#nama anak perempuan dari jerman beserta artinya
Explore tagged Tumblr posts
tanyanamabayi · 5 years ago
Text
Nama Bayi Perempuan Jerman Dengan Artinya Yang Terbagus
Nama Bayi Perempuan Jerman Dengan Artinya Yang Terbagus
Tumblr media
Nama Bayi Perempuan Jerman – tanyanama.com. Tahukah Ayah/Bunda bahwa saat memilih nama bayi pasti akan mengalami kesulitan. Karenanya memberikan nama bayi tidak bisa dianggap mudah lho. Sebab, kini sudah banyak artikel nama-nama bayi yang beraneka macam.
Contohnya saja nama bayi perempuan jerman yang punya makna baik dengan kesan paling keren. Dengan adanya hal tersebut, maka nama-namanya ini…
View On WordPress
0 notes
anakperempuannet · 4 years ago
Text
Nama Bayi Perempuan Jerman 3 Kata Yang Paling Modern
Nama Bayi Perempuan Jerman 3 Kata Yang Paling Modern
Nama Bayi Perempuan Jerman 3 Kata – namaanakperempuan.net. Setiap anak pasti ingin mendapat kehidupan yang baik serta indah. Nah untuk mendukung hal baik tersebut, sebagai orang tua kita diwajibkan memberikan nama bermakna positif. Seperti misalnya rangkaian nama bayi perempuan jerman 3 kata beserta artinya. Dimana pilihan nama ini sedang jadi trend masa kini. Bukan cuman itu, nama-nama anak…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bayusagara2019 · 5 years ago
Text
Kumpulan Nama Bayi Keren! Dari berbagai bahasa dan negara.
Ternyata banyak nama lokal yang mempunyai persamaan dengan bahasa/negara luar. Misal nama Rita, Nina, ida dan banyak nama lainnya. Rita (Yunani) berarti mutiara. Nina (Spanyol) berarti anak perempuan. Ida (Jerman) berarti bahagia. Apakah hanya kebetulan mirip atau memang nama tersebut adalah nama serapan. Entahlah. Penasaran? Coba aja dilihat daftarnya di tautan bawah. Atau sedang nyari inspirasi untuk nama bayi anda baik laki-laki atau perempuan dari berbagai bahasa dan negara beserta artinya? https://bundelanilmu.blogspot.com/2019/11/nama-bayi-laki-laki-dan-perempuan-dari.html Silahkan dibuka tautannya. Kali aja ada yang cocok. Selamat membaca.
0 notes
diskusikamissore · 6 years ago
Text
Virtual Presentee-ism: Warta Amatir Media Daring dan Lahirnya Netizen
Oleh: Waluyo Rohmanuddin (Nama Samaran)
Tumblr media
Sumber: http://www.statepress.com/article/2016/02/news-quiz-feb-16
SEJAK ombak besar tsunami meluluhlantakkan rumah dinas pamanku beserta keluarganya pada tahun 2004 lalu dan akhirnya mereka berhasil terselamatkan berkat informasi dari berita di televisi yang dengan cepat sampai di ruang tamu keluargaku, aku berjanji akan menghargai informasi sebesar dan dalam bentuk apapun dengan kebesaran hatiku yang luhur. Sebagai bukti nyata dari komitmenku itu, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ini aku melakukan kajian dan riset terkait beredarnya informasi di era digital ini. Apapun, dimanapun, dan dalam bentuk apapun itu. Hasilnya, kini aku mengantongi 34.571 halaman jurnal yang ku kerjakan dengan tangan dan jerih payahku. Aku merangkumnya menjadi 986 halaman sebagai disertasi untuk gelar doktor di Queens College, City University of New York yang terkenal akan studi medianya. 
Di sela penantianku akan penilaian yang ketat dari universitas yang memang terkenal sampai ke negeri rempah ini, teman kecilku sejak sekolah dasar Almer, menghubungiku dan berbasa-basi busuk mengenai perjalanan studiku di negeri Paman Sam itu. Kau tahu, Almer sangat mengidolakan Paman Sam (meski ia hanya tokoh fiktif propaganda Amerika untuk menjaring pemuda-pemuda pengangguran ke medan peperangan). Belakangan aku baru tahu alasannya; Ia sangat jengkel dan memusuhi tokoh fiktif propaganda milik Britania Raya. Setelah hampir tiga puluh menit percakapan dihabiskan dengan basa-basi busuk, ujung-ujungnya Ia memintaku mendiskusikan disertasi yang sedang ku tunggu hasil penilaiannya itu–padahal lulus juga belum tentu.
Entah setan apa yang lewat berbisik, aku dengan reflek mengiyakan tawaran itu. Dan bangsat, malam yang harusnya ku gunakan untuk mencari kebahagiaan virtual dengan menembak-nembaki payudara bergelambir yang berlarian di Sanhok itu, harus rela ku habiskan dengan membaca dan merangkum ulang disertasiku menjadi sekiranya 63 halaman—agar teman-teman forum diskusi Almer yang bahkan belum S1 itu tidak kelojotan membacanya.
