#ngaleut
Explore tagged Tumblr posts
Text
Bandung Lautan Api (Ketika mundur menjadi langkah sebuah perlawanan)
Minggu, 24 Maret 2019, satu hari setelah ulang tahun peristiwa Bandung Lautan Api ke-73. Aku bangun sejak dini hari lalu bergegas menuju kamar adikku untuk membangunkannya. Seperti biasa, minggu pagi adalah saat untuk aku berkegiatan rutin sejak pertengahan Februari lalu, ngaleut. Kali ini aku mengajak adikku yang padahal sedang ujian sekolah. Tapi, biarlah, biar hari minggu tidak hanya dia habiskan untuk tidur atau bermain saja, tapi juga berolahraga, mencari pengalaman baru, bertemu orang-orang baru, dan paling penting juga, belajar. Karena adikku susah di bangunkan, kukira dia batal ikut, jadi aku bersiap saja sendiri, namun, setelah aku selesai mandi ternyata ia bangun dan ikut berisap-siap. Kami berangkat agak mepet, aku menyuruhnya memakai sepatu tapi tidak dihiraukan hingga akhirnya ia hanya memaki flat shoes. Tak apa sih, biar dia merasakan dulu saja bagaimana ngaleut kali ini.
(Foto 1- Foto peserta Ngeleut BLA depan SD ASMI (stilasi ke-9))
Titik kumpul kali ini ada di Landmark Braga, aku agak bingung antara Landmark dengan Braga City Walk, hingga akhirnya aku parkir di depan BCW dan agak lari-lari ke Landmark karena acara sudah mau dimulai. Seperti biasa, acara ngaleut selalu diawali dengan perkenalan tiap orang, karena adikku belum mendaftarkan diri, ia mendaftarkan diri dulu baru setelah itu ikut bergabung dan memperkenalkan diri seperti yang lainnya. Hari itu cukup banyak peserta yang ikut ngaleut, dari yang baru memulai pertama kali hingga keluarga yang kumplit dengan anak-anaknya.
Setelah berkenalan, Irfan sebagai moderator hari itu memberi tahu bahwa akan ada beberapa orang yang menjadi pemateri untuk hari itu selain dirinya yaitu Aip, Upi, dan Ervan. Irfan kemudian menjelaskan tentang bagaimana Kota Bandung dulu, ketika Sekutu yang diboncengi NICA mulai datang ke Bandung. Ketika itu, supaya menghindari banyaknya warga sipil yang menjadi korban saat keadaan belum stabil pasca kemerdekaan dimana Bandung menjadi kota yang sangat ramai dengan orang-orang bersenjata dimana-mana, wilayah Bandung terbagi menjadi dua, disebelah utara yang dihuni oleh Belanda dan Sekutunya, serta sebelah selatan yang dihuni oleh warga pribumi. Rel kereta yang membentang dari Cimahi sampai ke daerah Sumedang yang terlihat dari Landmark ditunjuk oleh Irfan, katanya, rel tersebut adalah pembatas wilayah utara dan selatan kala itu, berbeda beberapa meter dengan batas pembangunan masa kolonial yang juga berfokus di wilayah utara yaitu Jalan Raya Pos (sekarang Jalan Asia-Afrika) yang merupakan bagian dari jalan yang membentang dari Anyer sampai Panarukan.
Sebelumnya, diceritakan bahwa Bandung ketika itu dipenuhi oleh berbagai laskar yang dibentuk oleh para pemuda; juga para tentara. Kala itu mulai datang tentara Inggris dengan tujuan untuk mengevakuasi warga Belanda yang ada di Bandung, membebaskan warga Belanda dari kamp interniran Jepang juga melucuti dan memulangkan tentara Jepang yang masih tersisa di Bandung. Ada satu hal yang unik dari cerita Irfan kala itu, yaitu tentang sebutan para pemuda Kota Bandung, katanya, dulu ketika Jepang dinyatakan kalah dalam Perang Dunia kedua, pemuda Bandung melakukan perlawanan, seperti di daerah-daerah lainnya, melucuti senjata tentara Jepang. Namun, tak seperti keberhasilan di beberapa daerah, di Bandung hal tersebut mengalami kegagalan, akhirnya senjata yang sudah dirampas mereka kembalikan dan pemuda Bandung mendapatkan julukan “Pemuda Peuyeum Ball,” yang sepertinya juga masih digunakan untuk menyindir peristiwa Bandung Lautan Api, ketika warga Bandung memilih untuk mundur, meninggalkan kota sesuai dengan komando Sekutu.
