#kurusetra
Explore tagged Tumblr posts
Text
June 21 2K24 Bila memang sudah....
Sedemikian lelah....
Mengapa tak mengambil jarak sejenak?
Berdiam, demi memperbaiki apa - apa yang terbentur dan rusak
Sesekali berhenti meyabung nyawa
Mencoba mendengarkan keluh - kesah jasad yang mulai remuk disana - sini....
Tidak mungkin!
Karena memang demikian-lah hakikatnya sebuah perang
Manalah bisa kita meminta jeda dalam pertandingan dan pertempuran
Belakangan memang nafas-ku pun semakin berat.
Lantas mengapa?
Jika setelah pemberhentian, aku justru berhasil pulih....
Itu semua demi apa?
Itu semua demi siapa?
Bukankah mereka akan melemparkan-ku lagi dalam padang Kurusetra
Harus bertingkah dan bertindak kembali bagai binatang jalang
Yang dikutuk! Disumpahi!
Oleh sekalian kitab suci....
Sudahlah!
Aku memilih untuk tetap maju
Sambil menunggu saja....
Kelak bila memang langit dan bumi sudah merasa jengah dan muak
Mereka pasti akan bersiasat
Mencari cara sekaligus jalan menuju
Purna-nya diriku
Pada saat itu aku yang sudah terlanjur pasrah benar -benar akan merasa tenang - gembira
6 notes
·
View notes
Text
The Mahabharata tells a story of a king who had three daughters as precious as diamonds: Amba, the eldest; and the twins, Ambika and Ambalika. Amba was bound in a pledge of marriage - as was the fate of most women - to King Salwa, a man she neither loved nor hated.
One day a sudden blinding light engulfed the royal court. There was talk of a theif in a chariot, a ghostly presence. Amba and her sisters had been abducted, and the whole court was aflutter because none but the great warrior Bhisma could have managed such a feat. While the epic tells us that the fates were kind to Ambika and Ambalika, who went on to perpetrate the Bharata line through their sons Destarastra and Pandu, Amba’s life took quite a different turn.
King Salwa sent an army to retrieve his betrothed, but his men were no match for Bhisma. By dawn the next day bones were broken, and the heads of half the king’s army were floating in the river. Meanwhile - and this is the part the book only ever hints at, and which we must flesh out - Amba had fallen in love with her captor, and he with her. But the depth of this feeling frightened Amba: it was a feeling more powerful than she’d ever felt. Overwhelmed, she entreated Bhisma to return her to Salwa. Bhisma recognized the longing in her eyes and, for fear of its repercussions, took no time in returning the princess to her designated suitor.
King Salwa, however, would not take Amba back. He told her that she had dishonored him. His pride was too immense, a mountain from which he ruled. She had worn her love for Bhisma like a mask; it had altered the contours of her face, and it was plain for all to see. Disgraced, the distraught princess had no other recourse but to return to Bhisma, her last hope of saving her honor. But how could she have known that Bhisma had taken a vow of celibacy long before they met? Devoted son that he was, Bhisma had sworn chastity so his father could marry the woman he himself loved. Always quick to reward duty before self, the gods had granted Bhisma the power to choose his own death; until such time, he would be invincible. Invincibility, of course, meant nothing to a man in love; yet more than any man, Bhisma knew where man ended and history began. When Amba arrived to beg him to marry her, he shook his head and turned away. But even the trees and the birds could taste his grief.
As Amba was shuttled back and forth, eventually abandoned, alone, her heart turned to stone.
In the next life Amba returned as Srikandi, one of Prince Arjuna’s many wives. In the Indian version of the epic, Srikandi is known as Sikhandin, a male warrior who had once been a woman. It was also foretold that she would be the one to bring down the indomitable Bhisma.
At the battle of Kurusetra, the great conflict between the Kuruwas and the Pandawas, Prince Arjuna was sure to have his warrior wife beside him. From her chariot Srikandi let fly scores of arrows, like a flock of birds set loose upon an island. In the Indonesian version of the epic, Srikandi’s femaleness so disarmed the gallant Bhisma that he yielded, not even two finger’s breadth of his body left unpierced by her arrows. In both versions, Srikandi made the same choice, to kill Bhisma and save Arjuna, as though it never occurred to anybody that there might have been another way, an outcome less brutal and more merciful, a solution that didn't so inextricably intertwine their fates like the red and white of the Indonesian flag - so heavy, so weighted with destiny.
................
