#kedirian
Explore tagged Tumblr posts
Text
Separuhku habis, kini bersisa:
Ibu yang baik. Sebab aku sepertinya sudah gagal menjadi istri seperti yang kau damba.
Lalu menemukan kedirian lain: menikmati kesendirian dengan segala beban yang kuluapkan di bantal tidurku.
Aku sedih, tapi tak lagi bisa menangis. Sebab usahaku ternyata tak berbuah apa-apa untukmu.
Menyerah, tapi tak berhenti.
***
Makassar, Februari 2023.
3 notes
·
View notes
Text
Hamba Kurang Ajar
Iya, akhir-akhir ini saya kembali memulai ritual-ritual lama yang dulu rutin saya lakukan untuk sekadar menenangkan pikiran yang seringkali kalut. Semakin dewasa memang semakin kompleks masalah yang kita rasakan. Setelah sedikit memberi jeda, memang ritual-ritual lama itu cukup memberikan pandangan atau sedikit kelegaan. Salah satunya menulis seperti ini.
Salah satu ritualnya adalah membaca tulisan-tulisan di mojok.co. Iya, buat saya laman berita, esan dan tulisan aneh itu punya banyak cerita dan salah satu peletak batu pertama minat menulis saya. Topik yang asyik dan tulisan kritis dibungkus secara apik dengan gaya yang menggembirakan. Sakit hati bisa jadi bawah tawaan yang dalam, karena dibalik tawa ada makna yang dalam di setiap tulisannya.
Nah, saya coba buka lagi tulisan-tulisan mojok.co yang dulu saya muroja’ahi (ulang-ulangi) agar pesannya meresap dan jadi sikap dalam alam pikiran saya.
Ketemulah saya dengan tulisan Mas Aziz Ahmad yang judulnya “Bagaimana Surat Bu Shinta Nuriyah ke Gus Dur Selamatkan Saya dari Depresi Gagal Nikah”
Seketika saya ngakak (wkwkwk) karena tautan itu itu saya pin di whatsapp saya. Saya membayangkan, ketika itu sempat sesedih itu membaca tulisan ini. Mungkin karena merasa senasib dan sepenaggungan serta perasaan saya begitu terwakilkan di tulisan Mas Aziz wkwk
Kemudian saya coba untuk membaca pelan-pelan dengan kondisi yang saat ini, dengan pengalaman yang kini mungkin sudah berbeda. Saya menemukan satu paragraf yang menarik. Tulisan Mas Aziz seperti ini
“Sekali waktu saya membaca kumpulan cerpen Gus Mus dalam bukunya Konvensi. Dalam salah satu cerpennya, beliau mengutip Syekh Ibnu Athailah yang seolah menampar kedirian saya. Katanya, kita sering ngotot dan mati-matian untuk mendapatkan apa-apa yang sudah Tuhan tentukan (kayak jodoh misalnya). Sebaliknya, kita justru mengabaikan apa-apa yang menjadi kewajiban kita sebagai makhluk-Nya atau apa-apa yang Tuhan minta dari kita.”
Ngakak saya terhenti di paragraf ini. Duh Gusti. Iya.
Inilah yang seringkali kita lupa, terutama saya yang suka kelewatan kalau sudah urusan dengan Tuhan. Kita seringkali menuntut atau ngotot dengan apa-apa yang sudah digariskan Tuhan kepada kita. Tapi kita lupa dengan apa yang diminta Tuhan kepada kita.
Kadang saya merasa menjadi hamba yang kurang ajar. Sudah tau hamba malah terus-terusan ngeyel. Tapi kata Gus Baha, barangkali kalau kita membayangkan dosa-dosa kita, kesalahan-kesalahan kita dan kelalaian-kelalaian yang kita lakukan di masa lalu, tidak ada kata surga dalam kamus beragama kita. Tapi kalau ingat kasih sayang Tuhan ke kita yang lebih dari murkaNya, surga terbentang luas untuk kita.
Kita seringkali memaksa Tuhan untuk mengabulkan permintaan kita, namun kita seringkali sengaja teledor dengan kewajiban kita. Pokok dari agama adalah penghambaan. Kita diminta sujud, minta ampun dan berdoa itu karena kita memang seorang hamba yang tidak mampu berbuat apa-apa ketika yang punya hamba ini menakdirkan sesuatu.
Bahkan doa, kalau kata guru saya, yang penting adalah doanya, karena dalam doa ada sisi ketidakmampuan kita yang kita sodorkan untuk minta pertolongan kepada yang punya kuasa. Iya, Tuhan kita. Dalam doa ada ketergantungan yang paripurna dan harapan kepada dzat yang bisa membuat apapun yang mustahil menjadi nyata.
Iya, kita seringkali lupa menjalankan yang Tuhan minta karena terlampau ingat dengan apa yang kita minta kepada Tuhan.
Tulisan ini juga hanya refleksi, belum tentu juga saya bisa melakukan. Namun setidaknya tulisan ini akan jadi pengingat, nanti ketika kelalaian saya dimulai lagi.
Tuhan, aku sayang pada-Mu. Tulisan Mas Aziz : https://mojok.co/esai/bagaimana-surat-bu-shinta-nuriyah-ke-gus-dur-selamatkan-saya-dari-depresi-gagal-nikah/
1 note
·
View note
Text
Adakah muncul padanya sesal yang begitu dalam jika aku sampai pada halaman terakhirku. Ataukah senyum bahagia tersemburat dari wajahnya karena yang membuat hatinya lara telah tiada. Tak ada lagi potensi sebab yang menyakiti. Tak perlu lagi memendam kekesalan karena penyebabnya telah usai.
