#juningeblog
Explore tagged Tumblr posts
Text
Yon - Our Different Pathway
Aku tahu, mencintai dalam perbedaan seperti ini cukup berat. Namun, aku juga tahu, bahwa mataku hanya mampu melihatmu.
Tak terasa sudah 2 bulan sejak kepindahan Satoshi ke sekolah tempat Karina dan teman-temannya bersekolah. Dan tak terasa pula hubungan di antara Karina dan Tak-kun (diambil dari "Takegawa"), panggilan Karina untuk Satoshi, semakin bertambah dekat. Mereka yang tadinya sering berdebat kini jadi lebih sering terlihat dekat dan semakin dekat.
Tapi di balik semua kedekatan mereka saat itu, ada suatu ketakutan besar yang menghinggapi diri Karina. Perasaan yang mendadak muncul di saat ia mulai merasa nyaman bersama Satoshi. Ia sadar, perbedaan di antara mereka cukup besar. Dan ia takut, perbedaan itu akan memisahkan ia dan Satoshi.
"Karina-chan, doushite (ada apa)? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan. Ada yang mengganggu pikiranmu?" Satoshi mengamati Karina yang terlihat bengong, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Eh?" Karina terkejut, lantas menggeleng. "Uum.. Nandemonai." ia tersenyum menenangkan. Satoshi tak melanjutkan bertanya lebih jauh, ia pun kembali fokus ke bekalnya.
Siang itu mereka tengah duduk santai di bawah pohon tempat mereka biasa nongkrong, menikmati bekal masing-masing diiringi lembutnya semilir angin. Hanya mereka berdua.
"Karina-chan, sepertinya itu enak. Kamu nggak mau, 'kan? Aku minta, ya." tanpa aba-aba, Satoshi langsung menyambar sosis yang dibentuk seperti cumi-cumi yang tertumpuk di pojok kotak bekal milik Karina, dan langsung melahapnya.
"Ah! Jangan! Itu favoritku! Tak-kun~ bete, ah!" Karina yang melihat Satoshi melahap satu dari sekian banyak sosis favoritnya itu merajuk. Ia menggeser duduknya sedikit menjauh dari Satoshi.
Satoshi kaget. "Eh? Bukannya kamu nggak mau itu makanya kamu singkirkan di pojok seperti itu, 'kan?"
"Aku bukannya nggak mau! Justru itu sengaja kusisakan supaya aku bisa menikmatinya di akhir nanti! Baka Tak-kun (Tak-kun bodoh)!" rajuknya.
Satoshi tertawa. "Gomen, gomen (maaf, maaf). Aku tak tahu kalau ternyata seperti itu. Ne, Karina-chan. Jangan mengambek, ya. Nanti pulang sekolah aku traktir es krim, deh.." bujuk Satoshi.
Karina masih memalingkan mukanya. "Memangnya aku anak kecil, ditraktir es krim?"
"Lho, jadi nggak mau, nih? Yah, kalau nggak mau, ya sudah..." Satoshi pura-pura tak peduli.
Karina semakin merajuk. "Yaa.. Tak-kun yaa.." bibirnya mengerucut, matanya disipitkan.
Satoshi tertawa gemas melihat hal itu. Ia pun mencubit hidung Karina gemas. "Oke, oke. Nanti aku belikan. Jangan ngambek lagi, ya. Ne (oke)?" ia tersenyum.
Karina hanya bisa terdiam, menahan debaran dan rasa panas yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Salting.
"Ne..." sahutnya pelan.
***
"Sejak kapan kamu dekat dengan dia?" esok paginya di kelas, Karina sudah ditodong pertanyaan seperti itu oleh Sofia.
Karina meletakkan tasnya di atas meja. "Dia? Dia siapa?" ia mengernyit heran, menggeser kursinya, kemudian duduk di sana.
Sofia memutar bola matanya gemas. "Dia, ya, dia.. Satoshi. Kamu tahu, 'kan?"
"Oh, Tak-kun? Kenapa dengan dia?"
"Tuh, 'kan. Sampai ada panggilan sayang segala, lagi. Aku curiga ada apa-apa di antara kalian." selidik Sofia membuat Karina salah tingkah.
"Ii..iie (bu.. bukan).. Kami hanya berteman biasa. Aku memanggilnya begitu karena terlalu repot kalau harus memanggilnya Satoshi. 3 suku kata, terlalu melelahkan." kilahnya.
Sofia masih menyipitkan matanya. "Benarkah? Kau yakin tak ada perasaan yang berbeda saat kalian bersama?"
"Ti-dak." sahut Karina mencoba mantap, padahal ia cemas karena dadanya sudah bergemuruh sejak tadi, takut terdengar oleh Sofia.
Sofia mendesah dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursinya. "Baguslah, kalau begitu. Karena, kalau kau benar-benar menyimpan rasa yang berbeda untuknya, berarti kau sudah harus siap menerima resikonya."
"Resiko?" tanya Karina bingung. "Resiko apa?"
"Ck. Kau tahu 'kan, kalau dia digandrungi para gadis? Hampir seluruh cewek di sekolah ini--mungkin--mengincar dia. Dan tak sedikit dari mereka yang gencar mendekatinya dengan agresif, bahkan mereka juga sangat berniat, sampai rela berdandan demi cowok jepang itu. Dan juga, dari gosip yang aku dengar, sudah ada beberapa cewek yang 'nembak' dia, tapi aku dengar juga sih, mereka semua ditolak. Kalau begitu, posisimu masih aman. Tapi, mau sampai kapan? Sampai kapan kamu terus berada di zona aman? Suatu saat, kamu juga pasti akan terancam, 'kan?" celoteh Sofia panjang lebar.