Baru tiga belas kata terketik, pecah keributan kira-kira lima langkah dari jendela ruang kerjaku. Belasan warga sedang asyik memukuli seorang nabi palsu. Dari balik jendela, nampak beberapa bapak-bapak yang biasa ku lihat sedang main gaplek di pangkalan ojek pada ujung jalan gang Kikir—satu-satunya jalan dari pusat Kabupaten Temanggung menuju kediamanku. Ada tiga punggawa ormas Islam yang memakai pakaian serba putih, adapula menantu pak RT. Semuanya ikut memukuli, kecuali empat orang anak-anak berusia sekitar sepuluh tahun yang hanya menyumbang ludah busuk bekas mengunyah telor gulung dan ibu-ibu yang berkumpul dengan sorot mata keheranan tapi mulut bergosip.
Aku yang sedikit panik serta penasaran segera meraih baju yang tergantung di balik pintu kamar dan keluar rumah berniat menyambangi kerumunan itu. Rupanya sang nabi palsu sudah disirami Pertalite yang dijual di toko kelontong mbah Jum. “Wes lah bakar ndang, ra sah kesuwen!” teriak salah seorang punggawa ormas yang kira-kira artinya seperti ini: “sudahlah cepat bakar saja, jangan kelamaan!”. Lantas teriakan itu disahuti kerumunan dengan sorakan “bakar! bakar! bakar! bakar!”.
Dari ibu-ibu yang bergosip aku mendengar bahwa Ia diringkus di kediamannya dan ditinggal kabur oleh sekitar delapan belas orang jemaatnya. Belakangan aku mengetahui bahwa dengan bermodalkan rambut wajah yang hitam pekat serta lebat dan janggut yang panjangnya hampir menyentuh lubang udel. Ia mengaku bahwa dirinya merupakan cucu kandung nabi ummat Islam yang terakhir, Muhammad SAW. Ia berujar bahwa sang nabi ketika menerima wahyu pertamanya di gua Hiro, menyempatkan diri beranak-pinak dan dengan mukjizatnya membuat keturunannya itu tidur hingga hampir seribu lima ratus tahun lamanya. Ketika terbangun, anak nabi itu entah dengan cara apa pergi berdagang ke pulau Jawa dan menikahi seorang pedagang mebel asal Semarang. Dan dari liang kewanitaan perempuan itu, Ia dilahirkan. “Gendheng.” ucap seorang Ibu yang menceritakannya kepadaku. Ketika api disulut, kerumunan dan beberapa orang yang menepi karena penasaran segera merogoh kantong dan hampir semuanya mengeluarkan telepon genggam buatan Cina dan berdesak-desakan merekam sang nabi palsu yang dilahap api. “Viralkan, lur! viralkan” teriak orang-orang di kerumunan tersebut.
Belum setengah menit api itu berkobar, puluhan karung goni basah dilemparkan ke tubuh sang nabi palsu. Lemparan itu berasal dari tangan-tangan santri Gus Hanan, seorang ulama toleran yang cukup disegani di Kabupaten Temanggung. “Astaghfirullah, gendeng kabeh!” ucap Gus Hanan dengan sorot benar-benar marah bercampur kecewa. “Iki yo manusia to?” lanjutnya. Aku tak mendengar apa yang selanjutnya dikatakan oleh Gus Hanan karena para santrinya sibuk mengusiri warga yang berkerumun dan ibu-ibu gosip di dekatku juga ribut berbicara satu sama lain dan beberapa diantaranya memarahi anak-anaknya yang baru kembali dari kerumunan. Seketika kerumunan terpecah-pecah dan bubar menghilang satu persatu. Ibu-ibu tetap saja bergosip. 
Anjing. Aku baru teringat kembali bahwa aku sedang merangkum disertasiku yang akan menjadi bahan diskusi di Rawamangun pada Kamis lusa. 
Aku membeli tiket kereta ke stasiun Jatinegara dan dijadwalkan berangkat pukul tujuh pagi nanti. Artinya, aku punya waktu tujuh jam mengerjakan rangkuman ini, tentunya tanpa tidur. Ini akan sulit tapi aku sudah terbiasa bekerja dengan waktu yang mepet, sekiranya begitulah budaya belajar orang Asia di negeri-negeri adidaya. Saat melanjutkan rangkumanku, untuk sekadar mencari masukan-masukan penting aku membuka laman facebook dan melihat kembali jejak komentar pembimbing disertasi, kerabat-kerabat akademik serta chat tanpa lelah Siswanto, promotor beasiswaku yang terus mengingatkan bahwa aku di New York bukan untuk main-main. 
Wedus. Ya menurutmu sepanjang tahun ini kerjaku menjinakkan kuda nil?
