#permenppks
Explore tagged Tumblr posts
Photo
Apresiasi saya buat @nadiemmakarim dengan Permendikbud Ristek 30 PPKS artinya seluruh civitas akademika di kampus seluruh Indonesia diberi payung hukum perlindungan dari dan terhadap pelecehan & kekerasan seksual 💪🏼 Terimakasih telah memberikan kekuatan hukum terhadap otoritas tubuh individu melalui KONSENSUAL/ PERSETUJUAN atas segala bentuk tindakan terhadap tubuh milik individu. Pada hakekatnya manusia dewasa memiliki kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap diri & tubuhnya yang WAJIB DIHARGAI orang lain. Saya mendukung Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. #PermenPPKS #DukungPermendikbud30 #KampusMerdekaKS #JaringanMudaSetara #AntiKSKampus #GerakBersama #AmanBersama @JaringanMuda https://www.instagram.com/p/CWeuxnNPBMS/?utm_medium=tumblr
#permenppks#dukungpermendikbud30#kampusmerdekaks#jaringanmudasetara#antikskampus#gerakbersama#amanbersama
0 notes
Text
Ayo! Tunjukkan dukunganmu terhadap Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Get yourself this twibbon at twb.nz/jarmudpermenppks
#PermenPPKS#DukungPermendikbud30#KampusMerdekaKS#JaringanMudaSetara#AntiKSKampus#GerakBersama#AmanBersama#jarmudpermenppks#twibbonize
0 notes
Text
I posted 70 times in 2021
65 posts created (93%)
5 posts reblogged (7%)
For every post I created, I reblogged 0.1 posts.
I added 10 tags in 2021
#youtube - 1 posts
#permenppks - 1 posts
#dukungpermendikbud30 - 1 posts
#kampusmerdekaks - 1 posts
#jaringanmudasetara - 1 posts
#antikskampus - 1 posts
#gerakbersama - 1 posts
#amanbersama - 1 posts
#jarmudpermenppks - 1 posts
#twibbonize - 1 posts
Longest Tag: 20 characters
#dukungpermendikbud30
My Top Posts in 2021
#5
Privilege
Jadi pagi ini (Sabtu, 30/10) ku baru aja live ig dengan flipenglishpare. What I noticed throughout the convo adalah: I really did put a lot of disclaimers there. It applies as well ke postingan Jardine aku kalau teman-teman ingat dan pernah baca. These disclaimers apparently highlighted the fact that I'm SO privileged, that I'm an exception rather than the norms, and that my story can't be taken solely as 'an ordinary/normal' person's experience.
Tadi dija (lawan ngobrol aku dari flipenglishpare) nanya: "kakak butuh berapa waktu sih buat persiapan ielts?", in which I answered (dengan sangat jujur): "hmm 3 minggu? aku booking ielts testnya juga mendadak karena tiba-tiba diminta sama itb bukti ielts" -- cerita lebih lengkapnya ada di postingan Jardine lah ya. Kemudian tapi aku tambahkan buru-buru:
"ini mungkin terdengar as if aku extraordinary atau pinter banget apa gimana gitu karena aku bisa ielts prep belajar sendiri dalam 3 minggu dan scoring a 7.5, tapi jujur pas dipikir-pikir lagi ini aku harus kasih disclaimer: aku bisa kayak gitu karena kemampuan bahasa inggris aku sudah terakumulasi selama >15 tahun. Aku udh belajar bahasa inggris dari kelas 4 sd, dilesin LIA sama mamaku pas SMP sampai SMA, dibiasain nonton film baca dan dengerin lagu bahasa inggris. Jadi 3 minggu itu bukan aku belajar dari 0, tapi lebih ke practice dan strategizing ngejawab tesnya gimana."
That whole disclaimer tbh speaks a lot about where and how I grew up: di ibukota negara dengan segala fasilitas pendidikannya (+ orangtua yang sadar kalau invest bahasa inggris buat anak itu penting). In short, a whole lot of privilege. Dan dija in turns langsung bales "ah ok iya kak beda banget ya. Aku aja atau kita-kita di pare ini ya baru sadar ternyata perlu belajar bahasa inggris ya pas kuliah. Kita mau daftar beasiswa eh ternyata butuh nilai ielts/toefl. Pas sd smp sma boro-boro kepikiran dan di sekolah di sini juga ngga ada pelajaran bahasa inggris atau kalaupun ada ya sekedarnya kak karena guru-guru juga ngga ada yang bisa/paham." Asli sedih banget w pas dengar itu. Betul-betul langsung bersyukur dan sayang banget sama mama karena if it wasn't for her, I definitely won't be here rn. Ku sampe bilang juga akhirnya ke dija: "iya, mamaku ngga bisa bahasa inggris, tapi dia sadar bahwa akan penting banget bahasa inggris untuk anak-anaknya nanti, makanya dari kecil sudah dikasih paparan ke bahasa inggris aku dan adikku". That might be my number 1 privilege: orangtua yang tahu whats best for their children.
Tapi... pas ditelusuri lagi jauh ke atas, muncul pertanyaan: how did my parents do their parenting? Where did they get references or the know-how? Sekarang buku parenting mah udah banyak ya, atau social media atau influencer. Tapi back then in 1990s-2000s? Ya ternyata jawabannya adalah karena mamaku juga disekolahin bener sama mbah putri mbah kakung. My mom went to IPB bogor for her undergrad. She really was (and is) a brilliant mind. Dari SMA sudah merantau ngekos di Jogja, she went to SMA9 Yogyakarta padahal rumahnya di Pedan, Klaten. The fact that my grandparents allowed her to live far away from home to get her education is probably also what makes me possible to be far away from home to study tbh. Mamaku betul-betul meniru what her parents do. There's no compromise to education. Jadi... kalau ditelusuri jauh privilegeku datang dari background keluarga yang menyadari pentingnya pendidikan, itu satu.
Selain itu, pastinya mama juga harus research dong sekolah bagus buat anak apa di mana. Kemarin mbak ntri, sepupuku, kayanya lagi survey SD buat anaknya terus pos instastory banyak banget SD2 di jaksel dari yang islami, global, sampai negeri percontohan. Dengan network teman-teman kantor mama (dulu belum bisa googling semudah itu), akhirnya mamaku compiling info sekolah bagus di mana aja. She really didn't mind bayar berapapun (asal masih masuk budget dia), asalkan anaknya bisa dapet the best education. Dari situ lah ku masuk sd percontohan rawajati 08, smp115, sma8, itb, betul-betul udah ngikutin arus sungai aja itumah. Ini juga sepertinya salah satu privilege dari: hidup di ibukota where sekolah dengan kualitas bagus sebetulnya ada di mana-mana. Mungkin kalau aku hidupnya di kediri gitu, tadi kayak dija, atau daerah lain di sumatera/sulawesi, boro-boro milih sekolah, udah bisa dapat sekolah yang gurunya ngajarnya betul aja udah syukur. (Ku pernah lagi survey buat OSP gitu ke SMA di Ternate dan hari Jumat jam 10 pagi aja tu sekolahan betul-betul gaada kelas, anak-anaknya cuma main aja nungguin Jumatan terus abis Jumatan mereka pulang.... imagine).
