#RelungKhayal
Explore tagged Tumblr posts
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were”- part 1
“Hhhhh....,” aku menghela napas panjang seusai mengirim laporan yang diminta Bu Meggy, bosku.
Sudah sejak pukul 17.00 aku mendekam di kamar kos, mengerjakan laporan yang diminta mendadak. Kulihat jam di ponsel, sekarang pukul 23.17 . Untung ini masih awal semester tahun ajaran baru, belum terlalu banyak tugas kuliah. Kalau tidak, bisa-bisa tidur menjadi barang mewah buatku, karena selain menyelesaikan tugas kuliah, aku juga harus mengerjakan laporan kantor. Ya, memang beginilah nasib seorang mahasiswi yang merangkap pekerja paruh waktu. Keduanya berkompetisi menghabiskan seluruh isi pikiranku.
Namaku Rani. Lengkapnya Maharani Karina Adiputra. Usiaku 25 tahun –  jalan 26 tahun ini – dan sekarang sedang struggling menyelesaikan kuliah di Program Magister Sosiologi Universitas Negara sambil melakukan part-time di Pusat Penelitan Indonesia (PPI). Terdengar serius? Ya, lumayan. Hal-hal yang diteliti PPI memang serius, seperti tentang pengaruh pembangunan prasarana jalan terhadap modal sosial masyarakat desa tertinggal, dan lain-lain. Pekerjaanku kebanyakan hanya mengumpulkan data dan melakukan analisis statistik. Pusing? Tentu saja. Tetapi bisa jalan-jalan keliling Indonesia tentunya menjadi reward sendiri bagiku.
Lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Sosial di usia 22 tahun, lalu diterima kerja langsung di PPI merupakan salah satu hal yang paling membanggakan dalam hidupku. Di hari wisudaku, Ibu berlinang air mata karena haru. Beliau tak henti-hentinya menghujaniku dengan ciuman dan pelukan, “Ayah pasti bangga sama kamu, 'Nak. Pasti...”
I really hope so, Bu. Memang tujuanku ingin membanggakan Ayah.
^^^
Trrrrt.... Trrrrt...
Ponselku bergetar-getar di atas meja, tanda panggilan masuk.
“Halo, Bu.”
“Waalaikumsalam, Rani.” Aku hanya nyengir karena lupa menyapa ibu dengan 'Assalamulaikum' seperti yang selalu diajarkannya. Tapi, ya sudahlah. Ibu sudah mengerti bandel-bandel anaknya.
“Rani, kok dari tadi Ibu telepon nggak diangkat?”
“Rani habis mandi, Bu.”
“Lho, kok jam segini baru mandi, toh?”
“Baru selesai laporannya Bu Meggy. Ingat nggak yang minggu lalu kunjungan ke Klender? Datanya sudah aku masukin dari kemarin-kemarin, tapi ternyata kata Bu Meggy, data anak-anaknya harus dimasukin juga. Jadi, ya, barusan aku kerjain sampai selesai.”
“Oh, masih suka dadakan gitu, ya, bosmu itu?”
“Hahahaha, iya, Bu. Namanya juga Bu Meggy. Untung aku lagi nggak ada tugas. Ibu kenapa telepon? Ibu sehat?”
“Sehat, alhamdulillah. Cuma pengin ngecek keadaanmu aja.”
“Aku baik-baik saja, Ibu nggak perlu khawatir.”
“Ya, Ibu cuma pengen tahu keadaan kamu, nggak apa-apa 'kan?”
Aku cuma tersenyum. Walaupun ibu tidak bisa melihat senyumku. Ibu sering melakukan ini sejak aku kuliah S1, memastikan anaknya baik-baik saja. Padahal baru dua hari sebelumnya menanyakan hal yang sama.
“Kamu jangan kebanyakan kerja, Ran. Ambillah waktu untuk bersantai sejenak, melakukan hobi kamu – yang bukan pekerjaan, tentunya...”
I think I know where this is going. Jadi langsung saja ku potong, “Ibu mau aku cari pacar, maksudnya?”
“Lho, Ibu nggak ngomong begitu...”
“Udah ketebak kali, Bu. Sama aku aja masih pakai kode-kode segala.”
“Yah, ibu tuh cuma pengen kamu nggak kesepian. Nggak sendirian terus.”
“Kan ada Ibu. Ada Bang Mat, Mbak Dini, Metta. Ada Intan juga di sini selalu nemenin Rani.”
Aku menyebutkan nama abangku, istrinya, dan anak mereka, keponakan satu-satunya dan kesayanganku. Juga tidak lupa sahabatku sehidup semati di program Magister yang sedang aku jalani ini.
“Ibu belum tentu selalu ada di sisi kamu, Ran.”
Fixed, Ibu kebanyakan nonton teve. “Ibu ngomong apaan sih? Udah, ah. Jangan kayak gitu.”
“Rani, kamu tahu persis apa maksud Ibu 'kan?”
Aku terdiam. Ya, tentu saja aku tahu. Ibu sudah tua. Satu hal yang ingin ibu lihat adalah aku dipinang orang sebelum Ibu mendahului kami, menyusul Ayah. Tapi kalau memang aku belum bertemu yang cocok, mau gimana?
