#nojamsty
Explore tagged Tumblr posts
Text
Love, Money, Fame
Daanu & Chitraa
by nojamsty
Daanu segera beranjak dari sofa ketika mendengar suara pintu apartemen terbuka, waktu telah menunjukkan pukul 16.15 ketika Chitraa masuk, pemuda itu pulang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Ketika ia akan mengomel tentang ketepatan waktu dan lain halnya langsung urung ketika melihat wajah Chitraa dengan benar. Wajahnya tampak murung dengan pipi merah dan mata yang terlihat sembab seperti usai menangis.
"Chitraa?" Daanu mendekat, guna menarik pundak Chitraa dengan kedua tangannya, tapi Chitraa membuang pandangannya.
"Lo kenapa? Kenapa baru pulang?"
"Maaf.."
Dahi Daanu berkerut tidak suka. "Oke, kenapa baru pulang?"
Chitraa tampak menggeleng lembah, melepaskan kedua tangan Daanu yang memegang pundaknya. Teringat kembali pertemuannya dengan Gustaf beberapa waktu yang lalu.
"Daanu bisa minta waktu buat ngobrol sebentar?" Setelah memastikan Daanu mengangguk dirinya kembali lanjutkan perkataannya.
"Daanu, gue mau keluar dari apartemen.." ucapnya lirih.
"Keluar? Lo barusan aja balik dan mau keluar lagi?"
Chitraa menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Bukan itu maksudnya, keluar yang berarti gue gak tinggal lagi disini, karena apa gunanya gue disini? Gue bakal jadi beban lo aja, terus kalau semisal penggemar lo tahu, mereka pasti bakalan benci sama gue.." Chitraa menghela napasnya, "mereka bakal marah sama lo, terus kalau itu terjadi gimana? Gue gak mau karir lo hancur karena rasa bersalah lo yang mau bertanggung jawab karena kecelakaan waktu itu."
Daanu mengusap rambutnya, tampak bingung. "Maksud lo apa sih? Kenapa tiba-tiba gini? Bukannya kita udah sepakat ya tentang ini? Kenapa berubah pikiran lagi?"
"Bilang sama gue, apa yang buat lo berpikiran kayak gitu? Atau Hanif ngelarang lo lagi tinggal sama gue? Makanya lo cari alasan lain?"
"Kenapa lo mikir kayak gitu? Itu bukan Kak Hanif. Karena gue tahu, berita lo yang naik dalam semalem itu bukan berita baik 'kan? Kalau berita buruk terus-terusan muncul, gimana nasib karir lo? Karir lo bakalan hancur, penggemar lo pasti bakalan marah kalau alasan lo pindah dari apartemen Gustaf karena ngerawat gue."
Daanu menghela napasnya. "Siapa bilang karir gue bakalan hancur? Siapa bilang fans gue marah?"
"Jangan bohong, mereka marah 'kan?"
"Jangan hancurin karir lo demi gue karena rasa bersalah lo, karir yang lo mulai dari nol, gue tahu karir lo baru aja membaik.." Chitraa dengan air mata yang mulai menggenang menatap Daanu dengan rasa bersalah, "katanya lo sampai harus live buat klarifikasi dan fans lo marah, mereka minta konferensi pers 'kan? Gue udah baik-baik aja sekarang, mungkin gue bisa cari kerja yang gak banyak gerakin kaki."
Daanu terperangah, terkejut dengan pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Chitraa yang bergetar. "Siapa yang ngomong kayak gitu sama lo? Kasih tahu gue sekarang, itu bohong Chitraa."
"Gak mungkin Gustaf bohong tentang karir lo."
Mendengar nama Gustaf disebut, Daanu memijat pelipisnya karena rasa pening yang kini menyerang kepalanya. "Jangan bilang lo habis ketemuan sama Gustaf dibelakang gue."
Chitraa kembali menunduk, enggan menatap Daanu, membuat Daanu menghela napasnya melihat reaksi Chitraa.
Daanu kini menarik tangan kanan Chitraa dan membawanya untuk duduk di sofa. Keduanya harus berbicara serius kali ini, jika memang benar ini menyangkut tentang Gustaf. Setelah memastikan Chitraa duduk dengan nyaman dan tidak lagi terlihat tegang, ia mengusap pundak yang tampak lesu itu perlahan.
"Dari reaksi lo, kayaknya bener kalau lo barusan ketemu sama Gustaf. Sekarang gue mau lo cerita apa aja yang dibilang Gustaf tadi tanpa kebohongan, biar gue bisa ambil keputusan. Kalau gue sampai tahu lo bohong, gue bakal marah."
Mendengar ucapan Daanu ia meragu, haruskah ia mengatakan segala hal yang mereka bicarakan tadi? Gustaf memang tidak melarangnya mengatakan hal ini, hanya saja perkataan Gustaf berhasil membuatnya ragu tapi jika ia tidak mengatakannya pada Daanu, ia juga tidak akan tahu sudut pandang dari orang yang kini tinggal bersamanya.
"Maaf, pulang telat dan gak ngomong kalau tadi ketemu Gustaf." Pertama-tama ia harus menjelaskan kenapa ia pulang terlambat.
"Tadi mau langsung pulang ke apart, tapi habis ketemu Gustaf gue jadi mikir, kalau seharusnya gue gak pulang kesini. Tapi buat sekarang gue belum punya tempat tujuan lain, jadi karena itu gue butuh waktu cukup lama buat berani pulang lagi kesini."
"Gustaf bilang, kalian udah pacaran semenjak tahun kedua berkarir, tapi setelah ganti manager lo minta pembaharuan kontrak pelan-pelan, termasuk harus tinggal bareng dan katanya hubungan kalian juga jadi renggang karena kontrak buat pura-pura pacaran juga udah enggak ada. Dan dua bulan lalu, lo mutusin buat pindah apartemen tanpa sepengatahuan Gustaf dan tiba-tiba alasan lo itu karena harus ngerawat gue yang jadi korban kecelakaan."
"Gustaf bilang dia gak percaya, dia pikir lo bohong. Karena dari awal lo nolak Gustaf buat lihat keadaan gue dan dia pikir itu cuma alasan aja."
"Dia bilang banyak dm masuk dan komentar-komentar yang kurang mengenakkan karena kalian udah kelihatan jarang dapet job bareng. Dan lo sering nolak job kalau itu barengan sama dia. Terus pas kemarin ada berita kalian udah gak tinggal bareng lagi, banyak spekulasi dari fans. Katanya itu bakalan berpengaruh buruk sama karir kalian. Gustaf bilang dia gak mau karir kalian berdua hancur gara-gara ini."
"Dan disini gue cuma berusaha buat sadar diri dan tahu situasi aja, jadi biarin gue pergi dari sini ya Nu?"
Setelah mendengar penuturan Chitraa, Daanu hanya bisa memijat pelipisnya karena migrain yang tiba-tiba menyerangnya.
"Chi, sebenernya apa yang dibilang Gustaf itu gak sepenuhnya bener." Daanu menghela napasnya.
"Oke, waktu itu gue pernah bilang sama lo bakal cerita semuanya, tapi sebenernya belum. Gue cuma mikir cukup alasan sederhana aja buat lo tinggal disini. Tapi ternyata rasa ingin tahu lo besar juga, sepaket sama rasa gak enak'an lo itu."
"Awal gue debut itu emang gak sebaik itu, MW gak langsung naik, kita cuma bertiga. Gue, Gustaf sama manager dan itu kakak gue. Kita bener-bener berjuang dari nol, promosi sana-sini bahkan gak masalah kalau cuma manggung di cafe. Asal musik kita bisa sampai ke telinga pendengar, dengan tujuan kita bakalan diinget."
"Terus-terusan buat lagu sampai satu tahun penuh tanpa ada banyak peminat, itu cukup buat kita bertiga frustasi. Sampai di titik dimana kita hampir nyerah sama semua itu, terakhir kita rilis lagu Bittersweet, dan kalau itu sama gagalnya kita bakal berhenti dan pilih jalan lain buat berkarir Chi, itu titik terendah kami."
"Tapi ternyata itu booming, dan kita langsung viral kurang dari sebulan dari video musiknya rilis di YouTube. Dan banyak banget komentar yang masuk, dan anehnya yang di lihat kakak gue adalah penggemar suka interaksi gue sama Gustaf yang kelihatan pacaran, dapet respon positif begitu, buat kakak gue berpikir ini bakalan bisa buat MW naik dengan mudah di industri musik. Dan yah, bener aja kita langsung terkenal dengan jual beberapa sensasi."
"Tapi jujur gue muak banget sama itu, gue bertahan karena emang secinta itu sama musik. Dan lo tahu saat kakak gue akhirnya nikah dan milih buat berhenti? Gue bahagia banget karena ganti manager, dan Kak Jo sesayang itu sama MW."
Daanu tersenyum tipis. "Dia selalu dengerin pendapat kami, hal-hal yang selalu mengganggu pikiran kami, dan waktu gue bilang gue mau pembaharuan kontrak dan lain halnya dia setuju. Karena dia pikir MW itu tentang musik, bukan yang lainnnya makanya dia mau jadi manager setelah disaranin kakak gue."
"Fans mungkin banyak yang kecewa sama keputusan gue, tapi ternyata mereka coba ngerti sama keputusan yang gue ambil karena sekarang gue sama Gustaf banyak ambil job individu. Lo jangan terlalu mikirin apa kata Gustaf."
Daanu mencoba menarik senyum tipis di bibirnya, walau ia yakin mungkin akan terlihat seperti joker alih-alih menenangkan. "Gustaf udah ditahap obsessi dan udah sulit terima pendapat orang lain, gue tahu mungkin karena dia takut karir yang selama ini dia bangun hancur gitu aja. Apalagi perjuangan kami gak gampang. Dan disisi lain juga gue udah muak, dan gue juga ingin bebas berkarir tanpa harus melekatkan sesuatu yang bikin gak nyaman, hubungan pura-pura itu bikin gue gak nyaman Chi."
"Setiap kali gue syuting di tempat yang beda, pasti ada aja pertanyaan tentang Mingyu, bukan gue. Gue gak masalah kalau sekali atau dua kali, tapi ini berkelanjutan terus-terusan bahkan dihubungan yang gak pernah ada. Gue sama Gustaf cuma partner kerja dan teman, jujur gue risih kalau dianggap pacaran sama dia yang bukan orang gue cinta."
"Gue gak bisa bilang kami pacaran karena kontrak, jadi gue cuma bisa senyum aja, tapi gue sendiri yakin gak pernah mengiyakan hal itu tapi fans udah punya opini masing-masing, apalagi Gustaf sama kakak gue seolah membenarkan hal itu."
"Gue cuma takut waktu fans tahu kalau ada kontrak tertulis begini bakalan jadi boomerang, makanya gue gak mau hal kayak gini terus berlanjut."
"And I still have some fears, but I can't tell you about them yet. Tapi gue bakal ngomong sama Gustaf buat gak ngeganggu lo lagi, karena ini udah melebihi batas yang gue kasih sama dia. He has crossed the line, he should not interfere in what I choose now and cause problems."
Chitraa menatap Daanu dengan rasa bersalah. "Tapi gue gak papa, gue tahu dia khawatir sama lo, jangan marah atau berantem sama dia ya Nu, please?"
Daanu mencoba menarik kurvanya untuk sebuah senyum tipis. "Gue tahu, but he must be warned, so as not to interfere later."
Daanu menepuk punggung tangan Chitraa yang senantiasa meremas lututnya sendiri, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Nah, sekarang lo istirahat ya? Gue mau cek beberapa email masuk tentang schedule gue. Makan malam nanti gue yang pesen, jadi lo gak usah masak."
Dan setelah mengatakan hal itu, Daanu beranjak pergi meninggalkan Chitraa yang masih termangu menatap punggung lebar milik Daanu.
Apakah semuanya akan baik-baik saja?
^Maaf, It took me a long time to post this story and I felt like there were a lot of shortcomings, so I felt unsatisfied and not confident in posting it😔
2 notes
·
View notes
Text
Love, Money, Fame
Daanu & Chitraa
by nojamsty
—
"Dengan keadaan kaki yang di gips begitu, kamu pikir mau pergi kemana?"
Daanu menutup pintu di belakangnya, tanpa mengalihkan pandanganya pada pemuda yang ingin beranjak dari ranjang rumah sakit, dan kepala yang masih terbalut perban. Dari kartu identitas yang sempat ia lihat kemarin malam, pemuda itu seusianya, dengan wajah yang terlihat lebih muda dan tampak imut untuk seorang laki-laki berusia 25 tahun.
"Siapa?"
Pertanyaan dengan suara lembut itu menyapa pendengarannya, dengan raut bingung dengan salah satu kakinya yang bebas gips tertekuk bersiap turun.
"Daanu, yang nabrak kamu semalem," Daanu mendekat, mendorong kaki pemuda itu untuk kembali lurus pada ranjang, "Maaf, salah saya nyetir dalam keadaan setengah mabuk, sampai buat kamu masuk rumah sakit, tapi saya janji bakal bertanggung jawab, jadi saya harap kamu gak ada pikiran buat ninggalin rumah sakit hari ini juga setelah sadar."
Seolah diingatkan kembali kejadian semalam, pemuda itu tampak tersentak menatap Daanu yang masih berdiri di dekatnya dengan raut wajah sendu.
"Saya gak pa-pa, terimakasih sudah mau bertanggung jawab, tapi saya harus pulang, saya gak bisa disini lama-lama."
"Nama.." pemuda itu terdiam sejenak, mendengar jeda dari lawan bicaranya, "nama kamu Chitraa 'kan?"
Pemuda itu mengangguk.
"Apa yang buat kamu berpikiran bakal ninggalin rumah sakit secepat mungkin? Saya dengar tadi pagi-pagi sekali kamu mau kabur tapi perawat melarangmu."
Chitraa menghembuskan napasnya sejenak, tubuhnya memang terasa remuk setelah ia terbangun tapi ia juga tahu tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Bagaimana ia bisa membayarnya nanti, atau bagaimana ia bisa menghasilkan uang jika ia hanya berbaring di rumah sakit.
"Saya harus kerja, saya butuh makan dan berarti saya gak bisa cuma tiduran disini."
Daanu hampir kehilangan kata-katanya setelah mendengar jawaban lugas tanpa keraguan dari Chitraa.
"Dari banyaknya pikiran kamu saat ini? Itu yang paling kamu khawatirkan? Chitraa maaf, selama kamu belum sembuh, kamu tanggung jawab saya."
"Dan saya bingung dengan jalan pikiranmu, bagaimana disaat seperti ini kamu berpikiran seperti itu? Jika itu orang lain, mereka akan lebih memilih menuntut saya dan meminta ganti rugi, dan kamu masih memikirkan pekerjaan dengan salah satu kaki yang tergips?"
Chitraa terdiam, terlebih melihat Daanu memijat pangkal hidungnya, seolah-olah pusing dengan jalan pikirannya.
"Saya bukan orang yang bisa membayar biaya rumah sakit, apalagi membayar seorang pengacara, daripada memikirkan itu saya harus memilih bekerja untuk menghasilkan uang."
Sadar dengan kondisi kakinya, Chitraa kini menutup wajahnya. Bagaimana ia bisa bekerja dengan kondisi seperti ini, tapi jika ia tidak bekerja bagaimana caranya menghasilkan uang. Uang dalam tabungannya pun dirasa tidak bisa menutup biaya sebulan kemudian.
"Jadi biarkan saya keluar dari rumah sakit dan saya tidak akan menuntutmu."
Chitraa dapat mendengar Daanu menghembuskan napasnya, sebelum ranjangnya bergerak karena pemuda itu duduk disisinya. Usapan lembut terasa di kepalanya tapi Chitraa masih enggan untuk melihat.
"Chitraa apa kamu tahu penyanyi MW?"
MW — mungkinkah itu penyanyi duo yang disukai Chandra?
Chitraa mendongak, Daanu bisa melihat kedua mata itu tampak memerah, mungkin ia akan menangis.
"Saya rasa itu penyanyi yang disukai anak didik saya."
Dahi Daanu berkerut. "Kamu seorang guru?"
Chitraa menggeleng. "Bisa dibilang begitu, saya seorang guru les tari, hanya itu."
"Saya salah satu personil dari MW—Wonwoo."
Sepasang netra itu tampak bergetar karena ucapannya, membuat sudut bibir Daanu terangkat. "Nickname saya Wonwoo, dan kamu mengalami kecelakaan karena saya, mungkin tidak akan lama masalah ini akan tercium oleh media, jadi saya rasa sudah kewajiban saya untuk menanggung semua masalah ini, saya tidak ingin membuat masalah ini semakin besar."
"Saya tidak akan mengatakan apapun pada media, jika itu yang kamu khawatirkan, dan kalau pun kamu ragu kita bisa membuat sebuah perjanjian, selagi kamu membayar biaya rumah sakit, saya rasa ini sudah lebih dari cukup."
