#merancangketahanantanah
Explore tagged Tumblr posts
Photo
Cerobong asap Jebor Mulia Abadi, Desa Balida, Majalengka Kabarnya cerobong akan dirobohkan oleh pemiliknya. Alasannya sederhana, karena cerobong sudah tidak digunakan lagi dan berpotensi menghasilkan uang dari hasil penjualan batu bata yang didapat dari dirobohkannya cerobong asap. Bata dari cerobong asap banyak diburu orang karena kualitasnya jauh lebih baik daripada batu bata yang umum dijual pada masa sekarang. Cerobong ini masih terhitung muda, baru dibangun pada tahun 1996. Setidaknya masih ada 31 tahun lagi dia layak diusulkan sebagai Cagar Budaya. Mungkin si pemilik berpikir lebih baik merobohkannya sekarang sebelum dia semakin lama semakin sayang untuk dirobohkan. Untuk kasus-kasus seperti ini saya hanya bisa berharap pada pemilik cerobong untuk tetap memelihara cerobong asap mereka hingga layak diusulkan sebagai Cagar Budaya. 50 tahun itu mungkin lama bila harus menunggu, tapi siapa yang sangka kalau kebudayaan genteng di Jatiwangi sudah berjalan lebih dari satu abad #merancangketahanantanah #tahuntanah2015 #cerobongasap #chimney #percole #caricaricerobongasap #cagarbudayajatiwangi #jatiwangi #majalengka #gosippercole #gosipcerobongasap #gosipjebor
#merancangketahanantanah#tahuntanah2015#cagarbudayajatiwangi#jatiwangi#jatiwangiartfactory#cerobongasap#chimney#caricaricerobong
0 notes
Video
instagram
One of the best from the first batch of 12! #JATIWANGIcup #bodybuilding #competition #TahunTanah2015 #theearthyear2015 #MerancangKetahananTanah
1 note
·
View note
Video
youtube
0 notes
Text
Kejadian Seni, Seni Kejadian: Lomba Binaraga antar Jebor
Scroll down for English
Ke-12 finalis lomba binaraga antar jebor yang memperebutkan piala bergilir JATIWANGI CUP bersama aparat pemerintahan Kab. Majalengka, Jawa Barat. (Foto oleh Pandu Rahadian.)
Selasa (11/08) lalu, di bawah teriknya matahari Jatiwangi yang tak kenal angin, empat-ratusan orang dari setidaknya 22 pabrik genteng (jebor) berkumpul di Jebor Super Fajar. Hampir semuanya sibuk bertepuk tangan dan bersorak sembari tergelak namun gelisah. Mereka adalah pemilik dan pekerja jebor setempat yang mengirimkan salah satu atau dua pekerjanya untuk ikut memperebutkan piala bergilir JATIWANGI CUP, Lomba Binaraga antar Jebor.
Di hadapan tungku yang sehari-harinya digunakan untuk membakar 11,000 genteng, ada sebuah panggung kecil dan pengeras suara seadanya. Biasanya, kawasan ini harum kayu bakar dan tanah yang sedang atau baru dibakar. Kali ini, yang santer adalah bau minyak bayi (baby oil). Untuk mengunjukkan kelebihannya, para pekerja jebor yang indah lekuk tubuh dan kekar ototnya tak kalah dengan binaragawan itu membalur tubuhnya dengan minyak itu.
Di balik meja penilaian, hadir Bripka Irawati Fitria Cahya Rini dari Kanit. Provos Polsek Argapura; Anang Sumarna S.Pd dari Komite Olah Raga Nasional; Loranita Theo Soemantri dari Jatiwangi art Factory (JaF); Arif Ruhyat dari Jebor Mutiara; dan Revi Dian S.Si.T MMKes dari Dinas Kesehatan Kab. Majalengka. Kelima dewan juri ini diminta oleh direktur Museum Genteng Jatiwangi (Museum Genteng) Ila Syukrillah Syarief untuk menilai berdasarkan bidang mereka masing-masing. Kata Syarief, “Ini ajang silaturahmi orang-orang jebor, bukan lomba binaraga sungguhan. Museum Genteng ingin menggencarkan kegiatan yang meningkatkan apresiasi kita semua terhadap pilihan bekerja di jebor, pada genteng, pada kenyataan bahwa kita punya tradisi membuat genteng yang sudah lebih dari seabad…”
Perhelatan perdana Lomba Binaraga antar Jebor ini mencanangkan JATIWANGI CUP sebagai piala bergilir. Ini adalah cita-cita sekaligus janji Museum Genteng untuk menjaga dinamika kehidupan pergentengan. Semenjak wacana bebas pajak antar negara anggota ASEAN 2007 lalu, pabrik-pabrik garmen multinasional mulai bermunculan di Jatiwangi. Jebor pun kehilangan antusiasme pekerja.