“Kalau belum ketemu, ya nggak apa-apa, Ran,” kata ibu. God, is she some kind of paranormal or what? Aku nggak bilang apa-apa tapi dia tahu apa yang kupikirkan. “Tapi kamu harus mencoba mencari. Mencari saja tidak cukup, Ran. Membuka diri terhadap orang lain. Itu yang harus kamu lakukan juga.”
^^^
Ibu selalu ada buatku, di saat  senang, susah, sedih, apa pun perasaanku. Walaupun kadang-kadang kami sedikit berselisih pendapat, tetapi Ibu adalah orang yang paling mengerti aku. Beliau tidak pernah melarang-larangku dan mendukungku 150% untuk mengejar cita-cita menjadi sosiolog, seperti Ayah. Walaupun mungkin terkesan sangat idealis karena cita-cita Ayah memang mulia dan aku hendak mengikutinya, tapi Ibu tidak pernah sedikit pun lelah mendukungku.
Ayahku seorang profesor di bidang sosiologi, lulusan Amerika. Beliau banyak melakukan penelitian dan memberi kuliah di Universitas Negara semasa hidupnya. Penelitian-penelitian yang beliau lakukan termasuk pergi ke daerah-daerah terpencil untuk mengambil data. Sambil melakukan itu, Ayah suka berkunjung juga ke rumah-rumah singgah atau sekolah-sekolah kecil yang tidak punya tenaga pengajar yang cukup. Ayah dan timnya kadang-kadang membantu mengajar. Mereka adalah orang-orang hebat berhati mulia, ingin membangun negeri.
Mulia, mulia sekali orang-orang itu.
Sayangnya, sebelum sempat Ayah merasakan suksesnya 'membangun', beliau dipanggil Tuhan, seminggu setelah ulangtahunku yang ketujuh belas.
Ibuku sendiri membuka bisnis karangan bunga. Ibu senang merangkai bunga dari dulu. Memiliki sahabat di Bandung yang selalu menyetok segala macam keperluan bunga-bunganya, sudah cukup untuk Ibu menjalankan bisnis ini. Kata Ayah, dulu Ibu sempat kerja kantoran. Di Gordon & Mitchell. Dulu aku belum mengerti jabatan ibu. Pokoknya Ibu sering bilang “Pulang malam, ketemu klien.” Apa pula itu klien? Pokoknya yang kutahu, Ibu kerjaannya mengurus klien-klien, entah apa yang dilakukannya. Tapi setelah melahirkan Bang Mat, Ibu memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah tangga. Makanya beliau memilih bisnis kecil ini.
Pembicaraanku di telepon semalam dengan ibu bukan yang pertama kalinya. Ibu sering menyuruhku mencari suami. Bayangkan, di usiaku yang baru 25 tahun. Hahahaha.... seandainya semudah itu, Bu. Aku sendiri bukannya tidak memikirkan itu. Tetapi aku tidak mau pacar-pacaran hanya iseng, seperti anak SMA. Menurutku, pacaran itu untuk tujuan menikah. Memang kalau mau ngomongin pernikahan bakal panjang urusannya. Kalau pacaran hanya untuk memiliki status dengan orang lain, tanpa ada tujuan dan arah yang jelas, buat apa?
Tapi, itu untuk nanti. Kalau aku sudah yakin, dan kalau ada yang bisa meyakinkanku, Si Johir alias Jomblo dari Lahir.
^^^
“Kenapa lo cemberut gitu?” tanya Intan sambil berusaha sekuat tenaga memotong ayam bakar di piringnya menggunakan sendok dan garpu.
“Tan, makan pake tangan aja kenapa sih?” sahutku geregetan.
“Males, ah. Tangan kotor dan nanti bau ayam. Udah dicuci berkali-kali tetap tinggal baunya.”
Aku hanya menggeleng-geleng. Ya, pastilah akan bau. Kalau memang nggak mau tangan kotor, kenapa si Miss Rempong satu ini nggak beli makanan lain saja? Anyway, hanya aku yang boleh mengatai dia seperti itu. Kalau orang lain yang ngomong dan dia dengar, pasti dia marah sekali. Itulah keuntungan menjadi sahabat Intan sejak tahun pertama kuliah magister.
Aku dan Intan berbeda dari A sampai Z. Persamaan kami hanya satu, sama-sama mengambil magister sosiologi sejak 1,5 tahun lalu. That's it.
Pertama, Intan mendapatkan gelar sarjana psikologinya di Sydney, sementara aku sarjana sosial di Unega. Aku hanya meneruskan pelajaranku, walaupun sempat terpotong dua tahun kerja. Sementara Intan, ia anak psikologi dengan konsentrasi di psikologi sosial. Mengambil sosiologi di Unega merupakan keputusannya saat selesai bachelor degree-nya di Sydney. Waktu aku tanya mengapa ia tidak kuliah di Sydney lagi, alasannya karena pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan di Australia. Tapi aku tahu pasti alasan sebenarnya bukan itu, melainkan karena seseorang bernama Rama. Ada ceritanya soal Intan dan Rama, tapi mungkin kapan-kapan, ya? Kalau sekarang, bisa jadi satu novel sendiri.
