#mengerler
Explore tagged Tumblr posts
lylactulips · 1 year ago
Text
Tumblr media
"Selamat ulangtahun, Suguru!" ucapku.
Kamu cuma senyum tipis tapi aku bisa lihat kalau mata kamu ikut tersenyum. Katamu, kue coklat buatanku ini enak, kadar manisnya tepat sasaran dengan toleransi gulamu.
Pasti sahabat aku suka, katamu lagi setelah makan dua potong kue coklatku. Dan aku cuma bisa senyum pahit, kamu lagi-lagi bahas sahabat sekolahmu itu.
Lalu kamu terkekeh geli, waktu aku tanya, kamu jawab kalau kamu lupa sebut daftar harapan untuk awal tahun ini. Tapi aku udah gak bisa harapin apa-apa, gumammu sembari makan potongan kue coklat yang ketiga.
Aku cuma mendesis, aku bilang kalau aku merapal banyak harapan khusus buat kamu sewaktu aku bikin kue ulangtahun. Ternyata kamu enggan cari tahu apa saja rapalan doa yang aku ucap bagai mantra itu, kamu malah sibuk menikmati kuenya sambil senyum-senyum.
Kayaknya Tuhan nggak akan denger doaku, ucapmu lagi, kali ini fokus matamu penuh di aku. Alasanmu: karena kamu udah melahap hampir separuh kue ulangtahun itu.
Kamu lanjut kata-katamu, aku nggak pantas bikin harapan-harapan ke Tuhan.
Sewaktu aku tanya, kamu lagi-lagi menjawab dengan senyum, yang sialnya selalu bikin pipiku hangat tiap melihatnya. Tuhan nggak sepicik itu, elakku.
Terus aku lihat bola matamu mengerling indah, kamu bilang kalau dosamu terlalu banyak dan berat, Tuhan pasti malas mengampunimu.
Aku cuma bisa mengendikkan bahu, kamu terlalu ikut campur urusan Tuhan, responku.
Lagi-lagi, kamu tersenyum bodoh, bikin aku bertanya-tanya dalam hati, apa alasan kamu sering senyum-senyum begini. Lalu kamu tanya lagi, jadi Tuhan bakal maafin aku setelah banyak mencederai ciptaan-Nya?
Akhirnya aku cuma bisa terkekeh geli, mungkin Tuhan nggak akan memaafkan kamu begitu aja, tapi Tuhan paham alasanmu berubah menjadi begini.
5 notes · View notes
babyawacs · 3 months ago
Text
i s h i t o ny o u so ican runanother18years aftermy likeimaginarywifethen whileyour cockroaches rape molest damamge erase arbritrarily mengerle leec hloot whattheywant but youcan gladly compassionme on a walkby carrying insufficient chow like mule inthe raid i s h i t on you ‎ youcan still feel less bad thanme whenever i watch a porn once a year then
i s h i t o ny o u so ican runanother18years aftermy likeimaginarywifethen whileyour cockroaches rape molest damamge erase arbritrarily mengerle leechloot whattheywant but youcan gladly compassionme on a walkby carrying insufficient chow like mule inthe raid i s h i t on you youcan still feel less bad thanme whenever i watch a porn once a year then I am Christian KISS BabyAWACS – Raw Independent…
0 notes
reveriescope · 2 years ago
Text
am i really safe?
Tumblr media
Related works here
Bae Yubin as Pingkan Radita Kaunang. Joshua Hong as Agah Martana Kaunang.
Special Appearance: Choi Seungcheol as Clinton, Xu Minghao as Paris.
Special Mention: Yoon Jeonghan as Arial. Kim Mingyu as Nicholas. Jung Chaeyeon as Arabella Alamsyah.
Sejak lama Pingkan berpikir rasa aman adalah ilusi, atau sekadar cara untuk lari. 
===
Ada sebuah rumah kaca di salah satu sudut taman kediaman keluarga Kaunang. Sebuah ruang penuh rasa aman ciptaan Pingkan sendiri. 
Sudah jadi impian mendiang kedua orang tua Agah dan Pingkan memiliki rumah dengan halaman belakang luas. Alhasil, kini kedua saudara itu tinggal di sebuah rumah megah dengan halaman belakang berupa arena golf lengkap dengan danaunya.
Rumah kaca selalu menjadi tempat spesial untuk Pingkan. Terutama sejak kedua orangtuanya berpulang. Sebagaimana kemegahan rumah ditinggalkan untuk dua bersaudara ini, rahasia besar juga bersarang di sana. Pingkan terlalu punya banyak minat untuk tidak memahami apa yang ditanam pada bagian paling dalam rumah kaca.
Opium.
Meski tidak pernah dibicarakan secara langsung, ia langsung tahu ketika pertama kali melihat karakteristik tanaman yang tumbuh rimbun jauh dari pintu masuk. Pula, Pingkan tidak pernah bertanya hanya belajar dari buku-buku yang dipetakan oleh Anthony Kaunang.
Sepeninggal papa, Pingkan masih merawat tanaman kesayangan sang empunya meski tidak pernah digunakan. Meski begitu, Pingkan tahu cara mengolah tanaman-tanaman yang ada di sana. Bukan hanya opium, beberapa menanam tumbuhan beracun rupanya juga menjadi hobi sang ayah. 
Rumah kaca dikelilingi kolam alami di sekitarnya, Pingkan meminta dibuatkan teras kecil di salah satu sisinya yang menghadap kolam teratai. Di sana lah Pingkan Radita Kaunang menenangkan sarafnya.
Sambil menyesap teh peppermint, Pingkan menanti kakak laki-lakinya dengan sabar. Karena kebetulan cuaca sedang bagus dan tidak banyak kegiatan hari itu, Pingkan membawa sejilid buku dan meminta pelayan rumahnya menyediakan satu set afternoon tea. Lengkap dengan scones yang sudah hampir habis. 
Sengaja Pingkan menyisakan roti lapis untuk Agah. Perempuan itu tahu kakaknya terlalu sibuk untuk memperhatikan makanan, atau memang tidak peduli. 
Pingkan meletakkan cangkir tehnya ke atas tatakan saat mendengar langkah kaki semakin mendekat. Benar saja, Agah lantas muncul dengan rentetan keluhan kepada Pingkan.
“HP lo nggak guna ya, Dik,” komentar Agah. 
“Tadi gue udah bales kalau mau ngomongin ini langsung,” jawab Pingkan sebelum meletakkan roti lapis daging asap dan coleslaw ke atas piring Agah. “Lo mau teh peppermint atau barley, gue cuma bawa itu. Kita bisa minta kalau lo mau yang lain.”
“Samain lo aja, tambah gula jangan lupa.” Agah menyandarkan punggungnya ke kursi sambil memejamkan mata sejenak. 
“Lo bisa mulai, by the way,” gumam Pingkan. 
Sembari adiknya meracik teh untuknya, Agah kembali membuka mata dan mulai mengutarakan maksudnya. 
“Ada yang minta dikenalin. Tapi gue baru akan jawab semisal lo setuju.”
“Temen lo?” Pingkan mengangkat alisnya.
Agah menerima cangkir seraya mengedikkan bahu. Ia mengerling ke arah adiknya saat menjawab, “Temen, nggak seakrab itu. Tapi gue selidiki lumayan juga.”
“Lo mau gue sama orang yang cuma ‘lumayan’?” tanya Pingkan diikuti gelak tawa.
“Gue mencoba berpikiran terbuka, dan lo juga bisa mulai lihat potensi lain.”
Pingkan menggeleng lalu menghela napas. “Kak Agah, lo bebas kasih kontak gue ke siapapun itu selama dia lebih dari Arial,” ujarnya. 
Tawa pun terdengar sebelum Agah menimpali, “...Kalo begitu lupain aja.”
Perempuan itu menyeringai kemudian mengurai sikap duduk tegak. “Gue sama Arial belum ada apa-apa tapi lo udah segitu khawatirnya,” ujarnya sebelum mengulas senyum kemenangan.
“Udahlah. Nggak usah berurusan sama orang-orang di Tim Arcs.” Agah separo mengeluh, selebihnya serius. 
“Selama ini Tim Arcs yang selalu memastikan gue nyaman. Harusnya nggak apa-apa.”
---
Ketakutan Agah sangat beralasan. Hari-hari liar di Amerika Serikat kala itu, sayangnya, amat berdarah.
Pingkan menyusul Agah dua tahun sejak kakaknya itu berangkat ke Princeton. Sumpah demi Tuhan, Pingkan hanya ingin belajar dan segera kembali ke Indonesia dan dekat dengan sahabatnya sejak sekolah dasar, Arabella. Namun sayangnya banyak hal terjadi di luar rencana.
Sumpah darah kakaknya dan kedua temannya sungguh konyol, pikir Pingkan. Karena itu semua, hari-hari Pingkan di Princeton selalu berada di bawah pengawasan. Sebenci apapun Pingkan beramah-tamah dengan pelajar Indonesia lain, ia tak pernah nyaman jika tiga pasang mata lain tertuju padanya acap kali terlibat interaksi dengan orang baru. Punya satu kakak macam Agah saja sudah menyesakkan, dua laki-laki yang lain juga sama rewelnya. 
Di antara kekangan kakaknya, Pingkan menemukan celah untuk sedikit bernapas. Terutama jika Agah menitipkan Pingkan di bawah pengawasan Paris atau Nicholas. Kedua con-artists itu tidak akan terlalu cerewet soal keselamatannya. Bahkan Pingkan juga mengenal Svana, kekasih Paris.
Atas pengaturannya dengan Paris dan Nicholas, Pingkan bisa pergi ke mana saja. 
Malapetaka pun dimulai sejak ia mendatangi acara kumpul-kumpul seorang teman, Isabelle Hasibuan. Kehadiran Pingkan kala itu mewujudkan mitos-mitos yang selama ini berporos pada namanya. Sekalinya muncul, Pingkan seketika menjadi makhluk eksotis yang menarik keingintahuan sekumpulan pelajar kaya dari Indonesia ini. 
Berkat hubungannya dengan Clinton dan Arial pula, Pingkan bisa seketika tahu siapa di antara mereka yang berafiliasi dengan si begundal Julius Wangsa. Kebetulan, Pingkan menjerat Romario Pangalila, seorang dari lingkar dalam pergaulan Jules yang entah bagaimana menjadi musuh abadi Clinton.
Meski bergelar “perawan suci” di antara teman-temannya, Pingkan cukup peka dengan gestur manusia. Terutama terkait mereka yang menaruh minat padanya.
“Agah ikut?” tanya Roma seraya menyerahkan sebotol bir, lalu duduk di sisi Pingkan. 
Sebagai jawaban, perempuan itu menggeleng dan menempelkan bibirnya pada mulut botol; membuat gerakan seolah sedang meneguk minuman di dalamnya. Sedetik saja, Pingkan merasakan jarak Roma pada tubuhnya kian dekat. 
“Kalian deket?” tanya Pingkan, bergeming di tempatnya ketika dada Roma menyentuh pundaknya. 
Roma mengangkat bahu kemudian menyeringai. “Sekadar kenal, kebetulan bar langganan kami sama,” jawabnya. 
“Aku jarang liat Kak Roma sama Kak Agah.”
Lekat, Roma mengamati Pingkan dari wajah kemudian turun pada tubuhnya yang erat dipeluk gaun musim panas. Meski sepanjang lutut, kain itu hanya menutupi tubuh pingkan bagian depan dan sedikit kakinya. Punggung Pingkan terbuka, dihiasi simpul-simpul dari gaunnya. Sedangkan mulusnya paha hingga betisnya ke bawah mengintip di balik katun berbobot ringan. 
Dipandangi demikian, Pingkan lantas menyilangkan kakinya. Sehingga mau tak mau pahanya saling tumpang tindih terlihat dari belahan roknya. 
“Agah nggak tahu kamu di sini, ya?” tebakan Roma lantas membuat Pingkan mengerjap. 
“Well..,” sebelah tangan Pingkan mendarat di atas paha Roma. “Apa bedanya ada kakakku atau nggak?” 
Sejurus kemudian, sebelah tangan Romario meraih tengkuk Pingkan. Tatapan mereka bersirobok, Pingkan seolah berada dalam cengkeraman pemangsa. Namun Pingkan tidak mudah terintimidasi dan justru mendekatkan wajahnya. 
“Kalau Kak Roma bersikeras ini lanjut, seseorang bisa rekam kita dan kirim ke kakakku. Kak Roma nggak mau kan di aku diseret orangnya Kak Agah pas kita belum selesai?” tanya perempuan itu tanpa terbata. 
Seringai tergambar di wajah Romario. “You’re such a lucky lass, aku cukup sabar sampai dapat menu utama.”
Meski mengulas senyum, Pingkan mengumpat dalam hati mendengar dirinya disamakan dengan kudapan. Romario serius menginginkan Pingkan, paling tidak untuk ditiduri Selebihnya, Pingkan enggan menerka. 
---
“Padahal Romario yang naksir lo waktu itu lumayan oke, Ping. Meskipun penilaian gue sebagai kakak lu tetep aja bias,” kenang Agah sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. 
“Kalau penilaian lo aja bias, gimana gue menerima orang itu?” balas Pingkan santai. 
Bibir Agah terkatup. Sudah pernah Pingkan ceritakan alasan Romario tidak bisa diterima begitu saja. Sesama keturunan Minahasa menurut Pingkan tidaklah cukup. Agah pun tahu, mendengar alasan Pingkan enggan berurusan lebih jauh. Pria itu berada di tengah kelompok yang gemar adu kuasa atas diri perempuan. 
Beberapa bulan setelah Pingkan selamat dari peristiwa penyekapan itu, ia berkata “Gue mau dijadiin Natyara kedua. Lo gila kalau membiarkan gue membiarkan orang seperti itu tetap hidup tenang.”
Tentu saja, Agah dibiarkan mempercayai apa yang sudah didengar dari mulut Pingkan. Upayanya membuat kakak laki-lakinya itu tidak lagi mengorek lebih dalam. Banyak bab ditutup paksa oleh Pingkan. Pikirnya, akan banyak orang terluka jika ia bicara kebenaran. Saat ini, membuat kehidupan orang-orang itu tidak tenang begitu mendengar namanya sudah cukup bagi Pingkan meski sebenarnya ia sangat ingin menghabisi orang yang menodainya.
“Lagian, kenapa gue dilarang sama Arial? Yang sumpah darah kan kalian, gue nggak termasuk. Nggak ada orang yang bener-bener bersih di dunia kita, tapi lo berharap gue dapat jodoh orang baik sama aja naif, tau nggak?” 
Agah mengerjapkan mata mendengar penuturan adiknya. Mengapa jadi ia yang disceramahi?
"Ngomong-ngomong, lo nggak perlu protes karena keamanan lo sekarang gue tambah. Lo beneran nggak boleh lepas dari pengawasan Banyu, paham?”
“Emang ada apa?” 
“Lo bisa tanya temen lo, Arabella. Calon tunangannya itu tiba-tiba penasaran sedekat apa kalian.”
---
Di antara Tritunggal Arctics, Pingkan paling nyaman berbicara dengan Clinton alih-alih kakak kandungnya sendiri. Sejak jam kerja Banyu ditambah dan pengamanan ditingkatkan, Pingkan bertanya-tanya mengapa kakaknya itu semakin protektif. Semua itu bermula sejak orang-orang kakaknya mulai mencurahkan perhatian pada Arabella yang semakin sulit ditemui sejak dikenalkan pada keluarga Wangsa.
