#obat setelah sunat laser
Explore tagged Tumblr posts
Text
Obat Apotik Untuk Luka Setelah Khitan
Obat Apotik Untuk Luka Setelah Khitan
Alangkah bahagia jika anak anda / anda sudah melakukan khitan ini. Namun selepas itu terkadang kita berfikir “Bagaimana ya caranya agar luka khitan tersebut dapat mengering dengan cepat?” Atau malah anda kebingungan karena luka tersebut tak kunjung juga sembuh!!! Namun anda gak perlu khawatir lagi karena didalam artikel Obat Apotik Untuk Luka Setelah Khitan…
View On WordPress
#bioplacenton untuk luka khitan#cara menghilangkan rasa sakit setelah sunat#luka sunat tidak kunjung kering#obat bengkak setelah sunat#obat pengering luka sunat#obat setelah sunat laser#salep antibiotik untuk luka khitan#salep pengering luka khitan
0 notes
Link
tobasatu.com, Medan | Bakal calon Wakil Walikota Medan, Aulia Rachman berharap kegiatan Khitan Berkah Kolaborasi 75 Anak di Sekretariat Bersama (Sekber) Rumah Kolaborasi Jalan Cut Mutia Medan, Selasa (25/8), dapat menekan anak-anak, agar tidak bermain di luar saat masa pandemi Covid-19.
“Karena memang saat ini dalam penelitian, kondisi pandemi Covid-19 sangat rentan pada anak-anak. Karena anak-anak ini imunitasnya naik turun, fluktuatif. Apabila dia sunat, dia tentu tidak keluar,” ucap pasangan Muhammad Bobby Afif Nasution yang akan bertarung dalam Pilkada 2020, 9 Desember 2020 nanti ini.
Ketua Komisi II DPRD Kota Medan ini juga mengucapkan syukur karena kegiatan hari ini berjalan lancar. Menurut dia, kegiatan dilaksanakan dalam memeriahkan kemerdekaan RI yang ke-75.
“Alhamdulillah, anak-anak juga pada senang. Mungkin karena aktivitas anak-anak juga tidak terlalu padat di sekolah jadi antusiasme mereka tinggi. Bahkan cerita para orangtua, anaknya yang ingin khitan dan menawarkan diri,” tuturnya.
Sementara penanggung jawab Khitan Berkah, dr Faisal Arbi menuturkan untuk kegiatan khitan kali ini, 10 tenaga medis terlibat dengan menyiapkan dua sistem khitan. Yakni sistem konvensional dengan gunting dan sistem yang biasa dikenal di masyarakat laser atau cauter.
“Aplikasi tidak semuanya dilakukan ke pasien, harus melihat kondisinya. Selesai khitan, para orangtua akan diajarkan bagaimana cara pemberian obat dan etika konsumsi obat. Kalau ada keluhan atau gejala setelah sunat, akan kita rujuk ke faskes atau klinik setempat yang dekat dengan domisili si pasien,” tukasnya. (ts05)
The post Aulia Rachman Harap Khitan Massal dapat Kurangi Kegiatan Anak di Luar Rumah appeared first on tobasatu.com.
0 notes
Text
Pilihan Metode Sunat
Anak laki-laki memang wajib di sunat. Terlebih di Indonesi, bagaimana budaya di Indonesia memang mengharuskan seorang anak laki-laki untuk di sunat. Di Indonesia sunat sudah sejak lama terkenal, mulai dari sunat bengkong, calak, paraji hingga dokter sunat. Metodenya pun berbeda-beda.
Memang sunat sudah sejak lama berlangsung menggunakan metode lama dan terbaru untuk sunat laser dewasa, bahkan anak laki-laki yang usai melakukan khitan akan diistimewakan seperti pengantin yang baru menikah. Bahkan dibeberapa daerah, anak-anak setelah khitan. Maka mereka akan diarak keliling kampung.
Menyenangkan bukan? Hingga dahulu sunat masih menjadi suatu kebanggan bagi anak laki-laki. Mungkin hari ini juga yah. Lucunya, anak laki-laki yang disunat karena mereka ingin mendapatkan uang yang cukup banyak. Iya, karena menurut pemikiran mereka, dengan di sunat akan banyak orang yang memberikan amplop dan bisa beli mainan baru deh. Mungkin kalau anak sekarang, bisa buat beli gadget baru yah.