Kedua, usiaku dan Intan terpaut tiga tahun dengan pengalaman kerja yang berbeda. Ia lulus dan langsung master, aku setelah lulus sempat bekerja dulu selama 2 tahun. Sampai sekarang aku masih membantu di PPI, tetapi paruh waktu. Jadi, tidak mengganggu kuliahku. Sementara pengalaman kerja Intan? Bisa dibilang masih minim. Ia pernah ikut voluntary work ketika di Sydney dulu, katanya. Kadang Intan masih suka ikut komunitas gerejanya untuk mengadakan bakti sosial dan mengajakku (dan Rama) ikut serta. Aku dengan senang hati membantunya. Gitu-gitu, Intan nggak pernah perhitungan kalau sama gereja.
Ketiga, Intan hobi gonta-ganti pacar. Sedangkan aku, sepertinya layak mendapatkan gelar – menurut Intan – Miss Wait-Until-I-Find-the-Right-Guy-to-Marry. Usiaku hampir 26 tahun dan selama itulah aku menjomblo. Membanggakan, bukan? Bukannya nggak suka laki-laki, lho. Orientasi seksualku masih normal, kok. Aku cuma malas pacaran. Sering jadi pendengar curhatan teman-teman yang bermasalah dengan pacar-pacar mereka, membuatku memikirkan untung-rugi berpacaran, dan berakhir dengan, “Ah, banyakan ruginya.” Sedangkan Intan, ganti pacar seperti ganti celana dalam. Ya, walau aku tahu 'celana dalam' favoritnya tetaplah Rama. Okay, that sounds disgusting.
I am not even sure apa Rama bisa disebut salah satu 'celana dalam' Intan atau tidak. Tapi anyway, aku tidak ingin memiliki 'celana dalam' itu kalau hanya untuk diganti-ganti. Inginnya yang serius dan bisa sampai akhir hayatku. (Rasanya analogi celana dalam tidak lagi tepat. Masa' mau pakai celana dalam yang sama seumur hidup?? Iyuuuuh.)
“So, kenapa lo cemberut gitu?” Intan mengulang pertanyaannya.
“Adalah. Males ngomonginnya gue.”
“Pasti nyokap lo nyuruh cari pacar lagi, ya?” tembaknya telak.
Aku mendengus keras dan sebal, membuat Intan tertawa terbahak-bahak.
“Ya udah, Sabtu jadi nemenin gue 'kan? Sekalian deh lo bisa cari pasangan.”
“Sial lo... Mau ke mana, sih, kita?”
“Dinner aja kok, say. Get dressed, ya. Anaknya temen bokap gue ini dokter, lho. Kece deh pokoknya. Siapa tau cocok buat lo.”
“Kalau emang kece, kenapa nggak lo embat aja?”
“Yeeeh, terus Andri mau dikemanakan, Rani?”
Aku tergelak. Andri adalah pacar barunya Intan. Kayaknya sudah sebulan ini mereka jalan bareng. Prestasi sih. Biasanya Intan cuma tahan seminggu, dua minggu aja sudah bagus.
“Andri nggak ikut Sabtu ini?”
“Nggak. Kenapa sih? Lo mau semacam double date gitu?”
“Rese' lo!” seruku sambil menciprat air dari kobokan yang baru kupakai untuk mencuci tanganku.
“Ih, jorok banget, Raaaan!”
^^^
Sabtu sore.
Aku menatap refleksi diriku di cermin. Make up tipis sudah terpulas cantik di wajahku. Aku juga sudah mengenakan blus biru tua model sabrina dipadukan dengan celana kulot putih favoritku karena emang nyaman sekali dipakai. Rasanya sudah cukup pantas malam ini untuk malam mingguan bareng Intan dan temannya yang dokter itu. Aku tidak yakin akan makan di mana, tapi kalau sama Intan, hampir pasti ke tempat-tempat yang dua-ratus-ribu-ke-atas begitu. Jadi, penampilan juga penting kalau mau pergi sama Intan.
Tok, tok, tok. Pintu kamar kosku diketuk dari luar dan suara Intan melengking kemudian, “Raniiiii.... Sudah siap belum???”
“Iyaaaa, sebentar.”
Aku mengambil tasku, mematikan lampu, dan membuka pintu. Intan tersenyum lebar menungguku di luar. Ia mengenakan dress hitam dan heels merah tua. Ia terlihat stunning memang, apalagi ditambah make up-nya yang membuatnya terlihat tidak seperti perempuan berusia 23 tahun.
“Ready?”
“Ehmmm... Kita mau pergi dinner 'kan?”
Intan tersenyum jahil, “Iyalah, memang mau ke mana lagi? Yuk turun.”
^^^
Di parkiran rumah kosku, menunggu sebuah sedan abu-abu berplat H di depannya. Intan segera duduk di kursi samping supir, sementara aku masuk di belakangnya.
“Jadi, San, ini temen gue, Rani. Kenalin,” kata Intan ke si 'supir', lalu ia menengok ke arahku. “Ran, ini dokter Sandi.”
“Hai,” Aku menyapa dan mengulurkan tanganku ke depan. “Gue Rani.”
