#jakartabiennale2017
Explore tagged Tumblr posts
Text
Jakarta Biennale 2017: Jiwa dalam sejarah
Jakarta Biennale 2017 bertemakan JIWA, hadir di Gudang Sarinah Ekosistem, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Seni Rupa dan Keramik tanggal 4 November hingga 10 Desember 2017
Tinggal 7 hari lagi Jakarta Biennale 2017 bisa kamu nikmati di Gudang Sarinah Ekosistem, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Kapan lagi bisa check in as hipsterian kalau bukan di Biennale yang cuma ada 2 tahun sekali ini?
Seorang penonton karya "Becoming a Bird" (2017) dari Eva Kot'àtkovà terlihat serius mendokumentasikan penampilan seniman di atas pohon
Jakarta Biennale berbeda dengan pameran seni lain yang ada di Indonesia. Berdasarkan sejarah seni nasional, Biennale merupakan wujud dari mulai terbukanya seni untuk bisa dinikmati oleh masyarakat umum yang dulunya hanya bisa dinikmati bangsawan dan penjajah.
Mulai dari tahun 1974, Jakarta Biennale 1 (dulu namanya adalah Pameran Senilukis Indonesia) diselenggarakan pemerintah di Taman Ismail Marzuki sebagai komitmen untuk membuka ruang edukasi seni bagi masyarakat dan juga sebagai validasi eksistensi seniman Indonesia. Intinya, siapa yang karyanya bisa masuk di Jakarta Biennale 1 berarti diakui bakat seninya se-Indonesia dan bahagia karena harga jual karya mereka bisa meningkat. Tapi penyelenggaraan Jakarta Biennale 1 ini tidak mulus bahkan terkenal dengan adanya peristiwa Desember Hitam kala itu.
Dua pelajar sedang berjalan di depan karya Robert Zhao Renhui “The World Will Surely Collapse, Trying to Remember A Tree (III)” (2017). Karya tersebut merupakan wujud keluhan Robert terhadap perusakan lingkungan yang dilakukan di Singapura.
Peristiwa Desember Hitam terjadi pada saat pemberian anugerah karya terbaik oleh Dewan Kesenian Jakarta di Jakarta Biennale I. Saat itu, 5 seniman muda yang ikut dalam pameran dan merupakan mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI- yang saat ini adalah Institut Seni Rupa Indonesia atau ISI Yogyakarta) melakukan protes kepada panitia pameran dengan memberikan karangan bunga bertuliskan ‘Turut berduka cita atas matinya seni lukis Indonesia’.
Karangan bunga, yang seharusnya merupakan simbol penghargaan seseorang atas prestasi penerima karangan diberikan secara ironi oleh 5 mahasiswa ASRI. Mereka beranggapan bahwa karya yang mendapatkan anugerah di Jakarta Biennale 1 itu terlalu dekoratif.
“Bagaimana saya tidak marah, yang mendapatkan penghargaan semuanya lukisan dekoratif,” ujar Muryotohartoyo yang merupakan salah satu pemrotes kepada majalah Tempo 1974.
“Seolah-olah seperti ada pengarahan atas perkembangan kebudayaan ke arah tertentu,” ujar Munni Ardhi yang juga salah satu pemrotes.
Suasana Jakarta Biennale 2017 di Gudang Sarinah Ekosistem, Pancoran. Jakarta Biennale 2017 buka setiap hari di Gudang Sarinah Ekosistem pukul 11-19, dan buka setiap Selasa-Minggu di Museum Sejarah Jakarta dan Museum Seni Rupa dan Keramik pukul 9-17.
Setelah peristiwa Desember Hitam, Pameran Seni Rupa Baru Indonesia diadakan setiap dua tahun dari 1975 sampai 1979 oleh kelompok Seni Rupa Baru di Taman Ismail Marzuki. Pameran menjadi lebih segar dengan ragam gagasan dan bentuk karya yang ditampilkan oleh seniman-seniman muda.
Tahun 1979 merupakan pameran terakhir yang dilakukan oleh kelompok Seni Rupa Baru dan dilakukan pula peluncuran buku ‘Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia’. Mungkin tradisi ini juga yang terus dibawa hingga Jakarta Biennale 2017 yang juga melakukan peluncuran 3 buku yaitu "Seni Manubilis Semsar Siahaan 1952-2005", "Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968-2017", dan “Dari Kandinsky Sampai Wianta: Catatan-catatan Seni Rupa 1975-1997“.