Yang muda, tak merasa keren bekerja di jebor. Yang tanggung, terlanjur disekolahkan macam-macam oleh orang-tuanya, lalu menjadi pegawai orang di kota lain. Yang tua kehabisan akal lalu mulai menjual lahan-lahannya. Sayangnya lagi, suburnya pabrik multinasional di kawasan ini tak dilengkapi perangkat yang melindungi kaum pekerja. Sampai-sampai _kuncen _Jakarta Basuki Thahaja Purnama pun mengancam para pengusaha yang tidak tertib di kawasannya begini, “[…] kalau enggak mampu bayar pekerja ya pindah saja ke Majalengka,“ (Kompas, 05/01).
“Kita harus bangga bahwa genteng Jatiwangi itu ikut menaungi kebesaran bangsa Indonesia! Dari mana lagi genteng zaman itu kalau bukan dari Jatiwangi,” ujar salah satu pendiri JaF Arief Yudi Rahman sebelum perlombaan di mulai yang diikuti gemuruh tepuk tangan hadirin. “Pabrik garmen bisa ada di mana saja. Kita bukan dan enggak mau jadi Cikarang. Bagaimanapun juga, Jatiwangi punya tradisi yang usaha genteng yang panjang dan sampai sekarang masih jadi tempat belajar tempat-tempat lain. Genteng itu identitas kita! Terima kasih kepada pemilik dan pekerja jebor karena Anda semualah yang membuat kekhasan Jatiwangi.”
Apanya yang seni dari semua ini? Apakah nanti ketika sudah jadi foto yang dicetak di atas alumunium atau kotak neon lalu dipajang dengan penataan lampu yang dramatis lalu ia baru jadi seni? Atau ketika ia dipadatkan menjadi video kerumunan orang dan gemuruh tepuk tangan yang dinyalakan sensor ketika orang mendekati instalasi yang berupaya mengulang si panggung di hadapan tungku? Rasanya seni tidak harus terbatas pada pengalaman-pengalaman artistik yang demikian. Keindahan bisa jadi cikal bakal kebenaran, kata Friedrich Schiller (1759-1805). Tak perlu dipelintir dalam kejadian ini.
“Begitu dilulur minyak, badan jadi pada mengkilap, lekuk otot dan uratnya jadi jelas, langsung semangat ingin pamer badan sendiri juga,” kata Adi Suandi kontestan dari Jebor Dua Saudara di belakang panggung. Sesuatu yang berasal dari pekerjaan sehari-hari, berubah jadi kebanggaan, jadi sesuatu yang bisa dipamerkan, dibagikan kepada orang lain. Alih-alih tanpa latihan pun panggung menjadi semarak. Para penonton yang adalah keluarga kontestan ataupun sesama pekerja jebor ikut semangat melihat handai taulannya tampil dengan penuh percaya diri dan kebanggaan. Gemuruh tepuk tangan membesar saat pose terakhir meminta para kontestan bergaya mengangkat genteng.
Keindahan dari kehidupan sehari-hari bukan wacana baru dalam seni rupa kontemporer. Keindahan berbasis kebenaran pun bukan. “Olah raga tradisional Jatiwangi ini ikut meramaikan rangkaian HUT RI ke-70,” kata pembawa berita Metro TV (13/08). Apakah ia sedang mengatakan kebenaran bahwa binaraga jebor ini adalah olah raga tradisional? Atau ia sedang mendukung misi Museum Genteng dalam menciptakan kebenaran ini? Jawabannya tidak begitu penting. Kenyataannya, si pencetus ide lomba binaraga Julian Abraham dicegat Mang Juned di perempatan eks Pabrik Gula Jatiwangi yang kini menjadi Jatiwangi Square. Tadinya bekerja di jebor, Mang Juned yang sekarang menarik becak itu mengeluh, “Jebor *** enggak mau, sih, daftarkan saya. Kalau mau, mah, juara tiga saja, sih, dapat ya, bang…”
Lomba binaraga antar jebor sudah kejadian. Ia benar-benar berlangsung dengan segala dinamika dan riuh-rendahnya. Apakah JATIWANGI CUP benar-benar akan menjadi piala bergilir? Saya yakin iya.