Baru saja laman home terbuka, di urutan feeds paling atas, temanku Neno yang kini menempuh studi Ekonomi Syariah di UIN Jakarta membagikan ulang postingan berisi video nabi palsu yang tadi dibakar warga dengan beberapa kalimat keterangan bertuliskan “Inilah akibat mengaku nabi. Belum mati saja sudah dapat azab dari Allah. Inikah tanda bahwa kita berada pada zaman dan pemimpin yang kafir? Naudzubillah. #2019GantiPresiden”.
“Bangsat, kok cepat sekali.” ucapku. Lagipula apa hubungannya dengan presiden? Entah si nabi palsu atau siapa yang gendeng. Sampai aku melihat itu, postingan tersebut sudah dibagikan oleh empat ratus ribu orang lebih. Sableng. Tapi dengan melihat itu, aku jadi teringat kira-kira sebulan lalu ada video suporter klub sepakbola asal Jakarta yang dikeroyok habis bobotoh, suporter klub sepakbola Bandung. Bahkan nyawanya tak disisakan. Dan belum sebulan berlalu, beredar rekaman amatir yang dengan nekatnya merekam musibah tsunami di Palu dan Donggala. Minatku langsung berubah dan mencoba menelusuri data-data risetku yang membahas bagaimana hal seperti itu justru jadi dilomba-lombakan oleh orang-orang dan mengapa hal tersebut sangat cepat beredar di dunia maya.
Temuan pertamaku setelah sibuk membulak-balik halaman data risetku merupakan lansiran riset data Statista (kanal daring riset statistik asal Jerman), yang memperkirakan terdapat 2,5 miliar pengguna smartphone di seluruh dunia tahun ini. Sayang aku sekarang menganggur dan masih miskin untuk mengakses kembali hasil riset berbayar itu. Smartphone melekat pada si pemiliknya hampir tiap saat, bahkan saat tidur. Didukung dengan fitur kamera yang mudah dioperasikan dan koneksi internet, rekaman-rekaman amatir makin sering muncul di dunia maya.
Lanjut mencari, aku mendapatkan potongan kuliah Stuart Jeffries (intelektual asal London, beberapa bukunya diterbitkan Verso) yang menyatakan bahwa “Smartphone sangat portabel dibandingkan kamera atau perangkat apapun, dan paling penting, smartphone menawarkan koneksi internet, ini adalah kunci bagi lahirnya fenomena yang saya sebut 'virtual presentee-ism'.” Virtual presentee-ism, yang disebut Jeffries, merupakan fenomena tentang tersebarnya pengalaman seorang perekam peristiwa pada khalayak luas. Ia merekam karena ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia ada di lokasi saat suatu kejadian terjadi. Bila disangkutpautkan, bisa saja aku kembali membaca teori hyperreality dari Jean Baudrillard. Tapi akan memakan waktu untuk mengetiknya. Lagipula kalian pasti tahu hal itu: ketika kenyataan dalam layar terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Jadi mereka merasa share dan like sebagai validasi masyarakat dalam kehidupan mayanya—terasa nyata.
Data risetku yang entah ku kerjakan di bagian mana Brooklyn tetapi tertulis “29 Juni 2017” disitu, menyatakan bahwa ada faktor budaya yang mempengaruhi ini. Beberapa diantaranya adalah faktor iliterasi dan keminiman-upaya penyaringan informasi, ditambah-tambah algoritma sosial media yang makin menjadi-jadi gilanya mempengaruhi mekanisme kognisi individu manusia era digital. Ingin makan apa saja kita mengandalkan algoritma. Kalau tak salah pernyataan ini juga dipengaruhi pidato kebudayaan Roby Muhammad di Taman Ismail Marzuki tahun lalu. Aku akan coba menontonnya lagi di Youtube.
BANGSAT. Akibat menonton video pidato kebudayaan, Aku jadi terseret-seret rekomendasi video Youtube, mulai dari kuliah-kuliah online, anak yang diazab menjadi ikan pari, tragedi petasan jumbo pemalang, hingga kata-kata mutiara Tony Blank ku tonton sampai lupa ini sudah pukul enam dan sudah pasti aku tertinggal kereta ke Jakarta. Tapir kontet, mau bilang apa aku pada Almer.
------
BARUSAN aku menghubungi Almer dan Ia bilang mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi aking. Hal ini mau tak mau akan menjadi urusannya—mungkin juga teman-temannya yang lebih percaya diri. Dan aku, mau tak mau harus menyaksikan saja dari Temanggung sini, menjadi intelektual sombong–tapi masih miskin dengan karyanya yang tebal bukan main dan kelak akan menjadi hasil studi paling berpengaruh bagi generasi Z–yang karyanya didiskusikan oleh mahasiswa-mahasiswa yang konon suka mabuk setelah berdiskusi. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mudah-mudahan setidaknya, walau diakhiri dengan mabuk-mabukan, karyaku bisa didiskusikan dengan cukup khidmat.
0 notes