Mengapa begitu tebal nya hingga firasatnya seperti bukan kebenaran. Hanya muncul keburukan saja dalam pelupuk matanya. Bagaikan kebencian yang menampakkan segala aib. Tak terkata, tak terucap. Hanya keheningan yang mampu dibuatnya. Hingga membuat orang tenggelam dalam genangan kebingungan.
Inikah mudharat itu. Bagai sulit menemukan sisi yang baik sehingga tak mudah hati melembut. Tetap pada posisinya merasa benar. Maka yang tak sejalan dengannya adalah salah. Semua tentang diri, selainnya maka kekeliuan. Itukah kedirian yang begitu sulit mengempati. Sulit merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Batu itu kuingin menetesinya bulir demi tetes. Entah sampai kapan ia menceruk. Atau Ia tetaplah cadas namun tersakiti karena air perlahan menyayat tubuhnya perlahan.
0 notes
Text
- Kata “hati” memiliki 2 arti.
1. melambangkan bagian tubuh yang paling vital, terletak di dada bagian kiri dan menyerupai buah pinus.
- Dalam kaitannya dengan struktur dan jaringannya, jantung berbeda dari semua bagian tubuh lainnya: - ia mempunyai 2 daun telinga dan 2 ventrikel, merupakan asal dari semua arteri dan vena, bergerak dengan sendirinya, bekerja seperti motor, dan seperti pompa hisap. menggerak kan darah melalui sistem.
- Dalam terminologi Sufi, “hati” menandakan aspek spiritual jantung biologis sebagai pusat dari semua emosi dan kemampuan (intelektual dan spiritual), seperti persepsi, kesadaran, sensasi, penalaran, dan kemauan. - Para sufi menyebutnya “kebenaran manusia” - para filsuf menyebutnya sebagai “kedirian yang berbicara”.
- Sifat sejati seseorang terletak pada hatinya. - Sehubungan dengan aspek intelektual dan spiritual dari keberadaan ini, seseorang mampu mengetahui, memahami, dan memahamkan. - Roh adalah esensi dan dimensi batin dari kemampuan ini - roh biologis atau jiwa adalah tunggangannya.
- Hati seseorangblah yang disapa Robb dan yang memikul tanggung jawab, menerima siksa atau diberi pahala, ditinggikan melalui petunjuk yang benar atau direndahkan melalui penyimpangan, dan dihormati atau dihina. - Hati juga merupakan “cermin yang dipoles” yang di dalamnya ilmu Ilahi tercermin.
- Hati atau kecerdasan spiritual, jika kita boleh menyebutnya demikian, memiliki hubungan intrinsik dengan mitra biologisnya.
- Sifat hubungan ini telah dibahas oleh para filsuf dan orang bijak Muslim selama berabad-abad. - Apa pun sifat hubungan ini, tidak ada keraguan bahwa ada hubungan erat antara hati biologis dan hati “spiritual”, yang merupakan kemampuan Ilahi, pusat kemanusiaan sejati, dan sumber semua perasaan dan emosi manusia. .
- Dalam Al-Qur'an, ilmu-ilmu agama, akhlak, sastra, dan tasawuf, kata “hati” berarti hati yg rohani.
0 notes
Text
Beberapa alasan (di saat kita jadi seorang anak) untuk menghapus istilah toxic parent.
----opini pribadi---- (hampura inimah kalo gak sejalan).
Dalam pandangan ahli ibadah, ibadah dan segala hal yg menyokongnya adalah kenikmatan. Shalat adalah nikmat, pun puasa, pun zakat, dan seterusnya. Seluruh rangkaian ibadah adalah aktivitas berkesinambungan yg mempunyai efek ledak terhadap kesenangan (dan ketenangan).
Seorang ahli ibadah baru dapat dikatakan telah menikmati manisnya iman jika dia sudah di tahap ini. Tahap di mana segala bentuk peribadatan terasa menyenangkan dan ia melakukannya dengan lahir dan batin yg riang. Seorang ahli ibadah juga akan teramat hormat kepada orang-orang yang menyokong peribadatannya, guru misalnya.
Jika guru sepatutnya dihormati (terlebih dalam tradisi sufi) karena dianggap telah membawa kita kepada pencerahan, apatah lagi orang tua (yg seberapapun buruknya) telah membawa kita kepada kehidupan? Dan bukankah daya hidup ini adalah modal dari segala jenis pencerahan?
Haha. Itu aja sih. Setiap mau judging toxic parent, aku selalu mengingat bahwa serumit apapun kondisi kita dengan orang tua, "modal" yg mereka berikan kepada kita adalah "modal" yg fundamental. Yaitu kehidupan itu sendiri.
Dan di atas itu semua, adalah perintah Nabi soal memuliakan ibu-bapak, aku rasa cukup meredupkan ego kita. Biar perbuatan baik-buruk menjadi urusan masing-masing dari kita, atas hal itu, semoga perbuatan buruk manusia lain gak menghalangi kita untuk menaati nabi.