Seorang pengunjung melihat instalasi campuran karya Marintan Sirait “Membangun Rumah” (1992-1997/2017). Instalasi menggunakan tanah, kerikil, dan abu di lantai, kaca akrilik menggantung di atas, serta video, tata cahaya dan suara di dinding belakang.
Banyak hal menarik lain seputar sejarah Jakarta Biennale dari 1974 hingga saat ini tahun 2017. Masih ada waktu untuk datang dan berkenalan dengan kurator pameran dan bertanya sana-sini tentang semua karya yang ditampilkan. Atau jika kamu ingin yang lebih membumi, volunteer Jakarta Biennale yang muda-muda (mulai dari anak SMA hingga kuliahan) bisa kamu tanya dan diminta menjadi tour guide khusus selama memutari pameran. Selamat menikmati karya di Jakarta Biennale 2017!
Penikmat karya "Perkenalan Pertama dengan Bahasa" oleh Hanafi sedang seru berfoto di lorong sempit yang ditampilkan sebagai bagian dari instalasi. Terdapat jaket dengan pensil yang menempel di seluruh bagian jaket dan bisa digunakan oleh pengunjung sambil mencorat coret tembok lorong saat melewatinya.
"Ke Mollo" karya Dineo menceritakan tentang pentingnya Upacara Bois Caïman pada awal revolusi Haiti 1971. Karya memiliki unsur magis Vodoo dalam sejarah revolusi Haiti untuk melawan kulit putih.
Sebuah tulisan menarik berada di sudut eksibisi Dolorosa Sinaga. Pada Jakarta Biennale 2017, seluruh isi Studio Somalaing yang merupakan tempat bekerja Dolorosa di Jakarta Timur dipindahkan ke Gudang Sarinah Ekosistem untuk menggambarkan perjalanan karya seniman tersebut secara kuat.
Pertunjukan langsung oleh Ali Al-Fatlawi & Wathiq Al-Ameri “Vanishing Borders or Let’s Talk about the Situation in Iraq” di Jakarta Biennale 2017 dilakukan dengan memakan bunga mawar dan memukul kepala menggunakan tulang hewan yang penuh dengan darah.
Hasil Polaroid Supercolor 600 untuk dokumentasi pertunjukan Ali Al-Fatlawi & Wathiq Al-Ameri “Vanishing Borders or Let’s Talk about the Situation in Iraq” tanpa lampu flash. Banyak instalasi yang tidak memperbolehkan menggunakan lampu flash kamera karena cahaya tersebut dapat merusak karya. Mohon melihat peraturan dos and don’ts di setiap karya.
1 note
·
View note
Link
Jakarta Biennale adalah ajang pameran seni yang diadakan setiap dua tahun sekali. Jakarta Biennale 2017 yang merupakan biennale ke 17. Pameran seni ini sudah berlangsung sejak 1974.
#jakartabiennale2017#jakartabiennale#jogjabiennale#makassarbiennale#venicebiennale#pameranseni#gudangsarinah#sarinahekosistem#tempatnongkrongpancoran#arslongavitabrevis
0 notes
Photo
WARNING: NEVER EXPERIMENT THIS SCENE WITHOUT CONSIDERING THE CONDITION OF YOUR CAMERA SENSOR!!! As i’m coming back and forth as a portrait photographer and a stage photographer - I fully understand the risk of capturing this image with the possibility of a broken sensor due to laser shot. The most vulnerable position are up the front, but this doesn’t mean the one who brought the camera at the back will not be caught with the same situation. But i was thrilled enough to test my camera’s low light ability from the crowd. Luckily my sensor is okay. And i got these beautiful pictures. Voila! - Page 1 📷 Sony a7ii with Sony FE Carl Zeiss 55mm f/1.8 T* Sonnar ZA > rented from @zenonrental #写真好きな人と繋がりたい #ファインダー越しの私の世界 #sonyindonesia #sonyalpha #sonyalpha_id #GoMirrorlessFF #A7II #stabilityforall #stagephotography #concertphotography #crowdphotography #stageid #sel55f18z #fe55mmf18 #fe55mmf18za #zeisslens #zeisslenses #zeisssonnar #jakartabiennale #jakartabiennale2017 #artexhibition #jakarta (at Gudang Sarinah)
#jakarta#stageid#jakartabiennale2017#ファインダー越しの私の世界#zeisslenses#fe55mmf18#stabilityforall#zeisssonnar#stagephotography#zeisslens#jakartabiennale#a7ii#fe55mmf18za#artexhibition#concertphotography#sonyindonesia#gomirrorlessff#sonyalpha_id#写真好きな人と繋がりたい#sonyalpha#crowdphotography#sel55f18z
0 notes
Text
JIWA: Jakarta Biennale 2017.