Kalau dipikir-pikir lagi, yang menurutku paling mindblowing dari how privilege works adalah: semakin gede privilege kita, semakin gede juga eksposure kita ke opportunities. Singkatnya, makin mudah lah hidup. Bagian susah-susahnya tu ya keskip aja gitu. Paling nyata dari kisah hidupku ya tadi: belajar bahasa inggris. Jujur asli sampe sekarang ku gapernah merasakan yang namanya belajar bahasa inggris itu sebagai 'momok'. I learned English purely because it's fun and I can know and learn more karena basically hampir semua resources (of knowledge terutama) comes in English. Jadi gapernah tu kepikiran bahwa ku belajar bahasa inggris buat di-tes, nanti buat ielts/toefl. Dan mental itu penting banget lho, karena beda banget belajar for fun sama belajar buat tes. I can't imagine the stress and the anxiety kalau harus belajar bahasa for a test. Jadi jujur kalau ditanya "challengenya belajar bahasa inggris apa sih kak? dan gimana overcomingnya?" I definitely can't answer. Well, probably I'll answer: time. Learning language is not something you do overnight/in a month, it's a continuous process; it took me more than 15 years and I barely can write anything on my paper draft rn? lah jadi curhat. Ya intinya gitu.
Salah satu bukti nyata lain dari bagaimana privilege open up so many opportunities adalah: your network. Privilege ini memang jeleknya (atau malah bagusnya?) adalah mengumpulkan orang-orang dengan level privilege yang sama atau mirip-mirip di tempat yang sama. Ku bisa di oxford sekarang karena wian dan hanifi, yang adalah teman satu sma ku (inferring a similar level of privilege), yang mana mereka anak jardine. Info tentang jardine ngga akan nyampe di aku kalau aku ngga 1 network sama wian dan hanifi. Info tentang opportunities tend to circulate in the same circle. Makanya susah banget buat orang-orang yang ngga ada akses (nah ini nanti hubungannya ke postinganku yang berjudul akses) untuk bisa tahu opportunities2 apa aja out there, unless they take a leap. Tapi untungnya berkat social media sekarang, informasi dan akses betul-betul seterbuka itu, tinggal gimana kitanya aja sebagai user mau nyari apa nggak info itu.
Lah jadi panjang kemana-mana. Iya yaudah intinya adalah mau bilang aja. I am what I am rn, not because of myself. It is because I had a great headstart. Kalau di game-game racing yang betul-betul ada boosternya langsung meluncur di garis start. Betul-betul 75% privilege yang contribute. Meh, 90% bahkan mungkin. My ecosystem made me who I am rn. Makanya sesungguhnya yang paling kutakutin dari seminar-seminar success story atau bahkan tiap aku sharing 'success story' (yaampun bahkan I'm failing my phd right now, gimana ceritanya sukses non) adalah how we sell the dream without looking at the * alias the t&c. Sekarang asli deh tiap liat orang-orang keren yah, macem Pak Sandiaga Uno, Maudy Ayunda, mas Nadiem, pasti ngecek: orangtuanya siapa, dia tumbuh besar di mana. That'd paint the bigger picture. They are successful not only because they're great, but their ecosystem made them to.
It applies to me as well kok. Sometimes ngeliat temen-temen di sini di Ox yang udah Forbes 30 under 30 lah, punya startap sendiri, etc2. Terus ya pas lagi ngobrol sama mama cerita dan nelusurin bareng-bareng: "oh.. dia emang cucunya si ini ma,... orang neneknya aja udah master di perancis dulu tahun 1980an". Well, bukan jadi pembenaran sih, cuma lega aja gitu jadi kayak mau comparing diri kita ke dia juga nggak apple to apple karena starting point dia aja udah beda sm kita. For me it helps, ngga tau ya buat kalian.
Yaudah jadi gitu aja. Intinya adalah mau ngelist privilege w sebanyak apa supaya tidak sombong dan ngerasa I did everything myself + motivasi for me so that I can do better & menggunakan privilege ini sebaik-baiknya:
Latar belakang keluarga (dari mbah putri mbah kakung) yang selalu monomorsatukan pendidikan (investasi pendidikan no 1) -> berujung ke mama papaku punya pekerjaan bagus dan mapan sehingga bisa bayar sekolah & les ini itu buat anak-anaknya
Tinggal di ibukota negara dengan segala fasilitasnya (termasuk tempat kursus bahasa inggris yang harganya reasonable)
Network yang super oke yang udah kefilter karena masuk sekolah bagus -> paparan ke info ttg opportunities gede banget (total global scholarship dari itb, jardine dari teman2 sma, pekerjaan di ui juga bahkan dari network alumni yaitu octria)
Orangtua yang super flexible prinsipnya "terserah kaka yang penting tanggungjawab" -> ini yang bisa bikin aku pursuing geology sekarang as a woman dan di negara jauh pula (ngga semua orang punya parents kaya gini)
Yang kepikiran secara umum cuma 4 itu tapi yakin kalau dibreakdown bisa sampe ratusan printilan yang bikin a chain of reaction. Tapi bahkan 4 itu aja tu udah guede banget.
Tujuan dari post ini apa ya... ya sharing aja sih. Dan mungkin semoga teman-teman, baik yang berkelimpahan privilege seperti aku ini bisa mulai menyadari ekosistem dan privilegenya sehingga termotivasi to do better dan menciptakan ekosistem yang sama buat anak kalian kelak ataupun lingkungan sekitar (ataupun skala negara kalau mau ngasih impact yang gede banget), maupun untuk teman-teman yang less privileged bisa jadi kesadar bahwa life isn't fair anyway, we start from different starting line dan ya emang gabisa compare satu sama lain mentah-mentah, so jangan berkecil hati kalau sekarang kalian ngga lagi phd di oxford misalnya, atau belum nikah, atau belum punya rumah, dsb. Yang paling penting itu adalah: happy. Just make sure kita happy dan sama-sama work toward the future di mana ketimpangan privilege ini bisa diclose gapnya so that our next generation ga ngerasain yang kita rasain sekarang.
Anyways, happy weekend all! It's sunny here today semoga di manapun kalian berada juga cerah dan bahagia selalu!
