#lampu meja
Explore tagged Tumblr posts
gadgetuniks · 10 months ago
Text
lampu belajar atau lampu kerja yang diletakkan di meja. Sudah menggunakan LED, bisa memberikan penerangan lebih terang sehingga membuat nyaman membaca, belajar, dan bekerja
0 notes
jungjungan · 2 months ago
Video
youtube
Lampu Meja Belajar Komputer cuman 50rb TERMURAH ! Review dan Unboxing
Link Pembelian TERMURAH : https://shope.ee/7pPDJgRHZV
buat kamu yang sering membaca di situasi gelap, itu sangat tidak baik untuk kesehatan mata kamu, dan mata kamu akan menjadi minus dan rusak. Daripada menghabiskan puluhan juta untuk operasi lasik, Lebih baik beli Stand Lampu Meja belajar ini yang dijual hanya 50 ribu ! Saya sangat merekomendasikan karena lampu ini memiliki build quality yang sangat baik, kokok, dan cat di seluruh body nya halus
YouTube : youtube.com/MejaUnbox TikTok : tiktok.com/mejaunbox Instagram : instagram.com/meja.unbox Facebook Page : facebook.com/mejaunbox Twitter : x.com/MejaUnbox
lampu meja belajar lampu meja belajar led lampu meja belajar jepit lampu meja belajar tempel lampu meja belajar aesthetic lampu meja belajar terbaik lampu meja belajar arsitek lampu meja belajar mr diy cara membuat lampu meja belajar cara memperbaiki lampu meja belajar cara pasang lampu meja belajar diy lampu meja belajar meja belajar yang ada lampu buat lampu meja belajar membuat lampu meja belajar dari barang cara membuat lampu meja belajar dari kayu cara membuat lampu meja belajar dari kardus cara membuat lampu meja belajar dari stik es krim cara membuat lampu meja belajar dari cara membuat lampu meja belajar dari pipa paralon cara membuat lampu meja belajar dari barang bekas desain lampu meja belajar lampu untuk meja belajar rekomendasi lampu meja belajar membuat lampu meja belajar membuat lampu meja belajar sendiri review lampu meja belajar murah review lampu meja belajar meja belajar pakai lampu lampu belajar anak-anak lampu belajar yang bagus cara bikin lampu meja belajar lampu meja lampu meja belajar lampu meja rias lampu meja makan gantung lampu meja bar lampu meja kerja lampu meja makan lampu meja tidur lampu meja komputer lampu meja arsitek lampu meja rias led lampu meja gaming lampu meja afdruk lampu meja akrilik lampu meja aoki lampu meja automatik bersensor inframerah cara memasang lampu meja arsitek lampu gantung di atas meja makan meja afdruk lampu uv lampu meja belajar aesthetic perbaikan koleksi lampu meja antik meja afdruk lampu led meja rias ada lampu meja belajar yang ada lampu lampu meja belajar jepit lampu meja belajar tempel lampu meja baseus lampu meja belajar terbaik lampu meja belajar arsitek lampu meja belajar mr diy membuat lampu meja belajar sendiri lampu gantung meja bar lampu meja mini bar bikin lampu meja belajar baseus lampu meja bikin lampu meja buat lampu meja belajar buat lampu meja buat kap lampu meja bikin lampu meja makan cara buat lampu meja belajar cara bikin lampu meja hias cara bikin lampu meja lampu meja cafe lampu kristal meja cara pasang lampu meja rias cara memasang lampu meja rias cara membuat lampu meja belajar cara membuat lampu meja cara membuat lampu meja rias sendiri cara memperbaiki lampu meja belajar cara pasang lampu meja belajar cara menyalakan lampu meja rias cara pasang lampu meja bar cara membuat lampu meja tidur lampu meja dari stik es krim lampu meja dari paralon lampu meja dapur desain kamar estetik desain kamar estetik cowok desain kamar estetik low budget desain kamar estetik 3x3 desain kamar estetik simple desain kamar estetik minimalis desain kamar estetik cowok murah desain kamar estetik cowok low budget desain kamar tidur cowok estetik desain kamar tidur cowok minimalis estetik desain kamar mandi estetik desain kamar anak estetik kamar cowok estetik desain poster cara desain kamar estetik
0 notes
karlykar · 2 months ago
Video
youtube
Lampu Meja Belajar Komputer cuman 50rb TERMURAH ! Review dan Unboxing
Link Pembelian TERMURAH : https://shope.ee/7pPDJgRHZV
buat kamu yang sering membaca di situasi gelap, itu sangat tidak baik untuk kesehatan mata kamu, dan mata kamu akan menjadi minus dan rusak. Daripada menghabiskan puluhan juta untuk operasi lasik, Lebih baik beli Stand Lampu Meja belajar ini yang dijual hanya 50 ribu ! Saya sangat merekomendasikan karena lampu ini memiliki build quality yang sangat baik, kokok, dan cat di seluruh body nya halus
YouTube : youtube.com/MejaUnbox TikTok : tiktok.com/mejaunbox Instagram : instagram.com/meja.unbox Facebook Page : facebook.com/mejaunbox Twitter : x.com/MejaUnbox
lampu meja belajar lampu meja belajar led lampu meja belajar jepit lampu meja belajar tempel lampu meja belajar aesthetic lampu meja belajar terbaik lampu meja belajar arsitek lampu meja belajar mr diy cara membuat lampu meja belajar cara memperbaiki lampu meja belajar cara pasang lampu meja belajar diy lampu meja belajar meja belajar yang ada lampu buat lampu meja belajar membuat lampu meja belajar dari barang cara membuat lampu meja belajar dari kayu cara membuat lampu meja belajar dari kardus cara membuat lampu meja belajar dari stik es krim cara membuat lampu meja belajar dari cara membuat lampu meja belajar dari pipa paralon cara membuat lampu meja belajar dari barang bekas desain lampu meja belajar lampu untuk meja belajar rekomendasi lampu meja belajar membuat lampu meja belajar membuat lampu meja belajar sendiri review lampu meja belajar murah review lampu meja belajar meja belajar pakai lampu lampu belajar anak-anak lampu belajar yang bagus cara bikin lampu meja belajar lampu meja lampu meja belajar lampu meja rias lampu meja makan gantung lampu meja bar lampu meja kerja lampu meja makan lampu meja tidur lampu meja komputer lampu meja arsitek lampu meja rias led lampu meja gaming lampu meja afdruk lampu meja akrilik lampu meja aoki lampu meja automatik bersensor inframerah cara memasang lampu meja arsitek lampu gantung di atas meja makan meja afdruk lampu uv lampu meja belajar aesthetic perbaikan koleksi lampu meja antik meja afdruk lampu led meja rias ada lampu meja belajar yang ada lampu lampu meja belajar jepit lampu meja belajar tempel lampu meja baseus lampu meja belajar terbaik lampu meja belajar arsitek lampu meja belajar mr diy membuat lampu meja belajar sendiri lampu gantung meja bar lampu meja mini bar bikin lampu meja belajar baseus lampu meja bikin lampu meja buat lampu meja belajar buat lampu meja buat kap lampu meja bikin lampu meja makan cara buat lampu meja belajar cara bikin lampu meja hias cara bikin lampu meja lampu meja cafe lampu kristal meja cara pasang lampu meja rias cara memasang lampu meja rias cara membuat lampu meja belajar cara membuat lampu meja cara membuat lampu meja rias sendiri cara memperbaiki lampu meja belajar cara pasang lampu meja belajar cara menyalakan lampu meja rias cara pasang lampu meja bar cara membuat lampu meja tidur lampu meja dari stik es krim lampu meja dari paralon lampu meja dapur desain kamar estetik desain kamar estetik cowok desain kamar estetik low budget desain kamar estetik 3x3 desain kamar estetik simple desain kamar estetik minimalis desain kamar estetik cowok murah desain kamar estetik cowok low budget desain kamar tidur cowok estetik desain kamar tidur cowok minimalis estetik desain kamar mandi estetik desain kamar anak estetik kamar cowok estetik desain poster cara desain kamar estetik
0 notes
joimood · 2 months ago
Video
youtube
Lampu Meja Belajar Komputer cuman 50rb TERMURAH ! Review dan Unboxing
Link Pembelian TERMURAH : https://shope.ee/7pPDJgRHZV
buat kamu yang sering membaca di situasi gelap, itu sangat tidak baik untuk kesehatan mata kamu, dan mata kamu akan menjadi minus dan rusak. Daripada menghabiskan puluhan juta untuk operasi lasik, Lebih baik beli Stand Lampu Meja belajar ini yang dijual hanya 50 ribu ! Saya sangat merekomendasikan karena lampu ini memiliki build quality yang sangat baik, kokok, dan cat di seluruh body nya halus
YouTube : youtube.com/MejaUnbox TikTok : tiktok.com/mejaunbox Instagram : instagram.com/meja.unbox Facebook Page : facebook.com/mejaunbox Twitter : x.com/MejaUnbox
lampu meja belajar lampu meja belajar led lampu meja belajar jepit lampu meja belajar tempel lampu meja belajar aesthetic lampu meja belajar terbaik lampu meja belajar arsitek lampu meja belajar mr diy cara membuat lampu meja belajar cara memperbaiki lampu meja belajar cara pasang lampu meja belajar diy lampu meja belajar meja belajar yang ada lampu buat lampu meja belajar membuat lampu meja belajar dari barang cara membuat lampu meja belajar dari kayu cara membuat lampu meja belajar dari kardus cara membuat lampu meja belajar dari stik es krim cara membuat lampu meja belajar dari cara membuat lampu meja belajar dari pipa paralon cara membuat lampu meja belajar dari barang bekas desain lampu meja belajar lampu untuk meja belajar rekomendasi lampu meja belajar membuat lampu meja belajar membuat lampu meja belajar sendiri review lampu meja belajar murah review lampu meja belajar meja belajar pakai lampu lampu belajar anak-anak lampu belajar yang bagus cara bikin lampu meja belajar lampu meja lampu meja belajar lampu meja rias lampu meja makan gantung lampu meja bar lampu meja kerja lampu meja makan lampu meja tidur lampu meja komputer lampu meja arsitek lampu meja rias led lampu meja gaming lampu meja afdruk lampu meja akrilik lampu meja aoki lampu meja automatik bersensor inframerah cara memasang lampu meja arsitek lampu gantung di atas meja makan meja afdruk lampu uv lampu meja belajar aesthetic perbaikan koleksi lampu meja antik meja afdruk lampu led meja rias ada lampu meja belajar yang ada lampu lampu meja belajar jepit lampu meja belajar tempel lampu meja baseus lampu meja belajar terbaik lampu meja belajar arsitek lampu meja belajar mr diy membuat lampu meja belajar sendiri lampu gantung meja bar lampu meja mini bar bikin lampu meja belajar baseus lampu meja bikin lampu meja buat lampu meja belajar buat lampu meja buat kap lampu meja bikin lampu meja makan cara buat lampu meja belajar cara bikin lampu meja hias cara bikin lampu meja lampu meja cafe lampu kristal meja cara pasang lampu meja rias cara memasang lampu meja rias cara membuat lampu meja belajar cara membuat lampu meja cara membuat lampu meja rias sendiri cara memperbaiki lampu meja belajar cara pasang lampu meja belajar cara menyalakan lampu meja rias cara pasang lampu meja bar cara membuat lampu meja tidur lampu meja dari stik es krim lampu meja dari paralon lampu meja dapur desain kamar estetik desain kamar estetik cowok desain kamar estetik low budget desain kamar estetik 3x3 desain kamar estetik simple desain kamar estetik minimalis desain kamar estetik cowok murah desain kamar estetik cowok low budget desain kamar tidur cowok estetik desain kamar tidur cowok minimalis estetik desain kamar mandi estetik desain kamar anak estetik kamar cowok estetik desain poster cara desain kamar estetik
0 notes
dekoruma · 9 months ago
Text
10 Contoh Ide Kamar Tidur Hitam Putih Berbagai Gaya
Dekoruma.net ~ Kalau teman-teman merasa bosan dengan nuansa kamar tidur dengan warna yang netral, namun tidak terlalu suka dengan warna yang ngejreng atau warna cerah yang terkesan norak. Maka pilihlah konsep warna yang cocok dan selalu sukses untuk segala jenis gaya/ style rumah dan kamar tidur. Gaya Teman-teman bisa memilih warna hitam dan warna putih untuk nuansa kamar tidur, karena warna…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
Text
Tumblr media
0821-3359-1353 JUAL LAMPU GANTUNG MINIMALIS MODERN DIJOGJA
Penerang kegelapan✨
Hadir lagi nih kak, hanging lamp dari @naturalan.id !! Bentuknya yang eyecatching bikin ruangan makin cantik dikegelapan 💕
Langsung diorder yuk kak, sebelum kehabisan 🤫🥰👉Hubungi : 0821-3359-1353 (admin ita) 👉 Klik link yang ada diBio ( Langsung terhubung dengan Whatsapp admin )
📍 Naturalan Home Decor Jl. Kasongan No.3, Karangpule, Tirtonirmolo, Kec. Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55184
0 notes
nalza73 · 4 months ago
Text
Terkulai dalam Pelukan Ayah Tiri
– Nama aku Suzana.. Nama manja aku Sue. Dari kecil lagi Mama dan Papa aku bercerai. Aku dijaga dengan penuh kasih sayang oleh Mama yang bergelar usahawan berjaya. Setahun lepas, ketika aku baru menginjak umur 17 tahun Mama berkahwin untuk kali keduanya dengan seorang duda tak ber anak.Nama bapa tiri aku namanya Rafie.. Aku panggil Uncle Rafie jer.. Dia ni ada iras-iras Yusuf Haslam, cuma bedanya dia ni kurus skit dan badannya tegap walaupun sudah umur 42 tahun. Sexy pokoknya pengen aku peluk badannya dan aku jilat – jilat kontolnya. Aku hairan sebab aper la Uncle Rafie ni tergila-gila nak kahwin dengan Mama aku yang lapan tahun lebih tua dari dia. Agaknya sebab Mama ni banyak duit kot.. Tu yang dia terikat dengan Mama. Hai.. Nasib dia lah tak der anak dengan Mama sebab buat pengetahuan korang semua, Mama aku sudah monopos pun. Tak der redeki lar nak menimang anak. Aku pun tak ingin dapat adik. Aku lebih senang jadi anak tungal dalam keluarga. Inilah yang memulai ada kejadian cerita ngentot terkini.
Hubungan aku dengan uncle Rafie pun bukannyer rapat sangat. Kalau aku tak nak tengok muka dia kat rumah waktu cuti minggu, aku pergilah lepak dengan kawan aku kat rumah diorang.. Tak pun aku kunci bilik dan senyapkan diri aku. Memang aku jarang bercakap dengan dia ni. Tak tahu lah sebab apa.. Mungkin aku rasa dia agak muda dari Mama. Uncle Rafie ni memang hensem.. Macho, orang kata makin sudah injak umur 40-an.. Makin tu diorang hebat. Entah lah.. Pada aku tak pun. Makin sudah 40 tu, makin tua lah..
Nak dipendekkan ceritanya.. Suatu hari, Mama terpaksa pergi ke Switdeland sebab ada urusan kat sana yang melibatkan cawangan syarikat Mama kat sana. Aku memang tak penah ditinggalkan Mama lagipun waktu tu aku masih menghadapi SPM kertas terakhir. Aku bukannyer apa.. Tak der orang nak temankan.. Lagipun rumah aku mana ada pembantu rumah. Takkan aku kena tinggal dengan Uncle Rafie kot. Ish! Nak muntah aku bila mengenangkan laki tu.. Last Mama pujuk aku.. Tiga empat hari lagi dia balik lah.. Bukannyer lama pun. Akhirnyer aku termakan pujuk Mama. Pagi tu Mama berangkat ke Switdeland dengan ditemani Unce Rafie ke airport. Aku pula cepat2 pegi ke perpustakaan negeri nak study sebelum last paper SPM petang nanti.
Bila sudah habis exam tu, aku pun lepak kejap kat shopping complex dengan member aku. sudah nak dekat senja baru aku balik. Aku tengok tak der kereta uncle Rafie.. So aku pun lega lah. Terus masuk rumah guna kunci spare dan masuk bilik aku utk mandi. Habis bersihkan badan aku, aku pun lap2 badan aku. Then, aku pun sarungkan baju tidur nipis aku warna merah jambu kegemaran aku. sudah malam kan.. Malas aku nak pakai coli. Cuma aku pakai panti warna pink jer.. Takut jadi apa-apa, naya aku nanti.
Aku tutup lampu utama bilik aku dan buka lampu meja bagi cerah skit bilik aku. Hawa dingin dari aircond bilik aku menyebabkan aku kedinginan. Aku rebahkan badan aku kat katil aku sambil menarik selimut tebal membaluti tubuh aku. Dalam samar-samar dari lampu meja, aku mula menguap dan mataku antara pejam dan tak pejam. Telingakuseakan mendengar pintu bilikku diselak. Terkejut dengan bunyi tu, aku terus bangkit mendadak. Tersembul muka Uncle Rafie di balik pintu. Dia sudah siap pakai pijama warna biru laut. Perlahan, dia hampiri aku dan duduk di tepi katil ku bersebelahan denganku yang terduduk di birai katil. Aku jadi tergamam bila dia masuk macam tu jer ke bilik aku.
“Sudana sudah makan ker?,” tanya uncle Rafie. Suara dia.. Alahai, romantik nyer tanya aku macam aku ni bini dia plak. Aku angguk. Malas nak jawab.
“Mama ada telefon uncle tadi.. Bagi tahu yang dia sudah selamat sampai kat sana,” beritahunya lagi. Aku angguk lagi.
“Erm.. Cam mana dengan last paper tadi? Susah tak?” tanya uncle rafie lagi, membuatkan aku sudah tak senang duduk. Ni sudah melampau lah tanya macam2.. Aku sudah ngantuk giler ni. Penat seharian kat luar.
“Susah tu susah lah. Kalau senang cam kacang, bukan exam nama nyer..” aku menjawab selamba.
Aku ingat dia nak marah lah aku sebab aku macam kurang ajar kat dia. Alih-alih, dia ketawa kecil. Menyampah aku tengok dia cam tu. Mengada-ada.. Nak tunjuk dia tu macho lah tu.. Jangan harap!!, bentak aku dalam hati.
“Kalau cam tu.. Keluar result nanti.. Memang boleh lulus lah ni..” katanya lagi.
“Bukan setakat lulus.. Lulus dengan cemerlang punya,”jawabku.
Tanpa aku sedar, tangan aku tersentuh tangannya yang kasar. Uncle Rafie terus menggenggam erat tanganku. Aku rasa bila tangannya genggam tangan aku yang kesejukkan tu, aku rasa selesa. Tangan dia yang suam-suam panas tu, memberi keselesaan pada aku yang memang kesejukkan. Aku cuba tarik balik tangan aku dari dipegang uncle Rafie. Tapi, aku tak berdaya melawan kudratnya yang lebih kuat.
“Tangan Sudana sejuk.. Selesa tak bila uncle pegang?” tanya uncle Rafie.
Aku geleng kepala, pada hal aku mmang selesa dengan genggaman tangan dia tu. Tapi, uncle Rafie masih boleh senyum lagi. Walau pun dia memang hensem dan gentleman.. Tapi aku rasa menyampah sangat tengok muda dia. Mungkin sebab aku cemburu bila uncle Rafie jadi milik Mama yang memang tak sepadan dengan dia yang jauh lebih muda.
“Uncle.. Lepas kan tangan Sue..” rayuku bila makin kuat genggaman tanganku hinggakan dari rasa selesa, aku rasa sakit sebab genggaman dia terlalu kuat bagi diriku yang hanya gadis yang lemah. Perlahan, dia melonggarkan genggaman tangan ku tapi masih memegang tanganku, tak ingin dilepaskan. Aku sendiri tak tahu apa yang bermain di fikiran uncle Rafie sekarang ni.
Uncle Rafie mula menginjak ke arahku. Dari tepi katil, dia kini duduk berhadapan dengan ku. Dari cahaya lampu meja, aku tengok dia sedang mengamati aku. Hairan nyer.. Aku tak halang pun dia dari berada bersama aku di atas katil. Dalam aku menolak, aku merelakan perbuatannya itu.
Uncle Rafie mendekatkan bibirnya ke telingaku dan aku dapat rasa dadanya yang bidang itu tersentuh buah dadaku yang tak memakai coli.
“Uncle tahu Sudana perlukan uncle malam ni..” bisiknya dengan nada seksi. Baru lah aku faham maksud dia kini.
“Eh! Mana ada.. Sue tak takut pun.. Dan tak perlukan uncle sampai bila-bila..” aku menjawab sombong.
Uncle Rafie tenang dengan jawapan aku yang kasar itu. Aku hairan dengan perangai dia yang begitu tenang menghadapi telatah ku yang nakal.
Tiba-tiba, dia memegang pehaku. Baju tidur nipis aku sudah terselak ke pangkal peha waktu dia datang tadi. Aku tersentak bila dia mengusap lembut pehaku. Aku mengetap bibirku menahan godaannya. Mata aku dan mata dia bertentangan sambil tangannya menjalar ke celahan pehaku yang putih gebu itu. Kaki ku tergerak ke atas akibat usapan yang merangsang aku. Tak pernah aku mengalami keadaan begini. Memang aku agak jahil dalam bab ni walaupun aku sudah menginjak remaja.
Melihat aku yang tak menolak sentuhannya, tangan ku yang digenggamnya dilepaskan lalu badannya cuba rapat pada badanku. Muka kami agak rapat bertentangan. Dadanya bersentuhan sekali lagi dengan dadaku. Aku rasa ada sesuatu sedang menusuk ke perutku. Aku pegang benda panjang itu dan wajah uncle Rafie serta merta berubah. Dia tundukkan kepalanya bila aku usap benda tu. Dia kelihatan menahan kesedapan yang amat sangat.
“Ooohh!!” dia berbisik kesedapan.
Rupanya, aku telah memegang batangnya yang telah lama menegang sejak dia bersentuhan dengan dadaku. Cepat-cepat aku lepaskan, dan wajahnya mendongak semula menatap wajahku yang betul-betul dekat dengan muka dia. Aku yang bersandar di birai katil tertolak ke belakang akibat ditindih badannya yang besar. Pinggangku yang ramping dipegang kemas oleh tangannya lalu dia mengucup bibirku.
Aku betul-betul terkejut dengan tindakkannya itu. Seumur hidup aku inilah pertama kali dicium oleh lelaki. Tanpa aku sedari, aku menendang perutya. Dia tertolak ke belakang, dan kesempatan inilah yang aku gunakan untuk melarikan diri. Aku tak sanggup menyerahkan tubuhku kepada lelaki yang bukan milikku. Lagipun, bukan kah aku memang membenci dia?
Pintu yang terbuka memudahkan aku melarikan diri dari cengkaman bapa tiriku. Entah bilik mana yang kumasuk pun, aku sudah tak ingat. Uncle Rafie mengejar ku ke bilik yang aku masuk. Pintu bilik sudah ku kunci. Air mata bergenang di kelopak mataku. Aku ketakutan bila pintu bilik diketuk berkali-kali. Aku mendiamkan diri di atas katil. Tiba-tiba, pintu itu terbuka. Uncle Rafie memeluk tubuhnya sambil merenungku yang ketakutan. Aku bangkit semula bila dia cuba mendekati aku. Macam mana aku nak lepaskan diri dari dia?
“Kalau Sue nak lari pun.. Takkan lari ke bilik uncle dan Mama?” soalnya sambil tersenyum. Aku baru perasan yang bilik ini adalah bilik Mama dan uncle.
“Please uncle.. Jangan buat Sue macam ni..” aku mula menangis.
Dia mula bergerak ke arah ku, sedang aku cuba menjauhkan diri darinya. Bila dia semakin jauh dari pintu bilik cepat2 aku cuba keluar dari bilik itu. Tapi, kali ni tubuhku cepat disambar oleh ayah tiriku. Aku meronta-ronta minta dilepaskan. Pelukkan nya erat, agar ku tak terlepas seperti tadi. Dengan mudah dia mengendong badanku. Aku semakin liar cuba untuk melepaskan diri. Baju tidur ku terkoyak tanpa ku sedari. payudara kiriku terkeluar dari baju tidurku yang nipis, sedangkan tangan kasar ayah tiriku tersentuh putingku yang tiba-tiba menjadi kejang.
Badanku dihumban ke atas katil Mama dan uncle Rafie. Aku cuba menutup payudara kiriku yang jelas memuncak, teransang dengan sentuhan ayah tiriku itu. Uncle Rafie membuka baju pijamanya. Di hadapan ku kini, tubuh sasa seorang lelaki yang bernama Rafie.
Dia cuba menindih tubuhku yang dua kali ganda kecil darinya. Aku meronta-ronta bila baju tidurku direntap rakus.
“Uncle.. Jangan..” rayuku, namun tidak diendahkannya.
Tubuhku digomol semahu-mahunya. Terasa satu benda panjang menyucuk di celah pehaku yang kebasahan. Aku sudah tak sanggup menghadapi sitiasi itu lagi. Katil tempat tidur Mama ku dan ayah tiriku kini menjadi medan peperangan kami. Bibirku dikucup rakus. Tangannya memegang erat tanganku yang meronta-ronta minta dilepaskan.
Lidahnya cuba membolosi mulutku yang terbuka sedikit. Dijolok2 nya lidahnya dengan melagakan lidahku membuatkan aku kegelian sekejap. Permainan lidah uncle Rafie membuatkan aku semakin layu dalam pelukkannya. Penolakkanku bertukar kepada penerimaan. Aku memegang pinggangnya sambil cuba mengulum lidahnya bagi membalas serangannya terhadap lidah ku. Kami bermain-main lidah hampir lima minit. Ternyata unce Rafie hebat ketika di ranjang. Dari mulut, dia menjalarkan lidahnya ke leherku.
“Aaarhh..” aku mendesis kesedapan.
Dicium nya leherku bertalu-talu membuatkan aku kegelian dalam keenakkan sambil mendongak kepalaku bagi memudahkan dia memainkan peranannya. Leher ku seakan dijerut oleh tali bila dia mengulum kuat isi kulitku pada leher. Mungkin ini lah yang selalu orang panggil “love bite”. Aku mengerang kesedapan yang amat sangat. Kucupan hangat dari bibir nya memberi satu kepuasan yang tak terhingga. Ketika dia mula menjalarkan mulut nya ke dadaku, aku mula rebah perlahan lahan. Badanku yang tadi meronta-rota inta dilepaskan, kini aku terbaring lemah.
Aku rasa macam ada cecair yang keluar dari kemaluanku. Aku berada di celahan kaki Uncle rafie yang sedang berlutut. Dia memandang ku. Aku dapat rasakan.. Dia seorang romantik org nya. Dia menghadiahkan ciuman pada dahiku dengan penuh kasih sayang. Rambut depanku diselak ke tepi sambil mengusap lembut pipiku. Aku usap lembut dadanya yang berbulu nipis itu. Agak kebasahan dek peluh walaupun bilik Mama berhawa dingin. Dia cuba merapatkan badannya ke badanku, dan aku rasa tertindih dek kerana badannya yang sasa dan besar itu. Ciuman di jalarkan ke pangkal dadaku yang separuh terselak.