Berikut Metode Sunat dari Bengkong Hingga Dokter Sunat
Dahulu memang sudah dikenal sebutan bengkong (sebutan tukang sunat tradisional dari Betawi) atau Calak (sebutan tukang sunat dari Jawa) atau paraji setiap daerah memiliki sebutan berbeda-beda terhadap orang yang melakukan sunat.
Ada sekitar tiga metode sunat yang cukup terkenal di Indonesia, dan hingga saat ini metode ini masih digunakan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan metode tradisional pun masih cukup sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal diwilayah pedesaan.
Metode Sunat Tradisional
Metode sunat tradisional sunat yang dilakukan hanya menggunakan metode sederhana. Bahkan metode seperti ini dikatakan cukup ekstrim, mengapa? Karena metode sunat tradisional tanpa pemberian obat bius dan dilakukan oleh tukang sunat yang disebut dengan sebutan bengkong, paraji atau calak.
Dahulu metode yang dikenal pada sunat tradisional adalah khitan dorsumsisi. Dimana sunat metode ini menggunakan alat sunat yang terbuat dari bambu. Alat ini dikenal juga dengan sebutan sembilu. Sembilu ini merupakan kluit bamboo yang sudah diasah dan menjadi sangat tajam.
Ada yang unik dari metode sunat tradisional dorsumsisi ini, dimana pembiusan dilakukan dengan cara meminta sang anak yang akan disunat untuk berendam di air dingin. Cara ini dilakukan agar anak tidak merasa sakit saat proses khitan berlangsung.
Metode Sunat Konvensional
Metode sunat konvensional, anak laki-laki yang akan disunat tidak akan diminta untuk berendam terlebih dahulu. Namun metode sunat ini menggunakan cara bius lokal, sekitar 10-15 menit sebelum melakukan khitan. Sehingga sang anak tidak merasa sakit ketika kulup penis akan dibuang.
Sunat konvensional sudah menggunakan alat yang cukup modern, seperti penggunaan gunting, alat laser atau yang biasa disebut dengan istilah sunat laser, dan juga alat jahit. Meskipun metode sunat konvensional penyembuhannya agak lama dan seorang anak akan sulit beraktivitas, namun tetap bisa dilihat bahwa metode laser baik.
Metode Modern
Metode modern mungkin menjadi metode sunat yang paling umum terjadi. Dimana anak yang usai melakukan operasi sunat dapat segera beraktivitas seperti biasa, tanpa takut mengalami pendarahan yang bisa dialami dengan aktivitas berat.
Maka dari itu termasuk kami menawarkan harga sunat laser dewasa di cikarang dengan biaya terjangkau, lokasi strategis, klinik legal (resmi) dan masih banyak lagi lainnya.
Metode modern ini dikenal dengan sunat klamp. Dimana proses operasinya pun cukup sebentar, hanya kurang dari 10 menit. Setelah itu, metode sunat ini menggunakan jasa dokter sunat dengan tenaga yang cukup ahli pada bidang sunat. Bahkan penis si anak tidak akan dijahit usai sunat.
Itulah tiga metode sunat yang masih digunakan hingga saat ini. Tentunya ketiga metode tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sunat dengan tukang sunat dan juga oleh dokter sunat menjadi pilihan masyarakat sendiri dalam memilih metode apa yang tepat untuk digunakan.
0 notes
Text
Menjadi Orang Islam Sejati
Seperti anak-anak desa lainnya, kalau malam aku selalu datang ke langgar untuk mengaji. Tak ada suatu kesenangan kecuali menghabiskan sebagian malam di langgar. Mengaji ini dimulai dari jam enam sore sampai jam 8 malam. Kebetulan langgar kami dekat dengan sawah, maka suara nyaring kami mengaji, terkadang bersaing dengan suara kodok.
Apa yang kami namai mengaji tidak lain dari bersenda-gurau, menganggu orang yang bersembayang magrib dan isya, bermain tebak-tebakan, dan menceritakan khayalan bertemu dengan setan. Hanya sebagian kecil saja, waktu yang kami gunakan untuk mengaji kitab. Inilah dunia kami di waktu berumur delapan tahun.
