#indonesianstory
Explore tagged Tumblr posts
fabiolaesterr · 7 years ago
Photo
Tumblr media
1 note · View note
dhagone · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Let see what it's best for tomorrow bout Son Of Thunder ⚡ #gundala #putrapetir #herolegend #indonesianstory @jokoanwar #indonesianmovie (at Jakarta, Indonesia) https://www.instagram.com/p/B1xervmhXjR/?igshid=hfraaivlviwc
0 notes
chandrawulan · 8 years ago
Quote
Wah, Halimah-mu itu perempuan hebat. Bersyukurlah kamu punya tunangan seperti dia. Meskipun tetap kasihan juga saya. Perempuan itu, kata orang, cepat menjadi tua, lebih cepat dari laki-laki. Pikirkan itu, Tip.
Umar Kayam - Jalan Menikung (Para Priyayi 2)
22 notes · View notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were”- part 1
“Hhhhh....,” aku menghela napas panjang seusai mengirim laporan yang diminta Bu Meggy, bosku.
Sudah sejak pukul 17.00 aku mendekam di kamar kos, mengerjakan laporan yang diminta mendadak. Kulihat jam di ponsel, sekarang pukul 23.17 . Untung ini masih awal semester tahun ajaran baru, belum terlalu banyak tugas kuliah. Kalau tidak, bisa-bisa tidur menjadi barang mewah buatku, karena selain menyelesaikan tugas kuliah, aku juga harus mengerjakan laporan kantor. Ya, memang beginilah nasib seorang mahasiswi yang merangkap pekerja paruh waktu. Keduanya berkompetisi menghabiskan seluruh isi pikiranku.
Namaku Rani. Lengkapnya Maharani Karina Adiputra. Usiaku 25 tahun –  jalan 26 tahun ini – dan sekarang sedang struggling menyelesaikan kuliah di Program Magister Sosiologi Universitas Negara sambil melakukan part-time di Pusat Penelitan Indonesia (PPI). Terdengar serius? Ya, lumayan. Hal-hal yang diteliti PPI memang serius, seperti tentang pengaruh pembangunan prasarana jalan terhadap modal sosial masyarakat desa tertinggal, dan lain-lain. Pekerjaanku kebanyakan hanya mengumpulkan data dan melakukan analisis statistik. Pusing? Tentu saja. Tetapi bisa jalan-jalan keliling Indonesia tentunya menjadi reward sendiri bagiku.
Lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Sosial di usia 22 tahun, lalu diterima kerja langsung di PPI merupakan salah satu hal yang paling membanggakan dalam hidupku. Di hari wisudaku, Ibu berlinang air mata karena haru. Beliau tak henti-hentinya menghujaniku dengan ciuman dan pelukan, “Ayah pasti bangga sama kamu, 'Nak. Pasti...”
I really hope so, Bu. Memang tujuanku ingin membanggakan Ayah.
^^^
Trrrrt.... Trrrrt...
Ponselku bergetar-getar di atas meja, tanda panggilan masuk.
“Halo, Bu.”
“Waalaikumsalam, Rani.” Aku hanya nyengir karena lupa menyapa ibu dengan 'Assalamulaikum' seperti yang selalu diajarkannya. Tapi, ya sudahlah. Ibu sudah mengerti bandel-bandel anaknya.
“Rani, kok dari tadi Ibu telepon nggak diangkat?”
“Rani habis mandi, Bu.”
“Lho, kok jam segini baru mandi, toh?”
“Baru selesai laporannya Bu Meggy. Ingat nggak yang minggu lalu kunjungan ke Klender? Datanya sudah aku masukin dari kemarin-kemarin, tapi ternyata kata Bu Meggy, data anak-anaknya harus dimasukin juga. Jadi, ya, barusan aku kerjain sampai selesai.”
“Oh, masih suka dadakan gitu, ya, bosmu itu?”
“Hahahaha, iya, Bu. Namanya juga Bu Meggy. Untung aku lagi nggak ada tugas. Ibu kenapa telepon? Ibu sehat?”
“Sehat, alhamdulillah. Cuma pengin ngecek keadaanmu aja.”
“Aku baik-baik saja, Ibu nggak perlu khawatir.”
“Ya, Ibu cuma pengen tahu keadaan kamu, nggak apa-apa 'kan?”
Aku cuma tersenyum. Walaupun ibu tidak bisa melihat senyumku. Ibu sering melakukan ini sejak aku kuliah S1, memastikan anaknya baik-baik saja. Padahal baru dua hari sebelumnya menanyakan hal yang sama.
“Kamu jangan kebanyakan kerja, Ran. Ambillah waktu untuk bersantai sejenak, melakukan hobi kamu – yang bukan pekerjaan, tentunya...”
I think I know where this is going. Jadi langsung saja ku potong, “Ibu mau aku cari pacar, maksudnya?”
“Lho, Ibu nggak ngomong begitu...”
“Udah ketebak kali, Bu. Sama aku aja masih pakai kode-kode segala.”
“Yah, ibu tuh cuma pengen kamu nggak kesepian. Nggak sendirian terus.”
“Kan ada Ibu. Ada Bang Mat, Mbak Dini, Metta. Ada Intan juga di sini selalu nemenin Rani.”
Aku menyebutkan nama abangku, istrinya, dan anak mereka, keponakan satu-satunya dan kesayanganku. Juga tidak lupa sahabatku sehidup semati di program Magister yang sedang aku jalani ini.
“Ibu belum tentu selalu ada di sisi kamu, Ran.”
Fixed, Ibu kebanyakan nonton teve. “Ibu ngomong apaan sih? Udah, ah. Jangan kayak gitu.”
“Rani, kamu tahu persis apa maksud Ibu 'kan?”
Aku terdiam. Ya, tentu saja aku tahu. Ibu sudah tua. Satu hal yang ingin ibu lihat adalah aku dipinang orang sebelum Ibu mendahului kami, menyusul Ayah. Tapi kalau memang aku belum bertemu yang cocok, mau gimana?
“Kalau belum ketemu, ya nggak apa-apa, Ran,” kata ibu. God, is she some kind of paranormal or what? Aku nggak bilang apa-apa tapi dia tahu apa yang kupikirkan. “Tapi kamu harus mencoba mencari. Mencari saja tidak cukup, Ran. Membuka diri terhadap orang lain. Itu yang harus kamu lakukan juga.”
^^^
Ibu selalu ada buatku, di saat  senang, susah, sedih, apa pun perasaanku. Walaupun kadang-kadang kami sedikit berselisih pendapat, tetapi Ibu adalah orang yang paling mengerti aku. Beliau tidak pernah melarang-larangku dan mendukungku 150% untuk mengejar cita-cita menjadi sosiolog, seperti Ayah. Walaupun mungkin terkesan sangat idealis karena cita-cita Ayah memang mulia dan aku hendak mengikutinya, tapi Ibu tidak pernah sedikit pun lelah mendukungku.
Ayahku seorang profesor di bidang sosiologi, lulusan Amerika. Beliau banyak melakukan penelitian dan memberi kuliah di Universitas Negara semasa hidupnya. Penelitian-penelitian yang beliau lakukan termasuk pergi ke daerah-daerah terpencil untuk mengambil data. Sambil melakukan itu, Ayah suka berkunjung juga ke rumah-rumah singgah atau sekolah-sekolah kecil yang tidak punya tenaga pengajar yang cukup. Ayah dan timnya kadang-kadang membantu mengajar. Mereka adalah orang-orang hebat berhati mulia, ingin membangun negeri.
Mulia, mulia sekali orang-orang itu.
Sayangnya, sebelum sempat Ayah merasakan suksesnya 'membangun', beliau dipanggil Tuhan, seminggu setelah ulangtahunku yang ketujuh belas.
Ibuku sendiri membuka bisnis karangan bunga. Ibu senang merangkai bunga dari dulu. Memiliki sahabat di Bandung yang selalu menyetok segala macam keperluan bunga-bunganya, sudah cukup untuk Ibu menjalankan bisnis ini. Kata Ayah, dulu Ibu sempat kerja kantoran. Di Gordon & Mitchell. Dulu aku belum mengerti jabatan ibu. Pokoknya Ibu sering bilang “Pulang malam, ketemu klien.” Apa pula itu klien? Pokoknya yang kutahu, Ibu kerjaannya mengurus klien-klien, entah apa yang dilakukannya. Tapi setelah melahirkan Bang Mat, Ibu memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah tangga. Makanya beliau memilih bisnis kecil ini.
Pembicaraanku di telepon semalam dengan ibu bukan yang pertama kalinya. Ibu sering menyuruhku mencari suami. Bayangkan, di usiaku yang baru 25 tahun. Hahahaha.... seandainya semudah itu, Bu. Aku sendiri bukannya tidak memikirkan itu. Tetapi aku tidak mau pacar-pacaran hanya iseng, seperti anak SMA. Menurutku, pacaran itu untuk tujuan menikah. Memang kalau mau ngomongin pernikahan bakal panjang urusannya. Kalau pacaran hanya untuk memiliki status dengan orang lain, tanpa ada tujuan dan arah yang jelas, buat apa?
Tapi, itu untuk nanti. Kalau aku sudah yakin, dan kalau ada yang bisa meyakinkanku, Si Johir alias Jomblo dari Lahir.
^^^
“Kenapa lo cemberut gitu?” tanya Intan sambil berusaha sekuat tenaga memotong ayam bakar di piringnya menggunakan sendok dan garpu.
“Tan, makan pake tangan aja kenapa sih?” sahutku geregetan.
“Males, ah. Tangan kotor dan nanti bau ayam. Udah dicuci berkali-kali tetap tinggal baunya.”
Aku hanya menggeleng-geleng. Ya, pastilah akan bau. Kalau memang nggak mau tangan kotor, kenapa si Miss Rempong satu ini nggak beli makanan lain saja? Anyway, hanya aku yang boleh mengatai dia seperti itu. Kalau orang lain yang ngomong dan dia dengar, pasti dia marah sekali. Itulah keuntungan menjadi sahabat Intan sejak tahun pertama kuliah magister.
Aku dan Intan berbeda dari A sampai Z. Persamaan kami hanya satu, sama-sama mengambil magister sosiologi sejak 1,5 tahun lalu. That's it.
Pertama, Intan mendapatkan gelar sarjana psikologinya di Sydney, sementara aku sarjana sosial di Unega. Aku hanya meneruskan pelajaranku, walaupun sempat terpotong dua tahun kerja. Sementara Intan, ia anak psikologi dengan konsentrasi di psikologi sosial. Mengambil sosiologi di Unega merupakan keputusannya saat selesai bachelor degree-nya di Sydney. Waktu aku tanya mengapa ia tidak kuliah di Sydney lagi, alasannya karena pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan di Australia. Tapi aku tahu pasti alasan sebenarnya bukan itu, melainkan karena seseorang bernama Rama. Ada ceritanya soal Intan dan Rama, tapi mungkin kapan-kapan, ya? Kalau sekarang, bisa jadi satu novel sendiri.
Kedua, usiaku dan Intan terpaut tiga tahun dengan pengalaman kerja yang berbeda. Ia lulus dan langsung master, aku setelah lulus sempat bekerja dulu selama 2 tahun. Sampai sekarang aku masih membantu di PPI, tetapi paruh waktu. Jadi, tidak mengganggu kuliahku. Sementara pengalaman kerja Intan? Bisa dibilang masih minim. Ia pernah ikut voluntary work ketika di Sydney dulu, katanya. Kadang Intan masih suka ikut komunitas gerejanya untuk mengadakan bakti sosial dan mengajakku (dan Rama) ikut serta. Aku dengan senang hati membantunya. Gitu-gitu, Intan nggak pernah perhitungan kalau sama gereja.