Akhirnyaaaaa 1 hari sebelum Jakarta Biennale 2017:JIWA ditutup, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi pameran seni kontemporer internasional yang diadakan 2 tahun sekali oleh Yayasan Jakarta Biennale di Gudang Sarinah Ekosistem. Pameran ini diisi oleh kurang lebih sekitar 40-45 seniman and therefore gave me my first experience to visit Jakarta Biennale.
Beberapa langkah dari pintu masuk, saya langsung disambut oleh karya fotografi seni oleh Robert Zhao Renhui yang berjudul The World will Surely Collapse, Trying to Remember a Tree (III) dimana karya ini dibuat Robert Zhao untuk menyinggung bagaimana pesat perkembangan infrastruktur di Singapura dan bagaimana pemerintah cenderung lebih fokus me-modernisasi negara dan melupakan kewajiban untuk tetap memperhatikan alam Singapura.
Marintan Sirait menampilkan instalasi seni yang tidak kalah menarik yang berjudul Membangun Rumah. Maritan mengatakan performans yang ia buat pada 1992-1997 ini melibatkan rupa, gerak, bunyi, lintasan waktu, dan ruang dengan gagasan mengenai perlambatan. Salah satu hal yang membekas bagi saya tentang deskripsi instalasi ini adalah “Tubuh adalah rumah sekaligus tempat berlindung paling rentan dalam interaksi antar manusia” Which clearly declare that human being is complicated.
And here we go to the most exciting installation karya Arin Rungjang. Sebelumnya, Arin Rungjang merupakan seorang seniman yang berasal dari Thailand yang walaupun begitu kali ini berhasil membuat sebuah instalasi yang sangat Indonesia banget bagi saya. At first, this installation got my attention karena dari dalam sebuah ruangan kotak kecil mungkin sekitar 3x3 yang ditutup oleh tirai hitam, terdengar dengan keras alunan salah satu lagu keroncong legendaris Indonesia karya Gesang yaitu Bengawan Solo. I expected nothing and I’m not dissapointed. Begitu masuk, saya disambut dengan ruangan gelap tanpa penerangan selain dari cahaya yang muncul dari sekitar 3 layar besar di kiri dan kanan dan satu layar besar di bagian tengah depan. Layar-layar di kiri dan kanan semuanya sama-sama menampilkan video musik yang sama yaitu seorang wanita yang sedang menyanyikan lagu Bengawan Solo dengan indah sambil diiringi 3 orang pria dengan cello, gitar, dan biola.
As somebody who actually into musik Nusantara, I get myself very happy and I must say it was such an amazing experience to be inside and witness this dope Arin’s installation by myself. Dan bukan cuma itu yang membuat instalasi ini berkesan bagi saya. Pada layar tengah, Arin memainkan semacam slideshow berisi cerita pendek yang menampilkan kalimat per-kalimat dan akan berganti selama 5-10 detik. Cerita-cerita pendek itu menceritakan tentang berbagai hal dengan tema berbeda, salah satunya oleh Arin Rungjang sendiri yang bercerita tentang sejarah sungai Bengawan Solo yang sceara singkat dulu dipuja namun berakhir menjadi tempat pembuangan mayat pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian ada juga cerita dari Rachel Saraswati anak W.S. Rendra yang menceritakan tentang bagaimana hidupnya berubah setelah orang tuanya bercerai dan cerita-cerita pendek lainnya yang ternyata based on true story dari pada musisi pengiring lagu Bengawan Solo yang sedang dimainkan. Which make me harder to describe such abysmal installation that gave so much meaning and unforgettable experience.