Cheers, Asri // Woodlands Close 9 30/10/2021 11:37 am
18 notes • Posted 2021-10-30 10:37:45 GMT
#4
Impact
This is a very random writing I’ve been meaning to write since yesterday(?) atau Senin bahkan tapi nggak sempat-sempat karena satu dan lain hal (nggak satu dan lain hal sih, ya karena emang males aja). Iya intinya kemarin Senin I’ve just had a SeedWISE session (ku udah pernah bahas kan ya? semoga udah), terus di session kemarin ngebahas impact. Karena SeedWISE ini sistemnya adalah ngumpulin ciwi-ciwi DPhil di MPLS (Math Physics and Life Science) yang kebingungan beres lulus mau ngapain (selain menjadi academia), jadi dibahaslah tu impact dari dream/goal kita apa. Mereka kasih reference website juga yang menurutku bagus banget untuk dicheckout yaitu https://80000hours.org/. Premisnya adalah: we work for 80000 hours in our (only one) life, so we should be doing something that makes an impact to the world. Gitu lah ya kalau versi baratnya. Kalau di kita di Islam mah intinya menjadi orang sebermanfaat mungkin buat sekitar.
Nah terus masuk ke breakout room session gitu kan. Ber4. Sharing what your ideal dream job like (disuruh juga bikin scenario dari yang best-case, kalau di normal distribution tu yang p90nya, ideal banget tapi unlikely to happen, sampe ke yang p50, terus p10 alias the worst case). Terus nanti ceritanya 3 orang lainnya ya mendengarkan sekalian asking for clarification dan ngasih saran atau feedback dari dream job/final goal in life ini. Terus sejujurnya w tuh rada males ngomong awalnya, karena lagi di office dan ada Jack di meja sebelah. Udah minta ijin sih bilang ke Jack kalau w lagi ada meeting so I might talk and therefore making noise. Tapi ya malu aja gitu karena secara ga langsung si Jack juga pasti jadi dengerin w ngomong apa kan. Tapi yaudah akhirnya tetap discuss dan ikut berkomentar deh w. I literally said my dream ya balik ke Indo, build my own lab, learn as much as I can on how the research ecosystem work in the UK and hope I can contribute positively to the research ecosystem in Indonesia. WOW. Now that I wrote it and put it into words, that really DOES sound like a noble huge dream. Soalnya pas breakout session itu semua orang (3 orang lain maksudnya) seemed to be very impressed with my words tapi I ngga nyadar kenapa.
Terus yaudah abis seberes session itu jadi mikir aja. Ternyata karena kita Indonesia masih merupakan negara berkembang, masih BANYAK BANGET hal yang kalo kita kerjakan akan ngasih impact. I mean, mostly buat orang-orang sini tuh ya, karena semuanya sudah settle dan berjalan dengan baik, ya mereka juga kebingungan mau ngasih impact ke mana. Betul-betul kalau ngomongin sistem, baik itu sistem ekonomi, pendidikan, kesehatan, the most they can do ya optimize. Pas dengerin goal/dream teman-teman lain yang di breakout room itu ya mostly akan ke industry jadi R&D di sana, atau ke consulting then later build their own startup di biotech something. Kalau ngebanding-bandingin impact, jelas dream goal saya tadi yang bawa-bawa negara ngga bisa dicompare scalenya sama punya mereka.
Kayanya ku juga pernah bahas ini entah di tulisan mana sebelumnya, but it happens as well for science, terkait impact. Karena w pahamnya perkembangan science di bidang w, jadi w ambil analoginya di bidang earth science aja ya. Intinya nih ya, orang-orang di sini, di departemen saya maksudnya, walaupun judul departemennya adalah earth science, yang dikerjakan orang-orang ini mostly udah ngga lagi hal-hal yang berhubungan dengan bumi. Lucy, baru aja lulus DPhil tahun lalu kayanya, dia ngeresearch how water in Mars works dengan atmospherenya dan segala macem. Orang-orang juga mempelajari seismik di Io dan satelit-satelit jauh-jauh. Kenapa? Karena udah abis yang bisa dipelajarin di UK dan sekitarnya! Well, north hemisphere mostly. Orang-orang udah mempelajari how fossil was made dari… 1800? People has worked on gravity dan earth magnetism segala macem dari 1900an. Dan di sini, research tu saturated banget. Almost everything has been researched by at least a person. Meanwhile di Indonesia? Yaampun dengan 270mil populasi, puluhan ribu islands, ratusan active volcanoes, berapa orang sih researchersnya? I did a very quick googling: 177k yang terdaftar SINTA. Itu probably consists of dosen dan peneliti di research institution di Indonesia macam LIPI, BPPT, BRIN, BMKG, LAPAN, BATAN, dan peneliti-peneliti di kementerian juga. Kemudian apakah semuanya dari 177k itu aktif doing research? O tentu saja tidak. Ini speaking from my experience ya, ku pas jadi dosen di UI 2 tahun itu ZERO publikasi sebagai penulis pertama. Betul-betul ndak nulis blas. Dalihnya sih tersibukkan oleh ngajar (tapi emang iya betul). Karena nulis & doing research itu REALLY does take your time to think. Gabisa tu nulis sambil nyambi-nyambi. Terus yaudah balik lagi ke topik. Iya. Di Indonesia, banyak, saya tekankan lagi: BUANYAK banget objek research/gap yang bisa & harus dipertanyakan tapi ya karena ngga ada yang ngerjain (karena gaada uangnya) yasudah mau gimana lagi.
Ini nanti jadi bahasan topik sendiri sih karena ku bareng teman yang orang LIPI dan teman yang ngajar di Paramadina juga pernah bahas: how in Indonesia doing research itu waktu dan tenaganya sama sekali nggak dihargai. Gimana ya ngomongnya. Bukan ngga dihargai sih, tapi ngga bisa dijadikan anggaran. Saya sudah berpengalaman lah ya ngajuin grant proposal, terus diterima, terus ngerjain riset, kemudian bikin laporan keuangan dsb. Terus betulan ada lho grant yang bilang komponen belanjanya gabisa dibuat untuk honor peneliti. Jadi betul-betul duit itu harus habis dalam bentuk dibelikan barang atau biasanya jadinya ya kita buat fgd2an diseminasi hasil riset terus bentuk spendingnya berupa honor narasumber. Lah kan jadi bingung saya. Imagine you spend anggeplah 10 hours/week for 3 months (yang mana pasti ga cukup itu waktu segitu) doing your research including analysis writing dsb terus tapi ngga dibayar??? ngga bisa masuk ke komponen belanja. Ya saya mah jadinya malas juga. Ngapaen. Mending w ngajar olim asli dah 6 jam udah bisa buat beli 2 album BTS (well anyway). Tapi iya intinya adalah itu, orang males doing research di Indonesia ya karena buat apa, ngga ngehasilin uang. Sedangkan kita butuh uang buat hidup. Lah jadi kemana-mana ini tulisannya padahal mau bahas impact awalnya.