Setelah pembukaan dengan cerita yang cukup panjang, kami mulai berjalan ke titik berikutnya. Sebetulnya, nagleut kali ini kita akan lebih menyusuri stilasi-stilasi Bandung lautan Api yang dibuat oleh Sunaryo bekerja sama dengan Bandung Heritage. Stilasi berbentuk segitiga dengan bunga Patrakomala diatasnya ini tersebar di 10 titik di Kota Bandung. Sitlasi pertama ada di daerah Dago, didepan bekas kantor berita Domei dimana pertama kali Proklamasi diperdengarkan kepada warga Bandung, karena terlalu jauh, kami tidak memulainya dari sana. Titik pertama dimulai di stilasi kedua, di depan Bank Jabar Banten (ex-Bank Denis), bangunan bergaya art deco yang ada di jalan Braga. Disana Ervan yang gantian bercerita, katanya dulu terjadi berbagai pertempuran dan aksi tembak-tembakan di sekitar Bandung antara laskar-laskar pemuda maupun TKR dengan tentara Sekutu. Di ex Bank Denis sendiri, dulu pernah terjadi perobekan warna biru dari bendera Belanda oleh pemuda Bandung yang kala itu bekerja sebagai juru tulis di Bank tersebut. Aku baru tahu, bahwa perobekan bendera tidak hanya terjadi di Hotel Yamato di Surabaya saja, di Bandung juga terjadi hal yang serupa, bahwa pemuda Bandung juga adalah pejuang yang penuh keberanian, bukan pemuda peuyeum ball seperti kata orang-orang. Disana Aip juga menambahkan beberapa peristiwa dan kejadian disekitar Bank Denis dan sekitarnya, sebelum kita berangkat ke titik berikutnya, di jalan Asia Afrika.
(Foto 2-Ervan ketika menjelaskan peristiwa di depan ex-Bank Denis.)
Di titik kedua, stilasi ketiga kami berada di seberang alun-alun Bandung, katanya dulu disitu terdapat markas TKR sebelum dipimpin oleh A.H. Nasution. Tidak lama dan tidak banyak yang diceritakan, berikutnya kami lanjut ke titik ketiga, stilasi ke-6 di Jalan Dewi Sartika, disitu Upi yang gantian bercerita bahwa dulu disana adalah markas komando Divisi III Siliwangi dibawah pimpinan A.H. Nasution. Disana juga diceritakan bagaimana sebelumnya divisi tersebut dipimpin oleh Omon Abdurrachim yang kemudian menolak perintah dari TKR pusat untuk mengamini komando sekutu untuk mundur 10-11 KM ke selatan Bandung, lalu beliau memilih untuk menyerahkan jabatannya ke A.H. Nasution dan bergabung dengan laskar para pemuda Bandung yang kemudian merumuskan peristiwa Bandung Lautan Api di stilasi ke-4, di Jalan Simpang.
Kami sedikit back track untuk mencapai titik berikutnya, stilasi ke-4 dan sayang sekali kami tidak bisa melihat langsung stilasi tersebut karena tertutup oleh pagar rumah. Kami pun melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya di stilasi ke-5, depan SD Dewi Sartika. Dulu, SD tersebut merupakan sebuah dapur umum untuk para TKR dan para pemuda pejuang dari berbagai Laskar. Dapur umum ini diurus oleh Laswi yang berisi para pemudi yang ikut berjuang di garis belakang, selain di dapur umum, para wanita ini juga ikut kedalam pertempuran untuk menjadi pejuang medik, kalau kata Aud seperti Sakura, ninja medik di film Naruto. Upi menceritkan pula bahwa kala itu meskipun sebagian besar Laswi bergerak di garis belakang namun ada seorang tokoh bernama Willy, yang ikut berjuang ke garis depan, membunuh tentara Gurka dengan memotong kepalanya dan membawanya sebagai kebanggaan serta bentuk kesetiaannya pada Laswi.
Dari situ kami bergerak ke titik berikutnya, melewati Alfamart dan beristirahat serta membeli beberapa minuman dan makanan, di titik berikutnya, kami melewati Jalan lengkong, dimana dulu sempat menjadi daerah yang mendapati serangan udara dari sekutu karena menjadi salah satu pusat konsentrasi para pejuang dan pemuda di Bandung. Stilasi ke-7 ada di dalam sebuah perumahan di Jalan Lengkong Tengah, dulu katanya perumahan ini merupakan salah satu kamp tahanan Belanda yang ada di wilayah selatan.
Bergerak ke titik selanjutnya, stilasi ke-8, kami berhenti di depan sebuah gang yang diduga menjadi jalur komando yang digunakan para pemuda ketika terjadi pertempuran Lengkong yang kemudian bersambung ke stilasi ke-9, SD ASMI yang dulunya merupakan markas dari Pesindo. Di antara stilasi ke-8 dan ke-9 kami berpapasan dengan tukang Tahu Bulat yang kemudian beberapa dari kami berhenti untuk jajan, juga aku dan Aud yang kemudian berfoto di belokan.