Now, it is important to understand that the Javanese are careful with the names they give their children. They understand all too well the great history and burden of a name. Either your life does your name justice or you might as well not have been born at all. The elders have a phrase for this: keberatan nama. It means a state of being burdened by a name too great, or too portentous.
And so, Amba killed Bhisma, thus ending the battle of all battles. The sheer glamour of which, surely, makes the princess ripe for eternal veneration: a heroine from antiquity, a role model for the feminist movement.
And yet this is not what happens. The name Amba, far from being heroic, still reminds folks of the worst of all women, a woman twice spurned, a woman discarded by not one, but two noble men, and one whose legacy is not defined by her brains or by her skills or by the quality of her heart, but by her burning desire for revenge. And there is nothing more shameful than a woman who does not gracefully accept her fate, justified or otherwise.
Yet every so often people dare to chose a culturally unpopular name for their offspring. They do so because they have a different take on mythology's influence on human lives, or they are prepared to challenge the notion that a name makes a person. Sometimes it simply feels right, because no other name will do.
For is it not true that all stories exist to be written anew? - Laksmi Pamuntjak, The Question of Red
43 notes
·
View notes
Photo
#cebong #kampret #golput #amphibia #mamalia #mutih #sosial #politik #indonesia #culturalwar #kurusetra #keluarga #family #stolenmeme #bayesian #bayes #classification #confusionmatrix https://www.instagram.com/p/Buf3beHBcQ6/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=1vg7lmj6ln8n4
#cebong#kampret#golput#amphibia#mamalia#mutih#sosial#politik#indonesia#culturalwar#kurusetra#keluarga#family#stolenmeme#bayesian#bayes#classification#confusionmatrix
0 notes
Photo
#हिंदुओं_के_साथ_छलावा हिंदुओं के साथ किया नकली धर्म गुरुओं ने अपने स्वार्थ के लिए छलावा और किया भोली जनता का गुमराह। #kurusetra #kumbh2019withishan #supirimgod#priyagill #andhsardhakumbh#spiritual #gita#india #santrampalji #ved @motivation_gunda_ @yogifor2024 @sexy_sadhu @cmogujarat @sadhvideva (Rajasthan में) https://www.instagram.com/heera_gameti/p/BtKRaWuAETY/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=qu834uj02zk2
#ह#kurusetra#kumbh2019withishan#supirimgod#priyagill#andhsardhakumbh#spiritual#gita#india#santrampalji#ved
0 notes
Text
Ini tentang Juli, dimana bulan pernah jatuh ke bumi; ia tidak mati, ia hanya tidak mau berlama-lama melihatmu menangis sendiri. Sebab langit tahu apa itu kehilangan; tubuhnya adalah tanah pemakaman. Angkasa adalah kurusetra di mana mayat bintang-bintang bergelimpangan.
Di sana aku pernah memelukmu, menahanmu agar tak pergi, menabrak rasi-rasi yang menertawai kenangan yang kubenci. Selanjutnya matamu, adalah keindahan yang paling kubenci setelah langit; sebab di sana kau pernah menaruh banyak tanda tanya, yang hanya bisa aku jawab sendiri tentu dengan menerka-nerka. Seperti juga mendung waktu itu, yang ternyata tak pernah jadi hujan.
Juli adalah kenangan; berisi puluhan surat-surat rindu yang tak pernah sampai, ratusan kalimat-kalimat tanya yang tak menemukan jawab, juga ribuan benih hujan yang kau tanam di tubuhnya.
Di sana hanya ada aku; kerinduan; juga bayanganmu yang diam-diam mengikuti langkah kakiku. Lalu ia membunuh bayanganku.
2 notes
·
View notes
Text
Surat Hanoman kepada Sinta
Perang telah usai, Sinta. Kerinduanmu kepada Rama sudah waktunya diobati. Kembalinya engkau ke Ayodya bersama Rama, kukira sudah akhir dari semua cerita. Kau merdeka dari cengkeraman Rahwana. Dan, aku, Hanoman, sudah tidak ada keperluan dan kepentingan lagi di Ayodya. Kutinggalkan kota yang ramai itu untuk menyepi di gunung, untuk menjadi petapa.
Lalu kau mengirim surat kepadaku tentang nasibmu setelah perang usai. Aku bergetar ikut marah membaca suratmu, karena kau harus membuktikan kesucian cintamu dengan membakar diri ke api penyucian. Aku lega karena Dewi Agni dan Dewa Brahma menyelamatkanmu dari api. Karena engkau menjadi perempuan yang teraniaya.