Ketiga, Intan hobi gonta-ganti pacar. Sedangkan aku, sepertinya layak mendapatkan gelar – menurut Intan – Miss Wait-Until-I-Find-the-Right-Guy-to-Marry. Usiaku hampir 26 tahun dan selama itulah aku menjomblo. Membanggakan, bukan? Bukannya nggak suka laki-laki, lho. Orientasi seksualku masih normal, kok. Aku cuma malas pacaran. Sering jadi pendengar curhatan teman-teman yang bermasalah dengan pacar-pacar mereka, membuatku memikirkan untung-rugi berpacaran, dan berakhir dengan, “Ah, banyakan ruginya.” Sedangkan Intan, ganti pacar seperti ganti celana dalam. Ya, walau aku tahu 'celana dalam' favoritnya tetaplah Rama. Okay, that sounds disgusting.
I am not even sure apa Rama bisa disebut salah satu 'celana dalam' Intan atau tidak. Tapi anyway, aku tidak ingin memiliki 'celana dalam' itu kalau hanya untuk diganti-ganti. Inginnya yang serius dan bisa sampai akhir hayatku. (Rasanya analogi celana dalam tidak lagi tepat. Masa' mau pakai celana dalam yang sama seumur hidup?? Iyuuuuh.)
“So, kenapa lo cemberut gitu?” Intan mengulang pertanyaannya.
“Adalah. Males ngomonginnya gue.”
“Pasti nyokap lo nyuruh cari pacar lagi, ya?” tembaknya telak.
Aku mendengus keras dan sebal, membuat Intan tertawa terbahak-bahak.
“Ya udah, Sabtu jadi nemenin gue 'kan? Sekalian deh lo bisa cari pasangan.”
“Sial lo... Mau ke mana, sih, kita?”
“Dinner aja kok, say. Get dressed, ya. Anaknya temen bokap gue ini dokter, lho. Kece deh pokoknya. Siapa tau cocok buat lo.”
“Kalau emang kece, kenapa nggak lo embat aja?”
“Yeeeh, terus Andri mau dikemanakan, Rani?”
Aku tergelak. Andri adalah pacar barunya Intan. Kayaknya sudah sebulan ini mereka jalan bareng. Prestasi sih. Biasanya Intan cuma tahan seminggu, dua minggu aja sudah bagus.
“Andri nggak ikut Sabtu ini?”
“Nggak. Kenapa sih? Lo mau semacam double date gitu?”
“Rese' lo!” seruku sambil menciprat air dari kobokan yang baru kupakai untuk mencuci tanganku.
“Ih, jorok banget, Raaaan!”
^^^
Sabtu sore.
Aku menatap refleksi diriku di cermin. Make up tipis sudah terpulas cantik di wajahku. Aku juga sudah mengenakan blus biru tua model sabrina dipadukan dengan celana kulot putih favoritku karena emang nyaman sekali dipakai. Rasanya sudah cukup pantas malam ini untuk malam mingguan bareng Intan dan temannya yang dokter itu. Aku tidak yakin akan makan di mana, tapi kalau sama Intan, hampir pasti ke tempat-tempat yang dua-ratus-ribu-ke-atas begitu. Jadi, penampilan juga penting kalau mau pergi sama Intan.
Tok, tok, tok. Pintu kamar kosku diketuk dari luar dan suara Intan melengking kemudian, “Raniiiii.... Sudah siap belum???”
“Iyaaaa, sebentar.”
Aku mengambil tasku, mematikan lampu, dan membuka pintu. Intan tersenyum lebar menungguku di luar. Ia mengenakan dress hitam dan heels merah tua. Ia terlihat stunning memang, apalagi ditambah make up-nya yang membuatnya terlihat tidak seperti perempuan berusia 23 tahun.
“Ready?”
“Ehmmm... Kita mau pergi dinner 'kan?”
Intan tersenyum jahil, “Iyalah, memang mau ke mana lagi? Yuk turun.”
^^^
Di parkiran rumah kosku, menunggu sebuah sedan abu-abu berplat H di depannya. Intan segera duduk di kursi samping supir, sementara aku masuk di belakangnya.
“Jadi, San, ini temen gue, Rani. Kenalin,” kata Intan ke si 'supir', lalu ia menengok ke arahku. “Ran, ini dokter Sandi.”
“Hai,” Aku menyapa dan mengulurkan tanganku ke depan. “Gue Rani.”
Dokter Sandi terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengambil tanganku. Ia mengucapkan namanya cepat dan dengan volume agak kecil, “Sandi.”
Selama perjalanan, Intan banyak mengoceh tentang aku kepada Sandi. Sementara Sandi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil fokus pada jalanan. Aku merasa orang ini kaku banget, seperti kanebo kering. Seriously, ini orang yang mau Intan kenalkan kepadaku? Aku bisa apa kalau ditinggal berdua sama orang macam ini? Mana bisa aku ngobrol dengan enak?
Aku berusaha mencairkan suasana juga dengan bertanya, “Kerjanya di mana?”
“Rumah Sakit Kencana Sejahtera,” jawabnya singkat.
Lalu, Intan yang menyambar, “Itu, lho, Ran, yang di Tebet. Tahu 'kan? Rumah sakitnya baru direnovasi, terus spesialisasinya tulang kalau nggak salah. Ya 'kan, San?”
Sandi hanya mengangguk singkat.
^^^
Makan malam berjalan baik dan tenang. Tentu saja. Karena Sandi orangnya diaaaaaam sekali. Tidak bicara apapun jika tidak ditanya. Hanya mengangguk-angguk kecil menyetujui ocehan Intan.
Ada beberapa hal yang aku ketahui tentang dokter Sandi ini. Ia baru pindah ke Jakarta 6 bulan terakhir ini untuk praktik di Rumah Sakit Kencana Sejahtera. Ia lulus dari Universitas Diponegoro, Semarang sekitar 3 tahun lalu, waktu usia 25 tahun. Lalu dua tahun dihabiskan di Yogyakarta, bekerja sebagai dokter umum di salah satu rumah sakit dan melakukan beberapa riset di Universitas Gadjah Mada. Rencananya ingin mengambil spesialis di Unega, tapi mungkin baru ikut tes tahun depan. Satu tahun ini masih mau mengumpulkan uang dulu.
Kok bisa banyak ceritanya? Katanya orangnya pendiam?
Semua fakta itu, aku tahu dari mulut Intan. Sandi ini hanya mengiyakan semua perkataan Intan. Jadi, Intan sudah tahu semua tentangnya? Gimana caranya? Cerita pakai apa? Orang kayaknya dia ini skrup suaranya terlalu kencang, alias saking hobi diamnya, sudah kayak robot.
Setelah selesai makan, Sandi menyetir mobilnya sesuai arahan Intan. Kami menuju daerah Jakarta Pusat, bukan arah pulang ke tempat kosku.
“Tan, kita mau ke mana?” tanyaku penuh curiga.
“Hmm... ke Nordic.”
Aku melotot. Intan mengajak kami ke salah satu club paling happening di Jakarta saat ini. “Heh, giling. Gue pake celana santai begini.”
“Ih, santai aja lagi, masih kece kok.”
“Terus ntar mau pulang jam berapa? Siapa yang mau nganter?”
“Actually kemaren gue udah bilang ke Sandi, dia mau kok gue ajak ke Nordic. Ya 'kan, San?” kata Intan nakal  sambil melirik ke Sandi. “Kalau pulang tenang aja. Ntar Sandi yang anter lo. Gue mah gampang.”
Aku hanya geleng-geleng. Intan ini kalau ke club sudah pasti mabuk. Tidak mungkin Intan ini naik taksi mabuk-mabuk gitu. Gampang, katanya? Gampang dari Hongkong!
“Gue sih nggak masalah karena gue pasti pulang dalam keadaan sadar. Sandi nggak perlu anter gue juga nggak apa-apa. Gue bisa naik taksi. Kalo lo? Lo nggak mungkin naksi 'kan? Andri juga lagi di Bandung 'kan tadi pagi lo bilang? Siapa yang mau anter lo, Tan?” Bagaimanapun aku khawatir terhadap sahabatku satu ini.
“Ntar ada Rama kok. Lo nggak usah khawatir gue pulang. Pasti Rama anterin.”
See? Celana dalam satu itu memang selalu stand by.
^^^
Nordic, pukul 1.55 pagi.
Aku cuma menenggak sedikit-sedikit birku sambil memperhatikan Intan yang di sudah kesetanan di lantai dansa. “Minumnya sedikit, naiknya cepat”. Begitulah Intan.
Ini salah satu perbedaan kami. Intan hobi clubbing, aku tidak. Ia kalau minum cepat mabuk, aku tidak. Bukannya tidak pernah clubbing, tapi aku tidak sesering Intan. Dan biasanya, kalau aku pergi, pasti bareng Intan, dengan tujuan menjagai dia. Emang dasar perempuan sinting, gerutuku dalam hati.
Sementara Intan asyik-asyik tanpa sadar, aku di sini dengan sadar duduk bersama Sandi. Diam-diaman, tanpa bicara sedikit pun. Sandi yang juga dengan sadar menyulut rokoknya sedikit demi sedikit. Aku bingung juga mau mengajaknya ngobrol apa. Asli, diam seribu bahasa. Aku tidak tahu apa yang harus aku tanya, sementara hal-hal umum yang menajadi pertanyaanku pada umumnya ketika baru berkenalan dengan orang sudah diceritakan Intan semua tadi di mobil. This is awkward.
^^^
Nordic, pukul 3.47 dini hari.
“Hei, Ran,” sapa Rama menghampiriku, masih duduk di kursi yang sama. Aku sudah ngantuk sebenarnya. Tapi Sandi dan Intan masih di situ. Bahkan Rama baru datang.
“Hei, Rama. Sendirian aja?”
“Iya, nih. Cuma mau jemput si Tuan Putri. Mana dia?” tanyanya sambil celingukan mencari Intan.
“Tuh, lagi di deket meja DJ, lihat nggak? Sama bule.”
Rama mengarahkan pandangannya ke Intan yang sedang asik dance seorang pria kaukasian. “I see. Gue ke situ dulu.”
“Itu Rama?” tanya Sandi tiba-tiba.
“Iya,” jawabku bingung, merasa aneh ditanya terlebih dahulu oleh Sandi. “Eh, iya, kalian belum kenal?”
“Belum,” jawabnya rikuh. “Tapi Intan sering bicara tentang dia.”
“Ehmmm... Iya, sahabatnya selama di Sydney dulu.”
Sandi hanya mengangguk-angguk.
Rama kembali dengan Intan sudah bergelayutan di lengan kirinya. Intan bertanya dalam kondisi setengah sadar,“Guys, aku sudah dijemput sama tuan muda nih. Kalian masih mau di sini?”
“Nggak, gue mau pulang juga. Gue dari tadi cuma nungguin lo doang dijemput sama tuan muda lo ini,” jawabku secara bangkit dari tempat duduk.
Sandi ikut berdiri. Rama hanya tersenyum-senyum dipanggil 'tuan muda' seperti itu.
“Ya sudah, gue ke depan cari taksi, ya,” kataku kepada mereka bertiga.
“Eh, lho? Sandi yang anter pulang, ya 'kan, San?” Intan berjalan ke arah Sandi, menarik tangannya dan mendekatiku. Intan menggandengkan tangan Sandi ke tanganku. “Nah, kalian pulang bareng. Gitu.”
Aku bingung dengan perbuatan Intan. Sandi pun terlihat tidak nyaman dan rikuh. Tapi ia tidak melepaskan tangannya dari tanganku.
“Sebenarnya gue bisa cari taksi. Kasihan Sandi kalau harus ke Depok dulu.”
Intan yang sudah kembali di sisi Rama menggoyang-goyangkan lengan Rama, seperti memberi kode untuk mengatakan sesuatu.
“Ehm... Iya, mending lo pulang bareng Sandi deh, lo nggak keberatan kan, Bro?” tanya Rama kepada Sandi. “Kalau nggak, gue bisa anterin dia pulang. Daripada sendirian naik taksi jam segini.”
Intan menengok ke arah Rama tidak setuju. “Lo nganter gue. Sandi nganter Rani. Adil 'kan?”
“Iya, aku aja yang nganter Rani, nggak keberatan kok,” jawab Sandi akhirnya, kemudian melepaskan gandengannya dari tanganku. “Yuk...”
