#kenapa selalu sakit kepala
Explore tagged Tumblr posts
Text
Nimatnya Sekolah part2
"hahhh, buat apa tu?" Terkejut aku.. rupanya aku disergah akak senior... "Akak jangan tengok" sambil aku mendepa tanganku melindungi pandangannya "lah apa nak kisah, sekolah ni dah biasa dah kes sex open ni... Ada yg buat dalam class time cikgu mengajar pon ada... Awak ni mesti pelajar baru yang heboh orang ramai cakap tukan". " Haah ye, nama saya zul kelas 4 influence". "Owh, saya bella dowanna, tapi orang panggil bella atau kak bella, 5 influence". "Jom saya bawa awak jalan port orang selalu buat sex kat sekolah ni" aku termenung kejap melihat body bella ni... Sunggu anggun dan mantap biarpun dia chubby sikit, dapat henjut mesti kuat jerit... Tetiba batangku naik... Bella perasan batangku timbul di seluar. "Aik, stim ke tengok saya?". Aku pandang seluar aku dan terkejut batangku jelas timbul... "Nak tengok ke? Kalau nak jom kita gi tempat yang private sikit" aku pon ikut belakang bella...
-belakang blok makmal-
tanpa fikir panjang bella menyelak rambutnya sehingga nampak lehernya yang putih dan gebu... Bella membuka butang bajunya satu per satu sehingga nampak branya... Besar betul tetek bella, bertambah stim aku.. bella berbogel hingga tinggal bra dan seluar dalamnya... Bella minta aku keluarkan batangku tapi aku malu sebab tak pernah buat... Bella datang dekat padaku dan berbisik "can i suck your dick?" Sambil buka seluar aku dan keluarkan batangku... Terkejut bella lihat batangku yang berukuran 7 inci di usia muda... Tanpa melengahkan masa bella membuat jilatan pertama di kepala batangku, sungguh aku merasa ngilu... Inilah kali pertama batangku disentuh dan dijilat wanita ... Bella mengolom batangku dengan rakus seolah dia banyak pengalaman mengolom batang lelaki, aku tetiba merasakan aura baharu seolah-olah aku rasa nak fuck bella tapi aku tak reti... "Pernah having sex tak?" Aku terkedu dengar soalan tu dan gagap jawapanku "err ta...tak". "Nak try tak sebab saya jadi horny pulak tengok batang awak dengan saiz gini. Takpe saya akan ajar awak. Sekarang buka seluar and baring". Aku akur dan baring. Bella membuka bra dan pantiesnya, terus duduk atas aku dan masukkan batangku kedalam lubang pussynya, aku merasakan nikmat yang aku tak pernah rasa... Inilah kali pertama aku fuck anak dara orang... "Arghh...arghh sedapnya arghhh... Senak perut saya sebab batang awak panjang sangat" kami hanya bermain satu position sebab aku masih tak tahu sex.. bnyak kali aku dengar bella menjerit tersangkut-sangkut rupanya dia dah klimaks dua tiga kali, penuh juga pussy dia dengan air nikmatnya... Hampir 40 minit bertarung aku dah nak capai klimaks "awak saya rasa mcm nak kencing"."awak nak pancut ke? Jap, pancut kat muka saya" aku bangun and berdiri di depan muka bella sambil batangku digosok olehnya... "Arghhhhhh" aku memancutkan air nikmatku buat kali pertama... Agak banyak air yang aku keluarkan... "Tq tau puaskan saya. Bolahlah saya recommend kat kawan-kawan saya yang nak rasa batang panjang kat awak" aku hanya senyum kepenatan. "Oklah, saya dah lambat kena masuk kelas ni. Nanti kita jumpa lagi. This is my number. Anything just WhatsApp ok" kami sempat bercium sebelum masuk kelas masing-masing
-kelas-
"awak pergi mana zul, class dah start 30 minit lepas"." Maaf cikgu, tadi saya pergi tandas sakit perut"." Harini semua tak boleh ke padang bersukan sebab awak sorang. Sekarang saya denda awak ketuk ketampi 10 kali" aku kena denda dengan cikgu pj cikgu azira shafinaz sebab lambat masuk kelas...
Dalam masa yang sama, aku sempat melihat bentuk badan cikgu azira yang melentik dari luar pakaiannya yang serba ketat maklumlah namapon cikgu pj... Tetiba aku rasa stim, aku ketuk ketampi sambil menutup mata sambil membayangkan aku melakukan sex dengan cikgu azira... Habis je aku ketuk ketampi aku pelik tngok semua pelajar tekaku melihat padaku termasuklah cikgu azira..." Kenapa semua pandang aku, aku salah buat ke?"." Awak cuba tengok bawah tu" qis yang duduk di meja hadapan di depanku menegurku sambil kenyitkan matanya... Aku terkejut dan baru perasan aku tidak zip seluar dan nampak batangku keluar menegak yang dialasi dengan seluar dalamku... "Nak bagi siapa tengok burung awak tu?" Merah mukaku dengar teguran cikgu azira... Aku cepat-cepat membetulkan seluarku dan terus duduk di tempat belajarku... "Dah pukul berapa dah ni takkan morning wood lagi?" Satu kelas menggelakkan aku... Qis memandang ke arahku sambil mengenyitkan mata sambil menggigit bibir bawahnya kepadaku... Aku hanya membalas dengan senyuman... Namun pandanganku terpaku kepada mia... Dia seolah tiada reaksi seperti takde apa yang berlaku
Comment for part 3
2K notes
·
View notes
Note
Halo kak, gimana ya cara supaya tetap chill di usia di mana teman-teman sebaya sudah pada punya anak dua?
Saya udah sibuk banget nih kak, kerja, ikut ini-itu, tapi tetep aja kepikiran. Kenapa orang-orang gampang banget dapet jodohnya, saya dapetnya zonk terus :")
Paham konsep takdir, tapi tetep aja tergonjang-ganjing ngeliat para adek kelas udah pada sebar undangan.
Ada saran enggak kak harus gimana (lagi)?
Halo...
Wes wayahe rungsing dik, jadi gapapa, wajar... temen-temenku juga masih pada rungsing (pusing) kenapa belum ketemu jodohnya, jadi, kamu gak sendiri. Mungkin frekuensi rungsing dan coping mechanism yang beda-beda. Dan coping mechanism ini penting, apalagi kalo tekanan dari ortu dan lingkungan sekitar udah gak ketolong.
Apakah aku selalu tatag? gak juga. Kadang rungsing, kadang questioning "why me?", kata Allah "why not?" hehe, terus tak tinggal turu, besoknya dah kerja lagi.
Salah satu hal yang penting itu "acceptance/penerimaan". Mau se-sibuk overtime kerja, ikut kegiatan ina inu, kalo belum di fase "mindful menerima keadaan" ya percuma.
Apa kamu sudah sepenuhnya menerima kondisi mu? Apakah kamu masih suka menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab single atau susahnya nyari jodoh? Kalau iya, kurang-kurangin, selain unfaedah, waktu yang kamu habiskan untuk overthinking kekurangan diri bisa dipakai bekerja atau bersenang-senang.
Syawal ini aku dapat 3 undangan dari adek kelas, ya biasa aja. Semoga kamu bisa melewati adegan dewasa yang kadang bikin sakit kepala.
3 Mei 2024
25 notes
·
View notes
Text
Minggu siang bibi drop seperti kondisi awal, padahal semalamnya sudah banyak berkembang baik. Buru-buru saya telepon Ai supaya datang ke RS, karena menelepon keluarga yang lain juga tidak memungkinkan sebab hari itu Adi (Anak bungsu Mang Herman) menikah.
Tadi malam kondisi bibi sangaaat jauh membaik, Alhamdulillah. Banyak hal yang bibi ceritakan, sampai pada sebuah obrolan.
"Bibi takut meninggal, takut gak sempet nemenin kamu menikah. Jadi, ada anak kenalannya bibi yang minta dikenalkan. Kamu mau?"
"Bii, aku minta maaf kalau aku jadi salah satu beban yang menjadi stressor untuk bibi. Tapi, untuk urusan kapan aku menikah, bagaimana aku menikah, dengan siapa aku menikah. Bibi gak perlu pikirin itu. InsyaAllah kalau sudah waktunya akupun akan menikah juga."
"Namanya orang tua ya gak mungkin kalau gak mikirin anaknya." Bibi masih juga keukeuh
"Gini, kita kan belum tahu ya dengan siapa aku akan menikah, apa pekerjaan suamiku, dimana ia tinggal. Mungkin, bisa jadi suami aku nanti bakalan bawa aku jauh secara jarak dari bibi dan keluarga. Jadi mungkin ini kesempatan yang Allah kasih, karena setelah menikah mungkin ruang bakti aku akan terbatas." Saya berusaha setenang dan sehati-hati mungkin menjelaskan
"Mumpung bibi masih ada....."
"Bii, dengan apa yang terjadi pada mama, pada bibi. Bolehkan untuk urusan menikah aku jadi lebih hati-hati dan tidak terburu-buru? Doakan saja, doakan selalu. Semoga sebelum takdir itu tiba, aku bisa sabar dan ikhlas menjalani setiap prosesnya. Ya bi? Udah tentang aku jangan banyak dipikirin. Rugi. Bibi malah sakitkan jadinya." Saya akhirnya menangis
"Iyaaa, tapi kan udah sewajarnya bibi mikirin kamu, khawatirin kamu. Sakit bibi itu datang dari Allah, bukan karena mikirin kamu. Bibi ingin nganter kamu sampai menikah, melihat kamu punya anak, membangun keluarga dengan baik."
Aku masih juga menangis, kesal karena keras kepala bibi tidak jauh berbeda dengan mama. Sedih karena kenapa sih aku harus menjadi salah satu sebab itu.
Lalu terbukalah gorden bed
"Selamat malam, lho kenapaaa?"
Dokter cantik nan baik hati itu visit di jadwal malam setelah selesai praktek poli.
Buru-buru menyeka air mata "Gak kenapa-kenapa dokter." Hehe
"Ibuuu, gimana hari ini? Apa yang terasa?"
