#nama anak perempuan 2 suku kata bahasa islami
Explore tagged Tumblr posts
Text
45 Nama Bayi Perempuan Islami 2 Suku Kata, Simpel Dan Bermakna
45 Nama Bayi Perempuan Islami 2 Suku Kata, Simpel Dan Bermakna
Nama Bayi Perempuan Islami 2 Suku Kata – namaanakperempuan.net. Di zaman modern ini, semua orang tua bisa mendapatkan ide nama bayi dari berbagai sumber terpercaya. Termasuk dari situs ini, Mama/Papa akan menemukan pilihan nama terkini yang mengandung sejuta makna baik. Yakni nama bayi perempuan islami 2 suku kata. Dengan pemberian nama ini kami harap bisa menjadi salah satu cara Anda untuk…
View On WordPress
#nama anak perempuan 2 suku kata bahasa islami#nama anak perempuan islami 2 suku kata#nama bayi perempuan dalam islam 2 suku kata#nama perempuan dua kata bernuansa islami#rangkaian nama bayi perempuan islami 2 suku kata
0 notes
Text
sekuat karma
Kuat. Itu namaku. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakakku yang pertama, perempuan, berjarak 7 tahun dariku bernama Siti Nurhayati. Seorang perempuan yang diharapkan menjadi cahaya di kehidupannya. Kakakku kedua, laki-laki, beda 5 tahun dariku bernama Fajar Prasetyo. Lelaki yang lahir di waktu fajar, yang penuh rasa setia.
Kuat. Sekali lagi Kuat, itu namaku. Simpel, sederhana, tegas dan tentunya kuat. Dari ejaannya saja sudah ketahuan artinya. Konon ibu sering sakit-sakitan ketika mengandungku selama hampir 10 bulan. Sehingga pas lahir, Bapak berinisatif memberikan nama Kuat.
“Itulah ibumu. Kuat menahan rasa sakit selama berbulan-bulan,” cerita Bapak ketika kutanya asal muasal namaku. Kalau nggak salah waktu itu ada tugas SD perihal arti nama diri.
Aiiih... sungguh besar rasa sayang Bapak pada Ibu.
“Eh, tapi Pak... kalau ibu kuat selama hamil aku trus aku lahir dengan selamat harusnya namaku Slamet dong pak, bukan Kuat,” aku mulai protes.
“Yowis... apa namamu mau diganti Slamet?” tanya Bapak santai.
Ya ampun Pak. Ya nggak gitu-gitu amat kali ya.. Kenapa dulu Bapak nggak kepikiran sebuah nama yang agak kerenan dikit. Masak kalah keren sama namanya mbak Siti atau Mas Fajar. Apalagi kalau dibandingkan dengan nama-nama temen sepermainan.
Meskipun kami tinggal di kampung, untuk urusan nama, orang tua kami tidak main-main. Dari yang nama Islami, penuh wawasan kebangsaan, kebarat-baratan semua ada. Sebutlah nama temen-temenku. Bambang Purnomo, kutebak mungkin lahirnya pas bulan lagi penuh bercahaya. Oriza Sativa, anak seorang penyuluh pertanian yang mungkin sehari-harinya berkutat dengan tanaman berbulir dan memperlakukannya seperti anak sendiri. Atau Syaiful Hadi, yang mungkin bapaknya sedikit kecewa karena berharap anaknya gagah berani, ternyata penakutnya minta ampun. Atau Cecep Mulyanto. Karena bapaknya ngefans dengan sosok Gorbachev, tapi demi mengakomodir suku si ibu, jadilah nama blasteran. Sunda-Jawa.
“Oiya pak, Kenapa namaku cuma Kuat?” tanyaku suatu saat. Masih sedikit bernada protes.
“Emang kenapa? Kurang bagus?” Bapak balik bertanya.
“Bagus sih Pak... Cuma kurang panjang,” kataku lagi. Toh dari kami bertiga hanya aku yang punya nama satu kata.