Jatisura, 15 Agustus
Grace
Foto kegiatan bisa dilihat di sini: https://www.flickr.com/photos/sambohgrace/galleries/72157657458931481/
Art Events, Events of Art: Body-building competitions between Factories
Last Tuesday (11/08), under the rays of the Jatiwangi sun that knows no breeze, 400 people from at least 22 roof-tile factories (called ‘jebor’) gathered at Jebor Super Fajar. Almost all of them were clapping, cheering and chuckling, although they were on edge. They were local factory owners and workers who had sent one or two of their workers to join the competition for the JATIWANGI CUP, a body-building competition between factories.
In front of the kiln that is used daily to fire 11,000 tiles, there was a small stage and a simple loud speaker. Usually, this area carries the scent of wood smoke and clay that is, or has just been, firing. This time, the scent of baby oil prevails. To show off their best side, the beautiful curves and muscles of these factory workers are no less well-oiled than those of professional body-builders.
Behind the judge’s table are seated Brigadier Police Chief Irawati Fitria; Cahya Rini from the Unit Head; the Argapura Police Sector Provost; Anang Sumarna BA Ed. from the National Sports Committee; Loranita Theo Soemantri from Jatiwangi Art Factory (JaF); Arif Ruhyat from the Mutiara Jebor and; Revi Dian BA Sci, MHlthMgmt from the Regency Health Office. Majalengka. These five jurors were invited by the director of the Jatiwangi Roof-Tile Museum Ila Syukrillah Syarief to make their judgements based on their individual fields. Syarief said,”This is a gathering of factory people, not a real body-building contest. The Roof-Tile Museum is holding events that raise our appreciation of the choice to work in a roof-tile factory, of tiles, of the reality that we have had this tradition of making tiles for over a hundred years…”
The main event of the Body-building competition between Jebor launched the JATIWANGI CUP as the perpetual trophy. This is the aspiration and promise of the Roof-Tile Museum, to preserve the dynamics of the lifestyle around roof-tiles. Since the tax-free agreements between ASEAN member nations in 2007, multi-national garment factories have begun to appear in Jatiwangi. The tile factories have lost their appeal to workers.
The young are no longer interested in working in tile factories. Those who are able to send their children off for more training, and then they become office workers in other towns. The elderly are beginning to sell off their land. Unfortunately, the wealth of the multi-national factories in the area does not extend to providing proper protection for their workers. Jakarta's caretaker Basuki Thahaja Purnama even threatened unruly companies: “…if you can’t afford to pay workers then move to Majalengka,” (Kompas, 05/01)
"We should be proud that Jatiwangi roof-tiles have sheltered most Indonesians!" Where else did tiles come from back then if not from Jatiwangi?” said JaF founder Arief Yudi Rahman before the competition began followed by the enthusiastic applause of the audience. “Garment factories can set up anywhere. We aren't and we won’t become Cikarang. In any case, Jatiwangi has a long tradition of roof-tile factories, which are where other places come to learn. Roof-tiles are our identity! Our thanks to the factory owners and workers, because you are what makes Jatiwangi unique.”
Where is the art in all of this? Will it only become art when it’s a photograph printed on aluminium or a neon box, and is displayed with dramatic lighting? Or when it is turned into a video of a crowd of people clapping their hands, activated by a sensor when people approach an installation that mimics the stage in front of the kiln? Art needn't be limited to these kinds of artistic experiences. Beauty can precede truth, according to Friedrich Schiller (1759-1805). There needn’t be any manoeuvring to achieve this.