Dari sang sahabat, Pingkan tahu sudah sejauh pada Nicholas mengintervensi perjodohan keluarga Alamsyah dan Wangsa. Mereka bisa jadi lebih jarang bersua, namun komunikasi antara kedua sahabat itu tidak terputus. 
Sementara Arabella disibukkan dengan urusan keluarga dan masa depannya, Pingkan menghabiskan lebih banyak waktu di laboratorium Arctics. Jauh di pulau yang letaknya disembunyikan dari peta, Pingkan berkutat dengan senyawa-senyawa kimia yang bisa diubah menjadi zat lain. 
Sore itu kebetulan Clinton berkunjung ke pulau markas dan Pingkan menjeda pekerjaan di laboratorium. Dari sekadar bercakap-cakap mengenai kemungkinan produksi obat tanpa harus diimpor dari Hong Kong, obrolan itu berubah menjadi sederet keluhan Pingkan atas keputusan Agah. 
“Buat Agah kayaknya nggak ada hal yang penting selain lo,” komentar Clinton usai mendengar repetan Pingkan. 
“Kamu gitu juga, Ko?” tanya Pingkan, masih bersungut-sungut. 
Alih-alih menjawab, Clinton tergelak, “Respons lo persis kayak Cissy pula. Ngomel-ngomel terus kalau diawasi.”
“Ish, malah diketawain.” Pingkan memutar bola matanya. 
“Gue yakin satu hal. Agah bakal gila kalau sesuatu terjadi sama lo. Lo pasti udah tau my sister’s infamous affair, kan?”
Perempuan itu terdiam sejenak sebelum mengambil napas dalam. “It was killing you,” gumam Pingkan. 
“Toh gue bukan satu-satunya orang yang akan gila kalau saudara perempuan mereka celaka. Agah begitu, Arial begitu, kami semua tumbuh sama perempuan. Termasuk sumpah darah, kami ingin melindungi kalian dari orang seperti ini, dari dunia ini," ujar Clinton panjang lebar.
Pingkan tersenyum, dagunya tersandar pada teralis tempat mereka bisa memandang Laut Utara Pulau Jawa. Obrolan ringan sore ini dilakukan di balkon kafetaria yang menghadap lautan. Angin sore yang cukup kencang membuat Pingkan menyingkirkan beberapa helai rambutnya yang bandel.
"Orang-orang seperti kalian juga manusia," komentarnya. "Aku nggak tahu dunia di luar ini. Setiap hari, nyawaku, kehormatanku terancam. Kayaknya udah terlambat buat hidup normal."
Clinton mendaratkan tangan di atas kepala Pingkan lalu mengusapnya. Bagaimana pun juga, adik Agah ini sudah seperti adiknya sendiri. Selain kakak dan adik perempuannya, Clinton melihat sendiri bagaimana Pingkan sama terancamnya hanya karena berhubungan darah dengan salah satu dari mereka. Semua itu karena Pingkan dianggap berbahaya seperti perempuan-perempuan di hidup mereka bertiga.
"Pingkan, lo nggak mungkin dilindungi segitunya kalau nggak punya potensi besar. Persoalan lo bukan lagi semata-mata karena hak istimewa. Kira-kira lo juga udah paham kenapa kita mau Arabella berpihak ke kita daripada masuk ke sarang penyamun itu. Be good, life your fullest, nanti gue bantu biar kakak lo itu sedikit lebih relaks." 
Senyum Pingkan semakin lebar, "Makasih Koko." 
"Satu lagi," jeda Clinton.
"Apa?" Pingkan membelalak penasaran.
"Gue nggak paham seperti apa hubungan lo sama Arial. Kalau Arial sayang sama lo, nggak akan ada yang bikin dia berhenti. Sekalipun itu gue atau Agah,” ucap Clinton seraya menarik tangannya dari kepala Pingkan.
“I don’t wanna think about it at the moment,” aku Pingkan. 
“Udahan? Jadi sia-sia dong sekap Arial waktu itu?”
“Ko, jangan buat gue mikir ulang…” 
---
Pekan demi pekan berlalu sejak Pingkan mengobrol dengan Clinton di balkon kantin markas Arctis. Kini perempuan itu terdampar di Hotel Earls Regency Kandy, bersama dengan Paris. Niatnya menyusul Arabella yang kabur ke Sri Lanka membuat Pingkan urung menyusul di kota yang sama dengan sang sahabat. 
Alhasil, Pingkan dan Paris mengambil kereta dari Colombo ke Kandy. Setelah debat yang cukup panjang, Paris dan Pingkan memesan satu kamar dan merencanakan perjalanan dadakan. Argumen Paris cukup kuat, Pingkan diikuti oleh orang-orang Julius Wangsa sehingga mereka harus memberikan kesan berlibur berdua untuk mengaburkan keberadaan Arabella. 
Tak cukup dibuat tidak tenang oleh orang suruhan Julius Wangsa, Pingkan menemukan surat kaleng yang diselipkan dari bawah pintu saat ia ditinggal di kamar hotel seorang diri. Walaupun banyak kejutan telah dialami Pingkan sepanjang hidup, surat kaleng tidak pernah gagal membuat bulu kuduknya meremang. 
Secarik kertas di tangan Pingkan itu perlahan-lahan dibuka lipatannya. Apa yang tertulis di sana sontak membuat tubuh Pingkan lunglai, terduduk di tepi ranjang. 
Long time no see, PingPing.  Thank you for taking care of our BELOVED Paris.  - Yours, S. 
Terakhir kali Pingkan didera syok seperti ini adalah saat kedua orangtuanya terbunuh saat ia mewakili Indonesia dalam ajang Miss Universe di Thailand beberapa tahun silam. 
Tak membiarkan dirinya berlarut-larut dikuasai syok, Pingkan segera menyimpan surat itu di suatu tempat di dalam tasnya. Usai menenggak banyak air, perempuan itu berusaha mengatur emosinya. 
Pintu kamar dibuka, sosok Paris dengan bungkusan makanan pun muncul. 
“Pas gue pergi… aman?” tanya Paris sambil mengamati wajah Pingkan. 
Perempuan itu mengangguk sebagai jawaban, Pingkan menatap Paris dengan sorot mata tak terbaca. Saat menoleh ke arah balkon yang menghadap alam bebas, Pingkan kembali pada Paris. 
“Ris, inget waktu gue tendang selangkangan lo?” tanya Pingkan.
Setelah meletakkan bawaanya di atas meja, Paris mengambil tempat untuk duduk di kursi terdekat sebelum balik bertanya, “Inget, kenapa? Lo mikirin apa?”
“Semisal gue waktu itu kasih lo izin, lo beneran will take a chance?” 
“Perasaan gue nggak enak. Lo kenapa?”
“Jawab aja!” 
Setelah membuang napas pendek, Paris berkata, “Ya. Gue nggak bisa menyia-nyiakan pemandangan macem lukisan Konstantin Razumov.”
Pingkan terdiam sesaaat, isi kepalanya berkecamuk, berusaha menemukan cara menangani surat kaleng yang berusan ia terima. Sebelum tingkahnya menjadi kian mencurigakan, Pingkan bergumam, “I see.” 
– tbc.
1 note · View note
gemintangkala · 2 years ago
Text
Tumblr media
TW // Suicide.
Gemintang Sangkala, 5 tahun. (2008)
"Tuhan itu adil."
Kala kecil menoleh, menatap lelaki tua yang selalu ia panggil "Ayah" itu dengan tatapan bingungnya. Jemari kecilnya masih menggenggam sekop pasir yang sedari tadi ia gunakan, menimbun bangkai-bangkai ikan mas yang tempo hari mengambang di kolam ikan kecil miliknya.
"Adil itu apa, Ayah?"
Laki-laki itu kini tergelak, bingung harus menjawab pertanyaan anak laki-laki kecilnya. Tangannya kini mengelus lembut rambut kemerahan sang jaka.
"Tuhan itu memperlakukan semua hamba-Nya dengan sama, Kala." Ia mengerling ke arah gundukan pasir di depannya. "Ikan-ikan yang sudah kamu rawat ini, mereka bukan mati karena kesalahanmu. Tapi karena Tuhan itu adil. Mereka telah mencapai umurnya, batasnya untuk hidup. Sama halnya dengan manusia. Jika manusia telah mencapai batasnya, maka..." kalimatnya menggantung.
"Manusia juga akan mati, Ayah?" Mata Kala yang membulat itu sukses membuat lelaki paruh baya itu tersenyum.
"Iya, Kala. Ah, nggak usah dipikirkan. Kamu masih kecil, umurnya panjang."
Gemintang Sangkala, 9 tahun. (2012)
"Tuhan itu adil."
Kala sedang menangis, tangannya menggenggam jemari ayahnya yang berdiri tegak di sebelahnya. Matanya menatap nanar ingar bingar dan silaunya sirine mobil aparat yang tengah berkumpul di depan rumahnya.
Ia ketakutan. Kehadiran polisi adalah pertanda buruk.
"Ayah." Panggilnya, yang segera direspon oleh sang Ayah dengan menggendongnya.
"Ayah, ini ada apa? Kenapa ada polisi?"
Tangan sang Ayah kini mengelus punggungnya perlahan, memberikan kehangatan dan ketenangan untuk anak semata wayangnya itu.
"Sshhh. Nggak apa-apa. Mereka cuma memeriksa sesuatu, memastikan bahwa kita aman. Kamu aman, Kala. Tenang, ya?"
Si kecil Kala hanya mengangguk, membenamkan wajahnya ke bahu sang ayah, membasahinya dengan airmata ketakutan dan kewaspadaan.
Ia tak pernah menyadari, bahwa malam itu, adalah kali terakhir ia melihat ibunya menginjakkan kaki di rumahnya.
Gemintang Sangkala, 17 tahun. (2020)
"Tuhan itu adil.."
Sangkala baru saja memasuki rumah, ketika lamunan sang Ayah menyambutnya tanpa permisi. Untaian kalimat yang selalu ia ucapkan selama bertahun-tahun seakan menjadi mantra yang dapat memberikan ketenangan batin baginya. Kala menghela nafasnya pelan. Ia melewati begitu saja sosok sang Ayah yang masih menatapnya kosong, dengan bisikan-bisikan pujian serta keyakinan kepada Tuhan-nya yang tak pernah berhenti.
Bukan tanpa alasan Ayahnya selalu mengucapkan kalimat yang sama ketika sedang melamun. Sudah 8 tahun semenjak Ibu diringkus, dipenjara atas tuduhan korupsi yang dilayangkan oleh seorang pejabat negara dengan kuasa di atas langit. Sudah 7 tahun semenjak sang Ayah mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakwarasan yang membuat Kala kebingungan. Sudah 6 tahun semenjak ia mulai hidup mandiri dan merawat Ayah yang terkadang kehilangan kendali. Sudah 5 tahun semenjak ia menjadi dewasa dengan dini, dan sudah 4 tahun mendengar fakta bahwa ia memiliki seorang adik, yang lahir di penjara, tanpa tahu siapa Ayahnya.
Langkahnya kini menuju sebuah pintu yang dipenuhi coretan-coretan bunga matahari menggunakan crayon di atas cat yang mulai memudar. Ia membuka pintu itu, dan disambut dengan pelukan dari lengan kecil anak laki-laki yang sedang terisak.
"Angkasa? Kenapa? Kok nangis?" Kala mengelus puncak rambut sang adik, berusaha menenangkan anak kecil bernama Angkasa yang terlihat kesulitan menyusun kata-katanya.
"Ayah— hick. Tadi Aca— hikc. Dipukul Ayah... hikc."
Remaja itu langsung berlutut, mensejajarkan posisinya dengan sang adik.
"Angkasa habis ngapain? Kok dipukul?"
Tangan mungil Angkasa kini sibuk mengusap-usap matanya yang memerah, berusaha meredakan tangisnya.
"Aca— hikc. Aca lapar— hikc. Aca minta makan— hikc."
Kala kembali menghela nafasnya. Kini ia berdiri kembali, membawa sang Adik ke dalam gendongannya, sebelum melangkahkan kakinya ke dapur.
"Maafin Abang ya, Angkasa. Abang baru pulang sekolah. Sekarang makan sama Abang, ya?" Tutur katanya begitu halus, berusaha menenangkan Angkasa yang masih terisak. Laki-laki kecil yang berada di gendongannya itu pun mengangguk, lengan mungilnya kini melingkar di leher sang kakak.
"Abang... hikc. Ayah itu, nggak sayang Aca ya?"
Hatinya mencelos. Ia mengeratkan pelukannya pada sang Adik.
"Bukan, Angkasa. Ayah itu sayang sama kamu. Tapi, Ayah butuh waktu." Ia mengecup pipi adiknya sekilas. "Udah, nggak apa-apa ya? Yang penting, Abang sayang sama Angkasa. Ok?"
Angkasa kembali mengangguk. Jemari tangan kanannya kini bergerak, bersusah payah memberikan bentuk jempol kepada sang kakak.
"Ok."
Gemintang Sangkala, 18 tahun. (2021)
"Tuhan enggak adil."
Runtuh semua tembok pertahanan yang telah dibangun oleh Sangkala selama ini, tatkala lututnya menyentuh tanah-tanah cokelat setengah basah yang menjadi saksi akan tangis pilunya saat ini.
"Kalau Tuhan adil, Ibu nggak akan difitnah seperti ini."
Ia menggenggam sejumput tanah lalu melemparkannya asal, mencari-cari apapun yang dapat menjadi pelampiasan akan kesedihannya.
"Kalau Tuhan adil, Ibu nggak akan dipenjara."
Isak tangisnya sungguh pilu— membuat siapapun yang berada di sekitarnya dapat merasakan sesak yang membuncah di dada. Bagaimana remaja laki-laki itu meraung di depan makam ibunya— yang tadi malam, baru saja mengakhiri hidupnya.
"Ayah bohong. Tuhan enggak adil!" Matanya kini menajam, menatap sang Ayah yang berdiri di seberangnya. Raut bersalah, kesedihan, kemarahan, serta keputusasaan terlihat jelas di rona semu sang lelaki tua. Ia pun berduka. Ia pun menangis. Ia pun bersedih.
Tapi, tetap tidak ada yang mengalahkan kesedihan seorang Gemintang Sangkala, yang telah selesai membongkar semua dosa-dosa pelakon komedi pemerintah.
Gemintang Sangkala, 19 tahun. (2022)
"Tuhan enggak adil."
"Kenapa aku? Kenapa aku yang diberikan rasa sakit seperti ini? Kenapa aku dan keluargaku— yang hancur karena lidah tajam dari manusia-manusia yang tak punya harga diri?"
Tangannya menggenggam ponsel yang menampilkan sebuah artikel berusia 3 tahun— sudah 3 tahun, semenjak ia diam-diam mengetahui kabar yang beredar tentang Ayahnya. Kabar tentang sang Ayah yang memutuskan untuk menikah siri dengan wanita sewaannya tatkala sang Ibu sedang memperjuangkan keadilan di balik dinginnya jeruji besi.
Kabar yang sebenarnya... bohong.