Daanu menggeleng dengan jawaban itu. "Tidak, itu tidak cukup kamu masih harus menjalani serangkaian terapi sampai kamu benar-benar sembuh."
"Tapi kenapa? Aku rasa itu tidak menguntungkanmu sama sekali."
Chitraa bisa melihat sudut bibir Daanu terangkat, senyum tipis itu mengingatkan kembali padanya bahwa pemuda di hadapannya adalah seorang artis tampan, tidak di pungkiri bahwa itu membuat anak didiknya berteriak kegirangan setiap jeda istirahat latihan tari mereka kala menonton musik video dari MW.
"Itu menguntungkan saya, ini termasuk win-win solution bagi kita, kamu tahu patner saya? Mingyu?"
Chitraa mengangguk ragu, apa hubungannya dengan kecelakaan yang menimpanya, ia rasa tidak ada.
"Saya ingin keluar dari apartemennya, jadi ini bisa menjadi alasan bagi saya dan merawatmu."
Bagaimana?
Bukankah keduanya adalah sepasang kekasih? Itu yang ia dengar dari gosip antara anak didiknya.
"Apa kalian bertengkar? Saya dengar dari beberapa berita kalian berpacaran?"
Daanu menggeleng. "Saya akan mengatakan yang sebenarnya jika kamu setuju tinggal bersama saya selama masa pemulihan, untuk meyakinkan Mingyu bahwa saya akan tetap keluar dan tinggal terpisah darinya."
"Bagaimana? Kenapa saya harus tinggal bersamamu? Saya punya tempat tinggal sendiri."
"Chitraa, tolong saya walau kita kenal dalam keadaan tidak baik, saya akan menanggung biaya hidupmu selama kamu dalam masa pemulihan termasuk tempat tinggal."
Dahi Chitraa berkerut karena bingung. "Kenapa kamu seolah yakin saya tinggal sendiri, bagaimana jika saya tinggal bersama orangtuaku?"
"Maaf, saya sempat mencari tahu tentangmu semalam dan kebetulan temanmu bertemu denganku di lobi dan saya banyak bertanya tentangmu."
"Temanku?" Chitraa mengerutkan keningnya, "apa itu Junior?"
"Ya, dia menunggu diluar."
—
Author Note :
Untuk narasi awal ini, masih pakai percakapan formal ya, mungkin beberapa pembaca kurang suka tapi karena ini awal pertemuan mereka, agaknya kasar kalo langsung pakai bahasa sehari-hari, ini buat formalitas awal aja ya, mohon maaf untuk kekurangannya.
2 notes
·
View notes
Text
Love, Money, Fame
Daanu & Chitraa
by nojamsty
—
Dengan isi kepala yang berkecamuk Daanu menghela napasnya, baru saja ia merasakan kondisi tubuhnya membaik setelah kemarin istirahat penuh seharian, pagi ini ia dibangunkan dengan dering ponselnya diiringi pesan masuk yang terus bermunculan di notifikasinya. Ia meletakkan hpnya pada stand holder, siap menyalakan siaran langsung di akun instagramnya.
Ia mengerutkan keningnya, apa yang akan ia katakan nanti?
Tidak bisakah segalanya berjalan lancar tanpa kendala seperti harapannya? Ia hanya berpikir sampai kapan ia terus berada dalam bayang-bayang gelap di industri ini. Ia hanya ingin melangkah maju di tempat ia bisa mendapatkan cahayanya sendiri.
Awal debutnya bersama Gustaf atau yang dikenal dengan Mingyu sedikit rumit. Keduanya berada dalam pelatihan ketika berumur belasan tahun. Di dorong dengan satu-satunya keluarga yang di miliki Daanu, yaitu kakaknya yang terus saja mendorongnya menjadi seorang selebriti dengan cara apapun. Awal debut keduanya, lagu mereka kurang diminati, jatuh dalam keterpurukan bukannya satu-satunya akhir, mereka terus berjuang dengan karya-karya mereka. Sampai dimana titik paling melelahkan itu ada, keduanya merilis lagu Bittersweet dengan musik video yang menakjubkan keduanya viral dan viewer mereka terus bertambah. Dan penggemar baru datang dengan berbagai spekulasi yang ada.
Bukankah mereka sangat tampan?
Pria tampan memiliki pria tampan? Bukankah seperti itu?😔 Bagaimana nasibku sekarang?
Ini Wonwoo yang kicik🤏🏻 atau Mingyu yang kayak tiang gapura🙏🏻
Mereka pacaran gak sih?🗿
Kenapa pada salfok sih, mereka emang ganteng tapi suaranya? Buset gak ada yang perhatiin kah sebagus itu?
Visual oke, Vocal oke. Gue gak kebagian apa-apa😔
Kenapa gue baru tau mereka sekarang😭
Dari banyaknya komentar kakaknya menggarisbawahi bahwa kata pacaran sangat menarik perhatian penggemar dan karena kakaknya adalah manager pertama mereka sebelum Joshua. Statement itu tidak pernah dibantah, dan Mingyu yang memang sejak awal sangat ingin menjadi terkenal tidak masalah dengan itu, dan karena hal itu semakin banyak penggemar yang terus berdatangan dengan statement itu. Dan dirinya satu-satunya yang keberatan, tapi ini adalah impian semua orang untuk semakin populer, jadi ia hanya memendam pendapatnya bahwa hal ini seharusnya tidak menjadi daya jual mereka.
Tahun pertama mereka dalam keterpurukan, tahun kedua mereka viral dengan lagu Bittersweet mereka, tahun ketiga ketika kakaknya menikah dan melepaskan MW dengan manager baru—Joshua, barulah dirinya berani meminta sedikit perubahan isi kontraknya. Dan tahun keempatnya inilah ia merasa harus melepaskan beberapa hal yang mengganjal dalam hatinya.
Tapi keraguan dan ketakutan itu sebenernya masih ada, dan menghantui pikirannya. Ia tidak akan menyangkal bahwa seminggu terakhir dimana kesehatannya menurun adalah salah satu hal yang membuatnya stress dan kelelahan. Setelah sedikit merenungkan beberapa hal, dirinya siap melakukan siaran langsung.
susuberuang : kaget ada live pagi pagi gini😭
matchalovers : bakal ada open qna kah ini nu?
chococrush : plis bilang berita semalem itu bohong😭
hellokitty : liat deh mukanya, habis sakit langsung ada berita miring, kasian banget sayangku ini😭🤌🏻
jamdinding : gue lagi kerja plis😭 nyolong-nyolong nonton live wonwoo😭🙏🏻
Wonwoo menatap layar ponselnya, melihat komentar yang terus bermunculan.
Wonwoo : Halo guys, hari ini gue bakalan live sebentar, maaf pagi-pagi gini tapi gue tahu kalian pasti kaget sama berita yang keluar semalem, gue juga sama sih yang lain juga begitu termasuk manager juga, ataupun Mingyu. Kira-kira kalau ada yang mau ditanya tulis aja di komentar, gue juga bakal jawab sesuai keadaannya.
kucingoyen : Wonwoo kok dinding ruangan lo beda kayak live biasanya, lo beneran udah gak seapart sama Mingyu kah?
Wonwoo : Iya guys, gue udah gak seapart lagi sama Mingyu, apalagi kita lebih sering dapet jadwal individu dari pada manggung bareng. Gue rasa lebih efisien kalo gue tinggal sendiri sekarang.
ayamgorengipin : Kan bener tebakan gue kemaren kalo mereka udah gak seapart lagi😭
piscokeju : Wonwoo jangan bilang lo putus sama Mingyu juga😭
Wonwoo : Gue gak tahu ya ternyata masalah gue pindah apart gini bisa seheboh ini, sampai ada kabar putus, kalian kenapa mikir kalau gue sama Mingyu pacaran?
piscokeju : Loh emangnya enggak?😭
Wonwoo : Dari awal juga gue gak pernah bilang gue pacaran sama Mingyu, kita emang deket sebagai temen,tapi kenapa kalian sampai mikir kita itu pacaran?
guladarah : Tapi Mingyu tuh clingy banget sama lo, gak salah dong kalo kita ngiranya kalian pacaran? Terus Mingyu kayak membenarkan kalo kalian emang pacaran?😭
mwlovers : Jadi selama ini kita kena scam😭
pacarwonwoo : yes, berarti gue punya kesempatan🤟🏻
Wonwoo : Mingyu emang anaknya clingy, dia juga sensitif apalagi gue lebih tua dari dia jadi gue berperan sebagai kakaknya juga disini.
kapalmw : Jadi selama ini gue naik kapal hantu😔
Wonwoo : Udahkah ini? Kalian gak mau tanya yang lainnya? Atau lebih baik gue tutup livenya aja? Tadi gue baca ada yang masih kerja?
volcanicmud : Wonwoo kapan manggung bareng lagi sama Mingyu?
Wonwoo : Hm, manggung bareng lagi ya? Belum tahu sih kapannya cuma gue dalam waktu dekat bakal rilis album solo.
redvalvetkrim : Loh, kok malah solo😭
Wonwoo : Ya awalnya mau comeback bareng, tapi kalian tahu kan sekarang Mingyu lagi sibuk syuting film bareng s.coups. Jadi pas gue dapet tawaran buat rekaman kenapa gak gue iyain aja?
keongmas : GUE BAKAL TUNGGU LAGU TERBARUNYA💃🏻
keongracun : BENER GUE CINTA LAGU LAGUNYA BUKAN KARENA PERCINTAANNYA!!💃🏻🕺🏻
Wonwoo : Gue harap setelah ini kalian gak bakal gampang kemakan berita lagi ya, tetep dukung gue ataupun Mingyu apapun yang terjadi ya. Nikmati karya-karya yang kita buat untuk kalian.
istrinyawonwoo : NOOOO JANGAN KELIATAN SEDIH GITUUU😭 KITA SEMUA SAYANG KALIAN APAPUN KEPUTUSAN KALIAN KOK😭 KITA BAKAL TERUS DUKUNG DENGAN PENUH CINTA😭
Wonwoo : Ahh, gue stress banget akhir-akhir ini gara-gara jadwal yang padet banget dan malah berita ini keluar. Sorry banget guys bikin kalian khawatir.
hellokitty : Wonwoo jangan sampe sakit lagi😭
doraemonbiru : stress banget mukanya😭
kakidino : Wonwoo mau dipuk-puk gak🫳🏻
bittersweet : Kaget banget sama beritanya, tapi tetep yang terpenting tuh kalian, sehat-sehat suami-suamiku😔
Wonwoo : Kenapa komentar kalian lucu-lucu banget sih? Jadi pengen ketawa tapi tenggorokan gue masih sakit banget, kena radang juga kemaren.
wanitanyamingyu : Wonwoo banyakin istirahat aja sekarang, udah dapet kabar dari lo kita-kita udah lega kok, yang terpenting hubungan lo sama Mingyu baik-baik aja
Wonwoo : Makasih banyak ya guys tanpa dukungan kalian kita gak berarti apa-apa.
keleponbukanmochi : Huhuhu jangan sedih yaa Wonwoo, kita bakal terus dukung MW apapun keadaannya walau kadang heboh dikit😔🤏🏻
Wonwoo : Semoga beritanya bisa cepet di take down ya guys. Hari ini gue akhiri livenya disini ya? Kalau gue udah mendingan bakalan live lagi kok.
istrinyawonwoo : GWS SAYANG😭🫳🏻
wanitanyamingyu : CEPET SEMBUH WOO😢
Setelah live berakhir Daanu langsung duduk bersandar pada sofa, dirinya merasa lelah. Energinya terkuras hanya karena siaran langsung yang hanya berlangsung beberapa menit saja karena ia merasa gugup. Beruntung penggemarnya memiliki pemikiran terbuka, tidak banyak menghujat tapi justru memberi dukungan pada dirinya. Ia merasakan degup jantungnya perlahan mulai berdetak normal kembali. Ia berharap kedepannya tidak banyak masalah yang terjadi.
1 note
·
View note
Text
When Time Speaks
by nojamsty
ִֶָ 𓂃
Deru napas keduanya terengah, beberapa kali mencoba menarik napas untuk meredakan gejolak yang membakar keduanya, euforia kesenangan masih membumbung tinggi di udara, menyisakan kenikmatan yang telah dicapainya. Lelah mendera keduanya setelah satu jam bergulat dengan gairah yang menggelegak, Soonyoung menyandarkan kepalanya pada dada Wonwoo, mencoba mencari kehangatan dan Wonwoo merengkuhnya dari belakang, menghalau hawa dingin yang mulai menggigit kulit.
Wonwoo membungkuk, mengendus leher Soonyoung, membaui aroma candu yang membuatnya mudah lepas kontrol, sesekali mengecupi kulit Soonyoung yang telah memerah di beberapa titik yang saling tumpang tindih, menandakan seberapa panas sisa pergulatan malam mereka. Menyalurkan kasih sayang yang tak pernah habis untuk Soonyoung.
"Mas.." Soonyoung bersuara dan Wonwoo hanya bergumam sebagai respon, masih sibuk mengecup kulit terbuka sang suami.
Soonyoung menggeliat dalam pelukannya, tapi Wonwoo menahan agar tidak berbalik. "Stay like this.."
Soonyoung menggenggam tangan Wonwoo yang memeluk perutnya. "Mas beneran gak pakai tadi.."
Wonwoo mengangguk sebagai respon. "Mau buat adik buat Daehan.."
Soonyoung terkekeh pelan. "Emang mau buat berapa adik.." Soonyoung mendongak dari posisinya, membuat Wonwoo mengecup hidung sang suami dengan gemas.
"Selusin pun gak masalah.."
Soonyoung menyikut perut Wonwoo dan mendengus. "Kamu kira aku kucing yang sekali hamil bisa enam anak.."
Wonwoo terkekeh pelan dengan jawaban Soonyoung, ia mengeratkan pelukannya. "Berapa pun yang Soonyoung mau.."
Soonyoung menunduk, menatap tangan Wonwoo yang perlahan mengelus perutnya. "Mas.."
Wonwoo membenarkan posisinya, kini berbaring miring dengan sebelah tangannya bertumpu dengan siku. "Apa?"
Posisi Wonwoo, membuat Soonyoung dengan mudah berbalik, menatap sang suami. "Mimpi Mas selama ini itu apa?"
Alis Wonwoo bertaut. "Kenapa sayang tanya gitu?"
Soonyoung menatap Wonwoo dengan serius, tangannya saling bertaut di depan dada bidang Wonwoo. "Soonyoung mau bantu Mas.." Soonyoung menghela napasnya, "karena Mas selalu bantu Soonyoung, terus Soonyoung sadar gak pernah tanya balik apa mimpi Mas selama ini.."
Karena selama ini Soonyoung merasa, Wonwoo selalu mementingkan dirinya, memanjakannya, menjadikannya di atas segalanya tapi Soonyoung tidak pernah merasa memberi sesuatu yang terbaik untuk sang suami, Soonyoung bahagia di cintai begitu penuh oleh Wonwoo. Tapi ada kalanya ia merasa tidak ada apa-apanya, berpikir apakah pantas ia menerima semua kebaikan Wonwoo hanya untuknya dan Soonyoung merasa kosong.
Sebelah tangan Wonwoo yang bebas mengusap pipi Soonyoung dengan lembut, senyum tipis penuh cinta terpantri di wajahnya. "I'm already towards our dream, being with you and being happy is my dream, don't you dream that?"
Soonyoung mengangguk, dan bersandar pada tangan Wonwoo, matanya berkaca-kaca dan hatinya penuh dengan rasa cinta dari Wonwoo. Soonyoung pikir itu akan meledak dalam tangisnya, jadi ia menarik tangan Wonwoo dalam genggamannya dan mengecupnya.
"How can I thank you for all the love you give me?" Air mata Soonyoung siap tumpah dengan haru, dan Wonwoo tersenyum.
"Kiss me, maybe?" Soonyoung mengangguk, dan setitik air mata bahagianya lolos dengan mudah saat ia menarik Wonwoo mendekat.
Mengecup sebagai awalan, melumat sebagai ungkapan terimakasih, dan keduanya dengan mudah larut dalam suasanya. Awalan yang bagus, tak terburu-buru seolah malas tapi menikmati setiap detiknya, untuk saling mengungkapkan perasaan masing-masing, lewat sentuhan kasih sayang yang ternyata tak lekang oleh waktu dan tidak pudar sedikit pun.
Tapi keduanya hanyalah manusia biasa yang mudah terbakar gairahnya, karena jemari-jamari itu tak tinggal diam di tempatnya, seolah memberikan percikan api di setiap sentuhannya, membakar kulit yang di jelajahinya. Api yang mudah menggelegak dalam dirinya, membawa tensi udara naik dengan mudah, dan Wonwoo berguling kembali, mengurung Soonyoung di bawahnya, mengindikasikan semuanya akan kembali di mulai, dimana api baru saja dinyalakan.