“When it’s oiled, the body glows, the curves and muscles become clear and you immediately want to show off your own body," said Adi Suandi, a contestant from Dua Saudara Jebor, backstage. Something that comes out of daily work turns into a source of pride, to be displayed and shared with others. Even without rehearsals, the stage was lively. The audience - family and colleagues of the contestants – were pleased to see their relatives and colleagues appear, full of confidence and pride. Thunderous applause followed the final pose in which contestants held a tile aloft.
The beauty of everyday life is not a new discourse in contemporary art. Neither is beauty based on truth. “This traditional Jatiwangi sport is featured during celebrations of the 70th Anniversary of Indonesia's independence” said the newsreader for Metro TV (13/08). Is it true to say that roof-tile factory body-building is a traditional sport? Or was that a show of support for the Roof-tile Museum’s effort to create this truth? The answer is not really important. In reality, the first to suggest a body-building competition was Julian Abraham, when he ran into Mang Juned at the intersection of the former Jatiwangi Sugar Factory, now Jatiwangi Square. A former tile factory worker, Mang Juned now operates a trishaw, and complained that, "such-and-such factory won't let me register. Even if I only got third place to, I’d get it (the job) bro…”
The beauty of everyday life is not a new discourse in contemporary art. Neither is beauty based on truth. “This traditional Jatiwangi sport is featured during celebrations of the 70th Anniversary of Indonesia's independence” said the newsreader for Metro TV (13/08). Is it true to say that roof-tile factory body-building is a traditional sport? Or was that a show of support for the Roof-tile Museum’s effort to create this truth? The answer is not really important. In reality, the first to suggest a body-building competition was Julian Abraham, when he ran into Mang Juned at the intersection of the former Jatiwangi Sugar Factory, now Jatiwangi Square. A former tile factory worker, Mang Juned now operates a trishaw, and complained that, "such-and-such factory won't let me register. Even if I only got third place to, I’d get it (the job) bro…”
The inter-factory body-building competition was set. It took place with all the usual highs and lows. Will the JATIWANGI CUP really be a perpetual trophy? I’m sure it will.
***
Grace Samboh, is a fine art curator who was engaged in the Year of Soil 2015 at the Jatiwangi Art Factory (Majalengka, West Java)
Photographic information: The 12 finalist for the body-building competition between roof-tile factories, competing for a perpetual trophy, the JATIWANGI CUP with officials from the Majalengka Regency Government, West Java (photo by Pandu Rahadian)
0 notes
Video
youtube
Tepung tanah adalah bentuk lain dari usaha mengangkat harkat martabat tanah. Proyek ini dikerjakan oleh Julian Abraham ‘Togar’ bersama Illa Syukrilah Syarief yang fokus pada produksi tepung tanah; Arie Syarifuddin yang merancang logo, kemasan, dan pemasaran; serta Ginggi Syarief Hasyim untuk uji coba bahan dengan membuat makanan.
Dalam senarai #TahunTanah 2015, upaya besar kami adalah mengangkat harkat dan martabat tanah Jatiwangi (baik sebagai bahan maupun lahan) dalam percepatan perkembangan dunia dengan orientasi ekonomi dan budaya.
Julian Abraham ‘Togar’ menginisiasi Tepung Tanah sebagai salah satu produk dalam proyek "Merancang Ketahanan Tanah” yang berorientasi pada kerja artistik pengelolaan tanah menjadi produk-produk berbahan tanah baik secara gagasan maupun fisik.
Arie Syariffudin dan kecintaannya pada rancang grafis memusatkan perhatiannya para proyek “True Type Food” yang mengarah pada produksi makanan berbasis kelokalan bahan sekaligus tipografi sebagai identitas visual wilayah.
Ginggi Syarief Hasyim yang menjabat sebagai Kepala Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi (periode 2008-2015) adalah penghubung utama antara aspirasi masyarakat setempat dan cita-cita para pekerja seni yang mondar-mandir JaF.
Illa Syurillah Syarief menginisiasi Musem Genteng Jatiwangi bergerak bersama praktisi genteng (pekerja maupun pemilik pabrik genteng) untuk perlahan mengumpulkan dan mencatat data serta fakta terkait pergentengan ini.
#makantanah#merancangketahanantanah#tepungtanah#tahuntanah2015#theearthyear2015#foodfromsoil#foodfromdirt#dirtfood#soilfood#geophagy#dirtmacaroon#soilmacaroon#jatiwangi#JatiwangiArtFactory
0 notes