Bahkan sang Ayah hanya keluar rumah untuk bekerja. Sisanya— dihabiskan untuk membisikkan sang mantra; Tuhan itu adil.
Kini hanya tatapan-tatapan jijik dan bisikan-bisikan sinis yang didapatkan oleh Kala dan Kasa ketika mereka pergi ke luar dari rumah; atau ketika sang Ayah berangkat kerja; atau ketika Kasa pulang dengan jejak air mata di pipi tembamnya.
"Tadi ada yang ngomong sama Kasa," anak laki-laki itu menarik sisa-sisa ingusnya, sebelum melanjutkan, "Kasa itu anak haram! Mama Kasa itu koruptor! Papa Kasa itu tukang selingkuh!"
"Terus, Angkasa jawab apa?"
Gelengan kecil didapat Sangkala. "Kasa diam saja. Banyak yang bilang seperti itu ke Kasa, jadi sepertinya, omongan mereka benar ya, Abang?"
Suara keras tiba-tiba terdengar dari lantai dua sesaat sebelum Sangkala menjawab pertanyaan sang Adik. Badannya tersentak, ia bergegas berdiri dan berlari menuju lantai dua, meninggalkan Angkasa yang kebingungan.
Perasaan Sangkala sangat tidak enak. Ia mendengar suara kursi. Kursi yang digeser dan terjatuh. Pikirannya berlari menuju hal-hal buruk yang sekalipun tidak ingin ia bayangkan. Tak peduli berapa kali ia tersandung anak tangga, tujuannya kini hanya satu;
Jangan terlambat.
Sayangnya, Sangkala terlambat.
Gemintang Sangkala, 20 tahun. (2023)
Ia melepas kacamata yang selalu digunakannya ketika sedang melakukan penyuntingan video. Kepalanya terasa pusing. Tangannya meraih kertas-kertas yang berserakan di depannya, kemudian memastikan bahwa tidak ada satupun berita panas yang tertinggal di videonya.
Tidak pernah sekalipun terbayangkan di benaknya bahwa ia akan menjalani hidup seperti ini. Makan dari sengsara orang lain, tenang dari tangisan orang lain. Betapa berdosanya ia jika saja ia percaya terhadap keyakinan yang selama ini dipeluk oleh sang Ayah. Semuanya percuma. Percuma, Sangkala sangat mengerti bahwa apa yang ia lakukan tidak akan memberikan hasil yang baik selain rasa puas akan kesamaan nasib antara ia dan korbannya. Laki-laki itu meringis. Jemarinya menekan tombol putar di layar komputernya, menyaksikan video hasil rekaman hari ini yang sudah siap untuk ditayangkan di akun anonim media sosial miliknya.
"Ya, selamat sore, semuanya! Kembali lagi dengan Raungan Semesta— berita hangat terbaru mengenai semua manusia di penjuru dunia, sudah aku kumpulkan! ... "
0 notes
suddenlydumb · 2 years ago
Text
FWB #8
“What is better? Soy milk or oat milk?”
“Of course your milk. I mean dairy milk. Stop being sjw vegan stuff lalalalilili” Gue ngeliat dia yang lagi nyandar di troli setengah penuh.
“We not argue bout this.” — “of course my milk is better. Which one do you want? Up or bottom?” Gue mengerling ke arah dia. Dia senyum hingga mata menandakan humor kemudian merangkul bahu gue. 
Dia berbisik ke arah telinga, “unch the moment my good girl turn into her bitchy soul.”
Gue ketawa lepas dan menjauhkan diri dari dia. Ini lucu dan bikin seneng. Kira-kira gue bisa tahan ga ya cuman jadi friends with benefit? 
Gue berdeham “ehm—so do you have a request for our menu?”
“How about you?”
“I think salad something or pizza?” Gue mengedarkan pandangan ke arah rak jajanan. 
“I mean how about you be my menu?” Katanya tersenyum miring ke arah gue pas gue balik badan ke dia. Like insane. I can’t stand with this bubble. Too much tension.
“Enough, Fier.” Gue mendelik ke arahnya sembari melangkah menuju broniz. I love broniz very much! Dan ga lupa gue juga ambil beberapa happytos merah.
“Okay, i want poke bowl. Salmon and edamame stuff.” Ia menatap hpnya, jarinya menari di atas gawai mengetik sesuatu entah untuk siapa.
Do look like i care? I do but nevermind, just forget it.
***
Kita lagi ada di tempat dia. Karena supermarket tadi deket kantornya dan kantornya deket ama tempat tinggal Fier. Baik. Too much information.
Gue lagi motong-motong salmon sambil nunggu air yang lagi rebus edamame. Fier lagi di kamarnya bersih-bersih.
Pas lagi sendiri gini gua suka mikir, apa gua jahat ya ke Anya? Gua pengen berhenti karena ga enak, tapi nagih. Apa gua cepetin sebulan ya? Di saat galau gini gua suka bingung mau egois apa ngelindungin perasaan dia.
“Hai.” Gue nyium bau segar abis mandi dengan tangan yang tiba-tiba ngelingkar di badan gue. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Fier. Air di rambut basahnya netes ke pundak gua. Jujur gua kaget dikit karena geli, tapi enak sih.
“Sana dong jangan ganggu.” Gua sambil ngedumel ke dia dan berusaha nyikut badannya.
Tiba-tiba dia deketin kepalanya ke arah telinga gue, “jangan marah gitu dong sayang.” Suaranya yang serak dan jilatannya di telinga gua bikin kaget. 
“Fier!” 
“Mau yang enak-enak ga?”
“Ini gua masakin lo yang enak-enak nih.”
“Tapi lo mau gua enakin ga?”
Gua kebawa suasana nih, mana dia wangi banget. Iseng lah gua gesekin badan belakang gua ke badan dia. Dia dengan tololnya masukin tangan ke celana gua sat set sat set.
Gua ga sanggup.
0 notes
otoanahtari · 6 years ago
Video
instagram
Mercedes Cla 200 Yedek Anahtar #istinyepark #nusret #kanyon #murat #anahtarlarafisildayanadam #mengerler #Mercedes #c180 #mercedescla200 #Mercedescla180 #w204 #bmw #mercedesclubtr #mercedestuning #mercedesamg #mercedescla #w210 #w211 #bmw #f30 #f10 #f20 #bmwf30 #istinye #sariyer #istanbul (Istanbul, Turkey) https://www.instagram.com/p/B0nRJIBBWiX/?igshid=1cbo5bqn5bs09
0 notes
chefserkanayyildiz · 6 years ago
Photo
Tumblr media
Otomobil devi #mengerler sevgi Ataman hanım @mete.aydinoglu ile kupa 🏆 kaldırdık #mercedes @mengerler @favori.lezzetler @favorimekanlar #favorilezzetler (Haliç Kongre Merkezi / Haliç Congress Center) https://www.instagram.com/p/BwSeSvrARse/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=13902djgtogiz
0 notes
thehmovement · 3 years ago
Text
Kunjungan Bapa Mertuaku
Pada suatu petang, tanpa ku duga, bapa mertuaku datang berkunjung ke rumahku semasa Aznam pergi outstation. Sangkaanku bapa mertuaku sebenarnya tidak mengetahui yang Aznam tidak berada di rumah. 
Agaknya dia rasa takkan Aznam tiada di rumah kerana dia tahu baru 4 hari saja Aznam balik dari outstation juga. Aznam tidak pula memberitahunya yang dia akan ke outstation semula dalam masa 4 hari lagi semasa menelefonnya. 
Sudah lebih 30 minit lamanya bapa mertuaku duduk di sofa di ruang tamu. Sambil minum air teh halia yang aku sediakan dan mengunyah-ngunyah biskut lemak, dia membelek-belek dan membaca akhbar ‘The Malay Mail’ hari itu yang antara lain memaparkan gambar Dolly Parton di halaman hiburan. 
Aku sedang berdiri menyerika baju-baju suamiku kira-kira 4 meter sahaja daripada bapa mertuaku.
Sempat aku mengerling memerhatikan bapa mertuaku merenung puas-puas gambar Dolly Parton yang pakai ‘low-cut’ yang menampakkan hampir separuh buah dadanya yang besar itu terbonjol macam nak keluar daripada branya. Lamanya bapa mertuaku menatap gambar Dolly Parton yang seksi itu. Dia tidak perasan yang aku memerhatikan gelagatnya.
“Dah 6.30 petang ni, Aznam belum balik lagi, ke mana dia pergi?” tanya bapa mertuaku sambil mendongakkan pandangannya ke arah aku. Nada suaranya agak serius dan menampakkan kerunsingan yang genuine. 
Dia sungguh sayangkan anak tunggalnya, suamiku. Aku juga tahu dia rasa senang dan sayang terhadapku, menantunya yang cantik dan pandai mengambil hatinya ini. 
Selalu juga dia membawakan aku cenderahati bila berkunjung ke rumahku. Aznam pun suka yang aku amat disenangi oleh bapanya. 
“Dia tak balik malam ini, Bapak, ke outstation lagi.. Ke Penang, bertolak pagi tadi,” balasku ringkas.
“Tak balik..?” tanya bapa mertuaku seolah-olah terperanjat.
“Ya, Bapak, mungkin esok petang baru dia balik.” Tiba-tiba bapa mertuaku tersengeh-sengeh, senyum melebar, tak langsung menunjukkan tanda kerunsingan lagi.
“Kalau gitu, malam ini biar Bapak temankan kau, Kiah. Kasihan Bapak melihat kau keseorangan begini. Bapak takut kalau-kalau ada orang datang menceroboh rumah ini dan melakukan sesuatu yang tidak diingini kepada kau, semua orang susah nanti.”
Aku terdiam sejenak. Belum pernah sebelum ini aku terdengar kata-kata begitu rupa daripada bapa mertuaku. Aku ingat tadi dia mahu menyatakan yang dia hendak balik ke rumahnya. Meleset betul jangkaan aku. 
“Ikut suka bapaklah, malam ini Bapak nak tidur di sini boleh juga, Bapak balik ke rumah pun bukan ada apa-apa…” kataku dengan nada semacam berseloroh dan mengusik. Sekali-sekala bergurau dengan bapa mertua yang disayangi apa salahnya… ya tak?
Sebenarnya aku tidak berniat langsung hendak mengusik atau menyindirnya meskipun aku sedar yang situasi keseorangan bapa mertuaku lebih teruk daripadaku. Keseorangannya bertaraf ‘on permanent basis’ semasa itu. Apa lagi yang harus aku perkatakan. Takkanlah nak suruh dia balik ke rumahnya.
“Betul kata kau, Kiah, kalau di sini setidak-tidaknya terhibur juga hati Bapak dapat melihat kau.” Berderau darahku. 
“Hai, pandai pula bapa mertuaku ini mengusik aku, mentang-mentanglah Aznam tiada di rumah berani mengusik aku,” demikian bisik hati kecilku. Aku terdiam dan tergamam sebentar mendengar kata-kata bapa mertuaku. Semacam sudah ada sesuatu muslihat.
 “Ini semua angkara Dolly Parton, agaknya” bisik hatiku. Namun aku terima kata-katanya tanpa syak dan ragu, bahkan terus merasa simpati mengenangkan nasib malangnya sejak kematian isterinya, emak mertuaku.
Selepas makan malam, bapa mertuaku dan aku beristirehat di ruang tamu, minum-minum ringan dan berbual-bual sambil menonton TV. Bapa mertuaku memakai T-shirt berwarna merah biru garang dan kain pelikat bercorak kotak-kotak biru putih. Simple sahaja nampaknya. Tak tahulah aku sama ada dia memakai seluar dalam atau tidak. Lampu di ruang tamu dalam keadaan ‘dim’ sahaja. 
Aku tak gemar menonton TV dengan lampu bilik yang terang benderang, begitu juga bapa mertuaku.
Kami asyik betul menonton siri sukaramai “Sex And The City” yang sedang ditayangkan. Sempat aku menjeling-jeling ke arah bapa mertuaku, dan ku lihat matanya tak berkelip-kelip, macam nak terkeluar bila melihat adegan panas pelakon Sarah Jessica Parker dengan pasangan lelakinya di keranjang. 
Dia nampak gelisah. Dia tidak perasan yang aku menjelingnya. Kemudian aku arahkan semula pandanganku ke kaca TV. Aku sendiri pun dah mula teransang juga.
Ketika seorang lagi pelakon wanita yang lebih seksi dalam siri itu (maaf, aku tak ingat namanya) bercumbu hebat dengan pasangan lelakinya di atas keranjang, aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku tepat kepada bapa mertuaku sekali lagi. Kali ini aku betul-betul tersentak dibuatnya. 
Dengan jelas aku dapat menyaksikan bapa mertuaku sedang memegang-megang dan mengurut-urut kepala butuhnya yang sudah keras naik mencanak dalam kain sarungnya. Puuh..! sesak nafasku, terbeliak mataku. 
Walaupun ditutup kain, aku dapat bayangan betapa besar dan panjangnya butuh bapa mertuaku. Solid betul nampaknya.
Dia tidak perasan yang aku sedang memerhatikan aksinya itu. Nakal, dengan sengaja aku berdehem agak kuat juga. Bila terdengar dehemanku dia tersentak dan lantas mengalihkan pandangannya kepadaku. Tangannya tidak pula melepaskan butuhnya. Dia tersenyum simpul sahaja, macam tak ada apa-apa yang berlaku. 
Pelik sungguh perilakunya ketika itu. Mengapa dia tak merasa segan sedikitpun kepadaku yang diketahuinya telah terpandang dia sedang mengurut butuhnya yang tegak itu? Pada hematku tak kurang 20 cm panjangnya butuh bapa mertuaku, dan besarnya, ah, tak dapat aku mengagak ukurannya, tetapi memang besar solid. 
Sebelum itu, aku hanya berpeluang melihat butuh suamiku yang bersaiz kecil dan pendek, kira-kira 13 cm sahaja bila cukup mengeras, circumference’nya, ah… malas nak cerita, tak ada apa yang nak dibanggakan. Jauh benar bezanya dengan saiz butuh bapanya. Melihat aku masih memandangnya tersipu-sipu, 
“Sorrylah, Kiah, Bapak tak sengaja,” keluhnya perlahan.
Dengan sambil lewat dan macam hendak tak hendak saja dia membetul-betulkan kainnya. Aku dapat perhatikan dengan jelas butuhnya yang keras terpacak itu berterusan menungkat lagi di dalam kainnya. Tidak pula dia cuba menutup ‘tiang khemah’ yang tegak itu dengan tangannya ataupun dengan bantal kecil yang berada di sisinya. 
Dia seolah-olah dengan sengaja mahu mempertontonkan kepadaku dengan sepuas-puasnya betapa besar, panjang dan keras senjata sulitnya. Dia mahu membuat demonstrasi. Dia bangga nampaknya. ‘As if he purposely wanted me to witness the kind of cock he possessed’.
Mungkin juga hatinya berkata, “Alang-alang menyeluk pekasam biar sampai ke pangkal lengan. Lihatlah puas-puas, Kiah. Rezeki kau malam ini.”
Yang peliknya juga, aku sebaliknya tidak cuba mengalihkan pandanganku ke arah TV semula. Aku terus merenung tajam ‘tiang khemah’ dalam kain Bapak mertuaku itu, belum mahu turun-turun nampaknya dia. Geram betul aku. 