“Ooo... jadi kurang panjang tho?” Kalau di tambah kata cukup piye? Mau?” tanya Bapak lagi
“Maksud Bapak?”
“Ya itu namamu jadi Cukup Kuat. Mau?? Ahh... tapi nanggung artinya,” jawab Bapak sambil terkekeh.
Aku mencoba mencerna. Masak jadi Cukup Kuat sih. Apa kek yang agak kerenan dan up to date gitu. Kuat Pribadi, Wahyu Hidayat Kuat, Agus Susilo Kuat, Kuat Ahmad. Eh...ntar dieja Kuat Amat juga sama temen-temen.
“Buu... ini anakmu pengen namanya dipanjangin,” teriak Bapak membuyarkan rupa-rupa pilihan kata di otakku.
Ibu yang sedang di dapur tak lama menjawab,”Kuuuuaaaaatttt... sini bantu ibu nyuci piring. Tuhh dah dipanjangin namanya. Lebih dari 4 harokat.”
Bapak dan kedua kakakku sontak tertawa. Renyah sekali. Makin tertawa ketika melihat aku mulai berdiri dan bersungut-sungut ke arah dapur.
Akhirnya kuputuskan untuk kuat menerima nama Kuat. Nggak usah banyak protes kalau tiada artinya. Tetap saja tidak mengubah namamu menjadi Aliando atau Ferguso, pikirku.
***
Itu baru masalah nama. Belum masalah panggilan. Percuma namamu Agus tapi panggilanmu Gendut karena bodimu terlalu sehat. Nama Bambang Adi mendadak menjadi Bambang Gentolet. Bukan tampangnya yang mirip almarhum salah satu personil Srimulat itu. Bukan juga karena tingkahnya yang lucu seperti almarhum. Tapi ya begitulah suka-suka saja kasih tambahan nama. Atau nama Pipit. Mungil seperti burung pipit malah dipanggil pitpitan (sepedaan). Untung bukan merk sepeda yang jadi panggilannya. Poligon, United, Wimcycle, Brompton.
Namaku Kuat. Bukan lebih terkenal dengan nama Sangat Kuat atau Kuat Amat. Anak-anak tetangga sering memanggil dengan nama Kawat. Jauh api dari panggang. Jauh dekat tetap dipanggil Kawat. Wat...wat... menjadi familiar dengan Wat..wat... Kawat. Untung bukan cawat.
Kawat itu nama panggilan di temen-temen kampung. Ketika masuk SMP, panggilanku bertambah lagi. Makin kekinian dan kebarat-baratan. Maikel? Bukan. David? Bukan.
Ceritanya bermula di sini. Di kelas bahasa Inggris.
“Okey guys. Please introduce your self,” kata Bu Eni, Ibu guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Ini pertemuan pertama di kelas 1 SMP. Jaman itu, pelajaran bahasa Inggris baru diberikan di level SMP. Jadi macam aku yang kemampuan bahasanya terbatas, belajar bahasa asing hanya ada 2 kemungkinan, menjadi tertantang atau makin dipantang.
“Sekarang kamu yang duduk di ujung?” tunjuk Bu Guru sambil mengarahkan jari telunjuknya ke tempang duduk paling pojok belakang.
Aku yang sedang menyusun kata per kata mendadak kaget. Bujubuneng. Kenapa nunjuknya ngacak sih Bu?, protesku dalam hati.
Kuambil posisi terbaikku. Dan...
“My name is Strong. I have one brother and one sister,” kataku dengan rasa percaya diri luar biasa. Suara sedikit ngebass ditambah aksen yang rada cadel. Dibuat-buat.
Kelas diam sejenak. Dan sepersepuluh detik kemudian meledaklah tawa seisi kelas. Kecuali Bu Guru tentunya, yang masih sibuk mencari nama Strong di daftar absen.
Tapi jangan dikira panggilan Strong ini kebarat-baratan. Namanya lidah kampung. Strong pun menjadi Setrong. Sekali lagi Seeeeetrooong, Hedeuh.