Karena waktu telah menjawab mimpi Wonwoo yang sangat sederhana, yaitu melihat kebahagiaan Soonyoung saat bersamanya. Dan Soonyoung bahagia selama berada disisinya adalah hal terbaik dalam hidupnya. Dan buah hati mereka adalah hadiah terbaik yang pernah diterimanya. Dan hati Wonwoo penuh dengan cinta dan kebahagiaan, tak pernah berhenti ia mengucap syukur atas nikmat yang telah di terimanya.
Dan malam ini, semuanya perasaannya terungkap bersamaan meledaknya gairah keduanya.
_End_
1 note
·
View note
Text
Call You Mine
Bagian dari mini series events soonwoo day👇🏻
by nojamsty
ˑ ִֶָ 𓂃
First Impression Wonwoo ketika melihat Soonyoung adalah seseorang yang ceria dan imut, dengan aura cerah yang mengelilinginya, seolah membawa hangatnya sinar mentari disekitarnya, seseorang yang mengungkapkan isi hatinya dengan lugu. Suaranya lembut dengan senyum manis yang akan menenggelamkan mata sipitnya ketika tertawa, dan jika Wonwoo tidak memperhatikan mungkin saja ia akan melewatkan lesung pipi yang hanya terlihat ketika Soonyoung tersenyum.
Dan Wonwoo menyadari, dia terlalu memperhatikan terlalu banyak, tapi Soonyoung sulit untuk diabaikan, tidak—ketika ia bercerita dengan pipi yang mengembung lucu, kaki yang berayun disaat ia bercerita di atas pantry. Terus mengajaknya berbicara bahkan ketika ia lebih banyak diam, menceritakan apa apapun yang terlintas di kepalanya, tidak membiarkan suasana mati di antara keduanya.
Soonyoung yang dia pikir masih seorang anak SMA, karena wajah manisnya, siapa sangka akan segera lulus kuliah bahkan telah memiliki pekerjaan part time. Semua di luar dugaannya, termasuk bahwa Wonwoo nyaman bersamanya bahkan belum satu jam mereka bersama. Tetapi cerita terus mengalir apa adanya, seolah-olah mereka telah mengenal lama.
ˑ ִֶָ 𓂃
Soonyoung menutup pintu kamarnya, sejenak bersandar sembari menghela napasnya. Sekarang pukul tiga dini hari, dan dirinya justru terbangun, ia beranjak setelah memejamkan matanya sejenak. Kamar kos lainnya tampak tertutup, menandakan semua orang tengah nyenyak dalam tidurnya. Ia memutuskan keluar dari kamarnya karena kantuk tak kunjung kembali mengantarnya ke dalam bunga tidurnya. Ia berjalan pada pagar pembatas di lantai tiga, mengabaikan sofa yang nyaman dan memilih berdiri dan menatap jalanan yang tampak lenggang karena jarang pengendara melewati jalan pada jam ini.
"Soonyoung?"
Soonyoung menoleh, terkejut melihat Wonwoo berdiri di belakangnya dengan botol air di tangannya. "Gak tidur?"
Soonyoung menggeleng pelan, dan Wonwoo mendekat ke arahnya. "Kenapa?"
Soonyoung menyandarkan pipinya pada lipatan tangannya di atas pagar. "Kebangun terus gak bisa tidur lagi, jadi keluar aja lagian AC di kamar juga lagi mati."
Soonyoung melirik Wonwoo yang tampaknya begadang pada jam ini. "Mas Wonwoo belum tidur ya?"
Wonwoo tersenyum dan mengangguk. "Iya, ada kerjaan yang belum beres jadi yah, ngelembur."
Soonyoung mengembungkan pipinya. "Emang gak ngantuk?"
Wonwoo menggeleng. "Enggak, tadi habis tiga gelas kopi sih.."
Mata Soonyoung membola, terkejut dengan penuturan Wonwoo. "Banyak banget, emang enggak kembung?"
Wonwoo kembali menggeleng. "Enggak sih, udah biasa."
Soonyoung berdiri dengan benar, menegakkan tubuhnya dan menghadap Wonwoo. "Itu gak baik buat tubuh loh Mas, jangan dibiasin tahu."
Wonwoo tersenyum sebagai jawaban. "Soonyoung mau masuk kamar Mas gak? AC kamar Soonyoung mati 'kan? Tempat Mas gak kok."
Belum sempat Soonyoung menjawab, Wonwoo lebih dulu menarik tangannya. "Temenin Mas lembur ya, sebentar lagi juga selesai, biar Soonyoung juga gak sendirian di luar."
Soonyoung hanya menatap tangan keduanya yang saling bertaut. Ini bukan pertama kalinya mereka saling bergandengan tangan, bukan pertama kalinya keduanya tidur bersama, bukan pertama kalinya mereka saling menemani kala kantuk tak kunjung menyapa, bukan pertama kalinya mereka saling menemani salah satu lembur. Tapi jantung Soonyoung masih berdebar dengan hebatnya merasakan euforia luar biasa menyenangkan ini.
Saat keduanya telah duduk di atas kasur yang sama dengan bahu saling bersentuhan itu adalah hal biasa, bahkan jika kembali Soonyoung ingat, dirinya pernah terbangun di atas dada bidang Wonwoo, yang membuatnya bangun dan terperanjat karena terserang rasa terkejut. Berharap bahwa Wonwoo tidak pernah menyadarinya. Jadi saat kepalanya bersandar dengan nyaman di bahu Wonwoo, yang lebih dewasa dengan baik hati merendahkan sedikit postur tubuhnya agar Soonyoung nyaman bersandar padanya saat Wonwoo akan menyelesaikan pekerjaannya.
"Soonyoung gak bawa ponsel ya?" Soonyoung menggeleng sebagai jawaban dan menatap layar laptop milik Wonwoo.
"Mau dengerin lagu?"
"Boleh.." Jawab Soonyoung mendongak menatap Wonwoo yang juga tengah menunduk ke arahnya.
Wonwoo memberikan ponselnya yang telah tersambung pada airpods miliknya, memasangkannya pada salah satu telinga Soonyoung dan telinganya.
"Mau lagu apa?"
Soonyoung menggeleng pelan. "Apa aja, sesuai selera Mas Wonwoo aja, asal lagunya bisa bikin Soonyoung ngantuk.."
Wonwoo terkekeh mendengar jawaban dari Soonyoung dan ia segera membuka playlist miliknya. Perlahan musik mengalun perlahan di telinga Soonyoung, menyapanya dengan lembut. Ia memejamkan matanya dan menyamankan posisinya pada lengan Wonwoo, tidak berpikir dua kali untuk memeluk lengan Wonwoo dengan erat.
Soonyoung tahu lagu ini dengan baik, tahu arti setiap kata yang dilantunkan sang penyanyi, kerap kali ketika lagu ini terputar dalam playlist miliknya, Soonyoung merasa salah tingkah, menantikan seseorang yang mungkin saja menyanyikan lagu ini untuknya. Dan kini ia mendengarkannya dengan seseorang yang paling ia sukai, sesuatu membuncah perlahan di hatinya dengan rasa nyaman yang membuatnya perlahan merasa kantuk mulai menyapanya.
Di tengah kantuknya ia berucap pelan tanpa sadar mengucapkan lirik lagu di tengah sunyinya malam. "Can I, Call you my everything.."
Jemari Wonwoo terhenti untuk mengetik di laptopnya, sejenak menunduk menatap Soonyoung yang tampak jatuh tertidur tapi sempat berucap pelan, ia terkekeh pelan. Dan membenarkan posisi kepala Soonyoung yang sedikit merosot di pundaknya.
"Call you my baby?" Balas Wonwoo dengan tanya di tengah senyumnya, gumaman tak jelas dari Soonyoung membuat senyumnya semakin lebar, ia mengusap pipi Soonyoung dengan sayang.
Hampir setahun keduanya saling mengenal, dan selama itu Wonwoo terus memastikan bahwa perasaannya pada Soonyoung benar apa adanya, ia menyayanginya dan Wonwoo selalu ingin bersamanya. Tapi ia terlalu takut untuk mengubah kenyamanan mereka berdua, tapi Soonyoung telah memutar dunia Wonwoo dan ia terjebak bersamanya.
Lantunan melodinya masih berputar dengan halus, dan Wonwoo meresapi setiap liriknya yang persis menggambarkan keduanya, dimana ia merasa sepi ia akan menelpon Soonyoung dan keduanya akan keluar, berjalan mengelilingi malam bahkan saat langit tengah meneteskan kesedihannya. Mereka tetap bersama dan berbagi cerita sepanjang jalan dan jika ia ingat kembali saat pertama kali keduanya bertemu, ada satu pertanyaan dari Soonyoung yang masih terpantri jelas dalam ingatannya.
"Kalau di panggil sayang boleh gak Mas?"
Wonwoo terkekeh pelan, mengusap punggung tangan Soonyoung perlahan, jika waktu itu bisa diulang maka Wonwoo akan dengan senang hati mengatakan bahwa dirinya bersedia, bukan terkekeh dan mengatakan anak laki-laki itu manis. Tapi itu benar apa adanya, ketika Soonyoung bertanya dengan mata kecilnya yang sedikit membulat dan senyum yang memamerkan lesung pipinya yang kecil tetapi terlihat imut, Wonwoo hanya bisa terpaku tanpa menjawab, menjadi salah tingkah karenanya dan apa yang bisa Wonwoo lakukan selain tertawa kecil, merasa bodoh karena salah tingkah dengan pertanyaan main-main yang diajukan oleh Soonyoung kepadanya. Dan saat itu Wonwoo menyadarinya, ia dalam keadaan darurat, ia mungkin bisa dengan mudah jatuh dalam pesona laki-laki manis bernama Soonyoung yang mencuci pakaian pada pukul satu dini hari.
ˑ ִֶָ 𓂃
Soonyoung menggeliat dalam tidurnya, merasakan lengan hangat memeluk dirinya, membuat Soonyoung semakin mendekat pada sumber hangat yang menenangkan, sebelum ia tersadar sepenuhnya bahwa ia tidak tertidur di kamarnya. Matanya terbuka lebar, melihat Wonwoo yang juga telah terbangun dan tengah menatapnya dengan senyuman, senyum yang membuat Soonyoung merasa pusing di pagi hari. Senyum yang bisa mematikan detak jantung siapapun yang di tatapnya, senyum yang membuatnya meleleh padahal sinar matahari pagi lebih terik dari biasanya, senyum yang membuat Soonyoung ingin menikahi laki-laki di depannya detik itu juga. Agak terdengar bodoh, tapi Soonyoung merasakan hal itu saat ini.
"Pagi.." sapa Wonwoo dengan serak, membuat bulu kuduk Soonyoung berdiri, "nyenyak tidurnya?"
Soonyoung mengangguk kaku. "Pagi Mas.." suaranya terdengar mencicit, merasa minder ketika Wonwoo terlihat sempurna bahkan saat ia baru saja bangun tidur.
Wonwoo mengusap sudut bibir Soonyoung. "Nyenyak banget ya? Sampai ngiler.."
Demi Tuhan, Soonyoung malu luar biasa dan yang bisa ia lakukan hanyalah mencicit kembali dan menyembunyikan wajahnya di dada Wonwoo, membuat yang lebih dewasa tertawa karena tingkahnya.
"Bercanda Soonyoung.."
Soonyoung memukul dada Wonwoo karena kesal. "Ih, Soonyoung malu tahu Mas!"
Wonwoo memeluk Soonyoung lebih erat lagi. "Gak pa-pa kenapa harus malu, Soonyoung bangun tidur tuh gemes banget kok."
"Idih.." Jawab Soonyoung merasa salah tingkah.
Wonwoo mengusap punggung Soonyoung dengan sayang. "Mas tuh akhir-akhir ini kalau bangun tidur sering ngerasa sedih, gak tahu kenapa.." ia menepuk-nepuk kepala Soonyoung yang masih bersembunyi di dadanya, "tapi pagi ini enggak ngerasa gitu, mungkin karena ada Soonyoung disini jadi gak ngerasa kesepian lagi.."
Soonyoung perlahan mendongak, bibirnya di gigit seolah tengah memikirkan kata-kata yang harus ia ucapkan. "Mas Wonwoo juga udah di umur nikah'kan ya?"
Soonyoung menunduk, menatap kosong pada tangannya yang bersandar di dada Wonwoo. "Mungkin Mas ngerasa sedih sama kesepian karena itu.."
"Mas mau nikah, tapi sama Soonyoung ya?"
Soonyoung mendongak cepat, dan senyuman lebar Wonwoo tampak menjengkelkan di matanya. Ia mendengus seraya mencubit pinggang Wonwoo dengan kesal. "Mas Wonwoo tuh!"
Wonwoo tertawa. "Aduh.." keluhnya merasakan cubitan dari Soonyoung, "kenapa sih?"
Soonyoung cemberut karenanya tanpa menjawab.
"Can i, call you my everything.." Wonwoo berucap pelan, "call you my baby.."
Soonyoung terdiam sejenak sebelum mendengus, ketika sadar bahwa itu adalah lirik lagu yang mengantarkan kantuknya semalam. "Malah nyanyi.." jawabnya ketus.
"Terus Mas harus gimana?"
"Gak gimana-mana.." Jawab Soonyoung, menyembunyikan fakta bahwa tangannya gemetar karena gugup.
"Waktu pertama kali kita ketemu Soonyoung bilang sama mas kek gitu.."
"Bilang kayak mana, gak pernah ya.."
"Masa gak ingat kalau Soonyoung pernah mau manggil Mas 'sayang'? "
Mata Soonyoung membulat. "Kok masih ingat aja sih Mas?"
Wonwoo tertawa melihat reaksi Soonyoung yang terlihat lucu di matanya. "Gimana gak ingat, baru kenal udah mau manggil sayang aja.."
"Ya gimana lagi, ada cowok bening di depan mata masa mau dianggurin aja.."
Mendengar jawaban Soonyoung membuat tawa Wonwoo lepas, ia dengan gemas mencubit hidung Soonyoung. "Ya udah panggil sayang juga gak pa-pa."
Soonyoung memutar bola matanya. "Dih, itu sih maunya Mas Wonwoo.."
Setelah mengucapkan kalimat itu Soonyoung mendongak, terdiam melihat Wonwoo yang tengah menatapnya dengan lembut, samar tapi pasti detak jantungnya kini mulai berdetak keluar dari temponya. Tatapan yang membuat siapapun akan meleleh karenanya, bersyukur saat ini Soonyoung dalam posisi berbaring, karena tidak yakin ia akan bisa berdiri di atas kedua kakinya dengan benar, mungkin ia akan goyah.
"Soonyoung akhir tahun bakal pulang gak?"
"Emang kenapa Mas?" Jawab Soonyoung serak, tiba-tiba merasa suaranya hilang dalam tenggorokannya.
Wonwoo yang masih setia menunduk menatap Soonyoung, tersenyum tipis. "Mau ngambil cuti akhir tahun sama Mas gak? Mas mau ngajakin Soonyoung jalan-jalan.."
Soonyoung tampak bingung. "Kemana?"
"I think the place where you want to go?" Jawab Wonwoo dengan senyuman tulusnya.
Membuat Soonyoung terdiam, dulu pertama kali Soonyoung mendapatkan gaji pertama dan mengajak Wonwoo pergi untuk membelikannya makanan, yang lebih dewasa sempat menanyakan kemana Soonyoung ingin berlibur jika memiliki kesempatan dan Soonyoung hanya menjawab dimana ia bisa berendam air panas, menyaksikan festival lampu di akhir tahun atau menikmati pemandangan dari kereta gantung di Jepang, itulah daftar keinginan pertama yang Soonyoung ucapkan kala itu.
"Mas.."
Wonwoo terkekeh pelan dan merapatkan tubuh keduanya dengan gemas. "Mau ya? Nanti kita urus bareng-bareng.."
Soonyoung mengambil jarak dari Wonwoo yang membuat keduanya bisa saling menatap. "Mas serius?"
Wonwoo mengangguk sebagai jawaban dan mengusap rambut Soonyoung dengan sayang sebelum beranjak untuk duduk. "Bangun yuk, kita cari sarapan di luar, udah agak siang ini pasti laper 'kan?"
Ketika Wonwoo mencapai pintu, ia menggenggam knop pintu dengan erat, menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan napasnya perlahan mencoba meredakan detak jantungnya yang berdetak kencang. Ia belum mendengar jawaban Soonyoung, ia hanya mengajaknya pergi kemana Soonyoung ingin berlibur, tapi rasa ia seperti akan menunggu jawaban atas cinta Wonwoo padanya.
"Mas Wonwoo!" Soonyoung berseru di belakangnya, "Soonyoung 'kan belum jawab! Ih kok di tinggalin?!"
Wonwoo membuka pintunya, mencoba terkekeh. "Ya ayo buruan jawab atau Mas tinggal.." Jawabnya keluar dari kamar, membuat Soonyoung kebingungan dan berusaha turun dari ranjang guna mengejar Wonwoo yang telah menutup pintu.