(Foto 3 - Aku dan Aud berfoto di belokan.)
Di stilasi ke-8 dan ke-9 diceritakan bahwa Pesindo merupakan gabungan dari 9 laskar pemuda sayap kiri yang kemudian manjadi sangat besar dan berjuang bersama laskar pemuda lainnya seperti Hizbullah, Laswi, Pemuda Banteng dan lainnya.Dari sini aku belajar bahwa meskipun dalam perjalanan pasca kemerdekaan ini kemudian terjadi selisih paham dan ideologi, namun saat itu para pemuda Bandung dengan berbagai latar belakang dan ideologi yang berbeda-beda, mereka bersama-sama menghimpun kekuatan di berbagai pertempuran dan perjuangan untuk mempertahankan Bandung, termasuk juga dengan cara melakukan pembakaran objek-objek vital dan beberapa bangunan di Bandung sebelum mundur agar bangunan-bangunan tersebut tidak dapat digunakan oleh sekutu ketika mereka mundur 10-11 KM ke arah Selatan, meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Stalasi ke-10 ada di depan sebuah gereja yang dulunya adalah stasiun pemancar yang digunankan sebagai sarana untuk menyebarkan Proklamasi ke seluruh Indonesia dan dunia kala itu. Kami kemudian mengakhiri perjalanan di museum Sribaduga untuk duduk dan sharing. Ada sedikit hal lucu waktu berjalan dari stalasi ke-9 ke stalasi ke-10, adikku, yang saat itu kelelahan memakai flat shoes membuka sepatunya dan bertelanjang kaki, seolah menghayati perjalan Bandung Lautan Api. Lucu saja rasanya, padahal di awal aku sudah menyuruhnya memakai sepatu, tapi dia malah memakai flat shoes dan kakinya hampir lecet karna itu, biarlah jadi pelajaran saja untuknya. Nagleut kali ini cukup panjang, paling panjang dari yang aku alami selama di Aleut, 8,88 KM sudah kami susuri pagi itu.
Dengan lebih dari seribu langkah kami menyusuri cerita Bandung Lautan Api pagi itu. Aku jadi tahu, bahwa Bandung Lautan Api bukan sekedar tentang Moh. Toha dan Moh. Ramdan, bahwa Bandung Lautan Api adalah sebuah strategi perang, mundur, tapi juga membumi hanguskan. Bahwa para pemuda Bandung bukanlah pemuda peuyeum ball yang mundur karena tak berani melawan, tapi pemuda yang berfikir dan berstrategi. Jika saja kala itu mereka melakukan perlawanan, sudah bisa dipastikan, dengan kekuatan dan persenjataan yang tidak memadai akan banyak korban berjatuhan dan yang didapat, hanya kekalahan.
Terkadang memang, kita harus meninggalkan, melepaskan, bahkan menghancurkan, membumi hanguskan apa yang kita jaga, apa yang kita cintai dan lindungi, justru karena kita ingin menjaganya, ingin melindunginya dari apa-apa yang bisa mengancamnya. Menjadikannya lautan api sebelum mari Bung rebut kembali.
Catatan: Terima kasih untuk Anjani yang memintaku bercerita, jadi aku menuis lagi. Lagi-lagi ini bukan cerita sejarah, hanyalah sebuah catatan perjalanan yang sebenarnya aku banyak lupanya daripada ingetnya. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan, dikoreksi lebih baik. Terima kasih untuk yang sudah membaca.
p.s.
Bandung, 28 Maret 2019
0 notes
Text
Ngaleut braga
ngaleut from braga-balkot
When I was first grade of senior high school student, my friend and I participated to a ‘klab aleut’. It is a Sundanese term that mean “go together”. This club has a program to go somewhere together and learn the place we pass.
On last 9th march 2009, the member of klab aleut gathered in front of 'Gedung merdeka’. We planned to walk from km 0 to 'Balai Kota’ through Jalan Braga. We started from km 0 that’s on Jl.Asia Afrika 55, it’s in front of Bina Marga Office. The km 0 is made by H.W Daendles, that time determined that this would be center of the city. We started our journey from Savoy Homan Hotel that’s so well known with art deco style by Aalbert Aalbers. It’s like a ship that’s showing hope it can ran as a ship. It’s also often visited by guess from other countries especially when KAA in 1955 was held. One of them was the famous artist Charlie Caplin.
We continued from Gedung Merdeka to Jalan Braga. When we were in Gedung Merdeka, we talked the story of it. It once called societ concordia. It was a place for the enterpreneur of agriculture in Bandung to gathered to have a drink and communicate. There were a rasist symbol in front of the building with word ’verbodden voor honder en irlander’ which mean native of Parahyangan and dog couldn’t enter to the building. Dutch were considered both of them are dirty thing.