Dari instalasi Bengawan Solo, kemudian saya di ajak berjalan-jalan ke The Fictional Island sebuah multichannel video installation karya Keisuke Takahashi. Bermodalkan gundukan pasir dan permainan cahaya, Keisuke mendeskripsikan bahwa instalasi ini dibuat untuk menhubungkan dan mengembangkan interaksi antara alam dan teknologi digital. Dan ia berharap penikmat karyanya kali ini dapat membuka imajinasi masing-masing tentang asal usul planet dan alam semesta dan bagaimana kita memiliki that God power untuk menciptakan dan menghancurkan alam. Sayang, pada waktu saya mengunjungi instalasi ini, sedang banyak pengunjung lain yang sibuk berfoto-foto sehingga saya kurang dapat maksimal dalam memahami imajinasi yang dimaksudkan padahal instalasi ini juga merupakan salah satu yang menarik. Maybe next time, mr. Takahashi.
Karena judulnya masih merupakan seseorang yang gabut, ingin refreshing setelah ujian, dan sekedar menghabiskan waktu main ke pameran seni jujur saya masih banyak belum memahami instalasi-instalasi keren yang telah diciptakan para seniman hebat pengisi Jakarta Biennale 2017. Semoga di Biennale 2019 dua tahun lagi, saya sudah punya kapasitas pemahaman yang lebih memadai yah jadi bisa review dan menikmati exhibition secara maksimal hehehe. Thanks a lot though, Yayasan Jakarta Biennale!
Sekian tulisan singkat nirfaedah saya. Here is another glimpse of the exhibition, enjoy!
Under the Shadow of the Banyan Tree oleh Jason Lim.
Perkenalan Pertama dengan Bahasa oleh Hanafi.
Kampung Melayu - Pasar Senen PP oleh Yola Yulfianti.
0 notes
Video
instagram
"The life is a whipping top. When it ends the spin, life ends" - Deyth Banger. 📹 by: @sutow ♡ In frame: Spinning me & @robert_zhao's "The World Will Surely Collapse, Trying to Remember A Tree (III)" #jakartabiennale #jakartabiennale2017 #gudangsarinah #jakarta (at Gudang Sarinah Ekosistem)
0 notes
Text
Jiwa, Jakarta Biennale 2017
Saat mengetahui tema dari Jakarta Biennale tahun 2017 adalah “Jiwa” saya...
sempat bingung dengan apa maksud dari kata Jiwa tersebut. Setelah mengikuti di Instagram dan melihat update-updatenya, sepertinya ini sesuatu yang masih jarang saya lihat di kesenian Indonesia - penuh dengan instalasi besar yang memakai ruangan yang cukup luas, penuh dengan performance yang juga memakai ruangan yang cukup luas - berbeda dengan Biennale sebelumnya yang lebih berdekatan jarak antar karyanya.
Benar kata Annissa Gultom, salah satu Kurator Jakarta Biennale 2017, kamu tidak akan merasakannya sampai kamu ada di dalamnya/you have to experience it.
Beberapa tahun terakhir saya makin yakin bagaimana seni adalah tentang rasa dan kemampuan kita membuat yang lain untuk merasakannya/art is about senses and the ability to deliver that to be sensed.
Setelah berpikir lama apa yang bisa saya katakan tentang Biennale ini, karena masih tidak menyangka kalau akhirnya saya berkesempatan kesana karena tidak bisa kembali ke Bali secepatnya disertai kepanikan kapan Gunung Agung akan memperbolehkan saya pulang, sesederhana itu, bahwa Jiwa mengundang kita merasakan Seni yang merupakan Rasa.
-Savitri Sastrawan, Pekerja Lepas Seni dan Bahasa
0 notes
Text
(JIWA) - Jakarta Biennale 2017
Pameran Jakarta Biennale akhirnya kembali digelar, Kali ini digelar di Gudang Sarinah, Jakarta. Sudah sejak lama Saya ingin ikut dan berkunjung ke acara yang diadakan setia 2 Tahun sekali ini. Kali ini Pameran Jakarta Biennale mengusung Tema "JIWA".
Jiwa disini bisa dimaknai dlm 2 arti, pertama adalah Identitas dlm Berkesenian, Ranah Imajinasi, Penciptaan dlm raung dan waktu kedua Jiwa adalah kondisi sistem yg berupaya memberi makna pd kehidupan. Hubungan kedua arti tersebut adalah sebagai interaksi semesta Makro dan Semesta Mikro, semesta Makro sebagai pendorong sistem kepercayaan universal, dan semesta Mikro Jiwa sebagai identitas kesenian Lokal itu sendiri.