Nafasku semakin sesak, .. Kehausan, yang pastinya, bukan kerana temperature dalam bilik tamu itu panas. Ada ‘air-cond’ takkan panas? Senjata bapa mertuaku yang berselindung dalam kain itu masih lagi nampak berada dalam keadaan yang sungguh aktif dan tegang. 
Sekali-sekala kelihatan terangguk-angguk, macam beri tabik hormat kepadaku. Dia seolah-olah tahu yang aku sedang memerhatikannya. “Celaka punya butuh, aku kerjakan kau nanti baru tahu.” hatiku berkata-kata. Acah sahaja.
Sepantas karan elektrik nonokku menyahut lambaian butuh besar panjang bapa mertuaku, mula terasa gatal dan mengemut-ngemut. Nafsuku mula bangkit membuak-buak. Tambahan pula aku baru saja mandi wajib pagi tadi, bersih daripada haid dan belum sempat dibedal oleh suami ku. Tempoh tengah garang.
Sudah lebih dua minggu aku tak merasa. Ah… jika dapat bersama pun suamiku seperti biasa aja, tidak memberikan perhatian serius akan jeritan batinku. Tiada kesungguhan dan penumpuan bila melayari bahtera yang berada di samudera nan luas. Macam melepas batuk ditangga sahaja gelagatnya.
Beromen sekejap dan mengepam nonokku lebih kurang 4-5 kali, sudah terair butuhnya, sedangkan aku belum apa-apa lagi. Di fikirannya tak lekang-lekang hanya mahu kerja dan cari duit banyak-banyak, gila nak cepat kaya, mana nak khusyuk main.
Keinginan batinku sudah mendidih laksana gunung berapi yang sedang siap sedia mahu memuntahkan lahar panasnya dek berterusan memerhatikan bayang-bayang gerakan hebat keris besar panjang bapa mertuaku dalam kain sarungnya. 
Dia tidak memandang aku lagi tetapi masih perlahan-lahan mengurut batang butuhnya yang mencodak itu.
Aku rasa butuh bapa mertuaku mula naik jadi keras dan tegang sejak dia asyik memerhatikan ‘body’ dan pakaianku semasa duduk bertentangan di meja makan sebentar tadi, bukannya dari masa menonton ‘Sarah Jessica Parker’ dan rakan-rakannya. 
Itu secara kebetulan sahaja, sekadar menokok tambah.
Salah aku juga. Tanpa kekok, dan sudah menjadi amalanku bila berada di rumah bersama suamiku selepas maghrib sahaja aku akan mengenakan gaun malam tanpa memakai coli dan seluar dalam. 
Aku rasa selesa tambahan pula suamiku tak pernah menghalangnya. Pada dia pakai atau tak pakai coli dan seluar dalam serupa saja responsenya. Tak ada bezanya.
Aku tak perasaan bahawa yang bersamaku pada malam itu adalah bapa mertuaku, bukannya suamiku. Jelas, hakikatnya, aku yang mengundang nahas pada malam itu. Aku yang sengaja mencari fasal. Aku yang menyiksa naluri bapa mertuaku.
Buah dadaku berukuran 38 B yang tegang, montok dan bergegar-gegar dalam gaun malamku sudah pasti dapat dilihat dengan jelas oleh bapa mertuaku. Alur pukiku yang tembam juga jelas kelihatan apabila aku berdiri dan berjalan di hadapannya. 
Maklumlah, gaun malam, semua orang tahu sememangnya nipis. Semuanya telah menimbulkan kegeraman berahi yang amat sangat kepada bapa mertuaku yang sudah lama menderita kehausan.. Seks. ‘Something wrong’ lah kalau nafsunya tak naik melihat aku dalam keadaan yang sungguh seksi itu.
Patutlah semasa aku membongkok sedikit untuk menghidangkan makanan di hadapannya tadi, bapa mertuaku tak segan silu asyik merenung tajam lurah gunung berapiku yang terdedah kerana leher gaun yang kupakai agak luas bukaannya.
Oleh sebab tidak dapat menahan sebak nafsuku lagi melihat tiang khemah bapa mertuaku yang kian menegak terpacak, macam tak mahu turun-turun, tanpa meminta diri, aku terus berjalan cepat menuju ke bilikku dengan meninggalkannya di ruang tamu ternganga-nganga.
Desakan nafsu berahiku yang meluap-luap ketika itu telah menyebabkan aku tergopoh-gapah untuk mendapatkan tilam untuk segera melayan denyutan, kemutan dan kegatalan nonokku. Switch lampu dan ‘air-cond’ dengan serentak aku ‘on’ kan dengan cara yang agak kasar. Dah tak tahan, nak cepatlah katakan..
Aku lantas menanggalkan gaun malamku dan menghumbankan badanku ke atas katil. Bertelanjang bulat, aku terus menonggeng sambil memejamkan mata tanpa perasan yang bontutku terbuka dan terdedah tanpa seurat benangpun menghala ke pintu masuk bilikku. 
Aku tidak perasan yang aku tidak menutup dan mengunci pintu bilikku ketika tergesa-gesa masuk tadi. Aku menonggeng dan mengangkang seluas mungkin dan mula bermain dengan  nonok dan biji kelentitku menggunakan jari-jari tangan kiriku yang menyusur dari bawah badan dan perutku.
Tangan kananku berteleku di atas bantal menjadi tongkat kepada sebelah kanan badanku bagi mengelakkan tetekku, khasnya yang sebelah kanan itu, daripada terhenyak dan terpenyek.
Aku mulai dengan membayangkan betapa bahagianya kalau suamiku, Aznam, mempunyai kontol besar panjang seperti bapanya. Aku terus leka dibuai khayalan yang begitu menyeronokkan sambil menjolok-jolokkan jari-jariku masuk ke dalam lubang pukiku. 
Uuuh.., gatalnya lubang pukiku.. Bagaimanapun, bayangan kepada suamiku tidak tahan lama, kira-kira 5 minit sahaja. Tiba-tiba sahaja aku dapat bayangan yang lebih menyeronokkan.. 
Aku mula terbayangkan pula bapa mertuaku dengan butuhnya yang besar berurat-urat dan panjang itu sedang mengepam kuat keluar masuk lubang keramatku dari belakang. 
Uuuh, uuh, uuh, kupejamkan mataku melayani imaginasi dan fantasi seksku. Semakin kemas dan bertenaga jari-jariku menjalankan kerja jahatnya.
743 notes · View notes
pok-urutan-kesehatan-00 · 4 years ago
Text
Cipap Ketat Ku Dijolok Rakan Ayah , Hujan turun dgn lebatnya. Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Aku baru Saja habis mandi. Sejuknya. Aku syampoo rambut dan letak conditioner sekali.
Fasal semalam kena hujan. Takut pening kepala pula kalau mandi tak basah kepala.
Selepas mengseterika baju, aku bersiap-bersiap untuk pergi kerja. Hujan masih turun dgn lebatnya.
Camne nak gi keje ni? Terpaksalah aku memakai payung. Setelah siap semuanya, solek-solek dan pakai perfume JLO ku yang wangi itu, aku pun melangkah keluar meredah hujan lebat menuju ke stesen LRT.
Waktu itu jam menunjukkan pukul 8 pagi. Aku mengambil payung Finy, sebab Finy blm balik dari kampung, bolehlah pinjam payung giordanonya.
Dalam kelebatan hujan, aku meredah sambil mengangkat kain sikit takut basah kuyup pula kain nanti terkena air.
Nanti orang kata aku nak tunjuk seksi pula. Di pertengahan jalan menuju ke LRT aku singgah di gerai makcik depan umah, untuk membeli nasi lemak.
Sudah lama rasanya aku tidak makan nasi lemak. Rasanya sudah lebih dari sebulan lamanya.
Setelah membayar segala aku meneruskan perjalanan menuju ke stesen LRT. Akibat dari hujan lebat, jalan di depan rumah aku di penuhi dgn air yang melimpah deras memasuki longkang-longkang berhampiran, menyebabkan aku tertarik kepada sesaorang.
Cipap Ketat Ku Dijolok Rakan Ayah
Betulkah aku telah menaruh minat terhadap seseorang? Erkk. Macam tak percaya pula.
Jarang aku meminati orang. Tapi ntah kenapa plak. Aku terminat sorang lelaki nih.
Lama sudah aku ak ambil peduli bab lelaki. Sejak aku keluar matriks masuk universiti dan kini telah bekerja.
Aku hanya berminat pada seorang manusia lelaki sahaja. First aku nampak dia semasa aku balik dari kerja.
Then aku just abaikan ajer. Cuma suka tengok gaya dia. Ntah la ek.
Nampak macam menarik pula pada mata aku. Tapi aku hanya melihat dari jauh saja.
Takdelah pula aku berhajat untuk menegurnya ke. Then setelah beberapa bulan. Ntah macam mana telah berlaku sesuatu yang menyebabkan aku berkomunikasi dgn dia.
Mula-mula tak sangka juga. Aku teringatkan sesaorang. Entah kenapa dalam hujan itu aku teringatkan dia.
Macam aku mengadmire budak lelaki ni lah. Tapi admire ini adalah admire kali pertama aku.
Seorang wanita suci menemukan primadonanya. Indah menarik membahagiakan. Sungguh indah kisah cinta Yang telah aku rasa dan alami Indah dan menarik hati Takkan kulupa sampai akhir nanti.
Nak kata aku ni seksi tidak juga tapi ukuran aku adalah 34C 29 37.
tetek aku besar dan sering keras. Puting besar jari manis warna cokelat cerah.
jubur aku pejal dan mantap. Tinggi aku hanya 165 cm. Nama aku Zarina.
Waktu itu aku tengah matriks. Bapa datang dgn member dia melawat aku kat kolej.
Ayah mengajak aku keluar makan bersama dgn rakannya. Rakan Ayah yang jauh lebih muda dari Ayah, berusia dalam lingkungan 30 tahun.
Kami makan di sebuah restoran yang Ayah bawa. Ayah dan aku berborak.
Ayah memberi nasihat menyuruh aku belajar sungguh-sungguh. Dalam pada itu mata aku mengerling kat rakan ayahku yang dikenalkan sebagai Abang Vandi.
Segak orangnya, sasa tubuhnya sering senyum berkulit cerah. Dia hanya mendengar ayahku berbicara dgn aku.
Dia tidak masuk campur kecuali sekali sekala sengih dan tersenyum. Orangnya tinggi, lebih tinggi dari Ayah dan bertubuh atletis.
Sekali sekala aku melihat matanya menjalar ke tubuhku terasa macam dia tengah meratah tubuhku pula.
Cerita Sex Cipap Ketat Ku Dijolok Rakan Ayah
Heheheh. Aku ni perasan jerr. Namun aku merasa tertarik dgn Abang Vandi.
Ini kali kedua Ayah membawa Abang Vandi menemui aku di kolej. Dia hanya bercakap sepatah dua dgn aku.
Bertanya kabar dan bertanya sihat atau tidak. Selainnya dia mendengar sahaja perbualan Ayah dan aku.
Lagipun tidak ada apa-apa secret dalam perbualan Ayah dan aku. Bila aku balik ke kolej semula, aku melihat kad Abang Vandi dalam dompetku.
Aku melihat nombor hansetnya. Aku senyum. Aku terasa rindu pula kat Abang Vandi.
Aku mula hantar sebaris ayat melalui SMS kepadanya bertanya kabar pada satu hari.
Dia membalas dan menanya perihal persekolahan aku. Dan semenjak dari itu kami selalu bersms dan sekali sekala dia menelepon aku. citer seks Cipap Ketat Ku Dijolok Rakan Ayah
Aku tidak pernah menelefon dia kecuali SMS jer atau melalui SMS meminta dia menelefon aku.
Aku macam syok jer kat Abang Vandi. Rasa bangga dan bahagia bila berjalan dgn dia.
Kenkadang member sound enggak. Abang Vandi tu segak. Rasa bangga berbunga di hatiku.
Tambah kalau aku berjalan dekat dgn dia aku rasa enggak satu macam.
Terlebih lagi terhidu bau atau odor badannya. Macam wangi menusuk lubang hidungku.
Aku boleh basah kat bawah. cipap ketat aku bukan besar sangat-setangan ajer besarnya tapi tembamlah.
Selalu basah bila jalan sama dan ingatkan Abang Vandi. “Fuyoo cantik tubuh u manja. Lawa tetek mu tegak mencanak. Keras. Mak aii Zarina sungguh tak sangka body u solid” puji Abang Vandi ketika mengucup leherku.
Aku gugup, hati ku berdebar-debar kencang. Tambah bila tangan Vandi meramas tetek ku.
Ramasannya lembut dan keras, hisapannya perlahan dan kuat di putingku. Aku mula mengigil dan seluruh tubuhku rasa kaku dan ngilu bila lidahnya menjilat.
Huu. Aku ngaku yang Abang Vandi membuat aku gilerr. Baik dari segi perasaan mahupun fizikal.
Terus terang aku bahagia dgn lidahnya dan ramasannya dan sentuhan Abang Vandi.
Entah macamana aku rela dan bersedia untuk menerima Abang Vandi dalam diriku. Cerita lucah Cipap Ketat Ku Dijolok Rakan Ayah
Macam tak caya lak aku leh terima batang kote nya yang besar panjang dan keras tu.
Huu. Fuyoo besar pelir dia. Bergetar jantung berdenyut rasa memandang dan memegang batang pelir Abang Vandi.
Kemudian Abang Vandi mengajarku cara menjilat kontolnya, cara mengulom kepala pelir nya dan mengulum habis batang kote nya sampai ke pangkal.
“Makk. Uuu. Makk. Uhh. Abangg sedut, sedutt. Sedapp. Sedapp Abangg Nn. Isap puki I lagi lama-lama. Bangg Vandi” erangku sambil memaut tengkok Abang Vandi dan mengucup bibirnya.
Lalu aku merasakan aksi lidah Abang Vandi dalam mulutku. Aku rasa seperti fana menerima serangan dari semua arah ke tubuhku.
Aku merasa diriku melayang sambil tubuhku berada di atas tilam empuk sebuah hotel ternama di bandar aku belajar itu.
Abang Vandi membawa aku ke hotel itu. Aku suka sebab aku tak mahu menghabiskan weekend di kolej.
Aku perlukan satu perubahan. Rupa-rupanya inilah perubahannya. Perubahan aku menjadi seorang wanita tulen dan sejati di tangan dan kontol Abang Vandi.
“Aduii Bang. Pelan-pelan” kataku ketika menerima kehadiran batang kote Abang Vandi ke dalam puki ku, “Aduhh” aku mengepit kangkanganku kerana aku berasa sakit bila kontol keras itu menujah masuk.
Abang Vandi memebelai sambil meramas dadaku perlahan. “Relax dear” kata Abang Vandi sambil mengucup bibirku dan dia menjilat wajahku sambil batangnya berendam di bahagian depan lubang cipap ketat ku.
Aku merasa amat sakit dan menanggis. Sakit bagaikan disiat-siat. Aku tahu kat lubang cipap ketat itu juga bayi akan keluar-besar tu.
Inikan pula batang kote Abang Vandi pasti boleh masuk semuanya. Aku mesti bekerjasama untuk menikmati pengambilan daraku oleh pelir Abang Vandi.