Next to the building beside Gedung merdeka, it was a place for the society to watched a theater. it’s Majestic Cinema or we know it as AACC (Asia Africa Cultural Centre) the place where the tragedy in 9th of February happen. There’s a unique statue on the gate named kala. In front of this building, there is a collapse building, it was 'sarinah’ the famous factory outlet among Jalan Braga.
Jalan Braga now use andesit rock that make this place look so vintage but fragile. From here was born any kind of food such as ice cream, bread and queen cake. Braga also famous cause of any kind of historical building that keep as originally. Last, we reached Balai Kota which is one of the biggest park in Bandung. We gathered in front of a white cage. It was a place for society to enjoy recital. It was an exhauted but excited journey. My friend and I really enjoyed and got the knowledge about Bandung, the place we live in.
1 note
·
View note
Photo
Ngaleut ngeungkeuy ngabandaleut. Rupa-rupa kandaraan mapay jalan di dayeuh Batawi, dina taun 1972. Cek, salasahijina mangrupakeun beus Medal Sekarwangi. Anu mana nya? Potret: pesbukna Firmansyah Angga #batawi #beusms #medalsekarwangi #sumedang
0 notes
Photo
Wilujeng Sumping di Sukabumi . . . @Regrann from @nengulfie - Mau ngaleut, tapi waktunya loh 🙄 Kapan2, mungkin ngaleut bagian #3 Yok yg mau ngaleut 24-28 cek kendaraan kalian ! . . . @d3d1s - #regrann Geopark Ciletuh Palabuhanratu Thx 4 visit - Keep Clean #geopark #ciletuh #palabuhanratu #ciletuhpalabuhanratu #geoparkciletuh #ciletuhgeopark #ciletuhpalabuhanratugeopark #sukabumi #sukabumiface #sukabumitourism #westjava #jawabarat #indonesia www.ciletuh.com www.ciletuhpalabuhanratugeopark.org more info contact me (at Sukabumi)
#ciletuhpalabuhanratu#ciletuh#ciletuhgeopark#indonesia#westjava#sukabumi#jawabarat#ciletuhpalabuhanratugeopark#regrann#sukabumiface#geoparkciletuh#sukabumitourism#3#geopark#palabuhanratu
0 notes
Link
Sirnaraga Oleh: Angie Rengganis Kegiatan Aleut pada hari Minggu (12/2/2017) pukul 07.30 Bandung diselimuti cuaca dingin dan diguyur hujan gerimis. Kami berjalan menyusuri Jalan Pajajaran menuju Tempat Pemakaman Umum Sirnaraga yang letaknya dekat dengan Bandara Husein Sastranegara. Berbeda dengan kegiatan Ngaleut sebelumnya, kali ini kami mendatangi pemakaman. Sirnaraga merupakan TPU muslim di Bandung yang sudah ada sejak tahun 1920. Seperti layaknya pemakaman muslim lainnya, tata letak makam TPU Sirnaraga pun disusun sebagaimana aturan dalam Islam yaitu semua makam menghadap Kiblat. [ 464 more words ] http://ift.tt/2lC6kgQ
0 notes
Photo
Komunitas penggiat sejarah di kota Bandung mau mengunjungi kp. Manteos. Yuk kita ikutan... :D . @Regrann from @komunitasaleut - Sedangkan di hari Minggu kita bakalan Ngaleut Manteos. Sesuai judulnya, kita akan main ke Kampung Manteos yang merupakan salah satu perkampungan kota di sisi Ci Kapundung. . Sekiranya kawan-kawan tertarik untuk ikutan, langsung saja konfirmasikan dirimu via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pake "@") dan kumpul di Circle K Tamansari (sebelah Kafe Halaman) pukul 07.24 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman supaya bisa makin enjoy selama Ngaleut yes :D . Jangan lupa ajak kawan, keluarga, kekasih, tetangga, atau gebetan untuk ikutan supaya acaranya bisa semakin seru. Sampai jumpa! :D - #regrann
0 notes
Photo
Sesore ini dan langit Bandung masih saja terang. . Usai serem²an di bekas rumah sakit #BMC, sebagian kawan beranjak ke lokasi lain, yaitu ke Taman Makam Pahlawan #Cikutra untuk berziarah ke salah satu kerabat sekalian melihat jejak sejarah Bandung. . #Ngaleut #KomunitasAleut #Bandung
0 notes
Photo
Dari kegiatan #ngaleut versi Jakarta alias #Ngojak, kami dapatkan buku "Potret Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe" karya Yano Jonathans.