“Hemm.. Puting Sue sudah menegang..” katanya bila dia menyentuh buah dadaku yang melonjak naik bila tersentuh tapak tangan uncle Rafie.
Aku menggeliat bersama erangan berbaur nikmat itu. Tak tahan dengan erangan aku itu, uncle Rafie terus menjilat putingku hinggakan kebasahan buah dadaku. Aku memegang erat besi katil sambil kepalaku bergoyang kanan dan kiri. Eranganku bertambah bila dia cuba menggigit putingku. Rambutnya kuramas kuat sambil menekan-nekan kepalanya pada buah dadaku yang pejal dan tegang itu.
“Ooohh.. So good..!! Eeerrmmpphh.. Please uncle..” rayuku meminta agar dia meneruskan gigitannya itu. Pengalaman pertama dijilat dan digigit pada putingku menjadikan aku tak keruan dibuatnya.
“So.. Please make me feel so good Rafiee..!!” jeritku bila dia mengentel-gentel putingku dan meramas-ramas buah dadaku yang bagaikan buah betik itu.
Aku kelemasan dan lemah longlai diperlakukan begini buat pertama kalinya seumur hidup aku. Tanganku terkulai layu. Uncle Rafie pegang tanganku dan meletakkan kedua-dua tanganku ke atas bagi memudahkan dia menanggalkan baju tidurku. Aku hanya menurut saja keinginan lelaki itu.
Bila tali baju tidurku direntap sekali, maka terlerailah baju tidur ku dari tubuhku yang selama ini aku tatang bagai minyak yang penuh. Entah kemana dia melontar baju tidur aku pun, aku tak pasti. Kini aku menjadi perhatian matanya yang agak terkejut dengan rupa buah dadaku. Diramasnya perlahan-lahan, sambil membuat pusaran pada buah dadaku yang melentik ke atas. Bila dia memusarkan usapan ada buah dadaku, aku meronta-ronta kesedapan sambil meracau-racau tak sedarkan diri akibat terlalu nikmat. Aku agak, pantiku sudah tak dapat menampung kebasahan yang membanjiri celah kangkangku. Malu pun ada bila lutut uncle Rafie tersentuh pehaku yang sudah basah dek air nikmatku.
Uncle Rafie mula menjilat putingku kiriku dengan hujung lidahnya. Aku tergerak ke atas sambil mengeliat sehabis-habisan. Kepuasannya hanya aku dan dia yang mengerti. Buah dada sebelah kanan ku diramas-ramas sambil mengentel-gentel putingku. Batangnya terasa tercucuk-cucuk pada celahan pehaku.
“Uncle.. Uuuhh!! Noo.. Uncle.. Eeerrmmss.. Hhhaa..” aku memanggil-manggil nya diiringi dengan erangan yang mengasyikkan. Aku mula terasa kesemua air nikmatku seakan-akan menghambur keluar dari lubang cipapku yang berbalut panti itu. Uncle Rafie melepaskan buah dada kananku lalu merayap ke taman laranganku. Usapan lembut menyentuh cipapku kemudian dia merasa di lurah cipapu yang banjir teruk.
“Hmm.. Tat”s mean, u already climax,” bisik uncle Rafie.
Dalam sedar tak sedar akibat menghamburkan air nikmat tadi, aku bertanya.
“Climax tu apa Uncle?” tanyaku kebodohan. Uncle Rafie mencium bibirku.
“Tandanya.. Sue sudah mengalami puncak nikmat hubungan kita ni.. Bila rasa macam sudah terkeluar, bagi tahu lah kat Uncle yang Sue sudah cumming atau climax..” ajar uncle Rafie sambil meraba-raba cipapku.
Antara dengar tak dengar aku angguk jer.. Nikmat yang dberikan oleh uncle Rafie kepadaku malam ini membuatkan aku khayal sekejap. Kemudian, aku dapat rasakan pehaku dikuak perlahan-lahan oleh uncle Rafie. Sedikit demi sedikit aku terkangkang luas yang mana memberi kemudahan pada uncle Rafie untuk becelapak di tengah. Malu dengan renungan nya, aku merapatkan kembali pehaku.
“Kenapa ni..? don’t do this to me..” pujuk Uncle Rafie sambil menguak kembali pehaku seluas yang mungkin. Dirapat kepalanya ke arah celah kangkangku.
Dia menjilat-jilat cipapku yang masih berbalut panties pink. Lidahnya menjolok-jolok lurah cipapku.
“Usshh aarrgghh..” erangku sambil tanganku mulai meramas buah dadaku sendiri dan sebelah lagi mencapai kepala uncle Rafie. Dia mulai menarik seluar dalamku sambil terus mengucup ari ari kepunyaanku.
Dan bila mana terbuka saja panties maka terserlahlah cipapku yang nampak timbul tembam dengan bulu yang sedikit sekitar cipapku. Aku lihat uncle Rafie tersenyum melihat keindahan lurah cipapku yang kebasahan. Tanpa melengahkan masa, dia terus membenamkan muka nya kecelah kelangkangku dan mulai menjilat biji kelentitku.
“Argghh ishhs sisshh uuoohh..” aku mengerang lagi serentak dengan mengangkat punggungku. Terasa air ku bertambah banyak yang keluar sehingga seluruh mulut dan hidung uncle Rafie telah cukup basah.
“Hmm.. Taste really good..” katanya sambil menjilat-jilat baki lendir ku yang melekat di tepi bibirnya. Agaknya, bau airku menyegarkan uncle Rafie serta menyelerakan membuat dia tambah kuat ingin menjilat cipapku. Ini lah pertama kali seumur hidupku cipapku di jilat oleh seorang lelaki dan aku tak menyangka lelaki yang pertama medapat tubuhku ialah ayah tiriku sendiri..
Dia teruskan jilatannya sambil tangannya terus meramas tetekku yang asyik berlaga antara satu sama lain bila badanku menggigil kenikmatan setiap kali biji kelentitku di hisap dan disedut berkali-kali. Nikmat tak terhingga.. Aku puas dengan layanan istimewa uncle Rafie. Dari perasaan benci, timbul perasaan sayang kepada lelaki yang 14 tahun tua dari aku.
Akhirnya..
“Aaabbngg unncllee.. Aaarrgghh..” serentak itu aku mengepit kepalanya dengan kuat dan tangan ku menekan-nekan kepala nya kuat ke cipapku sehingga aku rasakan hidungnya terbenam dalam lubang cipapku membuat uncle Rafie agak sukar bernafas, tanganku sebelah lagi memegang tangan nya yang meramas buah dadaku dan menekan dengan kuat disitu.
Aku dapat merasakan air hangat seakan-akan melimpah keluar dari lubang cipapku. Lama aku mengepit uncle rafie sehingga aku mengangkat tinggi punggungku. Tetiba aku menjatuh punggung ku dan membuka kelangkangku semula.. Sempatlah uncle Rafie bernafas seketika namun belum sempat dia menarik nafas sekali lagi aku terkepit dan punggungku terangkat tinggi dan menjerit..
“Uuunnccllee!! Help mee!!”
Setelah beberapa saat baru aku menjatuhkan punggungku dan melepaskan kepala uncle Rafie dari sepitan pehaku. Satu keluhan berat keluar dari mulutku “hhaarrhh”. Air nikmatku mengalir lagi dari lubang cipapku. Aku klimaks kali kedua. Aku terkulai layu. Uncle Rafie memelukku unuk mententeramkan perasaan ku yang sudah keletihan. Tak sanggup rasanya untuk meneruskan perjuangan yang entah bila akan selesai. Aku mencium lehernya dan meraba-raba punggungnya yang pejal.
“I love you..” bisiknya padaku. Aku tersentuh dengan ucapan nya itu. Ku usap belakangnya lalu kubisikkan ke telinganya.
“I love you too..” tanpa kusedar aku mengaku yang aku memang menyintainya sejak mula dia sah menjadi suami Mamaku. Rambutku yang serabut diusap penuh kasih sayang.
Dalam itu uncle Rafie menindih tubuhku, kedua lututku dibengkukkan ke atas dan uncle Rafie berada ditengah-tengahnya, taman milikku ternganga menghadap uncle Rafie yang mengacu batangnya ke arah lubang cipapku.
Aku yang tiba-tiba tersedar kehendak sebenar uncle Rafie mula merayu minta jangan dimasukkan batangnya yang panjang 7 inci itu ke dalam lubang cipapku. Aku masih belum sedia menyerahkan mahkotaku kepada lelaki yang bergelar bapa tiriku. Aku takut aku benih uncle Rafie dan aku akan bercambah dalam rahimku yang subur. Kalau itu terjadi, macam mana aku nak terangkan pada Mama? Sanggupkah dia menerima yang suaminya mempunyai anak bersama anak gadisnya sendiri? Aku mula menangis merayu pada uncle Rafie. Perlahan, uncle Rafie merangkak ke atasku dan mengucup pangkal dadaku yang putih melepak.
“Oohh.. Uncle.. No.. Please..” aku menangis di hadapannya. Jelas sekali aku dalam ketakutan dengan tindakkan yang aku lakukan ini. Uncle Rafie mengesat air mata yang mengalir di pipiku. Aku tahu dia tak akan memaksaku melakukan perkara yang aku tak suka.
“Why Sue? Tadi Sue kelihatan bahagia bersama abang. Kenapa menolak permintaan uncle? Please.. Uncle perlukan Sue untuk melengkapkan saat bahagia kita ni, “pujuk uncle Rafie sambil membelai pipiku. Pujukkan uncle Rafie membuatkan aku terleka.
“Sue takut.. Uncle suami Mama.. Kalau benih uncle tersemai dalam rahim Sue.. Macam mana sue nanti?” tanyaku tersesak-esak.
Sebenarnya aku memang ingin merasai kenikmatan bila batang uncle Rafie masuk ke dalam lubangku dan kami mencapai klimaks bersama. Tapi, aku tak cukup yakin dengan tindakkan ku meniduri uncle Rafie.
“Then.. Uncle akan bertanggung jawab. Mama sue tak kan tahu perkara ini.. Abang akan carikan ikhtiar untuk sue. Uncle akan beri nama abang kepada anak kita nanti..” pujuk uncle Rafie. Aku yang termakan pujuk rayunya mengangguk dalam terpaksa. Uncle Rafie kemudiannya merangkak menuruni celah kangkangku yang terbuka luas.
Taman larangan ku ternganga menadah batang yang mengacu ke arahnya, uncle Rafie sengaja menggesel kepala batangnya yang berkilat itu ke arah celah yang terbuka supaya kepala tersebut bertambah licin akibat cecair yang melilih dari rongga ku yang keghairahan, geselan tersebut menimbulkan rasa semakin sedap buat ku. Erangan kuat terkeluar dari mulutku. Uncle Rafie tidak gelojoh untuk menghunuskan senjatanya ke dalam alat sulit ku. Aku mula hilang sabar untuk menikmati nikmat bila dia cuba melengah-lengahkan tujahan berbisa batangnya itu.
“Unncllee.. Pleasee.. Hurryy.. Let it come in my pussyy..” rayuku tanpa sedar meminta bapa tiriku sendiri segerakan menyetubuhinya.
“Come down honey.. We play our game slowly and smooth.. ” bisik uncle Rafie ditelinga ku dengan nada yang berahi.
“Hold on Sue.. Abang nak masukkan” bisik uncle Rafie sambil menggomol payudaraku.
Tanpa lengah-lengah lagi aku menggemgam alat kelakiannya dengan mengarahkan kelubukku yang telah sedia menanti, dengan perlahan uncle Rafie menekan senjatanya ke dalam. Lantas bibir ku dikulumnya serentak buah dadaku diramas diikuti menambah tekanan ke arah lubang yang sempit. Uncle Rafie ketika itu berkerut dahinya bila dia dapat merasakan kehangatan lubuk yang telah sebahagian ditembusi senjatanya walaupun sempit tetapi dapat ditembusi kerana ruang tersebut berlendir dan bengkak, uncle Rafie cuba menambah tusukan, sesuatu telah ditembusi membuatkan aku mengaduh.
“Aduh.. Sakit.. Uncle.. Please.. You hurt me..” lantas aku menolak tubuh uncle Rafie yang menindihku serta merapatkan peha agar tidak ditikam lagi.
“Please open it.. Honey.. You will not feel hurt anymore..” rengek uncle Rafie membujukku.
“Sakit uncle..” balas ku yang sudah tidak dapat menikmati keenakan dibelai lelaki sebagaimana tadi.
Pedih celah kelengkangku direjah oleh senjata bapa tiriku masih dirasainya tapi aku cuba juga membukakan kelengkangku untuk uncle Rafie menambah benamannya ke dalam lubukku walaupn kesakitan dirasai akibat rayuan dan pujukan uncle Rafie.
Kulihat uncle Rafie begitu bersemangat tapi berhati-hati menghunus senjatanya supaya aku tidak terlalu sakit. Dia melakukan aktiviti menyorong tarik perlahan cuma setakat separuh sahaja, sementara itu punggung aku diramasnya manakala kedua buah dadaku menjadi uliannya, mulut ku dikucupnya membuatkan aku bagaikan tak bernafas membiarkan diriku digomol dan dipaku oleh uncle Rafie. Uncle Rafie merasa terlalu nikmat walaupun senjatanya tidak sepenuh meneroka lubang kemaluan anak tirinya ini, nafsu membuak-buak. Aku tidak merasa nikmat sebalik menahan kepedihan celah kelangkang yang dicucuk, walaupun uncle Rafie begitu lancar mencucuk kelangkangku.
Daripada merasa sakit, aku kembali ke keadaan normal orang bersetubuh. Kenikmatan yang dirasai akibat tujahan batang uncle Rafie yang panjangnya 7 inci itu membuatkan aku hilang pedoman, hilang kewarasan ku selama ini dan juga aku lupa yang kini aku sedang bermadu kasih dengan bapa tiriku sendiri. Farajku terasa sengal bila batang uncle Rafie ku kemut dengan rakus, aku harap uncle Rafie faham yang aku tak ingin batangnya dicabut keluar waktu itu.
Mungkin menyedari aku masih berupaya mengemut batang nya, uncle Rafie kembang-kembangkan kelopak cendawannya agar batangnya itu membengkak dalam farajku. Aku menahan kesedapan yang diterima dari uncle Rafie. Aku pejam mata kuat-kuat sambil badanku menggigil-gigil bila kelopak cendawan uncle Rafie mengembang dan mengucup dalam farajku. Aku kegelian. Bahuku dipegang kuat oleh uncle Rafie, cuba menahan aku daripada terus menggigil yang menyebabkan dia hilang rentak. Tapi, aku tak peduli, apa yang kurasakan ini lebih membuatkan aku lebih bertenaga untuk melawan pegangannya yang memang kuat itu.
Perbuatan uncle Rafie itu itu membuatkan faraj ku kian bertambah kuat kuncupannya. Dan kemutan itu semakin kerap dan berulang laju. Kini aku dapat merasa yang uncle Rafie mengeluh kesedapan bila batangnya ku kemut kuat-kuat. Aku takkan benarkan ia tercabut dari tubuhku. Aku dapat melihat wajah hensem uncle Rafie berkerut menahan nikmat yang aku berikan padanya. Kadang-kadang, dia mengetap bibirnya. Akhirnya tubuhnya turut menggigil penuh nafsu sepertiku tadi. Aku sempat tersenyum melihat uncle Rafie kian lemah dengan perbuatan aku mengemut batangnya. Kemudian aku menutup mataku. Kami mengayuh dengan penuh bertenaga. Aku peluk dpinggangnya dan aku menggerakkan tubuh kami atas bawah agar batangnya tak lari dariku. Nafasku semakin cemas. Tapi, orang berpengalaman seperti uncle Rafie membuatkan aku kagum dengan sikapnya yang lebih matang dalam menangani situasiku kini. Lalu, biji kelentitku digentel dengan laju dalam keadaan batangnya masih terendam kuat dan padat dalam lubang farajku yang kian rakus kemutannya.
Tak semena-mena kemudian aku melonjak sedikit. Nafasku terhenti helaan. Kemutku menyepit. Aklu dapat rasa basahnya batangnya uncle Rafie di dalam lubangku. Aku mengetap bibirku. Dahiku berkerut merasakan kemuncak berahi yang amat ladat. Lama.. Hampir tiga empat minit, mencecah lima minit. Dan sudahnya, gelinjatku tenang semula. Dadaku mulai berombak semula. Nafasku terhela lesu. Dan bibirku tak diketap lagi tapi aku ingin membicarakan sesuatu dengan uncle Rafie. Farajku berdenyut perlahan dan basah. Perlahan-lahan aku membuka kelopak mataku dengan perasaan malu. Tadi aku menolak, sekarang lain yang jadinya.
“Got it.. Honey?” Tanya uncle Rafie.
“Yes honey.. I got it.. Ooohh..!! I”m feel so horny..” balasku dengan suaraku yang serak akibat terlalu lama menjerit kesedapan. Kakiku terdampar luas menguak selepas tadinya sewaktu mencapai tahap berahi, ianya terkancing rapat.
Tiba-tiba uncle Rafie mendakapku erat dan dalam keadaan batangnya masih terbenam rapat dalam faraj ku, dia berpaling posisi dengan susah payah sehinggakan akhirnya, kini uncle Rafie pula berada terlentang di bawah dan aku duduk di atas. Posisi itu membuatkan batang uncle Rafie makin terasa menyucuk dan menyenak di dalam farajku sehingga menganjak pintu rahimku yang berbonggol pejal.
Tiba-tiba aku rasa begitu malu sekali ketika itu kerana bapa tiriku dapat melihat buah dadaku yang subur gebu, perutku yang slim, pinggangku yang ramping, dan semak halus di bawah perutku yang kini menelan sepenuhnya tongkol keras batang bapa tiriku ini. Aku sentuh perut uncle Rafie yang berotot pejal itu. Aku usap dengan rahimku masih bersatu dengan batang uncle Rafie yang tajam dan keras itu. Uncle Rafie merenungku dalam. Aku tahu dia begitu kagum dengan keindahan tubuhku yang kini menghadapnya yang sedang berbaring.
“How do you feel rite now? If you really want to give up.. Terserah lah.. Uncle tak ingin memaksa Sue..” katanya perlahan.
Kami bagaikan pasangan suami isteri yang bahagia. Memang aku amat bahagia sekarang ni. Uncle Rafie memenuhinya dengan perasaan yang tulus ikhlas.
“Kalau Sue tak suka, terserah pada Sue.. Uncle tahu Sue memang inginkan perhatian daripada uncle selama ini. Cuma uncle tak berkesempatan bersama dengan Sue.. Kalau Sue tak suka, uncle tak layak menghalang kehendak Sue sebab uncle sudah berada di bawah..” Uncle Rafie sengaja mahu menguji emosiku ketika ini.
Dia tahu yang aku mula menerima keindahan yang kami kecapai tadi. Mungkin dia inginkan kepastian samada ingin meneruskan lagi atau berundur dari medan perang ini. Ku lihat, uncle Rafie mendepangkan tangannya dan meluruskan kakinya sambil merenung tepat ke mata ayu ku.
Dia terus meneran mengembangkan kelopak cendawannya supaya meregang memadatkan ruang dalaman faraj ku supaya aku terus merasakan tekanan yang memberangsangkan. Perlahan-lahan aku mengangkat pinggulnya melepaskan batang pelir yang ditelan oleh farajku. Kelihatan licin kulit batang uncle Rafie itu diselaputi benih ku tadi. Keruh dan lendir. dat yang menikmatkan. Dan aku benar-benar terasa kecundang sebab terpaksa juga aku melepaskan batang Uncle Rafie itu dalam keadaan yang begitu berat melepaskan kepala cendawan bapa tirku yang kejang membesar itu. PLOP! Terlepas dari farajku dan aku terus berbaring meniarap dengan kepala terteleng ke arah yang bertentangan dari bapa tirku ini.
Uncle Rafie tersenyum. Aku nekad untuk mengharungi malam ini bersamanya. Melihat aku berbaring disebelahnya, uncle Rafie dapat mengagak yang aku telah mengambil keputusan yang nekad berhubung hubungan kami berdua. Aku ingin meneruskan perjuangan kami yang belum selesai. Diambilnya minyak baby oil Johnson yang terletak di meja sebelah katil.
Lalu dituangkannya minyak itu ke pinggulku sehingga mengalir turun ke alur farajku. Kemudian digosokkannya minyak itu penuh menyelaputi pinggul ku yang keras dan pejal itu. Dan sekali sekala dia melajakkan jarinya itu ke faraj ku yang masih menginginkan tusukan tumpul batangnya yang setongkol 7 inci itu.
Perlahan-lahan dan berhati-hati dia naik merangkak memanjat ke belakang ku lalu menindih. Batang pelirnya diletakkan di alur pinggul ku yang pejal itu. Aku berdiam membiarkan. Aku ingin dia meneruskan dengan membiarkannya tanpa bantahan. Uncle Rafie gesel dari bawah ke atas. Bila pelirnya mengena celah peha ku, ianya kurasa memukul sedikit pintu dubur dan pintu faraj ku secara bergilir sebelum dilayangkan semula naik ke alur pinggul ku.
Lama juga uncle Rafie berbuat macam tu. Aku menahan kesedapan. Mataku terpejam rapat setiap kali batang pelirnya digesel atas bawah dan memukul duburku dan pintu farajku. Tanpa di suruh, aku tertonggek pinggulku kepada uncle Rafie yang menindih tubuhku. Aku tunjukkan kepadanya rekahan pintu farajku yang sudah basah diminyakkan olehnya tadi dengan baby oil Johnson tadi.
Dengan agak gelojoh, pantas uncle Rafie merendamkan kembali kepala cendawannya masuk melalui liangku yang indah lagi nikmat itu. Berdesup masuk dengan lebih mudah dari pertama kalinya. Aku pegang dengan kuat-kuat birai besi katilku. Aku memberikan tindak balas berlawanan bagi membantu uncle Rafie menelan batang nya supaya tertujah lebih jauh lagi ke dalam farajku.
Uncle Rafie sorong perlahan-lahan, kemudian tarik sedikit, kemudian sorong lagi dan tarik lagi. Pada setiap kali sorongan masuk, aku melonjak ke belakang ke arah uncle Rafie, pada masa sorongan tarik keluar, aku makin menganjak ke arahnya kerana tidak mahu batangnya terkeluar dariku
386 notes · View notes
lanmaxtremesblog · 7 months ago
Text
Seks Dengan Janda
Beberapa tahun yg lepas, aku ada berkenalan dgn seorang janda beranak satu yang berumur lebih kurang 30 tahun dan pada waktu itu aku berumur kurang 5 tahun daripadanya. Janda tersebut aku gelarkan sebagai Ana sahaja dan beliau berasal dari negeri Cik Siti Wan Kembang. Kami berdua telah berkenalan lebih kurang 3 bulan dan aku amat tertarik dengan penampilan Ana. Dia mengusahakan sebuah saloon kecantikan dan tinggal berseorangan di sebuah apartment di kawasan Lembah Kelang. Tinggi Ana ni hampir sama dgn aku (lebih kurang separas telinga aku yang mempunyai ketinggian 170cm). Kulitnya putih, berbadan kurus lansing dengan punggung sedikit tonggek dan tetek yang mekar sederhana besar. Ana berambut hitam lebat dan lurus melepasi sedikit paras bahu. Pendek kata, walau apa jenis pakaian yg dia pakai pasti benar-benar membuatkan aku stim gila, cuma selama itu aku ni tak berapa berani nak ayat seks dengan dia walaupun dia ni jenis yang betul2 sporting dan open minded.
Satu malam Sabtu, Ana menelefon aku untuk meminta pertolongan aku membaiki lampu dapurnya yang terbakar. Aku berjanji dengan Ana yang aku akan ke apartmentnya pada keesokan paginya kerana malam tersebut aku ada urusan lain dan Ana bersetuju. Esoknya, aku pun pergi ke apartmentnya bersendirian. Sampai di rumah Ana tepat pukul 9:00 pagi, begitu bersemangat aku ketika itu. Aku disambut Ana yang berpakaian kebaya ketat dgn mesra. Keanggunan Ana pada pagi itu benar2 terserlah dengan bau aroma yang enak dicium dan mekap nipis beserta bibir yang bergincu merah yang menaikkan lagi seri wajahnya. Pagi itu Ana benar2 menyeksa nafsu berahi aku terhadapnya selama ini. Mata aku tak lepas daripada menatap Ana yang menyambut aku ketika itu, dari hujung rambut hingga ke hujung kaki aku menatapnya. Aku sedikit tertegun bila mata aku menatap bahagian dada Ana yang benar2 menonjol di sebalik kebaya ketat yang dipakainya. Sebahagian dadanya yang putih jelas kelihatan.
“Hei Razlan, mata tu jaga2 sikit, nanti Ana cucuk…. buta.” Ana menegur aku kerana melihat aku terpegun lama menatap dadanya. “Oppps sori Ana, asyik sangat tadi.” Jawab aku selamba. “Gatal….” sambut Ana sambil mencubit manja lengan aku. Aduhhhhh…. lembut sungguh jari Ana apabila mencubit lengan aku. “Jom masuk, Ana dan belikan lampu yang baru, Razlan tolong tukarkan aje. Tinggi sangat la lampu tu, Ana tak berani nak memanjat sangat,” kata Ana sambil mengunci pintu selepas aku masuk ke dalam apartmentnya.
Ana berjalan terus ke dapur sementara aku mengekorinya dari belakang. Sambil berjalan mata aku asyik menatapi lenggok punggung Ana yang berbuai lembut dan mengairahkan. Rasa2 macam nak terkam terus ke punggungnya dan terus tekapkan muka aku kat situ.
Kemudian aku memanjat kerusi dan menukarkan lampu dapurnya sambil berbual2 dangan Ana perkara biasa. Sambil berbual tu mata aku tak henti2 menjeling ke arah dada Ana yang benar2 membuatkan batang kote aku rasa tak tentu arah. Sengaja aku lengah2kan kerja menggantikan lampu dapurnya. Sambil itu aku rasa Ana perasan apa yang aku perhatikan pada dirinya dan aku lihat Ana seperti tidak kisah sangat dengan perlakuan aku itu. Sebabnya ialah aku lihat Ana hanya tersenyum kepada aku setiap kali aku cuba berpaling ke arah lain bila dia memandang aku.
Selesai menggantikan lampu dapurnya, Ana mempersilakan aku ke ruang tamu untuk menonton TV sementara Ana membuatkan minuman. Aku duduk di atas sofa ruang tamunya sementara menunggu Ana. Jam pada ketika menunjukkan baru pukul 9:30 pagi. Seketika kemudian, Ana datang ke ruang tamu sambil membawa hidangan air.