Karina terdiam. Ia tak tahu, dan tak pernah berpikir untuk tahu, bahwa ada begitu banyak gadis yang mengincar Satoshi. Ia juga tak tahu, bahwa ada yang sudah menyatakan perasaan mereka ke Satoshi. Hal itu sedikit menyesakkan hatinya.
"Dan, asal kamu tahu, Kar. Kalian itu sebenarnya cukup banyak perbedaan. Kau bisa lihat, dia cukup populer, sementara kau tidak."
Karina merengut mendengar pernyataan Sofia yang pertama. "Maksudmu apa?" rajuknya.
"Yang kedua, hobi kalian pun berbeda. Kau hobi menulis berbagai cerita dan larut dalam khayalanmu, sementara ia lebih suka berlari di lapangan bebas, mengejar bola. Jika bukan karena tempatmu biasa merenung itu dekat dengan lapangan bola tempat ia biasa bermain, kalian pun mungkin tak akan pernah bisa sedekat ini." Sofia terus melanjutkan bicaranya tanpa memedulikan gerutuan Karina.
Karina terdiam. Ya, ia pun sadar akan hal itu. Lantas, ia harus bagaimana?
"Dan yang ketiga, sepertinya memang cukup mendasar, tapi pasti kau tak sempat kepikiran akan hal yang satu ini." Sofia melirik Karina. Sahabatnya itu menatapnya seolah bertanya, 'apa?'
"Kau tahu.. ia pindah ke sini hanya sementara, mungkin sampai kita lulus saja. Setelah itu.. kita tak tahu ia akan ke mana selanjutnya, 'kan? Mungkin ia akan melanjutkan kuliah di sini, atau bisa juga... ia akan kembali ke Jepang. Pernahkah kau terpikir hal itu?"
Karina terkesiap. Tidak, ia tidak siap mendengar berita yang satu ini. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Tak-kun--Satoshi--akan pergi, kembali ke Jepang. Ia menunduk. Sekelebat pikiran menghantuinya.
Sofia melanjutkan perkataannya, "Kita tak pernah tahu apakah ia akan terus menetap di sini, ataukah suatu saat akan kembali ke Jepang. Karena itu, sebisa mungkin manfaatkanlah waktu yang masih ada ini, Kar. Aku yakin, kamu pasti menyimpan satu rasa untuknya, bukan? Dan, ada 2 pilihan untukmu saat ini. Tetap menyimpan rasa itu tanpa pernah mengungkapkannya dan terus bersamanya seperti biasa, atau menyatakannya tapi bersiap untuk kemungkinan terburuk, ditolak dan hubungan kalian menjadi renggang. Apapun yang akan kamu pilih, itu semua akan menentukan hubungan kalian ke depannya, Karina. Dan, aku harap, apapun keputusanmu nanti, itulah yang terbaik untukmu, untuk kalian..." Sofia mengakhiri ucapannya dan melangkah keluar kelas, memberikan Karina ruang untuk berpikir.
***
04.30. Sudah lewat 30 menit dari jam pulang sekolah. Karina dan Satoshi tengah berbaring di bawah pohon rindang di tempat biasa, menikmati semilir angin yang membelai lembut pipi mereka.
Karina membuka matanya. "Ne (hei), Tak-kun." panggilnya pelan kepada Satoshi.
Satoshi menyahut, "Hm? Nani, Karina-chan?"
"Apa kau nanti akan kembali ke Jepang?"
Satoshi ikut membuka matanya, lantas mengalihkan pandangan ke arah Karina. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?"
"Jawab aku, Tak-kun. Apa kau nanti akan kembali ke Jepang?"
Satoshi bangkit dari posisi tidurnya dan mengubahnya ke posisi duduk. Ia menengadah menatap langit. "Wakaranai, yo. Aku tak tahu, Karina-chan. Aku tak bisa memastikannya sekarang. Memang aku suka berada di sini, bertemu denganmu, bertemu teman-teman. Demo (tapi).. aku juga rindu kedua orang tuaku. Aku ingin bertemu dengan otousan dan okaasan, Karina-chan. Aku rindu mereka..." wajah Satoshi terlihat pilu, seperti menyimpan berjuta kerinduan terhadap kampung halamannya.
Karina terdiam menatap Satoshi yang rapuh seperti itu. Ia pun bangkit dari tidurnya dan duduk mendekat ke arah Satoshi.
"Kalau kau memang ingin pulang, ya pulang saja, Tak-kun. Tak ada kewajiban untukmu terus tinggal di sini. Aku pun yakin, otousan dan okaasan-mu juga pasti sangat merindukanmu. Jadi, kalau kau nanti memang ingin pulang, maka pulanglah..." ucap Karina dengan penuh kelembutan dan ketenangan, menghangatkan batin Satoshi yang mendadak pilu.
Satoshi menatap Karina teduh. Ia pun memeluk gadis itu. "Arigatou (terima kasih), Karina-chan. Terima kasih sudah mau mengerti," ujarnya.
Karina hanya terdiam. Tanpa sadar, setitik air mata menetes turun dari bola matanya. Ia menengadah, menatap langit biru yang dihiasi awan yang beriring.