Maaf, Sinta. Aku telah keliru. Kukira perang ini sudah selesai dengan menangnya Rama dan dapat memboyongmu kembali. Aku pun merenung. Mempertanyakan untuk apa perang antara pasukan kera dengan pasukan raksasa dari Ngalengka? Kutahu akhirnya Gunawan Wibisana menjadi raja di Ngalengka. Sinta, apakah kau berpikir sama denganku? Bahwa perang ini adalah perang untuk membuktikan siapa yang lebih kuat untuk menaklukkan negara lain?
Lalu aku ini berperang untuk apa dan siapa sebenarnya? Jika yang kuperjuangan, akhirnya disengsarakan. Kurasa perang ini sia-sia saja, Sinta. Aku menyesal ikut perang.
Sinta, Sinta. Kutahu dari suratmu pula, rakyat Rama tidak mempercayaimu, juga kepada rajanya. Bahkan kekasihmu itu lebih mendengarkan kawulanya, daripada engkau orang terkasihnya. Kau pun diantar Laksamana dalam keadaan hamil tua ke hutan lagi. Mereka menganggap bayi yang sedang kau kandung itu sebagai anak haram. Oh, Sinta, apa kau tak ingin menyusulku ke sini saja? Ah, mungkin karena kau hamil, kau tak kuat naik gunung, ya?
Kau juga mengabari bahwa anakmu lahir kembar, Kusa dan Lawa. Resi Walmiki juga akhirnya mengubah Ramayana dan menciptakan nyanyian “Ramachandra”. Sedangkan anak-anakmu menjadi trubadur ulung yang menceritakan tentang kesaktian ayahnya dan kesucian dirimu. Hingga Rama juga tahu bahwa mereka anak-anaknya. Tapi ayahnya terlambat tahu.
Seminggu setelah kau kirim surat, kudengar kau memilih moksa dipeluk Dewi Pertiwi, Sinta. Angslup ke dalam bumi. Mengapa kau tak memilih hidup saja Sinta, demi anak-anakmu? Mendidik mereka agar tidak seperti ayahnya. Daripada mereka harus menjadi yatim saat masih bocah, mereka kehilangan kasih sayang seorang ibu. Mereka hanya korban, Sinta.
Ah, Sinta. Aku juga mempertanyakan kepada pengripta (penulis) Ramayana. Mengapa meletakkan perempuan dalam keadaan terbuang dan diragukan keberadaannya? Apakah pujangga tersebut punya dendam kesumat kepada perempuan? Atau menganggap bahwa kesetiaan itu harus dibuktikan dengan api? Ya, api kesucian.
Dari kisahmu, aku belajar bahwa perang itu hanya sia-sia belaka. Pengorbanan akan darah-darah pengorbanan itu tak pernah ternilai.
Aku masih hidup, Sinta, seusai kisah Ramayana. Hidup hingga cerita Mahabharata. Pujangga Jawa-lah yang menghidupkanku. Hanya saja, aku menolak ikut perang dalam kurusetra antara Pandawa dan Kurawa. Aku sudah kecewa dengan perang antara Rama dan Rahwana. Aku kapok ikut perang, membela salah satu pihak untuk memenangkannya. Jika akhirnya kisahnya sepertimu, Sinta.
Bahkan di Mahabharata aku tahu ada perempuan yang dijadikan taruhan dadu, Sinta. Drupadi namanya. Bahkan pada kekalahan Pandawa, Drupadi dipersembahkan karena harta mereka sudah habis. Ia dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana, adik Dauryudana. Dursasana ingin menelanjangi Drupadi dengan melucuti pakaiannya. Hanya saja, tiba-tiba kainnya menjadi penutup maha panjang dan berlapis-lapis, hingga Dursasana kewalahan.
Hingga akhirnya Drupadi bersumpah tidak akan keramas sampai darah Dursasana akan dijadikan sampo olehnya. Bima pun yang mewujudkan sumpah Drupadi dengan membunuh Dursasana dan darahnya dipersembahkan ke Drupadi.
Aku curiga, Sinta. Jangan-jangan pengripta Ramayana dan Mahabharata ini saling kenal, sehingga pemikiran mereka hampir mirip dalam memosisikan perempuan? Meski di sini Drupadi lebih beruntung dari engkau. Tapi Drupadi juga tidak bisa menolak ketika dijadikan taruhan, ia tak punya digdaya. Pada akhirnya dia diselamatkan oleh kain yang tak ingin lepas dari empunya.