Ah kan sudah ku duga, aku menjadi salah satu sebabnya. Sakit fisik akibat dari psikologis yang overload menampung beban hati itu memang mengerikan. Meski ada andil dari pola hidup yang kurang baik. Terlebih lagi sudah tertulis sebagai takdir yang harus kami jalani dengan sabar dan ikhlas.
8 notes
·
View notes
Text
Morphine
04/06/2024
Perayaan Mati Rasa
Tentang rasa yang tak lagi terasa, tentang bahagia yang tak lagi menyenangkan, tentang sedih yang tak lagi memilukan. Ternyata mati rasa itu ada.
Hari ini langit sore berwarna biru orange, persis seperti warna langit favoritmu. Hanya ada satu bintang redup tertutup awan abu. Saat menulis ini, aku di atas rooftop kos sahabatku, menikmati angin malam dan sautan adzan isya. Tuhan sangat baik, menyambut malam dengan sapaan ke seluruh mahkluk-Nya.
“Kamu mau tau ga salah satu mimpi aku yang belum terwujud?”
“Belum tau, apa memangnya?”
“Aku ingin sekali mandi hujan di malam hari. sepertinya seru dan tenang kan?!”
“Boleh saja. Tapi beresiko, nanti pusing dan sakit kepala”
“Yahh sekali saja tidak apa-apa kan? hehe”
“Oke, besok kalo hujan malam aku jemput, kita hujan-hujanan, asalkan jangan sampai sakit”
“Yeayy!! okee!”
Malam bukanlah hal yang menakutkan. Bukan juga hal yang harusnya dihindari. Kebanyakan kita menganggap malam adalah waktu yang menyeramkan dan mencekam, tapi tidak dengan orang yang mencari ketenangan di malam hari. Malam bukan lagi tentang tenang dan sunyi, tetapi lebih dari itu, tempat kembali. Kembali mengingat kejadian hari ini. Kembali merenung takdir diri. Kembali istirahat dengan hati dan kepala yang penuh terisi. Tempat kembali setelah berusaha mencari jati diri namun hampir mati.
Hujan juga bukan sekedar berjuta kubik air dari langit. Hujan tak selamanya pedih. Hujan akan menjadi tempat kembali untuk jiwa yang tak mau terlihat rapuh. Menyembunyikan tangis dibalik derai hujan. Menyamarkan teriakan ditengah rintik agar tak terdengar sekitar. Memang terdengar sedikit dramatis, namun benar-benar tragis.
Lalu bagaimana pedih dan hancurnya jiwa yang mencari hujan di malam hari?
Aku yakin, ia hanya ingin malam menghilangkan ingatannya dan hujan menghapus lukanya.
~
Mencintai bukan perkara kebal. Bukan perkara sekedar menemani. Mencintai adalah pengorbanan dan kehilangan. Seberapa banyak pengorbanan yang mengatas namakan cinta? Sudah berapa banyak kehilangan yang disebabkan oleh cinta?.
Setelah mengenal cinta, pilihanmu hanya dua. Perjuangkan atau kehilangan.
Masih teringat jelas desir ombak malam itu. Angin malam di tepi pantai menemani dua jiwa yang berkelahi dengan pikiran mereka tentang arti cinta. Keduanya sama-sama terbunuh oleh masa lalu yang pilu.
“ Menurutmu kenapa orang takut memulai hubungan dengan orang baru ya setelah putus? apa patah hati membuat orang benar-benar tidak percaya lagi dengan cinta?” tanyaku dengan penuh harap mendapat jawaban yang ku inginkan.
“ Tidak juga. Cinta tak pernah habis, hanya saja butuh waktu untuk memulai kisah dan pandangan baru mengenai cinta. Tak perlu buru-buru, cinta tumbuh dengan sendirinya”. jawabnya jujur, dengan pandangan lurus kedepan menatap cahaya bulan di ujung pantai.
Aku tersenyum canggung mendengar jawabannya. Dalam hatiku berkata masih ada keraguan dalam dirinya. Namun di sisi lain aku masih bisa menerima jawabannya, karena aku pernah merasakan fase seperti itu. Tapi semenjak itu, selalu timbul dalam benakku “Kalau dia ragu, kenapa dia mendekatiku? aneh”.
~
I love watching the sunset, but it would be much prettier if I saw it from the reflection of your eyes.
“kamu suka lihat sunset warna apa?”
“aku suka langitnya yang warna biru orange gitu sih”
Mendengar jawabnya aku sedikit kecewa. Ternyata kesukaan warna sunset kita berbeda. Aku suka warna sunset saat berwarna ungu dan pink. Namun, saat mendengar itu darinya, sepertinya aku mulai suka warna itu. Bukan karena tertarik, hanya saja akan lebih cantik jika aku melihat dari refleksi bola matanya.
Untuk pertama kali, pantai menjelang malam terasa sangat menenangkan, bahkan hingga pertegahan malamnya. Untuk pertama kali, duduk di tepi pantai beralaskan pasir lembab dan langit gelap terasa sangat menyenangkan. Untuk pertama kali, duduk berjam-jam dengan angin pantai di malam hari tak terasa menakutkan. Hanya karena, Dia.
Sudah lama sekali perasaan ini tidak menggebu-gebu. Sudah lama sekali perasaan ini tidak diyakinkan. sampai akhirnya, Dia datang dengan beribu alasan untuk tetap tinggal. Sejak saat itu, semua terasa mudah dan indah. Aku kembali jatuh hati.
Aku ceritakan saja singkatnya, dunia harus tau Dia ada.
~
Aku menyebutnya Morphine. Tak banyak yang tau, bahkan dia sendiri tak bertanya apa itu Morphine. Dan mengapa aku meyebut dirinya Morphine. Sederhana, dia sakit yang candu.
Aku mengenalnya di salah satu organisasi kampus kita. Tak sengaja, namun aku tau itu pertanda. Dia salah satu yang aktif di organisasi kampus. Suatu hari aku pernah bertanya “Apa kamu tidak lelah terlalu banyak kegiatan?” dan jawabnya “Anggap saja ini hobi”. Ah, yang benar saja, orang mana yang menjadikan organisasi hobi? Dia-lah salah satunya.
Aku adalah salah satu orang yang percaya cinta itu tumbuh karna terbiasa. Terbiasa bersama, terbiasa menerima, terbiasa bercerita, terbiasa melihat, bahkan terbiasa mendengar. Aku terbiasa mendengar dia bercerita, terbiasa melihat dia tersenyum, dan terbiasa menerima kebaikan darinya.
Masih terasa bagaimana canggungnya saat Dia membelikan nasi goreng pertamanya untukku saat kegiatan organisasi kami. Masih terasa degup jantungku saat pertama kali memberanikan diri menatap matanya. Tenang. Hanya itu yang ku rasakan. Tanpa adanya pikiran Dia yang akan menjadi alasan mati rasa ini dirayakan.
“Kamu kenapa bisa suka sama aku?”. Tanyaku padanya di atas motor saat kita keliling kota malam itu.
“Karena kamu cantik dan baik”. Jawabnya sambil tersenyum tipis. Aku bisa melihatnya dari spion motor.
“Ah klasik! Jawab yang bener dari hati kamu.” Ujarku kesal mendengar jawabannya yang tidak berpendirian itu.
“Sederhana, hanya karna aku menjadi diriku sendiri kalau sama kamu”. Jelasnya sambil mengelus tanganku yang dingin terkena angin malam.
Jujur saja, aku tersenyum malu saat itu, tapi aku menyembunyikannya dan membuang muka ke jalanan agar tak terlihat senyum dari spion. Haha, gengsi sekali. Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang banyak hal, perasaan maupun pengalaman. Entah mengapa, perjalanan itu terasa sangat singkat, padahal kami menelusuri puluhan kilometer.
Jika kamu tau perpisahan adalah akhir dari ceritamu, apakah kamu akan melepaskan disaat semua masih terasa indah?
~
”Kamu tau ga aku ibaratkan kamu seperti apa?” tanyaku padanya.
“Apa memangnya?” jawabnya penasaran.
“Aku ibaratkan kamu seperti tengah malam.” Aku yakin dia sangat penasaran menunggu penjelasanku selanjutnya.
“Tengah malam?”
“Kamu seperti tengah malam yang tenang, namun mencekam. Kepala kamu berisik tapi tidak mengusik. Orang menganggap malam itu menakutkan, tapi di malam hari ada bintang, ada bulan dan ada tenang. Hanya orang yang berani terjaga yang bisa merasakannya.” Jelasku berharap ia mengerti arti yang tersirat di dalam kalimat itu.
“Keren. Aku tidak pernah terpikirkan filosofi itu sebelumnya”. Ujarnya.
Aku bukan tanpa alasan mengibaratkan Dia sebagai tengah malam. Dia lebih tenang dari malam. Aku pernah duduk di taman kampus, memperhatikannya dari jauh. Aku tau dia sedang tidak baik-baik saja. Di sebrang sana, dia duduk dengan tenang, bahkan sorot matanya tidak menunjukkan sedikitpun keresahan. Aku iri. Aku iri bagaimana bisa Dia terlihat tenang saat pikirannya berantakan? Bagaimana bisa saat Dia hancur, Dia selalu menghibur?
Aku selalu suka mendengar dia bercerita, aku selalu menjadi rumah untuknya, begitupun sebaliknya. Aku tau beban yang ia pikul, walaupun dia tak bercerita jika Dia bisa menyelesaikannya sendiri. Baik sekali, tak mau membebani pikiran wanitanya.
Aku pernah beberapi kali menangis hanya karna melihat pundaknya. Ya, pundak yang penuh beban itu. Aku selalu mencium pundaknya di atas motor, sebagai doa agar Dia dikuatkan. Tak mudah memang menemani masa sulit seseorang, namun aku bertekad menemaninya sampai saatnya aku atau dia yang memilih pergi.
Dia adalah orang yang selalu mengusahakan kebahagiaanku, entah dengan cara apapun itu. Dia selalu takut dan berpikir aku tak bahagia bersamanya, hanya karna cara dia mencintaiku sederhana. Menurutnya itu sederhana, tapi bagiku adalah segalanya.