Perjalanan kami masih panjang, waktu kami masih panjang. Jika kami tak bisa bersama untuk saat ini, aku yakin, suatu saat nanti kami pasti bisa bersatu. Meski perjalanan kami pasti sulit dengan adanya perbedaan ini, aku percaya, kelak kami pasti bisa bersama.
"Maaf, Sofia. Sepertinya aku harus memilih opsi yang pertama. Aku... untuk saat ini.. hanya ingin menjadi penopangnya. Oleh karena itu, aku tidak boleh egois, bukan?" bisik Karina di tengah tangis tanpa suaranya.
***
bersambung
0 notes
Text
GUE NGGAK LIAT!
Randy’s coffee shop tampak lengang malam ini. Hanya beberapa orang saja yang masih duduk sambil ngopi dan ngobrol santai, termasuk Anita yang duduk sendiri di bagian tengah ruangan dan masih pusing dengan skripsinya. Sebenarnya ia ingin pulang saat ini juga mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun ia mengurungkan niatnya.
”Setengah jam lagi deh. Terlanjur pulang malam, sekalian aja pulang malam,” batin Anita. Ia tahu Bu Ratna, ibu kost-nya, nggak akan marah padanya meski ia pulang melebihi peraturan yang sudah ditentukan. Selama ia pulang dalam keadaan sadar, tidak mabuk, dan tidak membawa laki-laki ke kamar kost-nya, Bu Ratna tidak akan mengusirnya.
Sluurp. Anita meminum kopi hitamnya yang sudah dingin dan rasanya tak seenak ketika hangat. Meskipun begitu, ia tetap meminumnya hingga menyisakan ampasnya saja. Kopinya terlalu mahal untuk tidak dihabiskan.
Anita mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Pandangannya terpaku pada cowok berkacamata yang sedang duduk sendiri di sudut ruangan. “Cakep kayak Afgan”, pujinya ketika melihat cowok itu lekat-lekat. Pujian itu nggak berlebihan sebenarnya. Cowok itu tinggi, putih, dan manis. Berani bertaruh kalau ia tersenyum, menara pisa runtuh seketika. Lebay! Hihihi.
Anita terlalu terpesona dengan pemandangan indah yang ada di depannya sampai ia nggak sadar kalau cowok itu membalas tatapannya. Ia baru sadar ketika si cowok beranjak dari bangkunya dan berjalan menuju mejanya yang terletak tiga meja darinya. Mampus! Anita jadi salah tingkah. Ia langsung pura-pura repot dengan membereskan laptop dan bukunya yang berserakan di meja, berharap nggak ketahuan kalau tadi ia sudah memandangi cowok itu.
“Lo bisa liat gue?” tanya cowok itu agak ragu. Kini ia sudah berdiri di hadapan Anita.
Anita terperangah. “Ha?” Maksudnya apa nih? Anita tidak mengerti pertanyaan cowok itu. Ya iyalah gue bisa liat elo!
“Lo beneran bisa liat gue?” tanya cowok itu lagi, meyakinkan pendapatnya kalau Anita bisa melihatnya.
Anita yang masih bingung dengan pertanyaan cowok itu hanya menganggukkan kepalanya dan berkata, “Iya.”
“Bagus!” Cowok itu menyeringai lalu menyodorkan tangan kanannya. “Kenalin, nama gue Arfa, Arfa Mario lengkapnya.”
“Gu-gu-gue Anita. Anita Puspasari” kata Anita gugup sembari menyambut tangan Arfa.
Namun tiba-tiba Anita kaget. Tangannya tidak bisa menyentuh tangan Arfa. Berkali-kali ia berusaha mengggapai tangan Arfa tetapi selalu gagal. Padahal tangan Arfa tidak bergerak satu senti pun. Seketika itu pula ia menyadari satu hal yang sudah terlambat. Seluruh tubuhnya tiba-tiba merinding dan jantungnya berdegup kencang.
Terlambat! Arfa terlanjur tahu bahwa Anita bisa melihat makhluk astral. Ingin rasanya Anita mengulang waktu tiga meniiiit saja agar bisa berteriak: GUE NGGAK LIAT! kepada Arfa sehingga ia tidak berurusan dengan makhluk dari dunia lain.
0 notes
Text
San - その 笑顔 (That Smiling Face)
Satu senyuman darimu saja sudah sangat berarti bagiku. Hei, bisakah senyuman itu hanya untukku saja?
"Nani (apa)? Nani te itta no (apa kamu bilang)?" Satoshi menatap Karina bingung. Tadi.. sepertinya ia mendengar gadis itu mengatakan sesuatu seperti...
"Kamu budheg ya? Aku bilang kamu itu kayak stalker!" sahut Karina judes. Ia memalingkan wajahnya dari Satoshi dan merapikan roknya yang sedikit berantakan.
"Su..to--ka--?" eja Satoshi. Stalker? "Hey, did you say that I'm a stalker?"
"Nah, baru nyambung dia." sahut Karina cuek tanpa mengalihkan pandangannya dari notebook-nya.
Satoshi terdiam. "Well, mungkin bagimu aku memang stalker, tapi sesungguhnya aku tak pernah bermaksud seperti itu. Mungkin, ini sebuah takdir?" ia mengerling jahil ke arah Karina.
Karina mendelik heran ke arah Satoshi. Mukanya memerah. "Ih.. apaan, sih? Norak. Lebay. Dasar cowok playboy!"