Aku juga tahu, Sinta. Pada akhirnya kalian punya keberanian untuk melindungi harga diri kalian. Engkau dengan memilih moksa daripada menerima Rama kembali yang telah membuangmu. Dan Drupadi dengan sumpahnya ingin menjadikan darah Dursasana untuk mengeramasi rambutnya.
Sinta, Sinta. Jika dalam Ramayana, adik-adik Rahwana harus menjadi korban atas keegoisan sang kakak, kecuali Gunawan Wibisana. Maka di Mahabharata ini anak-anak Pandawa dijadikan korban untuk kemenangan ayah-ayah mereka. Lalu apa gunanya mereka menang dan menikmati singgasana tanpa keturunan? Siapa pewaris tahta mereka selanjutnya?
Aku mengawasi mereka hanya dari gunung tempatku bertapa, Sinta. Menyesali mengapa harus perang menjadi salah satu tujuan pengakuan diri untuk menang?
Pada akhirnya, kita hanyalah wayang yang hanya manut kersane dhalang. Atau manut kersane pujangga yang menulis nama kita dalam kitabnya. Kita sudah digariskan menjalani lakon-lakon kita, Sinta. Atau kita menjadi pujangga saja untuk menuliskan kisah yang kita inginkan, Sinta?
Kau telah dahulu merdeka, di surga sana. Sudah lepas dari belenggu dan pesona Rama. Tunggu saja aku di surga, ya Sinta. Aku masih belum ingin mati sekarang.
3 notes
·
View notes
Text
Malam ke 14 di Kurusetra
terlambat tak ada lagi yang tertambat mengaduh semua bergerak terus menjauh tertunduk yang dibangun telah ambruk meratap tak mudah memuja harap merintih tak mudah menutup luka dan perih
lalu kutembangan Karuna dengan Sendhon dengan ricikan yang menyayat malam karena kingkin sangsaya markiyu, rinasa saya karasa
pecah tangis larut malam, tangis Sang Bima, terburai dalam tarian Bayu
.
.
Budha Abritan, Wuku Wuye, Mangsa Kasadha Wanci Madya Ratri
1 note
·
View note
Text
Dengan tangisan bayi yang mengajarkan kembali bagaimana menari
Bagaimana mengingat janji dan mengepalkan jemari
Bagaimana seharusnya hari-hari berbagi api
Bagaimana menyulutnya pada nadi dan mengumpulkan nyali
Dan semua darah bertagih telah kita bayar lunas
Sejak kalimat angkara kita terlanjur menjadi lampiran kajian lemhanas
Kau dan aku tahu pahlawan tidak lagi datang dari kurusetra
Namun dalam bentuk donasi mi instant di tengah bencana
Sejak tanah basah ini menagih janji mata yang dibayar mata
Sejak mata sungai menagih suara mereka yang hilang di ujung desa
Sejak kebebasan hanya berarti di hadapan kotak suara
Sejak para ekonom memperlakukan nasib serupa statistic ramalan cuaca
Telah khatam kita baca semua analisa semua neraca
Semua melihat tai kucing yang membenarkan semua prasangka
Kita belajar membaca gejala dari jelaga
Pada malam-malam terhunus dan waras-waras kita terjaga
Memaksa tidur sengan satu kelopak mata terbuka
Menahan pitam tanpa riak serupa telaga
Serupa hasrat yang dipertahankan setengah mati tetap menyala
Pada setengah hidup kita mengalir mencari muara
Serupa udara
Membutuhkan amis darah agar sirine tetap mengalun
Agar waras diingatkan wabah yang akut menahun
Tentang pagut yang santun
Yang memusuhi pantun
Yang membakar habis hasratmu setelah dipaksa dipasung
Mungkin kau akan ingat tentang petaka yang dalam hitungan kurun Waktu singkat berubah menjadi rahmat
Merubah alam alam bawah sadar hingga terbiasa dengan mayat
Sekarang mengubahmu kasat di depan deretan kalimat
Bergabung dengan para mata yang terang bersama pekat
Serupa kepastian, serupa asuransi
Serupa janji yang memprediksi dimana kau suatu hari nanti dengan pasti
Sehingga semua pertanyaan kau tinggal mati
Sehingga rimaku hari ini dan terompet israfil dapat bertukar posisi
Dan menantang mentari, ...