Dia pernah bilang “Aku lebih takut kamu tidak bahagia bersamaku daripada kehilangan kamu”. Pertama kali aku mendengar kalimat itu, aku menganggap Dia egois. Mengapa dia tak takut kehilanganku? Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya aku mengerti.
Kita gagal memahami bahwa kebahagiaan dalam hubungan itu diciptakan, bukan dicari.
~
Aku dan dia adalah dua orang berkepala batu. Dia dengan egonya yang tinggi dan aku dengan emosi yang tidak stabil. Kami sering berbeda pendapat, namun lebih sering memgungkapkan pendapat. Awalnya, aku mengira komunikasi adalah kunci dari hubungan, ternyata salah, saling mengerti adalah jawaban yang tepat. Komunikasi akan sia-sia jika tak mengerti satu sama lain. Apa yang akan kamu komunikasikan jika tidak bisa mengerti maksud satu sama lain?
Kami terbiasa menyelesaikan masalah dengan bertemu. Kami rasa, dengan bertemu kami lebih mengerti dan lebih leluasa menyalurkan pikiran. Aku selalu kagum dengan cara Dia berpikir, selalu bisa meyakinkan hal yang meragukan. Aku selalu jatuh cinta dengan cara dia menyampaikan pendapatnya tanpa melukai hati sedikitpun. Aku selalu suka saat kami mengakhiri perdebatan dengan pelukan panjang. Aku rasa, selagi ada dia, aku akan baik-baik saja.
Setiap pagi aku akan tersenyum melihat pesannya mengucapkan selamat pagi. Di kampus, kami sering bertemu dan duduk di taman atau kursi panjang. Jika luang, kami selalu makan bareng di warung belakang kampus. Aku suka rutinitas itu, kami tak pernah ragu dan tak pernah berpikir akan bertemu hari itu. Hari di mana kampus terasa mencekam untuk pertama kalinya.
Mencintai bukan sekedar memberikan cinta, mencintai juga menerima. Menerima kenyataan bahwa hanya karena kamu tidak dicintai dengan cara yang kamu inginkan, bukan berarti dia tidak mencintaimu.
Mencintai juga perkara cukup. Itu yang gagal kami pahami. Aku dan Dia.
Aku bahagia, tak pernah sebahagia ini. Being love by someone that you love.
Setiap sudut kampus adalah kita, setiap sudut kota adalah kita. Masih terbayang sambaran kilat saat kita terjebak hujan sehabis dari pantai. Kita duduk menikmati mie ayam grobakan sembari menunggu hujan yang tak kunjung reda.
“Hujannya ga akan reda, udah malem banget, mau trobos aja?” tanya dia sembari masih memperhatikan hujan.
“Aku kan suka hujan ayo trobos aja!” jawabku bersemangat.
“Oke kita trobos tapi kamu harus pakai jas hujan, tidak ada penolakan.” Tegasnya sambil memasangkan jas hujannya di badanku.
Aku tak bisa menolak, perintah dari dia akan selalu aku turuti. Kami pun menerobos hujan lebat ditengah-tengah kota. Dia basah kuyup karena tidak memakai jas hujan. Tapi kita masih bisa mengobrol dan bernyanyi sepanjang jalan.
jApakah penjual di pantai yang sering kita kunjungi heran kenapa kita tidak pernah ke pantai lagi? Apakah pak de penjual mie ayam langganan kita tidak menunggu kita datang lagi setiap tanggal 22?. Aku yakin mereka rindu. Aku juga begitu.
~
Menyerah bukan perkara mudah. Ada banyak alasan untuk tetap bertahan, tapi akan kalah dengan satu alasan, masa yang habis. Menyerah pada orang yang kamu cintai adalah seburuk-buruknya rasa. Di mana kamu akan tau semuanya akan berakhir, bukan karna kamu ingin, tapi karna kamu harus. Tak ada yang lebih menyakitkan dari saling melepaskan karena tak bisa saling menguatkan. Tak ada yang lebih menyedihkan dari pelukan dan ciuman terakhir sebelum benar-benar merelakan.
Malam itu, tak pernah ada di bayanganku, aku rasa dibayangannya pun tak ada. Malam di mana aku adalah aku dan kamu adalah kamu yang sebenarnya. Selama ini kita hanya sembunyi di balik kata cinta, tanpa kita sadari kita hanyalah dua orang yang saling menyakiti.
Permintaan terakhirku ke pantai bukan tanpa alasan. Aku ingin perpisahan kita juga indah seperti bagaimana kita memulainya. Meski saat itu, untuk pertama kalinya aku benci mendengar suara ombak. Untuk pertama kalinya pantai tidak menenangkan. Dan untuk pertama kalinya aku menatap lautan dengan tatapan pasrah.
Aku tidak memandang perpisahan itu buruk, tak membenci alasan kami berpisah. Aku hanya bertanya mengapa masa kita hanya sementara?
Setiap hari aku meyakinkan diriku bahwa aku bisa bahagia, seperti katamu. Aku percaya itu, karna kamu yang mengatakannya. Aku akan tetap menjadi aku yang dulu, selalu pesan es teh, selalu cemil es batu, selalu suka Taehyung, dan selalu menangisi video tiktok sedih yang aku kirim ke kamu .
300 hari bukan waktu yang sebentar. Bukan waktu yang mudah untuk melupakan.
Aku dan Dia bukan sekedar hubungan, tapi perjalanan.
Aku tak masalah Dia bukan milikku lagi, asalkan dia masih di Bumi.
Perihal mati rasa ini, biarlah aku sendiri yang merayakan.
Pulanglah suatu hari nanti, bawa kabar baik tentang mimpi-mimpi yang kamu ceritakan dulu. Kembali bercerita di tepi pantai. Walaupun tidak sebagai sepasang kekasih lagi, tapi kenanglah kita pernah saling mengisi.
My prayers are with you every step of the way. The time you need my hug, turn around, I'm right behind you.
H
10 notes
·
View notes
Text
Makin kesini makin lucu aja KKN's Life gw. Lucu dalam arti beneran sama lucu dalam artian sarkas. Yaa kita lucu-lucuin aja lah ya.
Berawal dari akal-akalan kita bikin jadwal ijin yang cuma kita kita aja yang ngatur, tanpa laporan kemana-mana, kecuali pak kepala suku yang nentuin nanana nya. Emang urusan pulang tuh jadi se-bikin ruwet itu ya? Ya maap, anak pondok 7 taun kek gw yang udh biasa dg dinamika perubahan aturan pulang, dan kalo emg bneran lagi senep di pondok akhirnya nekat kabur tpi balik lagi lah. Maksudnya kecemburuan sosial masih musim ya? Di urusan ini, dan umur kita yang udah ga kecil lagi?
Awalnya aku jga gamau peduli sih mo anaknya pulang berapa lama, selama bagian dia udah clear, dia udah nitip dengan jelas amanahnya, terus udzur pulangnya juga karena sakit gitu kan. Karena aku nyadar aku gabisa ngeakomodasiin dia dengan treatment yang pas ketika dia sakit, ya aku better ngizinin dia pulang lah, dibanding gw yang repot ahahah, parah bet lu rin. Kukira temen-temen yang lain berpikiran hal yang sama. Oh, tentu tidak darling:)
Kullu ra'sun, ra'yun dalam apapun itu is real.
Ada yang nanggepinnya dengan sensi penuh keirian, "ya dia pulang karena sakit doang, gua juga mau lah, mending gua sakit aja biar bisa pulang terus dijemput ortu nanana". Aih, aku selalu menghindari jenis orang kayak gini deh, bikin cape. Kompor, tapi argumennya masuk akal juga, tapi agak sedikit jahat memang. Yang lain yang mungkin ga kepikiran sampe situ jadi terpengaruh kan. Yaa gw berusaha senetral mungkin sih. Emang bener kalo apa-apa itu diliat manfaat mudhorotnya dulu. Aela, ini belum memutuskan apapun udah kesulut duluan, ga jernih kan jadinya. Apanya? Pikirannya, hatinya.
"Kelompok kita kemaren kayak gini" Kata salah satu temenku sambil nyatuin tangan kek gesture nya bersatu. "Pekan pertama, pekan kedua, besok, besok" Gesture tangannya lama-lama lepas, kendor lah intinya. Karena menurut ku yang kayak gitu mungkin aja terjadi kalo kita tu iri-irian kenapa sih harus iri-irian, astaga. "Legowo aja deh, sawang sinawang bgt."
Yaudah deh lucu bgt temen-temen enih. Aku ga nganggep ini masala besar si. Tapi kek mereka menyikapi seolah ini masalah besar betul. Padahal kek, yaudah sihh. Aduh, Rin.
Up deh, GWS berad buat pak kepala suku yang sangat andhap asor, sehat selalu dan sabar terus :)
H-berapa pulang yah || Kamis, 25 Juli 2024
5 notes
·
View notes
Text
buku
Waktu SD papa sakit. Jadi ganti mama yang kerja, sedangkan kakak-kakak gua ngurusin adek-adek gua yang saat itu masih bayi. Bantuan yang bisa gua berikan saat itu hanyalah menjadi lebih dewasa dari anak-anak kecil lainnya, dengan gak rewel dan gak nyusahin mereka.
Pulang sekolah, gua suka singgah dulu di perpustakaan. Meminjam banyak buku buat dibaca di rumah. Karena gua tahu di rumah nanti semua keluarga gua fokus sama kerjaannya masing-masing. Gua gak bisa ajak kakak gua main, gua juga gak bisa memaksa mama dengerin cerita gua.
Saat itu gua paling suka baca dongeng, salah satu dongeng yang gua masih ingat suka baca saat itu adalah Kancil. Sehari gua bisa menghabiskan 1-2 buku. Gak berhenti baca kalau belum selesai, gak peduli setebal apa buku itu. Gak peduli kepala gua udah sakit dan mata gua udah panas.
Hal itu terus berlanjut sampai SMP. Papa meninggal, mama ganti jadi tulang punggung keluarga, kakak-kakak tugasnya masih sama. Lagi-lagi gua harus dipaksa mengerti.