Dokter Sandi terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengambil tanganku. Ia mengucapkan namanya cepat dan dengan volume agak kecil, “Sandi.”
Selama perjalanan, Intan banyak mengoceh tentang aku kepada Sandi. Sementara Sandi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil fokus pada jalanan. Aku merasa orang ini kaku banget, seperti kanebo kering. Seriously, ini orang yang mau Intan kenalkan kepadaku? Aku bisa apa kalau ditinggal berdua sama orang macam ini? Mana bisa aku ngobrol dengan enak?
Aku berusaha mencairkan suasana juga dengan bertanya, “Kerjanya di mana?”
“Rumah Sakit Kencana Sejahtera,” jawabnya singkat.
Lalu, Intan yang menyambar, “Itu, lho, Ran, yang di Tebet. Tahu 'kan? Rumah sakitnya baru direnovasi, terus spesialisasinya tulang kalau nggak salah. Ya 'kan, San?”
Sandi hanya mengangguk singkat.
^^^
Makan malam berjalan baik dan tenang. Tentu saja. Karena Sandi orangnya diaaaaaam sekali. Tidak bicara apapun jika tidak ditanya. Hanya mengangguk-angguk kecil menyetujui ocehan Intan.
Ada beberapa hal yang aku ketahui tentang dokter Sandi ini. Ia baru pindah ke Jakarta 6 bulan terakhir ini untuk praktik di Rumah Sakit Kencana Sejahtera. Ia lulus dari Universitas Diponegoro, Semarang sekitar 3 tahun lalu, waktu usia 25 tahun. Lalu dua tahun dihabiskan di Yogyakarta, bekerja sebagai dokter umum di salah satu rumah sakit dan melakukan beberapa riset di Universitas Gadjah Mada. Rencananya ingin mengambil spesialis di Unega, tapi mungkin baru ikut tes tahun depan. Satu tahun ini masih mau mengumpulkan uang dulu.
Kok bisa banyak ceritanya? Katanya orangnya pendiam?
Semua fakta itu, aku tahu dari mulut Intan. Sandi ini hanya mengiyakan semua perkataan Intan. Jadi, Intan sudah tahu semua tentangnya? Gimana caranya? Cerita pakai apa? Orang kayaknya dia ini skrup suaranya terlalu kencang, alias saking hobi diamnya, sudah kayak robot.
Setelah selesai makan, Sandi menyetir mobilnya sesuai arahan Intan. Kami menuju daerah Jakarta Pusat, bukan arah pulang ke tempat kosku.
“Tan, kita mau ke mana?” tanyaku penuh curiga.
“Hmm... ke Nordic.”
Aku melotot. Intan mengajak kami ke salah satu club paling happening di Jakarta saat ini. “Heh, giling. Gue pake celana santai begini.”
“Ih, santai aja lagi, masih kece kok.”
“Terus ntar mau pulang jam berapa? Siapa yang mau nganter?”
“Actually kemaren gue udah bilang ke Sandi, dia mau kok gue ajak ke Nordic. Ya 'kan, San?” kata Intan nakal  sambil melirik ke Sandi. “Kalau pulang tenang aja. Ntar Sandi yang anter lo. Gue mah gampang.”
Aku hanya geleng-geleng. Intan ini kalau ke club sudah pasti mabuk. Tidak mungkin Intan ini naik taksi mabuk-mabuk gitu. Gampang, katanya? Gampang dari Hongkong!
“Gue sih nggak masalah karena gue pasti pulang dalam keadaan sadar. Sandi nggak perlu anter gue juga nggak apa-apa. Gue bisa naik taksi. Kalo lo? Lo nggak mungkin naksi 'kan? Andri juga lagi di Bandung 'kan tadi pagi lo bilang? Siapa yang mau anter lo, Tan?” Bagaimanapun aku khawatir terhadap sahabatku satu ini.
“Ntar ada Rama kok. Lo nggak usah khawatir gue pulang. Pasti Rama anterin.”
See? Celana dalam satu itu memang selalu stand by.
^^^
Nordic, pukul 1.55 pagi.
Aku cuma menenggak sedikit-sedikit birku sambil memperhatikan Intan yang di sudah kesetanan di lantai dansa. “Minumnya sedikit, naiknya cepat”. Begitulah Intan.
Ini salah satu perbedaan kami. Intan hobi clubbing, aku tidak. Ia kalau minum cepat mabuk, aku tidak. Bukannya tidak pernah clubbing, tapi aku tidak sesering Intan. Dan biasanya, kalau aku pergi, pasti bareng Intan, dengan tujuan menjagai dia. Emang dasar perempuan sinting, gerutuku dalam hati.
Sementara Intan asyik-asyik tanpa sadar, aku di sini dengan sadar duduk bersama Sandi. Diam-diaman, tanpa bicara sedikit pun. Sandi yang juga dengan sadar menyulut rokoknya sedikit demi sedikit. Aku bingung juga mau mengajaknya ngobrol apa. Asli, diam seribu bahasa. Aku tidak tahu apa yang harus aku tanya, sementara hal-hal umum yang menajadi pertanyaanku pada umumnya ketika baru berkenalan dengan orang sudah diceritakan Intan semua tadi di mobil. This is awkward.