31 notes
·
View notes
Text
aku hanya lebih menyukai coretan pena, tanpa kutahu apa itu. Aku hanya menyukai, tanpa sebab dan alasan. Aku hanya mencintainya, tanpa berpikir. Aku hanya mencintainya, merendah tanpa berharap balas. Aku biarlah aku. Pula biarlah bagaimana. Selalu mengiring sedih, sakitnya bertitik satu. Berisik isi duniaku. Bergemuruh ramai bagai ribuan kuda di padang kurusetra. Percakapanku dengannya, biarlah biarlah.
0 notes
Text
Kodim Sragen Latihan Menembak Perdana di Tahun 2022
Kodim Sragen Latihan Menembak Perdana di Tahun 2022
SRAGEN, detikkota.com – Ratusan prajurit Kodim 0725/Sragen melaksanakan latihan menembak senjata ringan (Latbakjatri) perdana di Triwulan I TA 2022. Kegiatan dilaksanakan selama dua hari mulai tanggal 21-22 maret 2022 bertempat di lapangan tembak Kurusetra Yonif 408/Subhrasta. “Meskipun ini adalah latihan rutin tiap triwulan namun semua harus mengutamakan faktor keamanan, sebelum dan sesudah…
View On WordPress
0 notes
Text
Kodim Sragen latihan Menembak Perdana di Tahun 2022
Kodim Sragen latihan Menembak Perdana di Tahun 2022
RELASIPUBLIK.OR.ID,SRAGEN-Ratusan prajurit Kodim 0725/Sragen melaksanakan latihan menembak senjata ringan (Latbakjatri) perdana di Triwulan I TA 2022. Kegiatan dilaksanakan selama dua hari mulai tanggal 21-22 maret 2022 bertempat di lapangan tembak Kurusetra Yonif 408/Subhrasta. “Meskipun ini adalah latihan rutin tiap triwulan namun semua harus mengutamakan faktor keamanan, sebelum dan sesudah…
View On WordPress
0 notes
Text
Maret 23 2K24 Bukankah sudah kukatakan....
Berkali - kali
Makin lama semua-nya terasa begitu Ironis
Aku yang dahulu hanya ingin ketenangan dan kedamaian
Aku yang dahulu hanya ingin mengakhiri semua-nya dengan sederhana
Tiba - tiba terjebak disini!
Di Kurusetra ini.
Di plot sebagai turunan Rahvana
Dihadapan-ku adalah sekelompok binatang buas yang memang telah bersiap untuk melumatku
Sementara dibelakang ku....
Apa Kau kira semua-nya merupakan kawan - kawanku?
Rasa - rasanya tidak juga
Akan selalu ada seekor entah dua ekor Serigala abu - abu
Yang senantiasa menyaru namun tak pernah silap
Bersiap sedia untuk mendorongku begitu saja ke tengah - tengah Medan pertempuran
4 notes
·
View notes
Text
Sebuah Surat #1
Dear, LDA.
Aku selalu takut, setiap malam hampir habis. Aku takut, orang-orang bisa melihat semua kepayahan dalam diriku, yang selama ini aku tutupi dengan retorika dan omong besar. Aku takut, ketika matahari mulai berpendar selepas subuh. Ketika suara-suara manusia mulai riuh terdengar, mengusir malam yang tenang.
Kenapa semakin hari, hidup semakin menyeramkan? Manusia semakin kejam. Luka, duka, lara, tangisan, pekikan, jerit kesakitan, rintihan, terus terdengar setiap hari, setiap saat. Cacian, hinaan, umpatan, benci, semua membaur, membuat hari ini terasa lebih mengerikan ketimbang perang Mahabarata di Kurusetra.
Aku tak bisa berpikir, bagaimana Pancasila dengan Ketuhanan yang Maha Esa-nya justru disembah sebagai berhala baru. Aku tak bisa berpikir, bagaimana Pancasila dengan Kemanusiaan yang adil dan beradab-nya, justru dijadikan alat untuk merampas hak-hak manusia lainnya.
Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Pancasila dengan Persatuan Indonesia-nya, justru dijadikan alat untuk merobek-robek persatuan itu sendiri. Aku tak tahu, kenapa Pancasila dengan nilai musyawarah dan mufakatnya itu justru dijadikan alat untuk menyumpal mulut orang-orang yang tidak sependapat. Bahkan, aku tak habis pikir kenapa Pancasila yang katanya menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu justru menjadi alasan untuk bersikap pilih kasih.