0 notes
Photo
Seringnya disebut Mesin Gelang, atau resminya open top roller, sebuah mesin yang berada biasanya di pabrik pengolahan teh. Fungsinya untuk merecah menjadi potongan kecil-kecil daun teh sembari dipilin-dipilin kecil atau sering disebut mememarkan agar proses fermentasi merata. Ini merupakan proses kedua di pabrik teh setelah proses pelayuan yang biasanya berada di lantai dua pabrik teh. Mesin ini umumnya didatangkan dari Eropa atau Srilangka, adapun pabrikan lokal yang mampu membuat mesin ini adalah PT. PABRIK MESIN TEHA, Bandung. Pabrik ini juga sebuah pabrik tua di jalan Arjuna Bandung. Berdasarkan profil perusahaan pabrik ini berdiri pada tahun 1921 dengan nama awalnya "Tjin Hin NV". . . Tertarik dengan cerita-cerita seperti ini dan ingin berkunjung langsung pada tempat kejadianya. Mari bergabung dengan @komunitasaleut. . . . . . #thee #tea #factory #teafactory #cisaruni #garut #komunitasaleut #NgAleut #Preangerplanters
0 notes
Text
Inggit Garnasih (Mengenal peran wanita di ruang privat dalam pendampingan perjuangan pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia)
Minggu, 17 Februari 2019, pagi-pagi sekali aku bangun lalu mandi, sarapan dan melakukan kegiatan persiapan lainnya. Aku bersiap untuk pergi ke pelataran Gedung Merdeka, memenuhi janji kepada salah satu temanku dari Jakarta untuk menemaninya mem-Bandung hari itu. Satu kegiatan yang kami pilih kala itu berkaitan dengan hal yang sama-sama menarik perhatian kami, mencari inspirasi.
Dua hari sebelumnya, aku tanpa sengaja menemukan suatu poster online di media sosial, kegiatan sebuah komunitas yang sebetulnya sudah pernah aku dengar namanya sejak sekitar 4 tahun yang lalu, Komunitas Aleut, komunitas wisata sejarah yang ada di kota Bandung, setidaknya itu yang aku tau. Di poster tersebut tampak wajah seorang tokoh beserta namanya, seorang wanita sunda yang tak begitu asing lagi di telinga, Inggit Garnasih, istri kedua bapak bangsa Indonesia.
Perjalanan kami diawali dengan perkenalan setiap anggota, yang baru maupun yang lama. Yang ku ingat hanya nama pembicaranya, Teh Audi, lalu Kang Anggi, sisanya, aku lupa. Cukup banyak juga ternyata peminat kegiatan ini, dari berbagai usia, anak-anak, pemuda hingga ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah mulai agak berubah warna rambutnya.
Pemberhentian pertama, di jalan Ir. Soekarno, sebelah Gedung Merdeka. Disana, Teh Audi bercerita bagaimana Soekarno menjadi suami ketiga dari Inggit dan Inggit menjadi istri kedua dari Soekarno. Disana juga diceritakan bagaimana pertemuan antara Inggit dan Soekarno terjadi, kedekatan mereka hingga akhirnya pernikahan, seolah semua sudah ditakdirkan.
Aku terlarut dalam cerita sejak cerita pertama, hingga tak banyak gambar yang aku ambil dalam perjalanan ini. Setelah titik pertama, kemudian kami berjalan ke titik kedua, penjara Banceuy. Aku, orang Bandung yang hidup di kota ini sekitar 24 tahun saja belum pernah masuk kesana, merasa tidak tahu apa-apa tentang tempat yang aku tinggali. Tapi sedikit demi sedikit hal itu berubah, sejak hari itu Bandung bagiku menjadi lebih hidup. Meski telah banyak berubah, namun setiap tempat benar-benar seperti menjadi saksi sejarah, bahwa Bandung bukan hanya kota besar, tapi juga punya peran besar dalam hal-hal besar yang terjadi di negeri ini.
Di bekas penjara Banceuy diceritakan kembali bagaimana Soekarno, sosok yang tak bisa lepas dari Inggit Garnasih sebagai tokoh utama ngaleut hari itu, mulai membentuk PNI, di penjara, membuat Pledoi Indonesia Menggugat serta bagaimana Inggit dengan setia mengantar setiap perjuangannya.
Beranjak ke titik ketiga, Pendopo Walikota. Salah satu banguan karya Soekarno sebagai seorang insinyur dari THS (sekarang ITB) dengan ciri khas palu gada di atapnya. Disana diceritakan tentang karir Soekarno serta bagaimana ia belajar, berjuang, bagaimana pergerakan perjuangan di Indonesia mulai bergejolak dengan munculnya berbagai perseteruan, juga persatuan.