Aku mula memeluk Abang Vandi kembali. Abang Vandi dapat merasakan yang aku mula membuka kangkangan semula.
Dia melihat batang kote nya yang berada di liang ciapa ketat aku. Aku memusingkan bontot ku dan mengangkat sedikit untuk menerima batang kote Abang Vandi, aku yang waktu itu berusia 18 tahun menyerahkan daraku kepada Abang Vandi yang sudah berusia 30 tahun.
467 notes · View notes
syafitas · 2 years ago
Photo
Tumblr media
 “Enak nggak?
“Belum gue minum, Ta.”
“Ya diminum makanya, jangan diliatin doang.”
“Ya sabar, ini tuh panas. Gue nggak kebal air panas ya.”
Matanya mengerling ke arahku. Aku hanya terkekeh membalas celotehannya.
Pagi ini, kami terbangun di sebuah villa yang kami sewa bersama teman-teman lainnya.
Semua masih tertidur, entah kenapa pagi ini aku dan Gio bisa bangun diwaktu yang bersamaan.
“Gila, kita keren banget malah jadi morning person gini, hahaha.”
“Yeeee, gue mah setiap hari ya! Lo kali tuh baru kali ini.”
“Hahaha, gue bangun Ta kalo pagi.”
“Matiin alarm?”
“Betul, hahahahaha.”
Aku hanya memutar bola mata malas.
Tidak ada percakapan penting.
Pagi hari yang sejuk dengan pemandangan kebun teh yang luas.
Udara pagi yang jarang sekali kami temui.
Sesekali aku mendengar helaan napas berat milik Gio.
Entah beban seberat apa yang sedang ia tanggung.
“Ta..”
“Hmm..”
“Ta...”
“Apa sih Gi, lo jangan rese deh masih pagi nih.”
“Hahaha, ngisengin lo enak banget.”
“Pala lo!”
Ia hanya terkekeh, setelahnya hening kembali menghampiri.
Tidak ada perbincangan selama lima menit kedepan, mungkin? Aku tidak tahu jelasnya.
“Lo...nggak papa Gi?”
“Hah?”
“Nggak usah sok budeg ya lo.”
“Hahahaha! Gue nggak apa-apa, Ta.”
“Really?”
“Nggak percaya sama gue?”
“Maksud gue..”
“Kalau ada apa-apa gue cerita, Ta. Tenang aja.” Belum selesai aku menyelesaikan kalimat, ia sudah menyela.
“Khawatir banget lo sama gue? Cie..”
“Nggak gitu ya, Nyet.”
“Peduli mah bilang aja Ta. Nggak usah sok-sok cuek gitu.”
“Ya memang salah gue peduli sama lo? Kan lo temen gue. Dari orok nih Gi kita bareng-bareng. Gue tahu lo nggak baik-baik saja. Gue tau lo lagi luka. Tapi kenapa nggak pernah terbuka sih?” Rasanya semua emosiku sudah tersalurkan lewat kalimat tanya yang beruntun.
“Ta...” Gio melirikku. Bahkan sekarang raganya sudah berbalik menghadap ke arahku. Aku hanya terdiam sambil menghembuskan napas panjang.
“Its okay. I’m fine. Serius. Gue bukan nggak mau terbuka tapi gue cuma bingung mau baginya gimana.” Lanjutnya.
“Ya tinggal ngomong?” Tanyaku.
“Nggak gampang dong, sayang. Gue bukan lo yang bisa terus terang kapan aja.”
Aku terdiam.
Benar juga. Tidak semua manusia bisa menjadi apa yang kita pikirkan. Mudah bagi kita bisa jadi susah bagi dia.
Gio kembali menatapku dan tangannya terulur memegang tanganku.
“Temenin gue aja Ta. Maaf kalo gue belum bisa jelasin kenapanya, tapi temenin gue terus ya. Someday, gue akan buka semua. Mau kan lo nemenin gue?”
Aku tertegun. Lalu balas menggenggam tangannya dan tersenyum.
“Ayo, gue temenin. Take your time ya, Gi. Maaf kalo gue bawel. Maaf kalo gue maksa padahal lo cuma nggak tau gimana cara bilangnya. Pelan-pelan aja, jangan takut sendirian karena gue ada di sini.”
Ia menggangguk. Lalu kami tertawa bersama.
Menghabiskan sisa teh di cangkir sambil menikmati udara pagi yang dingin.
Mungkin tidak semua cerita butuh telinga, mungkin saja ia hanya butuh raga untuk terus merasa ada.
6 notes · View notes
badboyyyyy · 4 years ago
Text
Aku Dirogol Tukang Rumah
Kisah ini benar-benar terjadi pada diriku. Kejadian ini berlaku sejurus aku dan suamiku
berpindah ke rumah yang baru kami beli. Kami bercadang membesarkan rumah kami dengan
menambah bahagian dapur.
Kawasan perumahan ini agak sunyi kerana banyak rumah-rumah kosong belum didiami pembeli.
Suamiku mengupah seorang tukang berbangsa cina bagi tujuan tersebut. Tukang tersebut
dikenali sebagai Lim dan bekerja bersama dua orang pekerja India. Kawan kami telah
mengesyorkan mereka kerana hasil kerja mereka amat baik.
Kerana aku bekerja sebagai guru maka kami mengatur agar kerja-kerja dilakukan pada cuti
penggal. Suamiku berharap agar aku menyelia kerja-kerja dan memberitahu tukang mana-mana
yang perlu. Suamiku bekerja di sebuah pejabat kerajaan. Rupa-rupanya perancangan kami ini
menyebabkan musibah pada diriku.
Lim dan pekerjanya biasanya masuk ke rumah kami melalui pintu pagar belakang rumah. Sekali
sekala sahaja aku meninjau ke belakang melihat kerja-kerja mereka dan biasanya tiada apa
yang perlu diarah. Mereka tahu apa yang perlu mereka lakukan.
Suatu pagi kira-kira pukul sembilan aku berbaring saja dalam bilik selepas mandi. Badanku
hanya dibaluti pijama. Aku membelek-belek majalah wanita yang baru aku beli petang kelmarin.
Aku berbaring di katil sambil membaca artikel dalam majalah tersebut.
Tiba-tiba aku terdengar bunyi tombol pintu diputar. Aku pantas memaling mukaku ke pintu dan
terpacak di sana sesosok lembaga berdiri memerhatiku. Seorang lelaki india muda tercegat
dengan mata tak berkelip. Aku terkejut dan bimbang diperhati begitu.
"Lim, Sami sini ada pameran bagus," tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara lelaki india yang
masih tercegat di pintu.
"Apa yang kamu buat di sini. Keluar nanti aku menjerit," kataku terketar-ketar.
Aku bimbang dipengapakan oleh lelaki itu.
"Jeritlah! Tak ada siapa yang akan dengar," ujar pemuda itu selamba.
"Apa kamu nak," tanyaku.
"Saya haus," jawab lelaki itu tenang.
"Kalau haus minum saja air di peti ais," kataku.
"Saya mahu minum air perigi," tambah lelaki itu lagi.
"Mana ada perigi di sini," kataku penuh hairan.
"Perigi kecik kakak punya" jawab lelaki itu.
Aku makin takut. Dalam keadaan kelam kabut begitu aku tak sedar pijamaku terselak hingga ke
paha. Lelaki india itu makin membeliakkan matanya seperti hendak menelanku. Matanya terpaku
ke pahaku yang licin mulus. Lim dan Sami telah berada di muka pintu.
"Gopal, ini barang bagus," lelaki cina betubuh gempal bersuara.
Rupanya lelaki india muda ini namanya Gopal. Tiga susuk tubuh berada di pintu memerhatiku
tanpa berkelip. Lim lelaki cina bertubuh gempal berumur dalam lingkungan 40-an. Sami lelaki
india lebih tua. Aku agak umurnya 50 tahun lebih kerana ada uban di kepalanya. Sementara
Gopal lelaki india yang paling muda. Aku agak umurnya 19 atau 20 tahun. Gopal bertubuh
kurus tinggi dan kemudiannya aku kenal sebagai anak kepada Sami. Mereka bertiga serentak
merapati katilku. Aku terdiam kaku. Aku tak dapat bersuara kerana teramat takut.
"Cikgu jangan takut. Kami nak tengok saja barang cikgu yang cantik tu. Bukan luak kalau
diguna pun," kata Lim sambil tersenyum-senyum.
"Kalau cikgu bagi kerjasama lagi mudah. Cikgu senang kami pun senang. Sama-sama kita
nikmatinya," sambung Sami dengan pelat indianya.
Mereka bertiga satu persatu melucutkan pakaian masing-masing. Sekarang mereka bertiga telah
bertelanjang bulat di hadapanku. Aku ngeri melihat ketiga-tiganya yang bertelanjang bulat.
Zakar mereka masih terkulai separuh keras di celah pada. Aku sempat mengerling ke arah
tubuh-tubuh bogel tersebut.
Lim yang agak gempal itu mempunyai zakar agak pendek tapi gemuk. Zakar Sami lebih besar dan
panjang berurat-urat berwarna hitam legam berbanding zakar Lim yang lebih putih. Balak Gopal
lebih besar dan lebih panjang antara semuanya. Sungguhpun masih muda tapi zakarnya memang
johan. Warnanya hitam legam macam bapanya juga.
Lim bergerak mendekatiku. Pijama yang kupakai dipegangnya. Aku berusaha melawan dan
berteriak, tapi Lim dengan santainya malah berkata,
"Tenang cikgu, di sini sunyi tak ada orang". Aku tak berdaya.
Jika aku melawanpun tidak ada gunanya. Malah mungkin aku disakiti. Aku rela dalam terpaksa.
Melihat aku diam saja maka Sami merungkai talipinggang pijamaku dan terdedahlah tubuhku
yang mulus. Dalam usia 25 tahun aku akui badanku masih solid dan cantik dengan kulitku yang
putih bersih. Melihat tubuh telanjangku, Lim dan Gopal bersorak kegirangan.
"Wah, bagus betul ni tetek.." kata Sami sambil meraba dan meramas payudaraku yang kenyal.
"Tolong jangan perkosa saya, saya tak akan beritahu siapa-siapa..." kataku meminta belas
kasihan.
"Tenang saja cikgu, mari kita sama-sama nikmatinya," kata Lim yang berbadan gempal sambil
tangannya meraba bulu kemaluanku, sedang Sami masih memegang dan meramas kedua tetekku.
Aku melihat zakar ketiga-tiga mereka keras terpacak. Gopal memerhati saja sambil
melurut-lurut zakarnya yang besar dan panjang itu. Aku agak zakar suamiku hanya separuh
kepunyaan Gopal. Sami menolakku terbaring terlentang di atas tilam bilik tidurku. Lim
berada di celah pahaku dan menolak lebar kedua pahaku. Kemudian Lim mula menjilat
kemaluanku.
"Burit cikgu wangilah. Burit bini saya tak wangi macam ni," kata Lim sambil lidahnya
meneroka kemaluanku.
Tentu saja wangi fikirku kerana aku baru saja habis mandi. Aku cuba merapatkan kedua pahaku
tetapi tak mampu kerana kedua pahaku dipegang erat oleh Lim. Dengan menggunakan kekuatannya
Lim menolak pahaku hingga aku terkangkang lebar. Keadaan ini membuat farajku terbentang
lebar di hadapan Lim. Tanpa lengah Lim merapatkan mukanya ke permukaan alat sulitku. Udara
nafasnya dapat kurasa menghembus farajku yang dah ternganga.
Lim mula menjilat permukaan farajku. Bibir luar dan dalam menjadi sasaran lidah Lim. Lidah
kasar Lim membelai bibir farajku yang lembut. Aku rasa geli campur sedap. Bila lidah Lim
membelai dan meraba-raba kelentitku, aku rasa teramat geli tetapi benar-benar nikmat.
Jilatan demi jilatan membangkitkan nafsuku. Keghairanku makin bertambah. Kerana teramat
geli aku merangkulkan kedua pahaku menjepit kepala Lim. Aku hanya mampu mengerang.
Sungguh nikmat diperlakukan seperti itu. Sepanjang perkahwinanku belum pernah suamiku
menjilat farajku. Suamiku hanya meraba-raba saja farajku untuk memeriksa samada farajku
sudah basah. Jika farajku basah suamiku akan segera memasukkan zakarnya dan bermulalah
aktiviti maju mundur hingga pancutan cairan hangat terbebas dari batang zakarnya.
Lidah Lim meneroka lebih jauh hingga ke dalam lorong nikmat. Aku tak mampu lagi mengawal
gerakanku. Pinggulku kuayak kiri kanan. Cairan panas mulai keluar dari dalam rongga faraj.
Bibir farajku basah dengan cairan lendir licin. Aku rasa Lim menyedut habis cairan lendir
panas yang keluar.
"Lim, jangan kau sorang saja yang rasa. Biar aku rasa pula," minta Sami pada Lim.
Tangannya masih meramas tetek kembarku. Mungkin kasihan rayuan Sami, Lim mengangkatkan
mukanya. Dibiarkan Sami mengganti tempatnya. Sami dengan pantas bergerak ke celah
kangkangku. Kedua pahaku dipegang. Pintu guaku ternganga menanti tindakan Sami. Lidah Sami
cepat menjilat kedua bibir dalam farajku yang lunak. Digentel-gentel kelentitku dengan
hujung lidahnya. Sekali lagi aku mengerang kesedapan. Akhirnya aku tak tertahan lagi dan
aku mengalami orgasme yang pertama. Banyak cairan hangat meluru keluar dari rongga cipapku.
Sama seperti
Lim, Sami meneguk saja air nikmatku. Dijilat farajku hingga kering.
"Oi tambi, sini rasa burit cikgu. Burit emak kau tak sedap macam ni," panggil Sami kepada
anaknya Gopal.
Gopal yang dari tadi berdiri memerhati sahaja mendekati farajku yang sudah basah. Hidungnya
ditempelkan ke farajku. Mulai dari bawah hingga ke kelentitku di bahagian atas. Gopal
menikmati aroma farajku. Mungkin Gopal belum pernah menghidu bau faraj perempuan. Selepas
lama Gopal mencium farajku maka lidahnya mula digerakkan ke seluruh permukaan farajku.
Mulai dari bibir luar, bibir dalam, kelentit dan akhirnya lurah farajku dijilat. Hujung
lidah dijolok-jolok ke dalam lubang farajku. Aku menggigil menahan nikmat.
Lim dan Sami tidak tinggal diam bila Gopal membelai taman keramatku. Gunung kembarku menjadi
permainan Lim dan Sami. Tetekku yang kanan dinyonyot oleh Lim sementara yang kiri dinyonyot
oleh Sami. Aku sungguh geli diperlakukan begitu.
"Ohh... aahhhh....oohhh....aahhh...." itu saja yang keluar dari mulutku.
Hingga akhirnya aku mencapai klimaks dan aku menikmati orgasme yang kedua.
"Gopal, cukuplah. Balak aku tak boleh tahan lagi. Aku nak rasa burit cikgu," kata Lim untuk
Gopal.