“Eh! buat susah2 pulak Ana,” kata aku kepada Ana. “Ala tak apa, teh bujang je. Buat sedapkan tekak sambil menonton,” jawab Ana seraya menghidangkan hidangan air di atas meja kecil di hadapan aku.
Ketika itu Ana membongkokkan badannya untuk menghidangkan air dan kesempatan itu aku gunakan untuk mengintai lurah dadanya. Ana dengan selamba membiarkan sahaja dadanya terdedah untuk aku tatapi dengan senang. Keputihan dan kehalusan kulit Ana ditambah dengan sebahagian bra berwarna hitam yang dipakainya dan rambut yang terurai lembut benar2 membuatkan aku menjadi tidak keruan. Ana bangun selepas menghidangkan minuman sambil tersenyum ke arah aku. Kemudian Ana terus sahaja duduk betul2 bersebelahan kiri aku.
“Razlan ni betul2 nakal la…….. tak habis2 renung Ana,” kata Ana sambi mencubit peha aku yang sedar apa yang aku perhatikan selama waktu itu. “Ala…… sikit2 je, bukan boleh luak pun,” jawab aku pula.
Kemudian kami berdua tertawa gembira. Ketawa yang membawa makna amat besar buat aku. Kami berdua menyambung semula perbualan kami sambil TV terus menayangkan cerita yang langsung aku tak ambil pusing. Daripada perbualan biasa sehingga membawa kepada cerita yang sikit2 berbaur seks. Ana benar2 sporting pada pagi itu dan itulah yang membuatkan kami berdua bertambah seronok berbual. Sambil itu juga beberapa kali tangan Ana mencubit manja peha aku.
Seketika kemudian kami berdua terdiam dan jam ketika itu sudah menunjukkan pukul 10:30 pagi. Tak sedar aku masa berlalu begitu pantas. “Rileks la dulu Lan, balik awal2 pun bukan ada apa kat rumah,” kata Ana yang perasan aku memerhatikan jam dinding ruang tamunya. Sememangnya itulah kata2 yang aku nak dengar dari mulut Ana. “Kalau boleh Lan memang tak nak balik, nak tinggal di sini dengan Ana,” selorohku bersahaja. Ana hanya tersenyum manja sambil sekali lagi mencubit manja peha aku. Ini petanda baik, kata hati aku.
Aku mengiringkan sedikit badanku menghadap Ana yang masih berada benar2 hampir di sisi kiri aku. Ana memandang ke arah aku dan ketika itu mata kami berdua bertentangan. Ana tetap terus tersenyum manja ke arah aku dan aku membalas kembali senyumannya itu. Aku beranikan diri menaikkan tangan kiriku ke atas bahunya sambil memain2kan rambut Ana. Ana membiarkan sahaja perlakuan aku itu. Oleh kerana itu, aku terus memberanikan tangan kanan aku untuk mengambil tangan kanannya sambil terus mengelus2 manja jari-jemari Ana. Ana tetap sporting dan tetap terus tersenyum tanda dia bersetuju dengan perlakuanku itu.
Kini aku benar2 merasakan bahawa peluang untuk aku menikmati hubungan seks dengan wanita idaman aku ini sudah benar2 terbuka, cuma aku sahaja yang perlu pandai memulakan. Aku beranikan diri dengan berkata, “Ana, Razlan nak mintak satu perkara sikit dengan Ana boleh tak?” Tanya aku kepada Ana. Ana mengiringkan sedikit badannya ke arah aku dan ini membuatkan muka kami berdua terus hampir berhadapan antara satu sama lain. “Mintak la, kalau boleh Ana penuhi, Ana akan penuhi, kalau tak, tak dapatlah,” jawab Ana penuh manja sambil dia terus membiarkan jari-jemarinya dielus2 oleh aku. “Tapi Ana kena janji tak marah Razlan OK,” balas aku semula. “Emmmm….. takkan Ana nak marah kot,” jawab Ana bertambah manja. Bibir ghairah Ana yang disapu nipis dengan lipstick merah pagi itu benar2 membuatkan gelora nafsu seks aku ketika itu betul2 tak tertahan lagi.
“Razlan nak mintak cium Ana boleh tak?” Tanya aku perlahan tapi dengan penuh pengharapan. Ana tetap terus tersenyum sambil memandang tepat ke arah aku dan berkata, “Razlan nak cium kat mana?” “Kat mana2 saja yang Ana benarkan,” jawab aku pula. Aku dapat rasakan kini jari-jemari Ana mula memberi respon yang baik dengan elusan2 manja yang aku lakukan pada jari-jemarinya. “Kalau Ana izinkan, kat mana yang Razlan nak cium dulu?” Tanya Ana kembali kepada aku. Aku benar2 yakin kini akan dapat menikmati batang tubuh Ana pagi itu sambil berkata selamba, “Kalau Ana izinkan, setiap inci batang tubuh Ana Lan nak cium. Dari luar hingga ke dalam dan dari hujung rambut hingga ke hujung kaki.” “Auwww…. ganas la Lan ni, ngeri Ana,” jawab Ana tertawa sambil tangan kirinya menampar manja lengan kanan aku.
Ketika itu, tangan kiri aku masih lagi aktif membelai2 rambut Ana yang aku lihat sudah mula menampakkan keresahannya. “Macamana Ana, boleh ke?” Tanya aku kembali setelah Ana tidak menjawab soalan aku tadi. Ana tetap terus tersenyum ke arah aku tanda dia memberikan respon yang baik untuk aku meneruskan tindakan aku.
Perlahan2 aku merapatkan muka aku ke arah mukanya. Perlahan2 juga aku merapatkan bibir aku ke arah bibir ghairah Ana dan Ana hanya membiarkan sahaja perlakuan aku itu. Bibir kami mula bertaut rapat buat beberapa ketika. Kemudian aku melepaskan tautan bibir tu dan ketika itu aku lihat Ana mula mendesah sedikit kekecewaan. Aku lihat Ana masih membiarkan bibirnya bersedia untuk aku nikmati sambil matanya sedikit terpejam keenakan.
Sekali lagi aku terus mencium bibir ghairah Ana dan kali ini aku menjulurkan sedikit lidahku ke dalam mulutnya yang sengaja dibiarkan terbuka. Aku memain2kan lidahku di dalam mulut Ana, berpusing2 lidah aku menjilat segala apa yang mampu tercapai oleh lidahku di dalam mulut Ana. Ana pula terus merelakan kenakalan lidah aku itu sambil tangan kirinya kini mula merangkul kuat ke arah leher aku. Mulut kami masih bertaut rapat dan setelah respon baik diberikan Ana tangan kiriku yang sedari tadi membelai2 rambut Ana terus kuat merangkul lehernya. Kini kami berdua sudah benar2 tenggelam dalam titik awal permainan seks yang aku rasakan kami berdua memang idam2kan.
Setelah puas aku memainkan lidahku di dalam mulut Ana, aku cuba menarik mulutku daripada terus mencium Ana. Namun, dengan rangkulan kuat tangan kirinya, membuatkan aku tidak berdaya untuk menariknya kembali ditambah pula kini Ana mengambil alih peranan lidah aku tadi. Kini Ana pula aktif memainkan lidahnya di dalam mulut aku. Aku benar2 asyik dilayan sebegitu rupa oleh Ana. Air liur kami kini sudah mula dinikmati pasangan masing2.
Setelah beberapa lama kemudian, kami menarik kembali mulut kami. Ana menampakkan wajah ayunya yang kini benar2 mengharapkan aksi2 seks seterusnya daripada aku. Aku tersenyum riang kepada Ana. Ana membalas kembali senyumanku itu seraya merengek manja, “Tak cukup setakat tu Razlan…..” Aku yang mendengar kata2 mengharap Ana itu faham apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi kegersangan seorang janda cantik seperti Ana.
Tangan kiri aku yang sedari tadi merangkul leher Ana kini aku lepaskan dan mula merangkul pinggang Ana pula. Genggaman jari-jemari kami berdua tadi turut aku lepaskan dan kini mengiringi tangan kiriku dengan merangkul pinggang Ana. Aku tegakkan badan kami berdua dan aku terus memeluk rapat batang tubuh Ana yang hangat dan perlukan tuntutan seks itu. Ana yang kelihatan seronok dengan layanan aku mula menggunakan kedua2 tangannya untuk merangkul kuat leher aku. Kini sebelah kaki kami memijak lantai dan sebelah lagi berlipat di atas sofa.
Kini tubuh kami berdua mula bersatu dan tetek yang sedari awal tadi asyik aku perhatikan sudah mula melekap mesra di dada aku. Alangkah enak rasanya bila dapat menikmati tetek mengkal Ana yang melekap rapat ke dada aku. Ana tersenyum melihat aku sambil terus merelakan segala perlakuan aku itu. Aku menatap wajah ayu Ana buat seketika sambil mencium kening kiri dan kanan Ana. “Ana terlalu cantik hari ni,” puji aku kepada Ana. Sememangnya aku memang gemar memuji mana2 perempuan yang berhubungan seks dengan aku kerana itulah satu2nya cara untuk aku menghargai pengorbanan mereka kepada aku dan aku sukakan suasana romantik seperti itu sebab aku rasa dengan cara itu aku akan dapat terus menikmati seks dengan perempuan yang berkenaan.
“Terima kasih Razlan,” jawab Ana sambil terus mempamerkan matanya yang sedikit terpejam nikmat itu. Aku terus melakukan aksi seperti awal tadi iaitu bercium mulut dan bermain2 lidah. Sudah tiada halangan lagi di antara kami berdua untuk aksi2 seperti itu. Kami bergilir2 memainkan peranan lidah masing2. Setelah lama begitu, aku menarik mulutku daripada bertaut dengan mulut Ana dan kini bibir dan lidahku mula memainkan peranan di sekitar batang leher Ana. Kedua2 tangan aku yang dari tadi kuat merangkul pinggang Ana mula bermain2 dan meramas2 punggung gebu Ana. Saat itu nafas Ana sudah mula kencang tanda kesedapan dan batang tubuhnya melenting2 kenikmatan sementara rengekan2 serta erangan2nya mula berterusan.
Aku mahu Ana terus berkeadaan seperti itu sebab sememangnya aku cukup bahagia bila dapat mendengarkan erangan2 dan rengekan2 nikmat seorang perempuan. Maka oleh sebab itu, lidah dan bibir aku tidak putus2 melingkari seluruh batang leher Ana yang jinjang itu. Sekali sekala tangan kiri dan kanan aku bergilir2 menepuk manja punggung Ana. “Auw……” jerit Ana kesedapan setiap kali aku menepuk punggungnya. Itulah yang membuatkan aku semakin ghairah terhadap Ana.
Setelah beberapa lama berkeadaan begitu, aku naikkan kedua2 tangan aku ke arah tetek Ana yang kini berombak amat kencang. Sambil mulutku masih terus berkeliaran di batang leher Ana, kedua2 tangan aku pula kini perlahan2 merayap di bahagian tetek Ana. Ana terus merangkul kuat leher aku tanda dia setuju dengan tindakan kedua2 tanganku itu. Perlahan2 juga kedua2 tangan aku itu meramas2 mesra kedua2 tetek Ana yang terpacak mengkal di dadanya itu. Masih lagi gebu, masih lagi mekar dan masih lagi segar tetek Ana yang dapat aku rasakan di sebalik kebaya dan bra hitam yang dipakainya. Aku benar2 geram dengan tetek Ana ketika dan itulah yang membuatkan ramasan2 dan genggaman2 tangan aku ke atas teteknya bertambah hebat.
Sambil itu aku kembalikan semula bibir dan lidahku ke arah bibir dan lidah Ana yang terus disambut rakus oleh Ana. Kesedapan yang sedang dirasai Ana ketika itu membuatkan dia menyambut sedikit ganas mulut aku. Sekali lagi mulut kami bermain2 nikmat sambil tetek Ana terus menjadi mangsa ramasan2 geram tangan aku. Kemudian itu Ana melepaskan mulutnya daripada mulut aku sambil berkata penuh manja, “Razlan, kita masuk ke bilik Ana ye, kat sini tak berapa selesa la.” “OK Ana, mana saja yang Ana mahu, Lan turutkan Sayang,” jawab aku yang seperti orang mengantuk disorongkan bantal. Ana mencapai tangan aku lalu memimpin aku terus masuk ke dalam bilik tidurnya.
Sampai di dalam bilik tidurnya, aku dapati Ana sememangnya sudah merancang segalanya untuk kami berdua. Dengan katil kelaminnya yang rapi, penghawa dingin yang sudah tersedia terpasang dan langsir yang ditutup untuk hanya membenarkan cahaya matahari pagi menyinar suram ke dalam biliknya, benar2 mengambarkan kepada aku yang Ana memang mendambakan layanan seks dari seorang lelaki seperti aku dan aku rasa amat bertuah kerana dipilih oleh Ana.
“Semuanya untuk kita berdua pagi ini Razlan,” kata Ana manja sambil terus merangkul leher dan merapatkan badannya kepada aku. “Ana perlukan seorang lelaki seperti Razlan hari ini, temankan Ana sepanjang hari ni ye Razlan. Ana relakan segala2nya untuk Razlan.” Begitulah bunyi pujuk rayu yang penuh kemanjaan dan pengharapan Ana kepada aku ketika itu. “Razlan akan buat apa saja untuk penuhi kehendak Ana bukan setakat hari ni, tapi sampai bila2 pun,” balasku pula yang sememangnya sudah lama bersedia untuk meratah batang tubuh Ana.
Kami berpelukan penuh ghairah ketika itu dan mula bermain kembali adegan2 mulut seperti tadi. Kini Ana semakin berani memainkan peranannya. Dilepaskan tangan kirinya lalu diturunkan perlahan2 ke arah dada aku dan seterusnya pergi ke bahagian koteku yang masih ditutupi dengan seluar jeans. Perlahan2 jari-jari tangannya itu bermain mesra dengan batang kote aku dari bahagian luar. Aku merasa nikmat bilamana jari2 halus dan runcing Ana melakukan begitu kepada kote aku. Kote aku yang sememangnya sedari awal tadi keras menggila kini rasanya bagai nak meletup keluar dari sarang yang membungkusinya.
Aku yang sudah benar2 asyik itu mula merangkul pinggang Ana dengan lebih kuat lagi dan perlahan2 mengangkat tubuh badannya. Ana sedikit menjerit bila aku mula mahu mengangkat tubuhnya. Ditarik kembali tangan kirinya yang bermain2 dengan kote aku tadi lantas kembali merangkul batang leher aku.
Perlahan2 aku membawa Ana ke sisi ranjangnya dan perlahan2 juga aku merebahkan tubuh Ana. Kini kami berdua sudah rebah di atas ranjang pelayaran seks kami berdua dengan tubuh aku menindih tubuh Ana. Aku menolak sedikit tubuh Ana lebih ke atas supaya keseluruhan tubuhnya berada di atas ranjang itu. Kemudian aku bangkit semula di sisi katil untuk menanggalkan baju dan seluar aku.
Sambil menanggalkan pakaian aku, aku tetap terus merenung ghairah batang tubuh Ana yang sudah terlentang menantikan tindakan2 aku seterusnya. Aku benar2 terhibur dan seronok dengan hidangan ikhlas Ana itu. Nafsu yang sudah lama bergelora di dalam diri aku telah membuatkan aku sudah tidak hiraukan apa2 lagi. Akhir sekali seluar dalam aku juga aku tanggalkan tanpa ada rasa segan silu lagi kepada Ana. Ana yang sedang berbaring sambil memerhatikan aku dari tadi sedikit terpegun melihatkan kemantapan batang kote aku. Dengan ukur lilit lebih kurang 3 inci dan panjang lebih kurang 6 inci benar2 membuatkan Ana menjadi bertambah tidak keruan.
Aku renung sepuas2nya Ana yang masih berbaring dari hujung rambut hingga ke hujung kakinya. Kain yang dipakai Ana terselak luas hingga menampakkan sebahagian daripada sepasang betis dan peha yang penuh gebu itu. Aku cuba mengawal kerakusan nafsu seks aku kerana aku mahu menikmati batang tubuhh Ana sepuas2nya dan supaya Ana juga dapat menikmati kehebatan perkhidmatan aku.
Aku yang sudah bertelanjang bulat itu perlahan2 merangkak di atas tubuh Ana dan dengan selamba Ana mencapai batang kote aku dengan kedua2 tangannya. Ana menyambut aku dengan senyuman penuh bermakna buat aku. Ana memain2kan jari-jemarinya dengan koteku yang kini sudah terlepas bebas dan bersedia untuk menyelesaikan tanggungjawabnya. Aku merasa kegelian dengan permainan Ana itu, namun kenikmatan yang aku rasakan melebihi segala2nya.
“Besar dan panjang betul anu Razlan ni, mau menjerit Ana kena tikam nanti,” komen Ana tertawa kecil dan manja sambil matanya tak lepas memandang ke arah batang kote aku. “Special untuk Ana ni,” balas aku sambil terus mencium bibir ghairah Ana. Aku membelai2 rambut Ana sambil mencium2 seluruh wajahnya. Aku mencium seluruh wajah Ana bertubu-tubi dengan penuh mesra sambil tangan kanan aku terus membelai rambut Ana. Tangan kiri aku pula sibuk meramas-ramas lembut tetek Ana yang masih lengkap berpakaian. Sementara itu batang kote dan kantung mani aku yang terlepas bebas itu terus dimain2kan Ana dengan kedua2 belah tangannya.
Beberapa lama berkeadaan begitu, perlahan2 aku menurunkan tangan kanan aku untuk membantu tangan kiri aku meramas2 kedua belah tetek Ana. Kemudian aku sendiri melurutkan badan aku turun ke bahagian dada Ana. Kini muka aku berada tepat di antara kedua tetek Ana sementara kedua2 tangan Ana yang tadi sibuk bermain2 dengan batang kote dan kantung mani aku terlepas kerana kedudukan badan aku yang telah aku turunkan dari badannya.
Aku benamkan muka aku di celah kedua tetek Ana yang sederhana besar itu sambil kedua2 tangan aku terus meramas2 teteknya. Tangan Ana yang telah terlepas bebas tadi merangkul kepala aku dengan kuat sambil Ana terus mendengus kesedapan. Aku menggesel2kan muka aku ke seluruh bahagian tetek Ana, dari pangkal hingga ke puncak dan begitulah juga sebaliknya. Aku tidak terus membuka pakaian Ana kerana aku ingin buat seperti yang aku hajatkan kepadanya sebentar tadi……. “cium dari luar hingga dalam, dari hujung rambut hingga hujung kaki.”
Aku merangkak perlahan lagi menuruni tubuh badan Ana sambil kedua2 tangan aku masih tetap meramas2 tetek Ana. Aku menggesel2kan muka aku dibahagian perut dan pinggang Ana. Ana mengelinjang nikmat bila aku perlakukan dia seperti itu. Kemudian perlahan2 juga aku menurunkan muka aku hingga ke celahan kangkangnya. Aku terus sembamkan muka aku ke bahagian tundun Ana. Ana terus mengelinjang nikmat sambil mulutnya terus-menerus mengerang2 kesedapan. Kedua2 tangan Ana semakin kuat meramas2 kepala aku. Aku terus menggesel2kan muka aku di celahan kangkang Ana sambil terus turun lagi hingga ke kedua2 kakinya.
“Razlan……… sedapnya Razlan…” Rengekan berbisik Ana jelas kedengaran dalam keadaan matanya yang masih terpejam. Kini tugasan luaran yang aku hajatkan sudah selesai. Tiba pula tugasan dalaman yang sangat2 aku nantikan sedari tadi. Aku benar2 mahu meleraikan kegersangan Ana pada pagi ini dan untuk itu aku juga mahu Ana turut sama meleraikan segala hajat seks aku terhadapnya selama ini.
Aku merangkak naik kembali hingga muka aku dan muka Ana bertentangan semula. “Sedap ke Ana.?” Soal aku kepada Ana dengan penuh lembut. “Sedap Razlan….. teruskan lagi, dah terlalu lama Ana tak dapat permainan macam ni, tolong Razlan, tolong puaskan Ana, Ana rela buat apa saja untuk Razlan pagi ni…” rengek Ana dengan penuh mengharap. Lesen besar aku untuk menikmati batang tubuh Ana ini telah mendapat kelulusan tanpa sebarang spekulasi lagi dari tuan punya tanah. Aku benar2 gembira ketika itu.
Kini aku mahu melihat Ana pula bertelanjang bulat tanpa seurat benang pun. Perlahan2 kedua tangan aku membuka butang baju kebaya Ana satu persatu. Aku selak baju kebaya Ana hingga kini jelas menampakkan batang tubuh Ana walaupun belum sepenuhnya lagi. Perut Ana kelihatan masih lagi kempis, putih bersih dan gebu lagi. Tetek Ana yang masih ditutupi bra hitamnya menambahkan lagi keinginan aku untuk melihat sepuas2nya isi yang berada di dalamnya. Aku menjadi asyik dengan pemandangan indah itu. Ana tersenyum melihatkan perlakuan aku itu tanpa ada sebarang bantahan. “Seksi Ana,” kata aku lembut kepada Ana. “Semuanya untuk Razlan,” jawab Ana.
Aku memain2kan jari2 tangan aku di sekitar bra hitam Ana. Ana mengangkatkan sedikit tubuh badannya untuk membantu aku menanggalkan baju kebayanya. Aku melingkarkan tangan kanan aku ke bahagian belakang Ana untuk membantu Ana menanggalkan kancing branya. Selesai itu, Ana tersenyum lagi ke arah aku sambil berkata, “Jangan tunggu lama2 Razlan, Ana tengah sedap ni.” Aku tersenyum ke arah Ana dan faham akan maksudnya itu.
Aku melurutkan tali bra yang tersangkut di bahu Ana perlahan2 hingga melepasi kedua2 belah tangannya. Kini, kedua2 tetek Ana hanya menunggu masa untuk didedahkan bebas kepada aku dan aku yang sedari tadi mengawal kerakusan nafsu aku, menarik perlahan2 bra hitam Ana. Ana memandang kepada aku dengan wajah yang penuh mengharap agar teteknya itu akan dikerjakan oleh aku. Aku benar2 berahi melihatkan kedua2 belah tetek yang aku ramas2 dari luaran tadi kini sudah berada bebas sebebasnya untuk tatapan dan mainan aku. Aku terus terpegun melihatkan keindahan kedua2 tetek Ana yang masih lagi tegak megah berdiri dan putih bersih dengan puting teteknya yang kelihatan sedikit kemerah-merahan.
Perlahan2 aku melekapkan kedua2 tapak tangan aku ke arah kedua2 tetek Ana. Tetek Ana yang masih mengkal dan sederhana besar itu hanya cukup-cukup berada di dalam genggaman tangan aku sahaja. Aku sememangnya amat suka dengan saiz tetek yang seperti ini. Perlahan2 aku menguli dan meramas2 kedua2 belah tetek Ana sambil jari2 tangan aku menguis2 serta menggentel2 puting teteknya. Ana semakin kuat mendesah dan mengerang sambil mata aku tak lepas dari terus menatapi kedua belah tetek Ana yang selama ini aku idam2kan sangat. Ana mengeliat2 kesedapan diselang seli pula dengan erangan2 keenakannya. Aku tak sanggup lagi menanti lama untuk mengerjakan tetek Ana yang sungguh indah menurut pandangan mata aku. Tetek yang tersergam mekar dan cantik itu sememangnya telah benar2 bersedia untuk membiarkan aku meratahnya sepuas2 hatiku.
Aku mula mencium setiap inci kedua tetek Ana dari puncak hingga ke pangkal, dari pangkal hingga ke puncak, dari kiri ke kanan dan dari kanan hingga ke kiri. Pendek kata tiada seinci pun kedua2 bahagian tetek Ana yang terlepas dari ciuman bibir aku. Kemudian aku menggantikan pula aksi2 tadi dengan jilatan2 lidah aku. Sesekali aku selang selikan adegan2 itu dengan menggigit geram tetek Ana hingga membuatkan Ana menjerit kecil kesakitan yang dicampur dengan kenikmatan. Memang betul2 lama aku memainkan aksi2 ciuman dan jilatan di kedua2 bahagian tetek Ana sehinggakan Ana benar2 tidak keruan aku kerjakan.
Puas dengan aksi2 tersebut, aku mula memberikan tumpuan ke arah puting tetek Ana yang indah menawan terpacak di puncak teteknya. Bermula di sebelah kiri teteknya dahulu, perlahan2 aku memasukkan puting tersebut ke dalam mulut aku. Aku menyonyot dan menghisap puting tersebut dengan penuh kelazatan sementara tangan kiri aku sibuk menguli tetek sebelah kanan Ana. Aku melakukannya lama2 dan ini membuatkan batang tubuh Ana mengeliat tak henti2 akibat keenakan yang aku berikan kepadanya. Dalam masa menghisap dan menyonyot puting tetek Ana, lidah aku juga turut sama memainkan peranannya dengan memainkan hujung puting tersebut perlahan2.
Puas di sebelah kiri, aku beralih pula ke sebelah tetek kanan Ana. Aku lakukan perkara yang serupa sambil kini tangan kanan aku pula meramas2 lembut tetek kiri Ana. Aku lihat Ana terus memejamkan matanya sambil mulutnya sedikit terbuka mengeluarkan rengekan manja yang menandakan kepada aku yang kini Ana sudah benar2 “melayang” dan membuktikan kepada aku yang dia benar2 rela dengan segala perlakuan aku. Aku melurutkan tubuh aku ke bahagian perut Ana pula selepas agak lama dan puas dengan permainan aku terhadap kedua2 tetek Ana yang benar2 memberahikan aku. Aku terus mencium2 dan menjilat2 seluruh perut Ana hingga ke pinggangnya. Sesekali Ana tertawa kegelian dengan perlakuan aku itu.
Kini aku mahu menumpukan pula tumpuan aku ke bahagian kelangkang Ana yang dapat aku rasakan sedikit kebasahan dengan tangan aku. Aku menanggalkan perlahan2 kain Ana yang tadi sudah terselak lebar. Aku campakkan kain Ana ke lantai dan kini aku menatap batang tubuh Ana yang hanya dilitupi dengan underwear hitamnya.
Sememangnya Ana adalah seorang perempuan yang benar2 menawan dari segi luaran dan dalamannya juga. Bukan setakat cantik pada raut wajah dan bentuk tubuhnya, tapi kecantikan dan kehalusan serta kebersihan kulitnya benar2 memikat sesiapa sahaja yang dapat melihat Ana dalam keadaan begitu. Ana masih tetap terus berbaring dalam keadaan mata yang masih terpejam menantikan dengan penuh rela akan tindakan2 aku seterusnya.