Sampai kita ketemu beliau (saw) dalam keadaan kita bilang begini "ya Rasul, aku sudah banyak mengenyampingkan kedirian-ku. Kalo bukan engkau untuk berada di satu jalan yg sama dengan engkau, aku gak mau juga sih aslinya.." 🤣
0 notes
Text
Makna dan Panggilan Kependetaan di Era Milenial : Menemukan Otentisitas dan Kolaborator
“Manusia adalah roh. Tapi apakah roh itu? Roh adalah diri. Namun apakah diri itu? Diri adalah suatu relasi yang menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri atau merupakan relasi yang menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri dalam relasi tersebut; diri bukanlah relasi, melainkan relasi yang menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri. Manusia adalah sintesis dari yang tak terbatas dan terbatas, dari yang sementara dan yang kekal, dari kebebasan dan kebutuhan, singkatnya, sebuah sintesis. Sintesis adalah hubungan antara dua hal. Dilihat dengan cara ini manusia masih belum menjadi diri.... Dalam relasi antara dua, relasi adalah yang ketiga sebagai satu kesatuan negatif, dan keduanya berhubungan dengan relasi dan dalam relasi dengan relasi; dengan demikian di bawah kualifikasi psikis, hubungan antara psikis dan fisik adalah suatu relasi. Namun jika hubungan itu menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri, maka hubungan ini adalah pihak ketiga yang positif, dan ini adalah diri.”
Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death: A Christian Psychological Exposition for Upbuilding and Awakening
Sebagai seorang yang menyenangi eksistensialisme, saya menghormati Kierkegaard sebagai seseorang yang berhasil mendorong saya menemukan dan memaknai diri. Karya tulisannya berhasil membuat saya masuk lebih dalam untuk menguji dan medekonstruksi diri dalam menimbang ulang berbagai nilai yang menjadi filosofi hidup saya. Dan dari pernyataannya di atas, kuatlah keinginan saya untuk mengaitkan keterikatan diri kita dengan siapa kita dan relasi bersama “yang lain” dan kepemimpinan. Bagi saya, pemimpin adalah seseorang yang menemukan urgensi mengenali diri dan mau berproses untuk menunjukkan keaslian dirinya dan membangun terus relasi sehat bersama sekelilingnya. Memimpin adalah memberi pengaruh melalui kedirian.
Definisi ini sebenarnya sangat sederhana. Soal memberi pengaruh. Dan karenanya hidup manusia teramat bernilai. Demikianlah Kejadian 1 dan 2 mengingatkan melalui diksi “segambar dan serupa” dengan Allah, dan “mengusahakan dan memelihara” : keberadaan dan fungsi. Nilai dan tugas. Tidak ada manusia yang tak bernilai karena adanya dia di dunia merupakan karya Allah tak ternilai dan bagi sebuah tujuan. Tujuan kekekalan dan kebaikan.
Kependetaan adalah sebuah jabatan gerejawi di mana seorang anggota sidi jemaat dipersiapkan melalui pendidikan khusus dan pendampingan sebelum akhirnya dia memeroleh tahbisan dalam dukungan Gereja untuk menjadi seorang pelayan Gereja penuh waktu. Beginilah GKP memahami kependetaan. Jabatan ini terutama berkaitan dengan panggilan khusus seorang pendeta dalam pelayanan Firman dan Sakramen. Keduanya tak bisa dilakukan oleh pelayan non tahbisan (di GKP hanya pendeta saja). Dalam asumsi bahwa pendeta sudah dipersiapkan untuk melakukan dan mengembangkan kapasitasnya dalam pelayanan sacramentum dan pemberitaan Firman.
Jika kemudian kita melihat pelayanan Firman dan Sakramen hanya soal kotbah maka layang pandang kita sempit sekali. Dua bagian ini saya maknai selama hampir 12 tahun jadi pendeta sangat luas sekali. Tergantung dari bagaimana seorang pendeta paham makna dan tugasnya. Untuk bisa melihat makna dan tugas nya yang tersembunyi dalam realitas kemanusiaan dan relasi di gereja dan masyarakat, pendeta perlu spiritualitas dan proses bernalar terus menerus.
GKP, Gereja Kristen Pasundan tak akan pernah bisa menyempitkan makna dan tugas kependetaan hanya soal kotbah di atas mimbar. Mengapa? Karena sejak dari awal, jemaat-jemaat GKP telah hadir dan bertumbuh melalui pelayanan kotbah sosial, yaitu keterlibatan secara aktif anggotanya dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan dan memberitaan Firman melalui karya Pembangunan jemaat dalam pendidikan, kesehatan, konsultasi hukum, pendampingan korban ketidakadilan, pemberdayaan ekonomi dan sebagainya.
Baiklah, saya menilik panggilan kependetaan yang saya kaitkan dengan jemaat Kampung Sawah, tempat ketiga saya mutasi. Jemaat ini memulai kiprah kekristenannya sejak tahun 1847 dan menumbuhkembangkan dirinya dalam berbagai relasi yang dibangunnya bersama masyarakat. Jemaat ini tak pernah lepas dari dirinya sendiri dan masyarakat. Anggotanya kebanyakan saudara bersaudara secara darah dan melalui perkawinan. Kemudian juga menjadi sodara melalui relasi berteman dan membangun RT, RW, Kelurahan, Kecamatan bahkan Kota. Hidup bersama-sama sebagai warga Kampung Sawah dihayati oleh orang Kristen Kampung Sawah dengan hidup yang peduli, rukun, mau saling bantu dan menopang. Apa yang menjadi kesulitan dia maka itu juga menjadi tanggungjawab saya. Demikian pemberitaan Firman dan Sakramen dihidupi oleh jemaat ini.