ˑ ִֶָ 𓂃
Karena jujur saja Wonwoo ingin menyebut Soonyoung sebagai cintanya dan Wonwoo akan berusaha melakukannya. Untuk menyebut Soonyoung sebagai miliknya, seseorang yang bisa menjadi rumah untuk Wonwoo menetap sampai akhir hidupnya. Dan Wonwoo juga ingin menjadi cinta Soonyoung, seseorang yang dapat di banggakan Soonyoung, seseorang yang di percayanya bisa menjadikan Wonwoo sebagai rumah. Dan Wonwoo akan memulainya dari hal-hal kecil yang dilakukannya bersama Soonyoung setiap hari, dan menciptakan kenangan yang mungkin bisa di ceritakan kembali pada hari tua.
ˑ ִֶָ 𓂃
[So then] we talked for a little while
Ask we if I could roll through
[So we] Met up, go food and we
Spent time till the night was through
[Can I] call you own
And can I call you my lover
ˑ ִֶָ 𓂃
3 notes
·
View notes
Text
I'd did, and I'm Yours
by nojamsty
ִֶָ 𓂃
Soonyoung hampir jatuh tertidur saat Wonwoo mendekat ke arahnya. "Soonyoung.."
Usapan pelan singgah di lengannya, membuat Soonyoung dengan enggan membuka matanya. "Oh, Mas Wonwoo udah selesai?"
Wonwoo tampak mengangguk, duduk bersisian dengan Soonyoung. "Soonyoung Mas minta maaf, tapi besok kita beneran harus balik.."
Soonyoung mengangguk dengan kantuknya, lagipula siapa dia mau memberontak atau menolak usulan Wonwoo? Lagipula Soonyoung berada di Jepang seperti ini karena Wonwoo, jika laki-laki itu memintanya untuk kembali Soonyoung hanya bisa setuju.
"Iya gak pa-pa kok.."
Tapi jawaban Soonyoung sepertinya tidak memuaskan Wonwoo terlihat gurat wajah yang lebih dewasa tampak menyesal. Jadi Soonyoung mengusap tangan Wonwoo. "Soonyoung beneran gak pa-pa kok Mas," Soonyoung mencoba terlihat meyakinkan, "Soonyoung udah seneng banget bisa diajak jalan-jalan gini, walau cuma sebentar menurut Soonyoung ini udah jadi kenangan terbaik, jadi Mas jangan kelihatan merasa bersalah gitu dong.."
Soonyoung menepuk-nepuk punggung tangan Wonwoo. "Mas kalau gini Soonyoung bisa nangis loh.."
Wonwoo menghela napasnya perlahan. "Mas minta maaf banget ya Soonyoung, padahal kita udah di Jepang tapi beberapa mimpi kamu belum bisa kesampaian.."
Soonyoung menggeleng. "Mas 'kan tadi janji kalau mau traveling lagi ngajak Soonyoung?"
Wonwoo mengangguk dan Soonyoung tersenyum. "Nah, masih ada lain waktu berarti dan Mas Wonwoo harus nepatin janji itu buat Soonyoung.." Soonyoung mengacungkan jari kelingkingnya, "promise me?"
Wonwoo tersenyum dan menautkan jari kelingking mereka. Sedikit saja, beban Wonwoo terangkat ketika kurva Soonyoung tertarik ke atas, ikut membawa perasaan menjadi lebih baik lagi.
ִֶָ 𓂃
Ketika mereka kembali berada di pesawat untuk perjalanan pulang, Soonyoung sedikit lebih santai. Tidak terlalu gugup seperti pertama kali, walau Wonwoo masih bisa merasakan lembabnya tangan Soonyoung karena berkeringat, tapi senyum di wajah Soonyoung sampai ke matanya, juga ia terlihat lebih fokus dan Wonwoo ikut tersenyum karenanya.
Mungkin kali ini bukan kesempatan untuknya mengutarakan perasaannya kepada Soonyoung, mungkin semesta belum menyetujuinya. Mungkin di suatu tempat yang lebih indah, atau di waktu yang tepat ia bisa mengatakan, ia menatap kedua tangan mereka yang saling bertaut, apakah semuanya akan baik-baik saja?
Akankah mereka akan selalu bersama untuk waktu yang lama? Bisakah ia tetap membuat Soonyoung berada di sampingnya?
Tidak di setiap kesempatan Wonwoo bisa membuat semua yang diinginkan berjalan sesuai kemauannya, terbukti hari ini dirinya harus membawa Soonyoung pulang lebih cepat, tidak seperti janjinya.
Remasan pada tangan Soonyoung membuat yang lebih muda menyadari bahwa Wonwoo tampak sibuk dengan isi kepalanya. Ia menelengkan kepalanya, melihat Wonwoo lebih dekat. "Mas Wonwoo gak pa-pa?"
Wonwoo mendongak, menemukan gurat khawatir pada wajah Soonyoung, ia memaksakan menarik senyum tipis di bibirnya dan mengangguk. "Gak pa-pa.."
Tapi tampaknya jawabannya tidak memuaskan Soonyoung karena bibir itu tampak merenggut lucu. "Bohong ya?"
Wonwoo menggeleng.
"Terus kenapa dong? Kerjaan Mas susah banget ya? Di marahin bos?"
Wonwoo menggeleng lagi. "Terus apa dong Mas? Soonyoung bisa ngelihat di kepala Mas ada benang kusut tahu!" Soonyoung berucap seolah bisa melihat isi kepala Wonwoo.
"Mas.." Soonyoung berucap lirih, "Mas segitu gak percayanya ya sama Soonyoung buat bagi cerita?" Soonyoung melepaskan genggaman tangan keduanya, ia menunduk dan menghela napasnya dengan lelah.
"Apa Soonyoung masih kelihatan kayak anak kecil ya? Sampai-sampai Mas Wonwoo selalu nyimpan semuanya sendiri?" Soonyoung meremat jemarinya, "Soonyoung selalu cerita apapun sama Mas Wonwoo, tapi Mas enggak.." Ia menggigit bibirnya sebelum kembali mulai berucap, "bukan Soonyoung maksa Mas buat cerita, tapi Soonyoung berharap bisa jadi pendengar yang baik buat Mas, mungkin Soonyoung belum tentu bisa ngasih saran atau solusi dari masalah Mas, tapi Soonyoung mau mengurangi beban pikiran di dalam kepala Mas, mungkin dari situ Mas bisa ngerasa lebih lega setelah cerita.."
Soonyoung menoleh cepat ke arah Wonwoo, raut wajahnya kini penuh keyakinan. "Soonyoung janji gak bakalan cerita ke siapa pun!"
Melihat ekspresi Soonyoung membuat tawa Wonwoo meledak, membuat beberapa penumpang menoleh ke arah mereka. Reaksi Soonyoung melihat tawa Wonwoo tentu saja terkejut tapi ia dengan cepat berdiri dan meminta maaf pada penumpang karena kebisingan yang dibuat oleh mereka berdua.
Soonyoung merenggut setelah tawa Wonwoo reda. "Mas Wonwoo kenapa ketawa sih?" Soonyoung merengek, ia merasa seperti sedang di permainkan.
Wonwoo menggeleng, merasa lucu. "Enggak pa-pa, kamu lucu banget.."
Soonyoung mendengus pelan. "Soonyoung tuh serius tahu Mas, gak lagi bercanda Soonyoung gak mau—"
Soonyoung terdiam ketika jari telunjuk Wonwoo berada di bibirnya, menghentikan celotehannya.
"Iya Mas tahu kok, tapi Soonyoung jangan ngerasa sedih gitu, Mas bukan gak mau cerita tapi belum.."
Soonyoung menjauh, menunduk sejenak. "Terus kapan Mas mau cerita sama Soonyoung?"
Soonyoung mendongak menatap Wonwoo. "Mas Wonwoo tuh punya Soonyoung, Mas kalau ada apa-apa yang ganggu isi kepala Mas bisa cerita sama Soonyoung.."
Wonwoo terdiam, seolah tengah meresapi kalimat Soonyoung. Benarkah dia telah memiliki Soonyoung? Benarkah Soonyoung adalah miliknya.
Ditatap begitu lama membuat Soonyoung kewalahan, ia memalingkan wajahnya, menggaruk lehernya dengan canggung. "Mas kenapa deh malah ngelihatin Soonyoung kayak gitu?" Tanyanya tanpa melihat Wonwoo.
Salahkah perkataan Soonyoung? Kenapa di tatap begitu intens oleh Wonwoo selalu membuatnya gugup, ia menggigit bibirnya, berharap degup jantungnya tidak bekerja secara abnormal.
"Is it true that I have you?" Ucapan Wonwoo membuat Soonyoung menoleh, mencoba mencerna pertanyaan Wonwoo.
Dan Soonyoung mengangguk. Tentu saja, Wonwoo memilikinya.
Wonwoo menggeleng, alis Soonyoung bertaut bingung. "No, that's not what I meant." Jawab Wonwoo dengan suara bertanya, terdengar lebih serius daripada biasanya.
Soonyoung menelengkan kepalanya, meminta penjelasan lebih pada Wonwoo tanpa kata. "Like you are mine and I am yours.."
Sepasang netra Soonyoung membola, sebelum ia berkedip bingung. "Soonyoung maybe it's not a special time, but to be honest I've had a crush on you for a long time.."
Wonwoo seolah-olah sedang mengatur setiap kata dalam kepalanya untuk menemukan kalimat yang layak untuk di dengar. "Soonyoung, I don't know how to put it nicely, but can we be together? Can I be yours and you be mine, like we'll be forever?"
"Not as brothers, but someone who loves each other?"
Soonyoung mengerjap pelan, meresapi setiap kalimat yang terlontar halus dari belah bibir Wonwoo tapi berhasil membuat gempa bumi di dalam rongga dadanya.
"You love Me?" Wonwoo mengangguk.
"Try to say.." Soonyoung meminta dan Wonwoo tersenyum.
"I love you.."
Dan Soonyoung hampir menangis saat mengangguk. "I'd did, and I'm yours.."
Mungkin ini bukan waktu yang terindah bagi Wonwoo, dimana keduanya duduk di bangku pesawat, dengan kemungkinan orang-orang mendengarkan percakapan mereka, tapi bagi Soonyoung ini adalah waktu yang luar biasa dimana mereka berada di atas awan dan saling mengungkapkan isi hati mereka, terlebih lagi Wonwoo yang melakukan, seseorang yang pertama kali mengajak Soonyoung terbang, membuatnya merasa nyaman saat ia tengah gugup karena rasa takut.
Wonwoo memberikan sebuah kenangan berharga untuknya dan Soonyoung berharap bisa kembali terbang untuk menciptakan kenangan lainnya.
Langit menjadi saksi keduanya bersama.
1 note
·
View note
Text
┌────soonwoo au
by nojamsty
—ᵖᵃʳᵗ ᵒᶠ ꜱᴀᴜᴅᴀᴅᴇ
Wonwoo tidak memainkan ponselnya dari pagi, tapi ia sempat melihat notifikasi bar miliknya, ada dm dari Ten disana, tapi ia hanya mengabaikannya, tidak ingin berurusan dengannya untuk sekarang, ia menghela napasnya, sebelum memarkirkan motornya di depan rumah Seungcheol, dia langsung pergi ke supermarket setelah keluar dari sekolah untuk membeli beberapa camilan dan buah. Ia melihat sepatu milik Jeonghan ada di rak teras depan, menandakan temannya telah sampai lebih dulu.
Wonwoo melihat Seungcheol dan Jeonghan sibuk di dapur memasak untuk makan siang mereka, ia meletakkan plastik belanjaannya pada pantry.
"Kok disini semua sih, emang Soonyoung udah gak pa-pa ditinggal sendiri?"
Seungcheol yang sibuk mencuci bayam menyempatkan diri untuk memutar tubuhnya dan melihat Wonwoo telah datang. "Udah, barusan bangun, tadi pagi sempet panik waktu gue turun ngambil sarapan yang dibawain Han, tapi sekarang udah enggak."
Seungcheol melanjutkan mencuci sayuran, sedangkan Wonwoo merebahkan kepalanya di atas meja.
"Tapi paling sebentar lagi manggil lagi minta di temenin.."
"Gue ke atas boleh gak sih Cheol?"
Jeonghan memutar bola matanya saat mendengar pertanyaan Wonwoo. "Tumben banget tanya, biasanya juga langsung nyelonong masuk, emang lo tadi masuk kesini pakai permisi?"
Wonwoo mendengus pelan. "Gue tadi pencet bel sekali ya, tapi gak ada yang nyaut, gue sebagai tamu yang baik inisiatif dong masuk sendiri.."
"Halah gaya lo.." Seungcheol menyahut setelah memiriskan air pada sayuran, "ya udah sana sih, lihat aja anaknya.."
Wonwoo mengangguk tak acuh sebelum akhirnya berdiri untuk pergi ke kamar Soonyoung. Walau sebenarnya ia sudah hapal dengan seluk-beluk rumah ini, agaknya ia masih terpana dengan beberapa foto yang di panjang di dinding ataupun yang di letakan pada lemari kaca, foto-foto Seungcheol dan Soonyoung, hanya saja foto Soonyoung kecil lebih menarik perhatiannya. Pipinya masih sama gemuknya dengan sekarang, jika ia mengingat dulu ia sering menggigit pipi tembem Soonyoung karena merasa kesal ketika bakpao miliknya harus Wonwoo relakan pada Soonyoung yang menangis, dan hal itu justru membuat bocah dengan pipi tembem semakin histeris dalam tangisnya.
Pintu kamar Soonyoung terbuka lebar, saat ia masuk pandangan Soonyoung terlihat kosong menatap boneka hamster di tangannya.
"Hei.." sapanya, mencoba menarik atensi Soonyoung, "kenapa bengong sih?"
Soonyoung menggeleng pelan, bibirnya tampak pucat dan pecah-pecah karena kering, hampir tiga hari ini tampaknya Soonyoung masih tidak nafsu makan dan minum pun harus di paksakan oleh Seungcheol.
Wonwoo merangkak pelan pada ranjang, untuk duduk di samping Soonyoung, sebelah kakinya ia lipat sebagai tumpuan tangannya. "Masih mual ya? Makanya makanannya gak di makan?" Wonwoo berucap setelah melihat nampan makanan di atas nakas terlihat utuh dan Soonyoung hanya mengangguk.
"Lo nyimpen boneka ini ya?" Wonwoo menunjuk boneka hamster yang ada di tangan Soonyoung dengan dagunya, "padahal bonekanya dari Mr Cat 'kan?"
Soonyoung menggeleng, hidung Wonwoo berkerut. "Enggak? Tapi 'kan itu boneka ada di paper bag yang di taruh Mr Cat di gudang waktu itu?"
"Bukan.." suara serak Soonyoung membuat Wonwoo diam-diam menarik napas lega.
Hampir tiga hari Soonyoung tidak bicara, ia hanya menggerakkan kepalanya ketika di tanya, ia dan Seungcheol khawatir jika Soonyoung mengalami trauma, tapi jika di pikir-pikir wajar jika hal ini mengguncang Soonyoung, tapi tetap saja mereka ingin melihat Soonyoung membaik secepatnya.
"Masa sih?"
Soonyoung mengangguk pelan. "Gue.. bingung.." jawab Soonyoung pelan, "ini sebenernya boneka gue dari kecil, dari Wowon.."
Alis Wonwoo bertaut, dahinya berkerut mendengar jawaban Soonyoung.
"Bonekanya terus gue bawa, bahkan di sekolah, tapi hilang waktu SMP, gue gak tahu kalau boneka ini di ambil sama Mr Cat."
Soonyoung tampak menghela napasnya, tubuhnya merosot dari kepala ranjang, genggaman pada boneka hamsternya melonggar, membuat Wonwoo yang melihat hal itu, perlahan menarik kepala Soonyoung ke pundaknya.
"Rasanya gue mau buang boneka ini—abu namanya, karena ini ngingetin gue sama Mr Cat, gue takut.." Soonyoung memejamkan matanya, menyamankan posisi kepalanya pada pundak Wonwoo, "tapi ini satu-satunya kenangan yang gue punya dari Wowon, gue gak mungkin buang gitu aja, apalagi ini boneka kesayangan dia, terus dulu dia bilang kalau gue ngerasa takut atau ngerasa sendiri gue harus peluk si abu, katanya dia bakal ngerasain itu.." Soonyoung berusaha tertawa mengingat kenangannya dulu dengan teman kecilnya, "kalau di pikir-pikir sekarang, itu gak mungkin banget sih, walau dia nyebelin banget tapi dia satu-satunya temen yang gue punya, sebenernya dia seumuran sama Abang gue sih.."
"Tapi dia yang pertama kali mau ngajak gue main, dulu dia sering gigit pipi gue karena kesel mainan dia atau makanannya gue rebut, tapi dia selalu kasih apa yang gue mau.."
Perlahan Wonwoo menyelipkan tangannya kebelakang tubuh Soonyoung, mengusap kepala Soonyoung. "Terus temen lo kemana?"