Titik berikutnya Gereja Rehobot, wilayah yang pernah menjadi lokasi rumah Inggit dan Soekarno yang berpindah-pindah beberapa kali, kami hanya lewat, begitupula dengan jalan Jaksa, tempat salah satu rumah yang pernah ditinggali oleh Inggit, lalu ke jalan Pungkur, daerah dimana Inggit dan Soekarno pernah tinggal juga hingga terakhir ke rumah tinggal terakhir Ibu Inggit di jalan Ciateul (sekarang Jalan Inggit Garnasih). Dari titik ke titik diceritakan bagaimana Soekarno dan Inggit berjuang, termasuk berpindah-pindah karena Soekarno di asingkan, mulai dari Ende hingga ke Bengkulu. Di rumah terakhir pula dilengkapkan cerita yang dimulai sejak awal pertemuan yang diceritakan di titik pertama hingga akhirnya berpisah karena keteguhan hati seorang Inggit Garnasih serta beberapa kejadian setelahnya sebelum Ibu Inggit wafat.
Sepulang dari kegiatan tersebut, banyak sekali hal-hal yang muncul di pikiranku, termasuk semakin penasarannya aku akan literatur-literatur menganai Inggit Garnasih. Salah satu yang aku dapatkan adalah video monolog Inggit Granasih yang diperankan oleh salah satu aktris yang aku kagumi secara pribadi, Happy Salma. Dialog tersebut seolah merangkum secara garis besar cerita yang sedari pagi hingga tengah hari tadi aku dan teman-teman komunitas Aleut telusuri.
Salah satu kata-kata Inggit dalam monolog yang diperankan oleh Happy Salma tersebut yang membekas di pikiranku, “Aku adalah perempuan yang tidak memiliki peranan apapun, tapi aku ada di dalam lahirnya sejarah paling penting tanah air.” Inggit memang, tidak berperan secara langsung dalam politik dan pergerakan perjuangan Indonesia, namun tanpa Inggit maka Soekarno tak akan menjadi Soekarno yang kita kenal saat ini.
Dua puluh tahun menjadi support system untuk seorang Singa Podium bukan perjuangan yang mudah. Bukankah katanya dibalik seorang laki-laki hebat ada wanita hebat di belakangnya. Iya, dibelakang layar, mungkin samar-samar terlihat mata namun bukan berarti tidak ada. Inggit tahu, betapa Kusno (panggilan Inggit untuk Soekarno) memiliki cita-cita yang tinggi untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Maka Inggit terlarut dalam semangatnya, terlibat di dalam perjuangannya, mendengar setiap ide dan cerita hingga keluh kesahnya, bahkan hingga menjadi penopang perekonomian keluarganya di saat-saat tertentu. Inggit, dengan tegar dan hati yang tangguh sering kali diceritakan menyembunyikan kesulitan yang dialaminya dari suaminya yang sibuk berjuang memerdekakan bangsa, menjadi sosok yang tidak ingin membebani dan merepotkan.
Dalam monolog yang diperankan Happy Salma pula, Inggit beberapa kali mengatakan “…maka aku harus pandai-pandai mengalihkan perhatiannya.” Disisi lain, Inggit juga yang melihat dan mengenal Kusno sebagai manusia yang bisa lelah dan ingin menyerah, lalu Inggit pula yang mengingatkan suaminya untuk berkata tidak, dan kembali membakar semangat yang sempat meredup di dadanya. Distraktor dan pengingat, dua peran yang harus diperankan satu orang, seorang istri, berhasil diperankan oleh Ibu Inggit dalam kehidupan Soekarno.
Seorang istri, memiliki peran yang sering kali dilupakan atau bahkan dihapuskan dalam sejarah. Padahal, bukannya para wanita yang mungkin dipandang sebelah mata hanya karena mereka berperan di ranah privasi ini lah yang terkadang menjadi pemicu semangat, pelepas lelah dan penat, pendidik anak-anak, pendukung serta pendamping setiap orang-orang hebat dalam melakukan hal-hal besar.
Kembali ke sosok Ibu Inggit sebagai contohnya, seorang istri yang mungkin tidak berpendidikan tinggi, tapi mampu mengerti apa yang harus dilakukannya dalam setiap situasi. Seorang wanita, yang mungkin tidak menguasai isi buku-buku yang ia berpuasa agar bisa ia selipkan di pertunya untuk diantar ke penjara, tapi kemudian membantu suaminya melahirkan pledoi yang mengguncang dunia. Seorang wanita yang tidak menghasilkan karya-karya besar, hanya rajutan, jamu, bedak dan rokok buatan tangan, tapi mampu membantu suaminya menyelesaikan pendidikannya.
Menemani, melayani, mendampingi, mencintai, menyayangi, mengasihi, mengingatkan, mendistraksi, menyemangati, berkorban, berusaha memenuhi semua kebutuhan seolah-olah hanya hal yang wajar yang tak perlu diukir dalam sejarah. Hal-hal kecil yang dilakukan wanita terkadang dianggap biasa saja, meski sebenarnya berefek sangat besar dalam perjalanannya. Ibu Inggit termasuk yang beruntung, masih bisa kita putar ulang kisahnya, namun banyak sekali wanita-wanita hebat lainnya yang luput dari pandangan sejarah. Tak apa, karena salah satu hal yang aku percaya menjadi kekuatan para wanita dalah ketulusan, berkorban tanpa pernah mengharapkan balasan.