"Lebay? Nani kore (apa itu)?" tanya Satoshi bingung.
"Ah, lupakan saja!"
Satoshi masih menatap Karina yang asyik mengetik di notebook-nya. Karina merasa risih dilihat terus seperti itu. Ia mengangkat wajahnya.
"Lihat apa?"
Satoshi menggeleng. "Nandemonai (bukan apa-apa, kok). Oh iya, kita belum kenalan, 'kan? Satoshi desu. Anata wa (kamu)?" ia mengulurkan tangannya.
Karina menimbang-nimbang untuk menyambut uluran tangan itu atau tidak. "Hm.. Karina desu." ia pun menyambut tangan itu ragu-ragu.
Satoshi tersenyum. Senyum pertama yang pernah dilihat Karina dari dekat. "Hai, douzo yoroshiku (oke, salam kenal ya), Karina-chan!"
Karina terpana. Senyum termanis dan ter-adorable yang pernah dia lihat. Senyuman itu... sangat menagih.
***
"Kamu hobi banget ya, ngetik di sini?" tegur Satoshi di lain hari. Ini sudah minggu kedua sejak Satoshi pindah ke SMA Negeri 1 Jakarta.
"Hmm... yah.. habis tenang sih, daripada di kelas." sahut Karina tanpa melepaskan pandangannya dari tulisannya. "Kamu sendiri, ngapain di sini? Beneran jadi stalker-ku ya?" ia melirik curiga ke arah Satoshi.
"Ore (aku)? Kamu nggak lihat itu?" tunjuknya ke arah lapangan bola. "Aku tadi sedang main bola."
Karina memutar bola matanya gemas. "Iyaa... aku juga tahu itu. Tapi kenapa kamu sekarang ikut-ikutan duduk di sini dan bukannya main bola, sana."
Satoshi menatap Karina sedih. "Jadi, kamu mengusir aku, nih?"
Karina salah tingkah. "Bukan itu maksudku...."
Satoshi tertawa. "Hai, hai (iya, iya). Aku cuma bercanda, kok. Hmm.. lagi pengen istirahat aja. Capek main bola terus. Aku mau berbaring sebentar.."
Karina hanya mengangkat bahunya dan melanjutkan menulis cerita. Tanpa ia sadari, mata Satoshi tak pernah lepas dari dirinya sejak tadi. Ia terus mengamati sosok gadis itu. Rambut hitam ikal sepinggang, mata yang sedikit sipit, hidung yang cukup mancung, bibir mungil, alis yang tebal, dan juga tangan yang mungil seperti anak bayi yang menari-nari dengan lincah di atas keyboard notebook miliknya.
Satoshi tersenyum. "Kawaii desu ne (manisnya)~"
"Eh, kamu bilang apa tadi?"
"Bukan apa-apa, kok." jawab Satoshi cepat sambil masih mengamati gerak-gerik gadis itu. Kali ini ia ganti mengamati ekspresi dan gerakan Karina.
Mulai dari gerakan tangannya yang lincah, ekspresi wajahnya yang kadang bingung dan kadang tersenyum senang, juga desahan puas saat ia berhasil menyelesaikan tulisannya.
"Yak, untuk saat ini bab ini selesai!" Karina menghela napas lega.
Satoshi masih tersenyum memandang Karina. Karina menyadari hal itu dan berkacak pinggang, menatap penuh selidik ke arah cowok itu. "Hei, kamu ini. Dari tadi ngelihatin apa, sih? Senyum-senyum sendiri kayak gitu."
"Aku sedang melihat malaikat yang sangat cantik."
"Hah?"
Satoshi bangkit dari tidurnya. "Ano tenshi wa Karina desu (Dan malaikat itu bernama Karina). Jya ne (Dah), Karina-chan!" ia pun bergegas berlari ke arah lapangan bola, bergabung kembali bersama teman-temannya.
Karina masih terpaku di tempatnya. Senyuman Satoshi itu tadi.. senyuman yang sama yang pernah dilihatnya waktu itu. Senyuman yang sangat menagih. Dan, apa katanya tadi...?
"Tenshi (malaikat)...?"
***
bersambung
0 notes
Text
Ni - あなた は ストーカー です か。(Are You a Stalker?)
Bagiku, setiap pertemuan pasti memiliki arti. Entah itu suatu pertanda atau apapun, pasti ada maksudnya. Dan, setiap pertemuan itu selalu memiliki makna...
Karina melemparkan tasnya ke atas kasur dan segera berbaring di sana. Satu tangannya terangkat dan menutupi kedua matanya. Ia lelah. Benar-benar lelah. Seharian ini, kelasnya dipenuhi siswa-siswi dari berbagai kelas yang hendak melihat murid pindahan dari Jepang itu. Otomatis, Karina pun harus merelakan ketenangan yang biasa ia dapat untuk hilang sementara.
"Kelas ini nggak hanya punya kamu, Kar. Suatu saat kamu pun harus terbiasa dengan suasana seperti ini." ia mengingat perkataan Sofia siang tadi. Ia semakin memejamkan matanya.
"Argh.. kenapa harus ada murid pindahan, sih? Di penghujung kelas 3 seperti ini? Entah apa yang dipikirkan kepala sekolah," gumamnya kesal dan membalikkan badan, memeluk Pororo, boneka kesayangannya. Tak lama, ia pun tertidur pulas.
***
"KARINA!"