Entah karena bercanda atau cuma ikut-ikutan, bapak, ibu dan kedua kakakku seolah latah dengan panggilanku. Ada di suatu masa memanggil nama Kawat, tetapi tak jarang nama Setrong yang terlontar. Awalnya aku pengen protes lagi, ahh... tapi biarlah. Itu hanya nama panggilan. Di akte lahir, di ijazah toh masih tertulis nama Kuat. Ya Kuat saja.
***
Nyatanya nama Kuat benarlah memberi kekuatan. Dari ketiga anak Bapak, akulah yang jarang sakit. Paling banter masuk angin atau keseleo. Kalau sekedar lecet, panu, gatal digigit serangga itu sudah jadi makanan harianku. Mbak Siti kalau kena debu sedikit saja langsung alerginya kumat. Bersin-bersin sepanjang hari. Mas Fajar beda lagi. Tiap makan yang berprotein tinggi sebangsa telur dan ikan laut langsung keluar kaligatanya. Tapi justru telur adalah lauk favoritnya. Kebayang kan? demi rasa kangen dengan gurihnya telur, pernah kupergokin dia makan telur ceplok tengah malam dengan sebutir antihistamin di samping gelas minumnya.
Urusan olahraga, aku adalah andalan kampung dan sekolah. Aku masuk di tim inti setiap ada pertandingan, entah tanding sepakbola, voli sampai lari. Dibandingkan dengan kedua kakakku, yang lebih menyukai pelajaran yang menguras otak, aku lebih memilih yang mengandalkan otot. Prinsipku, otot kawat balung wesi. Sing jenenge kuat, kudu hepi. Karena urusan otot ini pula, aku sering mendapatkan tugas sebagai seksi keamanan atau kebersihan tiap kali kampung menggelar acara besar. Gak papalah yang penting semua bisa mengambil peran, jangan hanya bisa baperan saja.
Tapi untuk urusan kemauan, aku yang paling keras diantara kedua kakakku. Jika A mauku, aku akan berusaha mendapatkannya. Aku tak gampang dirayu.
***
Kesukaanku pada sepakbola, bola voli, basket telah mengantarkan usaha dan jodoh yang tidak jauh-jauh dari dunia olahraga. Kini aku telah menikah dengan 2 anak.
Yang besar laki-laki, kuberi nama Muhammad Haikal, sekarang sudah masuk kelas 2 SD. Karena rambutnya ikal, aku suka memanggilnya dengan nama Kriwul. Yang kedua, cewek umur 4 tahun. Adinda Putri. Pipinya yang seperti bakpao dan badannya yang gemuk, membuatku lebih sering memanggilnya Ndut.
***
Aku berdiri di depan sebuah bangunan baru. Ini adalah toko baruku. Toko Sepeda Kuat. Jika selama ini aku sukses bergerak di jual beli alat olahraga, kali ini aku mencoba peruntungan dengan membuka toko sepeda. Entah karena keberuntungan atau faktor lain, seolah nama Kuat menjadi jaminan untuk nama sebuah usaha.
Aku sedang mengamati para tukang yang sedang mengecat ruangan dalam toko. Sepeda roda 4 dengan pengendara mungil bertumbuh gemuk hilir mudik sepanjang ruangan.
“Adek, mainnya di halaman ya? Kasian kan pak tukangnya nggak bisa konsentrasi.” pintaku.
“Siap Pak!” katanya sambil berlalu.
Tapi tak lama kemudian, dia balik lagi.
“Dik Ndut.. bisa mainya di luar aja ya?” kataku lagi.
“Oke-okey,” kataya. Meski dari ujung mata kulihat dia seperti tidak iklas menjawabnya.
Betul juga. Rasanya baru mulut ini terkatup.. dia sudah masuk lagi ke ruangan dengan gaya ngepotnya.
“Adiikkkk Nduuuuutt.. ?” kataku dengan nada sedikit naik.
Dia sedikit kaget dan sambil cengengesan dia pun menjawab dengan berteriak lantang,”Baiklah Pak Setrongggggggg. Adik main di luar aja.”