Saat itu perpustakaan di SMP gua gak memadai. Gua jadi jarang banget baca buku karena gak nemu buku yang gua suka. Lalu Wattpad dan Webtoon pun hadir. Hobi baca gua jadi tersalurkan di sana.
Dulu masa SMP gua cukup menyenangkan kok, gua punya banyak teman. Tetapi emang dasar anaknya lebih suka sendiri. Kadang ada waktu-waktu di mana pas gak lagi ada pelajaran/guru masuk, gua suka cari tempat buat mojok baca Webtoon dan Wattpad.
Di rumah pun sama. Waktu itu keadaan rumah lagi parah-parahnya. Kakak-kakak gua pindah ke kota, sekolah di sana. Jadi tugas mengurusi adek-adek gua pindah ke gua. Mama gua saat itu suka pulang tengah malam karena kerja. Gua baca Webtoon dan Wattpad untuk mengurangi ketakutan gua menunggu Mama pulang dan nahan kantuk karena harus jaga adek-adek gua.
Naik SMA keadaan masih gak lebih baik. Tetapi sama seperti di SMP setidaknya gua punya banyak teman, dan di SMA pertemanan gua terasa lebih menyenangkan. Dan gua juga dapat sahabat di sana. Kehadiran mereka membuat gua gak begitu aktif lagi baca buku, not in a bad way, semacam saat itu gua lagi punya 'pelarian' baru selain baca buku, yaitu main sama mereka.
Kalau kalian bisa lihat, polanya selalu sama. Baca buku adalah salah satu copy mechanism, atau pelarian gua di banyak keadaan.
Gua suka baca buku pas SD karena gua gak mau teralu sedih mikirin keadaan papa dan ekonomi keluarga gua saat itu yang lagi ancur.
Gua suka baca Webtoon & Wattpad pas SMP karena gua merasa mereka lebih mampu memahami gua dibanding teman gua yang lain.
Gua tetap dan masih mertahanin kebiasaan baca itu pas SMA dan sampai saat ini, kenapa? Karena dengan buku—dengan dunia yang diciptakan orang lain di dalamnya, perasaan gua menjadi lebih baik.
Gua merasa punya dunia di mana gua bisa dimengerti. Gua merasa punya tempat di mana gua bisa jadi diri gua sendiri, gua merasa di dalam buku—setidaknya kenyataan yang gua hadapi lebih baik.
Gua bersyukur, saat berada di keadaan yang lagi gak baik-baik aja, gua memilih baca buku sebagai pelarian. Gua gak jadi anak nakal, (padahal bisa-bisa aja kalau gua mau) gua juga tetap sekolah dengan baik, sangat baik malah, karena SMP-SMA gua selalu rangking. Mungkin suka belajar juga salah satu bentuk pelarian positif gua saat itu...
Saat ini gua benar-benar udah gak punya siapa pun untuk berbagi cerita. Gua masih punya sahabat, tetapi sejak dia nikah, gua teralu sungkan untuk berbagi cerita. Bukan karena takut gak didengar, cuman apa yaa, sejak prioritas kita udah semakin beda, mencari keadaan dan waktu yang tepat untuk bercerita itu semakin susah.
Jadi lagi-lagi kalau gua lagi kepengen banget cerita, gua milih nulis atau baca buku. Kenapa baca buku? Karena di banyak tulisan, gua merasa didengarkan.
Gua gak lagi berusaha cari orang lain buat dengerin gua cerita. Selain karena emang gak ada, gua tahu itu sangat ngeselin buat menghubungi seseorang hanya pas saat kita lagi ingin didengarkan.
Sahabat gua pernah nanya,
"Nanti kalau kamu udah nikah, kamu masih mau cerita sama aku, gak?"
"Emang kenapa?" "Ya, nggak papa. Aku cuman takut aja kalau nanti kamu udah punya suami, kamu gak lagi cerita sama aku." "Liat nanti ajalah," jawab gua sambil ketawa.
Kalau sahabat gua mengulang pertanyaan yang sama, gua yang saat ini akan menjawab "enggak".
Karena sebelum cerita sama dia pun, toh gua udah terbiasa memendam semuanya sendiri. Meskipun gua sangat berharap saat gua nikah nanti, gua gak lagi harus memendam semuanya sendiri.
Bukan karena sahabat gua gak lagi cukup baik buat jadi pendengar, gua cuman merasa ada banyak hal yang memang lebih baik untuk kita simpan sendiri, bukan untuk dibagi ke orang lain. Sederhananya gua yang sekarang lebih memilih apa-apa yang pengen gua bagi, dan apa-apa yang pengen gua simpan sampai mati.
Gua juga gak tahu, apa kebiasaan baca buku (fiksi) ini akan gua pertahanin sampai nikah nanti, karena selama partner gua adalah seseorang yang bisa 'mengantikan' semua perasaan yang gua rasakan saat baca buku; perasaan dimengerti, disayangi, dicintai dengan penuh, dirangkul di segala keadaan, gua mungkin gak akan perlu buat baca fiksi lagi...
Tetapi seandainya di beberapa keadaan dia gak mampu memberikan perasaan itu, yaa lagi-lagi gua akan mencari perasaan itu di dalam sebuah buku...
Nggak papa kan?
13 notes
·
View notes
Text
Aku mendekatkan kotak tisu, pasti kamu lelah sekali harus menangis lagi di malam yang entah ke berapa ini.
'Kenapa ya Fat, sakit sekali rasanya. Bahkan di hari itu aku tak sudi melihatnya. sakit. seperti di khianati'' siapa sangka hei, kamu yang selalu memungilkan diri di hadapanku, ternyata sudah Allah perjalankan pada hikmah sebesar ini. kebalap nih aku.
Anw Cimit, ingat tidak kemarin kamu berkisah tentang ini, dengan malu-malu, dengan kalimat berantakan berdalih gugup karena ingin berbagi kabar bahagia? Untuk kemudian, hanya hitungan bulan setelahnya, Allah menunjukkan kuasanya pada hati tiap anak manusia.
Kamu orang kesekian di tahun ini yang Allah datangkan padaku dengan kisah sejenis. Para ummahat di kelas kemarin juga mengamini benarnya kalimatku setelah ini:
Bahwa kita, memang tak pernah tentang rasa.
Bahtera di depan sana akan sangat fana bila asasnya hanya rasa, Mit. Sedangkan syurga yang Allah tawarkan, keabadian tertinggi yang kita harapkan, butuh bayaran yang lebih gila daripada sekadar rasa.
Kita bukan tentang rasa, kita selalu tentang Asa.
Apa gunanya mengantongi rasa serupa bila memang asa nya tidak semuara? bukankah selalu mudah bagi Dia mengubah-ngubah rasa manusia?
'kamu benar,' pundakmu mulai lebih rileks mengucapkannya, 'bila saja ia lebih berani menyertakan aku pada esok yang ia tawarkan, bila saja esoknya ia, lebih nyata, lebih dari sekedar kata. mungkin banyak kurang padanya tak akan jadi soal, yah ternyata ini tentang asa yang memang belum ada,'
Aku mengangguk pelan, merenung pada hikmah baru dari-Nya itu—pada asa yang akhirnya menuntut nyata, wahai aku, apa kita tampak sesumbar pada teriakan asa yang disaksikan-Nya?
'Lalu, menurutmu aku bisa mendapatkan yang lebih baik?' cimit setengah berteriak di telingaku ketika perjalanan pulang. sedetik kemudian malah menjawab sendiri ketika melihatku tak bergeming, 'iyaaaaa, apa sih ya yang Tuhan kita tidak bisaaaaaaaa, semua ini memang kuncinya di aku, kannnnnnnnnnnnnnnnnnnn?'
Aku tergelak, u got the point, sist. Asa itu memang harus dimulai dari kamu, Asa itu kemudian akan memantik langkahmu, kuncinya di kamu, Cimit.
another intermezzo di tengah kisah menarik cimit~ waktu dateng sebenernya gua udah sus yak, kok warnanya gini, kok cerah amat, kok terlihat sangat tidak kopi, kok........
Sesapan pertama, gua seketika tersenyum getir, ini namanya coklat, Mas ♡
Demi tidak merusak vibesnya si cimit yang lagi sendu, gua mati-matian mengulang di kepala jawaban si mas tadi, 'iya kak, ini ga manis kok kopinya. pahit.' ck, doktrin tidak berguna.
ya, yasudahlah. mungkin malam itu Allah pengen aku ngopi dua kali karena yang pertama wujuuduhu ka 'adamihi.
apakubilang mit, cara-Nya menanamkan hikmah selalu paling muantep. Tanpa si coklat bikin merinding ini, aku gabakal kenalan sama yang hitam disampingnya 💘😭👍
Isnt thats sooooooooooo sweet, mit? His way to teach us? Sama halnya denganmu dan pemilik kisah 10 tahun tadi, mungkin dibegitukan, sebab Ia ingin kenalkan pada sesuatu yang lebih.........kamu? ahaha
Selamat bahagia menanti buah kesabaran, Cimit. Esok hari yang penuh asa itu, diupayakan yaa. Minimal cobain jadi korwat sih kata aku mah.
2 notes
·
View notes
Text
Dia ; Sangga.
Aku masih ingat jelas malam itu ketika aku mulai menulis tentangnya, di bawah langit yang perlahan meredup, bintang-bintang yang dulu bersinar seterang Venus kini ditelan awan gelap, yang, jika tak salah, berjenis Nimbostratus. Seperti langit yang kehilangan gemerlapnya, hatiku pun merasa kehilangan. Tak peduli berapa purnama telah berlalu, pikiranku—atau mungkin hatiku—masih saja terikat pada sosoknya.
Namanya Sangga Nabastala. Pria yang tak tinggi semampai, namun hadir dengan aura yang tak pernah hilang dari benakku. Pakaiannya sederhana, bahkan kerap kali terlihat slengekan. Sudah tak terhitung berapa kali dosen menegurnya karena penampilannya, namun tak pernah tampak gusar di wajahnya. Sekarang, ketika semua sudah terlambat, aku baru mengerti alasan di balik ketenangannya yang aneh itu.