^^^
Perjalanan pulang kali ini adalah momen yang paling canggung seumur hidupku. Jendela mobil dibuka dan Sandi hanya diam, menyetir sambil merokok.
“Sudah lama merokok?” aku bertanya berusaha menyelamatkan kecanggungan ini.
“Lumayan, tiga tahun kira-kira,” jawabnya.
“Oh, kamu dokter tapi merokok, ya?”
Sandi tertawa, “Hanya kalau sedang tidak dinas dan bukan di rumah sakit.”
Lalu kami diam lagi. Tapi hanya sekitar 30 menit aku sudah sampai di tempat kos. Jalanan jam empat pagi itu memang luar biasa menyenangkan, sepi, tidak macet, tidak panas juga.
“Terima kasih, ya, sudah mau mengantarkan sampai ke Depok lagi. Jauh, lho,” kataku sebelum turun dari mobil Sandi.
“Sama-sama.”
Waktu hendak membuka pintu, Sandi tiba-tiba bertanya, “Rani, aku boleh minta nomor handphone?”
“Eh?”
^^^
Aku masuk ke rumah kos yang sudah sepi seperti tidak berpenghuni, naik ke lantai dua, masuk kamar, ganti baju, cuci muka, dan merebahkan badanku ke kasur.
Lelah dan ngantuk, tapi tidak langsung bisa memejamkan mata. Masih terasa pekaknya suasana Nordic dan pengaruh bir, sepertinya. Tiga puluh menit setelahnya, ada notifikasi WhatsApp masuk di ponselku.
“Rani, ini Sandi. Aku sudah sampai di apartemenku. Terima kasih, ya, untuk hari ini. Senang berkenalan dengan kamu. Kalau berkenan, nomorku disimpan, ya. Selamat istirahat, Rani.”
1 note · View note
ampasindonesia-blog · 7 years ago
Text
I’m Getting Crushed into You!
Kinar kembali menepuk-nepuk kedua pipinya yang bersemu merah keras-keras seakan masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi. Hati Kinar terasa masih berdegup kencang.
Ya, Tuhan! Aku enggak mimpi, kan? Tadi Tama duuuh, romantis banget! Apa ya maksud ucapannya? Kenapa dia tiba – tiba berkata manis seperti itu?? Ah, lalu kenapa aku tiba-tiba jadi seperti ini sih. Dia kan temanku… kata Kinar di dalam hatinya. Matanya terpejam tapi bibirnya terus melebarkan senyum kebahagiaan, membayangkan kembali peristiwa yang baru saja terjadi dan yang telah membuat hatinya berdegup sangat kencang. Pikirannya kembali menerawang.
Kala itu…
Seorang laki-laki tinggi, kurus, tampan dengan potongan rambut coklat cepak dan mengenakan kemeja kotak-kotak datang menghampiri Kinar yang saat itu sedang duduk sendirian di bangku taman kampus, laki-laki itu menyerahkan sebungkus es krim kesukaan Kinar sambil menatap wajah Kinar seolah memohon belas kasihan. Sementara, tidak seperti biasanya, Kinar mengambil es krim dari tangan laki-laki itu dengan memanyunkan bibirnya menunjukkan rasa kesalnya padanya. Tak ada kata terima kasih  yang keluar dari mulut Kinar, dia lantas menikmati es krimnya tanpa memedulikan laki-laki yang berdiri di hadapannya itu. Laki-laki itu kemudian duduk di sebelah Kinar. Wajahnya sedih, dia menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya, memohon maaf pada Kinar. Kinar memelototi laki-laki itu sambil memanyun-manyunkan bibirnya yang penuh dengan separo es krim lalu membuang wajahnya ke arah lain.
“Maafin aku dong Kinar. Ya? Kan aku enggak sengaja…,” kata laki-laki itu memohon-mohon. Kinar hanya melirik pada laki-laki itu sambil tetap menikmati es krimnya. Sebentar, Kinar menghela napas.
“Tapi kamu harusnya berhati-hati, Tam. Flashdisk yang kamu hilangkan itu sangat penting buat aku!” keluh Kinar kesal.
“Kamu tahu kan flashdisk itu penting untukku karena banyak dokumen pentingku di dalamnya. Bayangkan saja, semua tugas dan catatan dari dosen, dokumen presentasi, dan laporanku… HILANG! Aku harus belajar apa? Komputerku di rumah masih rusak. Selama ini aku mengerjakan tugas di warnet. Jadi aku nggak punya back-upped data. HUH, kenapa sih aku pinjamkan ke kamu kalau jadinya seperti ini…,” lanjut Kinar mengomel sambil sesekali menatap kesal pada Tama yang hanya diam mendengarkan omelan Kinar.
Kinar berharap hal seperti ini menjadi peristiwa April Mop. Dia kesal bukan main ketika pertama kali Tama, sahabatnya mengaku menghilangkan flashdisknya. Dia berharap Tama kemudian memotong kata-katanya dan mengatakan April Mop kepadanya. Sayangnya, hari ini bukan tanggal 1 April. Jadi sangat tidak mungkin kalau hal itu terjadi. Mungkin menjadi marah kepada Tama karena flashdisk yang tidak sengaja dihilangkan adalah tindakan kekanak-kanakan. Tapi biar bagaimanapun, flashdisk itu sangat penting untuknya. Tamapun tahu itu! Selama satu semester Kinar mengumpulkan semua hand out dan catatan yang dia dapat dari dosennya serta mengumpulkan segala tugas yang telah dia kerjakan di dalam flashdisk supaya bisa dengan mudahnya dia mempelajari kembali materi-materi yang telah didapat. Tidak mungkin dia mengandalkan teman-teman satu kelasnya untuk meminjamkan catatan dan hand out kepadanya. Beberapa dari mereka akan mengatakan tidak punya catatan karena mereka sendiripun tidak peduli dengan mata kuliah tersebut. Sementara beberapa yang lain enggan meminjamkannya dan biasanya tanpa berbasa-basi mereka langsung mengatakan kepada Kinar bahwa mereka tidak mau meminjamkannya. Alasannya, karena mereka ingin hanya merekalah yang bisa mendapat nilai sempurna di semua mata kuliah. Satu-satunya teman yang masih bisa sedikit Kinar andalkan hanyalah Tama. Tama adalah sahabatnya sejak mereka bersekolah di taman kanak-kanak hingga sekolah dasar. Sekarang, mereka belajar lagi di tempat yang sama. Tapi sepertinya Kinar harus benar-benar berpikir ulang apakah dia bisa mengandalkan Tama.
“Aku tahu kok. Makanya aku minta maaf sama kamu, Kin. Pasti flashdisk itu berharga sekali ya untuk kamu. Aku masih ingat kamu dulu pernah bercerita kalau flashdisk itu adalah flashdisk pertamamu ketika kamu masih di SMA. Ya, aku mengerti sebabnya kenapa kamu sedih setelah aku mengaku kalau aku menghilangkan flashdisk itu. Pasti karena kamu kehilangan banyak fotomu bersama mantanmu yang disimpan di dalam flashdisk itu,” ujar Tama itu sedikit berseloroh tapi bersikap sok polos sambil cengar-cengir  dan sebentar- sebentar melirik kepada Kinar.
“Beneran deh, Kin. Aku jadi enggak enak hati sama kamu. Sebagai sahabatmu sedari dulu, aku merasa aku benar-benar telah melukai perasaanmu itu,”ungkap Tama terus melanjutkan kata-katanya, mengubah nada suaranya menjadi sedikit bergetar untuk menunjukkan kalau dia benar- benar sedih melihat apa yang terjadi kepada Kinar. Tapi tetap saja dia tidak benar-benar sedang sedih.
“Haduuuh, TAMAAA!! BUKAN KARENA DI SANA ADA FOTOKU SAMA MANTANKUUU!! Bukannya tadi sudah aku jelaskan kalau di flashdisk itu banyak dataku yang penting!!” semprot Kinar, kedua matanya memelototi Tama yang masih cengar-cengir terus di depan wajahnya.
“Huhuhu… terus aku gimana nanti? Kalau tugas-tugas sama catatanku ada di situ semua lalu hilang, aku belajar sama apa nanti.. Ngeselin banget sih kamu. Jahat! Huhuhuhuhu…,”isak Kinar di depan Tama yang semakin bersemangat untuk terus meminta maaf pada Kinar.
“Tapi beneran deh Kin. Dari lubuk hatiku terdalam aku minta maaf ya. Flashdisk itu priceless banget buat kamu dan kamu sedih karena flashdisknya hilang. Hmmm, pasti benar-benar banyak cerita di dalamnya, kan. Kalau enggak, mana mungkin kamu semarah ini. Kamu marah sama aku karena sebenarnya flashdiskmu itu pemberian dari mantanmu, kan? Kalau gitu sebagai permintaan maafku, nanti aku belikan yang baru, deh. Aku janji. Ya ya ya?”
Tama merajuk manja pada Kinar. Selalu sahabatnya itu membuat Kinar geli dengan tingkah lakunya. Bagaimana Kinar bisa berlama-lama marah kepada Tama kalau Tama bertingkah seperti itu.
“Tam, Tam, kamu itu laki-laki yang kebanyakan nonton drama Korea, ya? Mana mungkin aku marah hanya karena flashdisk itu dari mantanku? Kan tadi sudah kubilang sama kamu kalau aku kesel sama kamu karena ada banyak data penting di flashdiskku itu! Bukan karena masalah foto-fotoku sama si mantan hilang! Nggak peduli! Susah ngomong sama kamu yang ngeselin banget gini. Nggak perlu deh, Tam. Ntar selesai kelas aku bisa beli yang baru. Nggak perlu merasa terlalu bersalah sih, kamunya aja setengah – setengah minta maafnya. Bawa – bawa mantan segala. Nggak akan baper, tau!”
Tama tersenyum lantas mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Kamu nggak perlu beli baru, Kin. Pakai flashdiskku saja. Sebagai permintaan maafku. Aku masih ada flashdisk lain yang bisa kupakai kok,” kata Tama sambil menyerahkan flashdisk berwarna abu-abu dengan tali berwarna pink dan bandul babi kepada Kinar. Kinar terkejut karena flashdisk yang diberikan kepadanya mirip sekali dengan flashdisknya. Pandangannya kemudian dialihkannya kepada Tama yang masih terus tersenyum padanya. Kinar lantas mengambil flashdisk itu, ada perasaan lega di hatinya.
“Sialan! Kukira benar-benar hilang. Ternyata cuma leluconmu yang nggak lucu,” gerutu Kinar.
Tama terkekeh geli melihat tingkah Kinar.
“Simpan baik – baik flashdiskmu itu ya karena aku sudah memberikan kenangan baru di flashdiskmu itu. Jangan sampai hilang ya. Kalau hilang, aku yang ganti marah,” kata Tama serius sambil mengacak-acak rambut Kinar.
Kinar melongo memandang Tama yang masih tersenyum dan kemudian beranjak berdiri dari bangku itu dan mengambil tasnya. Dia tidak mengerti apa maksud Tama berkata seperti itu. Itu bukan kata – kata yang sering dia dengar pada kehidupan nyata. Kinar merinding mendengarnya. Dia berpikir tentang di mana dia sering mendengar kata – kata seperti itu. Ah, ya. Benar! Kata-kata itu seperti yang diucapkan laki-laki tampan di dalam drama Korea kepada seorang perempuan yang disukainya. Lantas kenapa Tama berbicara seperti itu kepadanya dengan tiba-tiba. Yang Kinar tahu, Tama bukanlah seorang laki-laki yang suka mengumbar gombalan kepada siapapun atau bukan laki-laki melankolis yang suka menonton film bergenre drama romantis. Selama kurang lebih 14 tahun Kinar menjadi teman Tama, tidak pernah Tama berkata seperti itu bahkan ketika mereka sedang bercanda sekalipun. Pipi Kinar kini bersemu dan ada senyuman kecil tergaris di wajahnya. Hatinya tiba – tiba berdegup kencang di depan sahabatnya itu.