Ok, tapi semoga nangkep lah ya unek-unek saya ini. Intinya, bersyukurlah teman-temanku, kita dikasih hidup lahir tumbuh besar di Indonesia enaknya betul-betul mau ngapa-ngapain tu potensinya ada dan gede banget. Mau bikin bisnis baru dagang apa aja juga masih gede opportunitynya. I’m not saying it will be easy. Of course setiap hal pasti akan tetep ada challengenya. But at least it won’t be as difficult as it is here where people have started doing things dari jaman jebot. Sebagai percontohan untuk skala besarnya mungkin bisa dilihat HMNS-nya Iki (Iki adalah adik NIM-ku lho! LOL, I’m such a proud sister). Menurutku keren sih Iki ini bisa lihat di Indo tuh prodak apa yang masih belum saturated marketnya, belum banyak pemainnya, masih mostly dikuasai oleh brand luar dan dia masuk di situ. Mau ideal case lagi ya Gojek, RuangGuru, Bukalapak. Itu semua menurutku hal-hal yang di Indonesia tu bisa jadi gede banget dan ngasih impact tapi if you do it here, unless you have a VERY BIG capital, you won’t be able to do that. Atau kalau contoh yang kecil-kecil ya macem flipenglishpare kemarin, dia bikin perusahaan kecil-kecilan ngejual les Bahasa inggris online buat IELTS/TOEFL prep. Ngomongin impact? Jelas gede banget impactnya. Gitu-gitu dia berkontribusi untuk pendidikan bangsa lho.
Yaudah sekian dulu berhubung sudah jam 22pm, ku doakan (dan ku yakin pasti mang udah iya sih) teman-teman di sini juga bisa ngasih impact seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya untuk orang lain. Bisa lewat tulisan yang menginspirasi, lewat art, melalui pekerjaan sehari-hari (ku tahu mutualsku di sini ada yang guru, dokter, dosen, ASN yang aktif di komunitas, pegawai industri tapi juga sosial activist, dan banyak lagi). Jujur kalau ngomongin pengmas aka pengabdian masyarakat sama teman-teman di sini (orang UK atau Eropa daratan), mereka super tidak akan bisa relate karena gaada konsep pengmas di sini, tapi di Indo berhubung masih bisa, mari kita sisipkan dikit-dikit ‘pengmas’ dalam hidup kita aka mari ngasi impact!
Best,
Asri
29 notes • Posted 2021-11-04 22:07:58 GMT
#3
Dikasih pinjam
Ini masih pagi banget jam 7:44 am tapi semalam dapat kabar sepupuku yang kerja di KJRI San Fransisco meninggal :( umurnya sama sepertiku kelahiran 93 juga... penyebabnya masih dicari tahu tapi untuk sementara karena kecapean overload kerjaan...
Langsung telp mama bangun tidur terus yaudah nangis lah kita berdua kan ya, intinya mama cuma ga berhenti bilang "jaga kesehatan ya kak". Terus mau mengalihkan pembicaraan ke trip ku kemarin tapi gabisa ngomong saking udah dramatisnya ini convo terus mama memutuskan utk mengakhiri call.
Jadi kepikiran betapa... ribetnya meninggal jauh dari rumah. Jenazahnya harus ditransport dulu, nggak bisa langsung ketemu, cara processing griefnya juga beda karena semuanya serba mendadak dan jauh. Beda banget dengan proses orang meninggal yang kita tahu (well, at least, yang pernah kualami yaitu mbah putri dan mbah kakung) yang kita tu udah siap-siap gitu loh karena mereka sakit kan di RS, jadi mentalnya udah disiapkan untuk menerima fakta bahwa orang ini akan meninggalkan kita soon. Tapi kalau jarak jauh dan masih muda gini yang meninggal jadi syok banget.
Mama juga kayanya masih processing. Mungkin belio sangat bisa empathized dengan kakaknya karena posisinya juga sama-sama punya anak rantau perempuan single yang jauh di belahan dunia lain. Ku cuma takutnya mama jadi trauma aja ngirim anak-anaknya jauh dari rumah. Semoga nggak. Yah namanya umur juga nggak ada yang tahu kan, udah digariskan sama Allah. Semoga Almarhumah Mbak Lia khusnul khotimah, meninggal saat menjalankan tugas negara. Semoga budeku dan pakdeku senantiasa ikhlas. Minta doanya ya teman-teman. Al Fatihah.
Ox 2 Juni 2021
34 notes • Posted 2021-06-02 06:54:45 GMT
#2
Access
"Do you have any close friends or just friends you're still talking to until now that never went to uni?" The other day Kalina just randomly asked me this question which then surprised me a bit. I tried to remember all of my friends that I know now and ALL of them did go to uni! Wow. Abis itu kita jadi ngomongin tentang seberapa homogenousnya our circle is. Mungkin kita ngerasa our circle is diverse enough, but then it turns out it isn't. Awal mulanya emang si Kalina cerita dia abis berdebat sih sama Arthur tentang diversity ini, terutama di lingkungan pertemanan ya. Si Kalina cerita Arthur ngerasa circle mainnya udah mayan gede karena dia hangout sama temannya yang dari Southern France, but then again kalau diriku dan Kalina melihat circle ini dari luar ya mereka adalah sekumpulan orang Perancis aja yang berteman, bahkan mereka masih berbicara satu bahasa yang sama yaitu French.
Terus ya gitu, ku jadi mikir banget juga. Circleku amat sangat kecil. Teman mainku sekarang ya anak-anak Indo di Oxford, anak-anak 1 dept Earth Sciences, teman-teman KPA, anak-anak GEA, bahkan teman-teman di twitter instagram pun ya masih teman-teman SMA dan kuliah. Jarang banget ku dapet kesempatan untuk ketemu orang yang backgroundnya jauh bedaaa gitu denganku. Bahkan sesederhana teman yang nggak kuliah aja nggak ada. Ada sih orang-orang yang ku berinteraksi sekali dua kali gitu kaya jaman dulu pas masih ngegrab ya ketemu abang grab bervariasi kan ya, tapi itu kan bukan teman. Terus yaudah pantes aja ya ku viewnya sempit bener, wong ngga pernah main sama orang yang beda bubble. Betul-betul jadi kerasa diversity itu akan memperkaya view ya pas lagi mikirin ini.