Sampai sekarang, aku juga masih bertanya-tanya, kenapa sila ketuhanan digambarkan dengan bintang pentagon seperti yang ada di bungkus puyer obat sakit kepala? Apakah karena para pendiri negeri ini adalah orang-orang mumet? Aku juga masih bertanya-tanya, kenapa kemanusiaan dilambangkan dengan rantai? Apakah itu artinya tugas negara adalah merantai dan mengekang kebebasan rakyat?
Aku sama sekali tak mengerti, kenapa sila persatuan itu dilambangkan dengan beringin? Ah, bukankah akar beringin itu bisa menjalar sampai jauh ke mana-mana untuk menyerap air? Apakah ini artinya tugas negara adalah untuk mengisap rakyat? Entah.
Yang pasti, aku juga tidak paham kenapa musyawarah mufakat dilambangkan dengan kepala banteng. Apakah untuk melambangkan rakyat dan pemerintah kita yang ngamukan seperti banteng? Lalu, kenapa keadilan dilambangkan dengan padi dan kapas? Aku pernah dengar, katanya ini melambangkan pemerintah kita yang kerjanya cuman makan dan tidur.
Sssssstttttt, jangan bilang siapa-siapa ya, takutnya besok pagi ada ormas yang datang ke rumahmu.
Aku benar-benar tak tahu, apa yang sedang terjadi sekarang. Aku merasa semuanya menjadi anomali. Banyak sekali yang ingin aku ceritakan, tapi sepertinya semesta tak mau mendengar. Banyak juga hal lain yang ingin aku tanyakan, tapi sepertinya tak ada yang mau memberikan jawaban.
Banyak sekali hal yang ingin aku tanyakan. Tentang bagaimana bayi bisa bernapas di dalam rahim ibunya. Bagaimana bisa ada air di dalam buah kelapa. Bagaimana elit global menguasai perekonomian dunia. Bagaimana John Lennon bisa membuat lagu seindah Oh My Love. Bagaimana bisa sebuah boneka menjadi presiden di negara yang jumlah penduduknya ratusan juta. Tentang, kenapa yang menjadi presiden pertama Indonesia justru Sukarno, alih-alih Tan Malaka. Kenapa Tuhan menciptakan cinta, tapi di saat yang bersamaan juga menciptakan benci. Aku juga ingin bertanya, kenapa aku bisa sangat merindukanmu?
Yogya, 5 Juni 2020
0 notes
Text
Tulisan bagus tentang NATAL dari Heru Margianto, salah satu editor Kompas.
-----------------------------------
Anda tidak perlu setuju dengan saya. Saya pun tidak butuh disetujui. Setujuilah jalan Anda sendiri karena jika Anda masuk ke kedalaman jiwa, tidak pernah ada jalan yang sama meski kita menuju arah “pulang” yang sama.
Tulisan ini tidak mewakili institusi manapun atau agama apapun. Ini hanya catatan seorang pejalan hina dina yang mencoba mencari “jalan pulang” di gelapnya malam yang bertaburan bintang-bintang.
Begini, mungkinkah kita bicara tentang Yesus tanpa melibatkan kekristenan? Mungkinkah kita mengikuti Yesus dan menimba kebajikan hidup dari ajaran-Nya tanpa harus menjadi orang beragama Kristen, baik Protestan maupun Katolik?
Yesus bukan orang Kristen. Yesus adalah orang Yahudi. Kata Kristen baru muncul setelah Yesus wafat. Oleh para pengikutnya, Yesus diimani sebagai Kristus yang artinya “Yang diurapi”, Raja, Sang Juruselamat. Kristen artinya pengikut Kristus.
Perjalanan sejarah selama 2.000 tahun ini kemudian “mengkerangkeng” Yesus seolah-olah ia hanya milik orang beragama Kristen. Jika ingin menjadi pengikut Yesus maka orang harus menganut agama Kristen.
Bisakah menjadi pengikut Yesus, menimba kebajikan hidup daripada-Nya dan menjadikan sosok serta ajaran-Nya sebagai panduan hidup tanpa harus menjadi orang beragama Kristen?
Kenapa tidak? Yesus tidak mendirikan agama tertentu dan mengeksklusifkan dirinya bagi para pemeluk agama itu. Yesus datang untuk semua orang.
Maka, kita tidak perlu menjadi penganut agama Kristen untuk mengikuti jalan terang kehidupan yang dijajarkan-Nya.
Manusia paripurna
Apa yang diajarkan Yesus? Bagi saya, Ia datang mengajarkan cara menjalani hidup untuk menjadi *manusia paripurna*.
Artinya, manusia yang *menyadari ke-Ilahi-an dalam dirinya*. Manusia tercerahkan seperti halnya Sidharta Gautama.