"Gue gak tahu, dia pindah waktu dia mau masuk TK, dan gue gak punya temen lagi kecuali Abang, dulu ada kak Ulgi dia kakak cantik, tapi dia juga ikut pergi pas Wonwon pindah.."
"Gue ngerasa gak punya temen, sampai gue masuk asrama di kelas satu, si Jihoon yang sampai sekarang masih temenan sama gue."
"Jihoon juga tahu masalah Mr Cat dari awal, dia juga yang selalu jadi tempat curhat gue, dulu dia bilang gue harus cari tahu siapa Mr Cat, tapi gue gak terlalu peduli, dan sekarang gue takut rasanya mau mati aja.."
Mendengar ucapan itu membuat Wonwoo menarik Soonyoung ke dalam pelukannya. "Lo gak boleh ngomong gitu.." Wonwoo mengusap punggung Soonyoung, "masih ada gue, Abang lo, Jihoon, Han sama yang lain, semuanya peduli sama lo, kita bakal berusaha jagain lo, kita bakal bongkar identitas Mr Cat demi lo."
"Gak usah di pikirin ya, sekarang lo tidur aja, gue denger dari Seungcheol semalem lo gak bisa tidur, jadi sekarang gue disini bakal nemenin lo, jangan khawatir tidur aja.." Wonwoo mengusap-usap punggung Soonyoung dan sedikit bersenandung pelan, mencoba mengantar Soonyoung menuju bunga tidur.
Entah berapa lama sampai akhirnya Wonwoo merasa bahwa Soonyoung telah tertidur. Ia menunduk, mengintip wajah Soonyoung, tangannya perlahan menyelipkan helai rambut Soonyoung yang menutupi wajah, ia mengusap pelan pipi tembem yang selalu membuatnya gemas. "Wowon lo disini, lo udah gak butuh lagi si abu karena gue sekarang ada disisi lo, dan gak akan pergi ninggalin lo lagi, gue janji lo gak akan ngerasa sendiri, gue bakal jadi temen sekaligus kakak buat lo lagi, bahkan gue rela jadi malaikat pelindung lo, karena asal lo tahu.." Wonwoo mengusap kening Soonyoung yang berkerut dalam tidurnya, "lo orang pertama yang bikin gue ngerasa di butuhin, lo bikin gue kesel, lo bikin gue ketawa, lo juga yang buat gue ngerasa sedih atas namanya perpisahan, tapi gue seneng akhirnya bisa lihat lo lagi, walau lo gak ngenalin gue sebagai Wowon yang suka gigit pipi lo, yang sering ngeledek lo gendut waktu kecil.."
"Soonyoung, gue bakal berusaha sebaik mungkin, bahkan kalau gue udah di ambang batas sekali pun gue bakal tetap berusaha buat lo, buat lo nyaman, aman karena gue tahu rasanya jadi lo, karena nasib kita bertiga gak beda jauh, kita yang dari kecil susah dapet cinta dari orang tua kita sendiri.."
Wonwoo perlahan melepaskan boneka hamster dari tangan Soonyoung dan menyelipkan jemarinya di antara jari-jari gemuk Soonyoung sebagai gantinya, ia juga perlahan menyandarkan kepalanya pada kepala Soonyoung.
Dan mungkin perkataannya menyerap perlahan di antara bunga tidur Soonyoung.
°°
1 note
·
View note
Text
┌────soonwoo au
by nojamsty
──── B L U E 1
June 15th 2013
Lembayung senja kali ini nampak begitu suram, sama dengan dirinya yang mulai kehilangan cahaya hidupnya. Berpegang teguh dengan rasa percaya dirinya pada dunia yang akan baik-baik saja di bawah kakinya kini telah redup, sama halnya dengan lembayung senja yang akan meninggalkan hitam bersama dirinya.
Soonyoung menatap jauh cakrawala dengan sendu, kini ia benar-benar sendirian dan tanpa tujuan. Kenapa semesta begitu kejam padanya, tanpa niat memberi simpati barang sedikit saja untuknya tersenyum. Tanya selalu memenuhi kepalanya dengan alasan apa Tuhan menciptakan dirinya, memberinya jiwa untuk hidup tapi tidak satupun manusia menginginkan kehadirannya.
Haruskah dirinya berjalan di atas lautan yang tak berujung untuk menemukan jawaban atas tanya yang selalu berputar di kepalanya, atau apa?
Soonyoung bahkan tidak bisa menitihkan air mata saat kabar kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan tepat di hari ulang tahunnya. Ia hanya sempat berpikir bahwa itu adalah hadiah terbesar dalam hidupnya tapi bahkan ia tidak tersenyum.
Kedua orangtuanya adalah seorang pengusaha, tapi seolah-olah tak memiliki rumah untuk pulang, Soonyoung hanya memiliki kenakalan yang menemaninya, tempat persembunyian rasa sedihnya, itulah yang dikatakan bibi Minah—asisten rumah tangganya, yang kini merawatnya. Ia berpikir sampai kapan ia akan terus bergantung pada seseorang yang tak memiliki hubungan darah dengannya, apalagi bibi telah memasuki usia rentanya.
Soonyoung bersembunyi di Yogyakarta, jauh di dalam pedesaan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempatnya dilahirkan. Tapi kini keadaan membuatnya harus kembali tapi rasanya sangat enggan untuk ia lakukan, matanya terpejam barang sejenak, menghirup napas perlahan menikmati angin pantai yang menyapa wajahnya.
Tujuh belas tahun usianya, dan Soonyoung berpikir sudah waktunya untuk mulai berani menghadapi dunia dan tidak terus bersembunyi dengan rasa takutnya. Bibirnya bergetar karena rasa dingin angin di bibir pantai, tapi apakah semesta akan memberikan kemudahan baginya untuk melangkah atau hanya ada jalan terjal yang berliku untuk dilewatinya.
"Coba sekali ajalah, lo jangan kaku-kaku banget.."
Hari sudah hampir petang, dan suara di belakangnya membuat ia menoleh. Seorang pemuda—mungkin saja seumuran dengannya sibuk dengan telepon seluler di telinganya.
"Hahaha.." orang itu tertawa mendengar balasan lawan bicaranya, "gue di Jogja ya jalan-jalan, emang gue lo yang tiap hari belajar bahkan di hari libur gini.."
Soonyoung penasaran kapan terakhir kalinya ia bisa tertawa lepas, bahkan saat pantai telah sepi akan pengunjung, ia masih tidak berani bersuara. Tidak seberani dahulu untuk berteriak lantang kepada siapapun yang berani melawan keinginannya. Sekarang Soonyoung hanya ditemani oleh sepi yang merangkul pundaknya.
"Lain kali lo harus kayak gue.." Soonyoung mendengar kekehan pelan, "bukan buat yang suka pura-pura, tapi nikmatin hidup, lo punya kendali atas diri lo bukan orang lain."
"Gak ada yang perlu di takutin elah, gue juga gak takut mati," Soonyoung menoleh lantaran penasaran dengan orang asing yang berbicara dengan sambungan telepon, "bukan gitu, intinya tunggu aja, gue bakal geret lo dari penjara berkedok rumah itu.."
Pemuda itu memiliki postur tubuh kurus, memiliki poni yang hampir menutupi matanya, bibir tipis dengan seringai yang tampak nakal di wajahnya. Soonyoung terpaku tampak tak asing dengan wajah itu, tapi ia sudah lama tidak bertemu dengan orang-orang baru, mungkin seseorang yang pernah di lihatnya saat sekolah menengah pertama atau di suatu tempat yang Soonyoung lupakan.
Lamunannya buyar ketika netra keduanya bertemu, kurva tipis itu tertarik di sudutnya saat melihatnya duduk sendiri di batang pohon kelapa yang telah tumbang. Pemuda itu tampak mengakhiri panggilan teleponnya dan berjalan ke arah Soonyoung yang kini mulai memutar tubuhnya, kembali berusaha terlihat tidak peduli.
"Hei.." Sapaan formalitas yang biasa Soonyoung dengar saat seseorang meminta tempat singgah di sampingnya, "gue duduk sini ya.."
Soonyoung hanya mengangguk samar, tidak juga menoleh lantaran pemuda itu akan tetap duduk di sampingnya bahkan saat ia hanya diam.
"Nama lo siapa kalau boleh tahu?"
Soonyoung hanya meliriknya tanpa menjawab, melihat pemuda itu telah menghadap Soonyoung sepenuhnya menunggu jawaban atas namanya. Tapi, tidak ada jawaban karena Soonyoung tidak berniat untuk sekedar basa-basi, di kenal untuk di lupakan atau apapun itu ia tidak berniat memberi tahukan namanya.
"Oke.." pemuda itu mengangguk, paham sepenuhnya telah tak di acuhkan, "kan kalau boleh, kalau gak di jawab gak pa-pa sih.." pemuda itu nampak bermonolog, "panggil gue 'Won' aja.."
Pemuda yang memperkenalkan diri padanya itu tampak menggigit pipi dalamnya seolah berpikir keras. "Gue Wonwoo.." pemuda itu tertawa kaku, "tapi panggil Won aja ya?"
Wonwoo tampak melirik pemuda yang duduk sendiri di sampingnya, postur tubuhnya kurus, tapi tidak menyangkal bahwa pipi pemuda itu terlihat chubby, poninya terlihat berayun-ayun diterpa angin senja memperlihatkan wajah sendunya. Wonwoo awalnya tidak berniat untuk singgah dan berbasa-basi dengan orang asing, karena ia hanya ingin menikmati pasir putih di bawah kakinya di temani lembayung senja, tapi pemuda ini tampak mencuri perhatiannya, seperti pernah melihatnya di suatu tempat, jadi ia memutuskan untuk menghampirinya terlebih pemuda itu hanya duduk sendirian di pantai yang sepi.
"Lagi galau ya?" Wonwoo menebak, "ya 'kan?"
Pemuda asing itu tampak memundarkan tubuhnya karena Wonwoo yang bergerak mendekat secara tiba-tiba. "Udah mau petang juga, gak takut di gondol apa?"
Pemuda itu tampak memutar matanya. "Lo sendiri ngapain jalan-jalan di jam segini.."
Wonwoo terkekeh pelan. "Nyari angin lah, mumpung lagi liburan, jadi ya di nikmatin dong, sia-sia main jauh kesini tapi gak ngelihat senjanya 'kan? Mana cakep.."
Pemuda itu hanya meliriknya dengan malas. "Tuh 'kan!" Wonwoo tampak menatap jauh di langit, "lo bisa liat bintang kejora itu gak?"
Pemuda itu ikut mendongak, menatap cakrawala sesuai telunjuk Wonwoo mengarah. "Cantik ya?"
Wonwoo bisa melihat anggukan samar di sampingnya. "Hoshi.."
Wonwoo menoleh dengan cepat. "Apa?"
Pemuda itu balas menatapnya. "Panggil gue Hoshi.."
Soonyoung tidak berbohong akan identitas dirinya, Hoshi adalah nickname yang sering ia pakai saat sekolah menengah pertama dulu, nickname yang di ketahui teman tongkrongannya.
Wonwoo tampak mengangguk mantap. "Oke Hoshi panggil gue Won."
Soonyoung hanya tersenyum tipis. "Oke.."
Wonwoo hanya menatapnya tanpa kata, membuat dirinya meneleng penasaran. "Kenapa?"
Wonwoo hanya menggeleng samar. "Lo kayak bintang kejora tahu gak?"
Kedua alis Soonyoung terangkat. "Kok bisa?"
"Lo kalau senyum cantik.."
Soonyoung menatap Wonwoo datar, kemudian membuang pandangannya. "Lo ngaco."
"Sorry.." Wonwoo membalas cepat, "bukan maksud gue ngegombal atau gimana cuma, pas lo senyum tadi udah kek bintang kejora yang punya sinar sendiri di cakrawala yang menghitam.."
Soonyoung menoleh, tatapannya jauh lebih tajam dari sebelumnya, membuat Wonwoo mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Oke-oke lupain apa kata gue.."
"Lo lagi ada masalah?" Wonwoo menebak, tapi juga tidak mengharapkan jawaban, "lo gak perlu jawab juga kalau gak mau.." Wonwoo bermajn pasir di bawah kakinya, "kata kenalan gue sih.. tiap orang punya masalah sendiri-sendiri, tapi juga punya cara penyelesaian masing-masing.."
Wonwoo mendongak, menatap cakrawala yang benar-benar akan menghitam, menghilangkan jingga di belakangnya. "Tapi kata dia gue lebih sering menghindar atau pura-pura jadi orang lain yang bukan gue.." ia menghela napas, "tapi gue lebih gak suka ngelakuin hal-hal yang gak gue mau.."
Wonwoo menoleh dan menatap Hoshi sejenak. "Gue pikir lo lagi ada masalah, soalnya gue juga gitu.. suka menyendiri pas lagi kalut-kalutnya.."
"Sok tahu.." Soonyoung membalas dengan lirih tapi masih mampu di tangkap indra pendengaran Wonwoo, terbukti pemuda itu justru terkekeh.
"Iya iya? Gue emang suka sok tahu sih.."
"Tapi yah mumpung begini mending lo cerita aja gak sih? Walau mungkin aja gue gak bakal banyak ngebantu seenggaknya gue bisa jadi pendengar lo ngeluarin uneg-uneg, gue juga gak bisa cepu kemana-mana lagian kita lebih ke stranger 'kan?"
Soonyoung diam, tidak langsung menjawab. Ia juga sebenarnya lelah memendam semuanya sendiri, tapi menceritakannya pada orang lain juga tidak akan mengubah apapun dalam hidupnya. Tapi rasanya dadanya sudah penuh dan sesak dengan rasa sakit dan amarah yang selalu di pendantnya sendiri sejak kecil.
Soonyoung bukanlah anak yang terlahir dengan penuh kasih sayang, ia biasa di tinggalkan. Tidak ada tempatnya berbagi, tempatnya menangis ataupun tertawa. Ia sering berkelahi, sok menjadi kuat di hadapan orang banyak, hanya tidak ingin di pandang lemah. Soonyoung yang menangis tiap malam hanyalah rahasia yang tidak diketahui orang-orang. Hanya Hoshi si biang kerok di sekolah dengan kenakalannya, di skors, bahkan di keluarkan dari sekolah tidak membuat orangtuanya datang untuk bertanya alasan apa yang dilakukannya untuk semua itu, mereka hanya sibuk dengan pekerjaan mereka. Mencintai pekerjaan mereka seperti anak sendiri, mengabaikan Soonyoung yang lebih membutuhkan cinta dan kasih sayang. Tapi Soonyoung pun tidak ingin mengakuinya, ia hanya perlu berlari untuk meninggalkan rasa sakit itu jauh di belakangnya.
Dan Soonyoung memilih ikut bibi Minah yang telah mengasuhnya ke Yogyakarta, meninggalkan gemerlap Jakarta di belakangnya. Tak pernah sekalipun orangtuanya bertanya tentang alasannya, mereka tidak menolak ataupun mengiyakan, membuat tusukan baru di hati kecil Soonyoung yang rapuh. Soonyoung di bebaskan, seperti anak itik yang bebas tapi tersesat.
Ia bersyukur bibi Minah masih merawatnya dengan baik, tapi ia hanya berpikir sampai kapan ia akan terus menjadi beban orang lain. Dan kabar kecelakaan orangtuanya mungkin sebagai jawaban bahwa Soonyoung harus kembali.
"I'm feeling blue.."
Jawabnya lirih itu mampu di dengar Wonwoo, dan ia juga bisa melihat kata-kata itu juga tersampaikan dari raut wajah Hoshi yang benar-benar redup, bintang kejora tertelan pekatnya malam.
Wonwoo menatap laki-laki di sampingnya, tatapan sendu mata cantik itu yang memancarkan sedikit seberkas sinar cakrawala yang mulai menghitam. Tidak ada senyum, tiada tangis hanya redup, cahayanya hampir sirna. Wonwoo bisa merasakan sedikit sesak di dadanya, mencoba membayangkan hal apa saja yang telah di lalui Hoshi selama ini.
"Gue pikir gak ada alasan lagi buat gue hidup.." kini laki-laki di sampingnya telah mengangkat pandangannya, seolah mencoba mencari ujung cakrawala yang telah menghitam, "atau emang gak ada alasan buat gue hidup selama ini.."
Wonwoo terdiam, bibirnya membentuk garis tipis, dia bukanlah orang yang pandai dalam berkata-kata tapi mungkin ia mengenal seseorang yang bisa membantah setiap kalimat yang terdengar pilu dari bibir laki-laki di sampingnya.
Wonwoo kemudian mengangguk. "Apapun yang ada di kepala lo saat ini itu cuma rasa takut yang gak berujung.."
Wonwoo kini ikut mengalihkan pandangannya ke cakrawala yang meninggalkan gelap bersama mereka. "Pasti ada alasan kenapa Tuhan nyiptain lo dan untuk sekarang jawabannya belum ada," Wonwoo menoleh, menatap Hoshi yang kini tengah menunduk, "dan lo harus cari jawabannya sendiri sampai ketemu.."