“Yuk masuk kelas. Setengah jam lagi kelas introduction to linguistic-nya mulai. Kita harus mencari tempat yang pas,” ajak Tama kepada Kinar sambil tersenyum.
“Ah.. ya. Kamu duluan saja, Tam. Aku masih harus mengopi tugas. Carikan aku tempat duduk juga ya,” kata Kinar asal, sedikit gugup dan salah tingkah.
“Oke,” sahut Tama dan beranjak meninggalkan Kinar sendirian di taman.
Setelah Tama pergi, Kinar kembali menepuk-nepuk kedua pipinya keras-keras dan hatinya terasa masih berdegup kencang. Matanya terpejam dan bibirnya tersenyum membayangkan apa yang telah terjadi tadi.
Aku mulai menyukainya....
DionisiaFrisca, 2015
0 notes
snazzyrose · 9 years ago
Text
Apa bedanya?
Apa yang membedakan antara si kaya dan si miskin? Tentu banyak hal yang berbeda.
Namun, hal apa yang sama diantara keduanya? Mereka hidup, mereka punya perasaan, dan mereka sama-sama memiliki hak.
Tapi, bagaimana jika pada kenyataannya tiap kepala hanya menilai dari perbedaan yang jelas terlihat mata? Tanpa berpikir bahwa mereka sebenarnya sama, sama-sama memiliki perasaan. Entah perasaan yang baik atau buruk. Bukankah alangkah baiknya jika tidak ada istilah “habis manis, sepah dibuang” atau “kacang yang lupa kulit”. Apalagi dalam hal pertemanan dengan berbagai kalangan.
Beberapa manusia akan mengelak bahwa mereka memang selektif dengan berbagai kriteria kebutuhannya. Bosan rasanya ketika tahu bahwa hidup akan bergulir dengan siklus dan sistem pertemanan seperti ini.
Pada dasarnya seseorang yang seperti ini akan berusaha mencairkan berbagai es dan mencari celah pagar agar bisa masuk ke lingkungan barunya. Adaptasi namanya, namun jangan pernah terkecoh dengan sifat baik seseorang saat baru pertama mengenalnya. Perihal mudah percaya ke orang baru sangat perlu dihilangkan dalam kamus kepribadianmu. Perihal kamu mudah bergaul dengan siapapun sangat harus kamu simpan dalam-dalam. Karena tentang tertusuk atau ditusuk duri kebohongan, pengkhianatan, dan penghancuran fondasi kepercayaan; mampu membuat langit tampak kelam dan mawar tidak lagi merah. Belum lagi perihal omong kosong yang terbang sampai ke telingamu, yang melirihkan hati.
Hei~ pertemanan memang seperti itu. Bisa jadi kamu pelaku antagonis atau sebagai korban yang protagonis. Mengapa kamu bisa jadi antagonis? Alasan umum yang tidak kasat mata ini karena dirimu tidak siap jika tidak menjadi sesuatu yang berkilau di tempat barumu; karena kamu terlalu gengsi dengan kehidupanmu sebelumnya jika kehidupan yang sekarang tampak lebih mengenaskan; karena kamu hanya “butuh” saja untuk menunjang kebutuhanmu; karena kamu terlalu egois untuk dirimu sendiri; dan karena kamu terlalu “introvert” untuk mengenal teman dengan kriteria lain yang jauh lebih menyenangkan dari kehidupan yang kamu cari.
Tapi tidak akan terlalu masalah bagi si protagonis jika sang antagonis akan diam, berjalan ke arah lain, dan hilang diantara kehidupanmu yang sederhana itu. Tidak akan berteriak tinggi pada orang sekitar dan membicarakan hal buruk mengenai antagonis. Tidak akan merasa tertekan dengan kondisi “dimana orang melihatmu sebagai sifat sebaliknya”. Dan akan sangat senang melihat antagonis telah bertemu dengan jalan kehidupan yang ia cari di lingkungan barunya, serta mendoakan agar ia menjadi sukses dalam artian sebenarnya. Juga menyemogakan agar ia menjadi orang yang lebih beruntung dari yang ia definisikan terhadap dirinya sendiri. Kami sebagai kehidupan yang ditinggalkan juga berharap agar ia tidak menjadi sosok antagonis seperti yang dideskripsikan.
Hidup ini terlalu berat jika seseorang hanya mampu tetap eksis atas bantuan pundak dan kaki orang lain. Dan terlalu jahat jika setelahnya diinjak oleh kakinya yang sebelumnya berpangku di kaki orang yang membantunya.
#WordsOfMe
0 notes
febiatwinda · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Coming soon!!! Indonesian's Story #Justforfun #fanfiction #indonesianstory
0 notes
unspokenreality · 9 years ago
Text
Aku berusaha untuk selalu setia. Karena aku tahu, bagaimana rasanya sakit dan terluka.
Entah kenapa, aku disini tahu. Bagaimana rasanya sakit dan terluka. Sakitnya dikhianati, sakitnya dibohongi, sakitnya hati yang dalam dan membuat terlukanya diri ini. Aku sudah paham bagaimana rasanya, sakit yang menusuk, membuat ku tidak percaya. Akan apa yang terjadi, akan apa yang sebetulnya memang sedang dan sudah terjadi.
Menangis kala itu bukanlah sebuah pilihan, karena hanya menangislah sesuatu yang dapat dilakukan. Dalam tangis, aku terpuruk, jatuh, terluka. Dalam tangis aku marah, geram, dan murka. Namun, pada akhirnya, dalam tangis pula aku akan mengerti, aku akan memahami, aku akan menyadari. Seiring berjalannya waktu, akhirnya, hatiku yang terluka, sangat dalam, dapat perlahan terobati. Bukan sembuh! hanya membaik, terus berusaha membaik. 
Hingga pada suatu waktu aku telah dapat bangkit, berdiri, dikedua kakiku sendiri. Kini hatiku sudah sembuh. Sudah bangkit dari keterpurukan kala itu. Hatiku yang sekarang, sudah bisa perlahan menerima hati yang lain. Untuk menemani diriku, membuatku bahagia, dan membuatku percaya, bahwa aku adalah orang yang berhak untuk dicinta. Berhak untuk tersenyum, tertawa bebas bersama, berbahagia dengan satu hati yang kupilih dan kucinta. 
Sakit yang dalam yang aku rasa waktu itu, aku simpan, untukku. Bukan untuk diingat, atau kulampiaskan pada orang yang mencintaiku pada hari ini. Sakit itu, aku jadikan pelajaran. Bahwa cukup hanya aku, hanya diriku, yang merasakan bagaimana rasanya sebuah kesakitan. Sakit ini yang akan menuntunku, menjagaku, agar aku tidak memberikannya kepada dia, orang yang mencintaiku. Setia, satu kata banyak makna. 
Dengan sakit yang dulu pernah kurasa, akhirnya aku paham bahwa setia adalah kata yang mutlak. Bukan pilihan! kata yang harus dalam sebuah hubungan. Kata yang paten dalam sebuah komitmen. Untukku saat ini, aku berusaha untuk selalu setia. Hati ini, tak akan menyakiti hatinya. Karena hati ini tau, bagaimana sesungguhnya rasa sakit dan terluka.
Kutitipkan hati ini, padamu satu yang kupilih, satu yang kucinta. Hati ini, tak akan menyakitimu, aku berharap hati yang bersamaku saat ini adalah hati yang tak akan membiarkan hatiku, untuk tersakiti kembali sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
0 notes
seemeinsideout · 9 years ago
Photo
Tumblr media
In the museum !! #indonesianstory #yogyakarta #traveling #indonesianculture (at Museum Perjuangan Yogyakarta)
0 notes
fabiolaesterr · 7 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Come on join with me :)
1 note · View note
dhagone · 6 years ago
Photo
Tumblr media
Our greatest glory is not in never falling, but in rising every time we fall. ... #indonesianstory #gloryfreedomindonesia #magnificentmuseum #yogyakarta #kotagudeg #kotapelajaryogyakarta (at Jalan 0 Km,malioboro)
0 notes
dalam-benakku · 11 years ago
Text
RUNYAM!
tangan ku lemas,badanku gontai, pikiran ku kosong. . .
siang itu aku dan temanku "loyal" meninggalkan kelas. kelas ilmu gerak yang diajar oleh mahaguru. tak tahu apa yang harus ku ucap saat itu. hanya ingin mengumpat sekeras-kerasnya. sungguh. . . mengumpat!. jengkel? itu sudah pasti. marah? belum tentu. entah apa yang ada di pikiran mahaguru,hingga kami layak di caci maki di depan kumpulan serdadu muda. yang kudengar hanya hening di kelas itu.
"kamu mau mati?,cari masalah dengan saya? hah? siapa dibelakangmu sekarang? panggil semua! saya tidak takut!" teriak mahaguru kepada kami
aku dan "loyal" hanya diam seribu bahasa. tak bisa membela diri. kami sudah divonis bersalah. dikiranya kami berbohong masalah berkas rahasia yang harus kami sampaikan ke mahaguru. ia menilai kami bohong sejak awal. 
"saat pertama kamu menemui saya. . . saya sudah bilang,jangan sendirian menghadap saya. saya masih ingat itu!" kata mahaguru sambil menunjuk tepat ke wajah "loyal" 
kami ditelan bulat-bulat. serdadu muda hanya diam. tak ada suara
"ya sudah. . . saya tahu jika kalian berbohong,apalagi isi berkas rahasia ini. pasti tidak ada satupun keterangan di sini yang benar. berkas ini harus segera dibakar. buat berkas lagi. kalian sungguh membuat saya murka" kata mahaguru mengakiri pembicaraan
aku dan "loyal" harus merelakan berkas rahasia dibakar. impian kami musnah sekejap saja. kami sudah membuang-buang waktu untuk menyusun berkas ini. sia-sia sudah. . . justifikasi buta oleh mahaguru. tanpa pembelaan dari kami
*mungkin ada hikmah dari semua ini*
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were” - part 5
Semarang, a month after the big question.
“Capek perjalanannya, Rani?” tanya ibu Sandi sambil menuang secangkir teh. Kami, aku dan Sandi, baru mendarat sejam lalu. Sesuai kesepakatan, minggu ini kami berdua terbang ke Semarang, karena menurut Sandi aku harus mulai dikenalkan dengan kedua orangtuanya. Well, calon mertuaku. Oh my God! Aku harus membiasakan diri dengan ini.
Long story short, I said yes.
Aku memang butuh waktu untuk berpikir… bukan, untuk memastikan sekali lagi, langkah yang sedang kujalani bersama Sandi. Aku bicara dengan ibu dan kakakku. Mereka berdua nampak menyambut baik niat Sandi, dan menyerahkan semua keputusan padaku. Intan? Ya, tentu saja dia girang. Sampai menangis, pula. Aku saja tidak begitu-begitu amat.
“Nggak kok, Tante. Cuma satu jam,” jawabku.
“Sering berpergian dengan pesawat ya, Rani?” tanya ayahnya kali ini.
“Tidak terlalu, Om, hanya kalau ada tugas kantor saja.”
“Panggil Bapak dan Ibu saja,” kata ibu Sandi. “Kamu 'kan calon keluarga kami.”
Aku tidak sempat merespon, sudah ada suara dari dalam rumah, “Ini Mbak Rani calonnya Mas Sandi ya?” seorang perempuan belia – yang kurasa adalah adiknya Sandi – turun dari lantai atas dan menemukanku sudah duduk bersama Sandi, ayah, dan ibunya di ruang tamu.
“Hush, bawel! Yang sopan sama orang baru,” Sandi menegur adiknya itu dan merangkul adiknya. “Apa kabarnya bocah satu ini?”
“Baik dan tetap cantik,” kata adik Sandi itu sambil berusaha melepaskan rangkulan kakaknya dari leher. “Mas, lepasin, ah!”
“Sandi, sudah. Mending kamu angkat kopernya Rani ini lho,” kata Ibu Sandi.
“Oke, tidur sama kamu, 'kan, Ra?”