Kemudian tapi dari situ Kalina jadi bahas tentang access. Dia cerita pernah terlibat dalam satu project outreach orang sini lah ya, terus targetnya tuh anak-anak private school (?) bingung dong kite ye kan. Kok ngadain project outreach ke anak-anak private school, buat apa... ternyata menurut project headnya tuh si anak-anak priv school ini perlu dikasihin outreach karena mereka tumbuh besar di lingkungan yang sosial banget, Bapa Ibunya businessmen/women, atau di law, makanya mereka perlu dikasihtau tentang STEM. IMAGINE. Betul-betul di luar dugaan kan???? Dari situ ku jadi bahas deh "oh.. ya memang diversity then again relatif sih ya... definisi access pun juga jadi relatif karena itu..."
Terus yaudah kulanjutin jadinya ngebahas gimana akses di Indonesia. This access thing back home diperburuk dengan kondisi negara kita yang kepulauan. Di UK, kalau ku tinggal di kota kecil, ku bisa dengan mudah drive 1,5 hours ke kota besar dan belajar di sana gitu. Di Indonesia? Muahal banget. Ku cerita di UI pun anak-anaknya sangat tidak diverse, as in 80% (?) I think comes from Java... sisanya baru yang dari luar pulau. Terus akhirnya ada ketimpangan kualitas dan output pendidikan deh. Bisa dilihat kok anak-anak yang sekarang di sini ajadeh (di Oxford), udah ketebak "SMAnya dulu di mana?" jawabannya nggak jauh-jauh dari SMA8, SMA5 Surabaya, SMAK1, dia lagi- dia lagi. Kebayang seberapa timpangnya pendidikan di Indo? I'm not saying that other people from outside of Java didn't stand a chance ya. We have here also Bang Reybi, Dara Nasution, ya ada lah satu dua yang outliers dan anomaly, tapi general trendnya kelihatan gitu. Masalahnya di mana? Akses.
Di tengah-tengah ngobrol terus Kalina jadi kesadar. "Right. I shouldn't be talking this with you, though. Both of us know REALLY well what the problem is here. But do you know how frustrating it is to explain this situation to people who've been raised in the UK? Or Europe? They have no idea! At all!" Lalu ku jadi tersadar, ya sesusah itu cerita sama orang memang kalau backgroundnya sebeda itu. Susah banget paham case kalau kita nggak bisa relate sama sekali. Kayanya beberapa waktu lalu ku mengalami hal ini deh, tapi apa ya casenya lupa. Lagi ngomong sama orang terus yang "I'm REALLY sorry, but I don't know what to say because I couldn't understand the situation at all, I can't even try to relate/imagine to that." Lupa. Well, anyways, yaudah jadi gitu.
Sooo, PRnya masih banyak teman-temanku. Akses. Makanya sekarang the least thing I could do adalah nyebarin informasi seluas-luasnya. Ngebalesin dm sebisa mungkin. Ngarahin harus ke website apa, dsb. Ku belum sampai di kapasitas bikin platform yang bisa ngasih "akses" ke orang banyak (it will take so much time and energy, I don't think I could do that), tapi I do what I can do. Kecil mungkin impactnya, tapi syukur-syukur bisa dilanjutkan lagi ke orang berikutnya, kaya riak di kolam pas kita lempar batu. Ini ku omongin banyak banget pas telponan sama Noumi sih, intinya yang kulakukan sekarang itu sebagai manifestasi balas budiku ke Wian (dan Hanifi juga) karena sudah dibantuin interview Jardine. Nggatau lagi kalau ngga ada mereka berdua.
49 notes • Posted 2021-08-26 15:52:42 GMT
#1
Jardine
Hello! Jadi berdasarkan request Kak Dea @hellopersimmonpie beberapa waktu lalu di twitter, aku memutuskan untuk menulis tentang 'bagaimana mendapatkan beasiswa Jardine' karena ternyata ku belum pernah menulis rapi tentang ini. Padahal enak banget ya kalau udah ada tulisannya tuh, kalau ada yang nanya ya tinggal dikasih link post ini aja.... kenapa ya ga pernah kepikiran huf.
Ok, sebelum kita mulai, ada baiknya menawarkan opsi-opsi informasi yang sudah ada terkait Jardine yang sudah pernah kuberikan dulu ya:
Podcast video di youtube channel Edsel
Youtube video dengan IRO ITB
Youtube video dengan Teh Rosi Meilani
DISCLAIMER (harus dengan bold dan italic karena cukup capek menjawab pertanyaan yang ini): Yang kuceritakan sekarang ini HANYA proses daftar Jardine postgraduate saja (alias untuk jenjang master dan doctoral saja, tidak untuk yang undergraduate karena untuk Jardine undergrad it's a whole different process in which I don't know and experience at all).
OK, mari kita mulai. Sebelum aku share experience aku, ada baiknya kita tahu dulu apa itu Jardine Scholarship? Aku nggak menjelaskan panjang lebar ya, ku kasih link aja untuk dibaca sendiri: link.
Nah, kemudian nanti Jardine Scholarship for postgraduate itu jalur utamanya ada 2: ada jalur ITB-UGM dan general scheme. Disclaimer lagi: yang kujelaskan dengan detail setelah ini adalah jalur ITB-UGM saja karena jalur ini yang ku-experience.
*AH! Aku jadi inget kenapa aku gapernah kepikiran untuk nulis experienceku apply Jardine ini in the first place: karena sasaran pembacanya akan kecil banget, cuma alumni-alumni ITB-UGM aja.. :(
Tapi tenang aja, aku akan coba bahas juga untuk yang general scheme sekilas karena ku tahu sedikit-sedikit prosesnya dari teman-teman sesama scholars Jardine juga yang dapetnya via jalur ini.
Btw, ceritanya akan banyak TMI-nya ngga apa-apa ya, karena memang aku anaknya suka oversharing dan kalau nulis kemana-mana. Jadi harap dimaklumi.
Tahu Jardine Pertama Kali
Jadi ceritanya sejak akhir 2017 sampai tengah 2019 pekerjaanku masih sangat amat tidak jelas. Di UI bantu-bantu ngajar tapi statusnya masih PKWT (PK? Waktu Tertentu) alias gaji sebulan betul-betul tidak cukup untuk hidup kalau nggak numpang rumah Mama. Melihat ketidakcukupan itu, akhirnya mau nggak mau ku mengambil pekerjaan lain juga dong, yaitu ngajar olimpiade. Nah yang ini bikin penghasilan lumayan nutup tapi ya gitu musiman aja kan dia, ada offernya kalau lagi mau dekat-dekat OSK, OSP, atau OSN aja.
Kemudian di tengah-tengah ketidakjelasan itu akhirnya ku memutuskan "yaudahlah mau sampe kapan Non gini terus ente gajelas hidupnya", bukaan PNS ga ada, PUI juga waktu itu belum ada kabar, mencari jodoh juga belum terlihat hilalnya HAHA, akhirnya ku niat kan lah untuk nyari PhD. Tapi yagitu, nyari PhDnya juga setengah-setengah hati gitu kan, karena masih sibuk ini itu.