Manusia yang *menyadari kemanunggalan kawula dan Gusti* dalam tradisi Jawa. Manusia yang menyadari bahwa dirinya dan Tuhan adalah satu. Manusia yang *terbangunkan* dari ilusi keterpisahan antara dirinya dan Tuhan.
Itu yang dikatakan Yesus pada Filipus, salah seorang muridnya. Pada suatu waktu Filipus bertanya pada-Nya,
_“Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Itu sudah cukup bagi bagi kami.”_
_Jawab Yesus, “Tidak percayakah engkau bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?”_
Pada bagian lain ia berkata, akan ada saatnya kita menyadari bahwa “Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.”
Nasihat Yesus pada Filipus seperti nasihat Sri Krishna kepada Arjuna di padang Kurusetra menjelang perang Baratayudha sekitar 3000 tahun sebelum Masehi sebagaimana dikisahkan dalam *Bhagavad Gita*.
_“Wahai Arjuna Putra Pandu, setelah meraih pengetahuan sejati dan tercerahkan, kau tidak akan bingung lagi. Kau akan merasakan kesatuan kemanunggalan dengan semua mahluk, dan selanjutnya melihat semua di dalam diri-Ku,” kata Sri Krishna._
Pengalaman yang sama juga dikisahkan *Jalaluddin Rumi*, seorang Sufi yang banyak menghabiskan hidupnya di Turki sekitar tahun 1200 Masehi dalam syairnya tentang *Kekasih*.
_Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih dan mengetuk pintu._
_Ada suara bertanya, “Siapa di sana?”
_Dia menjawab, “Ini aku.”_
_Sang suara berkata, “Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu.”_
_Pintu tetap tertutup. Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya,_
_“Siapa di sana?”_
_Dia berkata, “Inilah Engkau.”_
_Maka sang pintu pun terbuka untuknya._
Perkataan Yesus bahwa “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” bukan hanya dimengerti sebagai keistimewaan pribadi Yesus yang diimani kekristenan sebagai Tuhan, tapi juga *sebuah panggilan* agar setiap manusia di muka bumi memiliki kesadaran yang sama bahwa sesungguhnya kita semua ada di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam kita.
Panggilan universal
Panggilan Yesus itu bersifat *universal* ditujukan kepada semua manusia di muka bumi. Panggilan itu pun sejatinya juga *kerinduan* semua manusia yang mendambakan *kebahagiaan hidup*.
Yesus mengajarkan, kebahagiaan hidup yang sejati hanya dapat dicapai jika manusia sadar bahwa dirinya dan Tuhan adalah satu.
Kebahagiaan itu bisa dicapai dalam *kehidupan di sini*, saat ini, tanpa harus menunggu kematian dan dunia akhirat. _“Carilah dulu Kerajaan Allah maka semuanya akan diberikan kepadamu.”_
Agama hanya kulit luar, bukan buahnya. Buahnya ada di kedalaman batin, tertutup ego, ambisi, nafsu, amarah, dengki, benci, iri hati, dan ketamakan. *Masuklah ke dalam*. Jalan yang sulit memang. Tapi, cuma itu jalannya.
Dalam arti tertentu agama yang dimaknai pada kulit luarnya menjadi berbahaya ketika ia menjadi instrumen yang mengotak-ngotakkan manusia.
Mereka yang berada di dalam kotak hampir selalu akan berkata, kotakku yang paling benar, kotakmu salah.
Afirmasi bahwa *aku yang paling benar*, aku bagian dari kelompok terpilih, agamaku yang paling suci, dalam perjalanan sejarah membuktikan lahirnya penindasan-penindasan dan beragam kejahatan atas kemanusiaan. Justru afirmasi macam ini yang ingin *dihancurkan* Yesus.
Tak ada bangsa terpilih sebagaimana keyakinan bangsa Yahudi. *Semua orang adalah terpilih*. Semua manusia, apapun suku dan kelompoknya adalah sama derajatnya di hadapan Sang Pencipta dan dipanggil pulang untuk bersatu dalam rumahNya.
Tuhan yang satu
Dalam terang itu Yesus berkata, _“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”_
Tuhan siapa?
Bukan Tuhan Kristen, bukan Tuhan Hindu, bukan Tuhan Kejawen, bukan Tuhan Islam, bukan Tuhan Konghucu, bukan Tuhan Budha. Tapi, *tuhan yang satu* itu, satu-satunya Sumber Kehidupan.