Ia selalu membawa tas cokelat tua, penuh gantungan kunci anime, dan sebuah kamera Fujifilm yang terselip di kantong jaketnya. Nyentrik, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan kehadirannya di antara para mahasiswa. Dia adalah seorang periang dengan otak yang brilian. Seluruh teman sekelas hampir sepakat, “Apapun masalahnya, Sangga solusinya.”
Namun, tak ada yang benar-benar bisa mengikuti jalan pikirannya. Kadang-kadang, ia bisa tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuat kepala orang lain berdenyut, “Jika gravitasi adalah tarikan antar benda bermassa, kenapa cahaya yang tak memiliki massa bisa tertarik oleh gravitasi black hole?” Atau, “Kenapa Revolusi Prancis yang ingin menumbangkan aristokrasi malah menjadikan Napoleon Bonaparte kaisar seumur hidup?”
Berat, sungguh berat hanya untuk sekadar berbincang dengannya. Kadang, rasanya aku ingin menimpuk kepalanya dengan buku tebal yang tergeletak di mejaku, hanya karena betapa rumitnya setiap pembicaraan yang ia mulai. Namun, meski ia menyebalkan, Sangga memiliki daya tarik yang tak bisa diabaikan. Otaknya yang cerdas dan kepribadiannya yang cerah membuatnya menjadi idola banyak wanita di kampus.
Kebiasaan Sangga yang paling kuingat adalah ketika dia sering mengikuti kelas yang bukan pilihannya hanya untuk duduk di sampingku. “Lengkara, serius banget sih,” ucapnya suatu kali dengan wajah cengengesan. Konsentrasiku buyar, dan aku menahan segala umpatan di bibir. Ingin rasanya aku melemparnya dengan buku yang sedang kupelajari, namun urung kulakukan karena takut menarik perhatian dosen di depan kelas.
Setelah merusak fokusku, Sangga tanpa merasa bersalah membuka bekal dari Tupperware hijau, aroma masakannya menyebar, membuat seluruh kelas menoleh ke arahnya. Dia selalu bangga memamerkan masakan ibunya—nasi putih dengan cah kangkung, cap cay, dan sosis goreng. Setiap hari, ia selalu menyebutkan menunya dengan bangga, membuatku hafal dan kadang merasa kesal. "Ini masakan Mamah," katanya setiap kali, seakan-akan kami belum pernah mendengar kalimat itu sebelumnya.
Namun, satu hal yang selalu kurenungi tentang Sangga adalah kemampuannya untuk hadir ketika aku membutuhkannya. Pernah suatu kali, aku tidak masuk kelas karena sakit. Tanpa kabar, tanpa ponsel yang aktif, tiba-tiba Sangga muncul di depan kosku. “Lengkara! Aku bawain nasi uduk sama obat nih!” teriaknya, berdiri di depan pagar kos yang dijaga oleh anjing German Shepherd milik Pak Sutrisna.
Meski ditolak berkali-kali oleh Pak Sutrisna, Sangga tidak menyerah. Suara gonggongan anjing pun kalah oleh teriakannya yang berulang-ulang memanggil namaku. Dan, seperti biasa, aku harus turun dari kamar kos hanya untuk menemuinya. Sangga memang keras kepala, tapi di balik semua itu, ada sisi dirinya yang melankolis. Ada sisi tenang, peduli, namun sedikit egois, seperti ombak yang menghantam pantai tanpa basa-basi.
“Aku ingin tetap tinggal di sini, bukan untuk diriku sendiri,” katanya suatu kali. “Aku ingin menjaga teman-temanku, mamahku, bahkan kucing-kucing jalanan. Jika aku hidup hanya untuk diriku, aku mungkin sudah kehabisan alasan untuk melanjutkan hidup.”
Sangga Nabastala—sosok yang tak mudah dipahami, namun entah bagaimana, selalu berhasil membuatku merasa aman. Seperti senja yang selalu membawakan hangat dan rasa pulang, dia adalah rumah. Rumahku. Aku ingin mengenalnya lebih dalam, ingin menjadi seseorang yang ia percaya, seperti aku mempercayainya. Namun, seperti teka-teki yang rumit, Sangga tak pernah mudah dipahami.
Dan hingga kini, aku masih menunggu, kapan dia akan berlabuh di dermaga yang sama, mengarungi samudera hidup bersamaku. Ini adalah teka-teki Sangga, dengan aku sebagai penyusunnya.
#sajak#prosa#cerpen#alternate universe#lee haechan#haechan#sajak puisi#aksara#fiksimini#short poem#short story#alusisenja#senandika#writing#poetsandwriters#book quotes#kata#writers on tumblr#sastra#novel
5 notes
·
View notes
Text
Gue udah hidup di masa late twenties. Tapi kehidupan masih aja bikin gue bongkar pasang manusia² dalam hidup gue.
Ternyata, semua itu bisa dg mudah gue hadapi ternyata ya karena gue udah terlatih.
Semasa sekolah sampai kuliah, gue ngga pernah bisa ngalamin pacaran² lucu anak² remaja baru gede. Percaya ngga percaya, gue emang "dibentengi". Jadi meski gue sama dia udah punya rasa yg sama, akan ada aja yg bikin gue sama dia jadi asing. Ini ngga sekali, berkali-kali.
Gue selalu nyalahin diri sendiri dan berpikir salah gue dimana, kurang gue dimana. Sampai akhirnya gue hidup terbiasa dg semua itu. (Ya tetep nangis-nangis ya jir, lu pikir gue hatinya mati)
Gue pernah menjalani sebuah "katakanlah" hts. Ternyata it was work. Dalam artian, kayanya itu benteng cuma kenal kata pacaran tapi engga hts wkwkwk oh dan gue jadi tau rasanya dapet 'effort' dan wujud sayang. Ceilah.
Selesai kuliah tahap pertama, di kuliah tahap kedua gue pertama kalinya punya pacar. Uhuy. Karena berdasar bocoran, tuh pager emang cuma berlaku sampai kuliah pertama gue selesai.
Gue ga terbiasa menyudahi hubungan, ngga terbiasa pergi dan meninggalkan. Jadi gimana naik turunnya, gue bertahan sampai yg memisahkan adalah takdir yg menutupi ketidak bisaan keluarga gue menerima salah satu kekurangan yg cukup prinsip bagi kami, padahal lagi ngerencanain nikah. What a plot twist! 😂
Dari hubungan itu, gue susah yakin dan percaya bakal bisa nemuin yg bisa memenuhi syarat dan tnc keluarga gue, tentunya dg dia yg aku mau, yg menyayangiku, dan komplit dg baik memperlakukanku. Semakin gue pikir, semakin pening kepala gue.
Gue sempet ngga yakin masih ada yg sebaik mantan gue, at least untuk manusia di sekitaran gue. Sampe Tuhan nunjukin seorang manusia, yg jelas bisa masuk tnc keluarga gue, meski gue ga tau juga bakal nyambung apa engga sama ini manusia.
Tapi balik lagi, setelah membuat semuanya jelas, gue pilih pergi dari manusia ini, karena... sadar diri. Hahahahaha.
Sejak saat itu, gue kembali ke diri gue jaman sekolah kuliah. Dimana membuka diri berteman dan berkenalan dg siapapun, menjalani jebakan dunia kalau tiba-tiba terpakai perasaannya, dan kudu terbiasa lagi dg era-datang-pergi manusianya. Lagi-lagi dikatain si tukang php, atau dimarahin karena masih aja nyoba pdkt. Padahal kaga anjir. Nih gue bikin lu semua ngerti.
Gue tetep manusia biasa yg mau disayang, mau juga dikasih perhatian. Gue mau juga sih dikasih uang dan barang, tapi dua hal itu masih bisa gue penuhi sendiri.
Gue jadi kaya mengulangi main-main di penghujung usia 20an layaknya gue di usia belasan, padahal temen gue udah pada pusing mikir bekal anaknya ke sekolah, gue masih aja kaya main-main sama anak orang yg ujungnya ngga pernah gue tau. Tapi demi Tuhan dah, sebenernya gue engga mau. Mohon maaf tulus dari gue buat kalian yg pernah kejebak masuk ke kerumitan hidup gue. Jujur gue capek anjir. Siklusnya ketebak. Itu-itu mulu kejadian. Auk kapan gue ketemu jodoh, atau engga akan?
Gue tuh mau pertemanan, mau pake perasaan, dari awal udah mikir, kapan nih pisahnya? Sesering itu, se-desperate itu wkwk
Gue capek, jujur. Tapi gue berusaha dan memaksa diri menikmati. Gue ngga pengen nyakitin siapapun dg rumitnya kehidupan gue. Tapi, gue juga ngga bisa berbuat banyak kalau yg jebak mereka masuk adalah semesta.
Kenapa sih dunia ini harus ada nikah? Dan kenapa sih bagi gue nikah tuh rumit? Ngga bisa aja gitu dia baik, dia sayang ke gue, dia mau gue dan gue mau dia jadi cukup? Kenapa ini kudu jadi urutan paling akhir?
Makin gue pikir makin pening kepala gue.
Makin gue paksa menikmati jalan yg ada sekarang, makin tersiksa juga hati gue.
Harus nyakitin orang lain lagi.
Harus memulai semuanya dari awal lagi.
Datang dan pergi. Bersatu dan berpisah.
Gue sampai ngga memberi kesempatan hati gue untuk ngerasa sakit dan nangis, karena jelas jika yg saat ini pergi, cerita yg sama akan terulang kembali entah dg manusia belahan mana lagi yg dijebak oleh semesta.
Gue capek, ya Tuhan. Please.
Bisa ngga sih dibikin agak gampang sikit ini kehidupan?
Capek gue. Capek sama diri sendiri. Capek karena kudu nyakitin orang mulu. Udahan ga sih. Resign aja apa dari dunia?
Jawab nih Tuhan please banget mentok. Udah engga bisa nangis padahal rasanya nih hati berat kek sakit banget tapi engga boleh mendramatisir nih hati.
HHHHHHH. BYE.