Acara yang dibuka tanggal 4 November 2017 dan dibuka untuk Umum sejak 5 November sampai tanggal 10 Desember 2017 ini diramaikan oleh sekitar 51 seniman baik dari dalam Negeri juga dari Luar Negri. Negara Luar yang ikut serta diantaranya: Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Arab Saudi, Jerman, Australia, Inggris, Czech Republic, Argentina, Jepang, Prancis, sampai Meksiko dan afrika selatan.
Berikut beberapa Pameris dan “Pandangan Penulis” akan Karya yang dipamerakan dalam Jakarta Biennale 2017 yang menurut Saya pribadi bisa menginsirasi dan menjadi referensi dalam Berkarya.
Keisuke Takahashi (Jepang)
Video Art, Projection Mapping
youtube
Keisuke meminta pengunjung untuk memasuki sebuah ruangan (studio) yang dipenuhi dengan cahaya laser yang seakan menunjukkan alam (pasir hitam) terlihat layaknya sebuah pulau buatan, Saya merasa Kita dituntut untuk merasakan apa yang seniman rasakan, yaitu melihat kumpulan pasir dalam studio itu adalah proses dimana suatu ulau atau daratan itu tercipta. Kita bisa masuk didalamnya dan menciptakan daratan yang kita inginkan dengan cara menginjak gunungan pasir yang tersedia didalamnya. Judul Karyanya "Fictional Island”
Ho Rui An (Singapore)
Theory, Film, Research (analytical), Historical
Dari yang Saya tangkap selama melihat video performans yang ditamilkan oleh Ho Rui An, mununjukkan adanya keterkaitan antara elemen satu dengan elemen yang lainnya. Mulai dari riset yang dilakukannya di sebuah Museum mengenai adanya bekas keringat yang menempel di baju, lalu dikaitkan dengan suhu udara negara Tropis yang memaksa para kaum kolonial untuk bertahan dalam suhu yang tidak biasa mereka rasakan. Lalu dikaitkan lagi dengan adanya Globalisasi ertukaran budaya yang dilakukan oleh orang asing (baca: kolonial) yangdigambarkan sebagai wanita cantik, ramah, dan berasahabat seakan menunjukkan Dia adalah seorang Ratu yang tak Pernah merasakan panasnya suhu udara negara tropis dan sebaliknya memancarkan aura positif yang menciptakan kedamaian seluruh Penjuru negara. Judul Karya/Performans " Solar: A Meltdown”
Saya menyimpulkan bahwa,
Ho Rui An mencoba membuka Proses dimana Suatu Filosofi antara Satu Objek dengan Objek lain berkaitan, sehingga tercipta Nilai Seni di dalamnya
Ali Al-Fatlawi & Wathiq Al-Ameri (Swiss)
Performance Art
Untuk performance yang satu ini sampai sekarang Saya bingung menelaskannya, karena jujur selama mereka mempertujukkan seni mereka Saya masih belum menemukan kesimpulan pastinya. Setelah lama Saya berikir memang itulah seni, Kita tidak dituntut harus untuk bisa memiliki pemikiran yang sama seperti layaknya para seniman. Seniman hanya memberikan 'Clue' dan Kita diminta untuk meneruskan dan mencari kemana sebenarnya maksud dari apa yang mereka lakukan. Jadi, selama pertunjukkan yang dilakukan kedua orang ini adalah salah satu memakan Bunga Mawar dan satu orang lagi memukulkan Tulang besar ke kepalanya yang telah dilindungi Helm dengan ditaburi Bubuk Misiu di atasnya. Dan mereka melakukan kegiatan tersebut berulangulang.
Tapi, saya berusaha menyimpulkan dari sudut pandang Saya sebagai pengunjung. Bahwa yang mereka lakukan ini adalah gambaran akibat terjadinya peperangan yang digambarkan dengan seorang yang memukulkan Tulang besar ke kepalanya yg telah dibumbui bubuk misiu tadi, salah seorang satunya menggambarkan kelangsungan hidup pasca peperangan yaitu bertahan hidup dengan segala kebutuhan yang ada dengan cara memakan tanaman yang ada. Yang paling menonjol dari kedua performans mereka berdua adalah Baju putih yang mereka kenakan, seakan menjadi kunci penentu dari sudut pandang yang Saya dapatkan, yaitu akibat dari peperangan itu terlihat jelas dari kotornya bau putih mereka. Performance Art berjudul “Vanishing borders, or let's talk about the situation in Iraq”
youtube
Hanafi (Indonesia)
Experience, Objective Perception
“Setelah Bahasa ibu, berbagai bahasa datang kepadaku, dalam bentuk dan rupa”
Pensil menjadi Objek pertama Kita dalam menulis bahkan menciptakan Imajinasi saat kita kecil dulu. Dan yang tergores dr setiap pencil tidak selalu dalam Kertas juga tergores di udara dinding setiap rumah orang Tua kita.