Ya, cuma ada satu Tuhan itu. Tuhan yang sama yang dialami Yesus, Budha, Krishna, Rumi, dan semua para nabi. Semua orang suci di muka bumi yang lahir di sepanjang segala zaman yang pada dirinya mengalami pengalaman akan Tuhan sesungguhnya hanya bicara tentang Tuhan yang satu itu.
*Kedegilan hati* manusialah yang kemudian *mereduksi* seolah-olah Tuhan itu berbeda-beda versi. Yesus mengajak setiap manusia untuk mencintai dan mengalami pengalaman akan Tuhan yang satu itu.
Bagaimana caranya mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi?
Hanya ada satu cara: _“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”_ Kenapa mencintai Tuhan harus berarti mencintai sesama manusia?
Ya tidak bisa tidak karena seperti yang Yesus katakan, Tuhan dan manusia adalah satu. Ia bukan dua entitas yang terpisah satu sama lain. Adalah *tidak mungkin* mencintai Tuhan tanpa mencintai manusia.
Siapakah sesamaku manusia?
Yesus punya cerita yang sangat indah saat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seorang Ahli Taurat tentang siapakah sesamaku manusia. Ia menuturkan kisah orang Samaria yang baik hati. Ceritanya bisa dibaca di sini.
Sesamaku manusia adalah siapapun dia yang mengalami kesusahan tanpa harus memandang agama, suku, ras, dan golongannya.
Bagi Yesus seorang manusia berharga karena ia adalah manusia, bukan karena latar belakang atau atribut sosialnya. Bahkan, seorang yang dianggap pendosa oleh kelompok masyarakat adalah mulia di mata Yesus.
Itulah kenapa ia memilih singgah di rumah Zakeus pemungut cukai yang dibenci oleh masyarakat Yahudi.
Itulah kenapa ia membela seorang pelacur yang hendak dirajam batu, menyembuhkan orang kusta dan buta yang dipandang hina masyarakat karena dianggap mengidap dosa turunan.
Kemanusiaan yang diajarkan Yesus adalah *kemanusiaan yang tidak mengenal batas-batas tembok*.
Dalam terang jalan kemanusiaan universal ini, Natal sungguh bukan previlegi orang Kristen. Natal dapat dimiliki dan dirayakan oleh semua orang di segala penjuru bumi yang mencari kebajikan hidup.
Pada hari Natal kita mengenang kelahiran seorang manusia yang telah *tercerahkan budinya* dan mengajarkan bagaimana caranya *mencintai Tuhan dan sesama*.
Selamat Natal, kawans.
Semoga semua mahluk berbahagia.
1 note
·
View note
Photo
#हिंदुओं_के_साथ_छलावा पवित्र वेद बताते हैं कि "कबीर साहिब" भगवान हैं। लेकिन धर्म गुरुओं ने श्रद्धालुओं को ब्रह्मा, विष्णु, महेश तक की भक्ति तक ही सीमित कर दिया। #gita#gurugobindsinghji #spiritual #kurusetra #kbirisgod #ved #santorini #shastra #in #india #sanews @yogijiofficial01 @presidentofindia @dreamgirlhemamalini @yuvisofficial @thekamalnath @mahi7781 @salmankhan.kingdom (Rajasthan में) https://www.instagram.com/heera_gameti/p/BtHroRRg11r/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=1n57ylayer2oq
0 notes
Photo
Di Hari Kemis Kliwon ini Kuprit sebagai Sutradalang membeberkan kisah . Arjuna (Anak laiRan Juni Akhir) Tepatnya tanggal 23 . Dalam versi Jawa disebut Janaka (humoris lah orangnya, janaka banget) . Adalah murid terbaik Guru Durna Memanah pakai manah (hati) karena yang dari hati akan melesat sampai ke hati . Tak heran Sri Kresna rela jadi pak Kusirnya saat perang saudara di padang Kurusetra . Mengharukan bukan . >>> swipe Ada Kupu Kupu Lapas . Pesen boneka maskot dengan disain sendiri, boleh satuan di @adaideaja #bonekakupu #bonekamaskot #bonekacustomsatuan #kuprit #legendaSiKuprit #komikjawa #mangabharata #komikwayang (at Boneka Custom Satuan) https://www.instagram.com/p/CRC0Pq5lqsQ/?utm_medium=tumblr
#bonekakupu#bonekamaskot#bonekacustomsatuan#kuprit#legendasikuprit#komikjawa#mangabharata#komikwayang
0 notes