Sampai akhirnya tiba-tiba Juni(?) teman SMA-ku, Wian, menghubungiku, ngajakin buat ke rumah Muthi (teman SMA lain) yang baru aja abis lahiran. Karena rumah Muthi di Depok, akhirnya si teman-temanku ini datanglah ke UI buat ngejemput diriku dan cus lah kita ke rumah Muthi. Nah, di sini lah baru ngobrol-ngobrol aku dengan Wian dan Hanifi yang rupanya sedang menempuh doctoral study di Oxford dengan Jardine Scholarship. Hanifi waktu itu 2017 applynya masih ada jalur Jardine UI, dia apply untuk intake 2018. Wian apply via general scheme untuk intake 2019 karena waktu itu udah ngga ada Jardine UI dan posisinya dia lagi di London masih kerja di lab setelah lulus masternya di Imperial (ps. Wian dan Hanifi dua-duanya S1 di UI). Menarik banget kan dengarnya. Terus yaudah akhirnya pas di jalan pulang si Wian bilang "kayanya ada deh Non lagi bukaan buat yang jalur ITB-UGM kemarin gue lihat di facebook pagenya Jardine, coba lo cek deh nanti". Terus yasudah betul saja, ku cek dan nemu posternya:
Ingat banget waktu itu adalah tanggal 10 Juni 2019, so I basically only had 10 days left. Betul-betul hit or miss itu gatau mikir apa tiba-tiba langsung yang "Yaudahlah Non apply aja dulu". Sebelumnya gapernah kepikiran sama sekali mau PhD di Oxbridge segala macem. Betul-betul langsung ngedownload form yang dibutuhkan terus ngisi, langsung cari topik riset di webnya Oxford dan Cambridge, nulis research proposal seadanya, nge-message Wian kalau I'll have my shot in this terus sayang banget sama Wian langsung dibantuin dikirimin form dan essay dia dan Hanifi yang bisa kujadiin reference. Waktu itu kalau gasalah lagi ada project ngajar juga di daerah Istiqlal situ terus akhirnya bikin pas foto di tengah-tengah kelas, anak-anaknya kusuruh tes terus ku ngojek ke studio foto terdekat, eh apa jalan ya, kayanya jalan kaki.
Udah deh tu abis itu mensubmit semuanya kayanya tanggal 18 atau 19 Juni 2019. Betul-betul Bismillah aja dah gatau.
Lesson learnednya dari cerita chapter di atas adalah: silaturahmi itu kunci. Bayangin kalau ku menolak diajak menjenguk Muthi? Ga akan ku di Oxford sekarang. Banyak-banyakin ketemu orang, banyak-banyakin main, you'll never know your rejeki datengnya dari mana
Dipanggil Interview
Udah kan tuh, setelah meng-email dan mengirim hard copy juga ke Bandung, ku berusaha move on, nothing to lose aja. Sampai tiba-tiba suatu hari ada telpon masuk dari nomor Bandung tapi karena HPku di tas apa gimana ya, pokoknya nggak keangkat. Ternyata itu dari IRO ITB (IRO = International Relation Office), aku tahunya pas buka email, ternyata mereka minta IELTS. Pas submit itu aku belum punya IELTS, cuma ada TOEFL ITP dan TOEIC yang sudah expired. Dan tebak apa yang kulakukan? Aku bilang ke mereka aku bisa provide IELTS certificate in 2 weeks. Ku langsung booking tuh IELTS test (without any prep AT ALL), terus booking receiptnya langsung kukasih ke IRO ITB. Abis itu langsung ngebut belajar IELTS (bagian ini jangan ditiru ya wankawan, belajar itu harus sustainable, bukan dikebut, it shouldn't work this way).
Crazy-nya lagi adalah... at the same period of time tiba-tiba CPUI tu ada bukaan, jadi apply lah CPUI kan (CPUI = Calon Pegawai UI). Terus kalau nggak salah LPDP juga tiba-tiba buka, jadi kepikiran buat apply juga, minimal ada cadangan lah kalau Jardinenya nggak dapet tetep bisa apply ke Oxfordnya beneran dilanjutin. Kehektikan di saat itu tercatat dengan baik di postingan tumblrku yang lama ini.
Sampai akhirnya beberapa minggu kemudian dapat undangan untuk interview dengan Jardine Foundation di Mandarin Oriental. Ku lupa si IELTSnya udah keluar result apa belum waktu itu, tapi kayanya belum sih. ASLI kaget banget pas dapet undangan itu. Langsung ngabarin Wian kan buat nanya-nanya, terus akhirnya kami memutuskan buat meet up di Pejaten Village (rumah Wian di deretan mampang situ dan rumahku di Pasar Minggu, jadi titik tengah tergampang buat kita ketemu adalah Penvil). Di Penvil kita latihan interview lah mayan lama (3 jam I think?).
Sama Wian dilatih ditanyain pertanyaan-pertanyaan yang dia hadapi tahun sebelumnya. Wian agak tough sih interviewnya karena dia general scheme kan, waktu itu dia di Jardine HQ yang di London dan diinterview oleh 8 panelists(?) if I'm not mistaken. Terus susah deh pokoknya, ku dengerin cerita dia aja sudah amat sangat bergidik. Pertanyaan latihannya kira-kira di sekitar:
Could you please tell me about yourself?
Could you tell us why you're interested in the field you're planning to do your research for? What is very interesting about the field?
What is your thesis and how does it relate to your future research?
How do you think that your study will help your country?
Why do you choose Oxford?
What is your career plan and how do you see yourself in 10 years?
What are the challenges that will be faced if the research is to be implemented here in Indonesia?
Tell us about your leadership experience and what challenges you had to go through when you're in a leadership position!
How well do you think you performed compared to your peer in your study?
How would you describe your leadership style?
What is the expected output for your DPhil?
Itu yang kucatat dan kupersiapkan jawabannya. Sampe dilatih sama Wian gimana ke-subtle-an dari jawabannya. Apakah jawabanku kurang detail atau terlalu kemana-mana. Intinya aku udah siapkan lah script atau in general jawaban dari masing-masing pertanyaan itu seperti apa. Wian juga menilai gimana intonasiku, fluency, kecepatan berbicara (karena ku kalau ngomong cepet banget kaya kereta). Intinya..... terima kasih banyak Wian.... Habis ketemu di Penvil itu btw ku ketemu lagi di Waffle place gitu deretan Warungjati situ juga udah ke arah Ragunan sih, buat mem-perfect-kan lagi jawaban-jawaban yang sudah dilatih.