Karina terlonjak bangun. Matanya mengerjap pelan dan melihat ke sekeliling. Aku di mana...? Oh, di kamar. Dan, suara teriakan apa itu tadi?
"Karina!" Mamanya mendobrak masuk ke kamarnya. "Kamu ini, Mama panggil-panggil dari tadi kok nggak menyahut juga, sih. Cepat mandi sana, sudah mau jam 6 ini! Oh iya, jangan lupa pakai gaun yang manis, ya. Malam ini kita ada acara di luar dengan teman kerja Papa." perintah dan omel Mamanya bersamaan.
"Hah? Gaun? Acara di luar? Buat apa? Ogah, ah. Karina nggak mau ikut. Capek, Ma, baru pulang sekolah jam 4 tadi..." rengek Karina, menolak untuk ikut pergi.
"Kan juga sudah ada kak Raffa dan Onya yang bisa ikut, Ma. Karina absen, ya." ia pun berbaring lagi dan kembali memeluk Pororo, hendak melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.
"Karina....! Cepat mandi, sholat, dan siap-siap! Kalau 30 menit lagi Mama cek kamu masih tidur juga, jatah uang jajan kamu selama sebulan Mama sita!" ancam Mamanya.
Karina membuka matanya dan menoleh kesal ke arah Mamanya. "Mama~" erangnya.
"Nggak ada bantahan lagi, titik. Ayo cepat mandi." Mamanya pun keluar dari kamarnya.
Karina merengut. Entah kenapa seharian ini nasibnya sial terus. Mulai dari di sekolah tadi hingga di rumah sekarang ini.
"Ahh.. bete!" ia pun mengambil handuk dari lemari dan bergegas masuk ke kamar mandi.
***
Suasana Resto Raja Rasa Sundanese & Seafood yang terletak di Jl. Ampera Raya, Jakarta Selatan, tampak lengang sore itu. Hanya ada sekitar 3-4 mobil yang parkir di depan resto. Salah satunya tentu saja mobil keluarga Karina.
"Ma, Karina di mobil aja, ya~ Biar kak Raffa sama Onya aja yang ikut turun. Karina mau tidur, capek..." bujuk Karina lagi ke mamanya.
"Kamu bicara apa, sih? Udah jauh-jauh ke sini malah nggak mau turun. Nggak, pokoknya kamu harus ikut turun! Ayo, tarik tangan kakakmu, Onya." perintah mamanya tegas.
Karina mengerang. "Mama, ih."
Onya mengulurkan tangan ke arah kakaknya. "Ayo, kak. Buruan, udah ditunggu Papa sama Mama, tuh." ia menatap kesal ke arah kakaknya.
Karina menatap uluran tangan adiknya itu dan menampiknya. "Apaan, sih? Memangnya aku anak kecil apa, harus digandeng olehmu?" ia pun bergegas turun dari mobil.
Onya mengangkat bahu. "Aku 'kan hanya melaksanakan perintah mama.."
Jujur, ini adalah kali pertama Karina menginjakkan kaki di resto ini. Papa-Mama nya hampir tak pernah mengajaknya makan malam di luar, apalagi di resto yang kelihatannya mewah seperti ini. Sampai menyuruhnya untuk pakai gaun segala.
"Ma, kenapa harus di resto sunda, sih? Keluarga kita 'kan nggak terlalu doyan masakan sunda?" celetuknya penasaran.
"Mama juga kurang tahu, tapi kata temen Papa, keponakannya itu ingin makan masakan sunda, kangen sudah lama nggak makan makanan itu , katanya."
Karina mengangguk-angguk. Sudah lama nggak makan makanan sunda? Memang dia tinggal di mana?
"Eh, Ma. Keponakan temen Papa itu emang tinggal di mana, sih? Kok bisa sampai kangen kayak gitu."
"Oh.. Katanya dia itu tinggal di luar negeri. Kalau nggak salah sih di..." ucapan mamanya terpotong saat pintu sebuah ruangan terbuka.
Karina melirik ke dalam. "Ruangan apaan, nih?"
"Ini namanya ruangan VVIP, Karina sayang. Salah satu ruangan spesial yang ada di resto ini." sahut kak Raffa yang langsung melesat masuk dan mengambil tempat di salah satu kursi yang ada di ruangan tersebut, disusul oleh Onya yang langsung duduk di sampingnya.
Karina pun ikut duduk di ujung, di sebelah kakaknya. "Oh.. memang ada ruangan apa lagi selain ruangan ini?"
"Ada ruangan biasa di lantai 1 dan lantai 2, di lantai 2 tempat duduknya sistem lesehan, dan di lantai 1 itu kursi kayu. Nah, ada juga ruangan VIP yang sebesar dan se-private ruangan ini.." jelas kakaknya itu dengan sabar.
Karina manggut-manggut. "Kenapa harus pesan ruang VVIP segala, sih? Kayak apaan aja, deh."
Mamanya menatap tajam ke arah Karina. "Kamu ini dari tadi cerewet banget, deh. Semuanya dikomentarin. Sudah, diam dan duduk manis sana. Itu teman Papa sudah datang."
Karina cemberut karena mendadak ditegur oleh mamanya seperti itu. Seharian ini entah sudah berapa kali ia merasa kesal dan bad mood.
Teman papanya yang dimaksud mamanya tadi sudah datang rupanya. Papanya langsung berdiri tegak dan menyalami rekan kerjanya itu. Sosok tinggi-tegap dengan mata sipit, rambut hitam yang mulai sedikit memutih, dan setelan jas rapi yang tampak pas di badannya.