Saya melihat instalasi ini mengajak pengunjung untuk ikut serta merasakan dan menciptakan maksud dari Judul yang diberikan ole seniman, "Perkenalan Pertama dengan Bahasa". Mempersilahkan pengunjung untuk mengenakan Jaket yang menempel di setiap sisinya sebuah pensil, lalu kemudian pengunjung bisa mencoba bereksperimen dengan berjalan ke sebuah lorong dimana terdapat tembok putih besar lalu pengunjung bisa berjalan dengan menempelkan jaket tersebut ke arah tembk yang semakin ke ujung semakin sempit. Hasilnya, Pengunjung akan bisa melihat maksud dari judul instalasi tersebut. Saya menilai instalasi ini cukup bersahabat karena bisa menarik para pengunjung untuk berfoto juga merasakan nilai seni yang dihasilkan
Mohon maaf jika Saya tidak bisa memberikan gambaran keseluruhan instalasi dalam pameran JIWA, Jakarta Biennale 2017 tahun ini. Tapi Satu hal yang Saya dapatkan dalam setiap instalasi yang dipamerkan bahwa
Semua instalasi yang dipamerkan memiliki sudut pandang yang berbeda tergantung bagaimana Kita bisa mengapresiasi para Pekarya (Baca: Seniman) dan setiap instalasi yang disajikan bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat.
Terima Kasih Jakarta Biennale untuk pengalaman yang menarik dan pelajaran seni yang membuka wawasan Saya Pribadi. I love being able to share perspectives and everything that contains Value of Art & creativity
About My #Exhibitionjourney
PLAY In PROGRESS
Mutual (Un)known
Bagi Terangmu
Still Photo Exhibition
unpubl(ish)ed
0 notes
Photo
TAK PERNAH LETIHKAH ENKAU BERGELUT DENGAN JIWA YANG TAK KENAL MENYERAH?
0 notes
Photo
“The World Will Surely Collapse, - Trying to Remember A Tree (iii)” — by Robert Zhao Renhui at #JIWA #jakartabiennale2017 (at Gudang Sarinah Ekosistem)
0 notes
Photo
perkenalan dengan bahasa | hanafi 2017 | jakarta biennale 2017 | gudang sarinah ekosistem #insta_bw #my_daily_bnw #bnw_city #everything_bnw_ #pocket_bnw #amateurs_bnw #bw_photooftheday #bnw_demand #bnw_rose #bnw_life #bnw_planet_2017 #bnw_addicted #bnw_bestphoto #bnw_society #bw_photo #blackandwhiteisworththefight #bnw_legit #bnw_captures #bnw_greatshots #bnw_fabulous #bnw_drama #ok_bnw #bnw_kings #bnw_hart #bnw_photography #trienalsenipatungindonesia #art #artwork #jakartabiennale2017 #jakartabiennale
#jakartabiennale2017#bnw_photography#bnw_city#bnw_drama#bnw_demand#bnw_fabulous#jakartabiennale#bnw_addicted#bnw_life#insta_bw#bnw_hart#pocket_bnw#bnw_society#bnw_greatshots#bnw_planet_2017#trienalsenipatungindonesia#bnw_captures#amateurs_bnw#bw_photo#ok_bnw#blackandwhiteisworththefight#bnw_rose#my_daily_bnw#bnw_kings#artwork#art#bnw_bestphoto#bw_photooftheday#everything_bnw_#bnw_legit
0 notes
Photo
Suka konsep warung makan disini 😍😍.. padahal ini kantin, harganya juga harga mahasiswa jadi di bundling harga dibawah 20rb.. tapi nyaman banget dan kece sih menurut aku.. @warungprovoke #jb2017 #jakartabiennale2017 @jakartabiennale (at Gudang Sarinah Ekosistem)
0 notes
Photo
The Fictional Island - Keisuke Takahashi . . . . #jakartabiennale2017 (at Gudang Sarinah)
0 notes
Photo