Para tukang yang mendengar celingukan. Mungkin mencari pak Setrong.
Seperti dejavu. Memoriku kembali ke masa-masa antara Kuat, Kawat dan Setrong.
NB : Ini hasil dari Kelas Menulis Cerita Lucu. Mau diikutkan antologi tapi belum pede... Alamak. Cerita ini kadar kelucuannya minimalis. Mungkin kalau bercerita akan menjadi lebih lucu. Tapi pas ditulis kenapa agak garing.
5 notes
·
View notes
Text
...and this is my story.
Beberapa tahun terakhir, sering muncul perdebatan “Muslim dilarang mengucapkan Selamat Natal”. Setiap orang punya argumennya masing-masing yang sangat aku hargai, but personally that’s a really weird notion for me. Walaupun Muslim, waktu SD-SMP, aku terbiasa ikut acara Natal karena setiap akhir tahun ada panggung seni dan makan bersama teman-teman sekelas. Bahkan pernah ikut juga lomba paduan suara lagu-lagu Natal. Kalau bagi umat Nasrani, Natal berarti spiritualitas dan selebrasi kelahiran Yesus Kristus ataupun sebagainya. Untukku Natal menjadi simbol kekeluargaan dan kehangatan. Artinya bahwa setiap orang bisa menempelkan makna-makna tersendiri untuk hal-hal yang ia temui dan alami. Mungkin aja mereka yang mengecam keras mengucapkan Selamat Natal atau pensuasanaan Natal di mal, tapi ikut juga nunggu diskon Natal di department store. That’s a really mainstream joke, but my point is ada ribuan makna yang bisa ditempel ke satu simbol yang sama, berdasarkan pengalaman kita masing-masing.
Aku lahir tahun 1997 di Jakarta dari ayah keturunan Minang dan ibu keturunan Jawa. Usiaku baru 7 bulan ketika ayah harus meninggalkan dunia. Singkat cerita, Bunda menikah lagi waktu aku berusia 2 tahun—kebetulan dengan yang keturunan Minang juga (yang selanjutnya akan aku tulis sebagai Ayah), dan dari sana aku punya 3 adik. Terlahir dalam keluarga Muslim, aku justru mengeyam pendidikan SD dan SMP di salah satu sekolah Katolik di Jakarta. Ketika aku tanya alasannya ke Bunda, katanya waktu itu pertimbangannya adalah sekolah Muslim yang bagus terlalu mahal dan eksklusif, sedangkan di sekolahku itu siswa dan siswi dari berbagai latar belakang ekonomi dan agama sama-sama bisa memiliki kesempatan. Lingkungan yang inklusif dirasa bisa memberi pelajaran hidup kepada anak-anak, dibandingkan sekolah hanya untuk hal-hal akademis saja.
Kebetulan Bunda dulu juga sekolah di sekolah Kristen dari SD sampai SMP. Setahunya, pada masa itu memang sekolah Kristen dan Katolik lebih bagus dan lebih tinggi rangkingnya dibandingkan sekolah negeri atau Islam. Karena itu juga, lebih dari 50% teman-teman sekolahnya juga beragama Islam. Dilansir dari Tirto.id, sejarahnya memang sekolah modern pertama di Nusantara adalah sekolah Kristen dari masa penjajahan Belanda dulu1. Mendengar cerita Bunda mungkin anggapan tentang sekolah Kristen lebih memadai tersebut masih terasa hingga tahun 1970-1980-an sebelum semakin banyak pilihan sekolah yang sama-sama bagus seperti saat ini.