Maka, pelayanan saya secara organisatoris sebagai Ketua MJ bidang Keesaan dan Kesaksian menjadi sebuah pelayanan strategis yang sangat bermakna bagi saya melihat konsepsi identitas Kampung Sawah. Sebagai Gereja milik Allah, Kampung Sawah terus menjadikan dirinya berdaya dan memberi pengaruh. Sebagai sebuah jemaat dalam konsepsi identitasnya, jemaat Kampung Sawah terus memaknai diri dan panggilan sebagai sebuah Persekutuan Kristen tertua di Kampung Sawah yang menjadi panutan dalam semua karya baiknya bagi dunia. Dan apa peran pendeta dalam itu? Apakah dia yang utama? Apakah dia pusat ? Tidak.
Ada banyak pendeta yang sudah melayani Kampung Sawah. Bahkan sebelum kami para pelayan tertahbis ini, ada guru jemaat yang sudah lebih dulu merintis pelayanan gerejawi dipandu dan ditemani oleh banyak anggota jemaat dan masyarakat. Semua orang ini memberi kontribusi yang penting sehingga menjelang 150 tahun usianya, Kampung Sawah hadir sebagai adanya dirinya saat ini. Masing-masing dengan peran yang signifikan. Begitu saya menyebutnya. Penting. Gereja telah memberi percayanya pada kami menjadi rekan sekerja bersama jemaat.
Saat ini, jemaat Kampung Sawah hadir dalam periode dunia yang mendigital. Sebuah dunia yang dihidupi oleh manusia yang mencoba menemukan identitas dalam perkembangan teknologi juga dipengaruhi olehnya. Dalam diri dan panggilannya, pendeta memiliki tantangan dalam menunaikan tugasnya. Kini dan mungkin nanti, relasi gereja dengan anggotanya, cara para pemimpin gereja berkomunikasi dengan umat dan dunia, sangat dipengaruhi oleh mental manusia yang dipengaruhi digitalisasi.
Digitalisasi membawa kemudahan pada hidup manusia. Namun di dalam soal memaknai kemanusiaan ada yang patut diwaspadai. Ketika berbagai alat manusia ciptakan dan kendalikan, mestilah disadari bahwa manusia bisa saja melakukan kesalahan dan kelalaian. Dehumanisasi bisa terjadi. Kecanggihan teknologi dipergunakan untuk memutus relasi dan bukan membangunnya. Teknologi bisa dipergunakan untuk membunuh manusia dan bukan menopang kehidupannya. Teknologi bisa dipergunankan untuk menghancurkan sebuah peradaban, system sosial dan bukan merawat dan membangunnya ke arah kebaikan.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin yang memberi pengaruh, pendeta perlu terus belajar memaknai ini. Dan jalan pertama yang saya ingin ajukan dalam obrolan saya dengan teman-teman mahasiswa yang saat ini saya tutor bersama Komisi Tutorial Sinode yang adalah calon-calon pendeta adalah sebuah upaya masif untuk terus menemukan keaslian diri dan mengembangkan nalar.
Otentisitas artinya asli, bisa dipercaya, dan valid. Gen Z atau generasi yang lahir tahun 1990 an sangat serius menggumuli keaslian diri dalam kemanusiaan. Itulah yang mereka coba temukan dalam semua platform media sosial, dan ini menjadi peluang bagi Gereja untuk memperkenalkan Kerajaan Allah. Pemberitaan kasih dan kebaikan Allah melalui Firman dan Sakramen menjadi sebuah tantangan baru bagi Gereja dan khususnya para pendeta untuk secara sadar terus berani menjadi diri sendiri, dan tak malu mengajak generasi muda gereja menunjukkan keunikan, menerima diri, berdamai dengan banyak hal di tengah semua persoalan hidup mereka, dan berbuat sesuatu yang baik bagi diri dan lingkungannya.
Digitalisasi juga tak akan lepas dari kolaborasi. Hampir di semua lini hidup bermasyarakat, kolaborasi menjadi opsi dalam bekerja. Bahkan gawai yang kita gunakan menggunakan filosofi kolaborasi yang kuat. Semua aplikasi di gawai kita saling berkolaborasi memainkan peran untuk menolong kita dalam melaksanakan tugas-tugas dalam keseharian. Kolaborasi memungkinkan kita memahami bahwa dalam kesadaran kita unik, kita menghormati keunikan orang lain karena kita membutuhkan orang lain untuk menopang. Sudah gak zamannya lagi kita kerja sendirian! Kita berkolaborasi untuk membangun sebuah system yang lebih efektif dan efisien untuk menyelesaikan persoalan.
Prinsip ini mengarahkan fungsi kependetaan yang kedua yaitu menjadi pionir dalam kolaborasi. Tapi, seorang pemimpin yang bisa memandu kolaborasi hanyalah seseorang yang bisa menerima diri sehingga menerima orang lain. Hanya dengan jalan self esteem atau penerimaan diri yang kuat, maka seorang pendeta bisa meretas jalan kolaborasi umat dengan masyarakat dan dunia. Pendeta perlu memaknai kolegialitasnya seperti ini: bahwa saya unik, tapi teman saya juga, maka kalau saya menggandengnya maka kerja kami akan cepat selesai dan berhasil. Merasakan bahagia dalam keistimewaan orang lain dan mendukung orang lain sehingga bisa mencapai level terbaik dalam hidupnya. Hanya pemimpin otentik dan kolaboratif yang bisa seperti ini.