Hmm, sosok lelaki paruh baya kebanyakan, batin Karina.
Istrinya pun ikut hadir malam itu. Tampak cantik dalam balutan gaun malam tanpa lengan berwarna hitam gelap yang tampak sedikit terbuka di bagian lehernya. Seuntai kalung perak tampak bertengger indah di sana.
Kalung? Tiba-tiba Karina teringat sesuatu. Hei, kalung perak dengan gantungan huruf K milikku ke mana, ya? Kok, aku baru sadar kalau itu nggak ada?
"Karina," panggil papa Karina pelan yang langsung membuyarkan lamunannya.
"Eh, ya..?" sahutnya gelagapan. Papanya memberinya kode untuk maju dan bersalaman dengan rekan kerja papanya itu. Ia pun bergegas bangkit.
"Wah, ini yang namanya Karina, ya? Jauh lebih cantik dari yang ada di foto, ya." komentar teman papanya itu yang hanya disambut ringisan pelan Karina.
Maksud oom ini apa, coba?, batinnya kesal. Tiba-tiba matanya teralihkan dengan satu sosok lain yang baru muncul dan sedang berdiri di belakang teman papanya itu.
Siapa?
"Maaf, ojiisan (paman), saya datang terlambat. Tadi di toilet mengantrinya lama sekali."
Karina terkesiap. Suara itu, logat itu, dia..
"Oh, kau sudah datang rupanya, Satoshi. Ayo, perkenalkan dirimu. Ini oom Aryuda, ini istrinya, dan ini anak-anaknya, Raffa, Sonya, dan Karina.
Satoshi pun menyalami mereka satu-persatu. Tiba saatnya menyalami Karina, dia terhenti. Karina pun hanya terdiam.
"Omae (kamu)..." gumam Satoshi.
"Ah, halo! Kenalkan, aku Karina! Senang bertemu denganmu!" Karina langsung memotong ucapan Satoshi dan menjabat tangannya lantas segera duduk di bangkunya. Ia tidak ingin ber-de ja vu dengan lelaki itu.
Satoshi hanya bisa bengong di tempatnya dan menyahut, "Eh.. iya, salam kenal..."
***
BRUK! Karina meletakkan tasnya asal di atas mejanya pagi itu. Mukanya ditekuk, rambutnya sedikit acak-acakan. Sofia yang melihat tampang sahabatnya seperti itu pun bertanya heran.
"Kamu kenapa pagi-pagi sudah kusut begitu?"
Karina menghempaskan pantatnya di atas kursinya. "Nggak tahu, ah. Bete!" ia menopangkan dagunya di salah satu tangannya.
Sofia mengernyit. "Lho, lho? Ada apa pagi-pagi ini sudah bete kayak gini? Let me know something, honey."
"Lagi nggak mood untuk cerita ah, Sof." tolak Karina.
"KYAA!!" tiba-tiba terdengar teriakan histeris murid-murid perempuan di koridor kelas, disambut dengan Satoshi yang masuk dengan bingung diiringi para gadis yang mengikutinya ke dalam kelas mereka.
Karina yang melihat hal itu tambah menekuk mukanya dan mendengus pelan. Sofia yang melihat gelagat sahabatnya itu hanya bisa memasang senyuman penuh arti.
***
TING TONG!
Bel tanda pulang sekolah berbunyi, para murid pun sibuk membereskan peralatan sekolah mereka masing-masing.
"Habis ini ada acara, Kar? Kalau nggak ada, ikut kita, yuk. Biasa, karaoke~" ajak Sofia ke Karina yang tengah asyik memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
"Hah? Nggak, ah. Bentar lagi deadline." sahutnya cuek.
Sofia mencibir. "Lagi-lagi tenggelam dalam tulisanmu. Kapan kamu mau menikmati dunia luar, Kar?"
"Bagiku dunia tulisan itu jauh lebih luas dari dunia luar yang kamu kenal, Sof. Duluan, ya!" Karina pun melesat keluar kelas.
Sofia mendesah. "Dia itu, emang nggak bisa lepas dari hobi-nya satu itu, ya."
Karina bergegas menuju ke lapangan bola di halaman belakang sekolahnya. Tempat ini ia temukan baru-baru ini, saat ia mulai merasa bahwa ruang kelasnya tak lagi kondusif untuk dipakai sebagai tempat 'perenungan'. Yah, masih ada perpustakaan sih sebenarnya. Tapi, di sana tidak ada udara segar yang biasa ia hirup kalau lagi suntuk dan jenuh.
Ia pun mengambil tempat di bawah salah satu pohon rindang di sana, di atas rumput-rumput yang masih kecil dan pendek-pendek. "Siip! Ayo, mulai!" ia pun mulai tenggelam dalam tulisannya di notebook mungil miliknya.
Sayup-sayup ia mendengar keramaian di bawah sana, tepatnya di lapangan bola tempat teman-temannya biasa menghabiskan waktu istirahat dan pulang sekolah di sana.
Ia tersenyum. Rasanya ia ingin ikut menghambur ke sana, ikut berlari di bawah langit dengan bebas. Namun, apa daya, nilai olahraganya selalu pas-pas-an.
"Awas, Kar!" teriak seseorang, rupanya Fauzan, temannya dari kelas sebelah.
Karina menoleh, menatap ke arah bola kaki yang hanya berjarak 2 m darinya. Ia tak sempat mengelak, dan..