^^^
Nordic, pukul 3.47 dini hari.
“Hei, Ran,” sapa Rama menghampiriku, masih duduk di kursi yang sama. Aku sudah ngantuk sebenarnya. Tapi Sandi dan Intan masih di situ. Bahkan Rama baru datang.
“Hei, Rama. Sendirian aja?”
“Iya, nih. Cuma mau jemput si Tuan Putri. Mana dia?” tanyanya sambil celingukan mencari Intan.
“Tuh, lagi di deket meja DJ, lihat nggak? Sama bule.”
Rama mengarahkan pandangannya ke Intan yang sedang asik dance seorang pria kaukasian. “I see. Gue ke situ dulu.”
“Itu Rama?” tanya Sandi tiba-tiba.
“Iya,” jawabku bingung, merasa aneh ditanya terlebih dahulu oleh Sandi. “Eh, iya, kalian belum kenal?”
“Belum,” jawabnya rikuh. “Tapi Intan sering bicara tentang dia.”
“Ehmmm... Iya, sahabatnya selama di Sydney dulu.”
Sandi hanya mengangguk-angguk.
Rama kembali dengan Intan sudah bergelayutan di lengan kirinya. Intan bertanya dalam kondisi setengah sadar,“Guys, aku sudah dijemput sama tuan muda nih. Kalian masih mau di sini?”
“Nggak, gue mau pulang juga. Gue dari tadi cuma nungguin lo doang dijemput sama tuan muda lo ini,” jawabku secara bangkit dari tempat duduk.
Sandi ikut berdiri. Rama hanya tersenyum-senyum dipanggil 'tuan muda' seperti itu.
“Ya sudah, gue ke depan cari taksi, ya,” kataku kepada mereka bertiga.
“Eh, lho? Sandi yang anter pulang, ya 'kan, San?” Intan berjalan ke arah Sandi, menarik tangannya dan mendekatiku. Intan menggandengkan tangan Sandi ke tanganku. “Nah, kalian pulang bareng. Gitu.”
Aku bingung dengan perbuatan Intan. Sandi pun terlihat tidak nyaman dan rikuh. Tapi ia tidak melepaskan tangannya dari tanganku.
“Sebenarnya gue bisa cari taksi. Kasihan Sandi kalau harus ke Depok dulu.”
Intan yang sudah kembali di sisi Rama menggoyang-goyangkan lengan Rama, seperti memberi kode untuk mengatakan sesuatu.
“Ehm... Iya, mending lo pulang bareng Sandi deh, lo nggak keberatan kan, Bro?” tanya Rama kepada Sandi. “Kalau nggak, gue bisa anterin dia pulang. Daripada sendirian naik taksi jam segini.”
Intan menengok ke arah Rama tidak setuju. “Lo nganter gue. Sandi nganter Rani. Adil 'kan?”
“Iya, aku aja yang nganter Rani, nggak keberatan kok,” jawab Sandi akhirnya, kemudian melepaskan gandengannya dari tanganku. “Yuk...”
^^^
Perjalanan pulang kali ini adalah momen yang paling canggung seumur hidupku. Jendela mobil dibuka dan Sandi hanya diam, menyetir sambil merokok.
“Sudah lama merokok?” aku bertanya berusaha menyelamatkan kecanggungan ini.
“Lumayan, tiga tahun kira-kira,” jawabnya.
“Oh, kamu dokter tapi merokok, ya?”
Sandi tertawa, “Hanya kalau sedang tidak dinas dan bukan di rumah sakit.”
Lalu kami diam lagi. Tapi hanya sekitar 30 menit aku sudah sampai di tempat kos. Jalanan jam empat pagi itu memang luar biasa menyenangkan, sepi, tidak macet, tidak panas juga.
“Terima kasih, ya, sudah mau mengantarkan sampai ke Depok lagi. Jauh, lho,” kataku sebelum turun dari mobil Sandi.
“Sama-sama.”
Waktu hendak membuka pintu, Sandi tiba-tiba bertanya, “Rani, aku boleh minta nomor handphone?”
“Eh?”
^^^
Aku masuk ke rumah kos yang sudah sepi seperti tidak berpenghuni, naik ke lantai dua, masuk kamar, ganti baju, cuci muka, dan merebahkan badanku ke kasur.
Lelah dan ngantuk, tapi tidak langsung bisa memejamkan mata. Masih terasa pekaknya suasana Nordic dan pengaruh bir, sepertinya. Tiga puluh menit setelahnya, ada notifikasi WhatsApp masuk di ponselku.
“Rani, ini Sandi. Aku sudah sampai di apartemenku. Terima kasih, ya, untuk hari ini. Senang berkenalan dengan kamu. Kalau berkenan, nomorku disimpan, ya. Selamat istirahat, Rani.”
1 note · View note
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were” - part 5
Semarang, a month after the big question.
“Capek perjalanannya, Rani?” tanya ibu Sandi sambil menuang secangkir teh. Kami, aku dan Sandi, baru mendarat sejam lalu. Sesuai kesepakatan, minggu ini kami berdua terbang ke Semarang, karena menurut Sandi aku harus mulai dikenalkan dengan kedua orangtuanya. Well, calon mertuaku. Oh my God! Aku harus membiasakan diri dengan ini.