“Be my guest. Mbak Rani nggak mau sekalian naik liat kamarnya?”
“Boleh,” kataku.
“Oh, ya, aku Andara,” kata adik Sandi sambil menyodorkan tangannya. “Bisa panggil Rara saja.”
“Rani,” kataku menyambut tangannya sambil tersenyum.
“Pamit ke kamar dulu, Bu, Pak.”
“Oh, ya... monggo...” jawab Ibu Sandi.
^^^
“Ini kamar Rara, Mbak. Gede juga, 'kan?” katanya begitu masuk kamar kami.
Kamarnya memang besar untuk hanya ditiduri satu orang. Meja belajar berbentuk serupa huruf L terletak di sudut seberang pintu kamar, di tengah ada ranjang queen size dengan teve plasma tergantung di dinding depannya, ada meja rias di ujung satunya lagi, di sampingnya ada jendela yang menghadap keluar jalan, di sebelahnya ada rak buku yang panjang berisi macam-macam text book psikologi dan juga novel-novel, ujung satunya lagi adalah pintu menuju sebuah ruangan lain, yang adalah kamar mandi dan juga kloset, berisi baju, sepatu, dan aksesoris Andara.
“Woooow,” sahutku penuh takjub melihat klosetnya.
“Adikku ini emang princess, Ran. Semua juga dia punya. Jangan kaget, ya,” kata Sandi melihatku begitu.
“Mas, ah!” Andara memukul lengan Sandi karena dibilang seperti itu. Kemudian dia menjelaskan padaku. “Dulu kan aku berdua sama Mbak Aini, makanya kamarnya sebesar ini. Tapi Mbak Aini 'kan sudah pindah.”
Aku hanya mengangguk-angguk, masih penuh takjub.
“Mbak anggap aja kamar sendiri, ya,” kata Andara kemudian. “Pakai saja alat-alat mandi, baju kalau mau juga boleh, aksesoris, apa saja yang Mbak mau pinjam aku pasti bolehin.”
“Iya, Andara,” kataku. Anak ini manis sekali. “Terima kasih, ya.”
^^^
Seminggu setelah Sandi melamarku, kami merayakan Idul Fitri bersama. Sandi bersilaturahmi dengan keluargaku di rumah. Kebetulan Ibu masak ketupat, rendang, opor ayam, dan sebagainya. Sandi memang bilang dia tidak mau pulang ke Semarang, karena pasti ramai dan macet sekali. Maka, ia memilih untuk datang ke rumahku.
Bersamaan dengan itu pula, Sandi secara menyatakan kepada keluargaku bahwa ia memiliki niat untuk menjadikanku istrinya. Sebelumnya aku sudah diskusi dengan mereka. Dengan sopan ia meminta izin dan restu kepada Ibu dan Bang Mat. Mereka memberikan restunya dengan sangat mudah setelah bertanya ini-itu kepada Sandi. Tentunya mereka begitu karena Sandi memang memiliki latar belakang keluaga dan pendidikan yang baik. Profesinya yang sekarang pun menjanjikan dan keseriusannya denganku menyentuh hati Ibu dan Bang Mat. Well, dia berhasil menyentuh hatiku juga.
Sandi juga kemudian meminta izin untuk mengajakku liburan ke Semarang dalam rangka silaturahmi dengan keluarganya di sana, sekaligus ingin memperkenalkanku pada keluarga dan kerabatnya di Semarang. Kebetulan SMA-nya akan mengadakan reuni juga di sana dan dia mengajakku ikut serta. Begitu Ibu memberikan lampu hijau untuk perjalanan ini, aku pun langsung mengiyakan. Hitung-hitung graduation trip setelah tesis beres, dengan catatan semua revisi harus sudah selesai dan dikumpulkan sebelum perjalanan ini.
^^^
“Sudah siap, Sayang?”
“Sudah,” aku menjawab Sandi dan segera keluar dari kamar Rara. Sandi sudah menunggu di depan kamar. Ia mengenakan jas biru pemberianku. Aku sengaja menghadiahkannya untuk dipakai ke acara reuni SMA-nya. Aku tidak tahu persis ukuran Sandi. Namun aku nekat saja pergi ke Zara dan membeli satu jas yang kurasa akan cocok Sandi pakai. Seperti dugaanku ketika membelinya, jas itu cocok sekali di tubuhnya.
Sandi memandangiku beberapa saat tanpa mengucapkan apa-apa.
“San? Aku udah nih,” kataku melambai-lambaikan tangan di depan mukanya untuk menyadarkan lamunannya.
“Ya, tentu. Aku cuma... Ehm... You look... Well...”
“I know, I know. Thank you. Yuk, jalan...”
“GR kamu,” Sandi mendekatiku, mencubit hidungku, dan mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibirku. Sambil tersenyum jahil, ia berkata, “Ayo, Sayang. Kita malam mingguan?”
Setelah itu kami menghabiskan sekitar 15 menit berkendara menuju lokasi. Salah satu hal paling menyenangkan dari tinggal di tempat ini adalah jalanan yang lancar ke mana pun kamu mau pergi. Setelah hampir 26 tahun aku tinggal di sekitar Jakarta dan banyak beraktivitas di ibukota, melihat lalu lintas di Semarang yang seperti ini merupakan suatu hal yang bisa membuatku sangat bahagia.
Jalan-jalan di kota seharian penuh sangatlah cukup. Sandi mengajakku mengunjungi Lawang Sewu, Klenteng Sam Poo Kong, dan Semawis. Kami banyak juga mengunjungi tempat-tempat makan favoritnya. Kata Sandi, orang Semarang makannya banyak. Mereka bisa pergi makan ke dua sampai tiga tempat berturut-turut. Dalam waktu lima hari ini pun, Sandi sempat mengajakku ke luar kota, seperti ke daerah Bandungan, Tuntang, Salatiga, dan sekitarnya. Amazing, right?
^^^
“Sandi? Sandi Pranawa?” Seseorang memanggil Sandi dari belakang kami. Kami sudah berada di ballroom Hotel Grand Aston. Kata Sandi, ini reuni tiga angkatan. Maka, tidak mungkin diadakan di sekolah.
“Heiiii, Buleee!” sahut Sandi kemudian memeluk seorang pria yang tampaknya keturunan bule, sesuai namanya.
“Piye kabare, San? Dokter, ya, kalau nggak salah?” tanya temannya yang disapanya 'Bule' itu. Aku menahan tawa. Bule medok.
“Betul sekali. Kamu piye? Habis lulus ke mana sih? Kita lost contact, ya.”
“Aku di Aussie, ikut bokap, you know. Ini pulang karena reuni.”
“Wah, banyak duit, ya. Balik cuma mau ikut reuni,” kata Sandi kemudian tertawa. “Eh, kenalin dulu, Le. Ini Rani, calonku.”
Aku menjabat tangan si Bule ini, “Rani.”
“Jordan,” katanya memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah. “Atau you can call me Bule just like the others.”
Yang lucu, si Bule ini berbahasa Jawa dengan Sandi. Logatnya bagus, tapi kurang pas dengan tampangnya yang indo. Walaupun ketika ngomong Bahasa Inggris, ia terdengar baik-baik saja seperti bule pada umumnya.
“Siapa aja angkatan kita yang dateng, Le? Sudah ketemu siapa aja?”
“Kayaknya lumayan banyak kalau anak IPA, ya. Anak IPS aku nggak tahu. Anak kelas kita ada Arno, Lala, Keenan, Doni, Margaret, Jessie... Siapa lagi, ya?”
“Banyak juga. Udah ketemu semuanya?”
“Iya, tadi ketemu mereka, tapi kayaknya pada nyebar ke mana-mana,” kata Bule. Kemudian ia sedikit berbisik pada Sandi, tapi aku masih bisa mendengarnya, “Ada Vinda juga.”
^^^
Setelah sambutan selamat datang dari ketua panitia reuni, pembacaan doa, serta kesan pesan dari guru-guru dan juga wakil dari setiap angkatan, para tamu dipersilakan untuk makan dan mingle, bertemu dengan tamu lainnya. Sejak si Bule itu memberitahukan ada seorang teman lain bernama Vinda yang juga datang ke acara ini, Sandi tampak gelisah. Aku sempat berpikir hanya perasaanku saja, tapi ia terus-terusan menyapukan pandangan ke seluruh ruangan, seperti mencari-cari seseorang.
“Sayang,” aku memanggilnya, tapi sepertinya Sandi tidak menyadarinya. “Sandi.”
Ketika memanggil namanya dengan volume agak keras, baru ia sadar bahwa dari tadi aku memperhatikannya, bahkan memanggil namanya. “Ya?”
“Kamu cari siapa, sih?”
“Oh, aku cari teman-temanku.”
“Bukannya tadi udah ketemu lumayan banyak?” tanyaku. Sedari tadi memang kami telah bertemu dengan beberapa teman-teman Sandi, dan semua sudah dikenalkan padaku. Tetapi matanya tetap 'mencari'. “Masih ada yang belum ketemu, ya?”
Sandi hanya tersenyum. “Iya, banyak yang belum ketemu, Sayang. Oh iya, kamu mau es krim? Aku ambilkan, ya.”
Belum sempat aku menjawab, Sandi sudah berlalu. Aku mengikutinya dengan pandangan mataku ke arah konter es krim, tetapi Sandi tidak langsung ke sana. Dia berhenti di tengah jalan dan berbicara dengan seorang perempuan. Tubuhnya tinggi langsing, rambut panjang lurus, mengenakan gaun hitam yang sederhana tapi ia tetap terlihat stunning. Ia memiliki lengan yang ramping dengan jari tangan yang panjang-panjang, kakinya yang sudah jenjang ditopang dengan heels hitam membuatnya terlihat semakin semampai.
Sandi berbicara dengan perempuan itu. Lama. Ia sepertinya menikmati sekali pembicaraan dengan lawan bicaranya tersebut. Perempuan itu memang cantik, sih. Sepertinya itu yang namanya Vinda. Tapi siapa perempuan itu? Mungkin mantannya Sandi, ya? Atau.... siapanya? Bahkan saking menikmati momennya dengan perempuan itu, Sandi sepertinya tidak ingat aku di sini menunggunya mengambilkan es krim yang tidak kuminta itu. Oh, great! Am I jealous or something?
^^^
Aku menghabiskan sepanjang perjalanan pulang dengan diam. Aku tidak mau bersikap cemburu terhadap perempuan, yang bahkan aku tidak tahu siapa. Sandi pun tidak menjelaskan apa-apa kepadaku. Mungkin ia mengira, aku tidak memperhatikannya dengan perempuan itu tadi. Well, salah besar. Dua puluh menit Sandi ngobrol dengannya dan aku hanya menunggu di pinggiran ruangan tanpa kenal siapa pun kecuali si Bule dan teman-teman Sandi yang sempat dikenalkan, tapi mereka pun sedang menikmati acara mereka. Sandi memperkenalkanku kepada semua temannya, kecuali si perempuan satu itu. Aku bisa mati penasaran memikirkannya.
Sampai di rumah, aku segera masuk dan Sandi pamit keluar lagi karena mereka ada after party khusus angkatannya, khusus yang belum berkeluarga katanya. Aku hanya mengiyakan sedikit dan segera masuk kamar Rara. Aku merasa sangat lelah.
Rara sedang membaca ketika aku masuk dan langsung menghempaskan tubuhku di kasur. Kepalaku sakit memikirkan segala macam yang bahkan aku tidak tahu apa itu. Mungkin ini PMS kali, ya? Sensitif yang berlebihan.
“Kenapa, Mbak?” tanya Rara menurunkan novelnya. “Kok kayaknya kesel banget?”
“Entahlah, nggak mood.”
Rara memang anak psikologi sejati, ya? Mirip-mirip Intan gitu deh. Kalau ada yang tidak beres sedikit, dia seolah dapat merasakannya, 'mencium'nya.
“Kayaknya tadi pas berangkat baik-baik aja. Mas Sandi mana? Nggak pulang?”