Perlahan2 aku memainkan jari2 aku di bahagian kelangkangnya. Underwear Ana aku rasakan telah benar2 basah akibat dari air mazinya. Kini aku melutut betul di celahan kakinya yang telah aku kangkangkan. Jari2 tangan kiri aku terus bermain2 di sekitar underwear Ana sementara jari2 tangan kanan aku pula mengelus2 lembut ke bahagian pangkal peha hingga ke hujung kaki kirinya. Ana terus membiarkan saja perlakuan aku itu sambil matanya tetap terus terpejam keenakan.
By_lanmaxtremesblog
535 notes · View notes
penulis-cerita-hangat · 15 days ago
Text
Bermalam Di Rumah Cikgu
Masa tu Amir umur 16 tahun. Ayah dengan ibu bertengkar kuat sampai aku tak dapat concentrate membuat revision kat bilik. Semakin kuat suara mereka, semakin api aku naik. Jadi, aku pack buku-buku aku dan keluar dari rumah.
Aku ingat Cikgu Remy yang ajar aku tuisyen Chemistry pernah cakap kalau aku takde tempat pergi, aku boleh pergi ke rumah dia. Cikgu Remy tau masalah keluarga aku. Kadangkala Cikgu nampak aku macam takde mood belajar, dia akan duduk dan berbual dengan aku.
Rumah dia bukannya jauh sangat dari rumah aku. Rumah aku kat Seksyen 2, rumah dia kat Seksyen 1. Sampai kat depan rumah, aku ternampak Cikgu sedang menyapu halaman luar.
"Eh, Amir! Kenapa ada kat sini? Ada apa-apa ke?" tanya Cikgu. Tanpa menjawab sepatah kata, Cikgu pun jemput aku masuk ke dalam. Selepas duduk kat sofa di ruang tamu, Cikgu tanya sekali lagi apa yang terjadi kat rumah.
Cikgu mendengar dengan sabar dan mengambil segelas air untuk aku. "Kalau Amir tak nak balik, Amir boleh tidur sini tapi Amir kena share katil dengan Cikgu."
Bilik lain semua Cikgu jadikan sebagai bilik kelas dengan meja panjang dan beberapa kerusi until muridnya. Hanya master bedroom ada sebuah katil queen size.
"Amir kalau penat, boleh rehat dulu. Cikgu pergi mandi, ya? Tadi bersihkan rumah, berpeluh semua."
Aku baring kat katil sebelah kanan. Beberapa minit kemudian, Cikgu habis mandi dan keluar dari bilik air hanya memakai kain pelikat. Ini kali pertama aku tengok Cikgu tak berbaju. Mantap juga body Cikgu. Mesti ada pergi gym. Dada Cikgu agak besar dan berbulu ringan. Bulatan puting dadanya lebih besar daripada syiling 50sen.
Cikgu berjalan ke arah suis lampu lalu menolak suis ke atas. Seluruh bilik menjadi gelap, hanya cahaya daripada lampu jalan kat luar tingkap. Cikgu baring kat sebelah kiri dan sebelum dia menutup matanya, dia berkata, "Amir jangan fikir banyak-banyak ok? Lepas bangun, that's a new day!"
Aku tidur sampai tak tau pukul berapa tapi bila aku buka mata, langit kat luar tingkap tu masih gelap. Aku menoleh muka ke arah kiri dan tengok muka Cikgu. Lepas tu, mata aku mula melihat badan Cikgu yang tak berbaju. Tiba-tiba, aku rasa batang aku mula ada rangsangan. Ia menjadi semakin keras tapi aku tak tau macam mana nak buat. Sejak aku hampir tahun 15, batang aku akan menjadi keras pada waktu malam dan ada kalanya pada waktu pagi bila aku bangun tapi aku tak tau apa yang terjadi pada batang aku.
Cikgu menoleh ke arah muka aku dan nampak aku belum tidur. "Kenapa, Amir? Tak dapat tidur ke?"
"Bukan, Cikgu."
"Abis? Ada apa-apa masalah? Amir boleh cerita kat Cikgu."
"Amir pun tak tau macam mana nak beritau Cikgu."
"Takpe. Jangan risau. Cikgu faham."
"Batang Amir macam..."
"Ye? Macam apa?"
"Amir pun tak tau... Tapi .. tapi .. tiba-tiba, ia akan jadi macam sangat keras. Keras sampai rasa sakit."
"Oh.... Itu normal. Amir tak tau ke ini perubahan tubuh seorang lelaki? Semua lelaki akan mengalami fenomena ini masa umur macam Amir ni."
"Normal? Jadi ... Apa yang terjadi? Kenapa batang akan jadi keras tanpa sebab? Ada penyakit ke, Cikgu?
"Bukan. Takde penyakit. Itu memang normal. Batang Cikgu pun akan jadi keras pada bila-bila masa."
"Jadi, macam mana Cikgu buat? Amir tak nak dia keras sepanjang hari."
"Amir tak pernah lancap ke?"
"Lancap? Pernah dengar kawan cakap pasal tu tapi Amir tak tau apa benda tu. Amir takut mereka akan ketawakan Amir budak kampung."
"Oh, patutlah. Kalau batang Amir jadi keras, Amir kena lancapkan untuk keluarkan air mani. Kalau Amir tak keluarkan, batang Amir akan terus keras sepanjang hari. Ada kalanya, boleh keras sampai beberapa hari."
"Tapi... Amir tak tau macam mana nak lancap."
"Mai... Cikgu ajar Amir."
Cikgu menarik seluar pendek aku ke bawah lutut dan memegang batang aku yang sudah keras tu dengan tangan kanannya. Cikgu mula menggosok batang aku dari atas ke bawah dan ke atas dengan perlahan. Gosokannya tidak berhenti dan semakin lama, semakin cepat tangan Cikgu bergerak.
Aku mula merasa sedap bila Cikgu menggosok batang aku dan semakin cepat dan keras pegangan tangan Cikgu, semakin aku rasa syok gila. Aku tak pernah merasa perasan macam ini.
"Aaaaa... Mmmm .. Cikgu... Perlahan sikit, Cikgu."
"Tak boleh perlahan. Kalau tak cepat, jus Amir tak keluar."
"Tapi... Aaaa.... Tapi....aaaa... Amir tak boleh tahan dah. Macam nak kencing ni."
"Itu bukan nak kencing. Itu rasa nak pancut air mani. Jangan takut, Cikgu akan bantu Amir."
"Aaaaaaa...... Cikguuuuuu..... Aaaaaa..... Sakit ni....tak tahan dah.... Nak pancut dah.... Aaaaa....aaaaaaa!!!!"
Lalu aku terpancut dengan kuat dan banyak sampai badan dan muka Cikgu pun terkena. Betul cakap Cikgu. Ini bukan air kencing kerana warna jus tu warna putih.
Lega aku! Malam tu, aku tidur dengan lena sampai esok pagi di sebelah Cikgu.
17 notes · View notes
carlcoulate · 11 months ago
Text
I fell in love with you before i even realized that i did.
25 januari 2020
Dalam dunia penerbangan terdapat istilah yang namanya Critical Eleven, sebelas menit paling krusial dimana kecelakaan pesawat kerap kali terjadi yakni, tiga menit pertama setelah pesawat take-off atau lepas landas dan delapan menit sebelum pesawat landing atau mendarat.
Critical Eleven sejatinya tidak hanya mendeskripsikan mengenai pesawat terbang saja, namun juga bisa digunakan untuk menggambarkan pertemuan pertama dengan seseorang. Tiga menit pertama saat kesan pertama tercipta dan delapan menit terakhir ketika segala perangai juga raut wajahnya, menjadi penentu apakah akhir pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang lebih atau justru berakhir sebagai perpisahan.
Awalnya Maya menyangka pertemuan pertamanya dengan Hannah kemarin akan berakhir sebagai perpisahan juga dan di penerbangan berikutnya ia tidak akan bersua lagi dengan Hannah, akan tetapi takdir berkata lain kejadian kemarin malah membawa mereka pada pertemuan lainnya entah secara kebetulan atau memang sudah garis takdir Tuhan.
Di malam ini Maya ingin memenuhi janjinya dengan Hannah untuk fine dining yang sudah mereka rencanakan tempo hari, meskipun sempat di buat hopeless karena Hannah tak kunjung mengabarinya selama dua minggu namun semangatnya seketika kembali manakala perempuan itu mengiriminya pesan dan sudah menyiapkan segalanya untuk fine dining mereka.
Penampilan Maya nampak sangat elok malam ini dengan dress hitam membalut tubuhnya, tidak banyak aksesoris yang melengkapi ia hanya mengenakan kalung berliontin kupu kupu pemberian sang ibu, yang memang selalu ia kenakan kemanapun ia pergi, terlihat sederhana namun bisa memikat semua mata yang memandang. Begitu ayu penampilannya untuk di pandang.
Kedua tungkainya melangkah masuk ke dalam hotel bintang lima dan menuju restoran mewah yang berada di lantai paling atas tempat janjiannya dengan Hannah, sesampainya disana seorang pelayan menghampiri Maya dan dengan ramah bertanya,
"Selamat malam kak, meja untuk berapa orang?"
Perhatian Maya teralihkan kepada sang pelayan, "Eh kemarin temen saya udah reservasi deh kayanya." Jawabnya
"Oh, kalau begitu boleh tau atas nama siapa kak?"
"Hannah Katherine."
Pelayan tersebut untuk sementara beralih ke kasir, melihat ke monitor komputer dan kembali lagi ke hadapan Maya segera mengantarkan perempuan kelahiran januari itu menuju ke meja yang telah di reservasi atas nama Hannah, berada tepat di sebelah jendela yang mengarah langsung pada pemandangan lampu lampu kota.
Sang pelayan pergi dan Maya duduk di salah satu kursi di meja itu, kepalanya menoleh memandangi view kota yang berada dibawah sebelum ia di distraksi oleh notifikasi ponselnya.
Dari Hannah.
hannah : Saya sudah sampai, kamu?
Lantas Maya segera mengetikkan balasan untuknya.
maya : aku udah di dalem restonya hannah
Tak ada balasan lagi dari sang pilot, mungkin saja ia juga sudah naik ke lantai atas. Maya kembali meletakkan ponselnya di atas meja, dan balik memandangi pemandangan diluar jendela sembari menopang dagunya menunggu kedatangan Hannah.
"Maya?"
Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, mendapati presensi Hannah di hadapannya dalam balutan blazer berwarna gelap dan juga celana hitam, rambut panjangnya di kuncir rapi penampilannya nampak elegan juga berkelas, kecantikannya bertambah. Ia mengumbar senyuman manis yang bisa membuat siapapun terpana termasuk Maya sendiri.
"Udah lama ya nunggunya? Maaf saya agak terlambat." Hannah mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Maya, sementara Maya masih diam termangu memandanginya sebelum akhirnya tersadar dari lamunan.
"O–ohh belum lama kok han..."
Hannah masih mempertahankan senyumannya sembari menganggukkan kepala, ia memandangi wanita di hadapannya sejenak memusatkan seluruh atensinya hanya pada Maya seorang.
"You look beautiful tonight."
Maya setengah mati menahan senyum, ungkapan itu berhasil membuatnya tersipu malu, untung saja keadaan restoran yang agak remang remang ini mampu menyamarkan semburat merah di pipinya.
"Thank you, kamu juga han. You look so gorgeous." Ia balik memuji Hannah, benar benar tabiat wanita sekali yang kalau di puji mesti akan balas memuji.
"Haha terimakasih, anyway kamu sudah pesan?"
Maya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan Hannah pun segera memanggil pelayan ke meja mereka, sambil membawa buku menu dan menyerahkannya kepada dua puan itu.
Mata Maya menelisik setiap makanan yang tertera pada buku menu tersebut, harganya yang lumayan tinggi membuat Maya agak memelotot, untuk appetizer saja bisa meraup hampir 200 ribu? Itu bisa Maya gunakan untuk makan selama 2 bulan jika sedang di mess.
"Kamu mau apa?"
Aduh, ditanya begini Maya jadi kelimpungan sendiri.
Menyadari tak ada respon dari lawan bicaranya membuat Hannah segera mengalihkan pandangannya ke Maya, "Kenapa Maya?" Tanyanya lembut.
Maya agak tergemap bingung mau menjawab bagaimana, beruntung Hannah merupakan wanita dengan tingkat kepekaan yang tinggi. Seolah tau apa yang Maya khawatirkan ia berujar,
"Pesan apapun yang kamu mau, gausah mikirin soal harga. Bills on me kok."
Jujur Maya jadi tidak enak, sebenarnya dia mampu mampu saja membayar makanan yang harganya tak masuk akal itu dengan gajinya yang di atas rata rata, tapi karena ia merupakan tipe orang yang agak perhitungan segalanya harus ia pikirkan matang matang sebelum mengeluarkan uang.
"Mmm gausah deh han, aku aja yang bayar gapapa."
Hannah tersenyum simpul, "Saya yang ngajak kamu dinner Maya, udah seharusnya saya yang nanggung semua. Lagian juga saya mau menebus rasa bersalah saya karena udah marahin kamu kemarin. Pesan aja yang kamu mau jangan mikirin soal harganya, okay?" Ucapnya berusaha meyakinkan Maya, membuat perempuan di hadapannya itu termangu sejenak sebelum menganggukkan kepala disertai senyuman hangat diwajah.
"Okay...once again thank you so much Hannah. Aku berutang budi banget sama kamu, lain kali aku bakalan bales ya?"
Figur pilot itu menggelengkan kepala, "Don't think about it. Nikmatin aja malam ini."
Beres dengan urusan memesan makanan, dua puan itu akhirnya saling bercengkrama mengenal satu sama lain lebih dekat, menceritakan perjalanan karir mereka dan bagaimana rasanya bekerja di dunia penerbangan sambil di selingi dengan candaan, kalau di lihat lihat keduanya nampak seperti sudah kenal lama padahal baru bertemu dua minggu yang lalu. Obrolan itu terus berlanjut, sampai hidangan utama telah tiba.
"So... kamu termotivasi jadi pramugari because your mom is also a flight attendant?" Hannah bertanya sembari memasukkan irisan daging ke dalam mulutnya.
"Mhm, sebenarnya aku gak pernah kepikiran pengen jadi pramugari sih dari sma tuh aku pengen banget jadi...jaksa?" Maya selingi dengan kekehan sebelum melanjutkan,
"Tapi mengingat jurusan aku yang gak ada hubungannya dengan hukum lebih tepatnya bukan hukum, jadinya aku milih untuk meneruskan perjalanan karirnya bunda menjadi pramugari."
Hannah fokus mendengarkan sembari memperhatikan wajah cantik nan lucu wanita di hadapannya, ingatkan Hannah untuk berkedip bola matanya bisa saja keluar gara gara terlalu asik memperhatikan Maya.
"Bunda masih jadi pramugari atau sudah berhenti?"
Maya hentikan kegiatan makannya sejenak ketika mendengarkan pertanyaan itu terlontar dari mulut Hannah.
"Udah berhenti han."
"Kenapa?"
"Beliau udah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Dan rasa bersalah seketika menggerogoti hati sang pilot merasa lancang telah menanyakan hal yang tidak sepatutnya ia tanyakan, segera ia bersihkan tenggorokannya sebelum menyampaikan maaf.
"Maaf maya, saya turut berduka cita."
Maya menganggukkan kepala dan menjawab dengan senyuman manis menyertai wajah moleknya,
"It's okay, udah biasa kok."
Hannah memutar otak mencari topik obrolan lain agar sekiranya mereka tidak canggung setelah obrolan sebelumnya, "Kamu masih single atau sudah punya pasangan?"
To the point sekali ibu pilot ini.
"Aku masih single, what about you?"
"Same, saya juga masih single."
"Really? Aku kirain udah punya."
Hannah mendengus penuh humor, "Saya gak mungkin ngajak kamu dinner kalau saya sudah punya pasangan maya."
Ya ada benarnya juga, Maya merutuki dirinya sendiri akan pertanyaan bodoh itu.
"Tapi pernah pacaran?"
Hannah menatap lawan bicaranya ia nampak berfikir sejenak sebelum menggelengkan kepala, sontak membuat figur pramugari yang melontarkan pertanyaan tadi terheran-heran.
"Demi apa? Kamu gak pernah pacaran?" Kedua manik karamel yang membola, jujur Maya sedikit terkejut mengetahui fakta baru mengenai Hannah, perempuan berumur 28 tahun itu belum pernah berpacaran? Yang benar saja.
"Iya....?" Hannah menjawab, bingung dengan reaksi terkejut Maya.
Di umurnya yang hampir mendekati kepala tiga ini sudah seharusnya Hannah mencari pasangan juga, karena kalau kata keluarganya usia produktif menikah itu sebelum menginjak 30 tahun. Pertanyaan 'Kapan menikah?' Entah dari keluarga atau kerabat dekat selalu menghantui Hannah di setiap acara kumpul keluarga, namun Hannah selalu punya jawaban setiap pertanyaan tersebut di lontarkan.
"Jodoh, maut semuanya sudah ada yang atur. Kalau saya tau siapa jodoh saya sudah saya samperin dari lulus kuliah, saya ajak nikah saat itu juga. Saya yakin kok, kalau sudah waktunya pasti akan diberikan saya tinggal nunggu aja kaya yang saya bilang sebelumnya. Semuanya sudah ada yang atur."
Itu katanya.
"Kamu kenapa kaget banget?" Hannah bertanya sembari memperhatikan Maya yang keliatannya masih agak shock.
"Nggak gitu... soalnya aku liat, kamu tuh kaya tipe yang mungkin pernah lah satu dua kali punya pacar bahkan aku sempet ngira maaf ya, kamu suka gonta ganti pasangan..." Jangan heran, Maya memang agak blak blakan orangnya untungnya Hannah tidak gampang tersinggung, perempuan itu malah terkekeh gemas melihat wajah polos nan lucu yang ditampilkan Maya.
"Saya gak ada waktu buat pacaran, sibuk sama kerjaan."
Hannah menempatkan garpu dan pisaunya di tengah piring, mengarah ke angka 12 jarum jam tanda ia sudah selesai dengan kegiatan makannya, ia melipat kedua tangannya di atas meja mata teduh itu memperhatikan presensi Maya yang berada di hadapannya.
"Saya juga belum nemu orang yang tepat."
"Oh ya?" Si pramugari meletakkan garpu beserta sendoknya di atas piring membentuk huruf V terbalik, ia tertarik dengan topik obrolan ini.
"Kamu udah pernah coba ikut blind date atau download app dating gitu?" Pertanyaannya di jawab gelengan oleh Hannah.
"Saya gak suka pakai gituan."
Maya mengernyit, "Kenapa?"
"Gak suka aja, pernah coba dating app satu kali tapi baru sehari udah saya hapus. Isinya orang aneh semua."
"Kok aneh?"
"Banyak yang horny."
Ungkapan tersebut mengundang tawa dari Maya, si pemilik pipi tembam itu menutup mulutnya menggunakan punggung tangan sembari tertawa kecil dengan begitu anggunnya, merdu suara tawa si cantik berhasil membuat figur pilot di hadapannya terlena.
Iris sabit terbentuk manakala ia tersenyum dan malam itu untuk pertama kalinya, Hannah temukan wanita dengan senyuman paling menawan pemilik rambut panjang berwarna coklat, yang membuatnya tertawan akan sejuta pesonanya...
Maya Delilah.
31 notes · View notes
bisexdaddy2023 · 1 year ago
Text
Bhg 6
Anak tiri akak dah berpeluh , seluar bola yang nipis berwarna biru pun basah dengan air mazi yang pancut keluar .Seluar tu terus ditarik Dan buang tepi.Tanpa halangan,budak tu Mula baring di sofa ,dedahkan bahagian bawah batang dia yang berurat.Satpam main lidah kat titik sensetif di lobang kencing dan saraf di bawah kepala butuh dia.Budak tu mengerang dan bergigil.Batang berdenyut2 mau pancut tapi Tak ada air Mani keluar.
"jangan kuat jerit nanti mak tiri Dan budak Dalam tu terdengar "
"ahgggggrrr humn hum hum ...!!' Budak tu dah hilang akal tengelam dalam birahi yang terlalu kuat untuk dia yang tak pernah rasa sex.Dengan batang 7" bengkok ,buat daddy satpam menjilat bahagian bawah batangnya sensitif .
"agrrrrrrr,ah ah ah ah nak pancut ......!!!"
Dah hanpir 1 jam batang budak umur 17 thn ini dihisap satpam tapi hanya berkembang denyut2,air mani dia Tak dapat keluar lagi.
Tipa2 akak dlm bilik rehat tu terdengar bunyi geram tu,dia ingat daddy satpam tengah layan video ngefuck,dia punya panggil satpam Masuk fuck dia juga .
"daddy ,Masuk fuck lubang pepek akak ini,gatal giler dapat rasa daging muda umur 16 ini ,besar batang dia seperti anak tiri ku .Air byk lagi .ahhhhhhhg!!!
Tak lama tu ,daddy satpam pun masuk dan bawa botol tu keluar,katanya nak tambah barang .
Sekejak saja ,satu susuk badan tegah pun masuk semula,dengan hanya lampu meja kecil yang kuning ,I tak nampak jelas ,I ingat daddy satpam lagi ,tambah lagi I rasa nafsu kuat yang luar biasa lepas hisap yang dorg kata ais tu,I pun terus he just lobang buntuh yang duduk atas paha ku.
Laki badan tegah yang I ingat daddy satpam tu berdiri di belakang akak dan hulurkam botol ais kepada dia .Akak terus bakar dan hisap asap tu .Dia bagi ku hisap lagi.Bergilir2 kami merasa asap tu menguatkan nafsu kami ku pun henjut lobang buntut akak.
"seeeeeedapppp batang dik,bagi benih mu ,ahhhhh ...!
Akak terus cabut kntl ku Dari burit dia dan pegang kntl ku Masuk memek dia .
""Pak satpam henjut lobang burit ku " akak jerit .
Tanpa tunggu ,org tu terus Masuk batang ke dalam akak dan henjut tanpa henti lebih Dari 30 minit ,henjutan dia kuat sampai akak jerit2 .
"Ahhh pak kuat giler mlm ini ,puaskan akak tolong,seeeedap ini nak air jantan lagi !! "Dengan henjutan yang mcm kuda ,akak dipancut air Mani yang banyak dlm burit dia .I pun juga rasa kemutan akak Dan pancut dalam memek dia tapi dia masih dihenjut olah org badan tegah tu lagi ,dia cabut kntl dia Dan Masuk dlm memek akak yang I henjut tadi Dan terus hentak lagi.
"humm hummm hummm "crot crot crot berdas2 air Mani pancut dalam puki akak ,badan akak bergigil rasa pancutan kuat tu sampai lemah baring atas ku.Selepas akak tangkap nafas ,dia trus ambil botol Dan bakar lagi.tangan akak gigil,dia suruh I tolong dia bakar I pun turut saja.Dia hisap asap yang tebal2 ,mulut dia terus disumbat batang tadi .
"sedap batang pak mlm ini keras giler " puaskan akak ,akak akan jilat habis !
Henjutan demi henjutan ,akak didoggi oleh batang tu masa ku rehat di tepi tapi batang ku masih dihisap akak ."dik batang stim lagi,memang tenaga kuda org muda ,akak pun ada anak laki tiri muda semacam mu,ahh ahhh fuckk...akak rasa batang dia pun besar mcm kuda ahhahhhh fuckk ,pak kuat henjut ahhhhhh ahhh air pak pancut lagi ahhh "
Org badan tegah tu pancut Kali ke 3 ,lepas tu keluar bilik .
29 notes · View notes
rubahlicik · 9 months ago
Text
Poketrip, Hotel angker
Berawal dari aink yang sesumbar minta ke teteh cariin penginapan yang 'gapapa angker yang penting murah'
Akhirnya beneran kejadian.
Tumblr media
Aink nyampe penginapan tuh sekitar jam dua. Konfirmasi di resepsionis trus dapet kunci dan ditunjukin kamarnya.
Tumblr media
Rapi sih, mirip foto promosi cuman lebih kumuh dan terkesan lama banget ga dibersihin.
Aink cek kamar mandi, ga ada masalah meski sedikit kotor. Yang penting bisa mandi. Agak keganggu sama bunyi entah mesin apa yang nyala kalo nyalain lampu kamar mandi. Sama pintu ga bisa nutup sempurna, jadi ga bisa dikunci. Yauda sih ya toh cuma sendiri di kamar.
Setelah cuci muka, rebahan dan nyiapin bawaan buat ke venue, aink ninggalin hotel. Baru pulang malam jam tujuhan.
Agak panas di kamar, untung ada kipas angin. Di file booking, tertera ada wifi gratis. Yauda dong aink ke resepsionis nanya wifi. Eh ternyata beliau mau keluar sama cewe berpakaian minim dan ninggalin posnya.
Setelah konek wifi, aink balik kamar. Ternyata sinyalnya jelek, balik lagi lah ke depan soalnya ada beberapa wifi hotel yang lain. Minta pw buat jaringan wifi lain.
Ternyata resepsionis ga ada yang ngisi. Beneran ditinggal gitu aja bukan ganti shift. Aink jadi mikir aneh aneh kan. Kamar sebelah aink ada yang ngisi. Opik berto belum pulang. Kamar lain kosong 🙃
Aink agak ngahuleng di kamar. Mau mandi juga perasaan jadi agak ga enak. Yauda aink ganti baju doang lah trus nyoba buat tidur.
Hawa di kamar mulai panas, tapi aink ga mau nyalain kipas takut pileknya makin parah. Aink mau funrun besok.
Aink mulai gelisah, bolak balik posisi tidur, trus bolak balik bantal.
Pas bantal di balik, ada noda darahnya🙂. Aink balikin lagi ke posisi awal. Moga aja ini darah dari keperawanan yang hilang, bukan darah lain lain.
Aink ga tau ketiduran jam berapa, badan cape sih jadi meski gelisah aink tetep tidur cukup nyenyak. Kebangun jam 2 pagi, merem lagi, bangun jam 3, merem lagi bangun jam 4.
Ngerasa kamar makin panas, aink mutusin keluar buat nyari masjid terdekat. Pas keluar, meja resepsionis masih kosong 🙂. Okesip.
Di luar ada beberapa orang yang mulai sapu sapu. Padahal jalanan bersih banget. Salut lah sama penduduk lokal yang totalitas dalam kebersihan.
Mesjid uda rame meski adzan shubuh masi sejam lagi. Aink bab dan mandi di WC mesjid. Nyaman banget, alhamdulillah.
Balik hotel setengah 6, opik uda siap funrun. Karena waktu yang mepet buat ganti baju dan siap siap, aink ga sempet cerita.
Pas aink sama opik berangkat, berto yang sekamar sama opik juga ikut keluar. Padahal aink pikir mau tidur, perjalanan bogor-bali jalur darat plus feri kan pasti capek tuh.
Malemnya aink balik hotel jam 7an. Resepsionis uda kosong atau entah masi kosong 🙂. Sebelum ke hotel, aink mampir mesjid deket venue dulu buat jamak magrib dan isya, trus mampir indomaret buat beli roti.