5 notes
·
View notes
Text
Tadi pas di supermarket tuh tiba-tiba lagunya Yura yang dunia tipu-tipu. Kok baru bait pertama, aku tiba-tiba ingin menangis coba.
Di dunia tipu-tipu Kamu tempat aku bertumpu Baik, jahat, abu-abu Tapi warnamu putih untukku
Selain lagunya Lauv, lagu ini tuh kaya soundtrack khusus dari aku buat mas bojo. Ketemu pas rasanya dunia tuh lagi nipu aku banget sampe bikin jatuh terjungkal mau bablas die aja. Pas duniaku lagi abu-abu mendung gludug hujan banget, tapi ada mas tuh abu-abu di hidup aku kaya sedikit tersingkirkan. Walau sementara.
Hanya kamu yang mengerti Gelombang kepala ini
Pas di bagian ini, sudah sangat menumpuk sekali keinginanku buat menangis di supermarket. Jadi, aku buru-buru ngudahin belanja aja. Dan ternyata yaa emang menangis beneran pas di jalan pulang. haha. Kepala nyanyiin ulang ini lagu, semakin bertumpuklah air mata akuuu. ckckck.
Pas aku sendiri ngga ngerti sama yang di kepala, mas selalu berusaha ngasih jawaban sama semua pertanyaan aku. Entah itu menyebalkan, menyedihkan atau bahkan kalau diomonginnya ke orang lain pasti responnya "ngapain sih kaya gitu dipikirin terus ..." Ngga sekali dua kali doang dimengerti, tapi setiap hari, bahkan maybe sampe hari ini.
Puja-puji tanpa kata Mata kita yang bicara Selalu nyaman bersama Janji takkan ke mana-mana
Puja-puji tanpa kata Mata kita yang bicara Selalu nyaman bersama Janji takkan ke mana-mana, ya
Diulang dua kali pas bagian ini. Pas dikata terakhir, kalimat terakhir pas bagian ya, itu bikin aku semakin deras menangis. huhu. Untung sudah di rumah.
Walau ngga pernah secara blak-blakan (seingetku), tapi pas dibagian janji takkan kemana-mana tuh bener-bener hit me harder. hoho. Walau dua-duanya lagi chaos banget , dari pertama tuh ya ngga kemana-mana. Kaya ngerasa kalau sama yang kali ini ngga akan ditinggal gitu aja. Orangnya ada aja kok, bahkan selalu ada. Walau ldr, walau sibuk, walau marahan. Saking nyamannya aku sama mas, aku ngga pernah ngerengek minta dikawinin buru-buru. Atau berusaha keras biar orangnya tetep stay. Bukan karena ngga mau berjuang atau gimana, tapi yaa karena senyaman itu dan sepercaya itu kalau orangnya ngga akan kemana-mana. Jadinya ya aku tenang-tenang aja sambil sekolah dan pacaran kalau lagi ada waktunya ketemuan atau yaaa kalau udah jam malam sebelum tidur walau cuma lewat telpon. Makanya bagian itu tuh bener-bener bikin nangisnya makin banyak.
Di dunia tipu tipu Ku bisa rasa nyata denganmu, oh-hm-mm Tanpa banyak una-inu Ku bisa rasa aman selalu
Bagian ini juga masih menangis. Masih banyak menangisnya juga. Ku bisa nyata denganmu. Bener-bener senyata-nyatanya. Ngga perlu berusaha keras biar diterima. Ya pokoknya ini aslinya - dan tentu banyak cacatnya. Kalau dulu selalu takut ngga pernah diterima karena salah satunya kehidupanku yang problematik dan aku yang suka dibilang pemarah sama orang lain, tapi sama mas tuh ya tidak. Bener-bener diterima, ditelan begitu saja. (Doakan dia sehat-sehat aja pokoknya karena menelan sisi kehidupan dan nyatanya aku mentah-mentah).
Lelucon aneh tiap hari Ku tertawa tanpa tapi Tetaplah seperti ini
Dah habis dikawinin, ada aja yang diketawain, setiap hari. Walau kadang leluconku ngga semudah itu diterima dirinya dan dia ketawa, jadi ku kudu kesel dulu baru ketawa -_-. Yaa walaupun begitu tetaplah seperti ini, ya mas. Walau mungkin cape, pastilaah. Sama manusia yang belum selesai sama dirinya, traumanya, sakit-sakitnya juga.
Terus aku ingin menangis lagi nulis ini tuh. Padahal tadi udah sempat berhenti nangisnya.
Jadi kalau ditanya, kenapa kok aku bisa mau sama mas, yaa mungkin potongan lagunya Yura ini bisa menjelaskan alasannya sih. Tapi kalau mas yang ditanya kenapa mau sama aku, pasti jawaban defaultnya "ya kan udah terbiasa apa-apanya barengan sama kamu." Jadi tidak bisa mendapat jawaban yang memuaskan gaes. Cuma mungkin pada akhirnya dia mau sama aku karena doaku dari dulu juga. Wkwkwk yang pernah berdoa dan bergumam kayaknya kalau bisa punya pasangan anak tumblr sepertinya enak ... hehehe Doa yang terkabul sepertinya.
Terus abis nulis ini malah lagunya yang keputar lagu Tulus - Diri. Dahlah aku mau menangis dulu sebelum masak.
3 notes
·
View notes
Text
Sekarang tiap bangun tidur, perutku kuelus lembut sembari membaca alhamdulillahilladzii ahyanaa ba'da maa amaatanaa wa ilayhin nusyuur. Lucunya kayak ngomong sendiri, "Dedeek, bangun yuk. Kita shalat dulu."
Setiap mau tidur setelah baca ayat kursi sebelum zikir asmaul husna dalam hati, perutku kuelus lagi sembari ngobrol sama si dedek, "Dedeek, bobok yaa. Gakpapa kalau nanti mau pipis atau lapar tengah malam. Tapi kita bobok dulu yaa."
Bahkan di selingan-selingan pergantian kelas aku juga ajak ngobrol si dedek. Aku yakin di dalam sana ia juga mendengar diskusiku dengan kakak-kakaknya di sekolah. Mendengar kakak-kakaknya yang kerap bertanya kabarnya di dalam perut. Aku yakin ia juga merasakan bagaimana aku tetap berusaha sehat dan berfungsi seperti biasa, walau tentu ada hari-hari di mana sakit kepala dan mual-muntahku memburuk dan memaksaku untuk mengambil jeda.
Aku yakin setiap makanan yang masuk melalui mulutku bisa ia hisap dan icip-icip rasanya. Aku semakin paham kenapa frekuensi buang airku berkurang, karena sari-sari dari makanan yang aku makan juga mulai ia cerna.
Aku percaya bahwa bonding inilah yang membuat seorang ibu mencintai anaknya sejak sebelum ia lahir ke dunia. Dari salah satu teman dekatku, ia bercerita bahwa ketika kontrol terakhir ke ob dan ob menyatakan bahwa bayinya siap lahir, ia mengurung diri sejenak dan menangis sejadi-jadinya. Ada rasa sedih yang mendalam karena bayi di dalam kandungannya tidak lagi bersemayam di dalam rahimnya. Bayinya akan tumbuh bersamanya, menghadapi dunia luar yang tentu berbeda tingkat keamanannya dibandingkan dengan di dalam sana.
Dalam waktu yang bersamaan, rasa sedih dan khawatir itu diiringi dengan perasaan haru dan bahagia. Bahwa bayi yang selama 9 bulan lebih selalu 24/7 bersamanya akan segera berada dalam pangkuannya, timangannya, dan pengasuhannya. Dialognya tidak lagi terasa satu arah, melainkan akan dibalas dengan anggukan, celotehan, dan tatapan yang berbinar-binar.
Dedek, menjelang Ramadhan ini, semoga Allah tidak hanya mengizinkan kita sampai di bulan Ramadhan tapi juga mengizinkan kita sampai pada pengalaman yang amat sangat berharga ketika kamu lahir ke dunia. Setiap lelah dan jerih payah saat ini pasti akan sangat terbayarkan dengan lahirnya anak yang shalih/ah, menjadi da'i/ah, menjadi 'alim/ah, menjadi mujahid/ah. Semoga Allah izinkan kita menjadi ahlul Qur'an, ahlus Sunnah, dan ahlul Jannah 🥺 Allahumma aamiin.
8 notes
·
View notes
Text
21
Beberapa hari ke belakang, rasanya isi kepala saya semakin berisik, tidak tau caranya diam. Saya dituntut ini itu tanpa peduli dengan apa yang saya rasa. Persetan dengan marah atau sedih, katanya saya harus tetap berdiri, saya tidak boleh menangis di hadapan manuasia. Persetan dengan senang yang pura-pura atau syukur yang tidak seberapa, katanya saya harus tetap banyak tawanya, menjadi badut yang dihakimi sebelah pandang. Persetan dengan sebanyak apa sakit yang saya tekan, katanya saya harus tetap dewasa tanpa keluh, tanpa egois.
Saya dituntut ini itu tanpa peduli apa yang saya rasa. Saya harus banyak diamnya, jangan banyak bersuara, katanya percuma, suara saya kosong tanpa makna bagi mereka. Saya harus sering menyeka air mata, jangan banyak bercerita, katanya percuma, tidak ada telinga yang benar-benar bersedia mendengarnya. Saya juga harus selalu mengaku tidak apa-apa, jangan banyak mengeluh, katanya percuma, pundak saya setiap hari harus berjibaku dengan kerasnya harapan.
Saya dituntut ini itu tanpa peduli apa yang saya rasa. Sebab cita-cita yang besar harus setimpal dengan pengobanannya. Banyak yang dituju katanya juga sepadan dengan kehilangannya. Tapi, kenapa saya merasa tidak bisa kehilangan apapun lagi. Entah tentang diri sendiri, rumah, bahkan persoal hati. Saya sudah terlanjur lama tidak punya kuasa menggenggam apapun. Katanya amarah saya tidak berdasar, sedih saya tidak ada alasan, sulit saya tidak sebegitunya.