Aku, seperti kawan-kawan lainnya juga, ingin kelak nanti jadi pemeluk Islam yang sejati. Sekalipun pada wakti itu, rata-rata di antara kami belum disunati. Bagi kami waktu itu, laki-laki yang sudah sunat merupakan Islam yang sejati. Tidak seperti kami, yang kerjaannya menganggu orang bersembahyang, selalu memanjangkan kata amin saat iman selesai membacakan surat al fatihah dan tidak mengerti kata dan makna bacaan shalat.
Kemudian salah seorang di antara kawan-kawan disunati. Hajat besar diadakan di malam hari. Jika orang tua anak itu orang berpunya, selalu ada hiburan seperti wayang, ataupun reog. Aku dan kawan-kawan selalu tertegun melihat kegagahan seorang bocah yang baru saja disunat. Aku lebih iri lagi, ketika ada kawan yang sudah sembuh dari sunat, memiliki uang banyak, sepeda baru hingga mainan playstation.
Ah tapi aku lebih tertarik memikirkan soal sunat dan orang Islam sejati. Pak kyai Sholeh pernah bilang, anak yang belum sunat, sholatnya belum dihitung pahala. Dan di kala itulah aku berpikir: betulkah aku orang Islam kalau belum disunat? Dengan diam-diam hal ini kupikirkan. Mana mungkin bisa jadi orang Islam sejati, kalau shalat saja belum diterima.
Pikiranku itu tak kukabarkan ada siapapun. Hingga pada suatu malam datanglah Bapak. Seingatku waktu itu hujan deras, dan lampu di rumah padam. Meski gelap, aku lihat Bapak sedang dalam keadaan gembira. Ia mendekatiku sambil berujar; "Nak, engkau sudah berani disunati?" tanya Bapak.
Pada mulutnya tergambar senyum penasaran.
"Berani Bapak!" kataku.
Dan Bapak semakin memperlebar senyumnya, hingga tak kuasa menahan tawa."Kau pilih mana sunat gunting apa sunat laser,"
"Sunat gunting tak masalah, Bapak." Ujarku yang seolah tak mau tahu sunat model apa, yang penting sunat.
Ayah tertawa puas. Nampak dalam gelap, giginya yang putih dan gusinya yang merah jambu. Ibu menyusul dari belakang dan menyahut;
"Kapan engkau sunatkan," tanya Ibu.
"Secepat mungkin. Nanti sekolah ijin 3 hari saja tak masalah," Bapak berkata.
Kemudian Bapak berdiri dan menghilang ditelan gelap lampu yang padam. Sedangkan Ibu masuk ke dalam kamarnya.
Aku langsung membaringkan tubuhku diatas kasur. Nenek tidur di sebelahku.
"Mamuk, bersyukurlah pada Tuhan karena Bapakmu sudah digerakkan hatinya untuk menyunatkan engkau," suara nenek terdengar.
Ku pikir nenek sudah tidur, tapi gara-gara obrolan tadi ia nampaknya terbangun.
"Almarhum kakek dan nenek moyang lainnya pasti akan berbahagia di surga dan sangat berseng hati bila mengetahui engkau sudah disunat. Akan kubelikan jajan pasar kesukaanmu yang banyak nanti jika kamu berani sunat," kata Nenek.
"Ya, nek," aku menyahuti.
Malam itu susah betul aku bisa tidur. Kubayangkan kesakitan dipotong yang akan kuderita. Kubayangkan jalanku tergopoh, harus memakai sarung, tidak bersekolah, tamu-tamu banyak, hadiah-hadiah akan banyak, dan amplop. Untuk yang terakhir ini, kata kawanku yang sudah disunat, adalah obat mujarab mengatasi kesakitan setelah disunat.
Esoknya, aku pergi ke sekolah nampak begitu riang. Jika kaki biasanya terlalu berat untuk mandi di sumur, hari itu aku bergegas untuk lekas sampai sekolah. Semua anak murid satu sekolah telah mendengar. Dan anak-anak yang belum lagi disunati memandangiku dengan hormatnya, terutama anak-anak yang umurnya lebih tua daripada umurku. Tiap pasang mata memandangiku dengan pandangan yang tak pernah kuterima sebelumnya. Termasuk pandangan-pandangan guru-guru nampak memanjakanku.
Dan sebentar lagi, aku akan menjadi orang Islam yang betul-betul. Oang Islam yang sudah disunati akan mempunyai hak menempati surga seperti yang diajarkan oleh Kiai kami. Aku berpikir waktu itu, kalau aku sudah disunati, kelak aku akan hidup senang di surga. Aku akan memiliki barang-barang yang mungkin sampai matipun tak akan kumiliki di dunia ini. Bagiku waktu itu, Tuhan bakal memberi segalanya.