Aink masih galau buat mandi di kamar, jadi balik lagi ke masjid deket hotel buat nebeng mandi. Sepulang dari masjid, opik nelpon bilang berto uda otw pulang sama nanya aink uda di hotel belum. Aink pikir mau ngajak tidur di kamarnya kan karena berto pulang, ternyata opiknya belum pulang. Yaudah aink tidur duluan aja wkwk.
Beda sama kemarin, sekarang aink tidur dalam kondisi fresh, meskipun kasur tetep bau keringat dan ada noda darah di balik bantal. Aink tidur cepet malam itu.
Menjelang tengah malam, opik nelpon sambil ngetok pintu kamar. Bilang mau ngambil kaos sama medali fun run. Aink bangun, ngasihin, basa basi makasih trus nutup pintu.
Aink ga tau berapa lama aink tidur setelahnya, soalnya opik nelpon lagi. Katanya kunci motor ilang mungkin jatoh di kamar aink.
Yauda aink bukain tuh, dan ketemu. Emang jatoh tadi pas dia ngambil medali. Setelah basa basi singkat, aink nutup pintu dan tidur lagi.
Paginya aink bangun telat, uda mulai siang. Aink uda ga begitu was was masuk kamar mandi buat wudhu. Selesai solat aink siap siap buat ke Sanur.
Sebelum pergi aink ke kamar opik dulu, kemarin dia bilang kamar mandinya jelek banget jadi mau numpang mandi di kamar aink. Jadi aink pagi pagi ngasi kunci kamar sekalian pamit dan ngebangunin buat shubuh.
Aink pulang ke hotel jam 9an, meja resepsionis uda ada yang ngisi. Aink jadi curiga kalo resepsionis cuma datang pas matahari terbit dan pulang setelah malam. Who knows.
Aink ngetok kamar opik. Ternyata masih tidur, tumben. Padahal biasanya rajin bangun pagi. Sambil ngusahain buka mata dia bilang kalo semalem dia ada yang gangguin.
Pas aink tanya siapa, dia nunjuk ke arah dinding depan kasur. Aink ga begitu merhatiin sebelumnya dan emang dari kemaren ga pernah masuk ke kamar opik.
Tumblr media
"Lukisannya ada yang ngisi"
Setelah giliran mandi di kamar aink, kami langsung cek out. Opik mau pindah hotel, kebetulan ada temennya yang baru nyampe ke Sanur. Opik mau nebeng sama temennya.
Aink dianter opik ke bandara pake motor. Di jalan dia cerita kalo semalem nyaris ga bisa tidur. Dia denger suara berisik dari arah lukisan. Aink ga nanya detail suara kayak gimana tapi cukup ngeganggu ampe dia kebangun tiap 15menit sekali.
"Ga cuma itu, semalem wajah lukisannya sempet ganti 3 kali. Itu yang paling bikin kaget"
Duh, aink jadi ga enak semalem ga peka nyuruh dia tidur dempetan di kamar. Kirain kamar aink doang yang apes, ternyata kamar opik berto yang berada paling ujung justru paling serem.
Di sebelah kamar ada lorong kecil sepanjang 2-3 meter. Kosong doang, ga diisi apa apa. Trus sebelah lorong kosong itu ada lorong sempit yang nyambung ke ruangan lain yang belum selesai dibangun.
Aink sempet kepo sebelum cekout. Jadi liat liat ke ruangan yang belum selesai itu. Berantakan dan penuh debu. Ga tau ga selesai dibangun ga tau emang ruangan rusak dan dibiarin gitu aja.
Pas uda nyampe bandung, aink cerita ke berto soal opik yang digangguin. Trus dia bales gini
Tumblr media
Seinget aink Kamar mereka tuh satu satunya yang di depannya dipasangin dupa. Pagi sebelum cekout, aink liat ada tante tante yang pasang dupa disana. Aink pikir room service kan yah, ternyata ga semua kamar dapet. Disana doang 🤣
Aink tanya berto kok ga bilang, tau gitu aink temenin opik tidur disana. Berto malah bilang si opik katanya mau pindah tidur di kamar aink🙃, jadi ga bilang apa apa.
Jadi semalem pas opik bangunin tuh mungkin sebetulnya dia mau nebeng tidur tapi ga enak. Ainknya juga ga peka, wkwkwk. Kamar aink polos, cuma agak serem aja kamar mandinya.. Jadi ga mikir aneh aneh.
Ga banyak mikir, aink langsung cek google maps dan baca review hotelnya. Emang ancur banget, kampret. Ga lupa aink pun ngasih review yang realistis buat hotelnya.
Semoga ga ada lagi korban yang kegocek sama harganya yang murah
Tumblr media
Sekian penutup trip aink ke Bali awal bulan Maret. What a trip🤣🤣🤣
12 notes · View notes
mewangitenang · 28 days ago
Text
Rindu Sekali
Tadi aku menghadiri sebuah acara, di mana dulu konsep acara ini adalah pekerjaan yang rutin dilakukan di kantor lama. Ketika sampai di dalam ballroom, memori di dalam kepalaku flashback dengan sangat cepat.
Melihat stage, melihat audio-system, melihat labeling di meja dan kursi, melihat sorot lampu, melihat panitia berlalu-lalang, melihat MC, melihat LCD dan bumper video. Aku teringat semua aspek yang ada di dalam acara pagi ini dengan pekerjaan rutin yang aku lakukan di kantor lama.
Teringat momen rapat nonstop untuk persiapan acara, lembur sampai dini hari di ballroom sebelum hari H, koordinasi dengan EO, foto-foto bareng rekan kerja dan pimpinan setelah acara selesai.
Sungguh aku rindu sekali.
Kantor lama yang menyembuhkanku dari anxiety dan stigma gak bisa kerja kantoran. Kantor lama yang membuatku belajar banyak sekali hal baru dan terasa menyenangkan walau pekerjaannya gila-gilaan.
Ca, terima kasih sudah bertahan sejauh ini di kantor baru. Masih banyak hal yang bisa bikin kamu bersyukur walau nangisnya juga banyak. Allah Maha Tahu, ca.
- ca
3 notes · View notes
mulkirachmawati · 28 days ago
Text
Berangkat ke Denmark #3
Sambil menanti administrasi dari kampus, kami mencari akomodasi atau tempat tinggal. Kami mencari referensi dari PPI Wiki, sebuah buku panduan dari PPI Denmark untuk keberangkatan mahasiswa baru di Denmark.
Kami mencari akomodasi di web BoligPortal, sebuah web dimana banyak landlord yang menyewakan kamar, apartemen dan rumah dengan berbagai fasilitas dan range harga yang bervariasi. Dibandingkan dengan web lain seperti Himmerland atau Vivabolig, BoligPortal termasuk web yang ramah secara visual dan ramah di kantong hehe.
Kami mencari rumah yang dekat dengan kampus dan toko serta akses bis dan ramah pula di kantong. Eh ternyata, jika kami merasa cocok, saat kami mengontak landlord kami harus berlangganan/ subscribe terlebih dahulu. Akhirnya kami mengumpulkan dulu semua link yang dirasa cocok kemudian mengontak landlord.
Namun, alhamdulillah kita mendapat pertolongan dari admin international di kampus. Dia bersedia mengontak landlord rumah yang kami minati kemudian dia akan memberikan kontak landlord tersebut kepada kami. Alhamdulillah banget :)
Finally, setelah pencarian panjang (tidak dibalas, terlalu mahal atau tidak cocok secara waktu) akhirnya kami bertemu dengan Landlady yang baik hati. Dia menyewakan rumahnya dengan sistem sublet. Rumahnya berada di Gundorfslund, Skipperen dan full furnished (sudah dilengkapi kasur, kulkas, lemari, meja belajar, lampu, kamar mandi, bahkan piring, gelas dan segala isinya).
Kami menyewa rumah tersebut dalam periode singkat, yaitu sejak bulan Juli-Oktober 2024 dengan biaya perbulan 4500DKK. Ada yang berbeda dengan sistem pembayaran biaya sewa rumah di Denmark. Di awal pembayaran, kita menandatangani sebuah kontrak sewa (Lejekontrak) dan kita harus membayar deposit (sebesar 3x biaya sewa bulanan).
Namun, pada keberjalanannya, kami hanya menempati rumah tersebut dari bulan Agustus-Oktober. Kenapa? Visa ku dan anak-anak baru keluar di bulan Agustus karena saat itu traffic pembuatan visa sangat tinggi dan ada saja error pada sistem yang terjadi. Alhamdulillah masih disediakan waktu untuk mengoptimalkan keberangkatan dan bisa jalan-jalan lama di Bandung hehe.
3 notes · View notes
dekoruma · 9 months ago
Text
10 Contoh Ide Meja Nakas/ Nighstands Gaya Modern Terbaik
Dekoruma.net ~ Dalam keseharian teman-teman di rumah, lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan apa? ruang keluarga, kamar tidur, atau ruang makan? kalau aku pribadi sih lebih banyak menghabiskan waktu di kamar tidur. Nah, karena lebih sering di kamar tidur untuk melepas lelah, bermain game, belajar dan lain-lain maka dari itu kamar tidur harus dirancang dengan sangat baik agar bisa bikin nyaman…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
menyapamakna1 · 1 month ago
Text
Tumblr media
Cerpen: Merindukanmu.
Hujan turun begitu deras, guntur susul menyusul memekakkan telinga. Jendela ruanganku berembun. Ruanganku gelap, cahaya pun tak bisa menembus ruangan ini. Sangat sepi, aku selalu sendirian di ruangan ini, hanya meja belajar dipinggir ranjang dan buku-buku yang berjajar rapih menemaniku. Terdengar suara mobil masuk ke pelataran rumah. Kakiku melangkah pelan, lalu membuka sedikit tirai jendela. Tak ada cahaya matahari, tak ada sinar keemasan menimbun langit. Yang ada hanya langit mendung, juga gemuruh hujan dan aroma paving blok yang basah. Mataku menangkap mobil yang masuk ke pelataran rumah, berhenti tepat di depan rumah. Keluarlah dua orang ceria, terlihat seperti keluarga bahagia. Satu orangnya sebaya denganku, satu tahun lebih muda malah, satunya lagi berwajah tenang, berkerut dikedua mata namun tegas. Tangannya keriput, tapi putih. Ia cekatan mengambil payung dikursi belakang, lalu perlahan membukanya. Membiarkan perempuan satu tahun lebih muda dariku untuk mendekapnya. Kemudian mereka berjalan kearah pintu. Pemandangan biasa yang sering kulihat berkali-kali. Sementara aku kembali melangkahkan kaki, duduk ditepi ranjang. Ruanganku sepi, tak ada siapapun kecuali diriku sendiri, pemuda penyendiri yang hidup didalam kamar. Sehari-hari bertemankan dinding berwarna abu, langit-langit kamar, meja dan kursi belajar dipinggir ranjang, beberapa buku yang berjajar dirak yang tersimpan disudut kamar, juga beberapa gambar yang terpanjang di dinding. Gambar-gambar itu adalah hasil karyaku. Gambar yang terlihat gelap, suram, juga mungkin sendu kalau orang-orang bisa melihatnya. Tapi bagiku itu sangat indah, sempurna, memesona. Sesekali keluar kamarpun untuk mengambil makanan.
Katanya aku seperti monster, orang-orang takut melihatku, setidaknya itu yang digambarkan keluargaku kepadaku. Padahal menurutku tidak demikian, wajahku lumayan, berkulit kuning langsat, bermata tajam, siapa saja yang melihatku mungkin akan terpesona. Alis tebal, rambut pendek hitam legam. Tapi entah kenapa keluargaku sangat takut padaku ketika bertemu, padahal senyumku manis. Tapi aku bagai di iris benda tajam, sempurna menghantam jantungku, hatiku merasa sakit, aku seperti ditusuk ribuan panah, meraba dada, mencengkram baju kuat-kuat, lalu keluarlah air bening nan jernih dipelupuk mata, mengingat adegan nenek tua dan Lili, orang yang satu tahun lebih muda berpelukan. Lihatlah aku kesakitan, aku terluka sendiri, menangis sendiri, tak ada sandaran untukku. Aku adalah burung dalam sangkar, tak bisa kemana-mana, tak bisa menikmati indahnya dunia, menikmati pemandangan jalan, orang-orang berlalu lalang. Tak bisa menikmati aroma dedaunan dan tumbuh-tumbuhan dan bunga yang bermekaran di jalanan, ditaman, dimanapun. Aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan. Apakah aku se aneh itu? Seseram itu? Sehingga aku diperlakukan berbeda dari yang lain. Apa yang mereka takutkan? Apa yang membuat mereka berpandangan aneh kepadaku? Sejenak aku selalu berpikir demikian. Hujan sempurna mengguyur seluruh kota, sempurna menyentuh dedaunan, rerumputan hijau, pepohonan, bangunan-bangunan kota. Menawarkan kesejukkan lewat dinginnya angin menembus kulit, menerpa helaian dedaunan. Rintik hujan yang indah, tapi sayang, tak seindah hidupku, tak seindah hari-hariku, tak seindah perjalananku. Aku tak bisa menyaksikan semua itu, menyaksikan keindahan dunia yang orang-orang dengan mudah bisa melihanya. Hanya dengan berjalan kaki keluar dari rumah, sudah bisa menyaksikan indahnya matahari yang menerangi seantero semesta, atau bulan saat senja mulai tenggelam, berganti dengan hitam pekat, lalu bulan siap menampilkan keindahannya dan bintang- bintang siap bertaburan mempercantik langit kota. Melihat gedung-gedung pencakar langit, lampu bundar yang berjajar di sepanjang jalan, mobil yang saling berjajar berdesakkan. Bisa melihat lenskep kota ditempat yang tinggi. Semua dapat disaksikan oleh kedua mata mereka, lalu merekah lah kebahagiaan tidak terhingga. Sementara aku selalu ditempat yang sama. Lihatlah, tak ada yang tahu bahwa aku ada kecuali keluargaku. Keluarga? Entahlah, apakah mereka layak disebut keluarga? Mereka mengurungku seperti tahanan. Aku kembali melihat lukisan-lukisan indah yang ku lukis, setidaknya melukis adalah caraku meluapkan kesedihan. Tuk..tuk..tuk.. seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera menghapus airmata yang datang sembarangan. Membuka pintu, dan lihatlah siapa yang datang. Lili, adik yang paling disayang keluarga, manusia yang terjaga dengan kelembutan oleh keluarga, makhluk murni yang paling dicintai keluarga. Jujur aku benci sekali melihatnya, kenapa dia harus datang kekamarku? Bukankah kalau memiliki sesuatu tinggal telpon saja, atau minta seseorang dirumah menyampaikan pesan padaku. Jaman sekarang dunia semakin canggih dengan berbagai peralatannya. Lili menghambur memelukku, unggingan senyum lahir dibibirnya. Ia memelukku sangat lama, seolah melepas kerinduan tiada tara. Seolah kita tidak bertemu sangat lama, padahal kita selalu dirumah, padahal kamarku tidak jauh dari tempat dimana kakinya selalu ingin berpijak. Di ruang keluarga, di taman, di halaman, dimanapun sekitar rumah. Dia adalah orang yang bebas, orang-orang rumah akan senang ketika melihatnya ceria. Hal yang membuat Lili senang, maka keluargaku juga senang. Tanganku berusaha melepaskan pelukan, tapi gadis riang ini malah semakin erat memelukku.
"Kamu tidak merindukanku Fatih?" Lili masih membenamkan dirinya dipelukanku, bahkan nafasku sesak juga dia tidak peduli. Dia membuncahkan kerinduannya, terlihat sangat nyaman. Matanya tertutup, kedua tangannya merengkuh tubuhku. Pelukan yang sangat kubenci sebenarnya, tapi sangat nyaman bagi gadis yang terpenuhi kasihnya oleh keluarga. Aku membiarkannya, pasrah menunggu ia selesai dengan apa yang dilakukannya. Lili mendongakkan kepala, melihat ekspresiku yang datar, tangannya masih merengkuh, tapi kemudian melepaskannya setelah melihat wajahku. Manyun melihatku yang datar-datar saja.
"Aku bosan hari ini, sendirian menikmati kota. Kamu tahu, hari ini aku banyak mengunjungi gedung-gedung tinggi, melihat univnya Ilyas, cuacanya juga bagus, meski hujan, karena sejuk. Kamu paling suka saat hujan kan?" Aku tertegun sejenak, kupikir keluarga ini sudah melupakan Ilyas. Hatiku terasa sakit lagi, ribuan anak panah diam-diam menusuk, membiarkan diriku kembali meratap, mengambang diantara kejadian-kejadian suram yang menimpa diriku. Aku takut setengah mati, bergetar seluruh tubuh. Tapi berusaha tak memperlihatkannya didepan Lili. Lili masih lanjut berceloteh.
"Hari ini kita juga menjenguk Ilyas dirumah sakit. Kamu tahu keadaannya masih sama, tidak ada perubahan, ekspresinya masih sama, matanya masih terpejam. Bahkan alat-alat rumah sakit yang terpasang ditubuhnya masih ada, tidak hilang. Aku sungguh sangat prihatin" Lili menatapku, melihat wajahku seksama. Memerhatikan ekspresiku yang terlihat biasa saja.
"Kamu tidak merindukannya?" Lili menatapku. Memerhatikan lamat-lamat wajahku.
"Pergilah, kalau tak ada kepentingan, aku butuh istirahat. Lagi pula nenek tidak akan suka kalau kamu disini. Berhenti membuat masalah untukku" Balasku langsung menutup pintu. Lili mendesah pasrah, padahal kerinduan masih membuncah. Lili tahu aku tidak pernah menyukainya sejak kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang menerkamku dengan beribu hantaman kejam keluargaku kepadaku. Lontaran yang siap menyerang mentalku. Menyerang akal, pikiran, hati, bahkan tindakanku. Hari itu semua menjadi berbeda, rumah yang dulu hangat seperti mentari pagi, lenyap seketika. Rumah yang dulu seperti senja yang memanjakan mata kala keindahannya siap memesona langit sore, musnah seketika. Rumah yang seperti bulan siap menyongsong keindahan mempercantik langit malam, semuanya sempurna sirna, sejak kejadian mengerikan dan menyakitkan itu. Nenek bahkan tak memberiku kesempatan berbicara. Baginya aku adalah monster. Makhluk mengerikan yang harus musnah dari dunia ini. Siapa pula yang menginginkan kejadian itu. Keluarga hangat itu tidak ada, keluarga harmonis itu hanya menjadi sejarah. Aku juga kesakitan, bukan hanya nenek, bukan hanya Lili. Tapi kenapa semuanya disematkan kepadaku. Aku bukan keluarga satu-satunya, aku bukan anak satu-satunya. Ada Lili, kenapa dia tidak pernah disalahkan? Kenapa dia tidak dimarahi? Padahal umurnya hanya berjarak satu tahun lebih muda dariku. Apa karena dia lebih muda dariku? Tidak mungkin kan? Aku merajuk, tubuhku perlahan lemas, terkulai dipintu kamar. Aku menangis. Merengkuh lutut, membenamkan wajahku. Lengang, hanya derap langkah Lili yang meninggalkan kamar, menuruni anak tangga yang terdengar.
****
Pagi siap menyambut hangat dengan sinar keemasan menyoroti jendela kamarku lewat ventilasi udara. Semua orang siap memulai aktivitasnya, tak terkecuali Lili yang sudah siap rapih akan berangkat kuliah. Tapi sebelum itu seperti biasa keluarga yang penuh dengan cinta ini berkumpul dimeja makan, meski hanya dua orang. Mereka sarapan dengan tenang, senyum merekah, berbincang satu sama lain. Bercerita tentang apapun yang sudah dilalui. Sungguh keluarga yang bahagia. Setelah selesai Lili naik menuju kamarku, dilihat oleh nenek. Ekspresi nenek cemberut, entah kenapa, sedang Lili tersenyum lembut, riang kearah yang dituju. Setelah sampai gadis itu diam sejenak, berdehem, lalu mulai menceloteh.
"Fatih, aku berangkat ya, ingat untuk sarapan pagi" Lili langsung pergi setelah menyampaikan itu dengan unggingan senyum lembut. Wajahnya amat cantik, tapi aku tidak menyukainya. Penampilannya cukup untuk menarik setiap orang ingin berada didekatnya. Lili menghambur, memeluk nenek lembut. Amat damai, pelukan hangat itu mampu mengambil hati nenek, mampu membasuh hati nenek dengan kesejukan, mampu menyelimuti dengan kesejahteraan. Nenek dialiri ketenangan, senyum nenek penuh damai. Melepaskan pelukan membiarkan Lili berangkat dengan tentram, tanpa beban. Lili menghilang dari pandangan. Dari luar rumah, Lili menatap jendela kamarku beberapa detik. Seolah ingin aku juga memeluknya, mengatakan selamat pagi, melihatnya pergi dan menyambutnya ketika pulang. Lili lanjut melangkah lagi, masuk ke mobil, kali ini benar-benar meninggalkan rumah.
Aku sudah terbangun, kedua tanganku merengkuh lutut, wajahku panik ketakutan. Jantungku berdetak kencang, aku tersengal. Bagaimana tidak, ingatan mengerikan itu kembali bermain dikepalaku. Merenggut awal pagiku yang seharusnya tenang menjadi lautan yang siap melahap bangunan indah yang sempurna rapih dipertengahan kota. Pusaran hitam yang ingin aku lupakan, kejadian yang ingin aku singkirkan dari diriku. Ingatan itu mengikat tubuhku, menerkam hatiku, pikiranku, akalku. Aku bergetar hebat. Bayangan ketika Ilyas berada di atap kampus yang tinggi, memunggungiku, menghadap kedepan. Pandangannya sendu, matanya redup, wajahnya lesu. Ilyas menangis kecil meratapi kehidupannya. Tertekan dengan segala yang terjadi dihidupnya, ia menangis tersedu-sedu, berbalik badan menatapku seolah meminta pertolongan. Tangannya meraba dada lalu mencengkramnya kuat. Lelaki ini bergetar. Ia adalah anak pertama dari keluargaku. Sungguh hari itu aku melihatnya merintih kesakitan, matanya sembab, sesenggukan, tubuhnya lemas. Aku melihatnya seperti ada beban yang tersimpan dipundaknya, ada sebuah tanggung jawab yang harus dikerjakan, tapi ia tak sanggup melakukannya. Ia redup. Aku menatapnya khawatir, bingung apa yang harus kulakukan untuk menenangkannya.
"Fa, aku ingin pergi, rasanya aku tak sanggup menjalani hidupku. Aku tidak sempurna seperti yang keluarga inginkan, aku gagal. Aku ingin tenang" Angin malam itu sangat dingin, masuk menembus kulit, menyapa aku dan Ilyas yang berada di atap kampus. Langit malam seolah mengerti keadaan kami, lalu membasuhi kami dengan angin sejuk, dedaunan yang meliuk-liuk. Dari tempat kami berdiri dapat terlihat beberapa pohon lebat dan tinggi dengan daunnya yang menari-nari. Gedung-gedung tinggi yang berjajar yang disetiap lantai lampu menyala, berpadu dengan lampu-lampu jalan yang menyala, memperindah kota. Dari tempat kami berdiri bisa terlihat sedikit orang yang pulang dari aktivitas atau beberapa orang sedang bertegur sapa. Mengumbar senyum menenangkan, tanpa beban. Orang-orang yang bersahutan sambil membawa ransel ditangan. Wajah-wajah itu dibalut kebahagiaan tiada tara. Sungguh menyenangkan menyaksikan semua itu, tapi tidak bagi Ilyas. Ada iri yang membuncah, Ilyas ingin seperti mereka, yang bisa bersenang-senang seperti seumurannya. Ilyas malah harus menanggung semua kesedihan itu, memikul beban itu. Saat anak-anak seumurannya bisa bermain bebas, Ilyas harus menanggung keinginan orang lain. Keinginan yang merusak mentalnya, merusak dirinya, mengubur mimpinya. Ia harus berjalan dijalan yang disediakan orang lain, bukan berdiri dikaki sendiri. Tak ada cahaya di dirinya, tak ada sinar diwajahnya, ia redup.
"Fa, bagaimana rasanya ya menjadi mereka" Mata Ilyas menatap orang-orang yang berlalu lalang dibawahnya. Aku tidak tahu kalau Lili juga sedang mencari kami. Karena kelasnya sudah selesai, lalu bergegas mencari keberadaan kami diberbagai tempat dikampus tapi tak ada.
"Aku kesakitan Fa" Tangan Ilyas bergetar hebat, matanya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Aku mendekat, memperhatikan wajah Ilyas yang sudah merah seutuhnya.
"Ilyas, jangan pernah lakukan hal bodoh, jangan seperti ibu dan ayah ya, aku mohon. Aku dan Lili membutuhkanmu. Jangan menghilang dari hidup kami, aku mohon" Aku meyakinkan. Melihat Ilyas dengan kondisi seperti itu, aku takut dia akan melakukan hal konyol. Sama seperti ayah dan ibu kami. Sudah cukup bagi kami menyaksikan ayah dan ibu mengakhiri hidup mereka. Aku tak ingin Ilyas melakukan hal serupa. Pelan-pelan aku pegang bahunya, menenangkan hatinya yang keruh, pikirannya yang rusuh. Memberitahu bahwa aku dan Lili mendukungnya, aku dan Lili adalah penopang hidupnya. Aku dan Lili adalah kristal yang perlu dijaga. Cahaya yang tak boleh dibiarkan redup. Ilyas hanya tersenyum getir, cukup untuk memberitahuku bahwa dia memang tidak baik-baik saja. Matanya terpejam, merasakan lembut angin yang menerpa wajahnya. Tak ada suara, sunyi. Malam itu bulan dan bintang-bintang dilangit menjadi saksi bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan Ilyas. Beberapa detik kemudian Ilyas tiba-tiba tidak ada disampingku, ia akhirnya terjun kebawah. Aku menatap tempat orang yang disampingku beberapa detik lalu dengan ketakutan. Aku bergetar hebat. Apa yang kuduga terjadi, nafasku tertahan, seketika semuanya pecah. Aku membekap mulut dengan kedua tanganku, ingin sekali aku berteriak, tapi tertahan. Aku terpaku, mencerna segala yang terjadi. Sementara itu suara teriakan orang-orang dibawah tempatku berada, begitu histeris. Kaget sekaligus takut, merinding melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian. Tepat saat itu nenek berada didepan Ilyas yang terjatuh. Matanya sama bergetarnya denganku, melihat ke atap, tepat saat wajahku muncul bermaksud memastikan tubuh Ilyas.