Belajar dari pengalaman waktu kecil, menurut Bunda, tidak perlu khawatir belajar di sekolah non-Muslim, karena belajar agama Islam pun bisa di rumah. Makanya, aku juga mengalami setiap akhir pekan ada guru mengaji yang dipanggil untuk datang ke rumah. Kebetulan di sekolahku tidak menyediakan kelas khusus agama Islam ataupun agama lain selain Kristiani, yang menurutku bukan masalah. Toh, mempelajari agama lain, bukan berarti otomatis jadi pindah agama kan? Dengan belajar agama yang berbeda di rumah dan di sekolah justru membantuku lebih memahami. Kurang lebih setiap agama mengajarkan hal yang sama, seperti kebaikan, kejujuran, kedamaian, hanya saja dalam penyampaiannya ada bagian atau versi cerita yang berbeda, seperti nama sebutan, peristiwa yang diempasis, hingga bahasa yang membentuk kepercayaan tertentu. Tapi itu semua saling terhubung, like a puzzle you get to make sense of. Aku juga senang aja mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang diadakan sekolah—ikut duduk diam mengamati misa Ekaristi sebulan sekali dan ikut retret di mana nilai-nilai yang diajarkan menurutku mudah dicerna oleh siapa saja penganut agama apapun, misalnya persahabatan, sayang orang tua, dan sebagainya.
Sebaliknya, ketika aku harus puasa di antara teman-teman yang mayoritas tidak puasa, saat itu menjadi kebanggaan tersendiri. Teman-teman suka nanya, “kamu beneran kuat puasa full? kenapa gak setengah hari aja?” apalagi kalau hari itu sedang jadwal olah raga dan aku masih belum memutuskan untuk batal puasa. Mereka cukup menghargai kok, sesederhana bilang maaf sebelum makan dan minum di depanku. Lingkunganku saat itu cukup accepting, tidak pernah ada pengalaman aneh-aneh tentang bullying atau kebencian agama. Ada beberapa teman lainnya juga Muslim maupun beragama Hindu dan Buddha, and we’re all friends. Sama seperti ada juga yang Katolik dan Protestan, and we’re all friends. Ketika jelang libur hari besar keagamaan masing-masing, saling mengucapkan selamat.
Saat SMA, aku memang sudah bertekad ke SMA negeri karena beberapa alasan, dan di sana beda banget. Walaupun istilahnya kembali ke agama sendiri, di SMA justru aku sempat merasakan culture shock. Waktu itu terasa sekolah negeri yang sangat Islami karena setiap pagi harus Tadarusan, setiap siang digiring ke masjid buat shalat Dzuhur, dan setiap hari Jumat perempuan Muslim wajib pakai kerudung. Kalau dipikir-pikir itu hal yang harusnya sudah biasa, tapi konteks yang berbeda membuatku butuh waktu untuk menyesuaikan. Pas bulan puasa, jam belajar jadi lebih cepat dan jam pelajaran olah raga di dalam kelas aja (enak juga ya...). Lalu, setiap hari pertama masuk sekolah setelah hari besar agama Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha, dll juga ada salaman massal di lapangan sekolah. Buatku pribadi, saat SMA jadi terdorong untuk mengejar banyak ketinggalan dan belajar banyak tentang Islam, which I’m super grateful for.
Adik laki-lakiku yang beda 3 tahun denganku punya pengalaman yang sedikit berbeda. Dia sama-sama lanjut di SMA negeri setelah 9 tahun di sekolah Katolik, beda dengan adik perempuanku masih lanjut di salah satu SMA swasta Katolik dan adikku yang terakhir langsung lanjut ke sekolah negeri sejak SMP. Buatnya, masa SMA jadi turning point—sama-sama mengejar ketinggalan ilmu tentang agama Islam, banyak cara pandangnya yang berubah tentang berbagai hal sehari-hari, termasuk memegang keyakinan bahwa tidak boleh ikut merayakan perayaan agama lain atau sekedar mengucap selamat Natal. Bukan berarti menyesali yang sudah lalu, pelajaran hidup tentang keberagaman tetap jadi satu hal penting yang didapat dari pengalaman selama di SD/SMP, tapi menurutnya pada akhirnya kita harus kembali ke agama sendiri. Dia senang bisa punya banyak guru dan teman-teman yang bisa diajak ngobrol seputar Islam, dan sudah beberapa kali belakangan mencoba ikut kajian di masjid untuk memperdalam ilmu.