Oh iya! Selain interview, jadi di invitationnya juga akan ada lunch bareng dengan panelists. Nah, dengar-dengar (ini ku gatau ya sampai sekarang beneran apa nggak, harus dikonfirmasi lagi), sesi lunch ini juga termasuk dalam penilaian kandidat. Walaupun pas lunchnya si panelists ga bawa scoring form ya, tapi tetap aja, kan dia bisa ingat-ingat kandidat mana yang proaktif dan supel. Karena pasti mereka maunya ngasih beasiswa ke orang yang nggak hanya pintar on paper dong, tapi juga bisa bersosialisasi dengan baik. Nah untuk yang bagian ini, aku juga menyempatkan diri untuk baca-baca the latest news: waktu itu lagi hot-hotnya demo di Hongkong masalah ekstradisi Hongkong-China (ini penting karena main HQnya Jardine di Hongkong), terus Brexit juga, sama politik di Indonesia seperti apa.
Tiba lah hari H ye kan. Kebetulan untungnya (dan mungkin memang sudah diatur sama Allah juga sih) ku dapet giliran interviewnya afternoon sekitar jam 15pm gitu, jadi ketemu panelists duluan pas lunch kan. Kenapa kubilang untung karena kesempatan lunch duluan sebelum interview itu membuat aku bisa ice-breaking atau kenalan dengan panelistsnya terlebih dahulu di luar ruangan interview. Jadi, pas interview, kita udah kenal satu sama lain kan, dan udah tahu si panelistsnya kayak "oh.. tadi si anak ini yang ngomong sama aku pas lunch..."
Sampai di lokasi sebelum lunch, aku kenalan dengan kandidat-kandidat lain di ruang tunggu, semacam lounge gitu. Dari situ ku tahu bahwa ada 5 kandidat dari ITB dan 5 dari UGM. Di akhir nanti terpilihnya 3 ITB dan 3 UGM. Nah terus lunch kan. Di lunch seru sih, banyak ngobrol tentang Cambridge (salah satu panelist yang duduk di round table-ku adalah Prof dari Cambridge), terus bahas kondisi dan situasi Hongkong juga gimana, ku nanya gimana flight dari Hongkongnya dsb2. Terus beres lunch, balik lagi ke lounge, dan nunggu-lah ku buat giliran interview.
Tiba saatnya dipanggil, aku masuk dan duduk biasa, terus betul! Pertanyaan yang ditanya ya adalah pertanyaan-pertanyaan yang sudah dilatih Alhamdulillah yey! Ada 1 sih yang agak beda dan unexpected, yaitu:
Have you tried to contact the professor you want to work with?
Untungnya ku memang sudah meng-email si calon supervisorku ini dan jawabannya adalah memang dia lagi nyari mahasiswa PhD buat mengerjakan projeknya, asal aku fundingnya ada, dia bisa-bisa aja nerima aku masuk. Jadi ku jawablah seperti itu.
Udah deh selesai. Itu interviewnya cepet banget btw. Slotnya kalau nggak salah tuh harusnya 30menit per orang including transisi lah jadi bersihnya 25menit-an per orang. Tapi aku masuk jam 15pm terus udah keluar ruangan 15.17pm gitu? Jadi total aku interview cuma 15-16menit! Imagine. Aku gatau apa karena aku yang ngomongnya emang cepet banget atau memang ya... yang ditanyain nggak banyak-banyak banget(?) Tapi jujur ku sudah lupa semua, kayanya betul-betul cepet banget waktu berlalu di dalam ruangan interview itu terus keluar ruangan tuh langsung ngeblank lupa apa yang baru saja terjadi....
Oh iya lupa menjelaskan detail panelistsnya siapa aja. Intinya ada 4 orang: 2 orang dari Jardine Foundation (I think mereka basenya di HK), 1 orang si Prof Cambridge itu, aku lupa dia bidangnya apa, tapi ngga ada hubungannya dengan bidangku aja deh, kayanya Math? atau Bio sesuatu?, terus 1 orang lagi perwakilan dari Astra namanya Pak Budi(?). Nah, kenapa Astra? Karena si Jardine Matheson ini megang holding di Astra Indonesia 51% gitu(??) aku juga lupa-lupa inget. Tapi waktu prep buat interview ini sempat belajar tentang Jardine juga sih, mereka invest di mana aja, dan bidang apa aja. Tapi udah lupa semua sekarang...
Tapi intinya gitu, beres interview itu lega banget dan betul-betul yaudah lagi-lagi berusaha untuk move on dan nothing to lose aja. It was a great experience overall. Waktu itu mikirnya kalaupun ga dapet juga udah senang banget punya pengalaman lunch di Mandarin Oriental kan, kapan lageeee. Terus bisa ketemu sama Prof di Cambridge juga dan orang-orang keren.
Lesson learned dari chapter ini apa ya....? Practice makes perfect? Intinya ya dari sini ku betul-betul merasakan confidence level itu ujung-ujungnya bersumber dari jam terbang latihan. So... do practice!
Menjadi Awardee Conditional
Seminggu(?) setelah interview, lupa lebih tepatnya berapa hari tapi sepertinya seminggu efektif hari kerja deh, dapatlah email kalau aku diterima sebagai awardee Jardine Scholarship! Yey! Tapi dengan bintang (*) alias T&C (terms and conditions) yaitu... harus keterima Oxbridgenya.
Nah, ini yang susah dan tricky sesungguhnya. Karena kondisinya adalah... kita itu sudah pasti akan dibayarin Jardine tapi jika dan hanya jika kita keterima di Uni. Which is not easy at all. The real battle begins now. Cuma enaknya adalah... semua aplikasi kita ke Oxbridge akan dibantu dan diguide oleh Jardine. Jadi kalau ngomongin timeline, kan tadi ku submit aplikasi Jardine tuh Juni ya, terus interview Juli, dikasih pengumuman dapat atau nggaknya Agustus. Nah dari Agustus-Januari itu adalah periode bukaan aplikasi untuk Oxbridge. Jadi selama Agustus-Januari itu, diharapkan kita bisa mencicil aplikasi Oxbridge kita: IELTS, Research Proposal, Written Work, Reference Letter, Ijasah, dsb2. Si Jardine sih mintanya semua berkas-berkas ini dikasih ke mereka dulu buat di proofread gitu dibantuin dikasi feedback kalau ada yang masih kurang-kurang. Tapi ujung-ujungnya aku langsung submit aja sih ke Oxfordnya haha. Mereka kukasih dokumenku tapi nggak ada feedback apa-apa juga.
Sesungguhnya tapi si surat keterangan dari Jardine bahwa kita adalah awardee conditional itu pada akhirnya, in my case ya, sangat helpful sih. Surat ini ku-attach pas ngemail calon spvku dan dia jadi lebih dengan senang hati menerimaku. Surat ini juga ku-upload di aplikasi Oxford terus kutulis kalau funding aku udah aman pokoknya tenang aja. Pas interview dengan departemen juga aku sebut aku sudah ditanggung oleh Jardine untuk SPPnya. Dan sampai sekarang aku kepikiran ya kemungkinan aku lolos di dept karena udah secure fundingnya.