Aku meringkuk ketakutan mengingat kejadian itu. Kejadian yang bisa membunuhku perlahan. Saat kejadian itu pula nenek mulai tak menyukaiku, mulai mengurungku, menganggapku monster. Pembunuh berdarah dingin, julukan itu sudah dilekatkan kepadaku sejak kejadian itu. Dan rasanya sangat menyesak dada, aku tersengal, nafasku tak beraturan. Aku mengambil satu bantal, menutup kedua telingaku. Semakin aku rekatkan bantal ketelingaku, semakin lihai pula ingatan itu melingkariku, mengikatku. Semakin riuh ingatan itu dalam kepalaku. Terasa jelas suara-suara yang tak ingin ku dengar, sayup-sayup percakapan antara kami, kejadian saat Ilyas memilih terjun kebawah. Suara berisiknya orang-orang yang menjerit ketika menyaksikan tubuh Ilyas terkapar. Juga bayangan ketika nenek mendongakkan kepala melihat kearahku, yang saat itu ada di atap kampus. Semuanya sempurna membelenggu diriku, menjadikan diriku tak terkendali, bergetar, aku merasa cemas. Bola mataku membelalak kala ingatan itu masih berkeliaran dikepalaku. Beberapa detik kemudian tanganku kembali merengkuh lutut, aku kembali membenamkan wajahku, aku menangis. Bening-bening kristal turun perlahan. Ku lampiaskan kesedihanku lewat tangis yang semakin lama semakin keras. Semakin menjadi-jadi, semakin membuncah. Nenek terdiam di ruang makan mendengarku menangis. Aku luapkan segala hal yang menyakitkan itu, aku tumpahkan seluruhnya agar perasaanku lega.
****
Malam hari tiba, aku sedang mewarnai lukisanku. Lukisan yang menurutku sangat indah, sangat menawan. Lukisan yang menggambarkan indahnya diri dan indahnya dunia dengan berbagai problematikanya. Lukisan dua orang bersama sedang menikmati langit malam. Yang satu kepalanya tertunduk meratap, yang satu menatap lurus tegak menikmati dunia, wajahnya sendu. Ku oles warna hitam pekat pada langit yang ku gambar, sementara pada dua orang yang ku lukis dilekatkan warna biru dan coklat pada bajunya. Bintang-bintangnya berwarna abu. Setelah menyelesaikan lukisan, kakiku bergerak kearah pintu, bermaksud mengambil makan malam. Karena pada malam hari, rumah ini sepi, nenek selalu berada dikamar. Hal rutin yang selalu kulakukan. Baru juga akan membuka pintu. Suara ketukan pintu terdengar. Membuka pintu dan lihatlah, Lili sudah menarik tanganku menuruni anak tangga cepat-cepat.
"Kamu ini kenapa?" Aku keheranan dengan tingkahnya. Lili memasang wajah tak bersalah. Satu telunjuk nya ditaruh dibibir " shuuttt" Lili tersenyum riang kepadaku, mengendap-endap agar tak berisik. Langkahnya pelan-pelan, tangannya menggandeng tanganku. Ada sentuhan hangat, ada ketenangan yang mengalir saat tangannya menggenggam tanganku. Kami melangkah sepelan mungkin. Sepi, tak ada siapapun di ruang keluarga, di ruang makan, ditaman, dimanapun. Nenek mungkin sudah tidur, karena sekarang-sekarang memang waktunya jam tidur. Bukan untuk rumah ini saja, rumah lainpun begitu. Lili dan aku berhasil keluar rumah, mengendap-endap melewati rumput, melewati jajaran-jajaran bunga yang mekar. Sungguh sangat cantik. Sayup-sayup angin menambah kelembutan pada malam ini. Meleburkan perasaan rindu, perasaan benci, perasaan lelah, perasaan letih. Sungguh menakjubkan, pertama kalinya lagi aku menapakkan kaki keluar, menjejak lagi dunia yang sudah lama tak kulihat. Akhirnya kami sudah berada diluar pagar. Wajah Lili menghadapku, matanya berbinar senang, bibirnya menyungging senyum, amat meneduhkan. Entah bagaimana, aku bisa melihat kalau Lili ini sangat puas dengan apa yang dilakukannya, ia seperti berhasil keluar dari teka-teki game, atau terbebas dari Labirin yang sulit. Wajahnya cantik, merona. Lili melihat wajahku lamat-lamat, membaca wajahku yang teramat senang keluar dari sangkar mengerikan.
"Hari ini aku akan mengajakmu ketempat dimana kamu bisa melepas kerinduan. Seperti aku yang selalu merindukanmu, jujur aku rindu sekali masa-masa lalu. Bermain bebas, menyeletuk apa saja yang membuat kita tertawa, meski hal kecil. Tapi bagiku, masa-masa itu adalah yang paling membahagiakan. Aku rindu kebersamaan kita" Lili tersenyum, aku terdiam. Bila harus jujur, aku tidak ada kerinduan sama sekali. Hatiku terlanjur hancur, cintaku sudah lebur, rasa kasihku sudah menjadi kepingan, amat menyakitkan. Tidak ada yang patut dibanggakan, sungguh.
Lili menarikku menjauh, kita melangkah ke pertengahan kota. Disepanjang jalan kami terdiam. Lengang, sepanjang kami berjalan hanya hawa dingin yang menemani, hanya daun rindang menari-nari menyirami kami yang tenggelam dalam keheningan. Hingga akhirnya aku membuka suara.
"Kamu mau membawaku kemana?" Suaraku memecah keheningan. Nadaku datar. Lili menoleh, memerhatikan wajahku, lalu tersenyum.
"Rahasia, nanti kamu juga akan tahu, tapi sebelum kita sampai, aku ingin kamu menikmati semuanya. Menikmati malam ini. Cahayanya, cuacanya, perasaannya. Lepaskan semua beban itu, aku tahu sangat sulit melalui semua yang kamu alami" Lili tersenyum. Dirinya benar-benar merasa prihatin. Wajahnya memerhatikan sekitar. Melihatku, ia seperti paham sekali bahwa kalimat mutiara itu tidak pernah bisa mengobati luka dihatiku. Tidak bisa menghilangkan rasa perih di dalam batin. Kata-kata penenangnya tak mampu menembus dinding hatiku.
"Maafkan aku, aku tak bisa melakukan apapun untukmu, tak bisa membuat perasaanmu lega, tak bisa membuatmu merasa aman dan nyaman. Aku tahu betapa menyakitkannya ketika seseorang yang kita sayangi, tiba-tiba menjauhi kita, tak mau bertemu dengan kita. Aku tahu kamu sangat mencintai keluarga kita. Kamu sangat peduli padaku, pada nenek, juga Ilyas. Kamu tidak membunuhnya" Lili kali ini tertahan. Suaranya lemah, aku terdiam, sempurna membatu. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Lili berhasil menusuk jantungku, merobek hatiku. Aku ringkih, ada sesak di dada. Aku mulai bergetar diam-diam. Tapi tak diperlihatkan kepada Lili. Lima menit tak ada suara, lima menit keheningan. Lili menatap lurus, kami duduk dihalte bus beberapa detik. Kemudian bus menghampiri kami. Aku dan Lili naik, sangat sepi, hanya satu dua orang yang berada dalam bus. Kami duduk berdampingan. Lili memegang tanganku, aku menoleh.
"Lihatlah apa yang ingin kamu lihat. Jarang sekali kan mendapat kesempatan ini? Sejak beberapa tahun itu, kamu tidak pernah lagi melihat dunia, melihat tempat-tempat menakjubkan. Jadikan ini moment terbaikmu, aku ingin kamu memiliki kenangan indah" Lili berkata pelan, tangannya tak dilepaskan. Ia memegang tanganku. Aku tahu gadis disampingku ini ingin menenangkan ku, menenangkan gemuruh dihatiku. Tapi sayangnya itu tidak cukup. Aku masih terluka, luka itu masih membiru. Mataku melihat kearah jendela, menyaksikan keindahan dunia, menyaksikan keindahan kota. Menatap takzim beberapa tempat yang dilewati bus yang dinaikki olehku dan Lili. Mataku tak berpaling sedikitpun, lihatlah cahaya kerlap-kerlip lampu di mol sangat cantik, lampunya membasuh mol dengan keindahan. Gedung-gedung tinggi tak kalah menakjubkan, lampunya juga menyala, menambah pesona. Mobil-mobil melintas, satu-dua menyusul. Ada juga yang dibelakang bus yang kami tumpangi. Malam ini sungguh indah, sungguh berisik. Riuh kota tak terhindarkan. Tetumbuhan kecil dipinggir jalan tampak cantik, meliuk-liuk diterpa angin malam. Sungguh menenangkan, aku sungguh menyukainya. Hatiku bagai dibaluri air bening, menentramkan. Lebih dari itu, aku merasa nyaman. Aku fokus melihat jalan-jalan yang dilewati, menatap sedikit orang lewat jendela bus. Lihatlah, aku tidak sadar menyuging senyum, mataku berbinar, sungguh menentramkan. Aku menatap orang-orang yang berjalan bersama seseorang lainnya. Mereka tersenyum, merekah. Berbincang satu sama lain, entah apa yang mereka bicarakan, terpancar kebahagiaan diraut wajah. Aku menyaksikan jalanan yang dipenuhi kendaraan mobil yang berjajar seirama, menyaksikan bagaimana orang-orang bercengkrama, sambil menjejak kaki disisi aspal berwarna abu, mereka dibaluri kedamaian. Siluet lampu-lampu mobil menyoroti mata mereka, sehingga memicing, namun lama-lama terbiasa. Sungguh aku menyukai hari ini. Dunia yang sudah lama tak kulihat, dunia yang aku rindukan, dunia yang setiap hari aku dambakan. Hari ini aku bisa melihat segalanya. Sungguh, rasa rinduku membuncah malam ini. Mengobati hatiku yang sepi, mengobati diriku yang terluka. Bus melintasi setiap ruko-ruko, mol, gedung-gedung pencakar langit. Mataku tak berhenti terkagum-kagum, suara bising kendaraan berlalu lalang memekakkan telinga. Kami turun di pemberhentian berikutnya, melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Lihatlah, perkotaan yang padat ini sangat indah, berbagai cahaya terang menghiasi seluruh kota, lampu-lampu jalan, lampu-lampu mol, lampu-lampu gedung-gedung tinggi berpadu menyeruakkan sinarnya. Langit pun tak kalah menunjukkan keindahan, tak kalah terang. Bintang-bintang bertaburan bercahaya meramaikan langit hitam pekat, juga bulan yang sudah tegak sempurna, sangat menawan. Memanjakan mata siapa saja yang memandang.
Setelah beberapa menit kami berjalan, aku terdiam sejenak. Memandang apa yang kulihat dengan tak percaya. Aku membeku dengan huruf didepanku. Rumah sakit harapan. Gedung putih yang telah ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk, sibuk dengan diri sendiri. Bahkan orang-orang yang menghampiriku, sekedar lewat juga berisik dengan suara-suara obrolan khas rumah sakit. Suara-suara itu menanyakan keadaan seseorang, menanyakan suasana didalam, menanyakan kondisi ruangan dan berbagai hal lainnya. Paling banyak membicarakan seseorang yang dijenguk. Beberapa orang duduk di kursi, membicarakan hal apapun. Terlihat ketegangan diraut wajah mereka. Mereka gelisah, khawatir, cemas. Beberapa orang lainnya berlari kesana-kemari membututi adik-adik kecil yang berlarian. Wajah-wajah asing yang baru ku lihat. Wajah mereka sedang dibalut kesedihan. Aku masih mematung, bergetar. Kali ini Lili melihat keteganganku, menyentuh tanganku, mengusir kecemasan.
"Tidak apa-apa, jangan takut. Ini adalah pertemuan yang indah, tidak mungkin kamu akan menyiakan usaha kita kan?" Lili menatapku. Kata-katanya lembut, setidaknya melepaskan kecemasanku sedikit.
"Ini adalah kesempatan, aku khawatir setelah ini, aku tidak bisa membawamu lagi. Kamu tahu kan, nenek orangnya tegas" Lili menarik tanganku, aku membiarkannya. Kami masuk menelusuri rumah sakit. Sangat dingin, suhu ruangan ini dinginnya menembus kulitku. Orang-orang juga tampak kesana-kemari, sibuk sendiri. Ada yang sedang duduk-duduk cemas, ada yang bergelut dengan lamunan, ada yang sedang memerhatikan ponsel, mengetik cepat, entah apa. Wajah-wajah kusut, wajah-wajah lelah, wajah-wajah letih, wajah-wajah lesu mewarnai ruangan ini. Mereka berantakan dengan pikiran mereka sendiri. Wangi khas rumah sakit tercium, begitu pekat. Aku dan Lili melangkah melewati koridor, melewati orang-orang yang sama mau menjenguk, atau sudah selesai menjenguk. Ada juga yang menjemput orang tersayangnya keluar dari ruang inap untuk pulang. Kami saling berpapasan satu sama lain, saling menabrak, tapi spontan saling maaf-memaafkan. Wajah-wajah panik tak terhindarkan. Kami berdesakkan ke ruang yang akan dituju. Sebenarnya sebentar lagi sampai, tapi ramainya pengunjung untuk membesuk tak kalah memadati setiap langkah kami, jadi kami sedikit lambat. Mereka juga khawatir dengan orang tercinta mereka. Separuh dari mereka ada yang sedang berbincang, membahas mengenai keadaan seseorang bersama seorang dokter. Wajah kusutnya tak bisa disembunyikan. Begitu banyak orang-orang khawatir dengan orang terkasih mereka. Kalau aku sakit apakah keluargaku akan sama cemasnya seperti orang-orang yang kulihat ditempat ini? Suhu dingin pun mendadak tak terasa saking padatnya. Suara bising sekitar memenuhi ruangan. Lili dan aku masuk keruangan dimana katanya aku bisa melepaskan kerinduan, setelah berhasil melewati beberapa orang diluar. Kakiku bergetar melihat siapa yang kulihat. Membatu, mataku berkaca-kaca, bergetar. Kakiku bergerak patah-patah. Inikah tempat yang disebut oleh Lili untuk melepas kerinduan? Inikah yang disebut pertemuan yang indah? Oh tidak, lihatlah siapa yang terbaring lemah. Ilyas! Orang yang tak pernah kutemui lagi setelah kejadian mengerikan beberapa tahun silam. Orang yang dulu selalu bersama-sama setiap selesai kuliah, orang yang matanya selalu redup. Orang yang tak berhasil ku bujuk, menyebabkanku dikurung di sangkar mengerikan itu. Orang yang menumbuhkan rasa benci dihati nenek. Lihatlah tubuhnya, lemah, ditopang berbagai alat rumah sakit, ventilator itu sempurna tepasang dihidungnya. Alat untuk membantunya bernafas, memompa udara ke paru-parunya. Monitor di samping ranjang pasien berbunyi pelan memperlihatkan garis-garis zig-zag. Lihatlah, Ilyas tak berdaya, belalai panjang yang terpasang dihidungnya membuatku miris melihatnya. Mata terpejam, tubuh terbaring, tangan tak bergerak, lihatlah lelaki itu sudah seperti mayat.
Aku menangis. Perlahan tanganku memegang tangan lemah Ilyas, lalu ke wajahnya. Memperhatikan lamat-lamat wajahnya. Wajah itu pucat, sesenggukan memerhatikan setiap tubuh seseorang yang sudah lama tak kulihat ini. Hatiku pilu, rasa sakit kembali menyerang ku, menghujamku dengan ribuan pisau menusuk. Aku linglung, kepalaku pusing. Oh Ilyas, apa yang harus kulakukan?
"Lihatlah wajahmu, begitu pucat pasi. Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Kalau kamu begini, aku tidak bisa membencimu padahal aku ingin sekali mengutukmu. Lihatlah aku..." Aku bergetar, meraba dada. Mata fokus kepada Ilyas yang terpejam. Oh tuhan keadaannya mengerikan untukku. Tersengal, membiarkan airmata menetes semaunya.
"Bagaimana bisa, kamu seperti ini? Kenapa tak sekalian mati saja biar aku sudah sempurna menjadi pembunuh untukmu, aku sudah membunuhmu" Setelah keluar kalimat itu aku tersungkur, tanganku lemas. Sepi, hanya layar kotak dipinggir ranjang yang terdengar tut...tut...tut... Ruangan kecil ini begitu sunyi. Lihatlah peralatan yang terpasang pada tubuh Ilyas, begitu miris. Tubuhnya hangat, tapi tak ada pergerakan, ia sempurna diam. Aku lagi-lagi menatap penuh sendu. Langit-langit kamar berwarna putih, serta dinding berwarna putih telah menjadi saksi bagaimana keadaan Ilyas, bagaimana hari-harinya. Alat-alat itu telah bersamanya selama beberapa tahun, sudah menjadi penopang hidupnya. Wajah putih itu tidak ada sinar, tidak ada cahaya. Ia redup, seperti kehidupan yang sudah dijalaninya beberapa tahun silam, hanya keadaan yang kulihat saat ini menjadi pelengkap pahit kehidupan lelaki muda ini. Pemuda yang didambakan menjadi kebanggaan keluarga, pemuda yang di idamkan mencakrawala dikeluarga, pemuda yang diharapkan menjadi panutan bagi adik-adiknya, lihatlah sekarang, sedang terkapar tidak berdaya. Semua mimpi dan harapan keluarga itu hancur lebur, berserak, tak bersisa. Semua yang ingin digapai keluarga punah sudah, bersamaan dengan Ilyas yang terpejam diranjang rumah sakit. Lihatlah sesuatu berbentuk seperti mangkuk membekap hidung dan mulut, serta belalai panjang yang menyatu sempurna menjadi penopang hidup matinya Ilyas, menjadi bantuan pernapasan Ilyas. Entah kapan ia akan sadar, entah kapan ia akan membuka mata. Tapi setidaknya dari Lili dan nenek yang selalu menjenguk sesekali, aku tahu ada harapan yang menimbun, ada secercah keyakinan yang tumbuh, ada sedikit sinar dihati mereka, kalau orang yang paling dicintai keluarga setelah Lili ini akan bangun. Malam ini bukan pertemuan yang indah seperti yang dikatakan Lili, tapi ini adalah pertemuan menyayat hati, setidaknya bagiku.
Entahlah hatiku bimbang antara senang dan sedih. Separuh hatiku merindukan sosoknya. Sosok yang gagah ketika berpura-pura ceria didepan nenek, sosok yang terbuka ketika ia setiap kali lelah, maka kami akan berbincang sebentar. Mencari tempat sepi untuk menumpahkan segala keresahan yang dialami Ilyas. Iya dulu Ilyas sering berbicara tentang betapa ia lelah dengan kehidupannya. Lelah dengan keinginan nenek yang ingin dirinya seperti ini dan itu. Dan kakak pertama dari keluarga kami ini selalu mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan nenek, walau itu kadang ada yang bertentangan. Iya, nenek menganggap lelaki muda ini adalah sosok sempurna. Sosok yang berani dan penuh kewibawaan, panutan bagi keluarga. Yang tanpa disadari itu malah membuahkan luka. Menyebabkan Ilyas tak bisa mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Membenamkan mimpinya, mengubur perjalanan yang disusun, dirangkai dengan baik. Karena nenek orangnya tegas dan penuh tekanan. Ilyas adalah anak pertama dari kedua orangtua kami. Jujur ketika melihat Ilyas hari ini, seketika aku teringat dengan ayah dan ibu. Bagaimana keadaan getir mereka. Masa-masa mereka bertengkar hebat dengan nenek karena ada yang tak sepemikiran, ada pertentangan, berbeda cara pandang. Ayah dan ibu adalah pekerja kantoran, pekerja keras. Mereka selalu berangkat pagi pulang malam mengurus beberapa kerjaan diluar. Kalau pulang ke rumah pun sering terdengar pertengkaran hebat antara nenek dan kedua orangtuaku. Saat itu aku, Lili dan Ilyas masih sangat kecil, berusia tujuh, delapan, sembilan tahunan. Setelah beranjak dewasa, Ilyas dituntut untuk ini dan itu, menjadi apa yang nenek mau. Seperti robot, mematuhi apa saja yang diucapkan nenek. Apa karena nenek tak berhasil membujuk ayah dan ibu menapaki jalan yang sudah disediakan oleh nenek? Apa karena nenek gagal membawa ayah dan ibu menuruti setiap jengkal keinginannya? Meski aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan ini adalah karena nenek ingin cucunya menjadi sempurna menurut gambarannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apa arti kata bangga bagi nenek? Apa arti kata sempurna dipandangan nenek? Aku benci sekali sebenarnya mengingat kejadian itu. Karena kejadian itu pula aku dikurung dirumah, tidak perbolehkan keluar. Sekali lagi aku adalah burung dalam sangkar. Akupun tak tahu kenapa nenek seperti itu. Yang jelas hari ini adalah malam yang penuh sesak bagiku. Penuh dengan sulaman kesedihan, penuh dengan tikaman tajam yang sempurna menghujam jantung. Aku masih bergetar, terisak menatap wajah kakak pertamaku ini. Lili diam, membiarkanku melampiaskan segalanya, melampiaskan kemarahan atas kesedihan yang kurasakan. Lili menjadi penonton malam ini, menyaksikan bagaimana aku bereaksi dengan keadaan, menyaksikan aku menangis.
"Seharusnya kamu mati saja, biar apa yang sudah kamu alami tidak lagi dirasakan, agar setiap yang membuatmu perih itu hilang. Kamu seharusnya tidak usah bertahan. Kalau seperti ini, aku malah semakin membenci dirimu, dulu kamu berjanji akan menjagaku dan Lili. Lihatlah, bahkan kamu tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa menjadi pelipur lara untuk adik-adikmu, tak bisa menjadi tempat bersandar untuk kami. Seharusnya kamu menjadi pelindung untukku, untuk Lili. Tapi hari ini aku mengerti, mustahil untukmu untuk menolongku. Aku kesakitan" Airmataku tumpah, sesak di dada luruh. Dinding-dinding hati yang menimbun ribuan sesak runtuh satu-persatu. Aku tak bisa menahan emosi. Membuncahkan segalanya yang terpendam, melampiaskan semuanya yang membenam dalam batin. Ruangan kecil ini menjadi saksi atas kemarahanku. Senyap, Lili tertunduk, menahan denting air yang akan jatuh dipelupuk mata.
"Aku dikurung oleh nenek, padahal kamu yang melakukan hal keji itu, kamu yang memilih jalan itu, kamu yang memilih mengakhiri hidupmu. Aku sudah berusaha mencegahmu, mengatakan bahwa aku dan Lili membutuhkanmu! Dan kami memang membutuhkanmu!! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu tetap melakukannya, kamu tetap melukai dirimu, kamu tidak peduli kepada kami dan tetap memilih mengakhiri hidupmu, tapi kenapa yang disalahkan adalah aku!! Kenapa yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku? Sungguh Ilyas, kalau kamu berkata dari awal apa sebenarnya keinginanmu kepada nenek, semua ini tidak akan terjadi padaku!! Mungkin kalau kamu berani mengungkapkan impianmu, ketakutan yang kamu rasakan itu tidak terjadi!! Kamu adalah orang paling bodoh yang pernah ada, setidaknya kalau kamu mengutarakan apa yang ada dibenakmu, mungkin nenek tidak akan marah seperti yang selalu kamu bilang, mungkin nenek tidak akan merasa kecewa atas keterus-teranganmu!! Karena kamu adalah orang yang paling dicintai nenek! Kamu orang yang berharga untuk nenek! Kamu terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi! Nenek tidak akan menganggapku seorang pembunuh kalau kamu berani mengucapkan semuanya!! Kamu adalah manusia paling konyol!! kamu yang melakukan, aku yang menjadi korban" Hari ini aku menumpahkan segala isi hatiku, isi pikiranku. Biarkanlah aku merasa lega. Biarkanlah perasaan sesak itu keluar dari tubuhku. Biarkan hari ini tubuh ini merasakan leluasa, merasakan kelegaan, merasakan kelapangan, melepaskan semuanya, aku tak tahan lagi. Aku masih menangis, wajahku memerah, mata sembab, suaraku menjadi serak. Aku lemah hari ini. Dinding yang kubangun untuk diriku hancur sudah, retak sudah semuanya, berserakan. Aku roboh hari ini, aku ringkih, lemah.
"Tapi aku merindukanmu..." Nafasku sesak, tubuh berguncang-guncang karena tangisanku yang tak tertahan. Iya, separuh hatiku merindukannya, merindukan kebersamaan kami bertiga, masa dimana kami bermain bebas, meski saat melakukannya kami sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan. Meski saat melakukannya, kami bertiga selalu ada pertengkaran kecil. Tepatnya aku dan Lili yang selalu bertengkar dan Ilyas yang akan mendamaikan. Diantara kami Ilyas adalah sosok yang dewasa, selalu mengalah, selalu mengerti keinginan kami. Itulah kenapa kami sangat mencintainya setelah ayah dan ibu. Apalagi setelah kedua orangtua kami pergi jauh, cinta kami sudah dilabuhkan kepadanya. Kakak yang penuh cinta, kakak yang penuh tatapan hangat, kakak yang penuh tatapan lembut. Kami mencintainya.
Aku dan Lili memutuskan pulang. Selama kami berjalan, tidak ada suara, aku menikmati kesendirian, tenggelam dalam renungan. Lili berjalan di belakangku, memerhatikan punggungku. Udara dingin membaluri batin, malam ini sempurna menyulam kesedihan, menyulam kenangan yang dulu begitu amat menentramkan. Dulu aku, Lili, dan Ilyas hanyalah anak-anak kecil yang riang, kami selalu bersama setiap waktu. Menghabiskan hari dengan bermain, berlarian, melempar lelucon dan sebagainya. Aku merindukan moment itu, tapi sekarang aku benci perasaan itu. Perasaan rindu yang melapiskan beberapa kejadian antara senang dan sedih menyatu dalam satu ingatan. Mencabik rasa cinta kumiliki menjadi benci berkali lipat. Malam terasa sejuk, menelusup jiwaku yang bersedih, cukup untuk membasuh batinku yang sedang terluka. Lampu-lampu kota masih menyala menerangi seluruh jalan. Bulan yang berdiri tegak pun masih setia menemani. Aku masih tertimbun kenangan, meneteskan air mata. Bagaimana tidak? Setiap kenangan yang berkelibas berhasil menikamku seperti ditusuk ribuan pisau, perih sekali. Malam ini menjadi malam kesedihanku. Lili membiarkan, memperhatikanku, memutuskan malam ini menjadi milikku. Bintang-bintang ikut merayakan kesedihanku, cahayanya tak mampu menembus gelap dalam diriku. Aku redup, sinar bulan dan bintang tak bisa memecahkan gelimang perasaan terluka, rindu, benci. Aku dalam keadaan terlemah, setelah sekian lama kubangun kuat-kuat dinding dihatiku, akhirnya hancur juga. Setelah sampai rumah, kami melangkah kepelataran rumah, membuka pintu, dan lihatlah siapa yang sudah berdiri diruang keluarga. Menatap buas aku dan Lili yang baru kembali. Sungguh melelahkan hari ini, aku sudah malas melihat nenek. Tak peduli apa yang akan terjadi, perpecahan apa lagi yang akan kudengar. Aku mengabaikannya, memilih berjalan ke kamarku. Lili menghentikan langkah, matanya bergetar, bibirnya bergetar, ia panik setengah mati. Aku tak peduli, tatapan buas nenek tak mempan padaku. Entahlah, mungkin karena aku sudah terbiasa. Raut wajah nenek merah padam, seperti siap membunuhku kapan saja. Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar.