•blue part 1 fin•
1 note
·
View note
Text
┌────soonwoo au
by nojamsty
—ᵖᵃʳᵗ ᵒᶠ ꜱᴀᴜᴅᴀᴅᴇ
Soonyoung melihat sekitar, sekolah sudah mulai sepi lantaran bel sekolah telah berdering, tetapi beberapa anak yang mengikuti ekstrakulikuler tetap tinggal, dan Soonyoung berjalan sedikit gugup ke gedung sebelah setelah mengirim pesan pada Jihoon bahwa ia akan pergi lebih dulu menemui Mr. Cat.
Gedung sebelah memiliki dua lantai, lantai pertama di gunakan untuk kelas satu dan lantai kedua dulunya digunakan untuk ruang kegiatan ekstrakurikuler, hanya saja setelah pembangunan baru, lantai kedua tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya dan hanya dijadikan gudang penyimpanan alat-alat.
Sebelumnya Soonyoung tidak yakin bahwa Mr. Cat akan setuju menemuinya seperti permintaan yang ia tulis di sticky note yang ia tinggalkan di lokernya tadi pagi, tapi secarik kertas di hari ini setelah bel istirahat kedua berdering Mr. Cat mematahkan keraguannya.
Soonyoung meremat kedua telapak tangannya yang berkeringat, sedikit gugup. Menyayangkan pilihannya untuk pergi sendiri daripada meminta Jihoon menemaninya. Ia hanya takut jika ia membawa Jihoon, Mr. Cat urung menemuinya. Sudah dari tiga tahun lalu ia mengetahui adanya Mr.Cat tapi ia tidak pernah terlalu memikirkannya tetapi kejadian yang dialami oleh Seokmin membuatnya sedikit khawatir, ia takut orang-orang di sekitarnya terkena imbas karena Mr. Cat.
Di anak tangga terakhir Soonyoung memanjangkan lehernya, melihat pintu gudang sedikit terbuka, dahinya berkerut. Mungkinkah Mr.Cat sudah lebih dulu datang?
Mencoba menghapuskan keraguannya Soonyoung mulai melangkah, sedikit lebih hati-hati karena rasa khawatir yang mengendap di hatinya. Tangannya sedikit terulur agar celah pintu semakin lebar, dan ia bisa dengan leluasa melihat ke dalam gudang. Hidungnya berkerut lantaran aroma debu yang menyapanya. Ia melangkah masuk, merasa sedikit aneh lantaran beberapa bangku dan bambu-bambu yang biasa digunakan anak Pramuka terlihat seperti baru saja di pindahkan.
Ada paper bag di atas bangku di ujung ruangan, berwarna oranye yang mencolok mata, Soonyoung kembali melangkah lebih dalam karena rasa penasaran. Paper bag terlihat baru, dan terasa janggal di dalam gudang yang berdebu, karena rasa penasaran ia melihat isinya, ada boneka hamster di dalamnya dan sticky note yang terlipat.
Soonyoung mendesah pelan.
"Ngapain lo disini?"
Pertanyaan itu mengalun dengan ringan tanpa indikasi yang membuat seseorang akan berteriak kencang, tapi Soonyoung berbeda—ia berteriak lantaran terkejut. Ia menoleh dengan cepat, memegang dada sebelah kirinya dimana jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya.
Wonwoo berdiri di belakangnya—sama kagetnya, akan tetapi Wonwoo terkejut lantaran teriakan Soonyoung yang memekakkan telinga.
"Anjir! Ngapain teriak sih? Bikin kaget!" Wonwoo berseru setelahnya.
Soonyoung membuang napasnya sedikit lebih kencang, mencoba meredakan rasa kagetnya. "Lo!" Soonyoung menarik napas perlahan, "yang ngagetin!"
Wonwoo melihat paper bag di tangan Soonyoung. "Itu punya lo?"
Soonyoung menggeleng. "Bukan, tapi buat gue.."
"Berarti punya lo dong?"
Soonyoung menggeleng tegas. "Di bilangin bukan!" Soonyoung mengerutkan dahinya, "lo ngapain disini?"
Wonwoo menggendikan bahunya ke arah bambu-bambu di sudut ruangan. "Biasa, kena hukum Pak Harto.."
Soonyoung memutar bola matanya mendengar jawaban Wonwoo, yang seharusnya tidak mengherankan lagi.
"Btw.." Soonyoung menggigit bibirnya ragu, "lo lihat yang naro paper bag ini disini gak?"
Dahi Wonwoo berkerut sebelum ia menggendikan bahunya. "Gak, itu sebelum gue kesini udah ada.."
"Lo kesini jam berapa?"
"Gak lama pas bel bunyi.."
Wonwoo menatap Soonyoung. "Oiya.. sorry gue tadi sempet lihat isi paper bagnya.." ia sedikit curiga, "notes disitu kenapa aneh banget?"
Soonyoung meremat paper bag di tangannya sedikit lebih kencang. "Kenapa lo baca?!"
Wonwoo mengangkat kedua alisnya heran karena intonasi Soonyoung yang sedikit naik. "Ya wajar dong? Masa ada paper bag bagus di gudang gue gak coba lihat isinya? Siapa coba orang iseng yang naro itu paper bag di gudang? Kek kurang kerjaan?"
Soonyoung mendengus kesal. Yang dikatakan Wonwoo benar, tapi Soonyoung khawatir jika Wonwoo akan memberi tahu Seungcheol tentang hal ini. Mungkin Seungcheol akan memarahinya nanti.
"Kenapa lo diem?"
Wonwoo menatap Soonyoung dengan heran, ketika ia bisa melihat benang kusut imajiner di atas kepala Soonyoung yang berputar.
"Lo.." Soonyoung menatap Wonwoo dengan ragu, "jangan kasih tahu Abang gue tentang ini.."
"Kenapa?"
Kenapa.. karena Soonyoung merasa ia harus mencari tahu sendiri siapa Mr. Cat tanpa bantuan Seungcheol tapi kali ini Wonwoo justru memergokinya disini, di gudang yang bukan hal lumrah untuk seseorang bertemu.
"Ya pokoknya jangan.."
Wonwoo melipat tangannya, sebelah alisnya terangkat, memandang Soonyoung penuh pertimbangan. "Kasih tahu gue alasannya dulu, baru gue mau tutup mulut.."
Wajah Soonyoung terlipat, menunjukkan betapa ia terganggu dengan sikap Wonwoo padanya. "Kenapa gue harus ngasih tahu alasannya segala sih.. emang lo siapa?"
Mendengar pertanyaan Soonyoung membuat hati Wonwoo tercubit. Benar, memang siapa dia, dirinya tidak punya hak untuk mengetahui urusan Soonyoung.
"Oke.." Wonwoo akhirnya berucap setelah hening cukup lama, "Sekarang lo mending keluar deh, atau lo mau bantu gue beresin gudang?"
Soonyoung menggeleng cepat. "Gak sudi!"
Soonyoung berjalan cepat untuk bergegas keluar gudang, mengabaikan raut wajah Wonwoo yang tampak terganggu, tapi Soonyoung akan mencoba mengabaikannya, karena ia tidak ingin melibatkan banyak orang lain dalam masalahnya sendiri.
°
Saat Soonyoung telah turun dari lantai dua, ia kembali membuka paper bag dalam genggamannya, ia mengeluarkan lagi boneka hamster sekepalan tangannya itu. Boneka ini miliknya, ia masih ingat saat pertama kali menyadari telah kehilangan abu—nama bonekanya.
Sekarang... Apa yang akan ia lakukan setelah ini?
°°
1 note
·
View note
Text
┌────soonwoo au
by nojamsty
──── Our Memories
05 Juli 2026
Saat Soonyoung keluar Wonwoo telah menunggunya, duduk berdiri di wastafel dengan tangan bersedekap. Ia menghela napas pelan, mengeratkan pelukannya pada hoodie dalam dekapannya. "Sorry.." ucapnya pelan.
Menunjukkan sesal karena membuat Wonwoo menunggu lama, maaf karena telah mengambil salah satu kenangan yang berharga dan juga telah mengotori hoodie milik adik Wonwoo.
"Hoodienya gue bawa dulu buat di cuci ya nu? Nanti gue balikin pas udah bersih.."
Wonwoo hanya menatapnya sebelum menghela napas dan berdiri tegak. "Lo gak pa-pa? Tadi lo ketumpahan hot coffee 'kan?"
Soonyoung hanya mengangguk. "Gak sampai kulit kok, lagian gak merembes ke kaos cuma ya hoodienya kotor karena kopinya.."
Wonwoo hanya mengangguk dan menarik salah satu tangan Soonyoung untuk di genggamnya. "Udah keluar yuk, waktu kita udah gak lama.."
Soonyoung hanya menatap pada tangannya yang di tarik Wonwoo dalam genggaman tangan hangat itu, tampak melingkupi jemarinya yang terlihat kecil dalam genggaman Wonwoo.
"Kita mau kemana Nu?"
...
Teriknya matahari tak menghalangi langkah Wonwoo membawa Soonyoung berjalan ke arah taman kota yang terlihat sepi di siang hari yang teriknya menyengat kulit. Hatinya sedari tadi bergemuruh menahan gejolak yang menggerogoti perasaannya, semuanya begerumul di dadanya seolah ingin meluap tak terkendali tanpa alasan.
"Soonyoung.."
Soonyoung hampir menabrak punggung Wonwoo yang berhenti di depannya tanpa aba-aba, ia mendongak menatap Wonwoo yang tak kunjung berbalik untuk melihatnya. Angin menyapu helaian anak rambutnya menutupi sedikit pandangnya, tapi tak menghalangi untuk melihat Wonwoo yang meragu di depannya.
"Wonwoo kenapa?"
"Are all your words true?"
"Yang mana?" Soonyoung sedikit menarik tangan Wonwoo yang menggenggam jemarinya, berusaha membuat Wonwoo berbalik untuk melihatnya.
"Everything?"
"Please turn around and look at me.." kini Wonwoo berbalik ketika Soonyoung menarik tangannya kembali, memandang netra yang sama bimbang sepertinya, "say more specifically, which one?"
Gemerisik daun yang tersapu angin sempat menjadi latar keduanya yang hening, karena keduanya sama diamnya. Soonyoung menanti pertanyaan dari belah bibir Wonwoo yang masih rapat, dan Wonwoo masih berusaha memadamkan gejolak hatinya, mencoba menekannya jauh sampai ke dasar.
"When he kisses you.." kalimat itu terlontar jua dengan lirih, dan keduanya saling menatap dengan netra yang sama-sama mencari.
Mencari apa maksud dari semua arti kata yang terucap dengan netra yang bimbang.
"Yes, he did it to me.."
Karena rasa cemburu itu ada, yang rasanya panas seolah membakar jiwa dan raga, akal dan pikiran pun tak bisa melawannya, Wonwoo menarik tengkuk Soonyoung ke arahnya, mencecap rasa yang pernah di curi lebih dulu darinya, mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya, karena egois itu terselip jauh di dasar hatinya yang terpendam, kini seolah merangkak keluar dengan ganasnya. Karena Wonwoo telah gagal memadamkan gejolak dalam hatinya yang kini telah membakar sampai habis dirinya.
Ia memejamkan mata, menyelipkan ampunan dan doa agar ia bisa melangkah di depan adiknya, karena Wonwoo juga ingin merasakan apa yang mungkin tak pernah di miliknya dahulu, sebuah hasrat.
Tak berlangsung lama saat keduanya kembali memberi jarak, memberi ruang untuk saling menatap dan bernapas, keduanya sama-sama berharap bisa meredakan degup jantung yang menggila karena euforia yang meledak dalam dada.
Wonwoo menyapu bibir bawah Soonyoung yang lebih berisi perlahan, merasakan lembutnya di bawah usapan jarinya. "Have I never told you this?" ucap Wonwoo yang masih terpaku pada belah bibir Soonyoung.
"What?" Soonyoung membalas dengan serak, kembali mengambil atensi Wonwoo padanya, dan keduanya kini kembali saling menatap, kembali mencari kebenaran dari pancaran netra keduanya yang terlihat gundah.
"I love you and I'm jealous.."
Soonyoung mendengar setiap kata itu dengan jelas, meresap perlahan dalam perasaannya, netra Wonwoo kini terpejam seolah tengah mencoba menahan dirinya terhadap sesuatu yang tak pernah di mengerti Soonyoung, jadi ia meraih pundak Wonwoo untuk masuk kedalam dekapannya, ia tidak akan pernah menyangka hal ini terjadi dalam hidupnya, tak pernah berharap bisa di cintai seseorang.
"You've never said it directly.." Soonyoung mengusap pundak Wonwoo perlahan, "but what makes you jealous?"
Wonwoo menikmati setiap usapan pada punggungnya, tak teringat berapa lama ia telah melupakan bagaimana rasa hangat saat dalam pelukan seseorang yang di cintainya.
"My brother, I'm jealous of him who first met you, knew you and I always walked behind him.." tangan Wonwoo terangkat, balas mendekap Soonyoung dengan erat, "I always lose to him.."
"But now I'm with you.."
Saat Soonyoung ingin memberi jarak, Wonwoo enggan melepaskannya, ia justru semakin di dekap erat. "Wonwoo.."
Wonwoo menggeleng, semakin menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Soonyoung. "But you don't like me, you hate me, so allow me this once to hug you a little longer.."
"Wonwoo.."
"Please, only until the time you set is over.."
Soonyoung menghela napas pelan, kembali mengusap punggung Wonwoo perlahan, sampai punggung itu kembali rileks.
"Soonyoung maaf.." Wonwoo berucap pelan, "sorry to disappoint you.."
Rasa kecewa itu ada, jauh sebelum ia tahu apa yang terjadi sebenarnya, terpupuk semakin subur saat mengetahui bahwa Wonwoo bukanlah orang yang ia temui di masalalu, tapi ia juga sadar bukan hanya dirinya yang mencari selama ini, karena kata maaf juga senantiasa terucap dari bibir Wonwoo yang bergetar. "You may hate me but please forgive me and my brother.."
"I don't hate you, and I should thank you guys.." Soonyoung menepuk pundak Wonwoo, "Wonwoo, karena kalian aku bertahan sampai sekarang, you wake me up, you teach me.."
Pelukan itu melonggar karena Wonwoo kini kembali menatap mata Soonyoung dan netra itu penuh tanda tanya, membuat Soonyoung tersenyum melihatnya. "Back then, I had bad memories and I thought, I really hate my life.."
Soonyoung bisa merasakan remasan pada kedua lengannya. "But because of you and your brother at least my mind changed a little bit for the better, thank you.."
Soonyoung melepaskan salah satu tangan Wonwoo dari lengannya dan menggenggamnya erat. "And can you teach me to love you?"
Soonyoung mungkin sadar sepenuhnya bahwa ia juga mulai merasakan debaran yang menyelinap masuk di antara kecewanya yang menumpuk, tenggelam jauh ke dasar, tapi Wonwoo begitu piawai mengambil alih hatinya, karena ia berhasil menepatkan dirinya di hati anaknya—Heeyul. Dan Soonyoung sadar, ia tidak lagi mampu menampik perasaannya. "Maybe I can't erase past memories.." Soonyoung memberi senyum, "but can you make a good memory for me? Our memories?"
Unexpected, tapi hati Wonwoo membuncah ketika mendengar setiap kalimat yang terlontar dengan lugas dari belah bibir Soonyoung berserta senyum manis yang menyertainya. "Yeah.."
Senyum Wonwoo merekah jua, setelah mencoba menahan gejolak yang bergemuruh karena antisipasi penolakan yang takut ia dengar dari Soonyoung. "We will make new memories in the future, me, you and Heeyul.."
Rasa haru itu menyeruak masuk dengan bebas, membuat mata Soonyoung berembun, sesuatu yang ia inginkan sejak dahulu, seorang pasangan yang bisa menerimanya dan kehadiran Heeyul dan Soonyoung tidak bisa mengungkapkan perasaannya yang kini meletup-letup di dalam dadanya ia hanya bisa menarik Wonwoo kembali dalam pelukannya dan memeluknya erat, menyelipkan ucapan terimakasih yang tak berujung di telinga Wonwoo.
Mungkin jalan hidupnya sangat terjal tapi ia bersyukur walau dengan perlahan ia bisa melewatinya dan kini ia hanya berharap jalan ke depannya bisa ia lalui dengan mudah. Dan semua kenangan yang dulu terasa menyakitkan baginya bisa berganti dengan kenangan yang indah kemudian hari, bersama Wonwoo.
Setidaknya Soonyoung harus mencobanya, terlebih lagi kini Wonwoo mencintainya.
.
0 notes
Text
┌────soonwoo au
by nojamsty
──── B L U E 2
June 16th 2013
"Jadi lo ngerasa.." suara Wonwoo terdengar sedikit serak khas orang bangun tidur, tapi tidak membuat Soonyoung terganggu, ia justru merasa lebih tenang.