Konsep menjadi pusat atau utama bukanlah konsep yang menyenangkan. Karena menjadi pusat hanyalah milik Kristus dalam kependetaan. Pendeta bukanlah sosok yang layak diutamakan karena periodisasi pelayanan mereka yang sebentar di jemaat GKP maka mesti memikirkan bagaimana dalam periode pelayanan, dia bisa menumbuhkembangkan umat melalui otentisitas dan kolaborasi. Kependetaan yang menjadi pusat juga tidak spiritual karena pendeta hanyalah anggota Tubuh Kristus di mana Kristus yang seharusnya jadi pusat. Semakin mendalam spiritual seorang pendeta harus memungkinkannya untuk melepas dan menyiapkan kepemimpinan berikutnya.
Dalam meretas jalan inilah saya mencoba menumbuhkembangkan diri selama tiga setengah tahun ke depan. Semoga dengan pertolongan Allah Tritunggal Maha Kudus yang selalu mengingatkan saya akan gerak perikoresis yang menopang saya, saya mampu terus menggumuli keaslian diri dan bergairah berkolaborasi. Dengan demikian bersama sahabat-sahabat pendeta dan anggota jemaat, saya bisa menikmati pelayanan kependetaan yang tidak mudah namun bernilai demi kemuliaan Allah. Semata bagi Dia.
Terpujilah Allah dalam jemaatNya!
0 notes
Text
Mari kita sudahi menjadi patung, alias mencoba mengurangi banyak interaksi horizontal dan menambah interaksi vertikal. Kenapa patung? karena kadang kita harus 'menghilangkan kedirian' untuk merasakan Allah. Kita ini cuma hamba, gak ada artinya tanpa Allah, kek patung. Istilah lainnya yang sering kupakai 'lagi masuk ke gua hira'.
Menjadi patung atau masuk ke gua hira diawali karena beberapa bulan ke belakang merasa vibes sedang negatif-negatifnya. Cahayaku seperti mati total. Hati menjadi kotor. Pikiran dan akhlak pun lebih banyak kacaunya.
Hari ini tergerak lagi menggapai buku zei. Bukan untuk mendrama atas kepergian. Tapi seperti rindu saja dengan aura positivenya. Setelah diingat lagi, ini Mei ke-5 kepulangan almarhumah. Mengingat zei, bagiku seperti mengingat tentang kematian. Iya, mengingat kematian yang merupakan salah satu dari obat hati itu.
Saat membaca satu dua cerita, senyum pasti merekah. Aku juga mau mati dengan banyak meninggalkan kebaikan untuk sekitar seperti almarhumah. Kondisi hati memang cuma Allah yang tahu. Semoga almarhumah masuk ke surga-Nya dengan rahmat Allah yang melimpah ruah. Begitu pun dengan kamu dan aku yang masih berupaya menunaikan misi kebaikan karena-Nya semampunya. Selamat berjuang :)
27 Mei 2023
pengalaman selama beberapa bulan lalu juga seperti menyadarkan untuk fokus saja dulu ke pembenahan diri sendiri.
1 note
·
View note
Photo
Sebuah Jumat malam Sabtu. . #SEW1NDU #kedirian #bimmerkediri #bimmerskediri #bmwccikediri #bmwccikedirichapter #teambledhugkelud #joyishere #joyisalwayshere #4ever (at Stadion Brawijaya) https://www.instagram.com/p/CgdUgm9vLYo/?igshid=NGJjMDIxMWI=
#sew1ndu#kedirian#bimmerkediri#bimmerskediri#bmwccikediri#bmwccikedirichapter#teambledhugkelud#joyishere#joyisalwayshere#4ever
0 notes
Photo
Reposted from @warunk.simbah #PROMOMONDAY Beli Burger gratis kopi Hanya Hari ini 🍔☕ Khusus Dine in 👍 📍 @warunk.simbah #warunksimbah #cafehits #kedirihits #kulinerkediri #kediripromo #viralinkediri #kedirihype #kedirihype #kedirinda #pehkediri #kulinerburger #nongkrongkediri #kedirikeren #kedirian #kedirijatim #simbah #jelajahkopiid #jelajahkediri #jelajahkuliner #kediripromo #promokediri #hambapromo #cashbackkediri @kediripromo #giladiskonkediri #hambadiskon #mantapmantap _______________________________________________ ~~~* jangan lupa follow instagram mimin *~~~ >>> @hambapromo @makanmantapmantap <<< _______________________________________________ https://www.instagram.com/p/CGhHSP7FmRv/?igshid=q558owxlk0rk
#promomonday#warunksimbah#cafehits#kedirihits#kulinerkediri#kediripromo#viralinkediri#kedirihype#kedirinda#pehkediri#kulinerburger#nongkrongkediri#kedirikeren#kedirian#kedirijatim#simbah#jelajahkopiid#jelajahkediri#jelajahkuliner#promokediri#hambapromo#cashbackkediri#giladiskonkediri#hambadiskon#mantapmantap
0 notes
Text
Berharap Dihadapan Langit Pagi.
Tentunya saya juga pernah membayangkan fenomena semacam ini terjadi dihidup saya, ketika saya melihat langit pagi di pegunungan. Namun bukan seperti orang-orang pada umumnya yang "berkehendak" akibat psikis, fisiologis, sosiologis, kultural atau apapun itu, melainkan saya membayangkan hal tersebut akibat menyadari keterlemparan saya di dunia sebagai kedirian ontologis khosmosian, maupun promethean pendamba khosmos yang selalu mencari, menjadi, dan mewaspadai (dasein to becoming).
2 notes
·
View notes
Text
Orang Lain (?)