Disamping semua inspirasi yang aku dapatkan dari seorang Inggit Garnasih yang berperan di ranah yang mungkin banyak luput dari perhatian orang, ada satu hal lain yang kisah Inggit Garnasih ajarkan kepadaku hari itu, keteguhan hati, kejujuran perasaan dan harga diri yang tinggi. “Oh candung? Ai dicandung mah, cadu,” tutur Inggit dalam salah satu literatur yang aku baca. Meski dengan penuh ketulusan dan kesulitan Inggit setia mendampingi dan mengantarkan Kusno hingga menjadi pemimpin bangsa sebelum merdeka, namun, dua tahun sebelum menjadi ibu negara, tetap saja, harga dirinya tidak bisa dibeli walau dengan istana, ia berani menerima kelemahannya dengan kejujuran atas hatinya, menolak dimadu olah suami yang 20 tahun didampinginya.
Lalu kisah Inggit mungkin memang berakhir dengan tragis, semua perjuangannya mendampingi Soekarno diakhiri sakit hati dengan dimulainya kisah cinta Soekarno dan Fatmawati, lalu Inggit berlalu, seolah tidak berarti. Namun bukan berarti tak ada yang bisa dipelajari, tak bisa jadi inspirasi.
Pada dasarnya, manusia, apapun yang dilakukannya, terkadang butuh ruang untuk melepas penat dan lelah dari tuntutan yang mengikatnya. Disadari atau tidak, terkadang ruang untuk rehat itulah yang pula melindungi mereka dari berbagai mara bahaya. Banyak yang menyebut ruang tersebut sebagai rumah dan pasangan sangat bisa menjadi tempat untuk kembali, pulang. Seperti Inggit bagi Soekarno, yang kemudian terkenal dengan quotenya “Hanya ke Bandung lah aku kembali, kepada cintaku yang sesungguhnya.”
Disclaimer: Tulisan ini hanya sebuah media berbagi pengalaman atas apa yang dialami, didengarkan, dilihat, dibaca dan terfikir oleh penulis, bukan untuk mempelajari fakta sejarah atau menghakimi peristiwa ataupun tokoh sejarah. Hanya sebuah pandangan dari pengalaman dan informasi yang diterima oleh penulis. Ditulis hanya supaya tidak lupa. Semoga ada manfaatnya.
p.s.
Bandung, 18 Februari 2019
3 notes
·
View notes
Photo
plakat pembangunan Masjid Cipaganti #ngaleut
1 note
·
View note
Photo
#bandung #ngaleut #tugutunas #jalantamanpramuka @komunitasaleut
0 notes
Photo
Mikawanoh Komunitas Aleut!
Mimiti ngadéngé ngaranna, kaciri nyundana téh. Aleut, mangrupakeun kecap dina Basa Sunda anu…
View Post
0 notes
Text
Ngaleut oooh Ngaleut
Kali ini mau nyeritain pengalaman saya ngaleut pertama kali hehe
Bagi yang belum tau ngaleut itu apa *etdah, udah berasa paling tau aja* mariii ditengok twitter, facebook, blog, youtube atau tag di tumblrnya Komunitas Aleut. Bisa juga baca artikel ini. Di sana bisa cari informasi selengkap dan sebenar-benarnya tentang komunitas ini :D
Sepemahaman saya sih, komunitas Aleut itu komunitas wisata sejarah Bandung yang mengapresiasi sejarah kota Bandung dengan melakukan jalan-jalan, cerita-cerita dan sharing-sharing tentang Bandung. Kegiatan rutinnya biasa disebut NGALEUT (nge-aleut mereun yah) yang diadakan tiap hari Minggu pagi sekitar jam 8-12an (mungkin sih, tadi mah saya jam segituan hehe).
Udah beberapa minggu lalu Mentari, si agen MLM aleut, nyerita2 tentang aleut. Gateeel banget pengen ikutan tapi gajadi terus. Mulai dari niat yang menipis, waktu yang menipis, sampe uang yang menipis. Tapi akhirnya kemarin berhasil diajakin Aghnia buat ikutan. Dengan mengerahkan segala niat dan mengenyahkan segala godaan akhirnya berhasillah saya mengkonfirmasi kehadiran ke teh Hevi lewat sms jarkom aleut yang diforward aghnia. Huraaay~~~
Minggu pagi, bangun-bangun langsung mandi dan bersemangat sekali mau ngaleut :D tapi si pengajak alias aghnia malah baru mau mandi begitu saya beres siap2 dan akhirnya kita rada telat berangkatnya. Harusnya jam setengah 8 udah di Sumur Bandung, eh ini malah jam segitu baru berangkat. muahahaha...