Gopal tanpa rela bangun berdiri. Kulihat batang zakarnya terpacak keras. Sungguh besar dan
panjang pada penglihatanku. Hitam macam keropok lekor yang belum digoreng. Lim
menggosok-gosok zakarnya yang pendek tapi gemuk. Diacu-acu kepala zakar ke permukaan
farajku. Digerak di permukaan alur antara dua bibir faraj. Secara perlahan ditekan dan
akhirnya kepala zakar Lim mula menyelam memasuki rongga faraj. Benar-benar berbeza dengan
suamiku. Sungguhpun zakar Lim agak pendek dibanding zakar suamiku namun kerana ukurannya
besar dan gemuk maka gerakannya terasa padat memenuhi semua rongga farajku. Bila digerakkan
maju mundur maka balak Lim terasa menggaru-garu dinding farajku. Sunngguh terasa enak dan
nikmat.
Sementara Lim menikmati farajku, Sami mula menyuakan zakarnya yang panjang itu ke mulutku.
Aku membantah. Tapi bila Sami meramas kuat tetekku hingga sakit aku mengalah. Zakar hitam
berkulup itu aku kulum dan hisap tanpa rela. Sami menggerakkan zakarnya di dalam mulutku.
Aku merapatkan kedua bibirku supaya menimbulkan rasa sedap pada sami. Kedua mulutku kini
diisi dengan batang zakar. Zakar kuning di mulut bawah sementara zakar hitam di mulut atas.
Lim dan Sami sama-sama menggerakkan zakar masing-masing. Beberapa minit kemudian kurasa
gerakan Lim makin laju. Rongga farajku digaru-garu dengan pantas. Akhirnya terasa zakar Lim
bertambah keras dan serentak dengan keluhan kuat dari mulut Lim tersemburlah cairan pekat
dan panas keluar dari kepala zakar Lim membasahi muara rahimku. Siraman cairan panas kurasa
amat sedap. Sementara Lim merendamkan zakarnya dalam faajku, Sami juga melajukan gerakannya
hingga lidahku terasa ada cairan lendir dan masin keluar dari hujung zakar Sami.
"Cukuplah Lim, bagi aku pula," pinta Sami kepada taukenya.
Lim mencabut zakarnya yang mula mengendur dan terduduk letih di lantai. Sami memcabut
zakarnya dari mulutku dan mengarahku merangkak di atas tilam. Dengan zakar masih terhunus
keras Sami merapati dari belakang. Sekarang Sami mula memasukkan zakarnya dalam posisi
doggie. Dipegangnya pinggangku dan mula menghayunkan zakarnya yang panjang ke depan dan
ke belakang. Oleh kerana zakar Sami panjang maka kepala zakarnya menikam-nikam pangkal
rahim menyebabkan aku terasa amat geli bercampur nikmat. Selama ini zakar suamiku tak
pernah masuk hingga menikam pangkal rahimku.
"Oi tambi, bagi cikgu hisap butuhmu," Sami mengarahkan Gopal.
Gopal mula mendekatiku. Zakar besar dan panjang terpacak menghala ke mulutku. Aku membuka
mulut bagi menerima balak hitam berkulup macam bapanya juga. Aku patuh saja takut disakiti
seperti tadi. Aku mula mengulum dan menghisap batang besar dan panjang. Kadang-kadang
batang Gopal menjolok hingga ke kerongkongku. Aku sampai terbatuk-batuk dijolok oleh Gopal.
"Oi tambi, burit cikgu sungguh sedap. Burit emak kamu longgar," cerita Sami kepada anaknya
Gopal.
Sami seperti tak ada perasaan malu bercakap hal bilik tidurnya dengan anaknya. Sami
melajukan gerakkanya. Mungkin benar lubang farajku sempit menjerut batangnya lalu akhirnya
Sami menyemburkan maninya kedalam rahimku. Aku rasa cairan panas bergerak pantas melalui
mulut rahim menuju langsung ke dalam rahimku. Aku benar-benar mengalami sensasi yang luar
biasa, sehingga beberapa saat kemudian aku mengalami orgasme yang luar biasa yang belum
pernah aku alami sebelumnya. Tubuhku menjadi lemah dan jatuh tertiarap ke tilam. Balak
Gopal yang berada dalam mulutku tercabut keluar. Balak sami akhirnya tercabut sama.
"Tambi, sekarang kau tutuh burit cikgu. Aku tahu kamu selalu mengendap bila aku dengan
mak kamu dalam bilik. Sekarang kau sendiri rasa," mulut celupar Sami menyuruh anaknya
menikmati tubuhku.
Aku sungguh letih waktu itu. Aku baring terlentang sambil mengangkang. Dengan pantas Gopal
merangkak di atas perutku sambil membenamkan balak besarnya ke muara farajku yang basah
dengan mani Sami. Balak besar Gopal bergerak laju kerana banyak cairan pelincir. Senak
perutku bila kepala zakar Gopal menghentak pangkal rahim. Batang besar dan panjang Gopal
sungguh nikmat. Gopal mula menggerakkan zakarnya maju mundur. Aku yang keletihan mula
bernafsu kembali. Aku mengemut dan meramas batang Gopal. Kemutan aku yang kuat itu
menyebabkan Gopal yang pertama kali berhubungan seks meringis kesedapan. Gerakan zakarnya
makin laju dan tak terkawal gerakan. Hanya beberapa minit saja Gopal mengeluh kuat dan
batangnya mula memancutkan benihnya. Sungguh banyak benih Gopal menyemai rahimku. Aku juga
menikmati orgasme yang kesekian kali bila Gopal melajukan gerakannya tadi. Sungguh nikmat
balak Gopal yang besar dan panjang itu. Mungkin selepas ini aku tak akan merasa nikmat
seperti ini dengan suamiku.
Benih Sami dan Gopal amat banyak bertakung dalam rahimku. Aku bimbang akan hamil anak india.
Aku memang subur waktu ini. Tapi biarlah itu nanti. Sekarang aku benar-benar sedap dan
nikmat. Sungguhpun aku rela dalam terpaksa tetapi pengalaman yang aku tempuhi sungguh
nikmat...
Selepas selesai menikmati tubuhku, Lim dan dua pekerjanya kembali ke belakang rumahku
menyambungkan kerja mereka. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada diriku esok.
329 notes · View notes
mayweblue · 3 years ago
Text
#2 - the sugarplum elegy
"yaelah, cho," matanya mengerling, senyumnya sedih. "hidup gue pernah hancur banget dulu. hancur sekali lagi paling nggak berasa apa-apa."
aku selalu suka perbincangan dengan perempuan ini waktu hari belum habis. bukan senja, bukan pukul tiga pagi. karena aku tidak pernah butuh kejujurannya, aku hanya menginginkan keberadaannya.
tapi aku lupa kalau dia yang aku cintai adalah dia. perempuan yang bisa jujur tanpa harus mabuk, tanpa menunggu hari menyentuh dini dulu. dia akan mengatakan maunya dengan lantang.
(dan dia pernah menyuruhku mundur, ngomong-ngomong.)
saat digit batang rokok yang dia sentuh sudah menyentuh lima, aku menyita bungkus sekaligus lighternya. semula dia mendengus, tapi waktu aku tidak menggubris, lama-lama ia diam sendiri.
aku melihat ke wajahnya, melihat ke matanya yang kini entah sedang menatap apa.
"gue nggak akan—" bicaraku membuatnya menoleh. "—gue nggak akan biarin hidup lo hancur lagi."
aku bisa merasakan raganya membeku. tapi tatap matanya menemui milikku dan aku yakin ia tengah mencari keyakinan di sana. kami bertatapan lama sampai aku melihat ia menyunggingkan senyum kecil.
kepalaku diusapnya lembut, "someday you will love me too much to stay in love. and i'll be the one that lose."
tangannya di kepalaku aku raih, lalu aku tangkup dengan kedua tanganku. aku bisa melihatnya terkejut tapi tak melakukan penolakan apa-apa.
"we don't make it competition, 'kan, kak?" aku mengusap punggung tangannya. "dicintai gue tidak akan membuat lo kalah, karena gue tidak sedang berperang melawan siapa-siapa, kecuali—"
dia menantikan lanjutan kalimatku.
"—kecuali waktu. cuma kalau itu buat lo, gue akan menunggu. selama apapun itu."
kalimat itu adalah kalimat paling serius yang pernah aku ucapkan seumur hidupku. dan aku ingin tahu kalau ketika kata-kata itu kukatakan buatnya,
aku benar-benar memaknainya.
2 notes · View notes
ohdaisysworld · 4 years ago
Text
017 ─ NEWLYWEDS
Tumblr media
Turun setelah mengganti pakaian yang lebih layak, Taehyung memilih ‘tuk kenakan kaos kebesaran milik Jeongguk dengan celana short. Senyumnya seketika merekah begitu semerbak wangi nasi goreng iringi langkahnya menuju dapur. Masakan Jeongguk memang tak pernah gagal enaknya.
Langkah Taehyung terhenti. Matanya membulat dengan mulut ternganga begitu jumpai Jeongguk tanpa mengenakan atasan apapun sedang memasak di dapur. Dan itu adalah pemandangan yang sangat amat hot dan sexy yang pernah Taehyung saksikan selama ia hidup. Perpaduan Jeongguk dengan dapur adalah dua kombinasi yang berbahaya. Apalagi punggung tegap yang penuh dengan otot itu tampak menggoda untuk ia gelayuti.
“Aww─”
Pikirannya yang semakin meliar mungkin menjadi alasan bagi Taehyung hingga tak melihat ada sebuah galon menghalangi jalannya hingga ia harus jatuh terduduk dengan bagian dengkul menghantam keras bagian itu. Jeongguk sontak berbalik. Usai mematikan kompor, ia dengan cepat hampiri sang suami begitu rintihan kesakitan Taehyung terdengar.
“Kok bisa kepentok sih, by?” Jeongguk kadang bingung dengan sifat ceroboh Taehyung yang suka sekali mencelakai dirinya sendiri. Dan itu terkadang membuat Jeongguk khawatir jika ia harus meninggalkan Taehyung seorang diri.
Jeongguk mengelus pelan dengkul Taehyung yang masih berdenyut nyeri. Walau tak ada darah yang ditimbulkan, tapi tetap saja nyeri yang dihasilkan tak kalah hebatnya. Apalagi ia menghantam benda sekeras galon yang masih terisi penuh dengan air. Mungkin lututnya akan memar sebentar lagi.
Taehyung mencebik, “Gara-gara kamu tahu!”
“Kok gara-gara aku, by?” Jeongguk mengernyit bingung.
“Punggung kamu tuh bikin aku salah fokus. Jadinya aku gak liat kalau ada galon di depanku!” ujar Taehyung jujur. Toh, memang benar kalau punggung sexy Jeongguklah alasan yang sebenarnya. 
Abaikan perkataan sang suami, Jeongguk angkat tubuh Taehyung untuk ia dudukkan di meja makan. “Mana lagi yang sakit?” tanya Jeongguk sembari mengelus kaki sang suami sementara Taehyung bersandar pada dada telanjangnya. Mengabaikan nasi goreng yang perlahan mendingin, sebab keduanya yang asik berpelukan.
“Ini...” jawab Taehyung sembari menunjuk salah satu bagian dengkulnya yang memang masih terasa nyeri. “Coba kamu cium. Aku yakin pasti sakitnya langsung hilang...” Tambah Taehyung sembari mendongak tuk tatap dalam-dalam manik mata Jeongguk yang juga menunduk ke arahnya.
Suasana pagi yang sejuk nan sepi semakin mendukung selagi tangan nakal Taehyung bergerak elus lengan telanjang sang suami yang membuat wajah Jeongguk menjadi merah padam. “Ci─cium?”
Taehyung mengangguk, “Iya, cium disini.” jawabnya sembari menunjuk lutut miliknya yang sudah membiru.
Menghela napas, Jeongguk tahu bahwa tak ada alasan yang tepat baginya untuk menolak. Jadi, rendahkan tubuhnya tuk menunduk, Jeongguk dekatkan wajahnya pada lutut sang suami tuk kecupi bagian memar itu. “Semoga memarnya cepat sembuh ya, sayang.”
“Bibirnya gak mau sekalian dicium-cium?” Tambah Taehyung sembari memanyunkan bibirnya.
Berdeham begitu dengar permintaan Taehyung, Jeongguk pegangi lehernya saat kerongkongannya mendadak terasa kering. “Ambil kopi itu dulu dong, by. Haus banget nih aku.” ujar Jeongguk sembari menunjuk gelas kopi yang berada tak jauh dari keduanya. Pun mencoba tuk alihkan pembicaraan sebab ia terlampau malu untuk melakukan hal tersebut.
Mengerling sebal, Taehyung bangkit dari pangkuan sang suami. Sengaja sedikit menungging pada meja makan hingga kaos kebesarannya tersingkap, Taehyung sengaja mengekpsos bokong kelewat montoknya yang hanya terbalut celana short pendek.
“Nih.” Mengerling nakal sebelum lirik Jeongguk yang masih terpaku melihat bagian bokongnya, Taehyung letakkan gelas kopi itu sebelum akhirnya kembali duduk di pangkuan sang suami. Kali ini kakinya melingkar sempurna pada pinggang milik Jeongguk. “Kamu gak mau coba minum kopi dengan cara yang lain?”
Tak mendapat jawaban sebab Jeongguk yang masih terpaku dengan wajah memerah padam, Taehyung bawa gelas kopi itu untuk ia seruput pelan dan dekatkan wajahnya pada sang suami. Beranikan diri tuk kecupi bibir Jeongguk, setelah letakkan gelak kopi kembali ke tempatnya─ia kalungkan lengannya pada leher sang suami.
Taehyung menyeringai begitu Jeongguk tak menolak ciumannya. Pun hal itu justru semakin membuatnya semangat untuk melumat habis belah bibir Jeongguk hingga sang suami turut merasakan kopi yang tadi ia seruput. Inilah cara baru meminum kopi dengan metode yang lebih menyenangkan, untuk Taehyung.
Jeongguk hanya diam. Ia menerima semua afeksi yang Taehyung berikan. Tangannya sedikit meremat kaos belakang milik sang suami dengan jantung ketar ketir. Yang bisa Jeongguk lakukan hanyalah mengimbangi permainan Taehyung─sebab jujur, ini adalah kali pertama baginya untuk berciuman.
“Nggh─Tae...” Jeongguk mendesah pelan. Pun penyebabnya adalah Taehyung yang menggoyangkan pinggangnya dengan gerakan sensual. Hal itu tentu saja membuat kejantanan mereka bersentuhan di balik celana. “Apa yang ka─kamu lakukan?” Jeongguk mengeliat dengan sensasi asing pada pusat kejantanannya.
Desahan kecil Jeongguk justru membuat Taehyung bersorak senang, ia langsung memasukkan lidahnya kala kesempatan itu ada. Ciuman mereka semakin dalam dan tak terkendali seiring gerakan pinggul Taehyung yang kian menggoda. Tangannya tak bisa diam hingga meremas rambut belakang Jeongguk dengan kuat.
Sadar saat nafas keduanya sudah tersengal, Taehyung jauhkan wajahnya tuk kemudian terkikik begitu melihat wajah lucu Jeongguk. Taehyung bawa jarinya tuk bersihkan saliva pada sudut bibir sang suami. Bahkan bibir milik Jeongguk tampak memerah dari sebelumnya. “Gimana? Kamu suka sama cara minum kopi ala aku?”