"Darimana saja kamu?!" Nenek menatap tajam kearahku. Aku masih melangkah.
"Berhenti! Aku sedang bicara denganmu, apa kamu tidak tahu etika dirumah ini?" Tatapan nenek menyeramkan. Sebenarnya aku malas tidak mau berdebat, sudah cukup hari ini aku mengeluarkan seluruh energiku, aku lelah hari ini. Aku menghentikan langkah, lalu melihat wanita paruhbaya dihadapanku.
"Aku lelah hari ini, bisakah bicarakan besok? Kalau ingin memakiku besok saja" Nadaku datar, langkah berhenti dianak tangga. Nenek melempar gelas bening yang ada dimeja kearahku. Brakkkk terdengar keras sekali menghantam dinding beberapa inci disampingku. Tepatnya meleset. Setelah itu nenek melihat kearah Lili yang masih diam didepan pintu. Menatap garang. Lili terkesiap langsung menutup kedua telinga dengan tangan kala pecahan gelas menerpa dinding. Berkeringat dingin. Entah hari ini apa yang merasuki wanita tua ini. Ia seperti ingin menghabisi kami berdua. Lili ketakutan. Aku diam, terbiasa dengan keadaan.
"Sudah kubilang, jangan bergaul dengannya, kenapa hari ini kamu membantah Lili? Kamu tidak sayang nenek lagi?" Perkataan nenek pedas, menusuk jantung. Sungguh amat perih mendengarnya. Tapi aku terbiasa.
"Kamu tidak lupa, dia ini siapa? Dia sudah membunuh kakakmu!! Kamu tidak takut akan mengalami hal serupa seperti Ilyas? Kenapa masih peduli dengan orang tidak berguna ini!! Ilyas dirumah sakit gara-gara siapa? Gara-gara dia!!" Tangan nenek menunjuk-nunjuk padaku. Sungguh aku menahan amarahku. Sudah kelelahan. Lili menatap ketakutan, ragu-ragu berkata.
"Nek.. jangan salahkan Fatih, aku yang mengajaknya keluar hari ini. Aku mengajaknya bertemu dengan Ilyas. Sudah lama Fatih tidak keluar, aku hanya mengajaknya jalan-jalan, maaf, aku bersalah nek.." Lili tertunduk pasrah. Sedu sedan terdengar, satu denting airmata menetes membasahi pipi Lili. Sungguh perempuan satu tahun lebih muda dariku ini terkejut bukan main melihat ekspresi nenek. Baginya nenek yang lembut itu hilang dalam sekejap. Entah bagaimana mata nenek menyalak buas ke arah Lili, siap menghancurkannya, lalu menatapku lagi. Aku melihat tatapan benci dimatanya.
"Semua yang terjadi kepada Ilyas adalah salahmu, karena kesalahanmu dia menjadi seperti itu! Kamu ingin juga Lili seperti Ilyas? Tidak cukupkah untukmu mengerti kenapa Lili aku larang bersama denganmu! Karena kamu sungguh pembawa sial, kamu orang yang suka membunuh orang! Menyebabkan Ilyas seperti sekarang!! Seharusnya yang mati itu kamu!!" Nenek berteriak membuncahkan kekesalan. Aku mematung, bergetar. Tidak percaya dengan apa yang kudengar. Seperti ada dentuman yang langsung menghantam tubuhku. Seketika Nenek yang menenangkan untuk Lili hilang, nenek yang selalu senyum merekah dihadapan Lili tidak ada sama sekali, nenek yang selalu bersikap santun kepada Lili sirna. Nenek hari ini lepas kendali, gurat-gurat diwajah nenek terlihat. Lili bergetar. Setelah beberapa tahun lamanya tak melihat nenek semarah ini. Aku tersenyum terluka, menatap nenek redup, dengan sisa tenagaku.
"Bagimu aku adalah orang yang seperti itu? Kalau begitu bunuh saja akuu!! Biar kamu puas!! Biar kalau aku mati, takkan ada yang memakiku!! Karena kamu memang tidak mencintaiku, kamu tidak menyukaiku!! Biar aku sama seperti ayah dan ibu!!" Aku kalap, mataku menyalak, tak kuat dengan lontaran nenek. Tersengal dengan sisa tenagaku. Lili bingung, tak bisa menyembuyikan ketakutan, bergetar. Teriakanku dan nenek menggema keseluruh ruangan. Tanganku kearah dada, bergetar, menepuk-nepuk dada, bermaksud menghilangkan sesak nafas yang diam-diam merangsang tubuhku. Tapi semakin lama semakin tak terkendali, sungguh aku tak bisa bernafas. Bola mataku membelalak keluar, aku semakin bergetar.
"Sebegitunya kamu membenciku, seharusnya kamu tanya dirimu sendiri, ada apa denganmu. Kenapa ilyas jadi seperti sekarang!! Keluarga yang sangat kamu banggakan ini nyatanya hanya kebanggaan untuk dirimu sediri!! Kamu tidak bertanya kepada kami, apa yang kami suka, apa yang kami cinta, kami capai! Kamu hanya peduli dirimu sendiri, semua yang ada dirumah ini adalah milikmu!! Nenek yang membunuh Ilyas!!" Tanganku masih menepuk-nepuk dada. Meluapkan emosiku, kemarahanku. Wajahku merah padam. Lili menutup telinga dengan kedua tangan. Sungguh hari ini aku tak bisa mengendalikan diri.
"Biar aku mati saja!! Agar sama seperti ayah dan ibu. Kamu selalu mengharapkan segala yang ada dalam anganmu menjadi kenyataan!! Ingin menjadi yang sempurna, semua harus mengikuti apa yang kamu inginkan!! Tapi apa hasilnya? Ayah dan ibu pergi!! Gara-gara siapa? Gara-gara nenek!!" Aku semakin tersengal setelah mengatakannya, nafas sesak semakin menyerang. Mataku menatap sekitar kunang-kunang, tubuh tiba-tiba terasa berat, tapi berusaha tetap berdiri. Sungguh aku seperti akan mati. Aku melangkah patah-patah kearah nenek, memegang satu tangannya dengan cepat, mencengkramnya kuat-kuat. Aku kesetanan menatap nenek.
"Nenek kira aku juga mau hidup begini?!! Aku sudah hancur olehmu!! Aku sangat benci rumah ini, kamu sudah mengurungku semaumu, sudah mengunciku semaumu, kenapa tak sekalian bunuh saja aku!! Pukul saja aku!!" Aku berteriak, tanganku mengguncang-guncang bahu nenek. Entah bagaimana aku tak bisa mengontrol diri, lemah, aku terjatuh tepat setelah mengatakan itu.
"Diammm kamu!!!!" Nenek menutup telinga. Ketakutan, melangkah patah-patah ke kamarnya, linglung. Sedang Lili langsung menghambur kearahku, membantuku berdiri. Nafasku masih tersengal. Oh tidak, ada apa dengan tubuhku? Kenapa aku menjadi seperti ini? Tanpa banyak bicara Lili menopangku kekamar. Mendudukkan aku diranjang. Kepalaku bersandar dibantalan tempat tidur. Aku lemah, redup, tak ada cahaya, mataku kosong. Lili khawatir melihatku. Bergegas mengambil minum, menuruni anak tangga kedapur, setelah selesai Lili membantuku minum, membiarkanku terus bersantar dibantalan ranjang.
"Maafkan aku Fatih, seharusnya tidak begini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Nenek marah padamu gara-gara aku. Sungguh Fatih aku dan Ilyas menyayangimu. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Meski aku tahu, aku tak sebaik Ilyas yang memiliki keberanian. Kami mencintaimu Fa, maaf..." Lili tersedu-sedu. Aku diam tidak merespon. Merenungi hidupku yang kacau balau.
"Mencintai? Jangan bergurau denganku. Kamu berkata begini, karena hidupmu terpenuhi cinta, penuh kasih. Kamu tidak akan mengerti apa yang kurasakan Lili. Karena kamu dan Ilyas hidup dengan kasih yang melimpah" Aku menatap terluka kearah perempuan disampingku ini. Dari tatapan Lili, aku tahu dia merasa bersalah. Tapi aku sudah hancur, keluarga ini tak lagi menumbuhkan rasa cinta dihatiku.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku memalingkan wajah. Lili meninggalkan kamar, aku sendirian sekarang. Aku menangis kecil, bening-bening kristal ini turun lagi, menangis lagi untuk kesekian kalinya. Aku menatap sekitar kamar, dinding, lukisan-lukisan indah, rak buku. Lengang sudah, aku kesepian. Malam ini, malam yang mengerikan.
****
Surya kembali menyapa. Sinarnya menembus sela-sela ventilasi udara kamar, mengenaiku yang terpejam. Pagi yang hangat. Aku tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang diluar sana, mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan kegiatan hari ini, sibuk berpakaian rapih, pergi ke kampus, atau siap mengantar orang-orang tersayang mereka keberbagai tempat yang dituju. Mungkin sebagian orang juga berjalan kaki sambil menjajakan beberapa dagangan, juga ada yang siap membuka ruko diawal pagi. Mungkin orang-orang juga ada yang siap pergi ke kantor, atau memang sudah ada yang dikantor tidak pulang, menghabiskan seluruh waktunya di perusahaan. Waktu-waktu melelahkan telah merenggut kebersamaannya dengan orang tercinta. Seperti ayah dan ibu yang super sibuk dengan urusan dunianya, pulang hanya sesekali, itu pun kalau selesai pekerjaannya. Kalau tidak, menginap dikantor, dulu ayah dan ibu begitu. Hari ini orang-orang siap menyambut keresahan, keletihan, kekhawatiran setelah melangkah keluar rumah. Siap menggunakan tubuh mereka bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Aku menggeliat, mata remang-remang. Membuka selimut, melangkah gontai kearah jendela, membuka tirai jendela. Sinar keemasan mulai menyoroti kamarku lewat sela-sela, memantul ke dinding. Setelah itu melangkah lagi ke kursi didekat ranjang, duduk, menarik nafas dalam-dalam. Menatap lukisan dengan sendu, lukisan punggung dua orang saudara lengkap dengan biru dan coklat pada baju mereka, sedang duduk menatap langit gelap. Lukisan yang mengharapkan se-embun kebahagiaan, lukisan yang menanti sinar kedamaian, lukisan yang sedang berharap cemas cahaya menentramkan. Sudah seminggu ini aku diam dikamar, keluar kamar hanya sesekali mengambil apa yang ingin dimakan. Rutinitas yang selalu kulakukan. Setelah berdebat panjang lebar seminggu yang lalu, aku, Lili dan nenek tidak bertegur sapa, saling diam. Bagiku hari-hari memang selalu seperti ini, jadi tidak masalah. Lili sesekali menatapku kalau aku sedang mengambil makanan atau minum. Melihatku yang berwajah datar-datar saja. Ragu menyapa dan akhirnya hanya melihatku yang kembali kekamar. Lili menghembuskan nafas pasrah. Aku tidak tahu kalau pagi ini ada kabar membahagiakan bagi keluarga ini. Lili dan nenek sedang menjemput kebahagiaan itu, sedang menanti cinta yang kembali mekar setelah layu beberapa tahun. Terdengar suara mobil meninggalkan halaman rumah. Sementara aku menggelayut dengan lamunan. Mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas dan nenek yang seminggu lalu menginginkanku mati. Andai aku bisa memutar waktu, sungguh aku tak ingin berada dikeluarga ini. Cinta itu tidak ada bagiku, itu hanya berlaku pada Lili dan Ilyas. Mereka lah yang jadi kebanggaan keluarga. Mereka lah yang harum namanya. Bahkan nenek tak segan membicarakan Lili dan Ilyas dengan antusias kalau para tetangga membicarakan soal mereka berdua. Aku hanya nasib buruk bagi mereka. Tidak sadar kembali meneteskan air bening dimata, aku mendongak mencegah lebih banyak kristal-kristal kecil membasahi pipi. Kembali melangkah kearah jendela, membukanya. Sinar matahari langsung menyambutku, menutup mata, merasakan hangat yang ditawarkan mentari. Hangat sekali menerpa wajahku. Setidaknya mengobati diriku yang kesepian, meski tidak benar-benar menyembuhkan.
Aku tidak tahu kalau nenek dan Lili tersenyum merekah tidak sabaran ingin segera sampai kerumah sakit. Setelah mendengar kabar dari dokter bahwa Ilyas sudah bangun. Mobil-mobil dijalanan meramaikan suasana kota. Tidak peduli berdesakan, saling beradu klakson, mobil-mobil itu melaju seirama. Sebagian dikiri dan kanan, sangat ramai. Matahari terbit menambah kelembutan, menimbun kehangatan pada orang-orang yang sibuk menyetir didalam mobil, pada orang-orang yang berjalan, pada orang-orang yang bertegur sapa, pada orang-orang yang sibuk dengan diri sendiri, pada orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan di kantor, di ruko, dimanapun. Gedung-gedung tinggi menjulang seperti biasa memanjakan mata, beberapa pohon rindang bertiup diterpa angin. Jantung nenek dan Lili berdegup kencang, harap-harap cemas ingin menyaksikan orang tercinta mereka, menyaksikan cahaya yang kembali menyala, setelah sekian lama redup. Meski pagi ini riuh kota begitu memekakkan telinga, mereka tidak peduli, mereka sedang dibalut kegembiraan yang menakjubkan. Awan-awan menggantung di langit biru, amat menawan. Mobil yang mereka tumpangi menyalip beberapa mobil didepan. Layar-layar televisi raksasa yang tertempel di dinding gedung serasi menampilkan berbagai iklan. Semesta telah penuh oleh berbagai aksesoris dunia. Setelah sampai ditempat yang dituju, mereka melangkah girang. Seperti biasa rumah sakit ramai oleh orang-orang yang membesuk. Keluar-masuk dengan berbagai macam ekspresi wajah. Lili dan nenek lihai melewati beberapa orang setelah melewati pintu masuk. Langkah mereka sama cepatnya dengan orang-orang yang berburu hadiah. Lihai melewati koridor, melewati orang-orang, meski harus berdesakan. Sungguh rumah sakit selalu penuh oleh wajah-wajah resah menanti kebahagiaan, wajah-wajah khawatir menanti kesembuhan, wajah-wajah haru menanti keajaiban. Hati Lili dan nenek dibaluri kebahagiaan. Lihatlah, dokter-dokter ditempat Lili dan nenek lewati sibuk menerangkan keadaan seseorang kepada seseorang lainnya. Setelah melewati beberapa kegaduhan akhirnya sampai juga. Melangkah patah-patah kearah Ilyas yang terbangun.
Semburat kebahagiaan terpancar diwajah Lili dan nenek. Mengharu biru dengan apa yang mereka lihat. Oh Ilyas, orang tercinta mereka telah bangun. Siap menggelayutkan kemeriahan dikeluarga, siap menimbun kehangatan dikeluarga, siap menumpahkan kebahagiaan tiada tara. Lihatlah orang yang sudah lama seperti mayat itu akhirnya menunjukkan tanda kehidupan, menaburkan kembali keindahan yang megah. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa senang mereka. Tetes-tetes bening siap tumpah, nenek meraba wajah cucu kebanggaannya. Lihatlah, raut wajah nenek penuh haru. Menggenggam tangan Ilyas, membelai rambutnya pelan, mencium kening, lalu tangan dengan lembut. Diri mereka dialiri kedamaian. Meski terasa berat, Ilyas berusaha membuka mata lebar, tersenyum tenang. Menatap lamat-lamat wajah nenek dan Lili bergantian. Melihat sekitar remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Mata pemuda ini menelisik setiap sudut ruangan. Dinding berwarna putih, sofa yang tersimpan dipinggir ranjang, meja, langit-langit ruangan, lalu kembali menatap Lili dan nenek. Bertanya lemah.
"Mana Fatih?" Ilyas menatap lamat-lamat. Lili membisu, nenek tak menggubris, terlalu berbunga hati melihat cucu kesayangannya akhirnya bangun.
"Dimana Fatih.." Sekali lagi Ilyas bertanya. Lili buru-buru menjawab.
"Dirumah, Ilyas. Tidak perlu khawatir, Fatih ada dirumah, dia menunggumu dirumah" Lili tersenyum lembut. Ilyas menatap nenek, sekali lagi tersenyum. Memegang tangan nenek hangat. Ada ketentraman digenggaman Ilyas. Nenek tak berhenti tersenyum, bersyukur orang yang amat ia cintai kembali kepadanya, siap meramaikan rumah. Ketulusan terpancar dimata nenek, amat menenangkan. Sungguh penantian yang panjang, menunggu beberapa tahun itu tidak mudah. Melewati berbagai kejadian, masa-masa sulit, melewati beberapa tahun kesedihan tapi akhirnya tergantikan oleh harapan yang menjadi kenyataan. Sungguh penantian yang tidak sia-sia, menunggu dengan sabar dan terbayar sudah kelelahan yang panjang dengan cinta yang kembali tumbuh mekar.
"Kami merindukanmu Ilyas, sungguh hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi kami, karena kamu kembali kepada kami. Kita bisa bermain lagi seperti dulu, walau aku tahu kita tidak lagi kecil hehe" Lili teramat senang, wajahnya cerah, secerah matahari. Malu-malu melihat Ilyas. Ilyas membalasnya dengan senyuman menenangkan.
"Aku juga merindukanmu, merindukan nenek, merindukan Fatih. Maaf telah membuat khawatir, terimakasih untuk tak menyerah padaku" Ilyas dengan lembut membelai kepala Lili. Lili merona merah. Setelah beberapa jam berbincang, nenek sibuk mengurus kepulangan Ilyas dirumah sakit, tapi tidak mengapa, karena wanita tua itu melakukannya dengan senang hati. Bagaimana tidak, toh orang yang paling dicintainya kembali menyalakan semangat hidup, kembali menyeruakkan cahaya. Nenek berbinar-binar. Setelah semuanya selesai nenek dan Lili sabar menuntun Ilyas ke mobil, mereka pergi meninggalkan rumah sakit.
Sungguh pagi yang indah, tapi bagiku hari-hari selalu sama, tak ada yang spesial. Kepala mendongak kearah langit, lihatlah formasi awan-awan putih yang menghiasi langit biru pekat berpadu dengan sinar warna kuning disela-sela awan sungguh memesona. Membius setiap orang ingin melihatnya. Aku pun begitu, saking cantiknya selalu memberikan kesan baik kepadaku. Seolah berkata untuk selalu menjalani hidup dengan baik, seolah memberitahu bahwa setiap hari, apapun itu akan terlewati. Tanpa sadar bibirku menyungging senyum, setidaknya hari ini perasaanku jauh lebih baik, karena tak harus berdebat dengan nenek, tak perlu melihat Lili yang selalu mencuri-curi pandang ketika bertemu. Biarlah hari ini aku melepaskan semua beban. Aku menghirup udara, memejam mata lalu membukanya lagi, sungguh menenangkan. Tiga puluh menit berlalu, lihatlah mobil sudah memasuki halaman rumah. Aku melihat dari jendela kamar, memerhatikan kendaraan roda empat seksama. Tepat berhenti didepan pintu, meski berjarak beberapa meter saja. Lili, nenek keluar dari mobil satu persatu, amat hati-hati. Dan lihatlah siapa orang yang kulihat selanjutnya, keluar pelan dengan tangan digenggam Lili. Sungguh hatiku bagai dipanah sempurna menghujam jantung, tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Diam terpekur melihat apa yang kulihat, memerhatikan mereka melangkah kedalam rumah. Nampaknya rumah ini akan ramai lagi. Aku tidak percaya, orang yang semula terbaring lemah, kini telah menjejak lagi dunia, menjejak bumi. Entahlah apa harus senang atau sedih, tapi sungguh itu hal yang baik. Apakah cinta antar saudara akan tumbuh kembali? Kupikir tidak, cinta tidak akan mekar lagi. Ini bukan cinta, aku sudah mengikisnya jauh-jauh. Cinta keluarga itu sudah pupus, aku tidak menyukai keluarga ini. Kembali melangkah ke kursi, duduk, menatap lagi lukisan yang tadi kulihat, setelah itu membalikan lukisan. Ilyas, Lili dan nenek duduk disofa ruang keluarga. Ilyas menelisik setiap sudut, matanya megedar seperti mencari seseorang.
"Lili, dimana Fatih?" Itu kata pertama Ilyas setelah sampai rumah.
"Kenapa aku tak melihatnya?" Mata pemuda ini masih memeriksa sekitar ruangan, kalau-kalau aku mungkin lewat. Lili terdiam, baru akan beranjak dari sofa, tangan nenek mencegah Lili, menyuruhnya untuk tetap duduk menemani ilyas. Ilyas memicing keheranan dengan apa yang dilakukan nenek. Nenek memerhatikan ekspresi Ilyas, lalu cepat-cepat membuka pembicaraan.
"Nak, hari ini kamu sungguh keajaiban yang diberikan Tuhan kepada kami. Kamu tahu, kita tidak pernah lelah menunggu kamu bangun, mencemaskan keadaanmu. Sungguh hari ini kamu adalah hal yang paling membahagiakan. Sudah lama rumah ini sepi" Nenek berkata lembut, menatap Ilyas penuh kasih sayang. Raut wajahnya menunjukkan semua cinta paling dalam. Mata nenek mulai berkaca-kaca, memegang telapak tangan Ilyas. Ilyas terdiam tersenyum. Setelah itu kembali menelisik ruangan.
"Nenek mana Fatih.." Pemuda itu lagi-lagi mencari keberadaanku. Dari tatapannya, nenek tahu Ilyas amat peduli padaku. Keheranan aku masih tak menemuinya. Lili diam, tapi beberapa menit kemudian mengatakan keberadaan ku.
"Dikamar, Ilyas" Lili menempali cepat. Tangan yang semula digenggaman nenek itu terlepas ketika Ilyas langsung beranjak pergi kearah kamar. Nenek menatap Lili, tahu itu tatapan pembunuh, cukup mengerikan. Sementara Ilyas pelan-pelan menaikki anak tangga menuju kamarku. Mengetuk pintuku pelan. Entahlah, terus terang aku benci, tapi juga senang karena dia telah kembali. Setidaknya nenek tak perlu berdebat panjang lebar denganku dengan kehadirannya. Ini bukan karena aku menyayangi Ilyas sebagai keluarga, tapi lebih tidak perlu repot mendengar celotehan nenek kepadaku. Aku tak bergeming meski suara Ilyas terdengar didepan pintu.
"Kamu masih tidur Fatih?" Ilyas terdiam lagi. Tak ada jawaban dariku membuatnya mengetuk lagi berapa kali. Karena masih tak ada jawaban, memutuskan untuk membuka pintu. Dan lihatlah, Ilyas berdiri diambang pintu. Aku diam dikursi, anak pertama dari keluarga ini mendekat, memegang bahu, memerhatikan wajahku yang teramat datar.
"Aku kembali Fatih, aku merindukanmu, merindukan rumah, merindukan keluarga kita" Ilyas mencoba mengajakku bicara, aku tak menggubrisnya. Rasa benci sudah menjalar dalam diriku. Sungguh semua yang dikatakan nya bohong, apa yang perlu dirindukan dari keluarga ini? Tidak ada cinta, tidak ada sama sekali. Keluarga ini mengerikan bagiku.
"Kamu sudah kembali, aku turut senang. Dari penglihatanku kamu masih perlu istirahat. Istirahatlah, aku tak ingin mengganggumu" Jawabku sekenanya. Ilyas diam keheranan, menangkap ekspresiku yang biasa saja.
"Kamu tidak senang aku kembali?" Ilyas masih memerhatikanku. Aku balik menatapnya, memasang wajah datar.
"Itu tidak penting, yang terpenting adalah kamu sudah hadir kembali ke keluarga ini. Nenek dan Lili cukup bahagia, itu sudah cukup. Istirahatlah, kamu masih belum benar-benar pulih" Aku kembali membalikkan badan. Ilyas merasa seperti ada sesuatu denganku.
"Fatih, kata Lili kamu menungguku, kenapa tidak datang ikut bersama nenek dan Lili menjemputku? Kamu tahu, kukira aku sudah mati, kukira sudah selesai semua setelah memutuskan untuk membunuh diriku. Kukira semua selesai setelah aku memutuskan pergi, tapi ternyata sepertinya dunia ini masih belum mengizinkan" Ilyas menghela nafas. Aku diam. Ilyas melangkah kearah ranjang, lalu duduk. Memerhatikan sekitar kamarku lamat-lamat. Melihat lukisan-lukisan sendu, lukisan yang memesona bagiku. Anak pertama dari ayah dan ibu, menatap tak percaya. Seolah mengerti dari lukisan yang ku buat menjelaskan segalanya. Semua yang ku alami.
"Kamu baik-baik saja Fatih?" Ilyas bertanya lagi. Kali ini nadanya lebih rendah. Mungkin memastikan keadaanku. Aku menghadapnya, memerhatikan wajah resah, khawatir. Apakah dia mengkhawatirkanku? Tidak mungkin, itu hanya wajah yang sedang mencoba mengerti perasaan adiknya, bukan perasaan peduli. Wajah Ilyas masih sama lembutnya, sama tenangnya seperti yang selama ini kulihat, tidak ada yang berubah. Sungguh siapapun yang melihat wajahnya, mengetahui sifatnya, banyak yang akan jatuh cinta padanya. Mungkin teman-temannya dikampus menyukainya.
"Aku baik-baik saja, cemaskan saja dirimu sendiri. Kamu masih perlu banyak istirahat, lihatlah tubuhmu masih lemah, kamu terlihat kurus" Aku menjawab canggung, melangkah kearah ranjang, duduk disamping Ilyas. Tangan Ilyas mengacak-acak rambutku, tersenyum tenang. Wajah itu menentramkan.
"Berhenti melakukannya, aku bukan anak kecil lagi" Tanganku menurunkan tangan Ilyas dikepalaku. Apakah aku anak kecil? Ayolah umurku saja sudah dua puluh dua tahun, aku sudah dewasa. Seperti biasa Ilyas mampu menghadirkan ketenangan, bahkan aku bisa merasakannya. Kurasa bukan aku saja, siapapun yang bersama dengannya akan merasakan hal serupa. Itulah mengapa mungkin nenek menaruh harap banyak pada Ilyas. Apa rasa sayangku akan mekar lagi? Tidak, aku sudah benci. Apa yang ku alami sudah cukup menjelaskan betapa aku ingin menghabisinya.
"Bagiku kamu masih seperti anak kecil, kamu masih harus dibimbing. Tapi aku serius, kamu adalah cahaya dirumah ini, sama seperti Lili. Aku tidak tahu kalau tidak ada kalian, aku akan seperti apa. Kalian adalah mutiara untukku" Sungguh perkataan Ilyas lembut masuk kedalam hati. Aku terdiam. Ilyas memerhatikan sekitar kembali. Matanya melihat satu persatu isi kamarku. Rak buku, lukisan, dinding berwarna abu, langit-langit kamar.