BUUK! Bola itu mengenai wajahnya telak. Karina terhuyung ke belakang, satu tangannya memegang bagian kepalanya yang terbentur bola tadi.
"Aduh.." ringisnya pelan.
"Daijoubu desu ka?"
Karina mengernyit. De ja vu. Suara itu lagi, dengan dialog yang sama. Karina mendongak. Tampak wajah khawatir Satoshi berada tepat di atas wajahnya. Karina terlonjak bangun.
"Huaaah!" ia berteriak dan mendorong Satoshi pelan. Lagi-lagi ia kaget dengan 'serangan' mendadak dari Satoshi tadi. Ia menatap Satoshi sengit.
"Kau!" ujarnya kesal.
"Ah." Satoshi seperti teringat sesuatu. "Anata wa (kamu).. Kamu cewek yang kemarin itu, 'kan? Yang dikenalkan oleh ojiisan. Kamu ingat aku?" sapa Satoshi senang karena mengenali sosok Karina.
Karina masih menatap Satoshi sengit. Matanya tak henti menatap Satoshi tajam. Mata itu, bibir itu, rambut itu, logat itu, suara itu.. Kenapa ia terus muncul di hadapanku, sih?, gerutu Karina kesal dalam hati.
"Kau!" ujar Karina. "Are you a stalker?"
***
bersambung
0 notes
Text
Ichi - 初めて の 見る (First Meeting)
Perjumpaan pertama selalu memberikan kesan tersendiri. Entah itu bahagia, duka, atau bahkan bercampur tawa. Karena di tiap pertemuan pertama, ada satu rasa yang dulu tak pernah ada menjadi kentara..
Pernikahan antara Andromeda Mercury dan Nadia Zabila hari ini terlihat begitu mewah. Pelaminan yang berhias lampu-lampu dan bunga indah, gerbang mungil yang dibentuk oleh fake white tree, juga lampu sorot-warna-warni yang menambah semarak acara tersebut. Dan di tengah-tengah kemegahan itu, tampak sosok Karina yang setengah mengantuk, matanya sedikit terpejam dan kepalanya naik-turun. Di sebelahnya, Sofia sahabatnya, menatapnya kesal.
"Heh, Kar! Kita itu jauh-jauh datang ke sini tuh buat lihat pernikahan anaknya teman Papamu! Eh, kamu-nya malah tidur gitu!"
Karina membuka matanya sekilas. "Eng... Aku ngantuk banget, Sof. Kamu tahu sendiri 'kan aku semalam bergadang sampai jam berapa.."
"Siapa suruh kamu buat bergadang nonton itu anime berjam-jam? Ditambah pula nulis draft cerita nggak jelas di note-mu itu. Wajar aja kamu jadi kayak gini."
Karina menguap. "Berisik, ah. Salahkan Papa, tuh. Udah tahu aku capek gini, eh malah disuruh pergi kondangan, lagi. Mending kalau sama cowok cakep. Lha ini, masa' sama kamu?" liriknya sinis ke arah Sofia.
Sofia menggeram kesal dan hendak menggelitik Karina, yang langsung dengan sigap menangkisnya.
"Hahaha, baru dibilang gitu aja udah marah. Ntar cepat tua, lho!"
"Biarin. Lagian juga, kalau kamu mau ajak cowok, memang ada calonnya?" cibir Sofia ke arah Karina, yang langsung membuat sahabatnya itu terdiam.
"Iya, iya. Aku tahu, aku memang nggak punya cowok. Puas?" ia pun beranjak dari kursinya dan hendak mengambil makanan.
"Eh Kar, sorry aku nggak ada maksud..."
Karina melangkah cuek ke arah meja yang penuh berisi beragam hidangan yang menggiurkan. "Em.. ambil apa aja, ya.. Ah, ada es cocktail, hmm.. siomay, ah udah biasa. Eh, ada dimsum! Ambil itu aja, deh!" ia pun sibuk memilih.
Saat ia hendak berbalik, tiba-tiba saja ia menabrak seseorang. Tubuhnya pun limbung dan terhuyung ke belakang. Ia kaget, piring yang ia pegang pun hendak jatuh. Cepat-cepat ia mencengkeramnya dan bersiap untuk jatuh.
Karina terdiam. Sudah beberapa detik, tapi kok nggak terjadi apa-apa seperti bunyi BRUK!, PRANG!, atau kehebohan apapun.
"Sumimasen, daijoubu desu ka (maaf, kau tak apa-apa)?"
Matanya langsung terbuka. He? Kok tadi ia seperti mendengar dialog dalam bahasa Jepang, ya? Apa ini ilusi gara-gara ia kebanyakan nonton anime SAO semalam?
"Ano.. daijoubu desu ka? Ada yang sakit?"
Karina mendongakkan kepalanya dan menatap sepasang mata hitam sipit bening tengah menatapnya khawatir. Ia terlonjak kaget dan segera mundur ke belakang.
"Huaa!" teriaknya. Ia menahan debaran jantungnya yang kaget akibat efek tatapan dadakan tadi. Ia pun meneliti sosok di depannya. Cowok tinggi, putih, mata sipit, rambut setengah acak-acakan seperti tokoh-tokoh cowok di manga favoritnya, dan... bibir tipis yang merah. Orang Jepang?, batinnya.
"Daijoubu desu ka?"