Long story short, I said yes.
Aku memang butuh waktu untuk berpikir… bukan, untuk memastikan sekali lagi, langkah yang sedang kujalani bersama Sandi. Aku bicara dengan ibu dan kakakku. Mereka berdua nampak menyambut baik niat Sandi, dan menyerahkan semua keputusan padaku. Intan? Ya, tentu saja dia girang. Sampai menangis, pula. Aku saja tidak begitu-begitu amat.
“Nggak kok, Tante. Cuma satu jam,” jawabku.
“Sering berpergian dengan pesawat ya, Rani?” tanya ayahnya kali ini.
“Tidak terlalu, Om, hanya kalau ada tugas kantor saja.”
“Panggil Bapak dan Ibu saja,” kata ibu Sandi. “Kamu 'kan calon keluarga kami.”
Aku tidak sempat merespon, sudah ada suara dari dalam rumah, “Ini Mbak Rani calonnya Mas Sandi ya?” seorang perempuan belia – yang kurasa adalah adiknya Sandi – turun dari lantai atas dan menemukanku sudah duduk bersama Sandi, ayah, dan ibunya di ruang tamu.
“Hush, bawel! Yang sopan sama orang baru,” Sandi menegur adiknya itu dan merangkul adiknya. “Apa kabarnya bocah satu ini?”
“Baik dan tetap cantik,” kata adik Sandi itu sambil berusaha melepaskan rangkulan kakaknya dari leher. “Mas, lepasin, ah!”
“Sandi, sudah. Mending kamu angkat kopernya Rani ini lho,” kata Ibu Sandi.
“Oke, tidur sama kamu, 'kan, Ra?”
“Be my guest. Mbak Rani nggak mau sekalian naik liat kamarnya?”
“Boleh,” kataku.
“Oh, ya, aku Andara,” kata adik Sandi sambil menyodorkan tangannya. “Bisa panggil Rara saja.”
“Rani,” kataku menyambut tangannya sambil tersenyum.
“Pamit ke kamar dulu, Bu, Pak.”
“Oh, ya... monggo...” jawab Ibu Sandi.
^^^
“Ini kamar Rara, Mbak. Gede juga, 'kan?” katanya begitu masuk kamar kami.
Kamarnya memang besar untuk hanya ditiduri satu orang. Meja belajar berbentuk serupa huruf L terletak di sudut seberang pintu kamar, di tengah ada ranjang queen size dengan teve plasma tergantung di dinding depannya, ada meja rias di ujung satunya lagi, di sampingnya ada jendela yang menghadap keluar jalan, di sebelahnya ada rak buku yang panjang berisi macam-macam text book psikologi dan juga novel-novel, ujung satunya lagi adalah pintu menuju sebuah ruangan lain, yang adalah kamar mandi dan juga kloset, berisi baju, sepatu, dan aksesoris Andara.
“Woooow,” sahutku penuh takjub melihat klosetnya.
“Adikku ini emang princess, Ran. Semua juga dia punya. Jangan kaget, ya,” kata Sandi melihatku begitu.
“Mas, ah!” Andara memukul lengan Sandi karena dibilang seperti itu. Kemudian dia menjelaskan padaku. “Dulu kan aku berdua sama Mbak Aini, makanya kamarnya sebesar ini. Tapi Mbak Aini 'kan sudah pindah.”
Aku hanya mengangguk-angguk, masih penuh takjub.
“Mbak anggap aja kamar sendiri, ya,” kata Andara kemudian. “Pakai saja alat-alat mandi, baju kalau mau juga boleh, aksesoris, apa saja yang Mbak mau pinjam aku pasti bolehin.”
“Iya, Andara,” kataku. Anak ini manis sekali. “Terima kasih, ya.”
^^^
Seminggu setelah Sandi melamarku, kami merayakan Idul Fitri bersama. Sandi bersilaturahmi dengan keluargaku di rumah. Kebetulan Ibu masak ketupat, rendang, opor ayam, dan sebagainya. Sandi memang bilang dia tidak mau pulang ke Semarang, karena pasti ramai dan macet sekali. Maka, ia memilih untuk datang ke rumahku.
Bersamaan dengan itu pula, Sandi secara menyatakan kepada keluargaku bahwa ia memiliki niat untuk menjadikanku istrinya. Sebelumnya aku sudah diskusi dengan mereka. Dengan sopan ia meminta izin dan restu kepada Ibu dan Bang Mat. Mereka memberikan restunya dengan sangat mudah setelah bertanya ini-itu kepada Sandi. Tentunya mereka begitu karena Sandi memang memiliki latar belakang keluaga dan pendidikan yang baik. Profesinya yang sekarang pun menjanjikan dan keseriusannya denganku menyentuh hati Ibu dan Bang Mat. Well, dia berhasil menyentuh hatiku juga.