"Aku sungguh merindukanmu Fatih, sudah lama kita tak berjumpa" Ilyas masih tersenyum. Aku? Entahlah, perasaanku sakit, sempurna seperti ditikam benda tajam.
"Sebenarnya aku kecewa, karena tak berhasil mewujudkan keinginanku. Mati, ternyata aku masih belum mati, masih menjejak bumi, menjejak jalan yang kubenci. Sebenarnya aku takut, takut kalau aku tetap tidak bisa memenuhi keinginan nenek. Takut kalau aku tak bisa menjadi diriku sendiri. Fatih, sebenarnya aku berharap, aku tak pernah bangun. Rasanya sangat menyesakkan bila mengingat betapa aku tak mampu mengatasi diriku sendiri. Bahkan ketika aku terjun pun betapa sangat menakutkannya itu. Tapi itu pilihanku agar semuanya selesai, agar diri ini tak lagi menghadapi tekanan" Ilyas meratap, matanya sendu kembali. Ternyata situasi pun tak berubah, masih sama seperti dulu. Kukira Ilyas melupakannya, kukira ia akan menerangi keluarga dengan kelembutannya atau apalah dengan peringainya. Aku menyeringai terluka.
"Ternyata kamu masih sama seperti dulu. Berpura-pura bahagia, berpura-pura menjadi kebanggaan nenek. Masih tak berani bicara jujur, sungguh munafik" Aku menjawab sinis. Ilyas memerhatikanku. Wajahnya resah.
"Fatih...." Nada suara Ilyas lemah.
"Sampaikan kepada nenek apa keinginanmu, jangan ungkapkan padaku. Seharusnya kamu bicara pada nenek, kalau kamu ingin mati. Semua yang tersimpan dalam dirimu, utarakan kepada nenek, bukan kepadaku! Sungguh Ilyas, kamu tidak pernah tahu apa yang kurasakan, tidak tahu bahwa aku menanggung kebencian teramat dalam, karena keluarga mengerikan ini. Kamu mengatakannya begitu mudah, karena kamu dan Lili adalah cintanya nenek, pelipur lara nenek. Kamu merasakan bagaimana disayangi, diberikan kesejahteraan oleh keluarga" Entah bagaimana aku mulai tak terkendali lagi. Meluapkan emosiku lagi. Ilyas diam.
"Bahkan kejadian beberapa tahun silam, aku ingin sekali melupakannya. Tapi setiap kali berkelindan, sungguh menyakitkan. Aku telah merasakan kebencian orang-orang kepadaku, kebencian nenek kepadaku amat dalam. Karena orang tercintanya memutuskan mengakhiri hidupnya, membunuh dirinya sendiri, tanpa tahu sebab mengapa kamu memutuskan melakukan itu. Karena kamu amat dicintai, nenek sungguh terpukul dengan apa yang menimpamu, tapi semuanya disalahkan kepadaku, semua yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku" Aku menatap terluka kearah Ilyas. Meraba dada, mencengkramnya kuat-kuat. Lihatlah mataku akan berair lagi, aku sedu-sedan lagi. Mata bergetar. Ilyas masih menatapku.
"Kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Bahkan sekarang kamu kembali, nenek tidak akan berbaik hati padaku, tidak akan melihatku sebagai orang tercintanya, tidak akan memberikan cintanya kepadaku. Sejak kejadian kamu memutuskan untuk membunuh dirimu, nenek telah menaruh benci berkali lipat kepadaku. Sungguh Ilyas kamu tidak akan pernah tahu betapa menyakitkannya melewati semua itu, betapa terlukanya aku. Nenek tidak pernah mencintaiku, perlakuannya sama seperti perlakuannya kepada ayah dan ibu. Kadang aku berpikir keluarga ini sungguh gila, berkehendak semaunya, tanpa peduli bagaimana orang-orang disekitarnya, bagaimana perasaan orang-orang disekelilingnya. Sungguh Ilyas perih sekali, menyalahkan hal yang tidak pernah kulakukan, tapi mereka menyematkan hal itu kepadaku" Aku menatap dalam, terisak. Mata berkaca-kaca, bergetar.
"Nenek menganggapku orang yang telah membunuhmu dan aku harus segera disingkirkan. Semua cercaan yang kuterima melewati beberapa tahun, melewati masa-masa sulit. Dan kebencian nenek semakin menimbun. Nenek tidak pernah mengharapkanku, padahal aku ingin sekali dicintai, disayangi, dianggap berarti. Tapi kamu dan Lili adalah nomor satu dihatinya, tidak seperti aku, ayah dan ibu. Kami tidak akan pernah bisa memasuki hatinya, sungguh Ilyas kalau bisa mengulang segalanya, lebih baik jika aku bukan dari keluarga ini" Sedu-sedan terdengar, sempurna menangis.
"Tidak, jangan berkata demikian, kamu dicintai dikeluarga ini. Aku dan Lili mencintaimu, memperdulikanmu, kami tak ingin kehilanganmu. Kami sungguh mencintaimu, maaf kalau semua yang kamu alami disebabkan olehku, aku tak ingin kamu pergi. Kamu dan Lili adalah cahaya bagiku" Suaranya meyakinkan.
"Fatih, sudah cukup kami kehilangan ibu dan ayah. Kami tak ingin kehilanganmu, aku tidak tahu apa yang telah dilewati olehmu, tapi bolehkah untuk tetap bersama kami? Andai Tuhan mengizinkanku memutar waktu aku tak akan membiarkan ayah dan ibu mati, aku akan mencegah ayah dan ibu pergi. Aku akan bilang kepada mereka, aku mencintai mereka. Biar kita pergi kemanapun, asal keluarga kita bahagia" Ilyas berkata cepat-cepat. Raut wajahnya gelisah, aku menatap sendu.
"Jangan mengatakan hal yang tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meninggalkan rumah ini. Berhentilah membual, jangan memberikan harapan yang tidak bisa kamu wujudkan. Kalau aku meminta pergi hari ini, apa kamu bisa melakukannya? Bawa aku dan Lili kemana saja, kamu bisa?" Ilyas membatu, kebingungan.
"Lihatlah, kamu tidak bisa melakukannya. Sudahlah Ilyas, istirahatlah, nenek tidak akan suka kamu berada disini, aku juga ingin istirahat. Pergilah, aku yakin nenek menunggumu, masih merindukanmu" Aku beranjak mendorong tubuh Ilyas keluar pelan-pelan. Setelah itu menutup pintu. Ilyas terdiam beberapa menit, lalu melangkah menuruni tangga, duduk disamping nenek. Nenek tersenyum, membelai rambut pendek Ilyas lalu Mengecup keningnya.
"Istirahatlah nak, aku yakin kamu lelah. Meski aku masih merindukanmu, tapi aku tak tega melihatmu. Istirahatlah, rebahkan badanmu. Nanti-nanti kita akan berbincang lagi. Hari ini sungguh indah, melihatmu didepan mataku, sungguh kerindukanku masih membuncah, tapi aku tahu kamu lelah. Aku juga akan istirahat" Nenek lembut mengusap telapak tangan Ilyas, lalu beranjak ke kamar. Setelah nenek sempurna hilang dari pandangan, Lili melirik Ilyas. Mendekat, sekilas melirik kamarku, lalu kembali melirik Ilyas lagi.
"Kamu kenapa?" Lili membuka suara, Ilyas menggeleng.
"Bagaimana Fatih? Apa yang kamu bicarakan dengannya?" Lili penasaran.
"Entahlah, masih perlu banyak waktu untuk berbicara dengannya. Untuk sekarang dia tak ingin bicara denganku. Biarlah, biarlah dia sendiri dulu" Ilyas redup. Lihatlah meski Ilyas sudah ada dirumah ini, rumah masih sepi. Lengang. Ilyas menatap langit-langit ruangan. Lili berdehem.
"Aku mengerti kenapa Fatih demikian. Nenek selalu membencinya, dia sudah dikurung dirumah ini sejak kejadian kamu terjun membunuh dirimu. Fatih selalu disalahkan atas kejadian beberapa tahun silam. Bahkan dia tak dibolehkan keluar rumah. Paling keluar kamar pun sekedar mengambil makanan dan minuman. Sudah lama sekali Fatih tak berbincang dengan nenek. Karena menurut nenek apa yang menimpamu adalah kesalahan Fatih. Jujur sebenarnya aku mendengar perbincanganmu dan Fatih di rooftop kampus. Mendengar bagaimana kamu saat itu begitu letih, lelah. Aku mendengarnya. Saat kamu memilih terjun, aku juga ada disana, dibalik dinding. Ilyas hari itu juga aku ingin mencegahmu melakukan bunuh diri, tapi kamu terlanjur melakukannya. Dan Fatih, sungguh terkejut, dia bergetar, ketakutan. Entahlah seperti apa perasaannya saat itu. Tapi aku tahu semenjak itu dia lebih tertutup, tidak berbicara kepadaku. Banyak diam dikamar, bahkan nenek membencinya sejak kejadian itu. Jadi aku sedikit mengerti perasaan Fatih saat ini" Lili menerangkan, tatapannya lemah. Ilyas memasang wajah tak percaya, pandangannya beralih ke kamarku, menatap prihatin. Ilyas menghela nafas.
Waktu cepat berlalu, sudah malam lagi. Aku melangkah menuruni tangga, mengambil makanan dan minum. Ilyas menatap kearahku. Aku mengabaikannya. Berjalan lagi kekamar, tapi baru saja setengah anak tangga, Ilyas sudah menghentikan langkahku.
"Bisakah kita bicara?" Kali ini Ilyas menatap serius. Aku menoleh.
"Tidak bisa, aku lelah" jawabku sekenanya.
"Aku mohon padamu, bicaralah denganku diluar. Kalau disini aku tahu kamu tidak akan suka, ada nenek" Lanjut Ilyas meyakinkan. Aku tak bergeming. Sepi.
"Aku ingin bicara denganmu, kita keluar. Sekalian jalan-jalan menghirup udara. Kamu suka keluar kan? Sudah lama juga aku tak berjalan-jalan. Kalau nenek marah, aku yang akan bertanggung jawab" Ilyas memohon. Aku hanya melangkah keluar, tidak memberi jawaban. Ilyas mengikutiku dari belakang. Tersenyum tenang, layaknya seorang kakak yang berhasil membujuk adiknya.
Malam terasa dingin, anginnya menusuk kulit. Aku dan Ilyas berjalan bersisian. Lihatlah waktu-waktu ini adalah jam tidur, amat lengang. Meski lampu-lampu kota menyala indah, tapi sepi. Tidak seperti kemarin-kemarin saat aku bersama Lili sangat ramai. Meski hari ini pun mobil melintas satu sama lain di jalanan meramaikan jalan, tapi tidak ada orang-orang yang berjalan kaki, tidak ada orang-orang yang berbincang, tidak ada orang-orang yang bertegur sapa, mengumbar senyum. Tidak ada sama sekali. Hari ini sunyi. Tapi ada yang sama, bintang-gemintang menghiasi langit bersama purnama yang tegak, amat memesona. Lampu-lampu gedung menyala, kerlap-kerlipnya memanjakan mata. Malam ini aku dan Ilyas berada diatas jembatan. Sangat sepi, hanya ada kami berdua. Angin mengibas-ngibas rambut hitam pendek kami.
"Maaf Fatih, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mendengar semua kisahmu dari Lili. Kamu mengalami kesulitan selama ini, sungguh Fatih aku tidak bermaksud menyulitkanmu. Aku membunuh diriku saat itu, agar semuanya berakhir. Siapa sangka, nenek akan membencimu begitu dalam, mengurungmu dirumah. Kukira dengan aku terjun, semua telah usai seperti ayah dan ibu" Ilyas redup. Aku diam, meski menyakitkan mengingat itu. Tapi aku sudah lelah.
"Fatih, aku dan Lili mencintaimu. Sungguh mencintaimu, kamu adalah hal berharga yang kami miliki. Meski aku tahu kamu sudah membenci keluarga ini, tapi aku dan Lili akan selalu mencintaimu, menyayangimu" suaranya getir.
"Kamu membawaku kesini hanya untuk membahas ini? Memperlihatkan betapa kamu begitu menyedihkan? Agar aku merasa empati kepadamu, dan akhirnya aku luluh? Wahh... lihatlah, kamu sudah pandai menggunakan wajahmu, pandai menggunakan tubuhmu agar aku merasa bersalah dan kasihan kepadamu" Aku tertawa getir, menyeringai terluka. Entah bagaimana kejadian-kejadian menyakitkan itu kembali hadir dibenakku. Aku memegang dada, mencengkram kuat-kuat.
"Tidak Ilyas, kalian sangat mengerikan. Cinta keluarga itu tidak ada bagiku. Itu hanya berlaku padamu dan Lili, tidak kepadaku. Menyesakkan sekali ketika aku disalahkan atas hal yang tidak pernah aku lakukan. Semua yang kamu katakan itu bohong, kalau aku adalah hal berharga seperti yang kamu katakan, seharusnya ketika aku mencegahmu melakukan bunuh diri, kamu menurutinya. Tapi kamu tidak melakukannya, karena kamu lebih peduli dirimu sendiri. Tidak kepadaku yang katanya adalah hal berharga" Lihatlah mataku akan berair lagi. Berkaca-kaca. Ilyas menatap prihatin. Aku lemas. Ilyas menggeleng-geleng, berkaca-kaca.
"Sudahlah Ilyas, jangan membuatku semakin membencimu. Cinta keluarga ini tidak akan pernah tumbuh dihatiku lagi. Kita pulang, nenek akan mencarimu" Malam ini pembicaraan kami hanya itu. Menyisakan sesak. Tidak ada akhir yang membahagiakan diantara perbincangan akhir kami. Kami memutuskan pulang. Ilyas menatap punggungku dari belakang, memerhatikan gerak-gerikku. Sungguh hari ini kami diselimuti kesenduan. Daun-daun meliuk-liuk diantara pohon-pohon rindang. Kami melangkah masuk rumah. Ilyas masih memerhatikanku yang melanjutkan langkah ke ruang makan mengambil makanan dan minuman, lalu aku berjalan lagi ke kamarku sempurna menutup pintu. Tidak ada kata-kata mutiara, tidak ada kata-kata penenang. Malam yang sepi.
****
Pagi menyambut indah, tidak seperti biasanya, kali ini pagi-pagi sekali Ilyas sudah mengetuk pintuku. Tuk....tuk...tuk....Aku yang masih terlelap tentu saja merasa terganggu. Merekatkan bantal ke kedua telingaku. Sial, aku tak bisa tenang. Ilyas dengan wajah ceria antusias membangunkanku, Lili hanya tersenyum. Kepala mendongak melihat Ilyas. Nenek? Seperti biasa dia tidak suka. Terlihat dari raut wajah. Kepalaku membolak-balik ke kiri ke kanan, berharap suara berisik itu hilang. Sampai akhirnya aku menyerah, melangkah gontai, membuka pintu. Lihatlah, Ilyas sudah tersenyum riang, aku memasang wajah suntuk.
"Ayo sarapan, kita makan bersama" Ilyas begitu riang, aku menolak, menggeleng malas. Tapi tanganku sudah ditarik menuruni anak tangga, melangkah ke ruang makan, duduk disamping Ilyas. Muka nenek musam, tapi Ilyas tidak peduli. Aku? Entahlah, menunduk, melihat piring dan sendok. Lili menuangkan nasi dan lauk-pauk ke piringku, sama riangnya dengan Ilyas. Aku membiarkannya. Ini kali pertamanya lagi aku duduk bersama keluarga ini, setelah beberapa tahun. Meski Susana terlihat kikuk. Senyap. Yang akhirnya nenek memaksakan senyum, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, tidak peduli padaku. Nenek beranjak, tangannya cekatan melakukan apa yang seperti Lili lakukan kepadaku. Menyendok nasi dan lauk-pauk ke Lili, ke Ilyas. Nenek amat pandai menyembunyikan kemarahan, lihatlah wajahnya amat tenang, tersenyum merekah kearah Lili dan Ilyas bergantian. Aku? Tertunduk datar. Nenek, Lili, Ilyas berbincang, menceritakan tentang keadaan kakak pertamaku ini, membicarakan bagaimana waktu Lili dan nenek tak henti menjenguk, menceritakan betapa amat sedih melihat Ilyas terkapar dirumah sakit. Menjelaskan bagaimana wajah pias nenek, kekhawatiran Lili. Aku? Diam saja, makan tenang, datar-datar saja. Biarlah mereka puas dengan obrolan paginya, membuncahkan cinta mereka yang terbenam selama beberapa tahun ini.
"Sungguh Ilyas, kamu adalah keajaiban bagi kami. Kamu adalah tanda kebaikan Tuhan kepada kami bahwa memang rahmatNya tak pernah putus, selalu mengiringi kami. Teramat baik" Nenek akan berair lagi. Satu denting airmata akan tumpah lagi. Pagi yang cerah, meski terlihat kaku, terlihat ganjil. Lili melirikku. Makananku separuh habis, bahkan aku hampir menyelesaikan makananku. Lili memerhatikanku, Ilyas? Matanya fokus kepada nenek, memberikan senyum terbaiknya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah di dirinya, menunjukkan ia adalah kebanggaan nenek. Aku membencinya, dia berpura-pura lagi. Makananku kali ini sudah habis, beranjak ke pencucian piring, menyimpannya. Melangkah ke tangga, ke kamarku. Ilyas menoleh kearahku, memerhatikan.
"Sudah selesai?" Ilyas basa-basi.
"Sudah selesai" Aku sinis, melangkah tanpa berbalik badan. Ilyas mendesah, lalu menatap wajah nenek tersenyum tenang, meski dipaksakan. Nenek mengacak-acak rambut Ilyas pelan, tersenyum. Aku terduduk diranjang, mengedar ke langit-langit kamar, lalu menatap lurus lagi. Sepi ini mengajakku berkelana ke beberapa tahun silam, mengukir lagi kejadian mengerikan itu. Itu hal yang paling menakutkan. Lihatlah tubuhku bereaksi ketakutan, aku tegang. Mulai tersengal, tak terkendali. Aku menepuk-nepuk dada, berusaha mengusir sesak nafas. Sial, terjadi lagi. Bayangan Ilyas terjun, suara berisik orang-orang, suara jeritan, bagaimana cara nenek memandangku saat itu sempurna menghantam jantung. Semakin tersengal, terjadi selama beberapa menit. Aku kembali tenang.
Seperti biasa, malam selalu memberikan nuansa yang berbeda. Kali ini aku memberanikan diri keluar. Aku melangkah keluar kamar, melewati ruang keluarga. Ada Lili dan Ilyas diruang keluarga. Nenek? Dia sudah tidur di jam-jam seperti ini. Aku tak pedulikan mereka, berjalan melewati halaman. Aku sudah di luar. Malam ini mencekam, suara-suara mobil beradu. Cahayanya menyatu, menyeruak, mempercantik jalan. Lampu bundar di sisi aspal berdiri tegak, formasi lampu-lampu gedung, mol, lampu-lampu jalan berpadu menyinari kota. Lihatlah bumi ini indah. Tapi tak cukup membaluri ketenangan dihatiku, tak mampu mengusir sendu dalam batin. Aku redup, mata mengedar memerhatikan sekitar. Sepi membalut hatiku. Aku datang ke jembatan kemarin bersama Ilyas. Tapi kali ini aku sendiri, menatap lenskep kota diketinggian, sungguh indah. Memesona. Siapa yang tidak terhipnotis, melihat kerlap-kerlip lampu, rumah-rumah penduduk berjajar rapih, bangunan-bangunan kota tinggi dan pendek memadati diantaranya. Sungguh menawan. Aku tersenyum. Entahlah, bagaimana perasaan ku hari ini. Tapi yang aku tahu, aku selalu sendiri, selalu kesepian. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada yang berubah. Aku memejam mata, merasakan angin menerpa wajah. Mengibas-ngibas rambut hitamku. Meneteskan airmata lagi, sesenggukan terdengar. Biarlah aku menangis lagi, biarlah aku merasa lapang. Semesta membawaku ke kejadian beberapa tahun silam, membawa sulaman kesedihan, membuatku redup. Memori-memori yang ingin aku lupakan, mengikatku. Aku membuka mata, lalu kakiku naik keatas penyangga jembatan, menatap kebawah jembatan beberapa detik, lalu kedua tangan direntangkan, menatap lurus. Biarlah aku mengabulkan keinginan nenek, biarlah aku menghilang dari bumi. Aku ingin tenang. Semesta berbisik lewat angin yang berhembus amat menenangkan. Mengaliri hatiku ketenangan. Aku memejam mata. Dalam beberapa detik tubuhku sudah melayang bersama angin.
"Fatih!!!!!" Lili dan Ilyas berteriak histeris, berlari kearahku yang sudah terhempas. Tanpa kuketahui ilyas dan Lili ternyata mengikutiku dari belakang. Lihatlah, wajah mereka cemas, memerhatikan bawah jembatan.
****
Aku membuka mata, tubuhku sakit semua. Terbaring lemah dirumah sakit. Lihatlah aku tak berdaya, mata, remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Lili, Ilyas dan nenek tepat disampingku. Menatap penuh khawatir. Mata mengedar ke seluruh ruangan. Ruangan serba putih, dulu Ilyas yang berada disini dengan berbagai ketegangan. Dengan berbagai alat rumah sakit yang berada ditubuhnya. Sekarang giliranku, aku mendesah. Aku tidak tahu bahwa kejadian malam itu, Ilyas bertengkar hebat dengan nenek. Telah menuntaskan segala kesalahpahaman yang terjadi antara kami sekeluarga, meski tidak tahu apa persisnya. Aku menatap ketiganya bergantian, lalu melihat tubuhku, melihat tanganku. Ternyata aku belum mati. Tapi ada yang berbeda dari tatapan nenek, ia redup tapi bukan seperti yang selama ini kulihat, ada yang berbeda. Entahlah apa ini hanya perasaanku atau memang nenek sudah berubah? Tidak mungkin, nenek lebih mencintai Ilyas dan Lili. Aku siapa? Berani mengharapkan cinta.
"Syukurlah kamu baik-baik saja" Celoteh Lili. Disusul Ilyas memberi ekspresi khawatir, nenek hanya melihatku. aku menatap nenek, memerhatikan lamat-lamat. Meski ada yang berbeda dari tatapan biasanya, kesimpulanku adalah apa yang kulihat dari gerak-gerik nenek hanya perasaanku saja. Tidak mungkin rasa sayang itu tumbuh dihati nenek. Aku tidak mungkin bisa menembusnya, aku adalah manusia yang paling dibenci nenek.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku berkata pelan, menatap lurus. Tanpa perlu panjang lebar Ilyas mengerti maksudku. Mereka beranjak keluar. Nenek menatapku sebentar. Sungguh ada apa dengan nenek hari ini? Mereka bertiga meninggalkan ruangan, aku menatap kepergian mereka, mataku berkaca-kaca. Setelah benar hilang, aku menatap langit-langit kamar.
"Maafkan nenek Fatih" Suara nenek pelan. Nenek terduduk dikursi tunggu, mengingat pertengkarannya dengan Ilyas. Terpekur.
Flash back.
"Nek, Fatih dirumah sakit nek, aku dan Lili sudah dirumah sakit" Ilyas panik. Wajahnya resah. Lili juga sama cemasnya. Mondar-mandir di depan ruangan berwarna putih itu. Dokter-dokter sedang menanganiku. Setelah menerima telpon Ilyas, nenek bergegas kerumah sakit. Mobil yang ditumpangi nenek menjejak jalan, menyalip beberapa mobil didepan. Tak peduli omongan kesal orang-orang karena diserobot, mobil nenek melaju cepat, tak peduli bunyi klakson yang seolah memprotes. Setelah sampai ditempat tujuan, mobil terparkir di pelataran parkir, nenek melangkah cepat-cepat melewati beberapa orang yang sama sibuk mondar-mandir, sama cemasnya, sama khawatirnya. Lihatlah begitu melihat Lili dan Ilyas, nenek langsung menghambur memeluk mereka berdua, lalu menatap pintu ruanganku yang tertutup.
"Bagaimana keadaannya? Apa yang sebenarnya terjadi?" Nenek bertanya pelan, setelah memeluk beberapa menit.
"Kami tidak tahu" Lili tersungkur. Ilyas menatap pintu ruangan, harap-harap cemas.
"Aku sungguh takut akan seperti ayah dan ibu. Bagaimana kalau dia mati?" Ilyas menatap nenek linglung. Mata bergetar. Nenek terdiam
"Bukankah ini dejavu? Kita pernah mengalami ini, aku pun pernah mengalami ini" Suara Lili patah-patah, tersedu-sedu menatap nenek. Nenek bergetar.
"Lihatlah, kita mengulang lagi hal serupa. Nenek, aku tahu kamu membenci Fatih, menyalahkan Fatih atas apa yang terjadi kepadaku. Tapi sungguh itu bukan kesalahannya" Ilyas menjelaskan dengan sedu-sedan.
"Sungguh nenek, semua bukan kesalahan Fatih. Aku yang memilih membunuh diriku, aku mencelakai diriku, karena aku merasa tertekan, tak bisa memenuhi keinginan nenek, tak memenuhi syarat kebanggaan nenek. Setiap hari dipenuhi keresahan, kekhawatiran. Takut Kalau semua yang kulakukan bukan standar keinginan nenek. Aku membunuh diriku, karena aku sudah lelah, kalau ingin menyalahkan, salahkan aku, karena aku begitu pengecut, tidak berani. Jujur aku terbebani, makanya waktu itu aku memutuskan membunuh diriku. Setiap hari mengeluh, setiap hari pula aku ketakutan" Ilyas penuh resah, nenek hanya menangis.
"Sungguh nenek, kami mencintaimu. Ayah, ibu, aku, Fatih, Lili mencintaimu, teramat mencintaimu, tapi kesalahanku adalah tidak mengungkap keinginanku yang sebenarnya. Aku membohongimu" Ilyas semakin tak tertahan. Nenek diam, terisak. Lili menunduk.
"Fatih teramat mencintaimu, mungkin cintanya lebih besar dariku dan Lili. Tapi kamu membencinya begitu dalam, karena kesalah-pahaman yang terjadi. Aku mohon nek, biarkan kami bebas, biarkan kami memilih apa yang kami mau. Aku tak ingin kejadian yang menimpa ayah dan ibu terulang kembali" Suara Ilyas lemah.
Nenek menangis kecil mengingat itu, mengingat kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas, juga yang menimpa ayah dan ibu. Sedu-sedan nenek terdengar diantara riuhnya orang-orang yang berada dirumah sakit. Beranjak, mendekati pintu ruanganku. Melihatku yang terpekur. Kali ini nenek benar-benar menyesal.
End.
@menyapamakna1
5 notes · View notes