Tapi begitu nyampe ternyata baru dikit yang dateng. Yah celingak celinguk aja da gak kenal siapa-siapa tea. Akhirnya kenalan sama teh Hevi, diem lagi, udah gitu ngisi formulir, bayar (hanya 10 ribu rupiah untuk satu taun! udah dapet pin pula), dan akhirnya pas udah ngumpul banyak, kita siap2 berangkat.
Di awal perkenalan dulu, nyebutin nama, kuliah di mana dan angkatan berapa. Rata-rata pegiat Aleut ini mahasiswa, paling banyak kuliah di ITB, Unpad, dan UPI. Beberapa udah jadi anggota lama (umur Aleut udah 6 tahun) dan udah saling kenal. Kebetulah hari itu banyak anggota baru. Udah gitu kita siap berangkat.
Tujuan ngaleut kali ini adalah jalan Cipaganti. Kita berangkat dari Sumur Bandung jalan kaki ke Cipaganti, lewat Sabuga, Cihampelas dikit dan pas nyampe Cipaganti itu udah hah heh hoh banget ahahahaha ketauan jarang olahraga. Sempet berhenti di beberapa spot untuk istirahat dan materi dikit tentang jalan Cipaganti. Terus jalan lagi ke beberapa rumah yang masih asli dan antik di sepanjang jalan itu.
Nyeritain sejarah dan model-model bangunannya, sampe kenapa di beberapa rumah ada yang dikasih nama. Ternyata nama rumah itu sama dengan nama anak perempuan pertama si tuan rumah. Begitulah kira-kira.
Terus dilanjutin jalan ke Mesjid Cipaganti yang mana semua orang tau di sana ada mie ayam enak yang bikin ngiler -___-. Si Aghnia udah gak kuat banget laper pengen mie ayam. Saya juga sih, tapi takut sakit perut kalau makan di tengah2 sesi jalan-jalan. Akhirnya berhasil juga ngebujuk orang itu untuk makan abis beres aja. Di situ materi lagi tentang masjid Cipaganti *dan di sini saya gabut, kecapekan dan duduknya gak strategis jadi gabisa dengerin materi dan gak ngerti*
Setelah menahan gelora pengen ngemieayam dan materi beres, kita jalan lagi. kali ini menuju ke sebuah makam tua. Ternyata itu adalah sebuah pemakaman untuk keluarga Pasar Baru. Isinya keluarga saudagar pas jaman2 dulu, yang meloporin adanya pasar baru *mudah2an gak salah tangkep materi deh*, daaan akhirnya kita sharing di situ hahaha.
Bodor sih, katanya itu pertama kalinya Aleut sharing di kuburan. Tapi suasananya emang mendukung. Sejuk semiliwir gimana gitu, gak serem. Dan sepi, jadi bisa lebih konsen sharingnya. Di situ kita semua satu persatu ngomong tentang pengalaman hari itu. Yang emang punya pengetahuan lebih nyeritain ke semuanya, dan yang blah-bloh kaya saya akhirnya ngecapruk hahaha. Menurut saya sih dari semua pengalaman hari itu yang paling asyik ya pas sharing, jadi lebih kenal lagi dan dikasih kesempatan untuk ngomong di depan semuanya.
Hari itu diakhiri dengan kita semua balik lagi ke masjid cipaganti dan makan mie ayam hehehe. Emang rejeki, eh pas beres makan ternyata kita semua dibayarin Kang Yanceu hahahaha jadi enak nih *eh*. Abis solat di mesjid kita balik ke sumur bandung. Rencananya sih mau ngambil motor doang dan terus pulang, eh taunya malah diajak masuk ke dalem dan ditawarin jadi panitia ultah Aleut. Waaahahahaha~~
Hari ini seruuuuu, makasih ya Aleut udah ada di dunia untuk ngasih saya pengalaman seasik ini #eaaa
Orang2nya pada asik, jalan-jalannya juga asik, dapet pengalaman baru. Seneeeeng banget Bandung masih punya anak muda yang care, aware dan sayang sama sejarahnya sendiri. Semoga di kedepannya Aleut bisa memberi lebih banyak untuk kota Bandung itu sendiri. Saya percaya itu kok :)
Semoga minggu depan bisa ngaleut lagi, dan semoga ngaleutnya ke UPI! ahahahaha aamiin banget <3
0 notes
Photo
Kunjungan survei #GunungPuntang hari ini mampir ke salah satu pusat perkopian di Puntang yang sedang penuh harapan, memeriksa jejak² Stasiun #RadioMalabar, dan main air gunung yang dingin menyegarkan, eh bikin menggigil juga ketang. . #Puntang #Malabar #Cigeureuh #KomunitasAleut #Ngaleut
0 notes