"I'm feeling blue.." Soonyoung menyahut lirih, ia menggigit bibirnya perlahan, "gue bahkan gak yakin sama masa depan gue, takut mimpi-mimpi gue udah telat.."
Terdengar suara gemersak di ujung saluran telepon untuk sesaat. "Jangankan lo, gue aja gak yakin sama masa depan gue.."
Soonyoung diam, menggigit bibirnya lebih keras. "Lo tahu maksudnya gak?"
Soonyoung menggeleng tanpa sadar.
"Enggak ya?" Seolah bisa melihat Soonyoung menggeleng Wonwoo terdengar menahan senyumnya, "maksud gue itu, diantara kita gak ada yang tahu masa depan, jadi lo gak boleh ngomong gitu.."
"Hoshi.." Wonwoo memanggil dan Soonyoung hanya berdeham sebagai sahutan, "dari bahasa Jepang ya? Bintang.."
Soonyoung diam, masih menunggu apa yang akan di katakan Wonwoo. "Tapi itu cuma nickname doang 'kan? Bukan nama asli lo?"
Jari-jari tangan Soonyoung yang sedari tadi mengetuk meja kini beralih pada giginya, ia menggigitnya dengan cemas tanpa di sadarinya.
"Gak usah tegang.."
Lagi Wonwoo berkata seolah bisa melihat Soonyoung. "Kita emang stranger, gak pa-pa kalau lo emang gak mau nyebutin nama asli lo."
"Sorry.." Akhirnya Soonyoung hanya bisa menyahut dengan lirih, "gue gak bermaksud gitu.."
Ada tawa kecil di seberang, terdengar renyah di tengah malam. "Gak pa-pa kalau gue jadi lo, mungkin aja gue malah pergi kalau ketemu stranger yang tiba-tiba sksd, masih mending lo gak anggep won gila.."
"Won, sorry.."
Jeda sejenak, tak terdengar lagi tawa hanya hening yang menyapa indra pendegarannya untuk sesaat sampai helaan napas Wonwoo terdengar. "Di bilangin gak apa-apa.."
"Hoshi cocok kok buat lo.."
Soonyoung cemberut. "Ngasal.."
Wonwoo kembali tertawa. "Lo tuh udah kek bintang fajar, Venus you know right?" jeda sejenak
Soonyoung menarik senyum tipis di bibirnya. "Tapi kemarin lo bilang bintang kejora bukan bintang fajar," Soonyoung membenahinya, "terus kenapa baru sadar kalau Hoshi itu artinya bintang sekarang bukan pas kemarin padahal lo tahu itu bukan nama asli gue?"
Yang Soonyoung tidak tahu adalah Wonwoo ikut menggigit bibirnya di seberang sana, mencoba memutar otaknya yang terasa seperti gigi roda yang berkarat. "Ya gimana ya, gue pikir karena masih anggep kita stranger, tapi karena sekarang kita teleponan jadi gue pikir kita temen?"
Dan Soonyoung terkekeh pelan. "Iya-iya deh terserah, tapi lo gak penasaran nama gue?"
Terdengar helaan napas di seberang sana. "Kalau lo belum mau kasih tahu gak pa-pa kok, gue cuma mau buat perasaan lo lebih baik aja.."
"Won.." Soonyoung memanggil pelan, "sebenernya lo gak perlu ngelakuin ini buat gue, kayak kata lo kita stranger dan lo bisa ngabain gue gitu aja.."
"Hoshi.." Wonwoo menjeda, jemarinya memilin selimut di bawah tangannya, "gue cuma mau get rid of your sadness.."
Soonyoung mendesah pelan, bibirnya ia gigit sebelum ia menjawab dengan lirih dan ragu. "Gue gak perlu rasa belas kasih lo, gue udah terbiasa sendiri, gue gak mau kelihatan lemah.."
Entah kenapa Wonwoo merasakan sesak di dadanya mendengar setiap kata lirih yang terlontar dari mulut Hoshi di sambungan teleponnya, ia tidak bisa membayangkan bagaimana kuatnya Hoshi selama ini untuk tetap berdiri di atas kakinya dalam kesendirian, tanpa penopang tanpa seseorang yang bisa di jadikannya sandaran.
"Sekali aja kelihatan lemah itu gak pa-pa.." Wonwoo menyahut, "lo gak harus pura-pura kuat, lo juga bisa cari seseorang yang bisa lo percaya buat berbagi rasa takut dan sedih lo, gak semua orang mampu nahannya sendirian.."
Soonyoung memejamkan matanya yang panas sejenak, meresapi setiap kata yang terdengar di telinganya. "Tapi Won.." Soonyoung menghela napasnya, "gue gak punya siapa-siapa buat gue berbagi, gue gak berani bagi kesedihan gue ke orang lain.."
Hening sejenak, Wonwoo tampak sengaja memberi jeda, seolah tahu bahwa hati Hoshi saat ini sedang bergemuruh karena rasa yang tengah terombang-ambing.
"Ada gue, lo bisa berbagi sama gue.." itu terdengar lugas, dan seolah-olah Soonyoung bisa memegang setiap kata-katanya, "gue bakal berusaha ada buat lo, selalu.."
Soonyoung ingin percaya tapi ia bahkan takut pada hatinya yang rapuh. "Won.."
"Next time kita harus ketemu.." Wonwoo memotong ucapan Hoshi, "gue pengen banget nyentil kepala lo.."
"Kok gitu.."
"Gue gemes banget soalnya.."
"Tapi 'kan kita besok bisa ketemu, lo masih di Jogja 'kan?"
Wonwoo sadar satu fakta yang ia sembunyikan, karena itu ia terdiam cukup lama, seolah kehilangan kata-kata miliknya.
"Won.."
"Hoshi.. gue besok balik.." Soonyoung mengehela napasnya, dan Wonwoo merasa ada nada kesal disana, "sorry.. gue harus jemput kenalan gue.."
"Won.." Soonyoung memanggil pelan.
"Ya?" Wonwoo membalas dengan ragu, "kenapa?"
"Gue Minggu depan ke Jakarta, balik ke rumah almarhum orang tua gue.." Soonyoung menggigit bibirnya, "kayaknya gak bakal balik ke Jogja lagi.."
"Lo bakal stay di Jakarta?"
Soonyoung ragu tapi tetap menjawab, seolah tengah memantapkan hatinya dengan kata-katanya. "Iya, doain ya.."
Wonwoo menarik kurvanya tanpa sadar. "Mungkin kita malah bisa sering ketemu, gue anak Jakarta.."
Soonyoung diam. "Serius?"
"Dua rius." Wonwoo menjawab dengan mantap, "apa perlu gue jemput?"
Ada perasaan lega yang meresap di hati Soonyoung. "Won thank you.."
"For what?"
"You took me of the blue.."
•blue part 2 fin•
0 notes
Text
┌────soonwoo au
by nojamsty
────Drunken Truth
April 17th 2026
Hari-hari berjalan seperti biasa, dan malam datang dan berputar sangat lama. Di tengah keheningan malam yang pekat, di antara orang-orang yang pergi ke tempat Wonwoo berada, ia hanya duduk di ujung bar dengan segelas koktail, batang nikotin terselip di antara jarinya, asap yang mengepul di wajahnya membuktikan bahwa dunianya masih berjalan dan akan berputar secara membosankan seperti biasanya.
Tapi nyatanya seseorang yang menjadi pusat kericuhan malam itu menghantar Wonwoo pada dunianya yang baru, dunia yang mungkin tidak lagi akan membosankan. Karena ketika mata mereka bertemu dan senyum mabuk dari pemuda manis itu mampu membuat sesuatu di dada Wonwoo bergemuruh—sesuatu yang bahkan tidak pernah di bayangkan Wonwoo selama hidupnya akan terjadi.
"You okay?"
Suara dalam Wonwoo memecahkan keheningan diantara mereka. Tidak tahu setan mana yang mendorong Wonwoo untuk menopang tubuh sempoyongan pemuda itu di pundaknya.
"I'm okay, thank you.."
Wonwoo menuntun pemuda itu untuk duduk di tempatnya semula, dengan wajah merah dan mata sayunya, pemuda itu masih menyunggingkan senyumnya yang menurut Wonwoo manis dan di tengah mabuknya pemuda itu, Wonwoo masih bisa melihat binar yang cantik di matanya.
"What's going on?"
Pemuda itu terkekeh pelan, tulang pipinya yang gembil terlihat lucu saat terangkat. "Laki-laki brengsek, kamu lihat sendiri 'kan?"
Wonwoo diam, saat pemuda itu meletakan tangannya di meja konter dan merebahkan kepalanya. "I'm here for a drink, the guy knew me from the web, we finally met, I thought he was serious. Shit, he just wants my body.." cegukan menjedanya sejenak, "namaku Soonyoung.." lanjut pemuda itu yang kini mengarahkan telunjuknya pada pipi gembilnya, "apa aku terlihat gampangan?"
"Berapa banyak kamu minum?"
"Hm?" Senyum itu tidak luntur, khas orang mabuk, "semua yang dia beri.."
Wonwoo berpikir bahwa ia tahu pemuda manis bernama Soonyoung ini mabuk, tidak sadar apa yang di katakannya, tapi yang mampu membuat ia tercenung adalah bagaimana Soonyoung masih mempertahankan dirinya agar tidak di sentuh oleh laki-laki yang menerima bogem mentahnya. Yang Wonwoo dengar saat dunia sunyinya terusik adalah bagaimana Soonyoung berteriak dan meronta meminta untuk di lepaskan, beberapa kata umpatan tak luput dari pendengaran Wonwoo.
Entah angin apa yang membuat dirinya melangkah cepat tanpa berpikir dan langsung melepaskan bogemnya pada pemuda yang lebih tinggi yang terlihat ingin menyentuh Soonyoung. Perbuatannya membuat suasana makin ricuh sesaat karena ulahnya sebelum keamanan datang. Tapi jujur, hal itu tidak membuat Wonwoo menyesal dan kini justru menemani Soonyoung yang setengah mabuk.
"Kamu harus pulang.." Wonwoo berkata sembari mengusap poni Soonyoung yang menutupi matanya, "dimana rumahmu?"
Mata kecil itu berkedip-kedip. "Entahlah.." ada tawa kecil disana, "mungkin di tempat dimana tidak ada omong kosong.."
Wonwoo diam saat melihat mata kecil itu perlahan menutup. "Tidak ingin pulang?"
Anggukan samar bisa di lihat Wonwoo, ia berpikir sejenak, biasanya dia tidak akan peduli sekali pun ada gempa, ia akan tetap diam di tempatnya, tidak akan pernah terusik, tapi sekarang ini, entah kenapa ia justru menunggu seseorang yang tidak di kenalnya dan orang itu tengah mabuk. Ia melarikan matanya pada segelas koktail miliknya, hari ini terlalu banyak perbedaan dari hari sebelumnya dan Wonwoo bingung. Dia bukan orang yang implusif apalagi hanya untuk meninju seseorang karena seseorang yang tidak di kenalnya.
"Dance with me?"
Kepala Wonwoo menoleh, menatap Soonyoung yang kini membuka matanya. "One turn and we're done."
Wonwoo pikir dia sudah lama tidak berdansa, untuk alasan lain ia tidak menyukai skinship dengan orang lain. "I haven't danced in a long time."
"Me too.." Soonyoung menjawab cepat dengan kekehan, "ini bukan ajang pencarian bakat, kamu tidak akan di nilai, bahkan aku tidak menjamin kakimu tidak terinjak olehku.."
Seulas senyum Wonwoo terbentuk, dia pikir Soonyoung terlihat manis dengan penuturannya, ia bahkan tidak merasa canggung seperti biasanya.
"Okay."
Tangan Soonyoung terulur dengan telapak tangan di bawah, menandakan bahwa pemuda itu meminta Wonwoo untuk mengajaknya berdansa, membuat Wonwoo terkekeh pelan dan segera mengulurkan tangannya dengan telapak tangan di atas. Senyum merekah di bibir Soonyoung, merasa senang kode yang di berikannya di sambut dengan baik.
Satu langkah, tubuh Soonyoung hampir ambruk karena mabuk, seharusnya Wonwoo menghela napas karena kesal—itu yang biasanya yang ia lakukan jika ada yang merepotkannya, tapi ia hanya menyambut tawa Soonyoung dengan kekehannya dan kini tangan kanannya terulur memeluk pinggang Soonyoung.
"You okay?"
Soonyoung mengangguk. "I'm okay.." Soonyoung menghela napasnya. "Please, dance with me for just a little bit.."
Wonwoo terkekeh pelan saat mendengar rengekan dari permintaan Soonyoung padanya. "Okay, calm down I'm still with you.."
Butuh waktu sampai mereka sampai di lantai dansa, Soonyoung yang mabuk sepenuhnya menumpukan dirinya pada Wonwoo. "We're not dancing, you just hugged me."
Soonyoung terkekeh, kepalanya tersembunyi di leher Wonwoo. "No," ada rengekan di suaranya, "We dance.."
Wonwoo hanya menggelengkan kepalanya, ia masih meletakan kedua tangannya di pinggang Soonyoung, menjaga pemuda itu agar tidak limbung. "Baik.." Wonwoo berucap pelan, ia sedikit menunduk, "we dance."
Saat ia menunduk Wonwoo bisa merasakan aroma shampoo menyeruak masuk ke indra penciumannya, aroma stroberi yang manis tapi menyegarkan dan Wonwoo kini merasa mabuk.
Saat langkah kaki keduanya mengikuti irama musik, keduanya hanya terdiam menikmati jazz yang mengalun menenangkan. Tidak ada percakapan, tapi tidak terasa canggung, melainkan hanya rasa nyaman. Nyaman yang membuatnya tidak ingin pulang.
Tapi tidak lama kemudian, ada guncangan samar di pundak Soonyoung. "You okay?"
Wonwoo mendorong pundak Soonyoung menjauh, ia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk melihat kondisi Soonyoung. Wajahnya merah dan sedikit pucat, Soonyoung menggeleng. "Aku butuh toilet.."
"Oke.."
—
Soonyoung muntah, terlalu banyak alkohol yang diminumnya, dan Wonwoo berdiri di belakangnya, mengurut leher belakang Soonyoung perlahan. Rasanya seperti perut Soonyoung di aduk-aduk, mulutnya terasa seperti sampah. Tidak hal lebih menyebalkan dari sebuah kencan buta dari sebuah web. Rasanya seperti muntahan, sangat menjijikan.
Soonyoung menghembuskan nafasnya perlahan, menatap kran air yang mengalir. Ia berpikir kapan hidupnya akan berhenti menjadi sampah, tidak peduli berapa lama ia bertahan dan berusaha, semuanya akan berakhir sia-sia. Jika bukan karena buah hatinya yang menantinya di depan pintu rumah, Soonyoung akan berpikir ia lebih baik mati bersama bangkai-bangkai paus di lautan.
Disaat Soonyoung sibuk dengan lamunannya, tangan Wonwoo refleks mengusap rambut Soonyoung perlahan, kemudian merapikan helaian poni yang mencuat ke segala arah. Dan saat itu Soonyoung tersadar, lalu menoleh menemukan Wonwoo yang fokus pada helaian rambutnya ia menarik senyum sebagai ucapan terimakasih yang tak terucap.
Untuk sesaat Wonwoo tersadar, saat kedua mata mereka bertemu, sadar sesadar-sadarnya. Bahwa ada yang salah dengan detak jantungnya.
"Can I ask for something from you?"
Saat Soonyoung berucap, saat itu Wonwoo tahu bahwa ia akan memberikan segalanya untuk Soonyoung. "What is that?"
"Please hug me."
Dan Wonwoo merangkulnya, memeluknya lebih erat ke dalam dadanya. Bahkan jika Soonyoung memintanya untuk tinggal ia akan melakukannya. Karena Wonwoo tahu ada yang salah dengan jantungnya, ada yang salah dengan dirinya dan Wonwoo sedang tidak bisa berpikir selain memeluk Soonyoung saat ini.
Tapi yang Wonwoo tahu ia ingin membuat Soonyoung merasa lebih baik, mungkin dengan sebuah pelukan, dan itu darinya. Sungguh Wonwoo tidak keberatan untuk melakukannya, bahkan saat mereka di dalam toilet bar. Wonwoo tidak peduli, atau Wonwoo sekarang sedang mabuk. Wonwoo tidak ingin memikirkannya selain memeluk Soonyoung ke dadanya. Jika ini karena alkohol yang membuatnya mabuk, mungkin ia akan merasa lebih baik setelah meminum aspirin besok pagi. Tapi jika tidak, Wonwoo tidak tahu lagi. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya selama tiga puluh tahun.
Dan semuanya terjadi malam ini, di mulai dari keinginannya datang ke bar, minum koktail di pojok ruangan, meninju seseorang dan kini tengah memeluk Soonyoung—seseorang yang baru saja di kenalnya. Semuanya keluar dari daftar rencananya. Tidak seperti dirinya, tipe orang yang melakukan segalanya secara runtut dan teratur, semuanya telah di rencanakan baik-baik. Tapi untuk kali ini ia sadar, tidak semua hal akan berjalan sesuai rencananya.