Saya dituntut ini itu tanpa peduli apa yang saya rasa. Padahal sesaknya sudah memenuhi paru-paru. Saya harus tetap tidak apa-apa. Tapi doa saya semakin lama semakin kehilangan navigasinya. Tuhan, jika boleh, bisakah saya pulang lebih lekas. Saya benci manusia dengan segala rupa. Mereka datang seperlunya, pergi sesukanya. Saya benci manusia dengan segala rupa. Mereka menghujani saya dengan miliyar diksi makian tanpa melihat luka-luka yang terekam. Saya benci manusia Tuhan, dengan segala rupa mereka Tuhan. Tolong saya. Saya kesakitan luar biasa, dada saya penuh Tuhan. Pikiran saya meluapkan caci untuk diri sendiri. Tolong saya Tuhan. Saya nyaris tidak sanggup lagi. Saya sudah mati Tuhan. Angkat nyawa ini. Saya kehabisan nafas di dunia. Saya kehilangan Saya. Saya lupa cara menemukannya...
Bumantara Nestapa, Oktober ditanggal 8
8 notes
·
View notes
Text
Tiket Terakhir
fiksi tengah malam
Ibu pernah bilang; laki-laki barangkali 'tahu saja' begitu ia menemukan belahan jiwanya, tapi bagi perempuan, kita tak akan pernah tahu bahkan jika ikrar sehidup semati sudah diucapkan.
Tapi aku sudah lama berseberangan dengan ibu, aku sudah tak peduli lagi apakah ibu benar atau tidak. Aku hanya tahu, aku harus tetap waras sepanjang ibu masih bersikeras untuk menemukan belahan jiwanya.
Ibu, sulit sekali menjelaskan tentangnya. Perempuan tangguh yang masih percaya jika suatu hari kelak akan menemukan seseorang yang akan menemaninya menua bersama. Padahal usianya sudah 49 tahun, dan itu bukan usia yang bisa digolongkan muda.
Aku tak ingin menceritakan bagaimana jalinan kisahnya dengan Ayah, bagaimana ia berakhir menikahi seorang lelaki tua yang meninggalkannya saat aku masih dalam kandungan, lalu membawanya kepada banyak pelukan lelaki tanpa pernah percaya bahwa lelaki itu adalah belahan jiwanya. Itu bukan kisah yang menarik, bahkan cenderung tak masuk akal untukku.
Sudah pesan tiket?
Pesan Ibu masuk lagi.
Belakangan Ibu mulai gencar menghubungiku, entah sejak kapan momen lebaran menjadi sesuatu yang kami rayakan dengan berkumpul. Sehingga dengan tak absennya Ibu mengingatkanku untuk mudik.
Aku membiarkan pesan itu, tak ada gunanya mendebat Ibu, ia selalu benar. Padahal sudah tiga tahun aku tak pernah lebaran di rumah dan Ibu tak pernah protes, kali ini juga belum tapi ia selalu memastikan bahwa aku akan pulang tahun ini.
Mau aku pesankan tiket?
Pesan berikutnya masuk. Lama aku mengamatinya, mencari satu dua makna dari kebaikan yang ditawarkan. Kali ini bukan dari ibu, tapi dia. Lelaki yang seharusnya, ah sudahlah.
Aku tak pulang.
Begitu aku menekan tombol kirim, layar ponselku kini berganti menjadi sebuah panggilan. Aku menatapnya lama, membiarkannya hingga panggilan itu berhenti.
Sudah tiga tahun, pulang ya!
Pesan masuk lagi. Kali ini aku membiarkannya. Membiarkan semua yang seharusnya tak pernah kembali dalam diriku.
---
Sudah lima hari ini pesan Ibu tak datang, aku juga tak ingin bertanya. Hanya saja ada yang mengusik hatiku, rasa penasaran akan sikap Ibu yang tiba-tiba gencar dan tiba-tiba berhenti.
Hari ini terakhir kali aku ke kantor sebelum cuti lebaran, besok lusa jika hilal tampak, sempurna lah sudah empat tahunku tak lebaran bersama Ibu.
Ran, aku tahu kamu tak ingin pulang. Tapi kamu harus tahu, Ibumu di rumah sakit.
Sejenak napasku berhenti. Seketika semuanya menggelap, sekuat tenaga aku mengendalikan diri, begitu kesadaran itu penuh lagi praktis aku membuka aplikasi pemesanan tiket, dan nihil. Lebaran sudah dekat, pastilah rute penerbangan untuk hari ini dan besok penuh.
Aku menarik napas dalam, begitu aku melepaskannya seluruh memori itu menyeruak. Segala hal tentang Ibu seperti kaset yang berputar dalam kepalaku. Bagaimana ia berteriak marah saat aku tak makan sayur, bagaimana ia menangis saat aku mengatakan tak akan pernah hidup sepertinya, bagaimana ia... Sebelum genap semua cerita itu tumpang tindih di ingatanku, satu pesan masuk lagi.
Ran, jika sedikit saja kamu memaafkan Ibumu, juga aku, pulanglah!
Terlampir satu dokumen, aku membukanya, penerbangan hari ini. Aku berlari menuju lemari, mengambil pakaian seadanya.
Delapan jam kemudian aku sudah di sini. Lorong rumah sakit yang begitu sepi, bahkan tak ada yang berlalu lalang. Ini sudah pukul dua pagi, aku baru saja bertemu Ibu. Wajah cantik itu kini sudah lebih tua dari yang aku ingat, mungkin karena Ibu kini jauh lebih tirus.
"Makasih, tiketnya."
Dia mengangguk kecil. Dengan gerakan kepala ia memintaku duduk di sampingnya.
"Ibumu selalu bilang, suatu hari kamu akan pulang."
"Itu bukan rumahku," Ada jeda yang panjang dalam kepalaku, jeda yang memberikan batas rumah dan pulang yang tak pernah satu dalam diriku.
"Kenapa? "
"Kamu tak akan mengerti, terlalu sulit menjelaskannya."
Aku mencintaimu, dulu seperti itu. Tapi kamu tidak, kamu membiarkan aku merasakannya sendirian bertahun-tahun. Padahal kamu bersikap seolah aku adalah perempuan paling berharga di dunia. Hingga semua itu hancur dengan rumah yang kamu tawarkan.
"Karena aku?"
Aku menelan ludah. Menarik napas pelan, menghembuskannya. Aku menoleh padanya, bukankah semua hal jelas, haruskah aku melafazkannya dalam kata-kata?
"Ya, karena seharusnya kamu tak pernah menikahi Ibuku."
selesai
-----
Catatan penulis : Percayalah! Saat tengah malam, semua cerita yang kau harap menjadi romantis bisa berubah menjadi mimpi buruk yang tak ingin kau ingat sampai kapanpun. Besok, kalau aku menulisnya siang hari, akan aku tulis kisah yang manis.
34 notes
·
View notes
Text
Ada yang berubah selama 4 bulan ini sejak adiknya divonis sakit begitupun kakaknya (dengan sakit yang berbeda). Ada penyesuaian baru atas kebiasaan dan rutinitas yang selama ini sudah terbentuk. Beruntungnya, jadwal kontrol rutin si kakak cukup sebulan sekali, meski adiknya kadang bisa setiap minggu diluar masa rawat inap.
Enam tahun tidak pernah jauh dari anak pertama tentu butuh effort yang tidak mudah saat kami harus berjarak 85 KM ketika mendampingi pengobatan adiknya. Disamping karena sudah masuk sekolah, kebijakan rumah sakit juga melarang anak dibawah usia 12 tahun masuk kamar rawat, jam jenguk pun tidak ada. Awal-awal kami sempat mengajak si kakak ikut rawat jalan berhari-hari, yang ada dia capek, bosan, dan bingung, jadinya kasihan. Akhirnya kami belajar untuk berani menitipkan si kakak di rumah bersama anggota keluarga yang saat itu bisa bantu menjaga; kakek, nenek, ami, bibi, atau uwa nya. Banyak drama sampai akhirnya terbiasa.
Sehari, dua hari, atau beberapa hari saat tidak ada jadwal ke rumah sakit, kami berusaha memaksimalkan waktu bersama di rumah. Si kakak jadi lebih banyak bermain dengan adiknya. Terasa seperti melepas kerinduan. Begitupun sang adik yang saat di rumah sakit selalu bilang ingin pulang karena mau main dengan kakaknya. Hiks... Saat saya minta untuk main keluar bersama teman-temannya pun mereka tidak mau, terlalu nyaman untuk menghabiskan waktu berdua saja. Mereka masih terlihat bahagia dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.
Pernah ada satu kejadian, waktu itu anak-anak sedang bermain berdua di halaman, lalu sekelompok teman laki-lakinya yang sedang bersepeda lewat, mereka melihat kepala Nawa yang nyaris habis rambutnya. Spontan mereka bilang "ih nawa botak..., botak...". Kebetulan saya yang mendengar mencoba memberi nasihat yang baik. Si kakak yang mendengar itu, lantas mengajak adiknya masuk ke dalam rumah, "adik, kita main di dalam aja yuk, main a b c..." . Inilah barangkali yang membuat mereka secara tidak langsung sedikit menarik diri dari teman-teman sekitar yang dulu diakrabi. Ah... Saat itu perasaan saya campur aduk antara haru, sedih, entahlah. Kadang saya berpikir, kenapa mereka bisa sedewasa ini.
Saya terus meyakinkan diri atas keadaan ini, "Allah... Saya kuat, kan?". Saya yakin tidak ada orang tua yang sanggup terus menerus berpura-pura kuat saat anaknya meminta, "ibun nanti di rumah sakitnya jangan lama-lama ya, cepet pulang..." Atau "ibun, adik ngga mau disuntik lagi, adik bosen ke rumah sakit terus...". Hufh... tarik nafas yang dalam lalu berdoa atas diri yang sangat lemah ini, memohon penjagaanNya dalam setiap waktu di berbagai kondisi kepada kami.
Episode ini pasti akan berlalu entah kapan. Semoga kami bisa menjadikannya ruang belajar dan beribadah. Menjalaninya bersama-sama dengan terus berprasangka baik kepada Allah.