Intinya setelah kehebohan Jardine ini, tinggal battle apply Oxford sih. Well, nggak tinggal sih... ini heboh juga. Tapi mungkin lain post kali ya ceritanya. Intinya aku submit aplikasi tu mepet deadline ajadeh. 24 Januari 2020 gitu deadlinenya? Dan aku submit 23 Januari 2020 pas lagi ngajar di Rantepao, Toraja Utara sana, imagineeeee internetnya kek mana. Tapi Alhamdulillah akhirnya kesubmit. Terus dipanggil interview dept tu Feb/Mar gitu lupa. Dan akhirnya dapet offer dari Oxford Maret akhir kalau gasalah. Itu udah nangis banget di Gedung A langsung sujud syukur terus solat magrib pusing banget mana baru mulai covid tu, lagi heboh-hebohnya WFH semua kelas offline ku-cancel dan off dulu seminggu gitu ngga ada kelas karena transisi.
Oh iya, untuk berapa orang yang lolos, pada akhirnya tuh dari 3 ITB dan 3 UGM awardee conditional ini kita dibuatin group whatsapp gitu. Intinya untuk saling reminder dan keep in check dengan progress masing-masing aja sih. Akhirnya tapi yang berangkat dapet offer dari Oxbridge tuh cuma 3: 2 ITB dan 1 UGM. (Well, at this point, it doesn't matter anymore sih ITB UGMnya). Dari 3 orang yang dapet offer ini, aku doang yang DPhil, sisanya anak master semua: 1 di Oxford ambil MPP Blavatnik dan 1 di Cambridge ambil finance di Judge. Yang 3 lainnya gimana? I'm not sure with the other 2, tapi 1 yang dari UGM yang dosen juga aku sempat ngobrol bareng. Dia apply PhD juga, nah tapi ternyata sampai hari terakhir deadline aplikasi tuh dia belum nemu prof yang bisa menampung dia untuk menjadi supervisornya. Makanya sepertinya akhirnya agak susah buat dia untuk dapet offer. Karena memang untuk PhD seleksinya bukan lagi masalah kualifikasi kan, tapi kamu nanti akan kerja di bawah supervisi siapa. Makanya memang paling enak kalau kita apply ke available project, instead of proposing our own research ideas. Well, anyway, masalah apply doktoral ini nanti harus satu post terpisah sendiri. Tapi sangat disayangkan. Nah, kalau udah jadi awardee conditional Jardine tapi nggak keterima di Oxbridgenya gimana? Ya... dengan berat hati, Jardinenya hangus... Gabisa dipakai atau diuangkan atau didefer... Kalau mau ikut lagi tahun depan ya seleksi dari awal lagi seleksi berkas... Sedih ya mayan.
Lesson learned dari chapter ini: hidup ya memang seperti ini kawan, tidak ada habisnya. Setelah beres dari satu hal apakah sudah begitu saja lantas kita bisa beristirahat? Oh, tentu tidak, coba dibaca lagi Al-Insyirahnya ayat 7.
Terus, ya sudah deh, habis itu semua tinggal admin stuff. Harusnya ada dinner penyerahan sertifikat simbolis dsb. di Mandarin Oriental Juli 2020 di hari yang sama diadakannya interview Jardine untuk batch berikutnya, tapi karena covid-19 semua ditiadakan. Tiba-tiba ku dikirim sertifikat ajadeh via DHL dari HK. Dan dapat email-email terkait stipend dsb. Berangkat deh aku September 2020 dan sekarang sudah hampir genap 1 tahun ku tinggal di Oxford!
General Scheme
Nah tadi di atas adalah uraian panjang perjalanan hidupku mendapat beasiswa Jardine (yang mungkin kandungan informasinya hanya 50% dari seluruh teks karena kebanyakan irrelevant infonya, I'm sorry para pembaca sekalian).
Tadi di atas ku sudah berjanji akan membahas sedikit bagaimana kalau ingin apply Jardine tapi kalian bukan alumni ITB ataupun UGM, yaitu melalui general scheme. Nah, kalau general scheme, yang terjadi adalah: timelinenya berbeda dengan yang kuceritakan di atas. Kalau aku tadi flowchartnya adalah: apply Jardine dulu Juni-Agustus baru kemudian apply Oxbridge Agustus-Maret dapet offer, sedangkan untuk general scheme: apply Oxbridge dulu September-Maret, dapet offer, baru apply Jardine. Jadi kalau general scheme ini PR terbesarnya adalah harus dapat offer dari Oxbridgenya dulu. Jika teman-teman sudah mendapat offer dari Oxbridge, kalau teman-teman masih merupakan WNI, pasti akan ditawarkan oleh Oxbridge untuk apply Jardine. Nanti kalian tinggal masukkan aplikasi ke college yang ditampung oleh Jardine (kalau di Ox: Exeter, Oriel, Trinity, Queens) dan kalau dokumen kalian oke, baru akan dipanggil interview. Sayangnya yang ku tahu untuk intake 2021 ini, yang dipanggil interview hanya yang akan mengambil DPhil aja (untuk di Oxford ya, nggak tau kalau yang apply ke Cambridge). Kalau untuk intake 2020 contoh yang via general scheme ini ada Dara Nasution yang anak PSI itu, itu dia ambilnya master masih dapet.
Jadi.. memang agak susah sepertinya kalau hanya untuk mengambil master pake Jardine via general scheme. Tapi tenang aja! Setahuku selain Jardine di Oxbridge juga masih banyak kok scheme2 scholarship lain untuk warga-warga negara berkembang (3rd world countries) seperti kita ini. LPDP juga Oxbridge masuk list bukannya?
Intinya percayalah teman-teman, if there is a will there is a way... Yang paling penting: cobain aja dulu. Kalau kita nyoba, probability kita dapet itu adalah 0-100%, tapi kalau kita nggak nyoba, probability kita dapet ya pasti 0%. Bebas, tinggal milih 0-100 vs 0. The choice is yours.
Dah gitu dulu aja. Maapin panjang ye. Kalau ada pertanyaan-pertanyaan (yang nggak bisa digoogling cari tahu sendiri terutama), mangga ditanyakan saja dan InsyaAllah akan kucoba jawab semampuku.
Cheers!
9 Woodlands Close, OX3 7RY 00:43 am, 02/09/2021
87 notes • Posted 2021-09-01 23:43:45 GMT
Get your Tumblr 2021 Year in Review →
6 notes
·
View notes