Seperti memapah Soonyoung yang mabuk, membawanya masuk ke dalam mobilnya. Ia bahkan tidak berpikir lagi saat mengendarai mobilnya ke penthouse miliknya. Tanpa sepengetahuan Soonyoung, yang kini tertidur dengan nyaman di kursi penumpang. Di sepanjang jalan menuju penthouse miliknya, Wonwoo beberapa kali melirik Soonyoung yang tengah tertidur, wajah manis itu terlihat menyeritkan dahinya saat tertidur, dengan bibir yang sedikit cemberut. Dan Wonwoo berpikir, kenapa ia bertindak sejauh ini bahkan untuk orang yang baru saja ditemuinya di sebuah bar, tidak tahu latar belakang, pekerjaan dan apapun selain nama orang itu. Tapi dengan mudah Wonwoo membawa Soonyoung ke daerah teritorial miliknya.
Saat Wonwoo sampai di depan penthouse miliknya dengan Soonyoung di gendongannya seperti koala, dan jam hampir menunjukan empat dini hari. Membuat Wonwoo sadar bahwa mereka telah menghabiskan waktu cukup lama di bar. Padahal Wonwoo yakin mereka hanya duduk diam dan berdansa tanpa mengetahui status satu sama lain kecuali sebuah nama.
Wonwoo menatap Soonyoung yang kini meringkuk dengan nyaman di atas ranjangnya seperti janin, ia menghela napasnya sejenak sebelum beranjak dan berencana mengambil handuk basah untuk membasuh tubuh Soonyoung. Mungkin sedikit tidak sopan lantaran mereka baru saja mengenal, tapi keduanya lelaki, seharusnya menjadi hal lumrah bukan, lagipula tubuh Soonyoung beraroma seperti alkohol dan muntahan, dan ada sedikit bau asap rokok lantaran pemuda manis itu duduk di dekatnya.
Malam sunyi yang hening itu menjadi agak canggung bagi Wonwoo saat ia berusaha mengelap tubuh Soonyoung yang nampak lembut bawah sapuan handuk basah miliknya. Warna kulitnya agak kemerahan, mungkin efek dari alkohol yang di minumnya, ada sedikit gelayar aneh merayap di dadanya saat jari tangannya tidak sengaja menyentuh permukaan kulit Soonyoung yang benar terasa halus di bawah sentuhannya. Ada degup tidak terkontrol pada detak jantungnya, hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia meneguk ludahnya, bergerak cepat menyelesaikan membasuh tubuh Soonyoung. Memakaikan pakaiannya yang ia pilih secara acak, sebuah kemeja putih yang nampak kebesaran di tubuh mungil Soonyoung. Tapi ini terlihat lebih baik daripada tubuh itu hanya di tutupi selimut tebal miliknya. Wonwoo menghembuskan nafasnya perlahan, setelah mengancingkan kancing terakhir, dadanya masih bergemuruh, ia segera menarik selimut untuk Soonyoung, membungkusnya agar tetap hangat.
Tidak semuanya yang ia rencanakan berjalan dengan akurat, dini hari saja Wonwoo masih berjibaku dengan degup jantungnya yang sedang tidak ingin bersahabat dengannya. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum beranjak ke dapur, berinisiatif membuat kopi untuk membuatnya terjaga. Dengan mug di tangannya, Wonwoo berpikir jauh tentang hari ini, di umurnya yang sekarang—dimana dirinya masih bertahan dengan kesendiriannya, melihat Soonyoung terbaring di ranjangnya, membuat Wonwoo berpikir, bagaimana rasanya jika hari-harinya di isi seseorang yang menemaninya, saat ia akan tertidur atau saat ia akan terbangun, sebuah pemikiran yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya selama hidup.
Ia menumpukan kepalanya di atas kepalan tangannya, ia memejamkan matanya. Sebelum kantuk menyerang sepenuhnya, ia meletakan kepalanya di lipatan tangannya, dan Wonwoo tertidur di posisi tidak nyaman, tapi siapa peduli—kepalanya penuh dengan berbagai macam pemikiran.
—
Di bawah selimut yang hangat, mata Soonyoung mengerjap pelan di tengah sisa kesadarannya, Soonyoung mendambakan pelukan hangat yang sempat ia rasakan tadi, tapi kini hanya tersisa dingin yang menggerayangi punggungnya yang rapuh di kamar asing.
Mabuk kali ini sedikitnya membuat Soonyoung merasa di lindungi walau hanya semalam di waktu yang singkat.
•drunken truth fin•
0 notes
Text
┌────soonwoo au
by nojamsty
────First Kiss
June 16th 2010
Matahari pagi cukup terik saat Soonyoung melangkah tertatih di trotoar jalan, bibirnya sobek, pelipisnya terluka dan ia merasakan nyeri di mata kirinya, mungkin akan menjadi lebam, ia berdecak pelan tapi mengerang beberapa detik kemudian setelah melakukannya karena luka di bibirnya.
Tawuran kali ini sekolahnya menang tapi belum juga sempat merayakannya, mobil patroli membunyikan sirine, semua teman-temannya yang sibuk bersorak kegirangan segera melarikan diri—termasuk dirinya. Soonyoung sudah melepaskan seragam putihnya menjadi kaos oblong berwana hitam, ia juga sempat mengambil hoodie berwarna merah menyala secara asal pada motor yang tepakir saat berlari, setidaknya cukup untuk menyembunyikan luka di wajahnya.
Ia memajukan kupluk hoodie ya dan memilih duduk di salah satu bangku taman yang kosong, agaknya tempat ini cukup jauh dari lokasi tawuran, setidaknya kemungkinan kecil untuk di tangkap kembali itu kecil. Tapi rintik hujan yang menyentuh punggung tangannya membuatnya terpejam dengan rasa kesal, tubuhnya baru saja hendak istirahat sejenak, tetapi seolah langit tidak mengijinkannya. Menang tapi terasa sial.
"Gue sempet bingung kemana hoodie gue pergi.." suara basah khas remaja baru baliq membuat Soonyoung menoleh, "ternyata disini.."
Pemuda itu sepertinya seumuran dengannya mengingat seragam putih-biru yang dipakainya, dan kacamata tebal yang bertengger di hidung bangir itu sedikit mengganggu matanya. "Oh.." Soonyoung berucap, "punya lo?"
Remaja dengan kacamata itu menyerit. "Lo pikir gue kesini buat apa kalo bukan karena itu?"
Soonyoung mengeratkan hoodie di tubuhnya dengan melipat tangan di dadanya. "Terus kenapa? Udah gue pake berarti ini punya gue."
Remaja dengan seragam lengkap di tubuhnya berdecak pelan. "Gimana bisa gitu? Bagian bawah pojok hoodie yang lo pake jelas-jelas ada inisial nama gue."
Soonyoung melirik inisial itu, 'won' tertulis disana tapi ia tidak mempedulikannya dan memilih memutar badannya, memunggungi remaja itu. "Gak."
"Hei!" Remaja itu tampak kesal, "gue harus balik ke sekolah sekarang atau gue bisa kena alpha, hoodie gue lepas gak?"
"Gak!" Soonyoung membalas cepat tanpa melihat remaja di belakangnya, "pergi tinggal pergi, gak usah pake hoodie juga 'kan bisa."
Soonyoung mungkin bisa membayangkan remaja dengan kacamata tebal itu memutar matanya. "Tapi itu punya gue?!"
"Pun— akh—"
Soonyoung tersentak ketika lengannya ditarik cukup kuat sampai ia harus berdiri dan menatap langsung remaja berkacamata itu dari dekat. Gerimis membuat kacamata tebal itu berembun, tapi tidak menghalangi sorot mata yang begitu tajam ketika menatapnya.
"Lo—" suara remaja itu terdengar sedikit heran, "habis berantem?"
Soonyoung melepaskan tangan yang mencengkeram lengannya dengan paksa. "Bukan urusan lo.."
Helaan napas terdengar dari remaja berinisial won itu. "Emang bukan urusan gue," ia menatap Soonyoung masih sama tajamnya, "urusan gue cuma mau lo lepas hoodie gue sekarang.."
Soonyoung balas menatap, tak gentar hanya dengan tatapan tajam dari pemuda nerd di depannya karena ia sudah terbiasa menghadapi remaja-remaja yang sama nakalnya dengan dirinya. "Udah gue bilang 'kan? Gue gak mau."
"Lo maling." Balas remaja itu tanpa tanya, Soonyoung hanya mengangguk.
"Terus lo mau apa?"
Remaja dengan kacamata itu mendorong pundaknya dengan kesal. "Lepas atau gue bakal—"
"—bakal apa?!" Soonyoung memotongnya cepat, tanpa sadar memegang pundaknya yang terasa nyeri setelah di dorong remaja di depannya, mungkin ia terkilir tanpa di sadarinya saat tawuran antar pelajar tadi.
"Lo gak pa-pa?"
Raut kesal remaja berkacamata itu tampak berubah menjadi cemas saat melihat Soonyoung memegang pundaknya dan terlihat menahan nyeri. "Lo habis berantem atau gimana sih?"
Soonyoung mundur. "Gue gak pa-pa," ia menarik napas perlahan sebelum mendongak, "gak usah sok care ke gue."
Soonyoung bisa melihat raut wajah lawan bicaranya berubah datar mendengar perkataannya. Tapi siapa peduli, Soonyoung tidak pernah mengharapkan belas kasih, apalagi dari orang asing yang tidak pernah di kenalnya. Yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Karena Soonyoung lebih terbiasa dengan dunia yang kejam daripada dunia yang baik hati padanya, karena semua itu hanya topeng belaka di depannya dan Soonyoung sangat membenci hal itu.
Benci dengan kepura-puraan.
"Gue gak sok care sama lo ya.." remaja itu membalas, "gue cuma penasaran, walau lo pakai baju bebas tapi celana biru yang lo pake nunjukin lo sama kayak gue, masih SMP 'kan lo?" remaja itu berkacak pinggang, "tapi muka lo babak belur gak karuan, lo bolos terus berantem gitu?"
Beberapa detik setelah berkata seperti itu remaja dengan kacamata tebal di depan Soonyoung tampak sadar akan sesuatu. "Oh!" Ia menunjuk wajah Soonyoung, "lo salah satu siswa yang tawuran di gang Merpati 'kan?"
Soonyoung menampik jari telunjuk di depan wajahnya. "Kalau iya kenapa? Lo mau lapor ke polisi gitu?"
Remaja itu berdecak pelan. "Gak, gue cuma mau hoodie gue balik aja."
"Gue gak mau balikin!" Soonyoung kekeuh, "ini udah jadi punya gue!"
"Kenapa lo kekeuh banget gak mau balikin hoodie gue?"
Gak mungkin 'kan Soonyoung melepas hoodie yang ia pakai begitu saja? Bukan tidak mungkin tapi Soonyoung kepalang malu kepergok mengambil hoodie orang, apalagi harus mengembalikannya secara suka rela.
"Gerimisnya mulai deres, bentar lagi hujan.." remaja itu melirik langit yang mendung, "gue harus balik ke sekolah, dan gue gak bakal ngebiarin lo ngambil hoodie gue seenaknya aja."
Soonyoung menggeleng keras. "Gak! Sekali enggak ya engg—"
"—won!"
Belum sempat Soonyoung selesai berbicara suara feminim terdengar menginterupsinya.
"—bangke" remaja di depannya mengumpat.
Ketika Soonyoung akan menoleh ke belakang, menengok ke asal suara feminim di belakangnya karena penasaran kenapa remaja di depannya justru mengumpat, tetapi bahunya lebih dulu di cengkram oleh remaja berinisial won di depannya. Dan Soonyoung pun ikut mengumpat dengan matanya saat menyadari betapa dekat wajah keduanya.
"Lo boleh ambil hoodie gue, tapi lo harus bayar pake ini.."
Satu kecupan mendarat tepat di bibirnya yang sobek, Soonyoung melotot—kaget dan merasa perih di saat yang bersamaan.
"What the fuck—lo gila?" Soonyoung mendesis pelan, menyamakan nada suara remaja di depannya yang berbisik, Soonyoung tidak tahu kenapa ia melakukan hal yang sama.
Tangan itu mencengkeram erat lengannya tapi tidak sampai menyakitinya seperti sebelumnya tapi cukup untuk membuatnya tidak bergerak menjauh membuat Soonyoung hanya bisa melotot lantaran kesal karena kelakuan remaja nerd itu yang seenaknya.
Ada seringai di bibir remaja nerd itu, seringai yang bahkan tidak pernah Soonyoung bayangkan akan di lihat dari remaja culun. Tapi cukup mengingatkan Soonyoung bahwa ia pernah melihat senyum itu di suatu tempat.
"Won—" suara feminim itu mendekat dengan ragu di belakang Soonyoung.
Lagi, saat ia ingin menoleh tangan remaja yang di panggil 'Won' itu mencegahnya dan menariknya dalam pelukannya.
"Oh, kamu nyusul kesini?"
Soonyoung bisa membayangkan lawan bicara remaja yang memeluknya itu mengangguk di belakangnya.
"Iya, soalnya kamu lama banget.." suara feminim itu agak samar, "makanya aku nyusul.."
Soonyoung bisa merasakan sebuah pipi menempel dengan nyaman di pundaknya. "Sorry ya, pacar aku ternyata lagi sakit dia malah nekat nyusul kesini pas tahu kita ijin keluar.."
Soonyoung bisa mendengar 'oh' kecil dari balik punggungnya dan remaja yang memeluknya kini mengusap lengannya dengan lembut. "Kamu bisa balik sendiri gak ke sekolah? Alat-alat tadi yang di beli 'kan udah aku taro di jok motor, bilangin ke guru aku ijin sakit ya?"
Soonyoung tidak tahu bagaimana ekspresi lawan bicara 'Won' tapi ia bisa merasakan punggungnya terasa dingin karena intonasi yang digunakan remaja itu. "Bilang aja aku diare, dan jangan bilang siapa-siapa kalau kamu lihat aku sama pacarku ya?"
Intonasi yang terdengar lembut tapi enggan di bantah.
"Iya.." balasan itu terdengar cepat, dan secepat itu ia bisa mendengar langkah kaki menjauh.
Hening sejenak, Soonyoung sedang memproses semuanya yang terjadi.
"Lo gila ya?"
Soonyoung mendorong 'Won' setelah kesadarannya kembali, tetapi remaja itu justru tertawa. "Mungkin.." balasan itu terdengar tanpa minat.
"Lo habis nolak cewek? Dan alasan lo itu gue?" Soonyoung berdecak sebal, "gue cowok, lo gila ya?" Soonyoung melepas kupluk hoodienya, dan menyadari bahwa gerimis masih setia menitihkan air perlahan seolah tanpa niat untuk turun membasahi rerumputan di kakinya. "Lo sama gue aja saling gak kenal?!"
"Ya terus kenapa? Justru karena saling gak kenal itu mudah, lo sama gue bisa ngelupain ini—sesimpel itu 'kan?"
"Lo manusia paling aneh yang pernah gue temuin."
Remaja itu mengangguk tanpa minat. "Yah seenggaknya gue udah punya kesan di mata lo."
Tangan remaja itu terangkat dan mengusak rambut Soonyoung secara asal. "Lain kali jangan pernah ketemu sama gue ya?"
Saat itu remaja itu berbalik, memamerkan tas punggung dengan gantungan aneh di belakangnya.
"Setan!" Soonyoung berteriak, mengaduh setelahnya karena luka sobek di bibirnya.
"Apaan?!" Remaja itu berbalik dengan kesal, "lo ngatain gue setan?!"
"Bajingan! Pantes gue familiar sama senyum aneh lo."
Alis remaja itu terangkat, dan membuat kacamata tebal itu sedikit melorot di hidungnya yang bangir. "Apa?"
"Tas dekil lo, sama gantungan panda tanpa kepala itu—" Soonyoung menunjuk tas remaja itu dengan telunjuknya, "lo yang semalem di club 'kan?"
Pupil remaja itu tampak bergetar sesaat sebelum kembali menatap Soonyoung dengan datar. "Gue bahkan belum legal, lo ngigo gue masuk club?"
"Setan!" Soonyoung mengumpat, "lo sama aja sama gue, sama-sama memalsukan identitas 'kan?"
"Lo ada disana?" Soonyoung bisa memastikan nada keheranan disana.
"Lo bajingan berkedok, sial—"
Lagi, untuk kedua kalinya Soonyoung di tarik mendekat dengan paksa untuk di bungkam.
Lagi, untuk kedua kalinya Soonyoung di tarik untuk di cium bibirnya—ahh kali ini Soonyoung rasa bibirnya di panggut remaja berpenampilan culun itu.
Bajingan nerd!
Soonyoung mengumpat dalam hatinya, hilang semua fantasinya tentang ciuman pertama yang romantis.
First Kissnya akan meninggalkan kesan menjengkelkan sepanjang hidupnya.
•first kiss fin•
0 notes