“Tae─kamu gila.” Jeongguk palingkan wajahnya. Bergerak tak nyaman saat pusat tubuhnya tak berhenti berdenyut, ia tahu ada sesuatu yang aneh di sini. “Geser dulu dong kamu. Aku mau ke kamar mandi.”
“Eits─” Tahan Jeongguk yang hendak beranjak, Taehyung menolak tuk bangkit. Melirik ke bawah untuk temukan celana milik sang suami yang sudah menggembung sebagaimana miliknya, Taehyung menyeringai senang. “Aku bisa bantu kamu, sayang.”
“Apa yang─ahh, shit, Taehyung....”
6 notes · View notes
dawatpena · 4 years ago
Text
Si Veteran
Hampir saja aku ketinggalan kereta menuju Surabaya. Stasiun Yogyakarta penuh sesak. Entah karena orang-orang memang berniat untuk pulang ke tempat asal atau hanya sekadar liburan. Alasan pertamalah yang membuatku naik kereta api. Sudah lebih dari setahun aku tidak bersua dengan keluarga. Pandemi sialan masih menghantui pemerintah untuk menyetop segala transportasi ke arah timur.
Sesampainya di tempat duduk aku masih mengecek segala barang bawaan, meskipun aku tidak akan turun jika masih meninggalkan barang penting di kos. Beruntung aku masih mendapat tiket tempat duduk di pinggir jendela, tempat favoritku. Aku akan merasa jengkel jika selama delapan jam tidak bisa melihat pemandangan ke luar.
Seorang kakek renta yang jalannya menggunakan tongkat dan tertatih-tatih duduk di sebelahku. Kakek mengenakan baju bergaris abu-abu, peci, dan celana cokelat panjang sampai mata kaki. Dia merunduk ketika kami bertatap mata. Bahkan untuk tersenyum pun dia terlihat kesusahan. Dalam semenit dia bisa terbatuk beberapa kali. Aku menawarkan minum, tapi dia menolak. Sudah biasa seperti itu, katanya.
Mesin kereta mulai menggetarkan seluruh tubuh. Perlahan besi besar ini mulai bergerak meninggalkan stasiun. Kuperhatikan orang-orang yang masih berada di dalam stasiun menunggu kereta tiba.
Beberapa kali si kakek mengerling ke arahku. Rasa canggung tidak terelakkan. Aku mencoba tetap menatap ke arah jendela. Namun tetap saja kakek tidak berpaling dariku. Aku memberanikan diri untuk menatap kakek, dan ternyata aku sudah salah paham. Si kakek dengan mata berkaca melihat ke arah jendela sembari tersenyum tipis.
“Kakek ingin berpindah tempat denganku?” tawarku, entah kenapa aku merasa iba dengan cara pandang kakek yang terus-terusan menatap jendela. Sawah, rumah warga, gedung, dan barisan para manusia di lampu pemberhentian kereta begitu menarik untuknya.
“Jika kau tidak masalah, aku akan menerima tawaranmu.” Kami pun akhirnya berpindah tempat. Aku tuntun terlebih dahulu si kakek sampai dia duduk. Kereta mengguncang begitu kasar membuat kakek kesusahan untuk berdiri lebih dari sepuluh detik.
Sekarang si kakek memandang jendela tanpa melihat sekeliling seakan di naik kereta hanya untuk melihat pemandangan.
“Ada yang menarik, Kek?” tanyaku. Tidak kuasa aku menahan rasa penasaran.
Kakek beringsut. Air mata samar mengalir melalui kulit keriputnya. Segera aku tawarkan tisu. “Kakek ingat sekali tempat-tempat ini. Di sini teman-temanku meninggalkanku.”
“Apa maksud Kakek?” Aku baru sadar ketika di kening bagian kanan wajah kakek terdapat sebuah jahitan sepanjang lima senti.
“Dulu Kakek adalah pejuang mempertahankan negara. Kakek melewati tempat-tempat ini untuk bergerilya. Membunuh dan dibunuh sudah hal lumrah. Betapa kejamnya aku dan mereka.”
“Kakek seorang pahlawan?” Rasa penasaranku semakin membuncah.
“Pernahkah kau melihat rupaku di buku pelajaran?” Aku menggelengkan kepala. “Berarti aku bukan seorang pahlawan. Kakek hanyalah remahan dari sekian banyaknya mayat yang harusnya tergeletak di tepian gedung bertingkat itu.” Kakek menunjuk salah satu gedung yang masih berlapis semen. Bangunan baru.
Kakek kembali menatap ke arah jendela. Kereta melaju begitu cepat sehingga tempat yang dilewati hanya seperti bayangan kabur. Aku membuka ponsel untuk mencari tahu sejarah tentang pertempuran di sekitar. Banyak sekali pemberontakan ataupun pertempuran melawam kompeni di tanah ini. Membuatku membayangkan betapa dahsyatnya kompeni ketika mencaplok seluruh wilayah tanah air. Negara kecil semacam itu bisa melahap negara kepulauan terbesar. Merinding aku seketika memikirkan perjuangan leluhur terdahulu. Suara kereta sudah bising bagiku, bagaimana jika suara itu berganti dengan suara meriam?
Mataku tidak bisa menahan rasa kantuk setelah belasan menit menatap ponsel sembari goyangan kereta yang tidak menentu.
***
Keributan membuat mataku membelalak tiba-tiba. Tangan keriput kakek sedang mencengkeram tangan seseorang di depanku. Tidak sadar ketika ponselku sudah terjatuh dari pangkuan. Seorang pemuda dengan wajah gemetar ketakutan melihatku bangun. Namun aku lebih tertarik dengan tangan renta mengeluarkan urat-urat. Kakek sekuat tenaga menahan pemuda itu agar tidak kabur setelah percobaan mencuri.
Segera aku pegang baju pemuda itu. Tidak lama kemudian petugas datang mendatangi kami. Kakek menjelaskan segala situasinya dengan runtut dan lama, bicaranya terbata-bata dan batuk membuatnya lupa tentang apa yang dijelaskan. Pemuda itu digiring menjauh layaknya seorang kriminil yang akan masuk ke penjara.
“Terima kasih, Kek.”
“Sudah seharusnya.” Dia terbatuk-batuk, dan kali ini lebih parah. Cengkeramannya sudah membuang banyak tenaga. Sebotol air mineral dan roti aku ambil dari dalam tas. Kakek tidak sungkan menerimanya. Langsung diteguknya dengan cepat sebotol air mineral tersebut.
“Tangan Kakek begitu kuat.”
“Sudah terbiasa membawa alat berat.”
“Apa Kakek juga termasuk tentara yang membawa senjata laras panjang?”
“Tidak hanya senjata aku bawa, puluhan mayat aku panggul dan kukuburkan.”
“Di mana Kakek menguburkan mereka?”
“Kita sedang melewati pemakaman mereka.”
Bulu kudukku tiba-tiba bergidik. Aku menjulurkan leher untuk melihat ke arah luar. Hanya jalan raya yang penuh dengan kendaraan aku lihat. Tidak ada satu batu nisan pun yang menonjol dari dalam tanah. Setelah itu hanya tanah lapang yang sudah ditandai markah Tanah Milik Pemerintah.
“Mereka sudah tertutup legamnya aspal, proyek pemerintah, dan kerikil rel yang berhamburan ke sana ke mari,” jelas kakek tiba-tiba.
Sesaat aku tidak bisa berkata apa-apa. Tidak aku sadari jika aku sedang melewati tumpukan mayat yang sudah dilupakan orang modern sepertiku. Pikiranku berkelana jika saja di sekitar rumah, tempat aku bekerja, atau tempat biasa aku berkumpul dengan teman merupakan makam bagi para leluhur. Mungkin saja.
Sudah empat jam sejak kereta meninggalkan Stasiun Yogyakarta. Separuh perjalanan itu pula kakek masih memperhatikan jendela. Mulutnya bergumam seolah sedang memanjatkan doa untuk para leluhur.
Tiba-tiba kakek berteriak histeris menghilangkan lelap kantukku. Seluruh penumpang memandang ke arah kami. Kedua tangan kakek memegang dinding dan wajahnya menempel di jendela. Aku berusaha untuk menenangkan kakek dan menyuruhnya untuk duduk kembali. Heran sekali ketika aku memerlukan tenaga ekstra untuk menarik kakek dari jendela. Seluruh genggamanku bahkan tidak bisa merangkul lengan kakek sepenuhnya. Kakek mulai tenang ketika akhirnya melewati tempat yang membuatnya histeris. “Ada apa, Kek?” Aku ulurkan botol mineral.
Dia menunjuk ke jendela, tapi mengarahkannya ke belakang. “Tempat itu, Nak.” Kakek menatapku. “Di tempat itu, aku dan teman-teman seperjuangan sedang bersembunyi di dalam parit. Namun sebuah peluru meriam sebesar kepala orang menghantam sekitar kami. Seorang teman kehilangan kedua kaki. Parit itu kemudian menjadi makam untuknya.” Kulihat wajah kakek yang penuh trauma. Dia mengeluarkan seluruh keberaniannya untuk menceritakan pengalaman perangnya kepadaku.
“Apakah Kakek marah karena mereka tidak dimakamkan di tempat yang seharusnya?”
“Tidak pernah sekalipun aku marah karena hal itu. Sampai matipun mereka masih berguna bagi bangsa dan negara. Mereka menjadi pupuk untuk menumbuhkan kehidupan yang lebih rindang.” Kakek berdeham. “Mati mereka lebih berguna ketimbang hidup kakek yang lari meninggalkan mereka, kembali ketika mereka tidak bernyawa.” Kakek mulai mengucurkan air mata. “Desing peluru membuatku ketakutan setengah mati.”
Aku menyentuh pundak kakek yang gemetaran. Tak kulanjutkan pertanyaanku yang membuatnya ke perasaan trauma. “Stasiun mana tempat pemberhentian Kakek?”
“Surabaya.”
“Kakek mengunjungi sanak keluarga di sana?”
Kakek mengangguk.
Kereta berhenti tepat di Stasiun Surabaya. Aku dan kakek membaur bersama orang-orang yang berhamburan keluar kereta. Barang bawaan terasa lebih berat ketika selesai perjalanan. Duduk selama delapan jam membuat seluruh tubuh terasa pegal.
Aku tuntun tubuh renta kakek. Orang-orang tidak memandang tua muda ketika ingin segera sampai ke tujuan. Setelah keluar dari pintu kereta, aku berpamitan dengan si kakek. Dia tersenyum kepadaku. Aku menengok ke belakang, tapi anehnya si kakek tetap terpaku di pinggir rel membuatku khawatir. Aku hampiri dia. “Kakek, kita sudah sampai di Surabaya, bukankah Kakek ingin keluar stasiun?”
“Tidak, Nak. Kakek akan kembali ke Yogyakarta.”
“Kakek naik kereta hanya untuk ziarah ke makam teman. Perjalanan yang menyenangkan. Terima kasih sudah mendengar cericau seorang kakek tua ini.”
1 note · View note
thehmovement · 5 years ago
Text
Curang Si Isteri
Aku adalah seorang isteri yang setia. Namun setia dan sabar ada hadnya. Suamiku ada masalah jiwa. Dia mungkin mengalami inferiority complex. Padaku dia tetap suamiku namun padanya aku lebih tinggi taraf dan kedudukan dari dirinya. 
Inilah masalahnya sehingga suamiku, Hasan tidak sedar akjan diri dan tingkah lakunya. Wahai suamiku, sesungguhnya engkau adalah tergolong dalam kalangan yang amat kusayangi. Sukamu adalah kegembiraanku dan dukamu adalah kesedihanku jua. Ketahuilah olehmu sayangku, Sesungguhnya kehidupan ini penuh dengan onak dan duri serta seribu kemungkinan yang telah ditakdirkan tuhan. 
Dalam seribu kemungkinan itu, kita adalah salah satu darinya. Tidak seorang pun diantara kita yang tahu akan rezeki, jodoh serta ajal maut dirinya sendiri. Oleh itu, bersabarlah kiranya telah tiba takdir Tuhan untuk orang yang kita sayangi. Ujian Allah itu ada hikmah di sebaliknya. Dan redhalah kiranya ketentuan Allah telah tiba untuk dirimu sendiri. Siapalah kita di sisi Tuhan untuk mempertikaikan takdir dan ketentuannya. 
Sayang, Dunia ini bukanlah hanya milik kita. Tapi ia telah dianugerahkan tuhan untuk seluruh makhluknya untuk diuji, siapakah diantara kita yang paling bersyukur? Hitunglah olehmu akan anugerah Tuhan. Pastinya tiada terhitung. Telah kupohon dari Tuhan agar suamiku berubah. Agar suamiku memberi sedikit perasaan dan tumpuan padaku. Bukan aku minta kekayaan. Jauh sekali harta benda.
Yang kupohon perhatian, kasihsayang dan apresiasi aku sebagai isteri yang telah memberikan kepadanya tiga orang cahayamata. Aku tidak boleh menyalahkan sesiapa. Aku yang bertugas sebagai seorang penolong pengarah di sebuah jabatan kerajaan. Gaji aku agak lumayan, lebih besar dari gaji suamiku. Aku diperhamba oleh suamiku. Baik duit ringgit dan juga tubuh badanku. 
Aku menyayangi dan menyintai dia namun dia, suamiku take for granted. Semua hal rumah aku yang tanggung-dari sekcil bil sehinggalah sebesarnya. Malah rumah yang kami diami ini adalah pembelian hasil dari loan kerajaan yang aku berkelayakan memilikinya. Aku sendiri hairan kenapa suami aku bertindak begini. 
Dia hanya tahu membayar hutang keretanya sahaja. Ishh.. Kalau hendak diceritakan banyak yang menyakitkan hati. Tension namun tekanan ini terpaksa aku hadapi juga mahu atau tidak mahu.
“Ko jangan lebih.. Nanti aku tingalkan ko..” Begitu nada cabaran atau ancaman suamiku. Lelaki yang aku kasihi dan sayangi, kini sanggup meloentarkan kata-kata sedemikian setelah aku turut sama membantu membina rumahtangga ini. Hatiku pedih bagai dihiris. Tidak pernah aku melawan lelaki yang aku kasihi dan sayangi.
"Jangan ingat ko yang kuar duit belanja, ko nak lebih-lebih. Aku suami, aku boleh buat apa aku suka, aku ketua keluarga, kalau aku tak izinkan ko bekerja, kau tak boleh act juga,” herdik suamiku, Hasan (38 tahun) lagi. Hasan memandang kepada Tini(33 tahun) menyampah. Tini, wanita yang dikasihi dan dicintainya satu waktu dulu, kini menjadi isterinya dan melahirkan iga orang zuriatnya. 
Dia menyampah kerana dia merasakan Tini mula mencabar kedudukannya. Statusnya. Tini sudah berjawatan dan dia masih berada di tahap itu, seorang posmen biasa. Aku frust. Aku mula bosan. Bila waktu terluang aku berjinak-jinak dengan chatting. Aku lebih gemar berada dalam chenel veteran webnet masa itu. 