Sandi juga kemudian meminta izin untuk mengajakku liburan ke Semarang dalam rangka silaturahmi dengan keluarganya di sana, sekaligus ingin memperkenalkanku pada keluarga dan kerabatnya di Semarang. Kebetulan SMA-nya akan mengadakan reuni juga di sana dan dia mengajakku ikut serta. Begitu Ibu memberikan lampu hijau untuk perjalanan ini, aku pun langsung mengiyakan. Hitung-hitung graduation trip setelah tesis beres, dengan catatan semua revisi harus sudah selesai dan dikumpulkan sebelum perjalanan ini.
^^^
“Sudah siap, Sayang?”
“Sudah,” aku menjawab Sandi dan segera keluar dari kamar Rara. Sandi sudah menunggu di depan kamar. Ia mengenakan jas biru pemberianku. Aku sengaja menghadiahkannya untuk dipakai ke acara reuni SMA-nya. Aku tidak tahu persis ukuran Sandi. Namun aku nekat saja pergi ke Zara dan membeli satu jas yang kurasa akan cocok Sandi pakai. Seperti dugaanku ketika membelinya, jas itu cocok sekali di tubuhnya.
Sandi memandangiku beberapa saat tanpa mengucapkan apa-apa.
“San? Aku udah nih,” kataku melambai-lambaikan tangan di depan mukanya untuk menyadarkan lamunannya.
“Ya, tentu. Aku cuma... Ehm... You look... Well...”
“I know, I know. Thank you. Yuk, jalan...”
“GR kamu,” Sandi mendekatiku, mencubit hidungku, dan mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibirku. Sambil tersenyum jahil, ia berkata, “Ayo, Sayang. Kita malam mingguan?”
Setelah itu kami menghabiskan sekitar 15 menit berkendara menuju lokasi. Salah satu hal paling menyenangkan dari tinggal di tempat ini adalah jalanan yang lancar ke mana pun kamu mau pergi. Setelah hampir 26 tahun aku tinggal di sekitar Jakarta dan banyak beraktivitas di ibukota, melihat lalu lintas di Semarang yang seperti ini merupakan suatu hal yang bisa membuatku sangat bahagia.
Jalan-jalan di kota seharian penuh sangatlah cukup. Sandi mengajakku mengunjungi Lawang Sewu, Klenteng Sam Poo Kong, dan Semawis. Kami banyak juga mengunjungi tempat-tempat makan favoritnya. Kata Sandi, orang Semarang makannya banyak. Mereka bisa pergi makan ke dua sampai tiga tempat berturut-turut. Dalam waktu lima hari ini pun, Sandi sempat mengajakku ke luar kota, seperti ke daerah Bandungan, Tuntang, Salatiga, dan sekitarnya. Amazing, right?
^^^
“Sandi? Sandi Pranawa?” Seseorang memanggil Sandi dari belakang kami. Kami sudah berada di ballroom Hotel Grand Aston. Kata Sandi, ini reuni tiga angkatan. Maka, tidak mungkin diadakan di sekolah.
“Heiiii, Buleee!” sahut Sandi kemudian memeluk seorang pria yang tampaknya keturunan bule, sesuai namanya.
“Piye kabare, San? Dokter, ya, kalau nggak salah?” tanya temannya yang disapanya 'Bule' itu. Aku menahan tawa. Bule medok.
“Betul sekali. Kamu piye? Habis lulus ke mana sih? Kita lost contact, ya.”
“Aku di Aussie, ikut bokap, you know. Ini pulang karena reuni.”
“Wah, banyak duit, ya. Balik cuma mau ikut reuni,” kata Sandi kemudian tertawa. “Eh, kenalin dulu, Le. Ini Rani, calonku.”
Aku menjabat tangan si Bule ini, “Rani.”
“Jordan,” katanya memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah. “Atau you can call me Bule just like the others.”
Yang lucu, si Bule ini berbahasa Jawa dengan Sandi. Logatnya bagus, tapi kurang pas dengan tampangnya yang indo. Walaupun ketika ngomong Bahasa Inggris, ia terdengar baik-baik saja seperti bule pada umumnya.
“Siapa aja angkatan kita yang dateng, Le? Sudah ketemu siapa aja?”
“Kayaknya lumayan banyak kalau anak IPA, ya. Anak IPS aku nggak tahu. Anak kelas kita ada Arno, Lala, Keenan, Doni, Margaret, Jessie... Siapa lagi, ya?”
“Banyak juga. Udah ketemu semuanya?”
“Iya, tadi ketemu mereka, tapi kayaknya pada nyebar ke mana-mana,” kata Bule. Kemudian ia sedikit berbisik pada Sandi, tapi aku masih bisa mendengarnya, “Ada Vinda juga.”
^^^
Setelah sambutan selamat datang dari ketua panitia reuni, pembacaan doa, serta kesan pesan dari guru-guru dan juga wakil dari setiap angkatan, para tamu dipersilakan untuk makan dan mingle, bertemu dengan tamu lainnya. Sejak si Bule itu memberitahukan ada seorang teman lain bernama Vinda yang juga datang ke acara ini, Sandi tampak gelisah. Aku sempat berpikir hanya perasaanku saja, tapi ia terus-terusan menyapukan pandangan ke seluruh ruangan, seperti mencari-cari seseorang.
“Sayang,” aku memanggilnya, tapi sepertinya Sandi tidak menyadarinya. “Sandi.”