Karina tersadar dan segera menjawab, "Ah.. ne.. daijoubu..." seketika ia meringis. Sepertinya kaki kirinya terkilir saat hendak jatuh tadi. "...ja nai desu... (aku.. tidak baik-baik saja)" sambungnya pelan. Cowok di depannya terlihat agak bingung. Karina pun hanya terdiam. Suasana mendadak aneh.
"Karina! Kamu ke mana aja, sih? Aku cari-cari dari tadi.. Kamu kenapa bengong di situ? Ayo, cepat ambil makanan yang lain! Nanti keburu habis!" tiba-tiba saja Sofia datang dan segera menarik tangannya pergi.
"Eh..." Karina masih menatap sosok cowok itu yang semakin menjauh, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya.
Cowok Jepang tadi, Satoshi, hanya menatap kedua cewek itu bingung. Jujur saja, walaupun ia berdarah Indonesia, tetapi karena sudah lama tak berkunjung ke Indonesia dan berkomunikasi menggunakan bahasa negeri asal okaasan (ibu)-nya, ia jadi bingung harus berkata apa. Spontanitas hanya kalimat dalam bahasa Jepang yang meluncur keluar dari mulutnya.
Ia mendesah. "Oya, oya(ya, ampun).. Dono kore (bagaimana ini)? Harusnya tadi aku bertanya dalam bahasa Indonesia saja... Eh, chotto (sebentar), tadi.. sepertinya ia berkata dalam bahasa Jepang, 'kan? Ah, wakaranai yo (nggak tahu, deh)..." gumamnya bingung seorang diri. Tiba-tiba matanya menatap seuntai kalung perak tergeletak di atas lantai. Terukir sebuah huruf di sana. "K".
"K?" gumamnya. "K untuk..." ia mengingat nama cewek yang menabraknya tadi. "Ka..ri..na..?"
Pagi hari di sekolah tempat Karina dan Sofia menuntut ilmu. Suasana kelas sudah sedikit ramai. Terlihat di sudut kiri depan Karina tengah asyik menulis cerita di note kesayangannya.
"Karina! Pagi!" Sofia memeluk Karina dari belakang dan mencubit pipinya.
"Pagi." sahut Karina cuek. Sofia merengut. Sobatnya satu ini memang cuek abis kalau sudah fokus sama 3 hal: manga/anime, novel, dan tulisan-tulisan karyanya.
"Pagi-pagi begini udah tenggelam aja dalam tulisanmu. Nggak asik, ah." komentar Sofia pelan.
Karina berhenti mengetik dan menoleh. "Hal semengasyikkan ini nggak akan pernah kamu mengerti, Sofia. Sampai kapanpun. Karena, yah.. sifat dan kesukaan kita 'kan memang berbeda." ia pun kembali fokus menulis.
Sofia cemberut. Ia nggak akan pernah menang berdebat melawan Karina. Ia pun mengalihkan topik, "Eh Kar, udah tahu 'kan kalau akan ada anak dari Jepang yang pindah ke sini?"
"Hm-hm.."
"Nah, katanya dia akan datang hari ini. Dan tahu, nggak? Dia akan masuk ke kelas kita, lho! Kyaa~ bakalan seganteng apa ya dia ntar?" pekik Sofia pelan.
Karina masih fokus ke tulisannya. Sedikit pun dia tidak terlalu peduli dengan masalah anak pindahan tersebut. Tiba-tiba ia berhenti mengetik. Eh sebentar, dari Jepang? Kenapa dia tiba-tiba teringat cowok yang ditabraknya di pesta kemarin itu, ya? Cowok itu juga sepertinya.. orang Jepang. Dan, nggak banyak ada orang Jepang di Indonesia, 'kan? Kalau Cina sih, yah.. jangan ditanya, deh.
"Ah, mungkin hanya perasaanku saja." gumamnya pelan dan kembali asyik menulis.
Tak lama, Pak Anwar, guru bahasa Indonesia mereka pun masuk.
"Anak-anak, hari ini kalian kedatangan satu teman baru, siswa pertukaran pelajar dari luar negeri. Ayo, masuk dan perkenalkan dirimu." Pak Anwar menoleh ke arah pintu masuk.
SET. Sesosok cowok tinggi dan putih melesat masuk ke ruang kelas dan berhenti di depan papan tulis. Ia mengambil whitemarker dan mulai menulis di sana. Satunya huruf jepang dan satunya lagi alfabet. Ia pun menoleh dan menatap ke arah kami semua.
Ia menunduk singkat. "Hajimemashite, watashi wa Takegawa Satoshi desu. Douzo yoroshiku onegaishimasu. Salam kenal, saya Takegawa Satoshi. Bisa dipanggil Satoshi. Terima kasih dan mohon bantuannya." ia pun memperkenalkan dirinya dalam dua bahasa.
Sorak-sorai memenuhi ruang kelas tempat Karina dan Sofia belajar. Sofia sendiri sudah klepek-klepek terkena pesona cowok Jepang itu.
"Ah~ Satoshi... kamu ganteng sekali..."
Sementara itu, di sudut kiri depan dekat jendela, Karina hanya bisa terdiam dan terpaku di tempat duduknya. Satu tangannya menutup mulutnya yang hendak menganga karena kaget. Matanya menatap lurus ke arah siswa baru itu. Otaknya memutar memori kemarin siang, tepatnya saat pesta kemarin.
"Iie.. uso... otoko wa (nggak mungkin.. bohong.. cowok itu)...?" gumamnya tak percaya.
0 notes