“Katanya after party,” jawabku ogah-ogahan. Tiba-tiba seperti ide cemerlang muncul di kepalaku, “Ra, kamu kenal temannya Masmu yang namanya Vinda?”
Andara sejenak tampak terkejut, namun memutuskan untuk mengangguk. “Teman SMA-nya Mas kan? Tadi datang di reuni?”
“Nggak tahu juga yang mana orangnya, sih. Tapi kata temannya yang lain, Vinda ini datang ke reuni,” jawabku. “Sandi ngenalin aku ke teman-temannya, tapi di antara mereka semua, nggak ada yang namanya Vinda tuh.”
Rara mengangguk-angguk, tampak berpikir.
“Tapi aku lihat dia berbicara dengan seorang perempuan, sih, Ra. Memang Sandi nggak ngenalin ke aku,” lanjutku. “Orangnya tinggi, cantik, putih. Rambutnya panjang lurus.”
Rara segera keluar dari kamar dan kembali membawa sebuah buku, yang sepertinya adalah buku tahunan Sandi. Rara membukakan halaman dan menunjukkan sebuah foto perempuan. Matanya agak sipit, rambutnya panjang lurus, bahkan di foto hitam putih saja, ia terlihat sangat cantik di foto tersebut. “Yang ini orangnya. Betul?”
“Iya, betul,” jawabku. “Tadi Sandi ngobrol sama cewek ini. Tapi versi lebih cantiknya, Ra. Kalau di foto ini ‘kan masih SMA. Yang tadi terlihat lebih cantik.”
“Itu yang namanya Vinda, Mbak,” kata Rara melanjutkan. “Kalau nggak salah, dia kuliahnya di Eropa.”
“Oh ya? Jauh banget?”
“Iya, sekolah fashion sepertinya. Di Paris.”
“Wow,” aku cukup terkejut mendengar informasi dari Rara tersebut. Dengan masih haus akan informasi selanjutnya, aku bertanya lagi,“Terus sekarang?”
“Aku nggak tahu, Mbak,” jawab Rara jujur. “Aku nggak tahu kalau dia sudah pulang. I mean, apa dia pulang untuk reuni saja, atau for good.”
“Begitu, ya...”
“Setahuku mereka memang dekat, Mbak,” sahut Rara kemudian.
“Dekat, seperti sahabatan atau pacaran?”
“Nggak, sih, Mbak. Mereka nggak pernah pacaran,” jawab Rara.
^^^
Tangerang.
Perjalanan ke Semarang telah usai. Aku pulang dengan seribu pertanyaan di kepala. Aku memang penasaran terhadap perempuan bernama Vinda ini. Bukan, aku bukannya cemburu. Aku hanya penasaran. Kalau pun mereka pernah dekat, ya, memangnya kenapa? Hanya dekat, bukan pacaran.
Masa kini adalah masa kini. Dan sekarang yang di hadapan Sandi adalah aku. Buktinya adalah di cincin yang kukenakan ini. Kemarin Sandi hanya bernostalgia, bertemu dengan teman-teman lama, mengenang berbagai hal. Aku memang belum banyak ngobrol dengannya setelah itu, karena di hari Minggu sore, Sandi sudah harus terbang ke Yogyakarta untuk mengikuti seminar kesehatan di UGM Senin paginya. Dan Senin pagi, aku terbang pulang ke Jakarta. Oh, well, maksudku ke Tangerang, di mana rumahku berada.
Setelah merapikan barang-barangku, mandi, dan hendak tidur, aku menerima sebuah pesan singkat dari Sandi.
“Terima kasih, Rani sayang, sudah menjadi seseorang yang selalu ada buatku selama beberapa bulan terakhir. Aku harap kamu enjoy di Semarang kemarin. I love you very much, you know that. And please, let me enjoy this feeling until one day you'll leave me.”
Oke, aku sudah biasa menerima pesan singkat yang ‘aneh-aneh’ dari Sandi. Ingat waktu kami bertengkar saat merayakan hari jadi yang ketiga bulan? Sejak saat itu, Sandi mulai lebih berani menunjukkan perasaannya. Biasanya aku butuh waktu untuk tenang, mencerna dulu, lalu mendiamkan sampai akhirnya Sandi siap menceritakan semuanya.
Tapi kali ini, entah kenapa aku tidak kunjung siap, berapa kali pun kubaca ulang pesan itu. Kepalaku sakit, pikiranku berputar ke mana-mana. Kenapa aku mendadak insecure dengan pesan Sandi barusan?
“What crap are you talking about, Sandi?”
Itu isi pesan balasanku untuk SMS Sandi waktu itu dan tidak dibalasnya.
Malam itu, seluruh isi rumahku sudah tidur, mungkin kecuali aku. Dengan segenap rasa lelah, kantuk, penasaran, cemburu, sedih, sekaligus kesal, aku tidak dapat menahan lagi air mataku. Dalam gelap kamarku, aku menangis. Sendirian. Aku menangis dan menangis sampai tertidur.
^^^
Sebulan berlalu tanpa kabar apa-apa dari Sandi. SMS-ku waktu itu tidak dibalasnya. Yang aku tahu, Sandi memang berada di Yogyakarta sampai dua minggu setelah perjalanan kami ke Semarang waktu itu. Setelah kembalinya ke Jakarta, ia tidak menghubungi sama sekali sampai detik ini.
Aku tidak mengirim pesan apa pun kepadanya juga, karena kupikir, kami sudah sama-sama dewasa. Seharusnya ketika aku bertanya melalui SMS, apa maksud pesannya waktu itu, ia langsung membalasku, setidaknya meneleponku keesokan harinya kalau memang ia sudah tidur. Tapi nyatanya?
Dalam sebulan aku pun menyibukkan diri dengan persiapan wisuda, membantu ibu di tokonya, dan mengambil beberapa proyek lepasan sebelum akhirnya kembali lagi seutuhnya ke PPI. Bu Meggy sudah meneleponku berkali-kali untuk kembali ke PPI, tapi aku sudah memutuskan akan kembali kalau aku sudah wisuda. Sementara waktu, aku mau membantu ibuku di tokonya.
Apa sebegininya, cobaan orang kalau mau menikah?
^^^
“Halo, Mbak!”
“Raraaaa!” sahutku gembira menerima telepon dari Andara. Aku meletakkan lipstik yang tadinya hendak kupakai. “Apa kabarmu? Gimana Bapak Ibu?”
“Semua baik-baik, Mbak. Kabar Mbak gimana? Hari ini wisudanya, ya?”
“Kamu kok ingat aku wisuda hari ini?”
“Ingat, dong... 'Kan Mas Sandi yang kasih tau...”
“Oh...,” aku hanya sanggup terpaku. Sandi ingat hari ini aku wisuda. Tapi.... “Sandi yang kasih tahu kamu aku wisuda hari ini?”
“Iya, Mbak. Beberapa hari yang lalu Mas nelepon ke rumah soalnya. Katanya kangen Semarang.”
Aku tercenung sekali lagi. Ia menelpon keluarganya. Tapi membalas smsku sekalipun tidak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi, sih? Apa yang sebenarnya ia pikirkan?
“Mas Sandi ngomongin aku selain tentang wisuda nggak?”
“Nggak, Mbak. Well, actually Ibu banyak nanyain soal Mbak. Tapi Mas Sandi jawabnya kurang jelas gitu,” kata Rara di seberang telepon, kemudian ia diam. “Hmm.. Mbak Rani lagi berantem sama Mas?”
“Eh... Sandi bilang kalau kami lagi berantem?”
“Nggak sih, cuman dari gelagat bicaranya. Sama Mbak hari ini juga nanya-nanya tentang Mas kayak gitu.”
“Jujur, Ra. Aku juga nggak tahu bagaimana aku dan Mas-mu sekarang. Kami nggak kontak setelah aku pulang dari Semarang waktu itu. Sampai sekarang.”
“Hah? Beneran, Mbak? Kok bisa?”
“Well, Sandi mengirimkan sms ke aku waktu itu. Tapi isinya agak nggak jelas gitu. Aku sudah tanyakan maksudnya, tapi ia tidak membalas, Ra. Jujur saja, aku bingung banget,” jawabku pada akhirnya. Malah curhat sama Rara hari gini. Mood-ku agak rusak mengingat apa yang sedang terjadi antara aku dan Sandi sekrang. Harusnya hari ini hari yang bahagia.
Tapi memang itulah mengapa hari ini ada. Hari wisuda S2-ku. Ibu, Bang Mat, Mbak Dini, dan Metta pun sedang bersiap-siap di kamar masing-masing. Mereka semua berbahagia untukku, berbahagia karenaku. Apa ada alasan bagiku untuk tidak bahagia hari ini?
“...Mbak? Mbak dengerin Rara ngomong?”
“Eh, sorry, Ra. Kamu bilang apa?”
“Rara tadi bilang, tunggu aja. Mungkin Mas sedang mempersiapkan kejutan untuk Mbak. Soalnya dia juga sibuk banget, 'kan persiapan masuk spesialis.”
“Spesialis? Jadi Sandi sudah dapat kabar tentang hasil tes masuknya?”
“Iya, Mbak. Mas udah keterima di Unega. Kemarin nelpon ke Semarang sekalian untuk ngabarin itu juga,” jawab Rara sekarang terdengar agak canggung. Mungkin ia dapat merasakan ketidaknyamananku menjadi pacar yang tidak tahu apa-apa mengenai pacarnya sendiri. “Aku harap kalian baik-baik saja, ya, Mbak.”
“Iya, Ra. Makasih, ya, sudah nelepon.” Kalau pun Sandi mau kasih kejutan seperti tadi kamu bilang, aku harap itu kejutan yang menyenangkan, tambahku dalam hati.
“Sekali lagi, selamat, Mbak, untuk wisudanya.  Sudah dulu, ya. Bye!”
“Bye, Ra!”
0 notes
chessrolls · 11 years ago
Text
Another time
Dear tumblr.. Akhirnya ada kesempatan dan ada hati yg ingin menumpahkan isinya di sini., hehe., Kali ini masih tentang key haha., kehidupan pun berlanjut dengan gue yg koas., dan key udh kelar skripsi, udh lulus dan nunggu wisuda seminggu lagi., dy jg udh test masuk S2 smoga bisa jd yg terbaik walaupun dy jg pgn kerja.. Ya kembali semoga banget dia bisa dapet yg terbaik., amin., Entah berapa lama gue ga ketemu sama key., ya bisa kebayang lah rindu, kangen, kesel bercampurr semua., hahaha., hmmh., tapi paling engga kita masih komunikasi dan saling support satu sama lain., Masih suka bikin melting dengan obrolannya., masih bisa banget nglelehin gue kalo lg ngambek, ya dy selalu tau gmn bikin mood gue balik., ya kadang nggak jg sih., hahaha., Dan minggu depan gue berharap bisa ada do moment berarti di kehidupan key., gue udh rencanain dari jauh jauh hari sampe gue ngerubah jadwal koas yg harusnya senin depan gue minta ubah sm kampus jadi 3minggu yg lalu, biar gue bisa dtg ke wisuda nya key., itu alesan utama nya sih walopun skg lg ngesot2 macem jadi babu dan selalu salah dimata konsulen gue., tp gue rela karena ini pilihan yg udh gue ambil.. Ya gue pgn ada di moment bahagia itu, dulu pas gue wisudapun key dtg., hehe., Gue udh persiapin smuanya., biar ga terlalu aneh diliat gue coba pesenin khusus boneka monkey yg ada toganya buat key., ya karena "monkey" haha., dari 3mingguan yg lalu gue psen takut ga kebagian soalnya limitted eddition haha., ya gue pgn ada sesuatu yg bisa bikin key inget sm gue paling nggak sebagai temen., ya emg temen., seperti ingin dan anggapan key sm gue.. Harapan gue key bisa senyum nerima gift dari gue., dan semoga ini bukan yg terakhir.. Ntah dengan alasan apa lagi gue bisa ketemu, ngasih sesuatu cuman sekedar ingin nyenengin key., Masih sayang sama key., my monkey., ⛄
0 notes
fabiolaesterr · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Wanna adventure with me?