In the creation of art, maintaning focus in the middle of crowd isn’t a piece of cake. I applaud the artists in keeping himself centered at finishing his artwork in this photograph scene. Incredible sight. 📷 Sony a7ii with Sony FE Carl Zeiss 55mm f/1.8 T* Sonnar ZA > rented from @zenonrental #写真好きな人と繋がりたい #ファインダー越しの私の世界 #sonyindonesia #sonyalpha #sonyalpha_id #GoMirrorlessFF #A7II #stabilityforall #urbex #createexplore #exploretocreate #streetshared #streetmobs #urbanphotography #streetphotography #streetexploration #urbanandstreet #streettogether #streetmagazine #shotaroundmag #sel55f18z #fe55mmf18 #fe55mmf18za #zeisslens #zeisslenses #zeisssonnar #jakartabiennale #jakartabiennale2017 #artexhibition #jakarta (at Gudang Sarinah)
#exploretocreate#streetshared#jakartabiennale2017#streetexploration#sonyalpha_id#jakarta#urbex#zeisslenses#sonyalpha#shotaroundmag#stabilityforall#urbanphotography#gomirrorlessff#ファインダー越しの私の世界#streetphotography#写真好きな人と繋がりたい#artexhibition#streetmagazine#sel55f18z#createexplore#sonyindonesia#streetmobs#fe55mmf18#a7ii#streettogether#zeisssonnar#jakartabiennale#zeisslens#urbanandstreet#fe55mmf18za
0 notes
Photo
JIWA: Jakarta Biennale 2017 akan hadir tanggal 4 November nanti! ー Mari datang dan rayakan malam pembukaan #JakartaBiennale tahun ini pada hari Sabtu, 4 November 2017 di Gudang Sarinah Ekosistem pada pukul 18.30 WIB. Pameran akan berlangsung hingga 10 Desember di beberapa tempat seperti Gudang Sarinah Ekosistem, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Seni Rupa dan Keramik. ー Pada Jakarta Biennale 2017 ini, Melati Suryodarmo sebagai direktur artistik mengangkat konsep "Jiwa" sebagai gagasan artistiknya dan bersama Annissa Gultom, Hendro Wiyanto, Philippe Pirotte, dan Vít Havránek sebagai kurator, telah memilih dan akan menampilkan karya-karya dari 51 seniman dari berbagai negara. ー Mari ikuti kanal-kanal media sosial media kami untuk informasi terbaru tentang pameran ini: Facebook Page: Jakarta Biennale Instagram: @jakartabiennale Twitter: @jakartabiennale ー #JakartaBiennale #JIWA #JB2017 #JakartaBiennale2017 #exhibition #GudangSarinah
0 notes
Photo
Jiwa. Sebuah roh, nyawa hasil pergumulan antara perasaan, pikiran, dan angan-angan. Adanya jiwa, adanya kehidupan. Kehidupan di mana manusia harusnya berjalan harmonis dengan sesama manusia, alam, benda-benda di sekelilingnya, seimbang dengan segala ragamnya. Perkembangan zaman (teknologi mutakhir) telah disiarkan sebagai kemajuan peradaban, nyatanya mampu menggeser jiwa. Menggeser sensitivitas indera untuk berjalan beriringan dengan sekitar. Lupa jika alam, khususnya adalah akar kehidupan. Lupa jika teknologi hanya bersifat sementara. Lupa jika segala isu yang menguar bukan entitas dasar ideologi kehidupan. @jakartabiennale tahun ini mengangkat tema Jiwa. Bagai media sensitivitas dan pengingat peran manusia di dunia. Merangsang indera kita agar tak lupa perannya, yaitu kembali peduli dengan sekitar, dan bertemu lagi dengan jiwa yang sesungguhnya. Karya yang menjadi perhatian saya adalah karya dari 2 perupa Iraq: Ali Al-Fatlawi dan Wathiq Al-Ameri, "Vanishing Borders or Let’s Talk about the Situation in Iraq' (2014) - merangkai batas kehidupan-kematian bangsa Irak yang dianalogikan melalui simbol perang dan mawar. Kemudian, hamparan enceng gondok berbunga mawar emas pun menyita mata. Karya dari Siti Adiyati ini merupakan simbol kontradiksi kehidupan sosial antara si golongan atas dan rendah. (Enceng gondok ini diambil dari kawasan mewah Jakarta Utara ☺). #jakartabiennale2017 #jiwa #jakartabiennale #jb2017 #jb2017blogcompetition
0 notes