-Kiara, 17 Oktober 23 (dalam kondisi satu anak terbaring menahan nyeri, satu lagi tertidur dalam sepi)
7 notes
·
View notes
Text
Ya Allah, Yaa Rabb.. Ternyata aku belum sepenuhnya siap jika harus melihat 'sisi lain' dari qawwamku yang sedang Engkau uji dengan dikurangi sedikit nikmat sehatnya. Rasanya gak tega, khawatir, bingung dikit.. Melihat beliau yang biasanya kuat dan ceria, dan tadi tiba-tiba mengeluh tidak enak badan, itu rasanya campur aduk banget, tapi aku tetap berusaha tenang. Aku jadi mikir, mungkin seperti ini juga ya yang beliau rasakan ketika melihat 'sisi lain' ku, yang lemes dan tetiba mual, gak nafsu makan.. Bingung dan campur aduk gak karuan. Mana aku udah berkali-kali begitu, beliau mungkin bingung kali ya kemarin itu, tapi tetap berusaha tenang di depanku bahkan bisa-bisanya menenangkan aku yang sebenarnya cengeng dan panikan ini, huhu..
Be, sabar banget dirimu selama ini, menghadapi diriku yang kadang kalau kecapekan badannya gak bisa diajak kompromi.. Selama hampir sebulan ini, aku udah beberapa kali sakit. Pasti bikin kamu bingung berkali-kali ya, sampai effort banget mau ngajak aku ke dokter yang buka praktek 24 jam.. Makasih banyak ya, suamiku.. Makasih sudah berusaha untuk tetap tenang dan berpikir jernih di tengah situasi yang sebenarnya membuatmu bingung, apalagi istrimu ini jarang minum obat dan sebetulnya agak susah buat diajak berobat ke dokter..
Entah kenapa gak tega rasanya, ngelihat beliau yang biasanya kesehariannya sabar banget, sekarang diuji dengan kondisi badan yang kurang sehat. Sebetulnya agak ketar-ketir karena beliau punya riwayat penyakit yang kurang lebih ada kesamaannya denganku.. Semoga Allah selalu jaga beliau, segera diberikan kesehatan kembali dan pulih seperti sediakala, aamiin ya Rabb..
Maaf ya bund dan semuanya, curcolnya disini.. Pada akhirnya ternyata bisa juga ya, meluapkan isi kepala yang sebetulnya agak ngebul karena masih adaptasi dengan hectic nya ritme kerja full time dari pagi sampai sore. Banyak yang mau diceritakan sebetulnya, tapi nanti lagi aja deh, ehehe..
Bogor, 15 Oktober 2023. 01.11
12 notes
·
View notes
Text
- RELENA DE ALFONCO
Aku terlahir dari keluarga kerajaan minerva, anak tertua dari keluarga roylen de alfonco. Ayahku adalah anak bungsu dari 3 bersaudara kakak pertama bernama Yohanes de alfonco dan kedua adalah refiline de alfonco , pada saat itu adalah masa kejayaan kerajaan minerva semua rakyat rakyat di sana hidup rukun dan makmur , aku sebagai anak tertua pasti lah membawa kewajiban yang sangat besar untuk keluargaku setiap hari aku belajar tentang semua hal yang harus dilakukan sebagai putri dari keluarga kerajaan dan ditambah hobiku bermain pedang memang aneh jika sekarang putri yang harus nya belajar etiket kerajaan malah ingin menjadi kesatria , tetapi aku tidak mau menjadi putri yang hanya menunggu dinikahi oleh pria dari kerajaan lain, aku bertekad menjadi ratu yang mandiri dan bertekad mengubah tatanan kerjaan menjadi lebih baik, aku ingin bisa melindungi keluargaku yang aku cintai , pada saat itu king Eric de alfonco raja Minerva pada masa sekarang sudah menentukan penerusnya .semua keluarga kerajaan berkumpul termaksud aku , saat king Eric mengumumkan penerusnya semua orang terkejut karena yang dia pilih bukan lah kakak tertua yohanes de Alfonco tetapi roylen de alfonco aku terkejut tetapi lebih terkejut lagi melihat wajah Yohanes yang terlihat sangat murka , Yohanes berteriak
" apa apaan ini ayah!!, Kenapa roylen yang jadi penerus mu?,bukankah akulah kakak tertua? " Tanya Yohanes
" sekarang aku tanya apa saja proges mu saat ini ? " Tanya king eric
Yohanes hanya terdiam , terlihat sedang berpikir ,mata nya menoleh kemana mana
" itulah jawabannya , roylen sudah banyak membantu ku dia bahkan bisa mengatur tentara di perbatasan yang aku saja kewalahan , jadi jangan banyak bicara!! Renungkan lah kelakuanmu saat ini!!. " Bentak king eric
" awas saja kau roylen!! " Bentak nya sambil berjalan keluar ruangan
Aku bingung dengan suasana ini melihat ayahku yang duduk dengan tenang menghiraukan ancaman Yohanes aku berpikir sepertinya akan ada hal yang buruk
Hari telah berlalu tapi hatiku tetap saja tidak tenang , setelah ditetapkannya ayahku menjadi penerus , ayah menjadi sangat sibuk tidak ada waktu untuk berkunjung ke kediaman , seminggu lagi adalah ulang tahunku aku aku tidak sabar lagi karena pada saat itu umurku berusia 14 tahun dan itu berarti aku bisa berlatih pedang asli , sambil menunggu. hari hari telah berlalu sembari menyempurnakan skill berpedang ku aku selalu belajar etiket dan cara mengatur pemerintahan karena aku tahu kemungkinan besar aku akan menjadi ratu , hari yang di tunggu telah tiba disaat ulang tahun ku yang ku nanti nanti kan , ayahku telah kembali membawakan pedang yang aku impikan aku mencobanya dan itu sangat keren
"kamu benar benar ingin menjadi kesatria sayang?" Tanya roylen
" iya " jawab ku dengan riang
Pada malam itu aku merayakan dengan keluargaku , aku meminta ayah untuk hanya merayakan sekeluarga saja karena aku lebih nyaman seperti ini setelah tawa dan canda yang kami buat bersama, sudah waktunya untuk tidur , pada saat aku melihat langit langit di kamar ku aku melihat secerca cahaya aku tidak tahu apa itu kupikir itu hanya halusinasi ku dan disaat itu dada ku terasa sangat sakit sakit sekali aku menangis memanggil ibu dan ayahku dan saat itu aku melihat cahaya di luar jendela saat aku turun dari kasur untuk melihat nya betapa terkejutnya aku melihat cahaya itu itu adalah api , api sudah menjalar di seluruh kediaman aku berlari keluar kamar sambil memegang pedang pemberian ayahku mencari keluargaku saat melihat seseorang di tengah aula saat ku dekati dia , dia menoleh ke arahku wajah nya menyeringai seram dan berkata
" ah halo kamu putri dari orang ini ? "
Di menggelindingkan sesuatu
Aku terpaku melihat benda yang di gelindingkan itu adalah kepala ayah dan ibuku . Aku berteriak
" KYAAAAAA AYAHH MAMAA "
" tenang saja putri kamu akan segera menyusul mereka , adik adik mu juga sepertinya sudah terbakar habis "
Pikiran ku kacau balau , aku putus asa tidak tau apa yang harus ku lakukan disaat seperti ini aku tidak bisa kabur , pada saat itu tanpa pikir panjang aku menyerang nya dengan pedang pemberian ayah berlari menuju monster itu tetapi saat ku ayunkan pedang itu keperutnya pedang itu hancur
Tidak ada harapan lagi ini lah akhirnya hidupku yang sudah ku rencanakan hancur seketika , monster itu menempisku aku terlempar dengan kencang ke lantai , rasanya seperti tulangku patah semua
"khi khi khi khi , kamu putri yang pemberani sepertinya seru jika aku bermain main dengamu sebentar " kata monster itu
Pandanganku kabur saat aku melihat darah mengalir dari kepalaku , dadaku sakit sekali seperti mau pecah pada saat itu di depanku bukanlah monster itu tetapi sosok putih yang membawa bintang berwarna biru muda dia berkata kepadaku
" balas dendam , Itu yang kamu inginkan? " Tanya sosok putih itu
" si-siapa? "
" bintang ini ada dalam dirimu , temukan dua yang lain dan jadilah lebih kuat "
Setelah berkata seperti itu sosok itu menghilang dan tiba tiba dadaku bersinar sakit di seluruh tubuhku menghilang, badanku menjadi ringan saat itu pun muncul senjata, saat ku sentuh ,senjata itu berubah menjadi gunting besar tetapi gunting itu sangat ringan saat itu aku berpikir bisa mengalahkan monster itu
Apa apaan bagaimana bisa seorang putri sepertimu memiliki sihir? , Dan datang dari mana gunting besar itu " tanya monster itu terheran heran
" siapa yang menyuruhmu? " Tanya ku
" khi khi khi kamu pikir kamu keren , kemarilah biar ku penggal kepalamu "
aku memasang kuda kuda dan dengan secepat kilat aku memengalnya
"eh "
Kepala nya terjatuh menggelinding ke arahku cipratan darah yang sangat deras keluar dari tubuhnya dan menguyurku Sampai tubuh ku terselimuti oleh darahnya disaat itu pun aku tersadar
" ini belum cukup!, Akan ku bunuh semua nya "
" ayah, mama ,chole ,Rin tunggu saja akan ku balas kan dendam kalian "
Saat itu pun aku meninggalkan kediaman yang hampir terbakar habis meninggalkan keluargaku
Saat itu aku berkelana ke negeri lain mencari pengalaman dan menjadi pembunuh bayaran disana. bertahun tahun aku Melakukan nya dan akhirnya aku kembali ke kota kelahiranku saat umurku 18 tahun dan betapa kagetnya aku , ternyata aku adalah buronan disana melihat wajahku di pasang di seluruh papan pengumuman
" penghianat kerajaan? Haaa apa apaan ini!! Jadi mereka membuat skenario seakan akan keluargaku yang mengkhianati kerajaan setelah semua yang dilakukan ayahku ?"
Setelah membacanya aku pun terpaksa memakai topeng dan bersembunyi di balik kegelapan
" aku harus mencari bintang itu "
Semua ini demi balas dendam
7 notes
·
View notes