Dan aku akhirnya menemukan ritme yang kau lakukan
Belum sempat kunikmati
Aku menemukan diriku sudah habis
Untuk sebuah rasa tentang menghargai kedirian
Betapa aku ternyata sudah lama sekali menanggalkan tubuh yang kudiami
Lalu dengan sembrono menunjuk kau sebagai penemu ulung yang menjulurkan kebahagiaan padaku
Padahal
…
Bagimu, kau hanya sedang hoki menemukan salah satu perempuan yang bisa dengan mudah mengisi kebosananmu.
Sedang bagiku, kau adalah jawaban atas kekopongan diri yang kukira bisa diisi hanya dengan bercumbu.
Ternyata tidak. Aku mencintaimu, lalu sadar kau tidak bahkan hingga aku habis.
***
1 note
·
View note
Text
Juguran Moderasi Cinta
Cinta yang terbesar yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan semoga kita bisa jadi bagian dari hamba-hamba yang dirindukan olehNya. Aamiin
Hubungan antara hamba dan Rabbnya, sampai detik ini sudah semesra dan sedekat apa hubungan kita dengan Rabb kita? Mungkin sebagian prang masih menganggap hubungan manusia dan Allah hanya seperti hubungan hamba dengan tuhannya, namun kalau kita lihat ulama-ulama tasawuf terdahulu, mereka benar-benar menganggap Allah itu sebagai Illah (sesembahan) yang senantiasa mereka rindukan, mereka cintai dan sayangi sebagaimana sikap mereka dengan pasangannya. Setiap kali mereka melangkah, yang diingat Allah, ketika mereka berjalan, berbaring, atau melakukan aktivitas apapun yang diingat senantiasa Allah. Bagaimana supaya Allah meridhoi mereka, bagaimana supaya Allah mencintai dengan lebih kepada mereka, dan bagaimana supaya ibadah-ibadah mereka dan setiap apa yang mereka lakukan, bisa membuat mereka semakin dekat dengan Allah.
Tasawuf mempromosikan jenis hubungan dengan penuh cinta kasih antara Tuhan dan manusia, antara khaliq dan makhluq, antara ma'bud dan 'abid dan seterusnya. Yakni ketika segenap kedirian kita, nafsu-nafsu duniawi kita, telah terkendalikan berkat mujahadah (perjuangan keras) mengendalikan san mengolah (riyadhoh) jiwa kita hingga ia tersucikan. Sehingga kembali lebur (fana) dan tinggal tetap (baqa) didalam tuhan sumber awalNya.
Al-qur'an pun menegaskan hubungan cinta antara Allah sang Pencipta (al-wadud) dan manusia ada dalam Al-qur'an surah Al-maidah ayat 54, Al-Baqarah ayat 165, 216. Dalam Surah Al-baqarah ayat 165
وَالَّذِينَ ءَامَنُوٓا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
"Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah".
Dalam hadist, juga disebutkan dengan gamblang sebagai ihsan. "Memuja Allah dengan penuh cinta dalam keadaan (seolah-olah) melihatNya. Dan jika kau tak bisa melihatnya, maka (sadarilah bahwa) Dia melihatmu".
Dengan cara membaca qolamnya Ibn 'Arabi. "Memuja Allah dengan penuh cinta dalam keadaan melihatNya (dengan mata batin). Dan jika kau (sudah bisa membuat dirimu) tiada, kau akan melihat-Nya".
Ada juga syair yang berisi: "Kunty Kanzan Makhfiyyah, fa ahbabtu an u'rafa' daftar kholaqtu al-khalqa li kay u'ruf." [ Aku adalah perbendaharaan yang terpendam. Maka aku akan Cinta/ Rindu (ahbabtu) untuk diketahui. Maka Aku ciptakan Alam semesta].
Jadi intinya kita harus terus mencari perhatian sama Allah, gimana caranya supaya Allah semakin care sama hambanya, bagaimana caranya supaya Allah melimpahkan Rahmat dan keberkahanNya pada kita. Apabila mindset kita sudah seperti itu, pasti setiap hamba akan semakin bersungguh-sungguh melakukan ibadah terbaiknya di hadapan Allah. Kita akan berusaha sebaik mungkin menjalankan perintahNya dengan usaha arau upaya terbaik kita, dengan tujuan tidak lain agar Allah pun mau mencintai kita dan mencintai hamba-hamba terbaik pilihanNya .
1 note
·
View note
Text
Ke-diri-an
“Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu”
Kalimat bernapas sufistik ini nantinya akan menjadi mahsyur bagi kalangan pencinta sebagai adagium pencarian dirinya terhadap Tuhan. Tersebut bahwa “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh mengenal Tuhannya” merupakan slogan paling eksistensialis yang pernah saya dengar dalam konteks ini. Betapa tidak, ketika filsafat lain berbicara seputar ke-Akuan, kedirian dengan segala kebisa-annya. Kaum sufi mampu menemukan kemungkinan baru atas pencarian diri, yakni ketiadaan.
Kadang setelah berhasil mengerjakan sebuah hal, remeh sekalipun, kita akan langsung merasa bangga luar biasa atas pencapaian kita. Seperti saya, saat berhasil membikinkan kepiting asam manis favorit keluarga kami. Sebuah peristiwa yang memberi efek dramatik bagi saya. Pelan-pelan tapi pasti saya memuji masakan saya sendiri dan membanggakannya kepada istri. Mungkin sebuah hadiah perayaan bagi diri sendiri. Karena atas sayalah akhirnya makanan itu dapat masuk dalam aliran perut kami. Melalui perjalanan panjang fisik dan batin agar kepiting itu ada di atas meja santap kami.