Ceritaku tentang perbedaan agama tidak hanya di sekolah, tapi juga di keluarga sendiri. Waktu usia 11 tahun, Ayah dan Bunda memutuskan untuk pisah, dan aku dan adik-adik tinggal bersama Bunda. Fast forward, Ayah menikah lagi dengan Tante, yang kebetulan beragama Katolik. Dari mereka, aku punya 3 adik lagi yang juga beragama Katolik. Memasuki tahun kelima pernikahan, Ayah memutuskan untuk secara resmi pindah agama ke Katolik, dan perlu diperhatikan kalau keputusan itu bukan karena alasan pernikahan tetapi perjalanan batin pribadi.
Aku ikut hadir ketika adik-adik dan Ayah dibaptis di gereja. Selama dua tahun terakhir aku datang ke rumah mereka setiap Natal dan ikut dapat kado juga. Kalau misalnya ada anggapan, “kok gak menghargai sih? udah tau Islam” Aku bisa-bisa saja menolak kok, tapi menurutku acara-acara keagamaan tertentu bisa saja bermakna lain—dalam hal ini, keluarga. Family first, at least for me. Membuat anggota keluarga lain senang dengan sekedar hadir makes me happy too. Dengan diundang ke acara-acara keluarga/keagamaan seperti itu, aku sama sekali tidak melihatnya sebagai upaya Kristenisasi atau apalah, tapi ya acara keluarga.
Dalam pernikahan sekalipun, misalnya, Ayah cerita kalau waktu sebelum pindah ke Katolik, komunikasi yang terjadi di rumah dengan Tante seputar hal-hal yang universal aja, termasuk tentang Tuhan pun dengan pemahaman masing-masing. Tidak ada percakapan yang menjurus ke mengajak ikut agama tertentu. hanya ngobrol human-to-human. Ayah punya satu kaos favorit yang tulisannya “God has no religion”. Bagi Ayah, agama hanyalah cara untuk menemukan kedamaian dengan Tuhan, dan itu butuh proses. Dalam perjalanannya, Ayah sempat jadi Muslim garis keras, pernah juga belajar ajaran Buddha, sampai akhirnya memilih kedamaian yang didapat dari ajaran Yesus Kristus.
That’s a keyword right there: journey. Perjalanan. All of the things I went through, the places I stopped by, and the people I made memories with made the person I am today. Satu kata kunci lagi: proses. Ada istilah intercultural personhood dari Young Yun Kim diartikan proses individual dalam membangun identitas yang terpengaruh dari berbagai faktor2. Walaupun istilah tersebut seringkali disinonimkan dengan third culture yakni ketika seseorang dibesarkan di lingkungan yang berbeda dengan asal kota atau negaranya, menurutku intercultural personhood bisa juga berarti proses apapun yang dilalui oleh seseorang untuk membangun dirinya sendiri. Seperti dalam Intercultural Personhood and Identity Negotiation yang mengkonsepsikan intercultural personhood seperti intercultural identity, yang mana merupakan pencampuran antara identitas individu dan kolektif, sekaligus ada proses universalisasi di dalamnya3.
Ketika sempat mengobrol seputar masalah-masalah intoleransi di Jakarta, Indonesia, hingga dunia, kata memahami sering sekali disebut sehingga bisa dikatakan sebagai titik awal dari toleransi dan multikulturalisme. Seringkali kejadian-kejadian yang merendahkan suku, ras, dan/atau agama berakar dari tidak paham dan tidak mau paham dan berakhir pada memaksakan kehendak. Cerita dari Ayah dan Tante seputar sulitnya izin pembangunan gereja di suatu daerah di Jakarta Selatan, lalu pernah juga dipersulit ketika mau renovasi rumah Pastur karena warga menganggap nanti akan dipakai untuk ibadah. Lantas, apa bedanya dengan pengajian yang suka diadakan di rumah?