1 note · View note
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were” - part 4
Sebulan kemudian.
Aku sampai di Stor pukul 19.07 dan Sandi sudah menunggu di dalam. Aku memang naik Uber karena Sandi langsung dari rumah sakit. Tapi nanti ketika pulang, ia akan mengantarku. Oh, ya, Sandi sengaja memilih restoran ini untuk merayakan satu bulanan kami karena katanya suasanya menyenangkan. Tidak jauh dari daerah apartemennya di Kuningan dan restoran ini menyediakan hidangan ala Norwegia. Aku tidak tahu seleranya seunik ini. Tapi setelah mencoba daging rusa asap yang ia pesankan untukku, aku harus mengakui bahwa pilihan makanannya boleh juga.
“Tapi kamu jangan pernah minta aku masakin beginian, ya. Aku nggak bisa,” kataku begitu menyadari sedari tadi ia memandangiku makan dengan senyum puas di bibirnya. Mendengarku mengatakan itu, ia langsung tertawa.
“Tentu saja tidak, Nona,” jawabnya. “Aku minta kamu masak daging moose saja.”
“Oh, tidaaaak!” tolakku mentah-mentah dan kemudian ia tertawa lagi.
Kami membahasnya tadi. Orang-orang Norwegia biasa memasak dan makan daging moose untuk acara-acara spesial dan itu menjadi salah satu andalan mereka.
Selain itu, mereka juga suka seafood, terutama mereka yang tinggal di daerah pantainya. “Selebihnya membosankan. Makanan-makanan organik dan berasal dari alam. Tapi kalau kita memikirkan untuk hidup sehat, sepertinya tinggal di Norwegia bisa jadi pilihan bagus,” kata Sandi saat bercerita waktu itu.
Malam itu juga Sandi cerita banyak tentang Norwegia. Ternyata waktu SMA dia pernah homestay di sana selama tiga bulan. Sandi memilih Norwegia karena sering mendengar cerita ayahnya yang pernah kuliah di sana. So much about Sandi that I just knew that night in our first month being together.
Memang malam itu Sandi ingin mengajakku ke sebuah proper date, katanya. Bukan yang makan di tenda-tenda, nasi goreng gerobakan, atau Caribou-lagi-Caribou-lagi seperti yang selama ini kami lakukan. Itu pun jarang karena aku sibuk tesis dan dia sibuk praktik. Di proper date yang direncanakan ini, kami membahas banyak sekali mengenai diri kami masing-masing.
Keluarga adalah hal yang pertama. Bahwa ayahnya dokter dan ibunya ibu rumah tangga, itu aku sudah tahu. Tapi bahwa ayah dan ibunya dulu kuliah di Norwegia, aku tidak tahu. Mereka bertemu dan berkenalan di sana. Ketika pulang, mereka menikah.
“Aku malas belajar bahasanya, aku cuma bisa sedikit karena kadang-kadang bapak ibu suka bicara dalam bahasa itu,” jawabnya ketika aku bertanya mengapa dia tidak kuliah di Norwegia seperti ayah dan ibunya. Oh, ibunya juga lulusan kedokteran, by the way.
Kakaknya yang pertama beda empat tahun darinya dan juga seorang dokter. Tapi ia praktik di Magelang karena ikut suami dan ia tidak berniat mengambil spesialis seperti Sandi sendiri. Adiknya yang beda 10 tahun darinya itu masih kuliah di Undip, jurusan Psikologi. Katanya, adiknya mau beda sendiri daripada satu keluarga. Nggak mau ikut-ikutan orangtua atau pun kakak-kakaknya.
“Oh ya, Rani, aku mau tanya. Rencana kamu setelah lulus Master apa? Biar aku tahu apa yang harus kita lakukan setelah kita menikah nanti.”
Aku langsung tersedak mendengar perkataannya. Iya, aku lupa kalau hubungan ini adalah untuk menikah. And he stated that at first!
“Ehmm... yang pasti aku akan lanjutin kerja di PPI dulu, sih, San,” jawabku. “Tapi kalau dapat rezeki, pengin lanjutin sekolah sampai PhD. Aku mau jadi dosen, you know.”
“Oh, ya... Great! Aku juga akan tinggal di Jakarta untuk sementara waktu karena akan spesialis di sini,” jawabnya. “Jadi harusnya nggak masalah.”
“Setelah spesialis?”
“Aku berpikir untuk terus tinggal di Jakarta,” katanya kemudian. “Sama seperti kamu, aku berpikir untuk kuliah ke luar negeri juga setelah spesialis di sini. Mungkin ke Inggris.”
“Nice, kita bisa cari beasiswa bareng,” kataku bersemangat.
“Kamu cari sekolahnya ke Inggris juga, ya, berarti,” katanya lagi. “Kan kita married dulu sebelum itu.”
Aku hanya tersenyum canggung saat ia mengatakan itu.
Hubunganku dengan Sandi bisa dibilang… hubungan verbal. Hahahaha… maksudnya, kami banyak bicara tentang rencana-rencana masa depan. Setiap bulan, tepat di tanggal yang sama saat aku menyetujui hubungan kami, aku dan Sandi membicarakan banyak hal.
^^^
Sebulan setelahnya.
Aku dan Sandi sampai di apartemennya pukul 15.00. Ini hari Sabtu dan kami baru selesai berbelanja di Food Hall. Kami akan merayakan dua bulanan dengan masak bersama. Ini sebenarnya ide Sandi. Aku terlalu sibuk mengerjakan tesis dan tugas dari Bu Meggy, as usual, tetapi Sandi – aku harus bersyukur banget untuk ini – selalu sempat memikirkan kegiatan-kegiatan seperti apa yang bisa kami lakukan untuk kencan, terutama ketika merayakan sesuatu seperti ini. Sandi pernah bilang, “Kita jarang-jarang bisa date, Sayang, jadi setiap date harus jadi selebrasi.”
Sandi selalu memanggilku dengan sebutan “Sayang” sejak kami jadian. Tapi aku tidak pernah memanggilnya demikian, karena – jujur saja – aku belum tahu bagaimana mengategorikan perasaanku ini padanya. Mungkin saja aku menyayangi dia. Tapi itu mungkin. For God's sake, kami baru jalan dua bulan, walaupun harus kuakui, he has been really sweet and gentle to me.
Kesanku terhadap tempat ini, Sandi itu bersih banget. Maksudku, kamarnya memang agak berantakan karena sepertinya ia tidak sempat membereskan tempat tidurnya setelah bangun. Tapi lantainya bersih. Kamar mandinya juga bersih, sepertinya ia selalu menyempatkan diri bersih-bersih rumah. Sepertinya aku harus lebih rajin bersih-bersih. Kalau aku menikah dengan Sandi dan tinggal di sini, aku 'kan harus menjaga tempat ini juga tetap bersih. Bahkan kalau perlu lebih rapi dan bersih daripada ini.
And what am I thinking right now?
Makan malam kami malam ini adalah smoked salmon, spaghetti aglio olio, dan broccoli and cheese. Sangat western, ya? Karena aku tidak tahu cara masak makanan Indonesia, kecuali mi instan. Really, I need to learn more from my mum! Untungnya, saat makan, Sandi tak henti-hentinya mengatakan, “Enak banget” atau “Kamu koki yang hebat” atau “Kayaknya aku bisa banget tiap hari makan makanan kamu”. Kode banget?
Setelah itu, kami hanya duduk bersebelahan di sofa sambil nonton apapun yang ditayangkan HBO. Pop corn yang tadi kami beli di Food Hall ia buka dan makan sambil nonton TV.
“Ran...”
“Hmmm...?”
“Kalau nanti kita married, kamu mau punya anak berapa?”
Aku langsung duduk tegak, tidak siap ditanyai begitu. “Hmm... Aku... Aku....”
“Kamu kaget, ya, aku nanya anak?” katanya sambil tertawa geli. “Aku cuma pengen tahu aja.”
“Jahat ih kamu malah ngetawain aku,” kataku mencubit perutnya.
“Iya, ampun... ampun... Tapi serius, kamu mau punya anak berapa?”
“Hmmm, kayaknya satu aja deh.”
“Satu doang?” pekiknya. “Lima dong.”
“Eh, jangan sinting kamu...”
“Lho, kok malah dikatain sinting?” serunya tidak terima. “Aku serius.”
“Tapi kita nanti bakal repot banget, San, biayanya juga gede banget 'kan kalau punya anak” jawabku. “Lagipula negara kita ini sudah overpopulated banget. Aku nggak mau, ah, ikutan berkontribusi untuk itu.”
“Memang, sih. Tapi selama kita mampu membesarkan anak-anak tersebut, financially and mentally tentunya, aku mau banget punya banyak anak. Kalau perlu ada yang kembar,” jawabnya. Aku betul-betul nggak tahu apa dia bercanda atau serius.
“Tapi bukannya tidak dianjurkan melahirkan kalau sudah terlalu tua?” tanyaku lagi. “Kan kamu yang dokter...”
“Kamu umur berapa, sih, Ran?” tanyanya. “26? 27?”
“26, Sandi. Oktober ini.”
“25 jalan 26, ya?” Kemudian Sandi terlihat berpikir. “Kalau kita menikah tahun depan, usia kamu waktu melahirkan anak pertama, kemungkinan 27 atau 28. Kalau kita akan punya lima anak, berarti kamu melahirkan sampai umur 32 atau 33 gitu. Masih aman dan sehat kok harusnya. Atau mungkin kita harus berdoa punya anak kembar kali, ya, biar hemat waktu melahirkannya.”
“Sandiiii....”
“Awwww...,” Sandi memekik sakit karena perutnya kucubit gemas.
Lalu setelah itu, dia hanya nyengir-nyengir puas, entah apa yang ada di kepalanya. Kemudian, entah kapan dan bagaimana ia memulainya, tapi yang aku tahu ia mendekatkan dirinya kepadaku, membelai pipiku dengan penuh sayang, and there it was, our first kiss. My very first kiss.
^^
Bulan ketiga.
Trrttt... Trrt...
“Halo?”
“Ran, lo lagi sibuk nggak?”
Intan. Something's wrong with her voice.
“Lo kenapa, Tan?”
^^^
“Hei, Sayang. Kenapa?” Akhirnya Sandi mengangkat telponku. Aku sudah di Uber menuju Ampera, menyusul Intan di kafe.
“San, dari tadi ada pasien, ya? Kok lama angkatnya?”
“Iya, nih. Sepertinya masih ada tiga orang lagi, tapi setelah itu selesai, dan aku bisa langsung ke One Hundred,” kata Sandi ceria. Sandi memang telah mereservasi satu meja di One Hundred untuk date kami kali ini.
“Nah, that's why I've been trying to reach you, San,” jawabku. “I think Intan is in some kind of trouble, tadi dia telepon aku, terdengar sedih banget. Aku akan nyusul dia, sepertinya. Jadi kemungkinan aku nggak bisa nyusul ke Senayan.”
“Oh...,” hanya itu ucap Sandi. Dan, ya, dia terdengar kecewa.
“Maaf banget ya, San. You know, I can't just leave my best friend like that.”
“Hmmm... Ya, tentu saja,” katanya singkat. “Aku mengerti.”
“Are you sure you'll be fine with this? Apa perlu aku telpon ke One Hundred untuk membatalkan reservasinya?” tanyaku. “I promise I'll make it up to you next time.”
“Nggak usah, nggak apa-apa. Nanti aku yang telepon mereka.”
“Beneran, ya?”
“Ya sudah, Rani. Aku ada pasien lagi, nanti telpon lagi, ya,” katanya kemudian dan langsung mematikan teleponnya.
And this is not right. Sandi kembali menjadi si patung yang tidak terlalu banyak bicara. Selama tiga bulan kami jalan bareng, Sandi sudah banyak berubah. Dia berusaha lebih banyak bicara kepadaku. Dia juga selalu bertutur dengan lembut dan baik. Dan di telepon tadi, aku bisa merasakan keketusan suaranya.
