehkan untuk menjelaskan terkait fenomenanya. Misal kasus A dan 12 pembully. Saya nggak bisa jawab kalau terkait individu spesifiknya, missal, apakah para anak-anak yang dituduh membully punya kecenderungan agresivitas atau tidak. Tentu untuk menegakkan diagnose individual perlu serangkaian proses kuantitatif dan kualitatif. Sementara, kalau bicara soal fenomena pembullyannya secara umum, sebab dan akibat, bisa dilakukan. Hal itu boleh dan harus terus menerus menjadi porsi edukasi. Edukasi supaya tetap cerdas dan bukan menghakimi.
DIAGNOSA LAYAR KACA, VALID KAH?
Saya sering sedih jika melihat sebuah berita tentang seseorang yang mengalami stigma gangguan psikologis. Kecuali memang para pejuang (penyintas) sendiri yang membuka kasusnya ke hadapan umum.
Netijen dengan maha benar segala diagnosanya kadang lupa bahwa kita tidak berinteraksi langsung dengan subyek. Bahkan kadang kita tidak memahami sebab-sebab perilaku orang di sekitar kita. Apalagi yang jauh di layar kaca. Satu arah, tanpa bisa melakukan dialog.
Apalagi diagnosa-diagnosa berkaitan dengan keilmuwan tertentu. Dalam konteks saya, psikologi. Bagaimana bisa orang dengan mudahnya menghakimi orang begini dan begitu secara psikologis. Misal, para ibu-ibu suka terlalu terburu-buru melabel anaknya hiperaktif, padahal belum tentu. Pokoknya ga bisa disuruh duduk, e…hiperaktif.
Inti dari omongan saya adalah mari berhati-hati berpartisipasi dalam kancah dunia maya yang mudah sekali mengucapkan ini dan itu apalagi di luar kapabilitas kita. Dalam konteks yang lebih khusus dalam ranah saya, hati-hati menghakimi orang memiliki gangguan psikologis hanya dari layar kaca.
Kekurangan Tulisan Ini
Tulisan ini menafikkan tingkat literasi orang terhadap gangguan psikologis. Maksudnya, bisa jadi dengan mudahnya orang memberi cap bipolar atau tidak, gangguan impuls atau tidak, artinya tingkat melek kesehatan mental masyarakat sudah naik.
Saya pikir, saya perlu untuk menulis bagian ini. Dalam dunia ilmiah kita diminta untuk mengakui apa yang kurang dari artikel ilmiah yang kita tulis dan penelitian yang kita teliti. Belajar humble.
1 note · View note