Sadar atau tidak, dalam hidup sehari-hari kita selalu merasa haus atas pengakuan diri. Kita selalu rindu akan pengakuan dari orang lain atas pencapaian kita terhadap sesuatu. Dari mulai cara laku, cara tutur, sampai ke cara pikir, kita selalu butuh sanjungan dari orang lain. Kini orang berbondong-bondong membeli celana cingkrang agar dianggap ahli ibadah. Berjanggut tebal-tebal agar diakui pintar agama.
Namun kalau kita tarik lebih dalam ternyata semua kedirian itu hanyalah semu. Sebab prasyarat kedirian semacam itu membutuhkan orang lain sebagai objek yang meng”aku”. Paradigma tadi membutuhkan minimal dua individu yang mengaku kediriannya. Bagaimana bisa kedirian dihadirkan pada sesuatu yang tidak tunggal? Maka sebaiknya kita taruh kedirian kita bukan lagi bertumpu atas pengakuan orang lain. Mari kita menyelam lebih jauh terhadap diri sendiri bahwa pengakuan diri bisa atas diri sendiri saja. Orang lain tak perlu ada yang mencampuri urusan diri sendiri. Maka kita akan mengenal siapa sesungguhnya kita dalam hidup kita sendiri. Peran apa yang sedang dijalani sebagai wayang dari Sang Dalang Semesta.
Lalu kita coba hadirkan ruh kalimat tadi ke dalam situasi seperti ini. Bahwa mengenal diri yang sesungguhnya adalah saat kita mendapati diri sebagai ketiadaan. Kita dapat makan malam dengan kepiting asam manis hari itu karena saya punya uang untuk beli. Saya punya uang karena bekerja tiap hari. Saya bekerja karena untuk hidup dan menghidupi. Namun jika suatu saat berbagai kenikmatan itu dicabut Sang Empunya? Maka cerita tersebut hanya jadi sesuatu yang terbalik-balik. Sebuah ketidakmampuan. Bahwa hidup kita menjadi persoalan sampai mana kita berhasil mengatasi ketidakmampuan itu.
Sebenarnya kemampuan kita hanyalah sepercik pancaran sifat-Nya yang maha luas. Kita mendengar karena Ia Maha Mendengar. Kita melihat karena tak sebutir zarah-pun yang tak terlihat oleh-Nya. Kita membikin sesuatu karena Ia Maha Kreator atas segala ciptaan-Nya. Maka, ketika kita yang hanya diberikan sepercik sifatNya, dihadapkan pada kuasa-Nya, apa yang telah diberikan lalu dicabutnya, apalah kehendak kita.
Jadi, kedirian hanyalah sebatas persoalan sejauh mana manusia mengetahui bahwa ia hanyalah sebuah ketiadaan. Niscaya jika kita berhasil mencapai titik itu, maka tirai penutup Tuhan akan tersingkap, dan kita diizinkan untuk mabuk sebagai kekasihNya.
Kalau saya sepertinya masih sangat jauh dari titik itu. Sebab nyatanya saja, saat dipaksa oleh istri untuk masak kedua kalinya, saya lupa bumbunya.
3 notes
·
View notes
Text
#27 Kebiasaan
”Manusia adalah anak kandung dari kebiasaannya,"
tulis Ibnu Khaldun dalam bukunya Mukadimah. Rumusan yang diberikan ilmuwan muslim ini tentunya hendak menerangkan pada kita betapa eratnya kaitan setiap kebiasaan yang dilakukan hingga mampu mengkarakterisasikan diri seseorang.
“You are what you read”
Begitu kata sastrawan Irlandia, Oscar Wilde. Siapa dirimu bisa dilihat dari buku-buku yang kamu baca. Kutipan dari Oscar Wilde tersebut mengajarkan pada kita bahwa kualitas diri seseorang didapatkan dari hasil bacaan yang ia peroleh. Dan I think, ini berlaku untuk segala jenis aktivitas.
Dari bahan bacaan, tontonan, dan kebiasaan sehari-hari sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan syukur kita. Saya memandangnya sebagai bahan bakar dalam melaksanakan aktivitas, pengaruhnya sangat luar biasa, juga pikiran-pikiran kita kan dibawa kemana itu bergantug dari ketiga hal tersebut. Menurut hemat saya pribadi, untuk menghasilkan pikiran positif dan waktu yang produktif sangat penting memilih aktivitas yang juga bermanfaat disetiap detik yang kita lalui. Beberapa bulan terkahir saya sedang mengamati diri sendiri. Misalnya, ketika saya membiasakan membaca buku self development maka itu akan terbawa di kegiatan saya, membayangkan apa yang telah saya baca dan berusaha menerapkannya, ketika saya sedang khilaf menonton vlog yang versi saya kurang bermanfaat maka itu pun akan terbawa terus di pikiran saya tentang apa yang telah saya nonton, dan ketika saya berada dilingkungan yang positif, teman-teman yang semangat belajarnya bagus, secara otomatis saya juga semangat mengupgrade diri, begitupun sebaliknya ketika bergabung dilingkungan yang masih lebih banyak santainya maka pikiran santainya juga akan terbawa.
Seperti halnya sebuah barang yang diproduksi oleh pabrik. Kualitas barang tersebut tergantung dari input yang diberikan. Semakin bagus inputnya, output yang keluar semakin berkualitas pula. Begitu pula dengan manusia. Input yang diberikan akan membentuk output, yang berupa kualitas dan kepribadian yang terlihat.