^^^
Aku mempercepat langkah ketika menemukan Intan di salah satu sofa di pojok kafe. Intan berdiri dan memelukku. Menangis. Aku hanya membantunya duduk kembali, mengusap-usap bahunya, membiarkan dia menghabiskan air mata dulu.
“So, do you wanna talk about this?” tanyaku ketika Intan sudah tenang.
“Gue putus sama Andri,” katanya mengawali ceritanya. AHA!
Kemudian Intan menceritakan semua. Intinya, semua bermuara pada Rama dan kecemburuan Andri. Andri merasa Intan terlalu banyak menyebut nama Rama dalam hubungan mereka. “Aku udah jarang banget jalan sama Rama deh sejak dia punya pacar”, “Pacarnya Rama itu aneh. Posesif banget. Kayaknya insecure banget sama kehadiranku”, dan yang paling membuat Andri marah, “Harusnya setelah kami sama-sama punya pacar, nggak usah ada yang berubah”. Di bagian itulah Andri merasa Intan tidak menjaga perasaannya.
Intan mengulang perkataan Andri, “Kamu bisa jaga hubungan baik kamu sama Rama. Kamu sangat mikirin keadaan Rama dengan pacarnya yang posesif. Kamu mikir perasaan aku nggak? Mikir bahwa aku juga pengin sekali-sekali dilarang-larang sama pacarku, sekali-kali pengin juga membuat si Rama itu insecure. Kok malah jadi aku yang insecure sama Rama? Dan aku nggak bisa bertahan dalam hubungan yang membuatku insecure.”
Aku hanya memandangi Intan, kasihan. Tapi aku mengerti banget kenapa Andri bersikap begitu. Seberapa banyak pun Intan menolak bahwa perasannya ke Rama itu bukan apa-apa selain karena mereka sahabatan, tapi nenek-nenek buta juga tahu kalau dia tuh cinta mati sama Rama. And I think Rama does too. Yang aku belum paham sekarang, kenapa Rama bisa pacaran sama orang lain kalau emang dia sayang sama si Miss Rempong satu ini. I mean, she's his 'Tuan-Putri', right?
“Gue emang sayang sama Rama, tapi 'kan ya karena Rama. We're best friends,” lanjutnya. “Tapi Andri...”
“Lo cinta sama Andri?”
“Gue.... Hmmm, Andri.... ya, gue....,” Intan hanya diam setelah berusaha menjawab pertanyaan yang kulontarkan pertanyaan itu.
“Gue nggak yakin lo cinta sama dia. So, just let it go,” kataku. Ini mungkin nasihat terburuk seorang sahabat terhadap sahabatnya.
“Ya, gue sayang Andri, tapi gue belum bisa bilang kalau gue cinta, Ran. Cinta itu.... It's a very strong word, you know,” jawabnya.
“Well, Tan, dalam Bahasa Inggris, cinta dan sayang sama-sama 'love' kok. Beda tipislah,” jawabku kemudian. “Ya, menurut gue, lo harus memperjelasnya dari sekarang bahwa rasa sayang kayak gimana yang lo mau berikan ke Rama ataupun ke siapa pun yang jalan bareng lo nantinya. Yang jelas, kalau sepengelihatan gue, Rama itu special banget buat lo. Even though lo nganggepnya sahabat, orang-orang lain, or cowok-cowok yang serius mendekati lo, bisa nganggepnya beda, Tan. Kayaknya lo mesti mikirin itu juga deh.”
Intan menghela napas. Diam, berpikir.
Lalu ia berkata, “Seandainya gue bisa mendefinisikan kayak gitu, Ran. Kayak yang sedang lo jalani sama Sandi. Membicarakan cinta dalam bentuk rencana. Kadang gue iri, tapi gue nggak tahu apa gue bisa secerdas kalian dalam ngejalanin cinta.”
^^^
Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 23.40 ketika aku pulang dari misi menenangkan Intan. Biasanya Intan bukan orang yang terlalu susah untuk dihibur atau ditenangkan masalah pria. Tapi kali ini? Mungkin di sini bagian sulitnya. Intan terlalu sayang sama Rama. Tapi harus kuakui, hubungannya dengan Andri juga lumayan hebat. Mereka akan lima bulanan minggu depan. Ini rekor untuk Intan yang biasanya tukang gonta-ganti pasangan.
Setelah mengganti baju dan mencuci muka, aku menghempaskan diriku di kasur dan mengecek ponsel. Aku memang menunggu telepon dari Sandi. Aku mengecek WhatsApp, tapi itu juga nihil. Tidak ada pesan masuk dari Sandi.
Aku memutuskan untuk menghubunginya. Tidak diangkat. Apa mungkin Sandi sudah tidur? Tapi aku yakin sekali belum. Sandi bukan tipe orang yang tidur cepat. Lagipula, besok ia shift siang. Ia sudah mengatur waktunya sedemikian rupa karena malam ini kami (seharusnya) merayakan tiga bulan hubungan kami.
Aku segera mengirim pesan, “Sandi, kamu udah tidur?”
Aku menunggu sampai tengah malam, pesanku sudah dibaca. Tetap tidak ada balasan. Maka, aku menulis lagi pesan untuknya, “Sandi, aku tahu kamu sudah baca. Tapi mungkin kamu capek banget sampai tidak balas WA-ku. Gpp kok. Aku cuma susah tidur aja karena belum denger dari kamu. Goodnight, ya. Happy three months!”
Baru aku hendak menutup semua aplikasi di ponselku, kemudian aku melihat notifikasi WhatsApp masuk. Dari Sandi.
“Aku butuh waktu untuk kecewa dulu, boleh?  I really hope you’ll understand. Aku mau berpikir dan aku akan ngobrol sama kamu when I’m done. Good night, Rani.”
Seketika aku lemas dan bingung. Sekecewa itukah Sandi? Dia tidak mengerti, ya? Aku membatalkan rencana bukan karena apa-apa. Ini Intan, sahabatku. Jujur saja, aku memang merasa tidak enak harus membatalkan janji dengannya. Tapi Intan butuh aku. Aku tidak bisa membelah diri. Aku kira Sandi akan mengerti hal itu, tapi ternyata, dia kecewa dan memikirkannya sampai seserius ini. Dan dia memanggilku “Rani”, bukan “Sayang” seperti biasanya.
Ya Tuhan, Sandi kenapa, sih?
^^^
Para penguji dan pembimbing tesisku telah keluar dari ruang ujian. Aku membereskan dokumen-dokumen tesis di atas meja, menghela napas lega, tersenyum lebar, dan berbalik. Ibu, Bang Mat, Intan, dan beberapa teman master yang sedari tadi menyaksikan sidang hadir di sana. Aku langsung menghampiri Ibu dan ia memberikan pelukan yang paling erat yang pernah ia berikan kepadaku selama ini. Biasanya sudah erat, yang kali ini jauh lebih erat. Aku tidak tahan untuk tidak mencucurkan air mataku.
“Selamat, nak. Ibu bangga sekali,” kata ibu menghujaniku dengan ciuman.
Bang Mat juga memelukku erat. Ia hadir, pasti sengaja izin dari kantor demi ke sini. I'm so lucky to have such family! No one could ask for a better one, I guess.
Intan dan beberapa temanku juga mengerubungi aku dan memberikan selamat.
“Congratulations, Rani!”
“Akhirnya, Ran, perjuangan lo! Kita-kita masih belum nih.”
“I'm happy for you, Ran. You really deserve it,” kata Intan sambil tersenyum penuh arti.
Ya, tentu Intanlah yang paling mengerti betapa miserable-nya hidup seorang Rani selama dua minggu terakhir ini. Ribut sama pacar adalah hal paling utama dan itu disebabkan olehnya. Haha! Aku sudah menceritakan semuanya ke Intan. Berulang kali Intan minta maaf padahal sudah kukatakan itu sama sekali bukan kesalahannya. Intan hanya bilang, “Mungkin Sandi memang butuh waktu. Jadi, berikanlah itu padanya. Lo juga butuh waktu untuk mempersiapkan sidang lo.”
Ya, timing is a bitch, right? Aku mendapat jadwal sidang satu minggu sebelum libur Lebaran dimulai. Bagaimana aku bisa berpuasa dengan damai? Ditambah, aku ribut sama Sandi. Itu terjadi sebulan sebelum sidang dan selama itulah dia tidak menghubungiku sama sekali. I don't even know whether I still have a boyfriend right now. Dia bahkan tidak datang kemari. Aku bahkan tidak tahu apakah dia tahu kalau aku sidang hari ini.
Sampai ketika aku melangkahkan kaki keluar ruang sidang, aku menemukan Sandi memegang sebuket bunga mawar putih yang besar dan indah. Ia mendekatiku, memberikan bunga itu, mencium keningku, dan berkata, “Selamat, Sayang.”
^^^
“Kok kamu bisa tahu aku sidang hari ini?”
“Aku tanya ibumu.”
“Kapan? Kok kamu nggak tanya aku langsung aja?”
“Sengaja.”
“Sengaja gimana?”
“Ya, terakhir 'kan kita sedang tidak bicara. Aku juga sedang ribet di rumah sakit. Kamu juga pasti sedang persiapan sidang. Rasanya kurang bijaksana kalau mengajakmu bicara saat itu.”
Sandi berbicara sambil terus melihat ke jalan. Aku sudah bilang untuk tidak mengantarku pulang karena aku bisa pulang dengan Bang Mat dan Ibu. Tapi dia memaksa. Jadilah aku pulang dengannya sekarang ini.
“Terus sekarang kamu mau apa?”
“Mau apa gimana?”
“Ya, aku butuh tahu apa yang kamu putuskan sejak kamu meminta waktu untuk sendiri dan berpikir waktu itu,” kataku tidak sabar. “Kamu lupa, ya?”
“Aku nggak lupa, Sayang, tapi aku akan menjelaskannya nanti ketika aku sudah berhenti menyetir.”
Dua puluh menit kami habiskan dalam diam sampai akhirnya kami sampai di depan rumah. Aku nggak langsung turun karena aku tahu Sandi akan mengajakku berbicara mengenai masalah kami.
“So?” todongku.
Sandi hanya memandang mataku tanpa berkata-kata, seolah mencari sebuah jawaban. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan sekarang. Aku hanya butuh kepastian dari sikapnya waktu itu. Kenapa sekarang dia malah diam?
“San?”
Perlahan Sandi membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna abu-abu gelap dan membukanya di depanku. Sebuah cincin berwarna perak dengan mata berlian mungil ada di dalamnya. Sumpah, what is he doing?
“Maharani Karina Adiputra, please just listen to me for a while,” katanya membuka pembicaraan. “Inilah hal yang menyebabkan aku sangat kecewa waktu kamu membatalkan janji makan kita di One Hundred waktu itu.”
“Hah? Maksud kamu...?”
“Aku kan belum selesai, Sayang,” katanya lagi. “Waktu kita mau merayakan tiga bulanan, aku sudah mempersiapkan ini. Aku ingin menyatakannya kepadamu. Meresmikan hubungan kita ke tingkatan yang lebih lanjut. Tapi... yah, kamu tahu bagaimana akhirnya malam itu.”
“Jadi, kamu...”
“Iya, aku mau melamar kamu malam itu,” katanya tidak membiarkanku menyelesaikan pertanyaanku. “Berhubung kita ribut, jadinya nggak jadi deh.”
Sandi menutup kembali kotak cincinnya dan aku hanya memandang dia aneh. Jadi, dia tidak jadi memintaku menikahinya hanya karena aku membatalkan makan malam itu dengannya? Aku benar-benar tidak terima!
Kemudian Sandi tertawa geli dan kembali membuka kotak tersebut. “Aku bercanda, Rani. Sekarang ini akan kulakukan. Maaf kalau aku nggak romantis seperti orang-orang di film-film yang berlutut untuk melamar calonnya. Aku malah melakukannya di mobilku yang jelek ini.”
Aku hanya diam menunggunya bicara. Lidahku kelu, tidak bisa ngomong apa-apa.
“So, Maharani Karina Adiputra, will you marry me?”
0 notes