Di langgar, kabar ini pun sudah disambut oleh kawan-kawan. Pak Kiai juga nampak senang jikalau mendengar santrinya bakal disunat. Dan benar saja, pandangan matanya memanjakanku. Aku sendiri nampak lebih tinggi lagi penting daripada kawan-kawan lainnya. Pintu surga bagiku telah nampak terbuka. Juga bidadari surga yang dijanjikan oleh Kiai kami. Bidadari yang teramat cantik, yang dipikiranku saat itu, cantiknya sama dengan teman sekelasku yang jadi buah bibir semua murid laki-laki.
Setelah shalat Isya, dan sebelum kegiatan mengaji dimulai, aku mendekat ke pak Kyai. Malam ini aku ingin menanyakan beberapa hal tentang sunat dan menjadi orang Islam yang sejati.
"Kalau aku sudah disunati, aku jadi orang Islam sejati," kataku pada pak Kyai. "Dan aku mempunyai hak untuk menempati surga."
Pak Kyai tertawa, dan giginya yang tak pernah digosok nampak begitu jorok. "Kamu akan mendapatkan bidadari enam puluh empat," sahut Pak Kyai.
"Tapi aku tak suka pada bidadari yang teteknya enam atau delapan seperti tetek anjing," kataku.
Pak Kyai tertawa.
"Aku ingin mendapat bidadari seperti Anita, kawan sekolah ku yang cantik itu,"
Pak Kyai tertawa lagi.
"Dan aku mau minum susu di kolam air susu setiap hari," pungkasku.
Pak Kyai tertawa lagi. Dan kawan-kawanku yang nampak mendengarkan obrolan kami hanya bisa diam. Dari wajahnya nampak mereka ketakutan tak kebagian jatah di surga, ketakutan kehabisan bidadari, ketakutan kolam air susunya sudah habis, dan ketakutan mendapat neraka sebagai gantinya.
Dan datanglah hari yang aku tunggu-tunggu itu. Malam sebelum aku disunati, aku mendapatkan hadiah sepatu baru dari nenek. Aku juga mendapatkan hadiah sarung dan baju baru dari budeku yang datang jauh dari Jakarta. Hadiah-hadiah itu membuatku lupa, bahwa esok aku akan mengalami kesakitan.
Malam itu teras rumah begitu ramai. Bahkan hingga malam suntuk, beberapa bapak-bapak masih betah melek sambil menyeruput kopi hitam. Beberapa lain memilih bermain catur, dan sebagian lagi bermain kartu. Kulit kacang rebut mulai menggunung, dan sampah mulai berserakan, ketika itu aku terbangun untuk shalat subuh.
Hari sunat termasuk hari besar di desa kami. Seolah jadi hajat orang banyak, ibu-ibu berbondong ke dapur kami untuk membantu menyiapkan hidangan. Dan kabar mengenai hari sunat ku, cepat sekali menyebar ke seluruh desa. Dari pagi, ibu menerima sumbangan, sekalipun tak ada surat undangan diedarkan.
Pada pukul setengah lima, rumah kami sudah ramai. Ibu-ibu begitu riuh memasak di dapur. Ada sebagian saudara yang sudah siap dengan pakaian terbaiknya. Ayah juga nampak sudah siap dengan pakaian batik yang nampak baru dibeli itu. Seperti dijalari penyakit, para tetangga turut pula bangun pagi, berpakaian baru, dan berbondong-bondong ke rumah kami.
Datanglah padaku dengan mengagetkan, "Jangan takut. Tak sakit disunati. Rasanya Cuma seperti digigit semut merah. Aku dulu tertawa saja disunati," ujar seorang pemuda yang tak ku kenal sebelumnya.
Dan banyak lagi suara-suara yang membesarkan hatiku. Beberapa lagi terkesan ingin menyenangkan dengan manisnya suara-suara itu. Tapi aku tetap saja, tak kuasa menghilangkan kecemasan dan ketakutan.
Kemudian datanglah saat disunati itu. Ayah dan bunda duduk di teras rumah bersama saudara-saudaranya. Pada paras mereka kulihat terpancar kebanggaan ketika para tamu berdatangan meski tak sempat kirim undangan.Hingga tibalah tamu istimewa itu, pak Joko, mantri sunat datang membawa peralatan sunatnya.