Dalam chatting aku boleh mengeluarkan apa yang terbenam atau terbuku dalam dadaku. Ramai chaters yang mahu berkenalan. Aku melayan juga. Ramai yang chatting SEX-ada yang aku layan ada yang aku tidaklayan. Namun aku berpegang kepada chaters pertama yang aku chat. Nick dia Man1Luv-seorang lelaki veteran berusia (45 tahun), Abang N, berkeluarga dan seperti diriku bermasalah juga. Kami sering bertukar maklumat dan masalah. Abang N sering menasihatkan. Kami masing-masing sukakan keluarga dan menyayangi keluarga kami.
“Loving does’nt means owning. Mengasihi tak semestinya memiliki. We can love each other in our own way. Itu sahaja comitmentnya,” kata Abang N padaku. Aku menghayati kata-katanya. At least ada lelaki yang memberikan perhatian. Yang memberikan sedikit nasihat dan pandangan. Dan I like it. Pada ku filsofi dan kata-kata itu menangkap hatiku. Agak nervous juga nak berdate dengan Abang N. Malumlah bab datang ni sudah dekat sepuluh tahun tidak dibuat. Date untuk kerja adalah. Tapi date liesure ini jarang. 
Namun peluang date ini berlaku apabila aku berada di kawasan utara-di Penang sebenarnya. Dan kebetulan Abang N juga berada di Penang waktu itu. Infact-kami chatting bila waktu terluang. Paling tidak kami SMS selalu juga. Itulah pendekatan dan perhubungan kami membuatkan kami rasa akrab walaupun belum pernah berjumpa. Wow segak, kacak dan berpendidikan tinggi Abang N. Boleh tahan and appealing. Cair juga walaupun aku rasa aku muda but it is nice to have a man senior than you for a friend. 
So kali pertama we met at Cititel Penang. Kekok juga aku walaupun Abang N menyuruh kita menjadi kawan biasa atau kawan lama. Buangkan rasa malu yang menahan atau menghalang kita supaya lebih terbuka dan tidak formal. Aku mencuba dan setelah beberapa waktu dengan Abang N, aku rasa comfortable dengannya.
“You’re swit.. Nice figure. Presentable.. What more do u want?” kata Abang N memuji aku sambil tersenyum dan memegang gelas jus tembikainya. "Biasa je Bang. Normal wanita, tapi hubby dah tak sukerr,” jawabku pula.
“Come on, sampai satu waktu kita kena cari apa yang kita suka nak buat. Suami atau isteri juga ada rasa mau keluar, mau mencari apa yang dimahukan,” tambah Abang N yang berkemeja batik malam tu. Kebetulan kami duduk di hotel yang sama. Aku simple sahaja orangnya, taklah tinggi tapi gempal sikit berblaus hijau muda, tudung hijau nipis dan kain hitam. Bersandal. Aku rasa selesa dan comfortable dengan Abang N. Kami kenal lama juga melalui chatting. SMS begitu juga. 
Though kami sama-sama in Kl but kami belum pernah date atau berjumpa. Kami selalu juga bertalifon. Itu sahaja but NO meeting. Biasalah chatting. Bila kita dah comfortable dengan chater regular kita hal salam kelambu pun kita citerkan. Semua ni akibat tension dan ketakpuasan yang kita hadapi. Sex peribadi suami isteri juga dihamburkan. No two ways about that. Maka adalah fantasia-fantasia yang dicerita dan kisahkan. Aku menjadi berani dewngan Abang N dalam chatting. 
Selalu bertanya pengalamannya. Aku juga berpengalaman hanya dengan suamiku. Abang N bertanya direct mahu mencuba. Aku tidak menjawab. Hati mahu tapi rasa berani tu belum ada. Namun unsangkarable.. Aku pula yang tidak tahu malu. Lupa malu sebab asyik masyuk dan senang sekali berada dengan Abang N. 
You know what? Kisah-kisah sex dan fantasia yang kami chat dan fonkan menjadi kenyataan walaupun kali pertama aku bertemu dengan Abang N. Pertama kissing Abang N. Mak oii membuatkan aku kelemasan dan cukup melayang terawang-awang. Tersekat nafas bila dikapuk dan dibelai lalu dicumbui dan dicium, tambah dipeluk. Kelemasan itu menghangatkan deria rasa. Sentuhan-sentuhan Abang N ke bahagian-bahagian yang belum pernah diterokai selama ini membuatkan aku hancur. 
"Tini.. Small tits and nice boobs, round, firm and lovely dear, i like it” puji Abang N sambil menyonyot puting tetek dan meramas susuku. Aku berasa terangkat menerima pujian Abang N. Setuhan tapak tangan, sedntuha bibir dan jilatan lidahnyake tubuhku membuatkan aku khayal dan mula bernafsu. Aku lupa dunia luar yang kuhadapi ialah Abang N di dalam bilik hotel mewah.
"Umhh cipap you wangi, tembam, tundun you tinggi Tini,” puji Abang N sambil menjilat lurah cipap ku, kemudian memainkan lidahnya dalam lubang farajku. "Makk.. Naper u lick kat situ Bang? It feels nice.. So nice..” kataku sambil merenggek dan mengeluh.
"Husband you tak lick atau tongue kat situ?” Tanya Abang N, “How do you feel..” “Nice I love it. Dah gelii.. Husband tak lick camtu. Acah-acah sahaja” jawabku dan mula merasa ngilu dan geli dijilat kemudian menggelejat dan mengeliat bila Abang N menyedut lubang cipapku bagaikan hendak terkeluar organ-organ di dalam tubuhku.
“Urghh.. Baang N.. Urghh I kuarr, you are a good licker..” kataku berani, aku sendiri terkejut dengan keberanianku. Abang N adalah lelaki kedua dalam hidupku yang menyenbtuh tempat sulit dan tubuhku.
Dan dengan perbuatan Abang N sedemikian aku menjerit dan mengerang kuat setelah mendapat klimaks. Cipapku berlendir dan Abang N masih meneruskan jilatan dan sedutannya. Kami berkucupan dan bertukar rasa. Aku benar-benar horny. 
"Abang after ten years of marriage this is my 1st time I climax, yess Abang..” kataku sambil mengeluarkan airmata gembira. "Is that so Tini, I m surprised..” kata Abang N menyepuh wajahku mengerling manja. Aku macam rasa bahagia diulit lelaki senior ini. Nice dan membahagiakan. 
Yes.. Selama perkahwinanku, aku beranak tetapi aku tidak pernah tahu klimaks seperti apa yang aku rasa dengan Abang N. Hanya dengan jilatan dan tongueing dia sahaja aku dah klimaks. Berbeza dengan cara make love suamiku, Hasan. Kuno dan tidak sekriatif Abang N. Abang N meneruskan jilatannya. Dia aroused nafsuku semula. Aku kembali horny.
Abang N menjilat seluruh bahagian belakang tubuhku. Geli yang amat sangat. Dia menjilat lubang anal dan tongueing juga. Mak oii sedap geli amat sangat sangat. Gilerr.. Aku menjerit-jerit dan tubuhku mengigil. Never I experience semacam itu. Pukiku terus berlendir. Dan Abang N rakus menjilat dan menyedutnya.
“Oo Abang N, nice.. Nice.. Sedapp,” ujarku dalam desahku. Tubuhku terhinggut-hingut. Lebih mengeliat ke kiri dan ke kanan, mengertap bibir dan gigi, lidah dan mulut Abang N sudah berada di cipapku. Aku kengiluan dan kegelian. Dinding farajku membuka dan berlendir.
Kini aku memegang zakar Abang N. “O migodd.. Besar kote Abang. Suami I nyer tak cam Abang nyer. Boleh masuk ke Bang kat cipap Tini ni?”
Abang N ketawa kecil, “I am preparing to penetrate you well.” Dan bila Abang N mencecah dan memutarkan kepala kotenya ke clitorisku, aku mengeliat dan merasa ngilu sedap dan kemudian meletakkan kepala kotenya ke pangkal lubang farajku, baru aku mulai merasa gusar.
 Namun aku menanti dan bersedia mengankangkan kakiku luas-luas. Abang N menekan zakarnya ke lubang farajku.
“Auhh.. Abang N.. Sakit..” “Rileks Tini, it is ok.. Nanti you akan rasa sedap.” Yes. Tidak dinafikan. Aku menikmati mltiple climax bila dihenjut dengan irama yang perlahan dan kuat. Aku merasa pedih di bahagian bibir faraj, aku merasa sendat dan senak bila zakar Abang N bersarang dalam lubang farajku. Keras dan kiuat bagaikan rasa panas besi dalam cipapku. 
Aku mengapuk dan melilit kakiku di belakang tubuh Abang N yang mempompa batangnya ke lubang cipapku dan aku mengangkat buntutku untuk menerima tujahan keluar masuk zakar Abang N.
“Urgghh.. Abang nn.. Sedapp.. Sakit.. Sedapp..” “Arghh.. Oo.. Ketat lubang cipap you, Tinii.. Ketatt” “Oohh Bang nak kuar.. Bangg Nn..”
“Yess.. Yess kita kuar sama-sama sayangg..” Aku memperkemaskan diriku untuk klimaks dengan tujahan dan pompaan Abang N. Begitu juga Abang N. Aku dapat merasakan friction dinding lubang cipapku dengan geselan batang zakar Abang N.
“Urghh.. Urghh. Urghh.. Kuarr bangg Nn” “Yess.. Me too..” Abang N menghenjut kuat dan kasar sampai ke pangkal zakarnya melekat ke tun dun cipapku. “Oo Bang N.. Sedappnyaa.. Ist time sesedap ini difuck”
Aku akui. Yess-aku akui Abang N fuck me well dan sedap. Aku benar-benar kelesuan. Aku benar-benar bahagia dapat menerima kote Abang N yang besar, panjang dan keras itu. Aku selalu menginginkannya. As said by Abang N, to love is not to own. Yes I mula sayangkan Abang N, tapi bukan memilikinya. He is free and I am a free lady.
Kini aku tidak kisah apa suamiku buat. Gasak dia. Aku maintain apa yang aku perlu maintain. But at least I am happy now. Aku tidak perlu murung dan tensen akibat sikap suami yang sedemikian. I know where to get my love. Sesungguhnya tidakku miliki emas permata walaupun sebesar biji kurma untuk ku hadiahkan buatmu, namun sudilah kiranya dirimu menghayati pesananku ini buat pedoman dalam melayari bahtera kehidupan yang penuh bergelombang ini.
I always love you Abang N.
Pembaca setia, Tini akhirnya bercerai juga dari suaminya. Bukan kemahuan dia tetapi begitulah kehendaknya.
811 notes · View notes
lunarmaiar · 4 years ago
Text
Martha and I (Chapter 6)
Tumblr media
Hebat benar aku tidak menjerit. Tapi suaraku tersangkut di pangkal tenggorokan. Dan begini ekspresi Martha: 😐. Dia melihatku seperti melihat orang biasa—ya, memang maunya aku dilihat bagaimana? Mungkin aku sedikit berharap ia juga sama kagetnya sepertiku karena ini baru pertama kalinya sejak momen di kamar Martha, kami bersitatap dalam jarak yang dekat.
Toilet masih dipenuhi perempuan-perempuan yang berisik. Aku hampir oleng dan menabrak salah satu dari mereka. Namun cepat-cepat aku melipir ke wastafel dan mencuci tangan. Penguasaan diri yang cukup bagus, Lunar, bisikku. Oh, tidak sebagus itu saat kudengar Martha berucap dari belakang:
“I’m sorry if I’m terrified you.”
Ha? Apa katanya?
Aku tetap menggosok tangan sampai rasanya tanganku hilang di dalam gelembung sabun.
“Na, I’m sorry that I—“
“I know, I know. I get it. Yes you are terrifying me. Puas? Sekarang aku mau cuci tangan sampe bersih jadi kasih aku waktu untuk itu.” Oh tidak, bukan seperti itu maksudku, Mar.
“Oke, I’ll wait then.” Dari pantulan cermin, Martha menyilangkan tangan di depan dada.
Aku berbalik menghadapnya. “Wait, what? Apa yang mau kamu tunggu? Tbh, I don’t need this conversation.” NO, I NEED THIS.
“Oh yes, you need this,” balasnya.
Baiklah, terima kasih sudah memahamiku. “No I’m not. I’m so not.”
“Oke berarti aku yang butuh. Maaf kalau waktu itu aku bikin kamu… takut? Idk.”
“Hm? Kapan? Yang barusan aku maksud itu, kamu tiba-tiba berdiri di depan toiletku dan bikin aku kaget. What are you doing? It’s creepy.”
“Na, semuanya penuh. Lagian aku nggak tahu kalau kamu ada di situ.”
“Ya, kenapa nggak nunggu di bilik yang lain?”
“Jangan berputar-putar, deh. Aku di sini cuma pengin ngelurusin, aku nggak bermaksud bikin kamu takut sama pengakuan soal… kamu tahu soal apa. Aku kira kita sudah cukup dekat jadinya aku bisa ngasih tahu—”
“Bukan! Aku kan sudah bilang aku kaget sama kamu barusan. Bukan masalah, ya Tuhan aku bahkan nggak mau bahas ini, oke? Aku cuma butuh cuci tangan. Itu aja. Kamu ngerti nggak sih?!” Sekarang aku nyaris berteriak dan gerombolan di toilet mengerling ke arah kami berdua. Rupanya mereka menemukan tontonan lebih menarik dibanding gosip yang dari tadi mereka perbincangkan. “Just. Wait. For. Me. outside, oke?” kataku pada akhirnya dengan suara yang kuusahakan sekalem mungkin.
Martha mengangguk dan berlalu. Gerombolan berdeham dan satu per satu berjejer di wastafel. Merapikan rambut, memupuri kembali wajah mereka, dan cuci tangan sama sepertiku—tidak, mereka tidak seberingas aku. Ngomong-ngomog, parfum mereka membuatku pusing.
Setelah mengeringkan tangan dan mempersiapkan diri, aku keluar dari toilet. Sebuah tangan menarikku tepat saat langkah kakiku menyentuh bagian luar toilet.
Dingin. Tangan Martha dingin dan ia mencengkram pergelanganku dengan erat, terlalu erat dari yang semestinya. Di sebuah bangku taman, ia akhirnya melepaskanku.
“I’m sorry…,” desahnya.
Aku tidak berani melihat ke arahnya.
“This is not your fault.” Suaraku bergetar dan emosi yang telah lama mengangguku tumpah begitu saja. Andai emosi yang kita keluarkan memiliki wujud. Pasti aku sudah tenggelam karenanya. Kupandangi semut-semut yang membawa daun di bawah kakiku. Pada titik itu aku tidak tahu, mana yang lebih gemetar, suara atau bahuku.
Untuk menghentikan tangis, ada baiknya untuk mulai memikirkan hal lain. Maka aku mengingat rasa air mata yang asin. Pantas saja setelah lama menangis, seseorang akan kehausan. Banyaknya kadar garam yang–
Pikiranku belum benar-benar sibuk ketika Martha membawaku ke dalam pelukannya dan berkali-kali mengucapkan mantra ‘that’s okay, everything gonna be okay’. Aku jarang percaya ucapan klise semacam itu. Tapi Martha membuatnya terdengar sangat apa adanya sehingga mustahil aku menolaknya.
Kenapa saat sudah besar sekalipun, kita masih bisa nangis sampai sesenggukan?
2 notes · View notes