Informasi yang kita masukkan ke dalam pikiran kita dapat memberitahu bagaimana pola berpikir kita. Dan ini akan mempengaruhi output dalam bentuk keputusan yang kita buat, pekerjaan yang kita hasilkan dan interaksi yang kita miliki.
Kebiasaan-kebiasan yang dibangun setiap harinya tentunya berpengaruh besar dalam diri kita. Hal tersebut menggambarkan seperti apa gambaran subjek kedirian (karakter pribadi), dan mengarahkan bertindak dalam rangka merealisasikan apa yang direncanakannya (personal project). Membangun personal project dalam hal ini tentunya dengan tetap menjadikan setiap aktivitas adalah ladang amal yang beriorentasi untuk hari akhir.
Ya Allah, sibukkanlah kami dalam kebaikan dan berkahilah setiap aktivitas kami.
10 notes
·
View notes
Text
Suatu siang, di sebuah toko buku, aku bertemu dengan kawan lama, saling berbagi cerita atas hiruk pikuknya dunia. Tentu saja bukan dunia yang sebenarnya, tapi dunia kita sendiri, dengan keputusan kami tentang hidup masing-masing.
Beberapa saat kami saling bercerita tentang buku yang kami baca, tentang mata kuliah yang kami pelajari di kampus masing-masing. Perbincangan sangat seru, hingga tibalah pada topik kedirian tentang kuliah dan kebingungan pasca kampus.
“Oh ya, cerita dong kesibukan Mbak akhir-akhir ini! Bagaimana kabar Mbak?”
“Aku, baik, sedang melanjutkan mimpiku ke babak selanjutnya. Kamu sendiri?”
“Babak kemarin tidak cukup baik, tapi bisa kulewati, Mbak.”
“Kok bisa? Bagaimana kamu melewatinya?”
“Sesuatu terjadi, membuatku memilih jalan yang sedikit berbeda dari rencana awalku. Tapi tak apa, akhirnya juga mimpi itu akan kugenggam”.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu berpindah jalan? Bagi banyak orang itu tidak mudah.”
“Sebenarnya tidak mudah memang, tapi kan aku tahu bahwa itu masalah, lalu aku berusaha fokus untuk menyelesaikan masalahnya, tidak berlarut-larut dalam masalah. Aku tahu bahwa masalahku ini tidak spesial, banyak juga yang mengalami. Sakit sih, tapi ya gapapa namanya ujian. Tapi aku harus mengambil sikap, aku tidak mungkin hanya terpaku pada masalah ini lalu mengabaikan mimpi yang menunggu untuk kuwujudkan.”
“Hmm begitu ya... Keren sih!”
Aku termenung, tertampar, sekaligus takjub. Aku pun berpikir keras bagaimana bisa ia lebih cepat beranjak dari masalahnya lalu berpindah tahap
Sementara aku terpaku pada perasaan merasa paling tidak bermakna, tidak bergairah, worthless menjadi alasan pembenar atas turunnya semangatku untuk berlatih dan mengasah diri.
Lalu aku bilang “ah mungkin kamu laki-laki kamu bisa dengan cepat beranjak dari masalah, dan aku perempuan mungkin butuh waktu yang lama untuk merenungi masalah.” Aku berkilah, berusaha mewajari tahap kegalauanku dengan membawa gender.
Dia pun memadang mbaknya yang sedang galau ini, menjawabnya hanya dengan senyuman.
Tidak tidak aku menarik ulang kata-kataku “laki-laki lebih rasional, perempuan lebih perasa itu hasil konstruksi sosial. Haha sorry sorry”
Kulanjutkan kata-kataku dalam hati “Kita manusia, bukankah manusia adalah makhluk pengondisian, kita adalah hasil bagaimana kita melatih diri sendiri apakah menjadi rasional atau perasa”
Aku bergumam lagi, “terlepas kamu laki-laki, aku perempuan, masing-masing kita memiliki fasenya sendiri, caranya sendiri dalam menghadapi masalah”
“Nah, setuju Mbak!” ia pun kembali tersenyum, melihat mbaknya yang sudah kembali rasional.
Untuk durasi, ya aku memang lebih lama dibanding teman laki-lakiku itu dalam menghadapi tahap kegalauan karir ini. Karena aku terlalu fokus pada pikiran-pikiran negatif yang akhirnya berujung pada self blaming, menghambat diriku berbenah.
Lalu aku menggumam,
”Bagaimana ya caranya agar kita cepat beranjak dari kegalauan menghadapi masalah?”
“Mbak, kita harus melatih skill dancing in the rain. Nikmati saja alur kehidupan sepahit apapun itu. Kalau lagi hujan, ya sudah hujan-hujanan saja”
Aku mengangguk setuju. Aku sedang menuju kesana, mengajak pikiran dan perasaanku untuk menikmati kehidupan ini tanpa membuat banyak asumsi.
Tapi yang terpenting aku sadar bahwa aku bisa mengendalikan pikiranku “tidak mengatakan ya dengan mudah pada semua pikiranku, aku harus mengeceknya lebih dulu sebelum timbul perasaan yang menyertainya”
Dan lagi, ketika aku tertimpa masalah, harus fokus pada solusi. Aku bukan satu-satunya orang di dunia ini yang tertimpa masalah lalu memusatkan banyak energiku hanya untuk meratapi masalah.
“Galaunya jangan lama-lama ya, Mbak! karya kita itu dinanti lo sama masyarakat. Belajar yang semangat!”
Akupun tersenyum. Ah iya, ini motivasi paling ampuh! Lekas selesai dengan diri sendiri, agar bisa lekas berkontribusi.
2 notes
·
View notes