Karena sempat dibesarkan dengan ajaran Islam, Ayah merasa dalam menanggapi kasus-kasus serupa jadi lebih mengerti dan berempati. Misalnya, teman-temannya yang Nasrani marah dengan tindakan-tindakan ormas-ormas Islam yang merendahkan Kristus, buat Ayah seharusnya kembali lagi mengingat ajaran kasih sayang mutlak dari Kristus. Jangankan dengan orang Muslim, kadang dengan sesama orang Nasrani pun sering ada multiinterpretasi tentang ajaran tertentu, tapi pada akhirnya bagaimana kita menjalankannya adalah keputusan individu. Cara lain yang Ayah lakukan adalah dengan tidak share apapun yang berbau hate speech ke media sosial, karena ia merasakan empati yang sama untuk orang yang koar-koar merendahkan agama lain dengan mereka yang merasakan betapa sulitnya bangun gereja. Lingkungan di mana dan bagaimana kita dibesarkan tidak bisa dipungkiri memang menjadi faktor penting dalam membangun siapa sekarang, misal Tante yang dari kecil terbiasa punya anggota keluarga dengan agama yang beragam, maupun cerita Bunda, aku, dan adik-adikku yang terpapar banyak keberagaman.
Agama pun hanya satu bagian dari identitas seseorang. Belum lagi suku dan keturunan, etnis, kewarganegaraan, hingga kosmopolitanisme yang semuanya memberikan nilai-nilai yang berbeda. Waktu aku tanya tentang cultural clashes antara Jawa-Minang di lingkungan rumah, kuatnya kekeluargaan jadi hal yang paling sering disebut sebagai nilai utama dari suku Minang. Dilihat dari hal-hal sehari-hari seperti Ayah yang terbiasa untuk selalu in touch dengan keluarga setiap hari sampai fenomena-fenomena ‘unik’ di keluarga besar. Kalau kata Bunda yang keturunan Jawa, di keluarga Ayah hal sekecil apapun selalu diomongin bersama, termasuk komentar-komentar dari sanak saudara waktu Ayah dan Bunda memasukkan aku dan adik-adikku ke sekolah non-Muslim. Adikku mengalami sendiri waktu Lebaran beberapa kali pernah ditanya dan dinasihati kakek-nenek om-tante dari keluarga besar. Apalagi waktu tersebar kabar Ayah sudah resmi pindah agama, ada kemarahan dan kekecewaan— yang sebenarnya punya latar belakang kultural-historis, mengingat budaya suku Minang yang sangat terkait erat dengan ke-Melayu-an dan ke-Islam-an juga4. Untuk orang awam mungkin annoying, tapi ketika kita melihat konteksnya, kita lebih bisa memahami.
Kembali berbicara soal multikulturalisme, setelah memahami, datanglah jangan memaksakan kehendak. It’s the least that we can do knowing that difference is inevitable, and it’s not impossible to reach a settlement by the end of the day. Biarlah setiap individu menikmati perjalanannya masing-masing. Sadar kalau kita berbeda itu pasti, dan memahami pun bukan berarti harus mengikuti. Memahami adalah mau mendengar cerita orang lain—kisah hidupnya dan alasan-alasan di balik pilihannya yang bisa jadi pemikiran individu, pengaruh institusi seperti agama, pendidikan, media massa, dsb, ajaran budaya, atau perpaduan semuanya. Seperti kamu yang sudah membaca ceritaku sampai selesai, terima kasih banyak and hope to hear your story soon!
- Zhafira Athifah Sandi
References and Further Readings:
1Matanasi, P. 2017. Sekolah Modern Pertama di Nusantara adalah Sekolah Kristen. Tirto.id [link]
2Jackson, R.L. 2010. Encyclopedia of Identity: Volume I. SAGE Publications. [link]
3Dai, Xiao-Dong. 2009. Intercultural Personhood and Identity Negotiation. China Media Research. [link]
4Abdullah, Taufik. 1966. Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia no. 2. [link]
3 notes
·
View notes