Bukan main takutku pada waktu itu. Tetapi aku ingin jadi orang Islam sejati. Namun ketakutan itu tak juga gampang dihilangkan begitu saja. Terutama waktu pak mantri sunat, mengajakku masuk ke kamar, membacakan doa, dan debaras dadaku begitu kencang. Ibuku yang awalnya ingin mendampingiku memilih keluar. Ia terlihat pucat, bibirnya putih dan kehilangan tenaga. Kemudian datanglah waktu, ketika sebagian dari tubuhku mau dipotong.
Di bawahku sudah disediakan piring tanah diisi abu. Kemudian terasa kemaluanku di raba-raba, dan diplintir selaputnya. Dan kemudian daging selaput itu dirantaskan oleh pisau cukur. Aku habis disunati sudah. Sekarang kulihat darah bertetesan dari ujung kemaluanku. Pak mantri sunat langsung melilitkan perban.
"Jangan bergerak dulu mas," ujarnya sambil menata letak perban.
Aku langsung memilih diam, dan memilih memejamkan mata. Baru ketika ada tangan menyambutku untuk keluar kamar, aku memilih berjalan perlahan. Sebentar-sebentar darah jatuh bertitik di lantai. Semua mata langsung memandangku waktu keluar kamar. Ibu datang padaku dan mencium pipiku. Terasa betul kecintaannya padaku. Dan oleh kecintaan itu, menitiklah air mataku. Dan terasa tak terbendung, akhirnya aku terharu dan menangis.
Ayah datang dan bilang;"Jangan menangis, nanti istrimu janda gimana?."
Mendengar itu, aku mulai sesengukan menahan air mata. Aku tak mau beristri janda. Dan secepat kilat aku mengusap air mataku dengan dua tanganku. "Blaaaaaak," suara beberapa orang kaget lalu tertawa terbahak-bahak. Seketika itu aku melihat ke bawah, dan sarungku ternyata lepas ke bawah. Dan yang tersisa hanya barangku yang nampak dibalut perban putih. Aku malu, dan seketika memajang wajah polos dan memelas. Dengan menahan tawa, Bapak bilang: "Makanya hati-hati sama barangnya, untung tidak bisa terbang." Suara pecah, para tamu hadirin ikut mentertawakan.
Anak-anak mulai bubar, sanak famili mulai pulang ke rumah masing-masing. Tinggalah aku dan ibuku di ruang tamu. Ia bertanya; "Bagaimana Muk, adakah engkau merasai perubahan sekarang?."
'Aku senang sekali sekarang, Ibu," kataku.
"Dan sudahku engkau merasa jadi orang Islam sejati?" Ibu bertanya lagi.
Aku kaget mendengar pertanyaan itu. Dan tak kurasai suatu perubahan sama sekali.
"Aku merasa seperti kemarin dan kemarin. Aku belum merasa jadi orang Islam sejati," jawabku.
"Barangkali sembahyangmu tidak pernah lengkap?" tanyanya.
"Lengkap Ibu, selalu lengkap."
"Kakekmu dulu naik Haji, barangkali kalau kau naik Haji, engkau akan mengalami perubahan, jadi orang Islam yang sejati."
"Naik pesawat bu?" Tanyaku
"Ya naik pesawat ke Arab," jawab Ibu.
"Kalau begitu harus kaya dong bu," tanyaku
"Ya," kata Ibu.
Sekaligus hilanglah harapanku untuk jadi orang Islam yang sejati. Aku sadar akan kemiskinan orang tuaku. Kami hidup begitu sederhana, tak ada barang tersisa kecuali untuk biaya hidup dan sekolah. "Mengapa Ayah tak pergi haji, Ibu?."
"Karena Ayahmu miskin, Muk."
Kami walaupun keinginan jadi kaya itu ada, tapi tak pernah percaya bahwa pada suatu kali kami bisa jadi kaya. Sesudah sembuh, tak pernah lagi ada keinginan lagi untuk menjadi orang Islam yang sejati. Dorongan kemiskinan mematikan cita-cita di kampungku. Dan lama-lama aku tumbuh seperti bocah kampung lainnya, anak-anak yang mimpinya tak lebih luas dari luasnya desaku. Terjerat dan terenggut oleh kemiskinan
0 notes