Ketika memanggil namanya dengan volume agak keras, baru ia sadar bahwa dari tadi aku memperhatikannya, bahkan memanggil namanya. “Ya?”
“Kamu cari siapa, sih?”
“Oh, aku cari teman-temanku.”
“Bukannya tadi udah ketemu lumayan banyak?” tanyaku. Sedari tadi memang kami telah bertemu dengan beberapa teman-teman Sandi, dan semua sudah dikenalkan padaku. Tetapi matanya tetap 'mencari'. “Masih ada yang belum ketemu, ya?”
Sandi hanya tersenyum. “Iya, banyak yang belum ketemu, Sayang. Oh iya, kamu mau es krim? Aku ambilkan, ya.”
Belum sempat aku menjawab, Sandi sudah berlalu. Aku mengikutinya dengan pandangan mataku ke arah konter es krim, tetapi Sandi tidak langsung ke sana. Dia berhenti di tengah jalan dan berbicara dengan seorang perempuan. Tubuhnya tinggi langsing, rambut panjang lurus, mengenakan gaun hitam yang sederhana tapi ia tetap terlihat stunning. Ia memiliki lengan yang ramping dengan jari tangan yang panjang-panjang, kakinya yang sudah jenjang ditopang dengan heels hitam membuatnya terlihat semakin semampai.
Sandi berbicara dengan perempuan itu. Lama. Ia sepertinya menikmati sekali pembicaraan dengan lawan bicaranya tersebut. Perempuan itu memang cantik, sih. Sepertinya itu yang namanya Vinda. Tapi siapa perempuan itu? Mungkin mantannya Sandi, ya? Atau.... siapanya? Bahkan saking menikmati momennya dengan perempuan itu, Sandi sepertinya tidak ingat aku di sini menunggunya mengambilkan es krim yang tidak kuminta itu. Oh, great! Am I jealous or something?
^^^
Aku menghabiskan sepanjang perjalanan pulang dengan diam. Aku tidak mau bersikap cemburu terhadap perempuan, yang bahkan aku tidak tahu siapa. Sandi pun tidak menjelaskan apa-apa kepadaku. Mungkin ia mengira, aku tidak memperhatikannya dengan perempuan itu tadi. Well, salah besar. Dua puluh menit Sandi ngobrol dengannya dan aku hanya menunggu di pinggiran ruangan tanpa kenal siapa pun kecuali si Bule dan teman-teman Sandi yang sempat dikenalkan, tapi mereka pun sedang menikmati acara mereka. Sandi memperkenalkanku kepada semua temannya, kecuali si perempuan satu itu. Aku bisa mati penasaran memikirkannya.
Sampai di rumah, aku segera masuk dan Sandi pamit keluar lagi karena mereka ada after party khusus angkatannya, khusus yang belum berkeluarga katanya. Aku hanya mengiyakan sedikit dan segera masuk kamar Rara. Aku merasa sangat lelah.
Rara sedang membaca ketika aku masuk dan langsung menghempaskan tubuhku di kasur. Kepalaku sakit memikirkan segala macam yang bahkan aku tidak tahu apa itu. Mungkin ini PMS kali, ya? Sensitif yang berlebihan.
“Kenapa, Mbak?” tanya Rara menurunkan novelnya. “Kok kayaknya kesel banget?”
“Entahlah, nggak mood.”
Rara memang anak psikologi sejati, ya? Mirip-mirip Intan gitu deh. Kalau ada yang tidak beres sedikit, dia seolah dapat merasakannya, 'mencium'nya.
“Kayaknya tadi pas berangkat baik-baik aja. Mas Sandi mana? Nggak pulang?”
“Katanya after party,” jawabku ogah-ogahan. Tiba-tiba seperti ide cemerlang muncul di kepalaku, “Ra, kamu kenal temannya Masmu yang namanya Vinda?”
Andara sejenak tampak terkejut, namun memutuskan untuk mengangguk. “Teman SMA-nya Mas kan? Tadi datang di reuni?”
“Nggak tahu juga yang mana orangnya, sih. Tapi kata temannya yang lain, Vinda ini datang ke reuni,” jawabku. “Sandi ngenalin aku ke teman-temannya, tapi di antara mereka semua, nggak ada yang namanya Vinda tuh.”
Rara mengangguk-angguk, tampak berpikir.
“Tapi aku lihat dia berbicara dengan seorang perempuan, sih, Ra. Memang Sandi nggak ngenalin ke aku,” lanjutku. “Orangnya tinggi, cantik, putih. Rambutnya panjang lurus.”
Rara segera keluar dari kamar dan kembali membawa sebuah buku, yang sepertinya adalah buku tahunan Sandi. Rara membukakan halaman dan menunjukkan sebuah foto perempuan. Matanya agak sipit, rambutnya panjang lurus, bahkan di foto hitam putih saja, ia terlihat sangat cantik di foto tersebut. “Yang ini orangnya. Betul?”
“Iya, betul,” jawabku. “Tadi Sandi ngobrol sama cewek ini. Tapi versi lebih cantiknya, Ra. Kalau di foto ini ‘kan masih SMA. Yang tadi terlihat lebih cantik.”
“Itu yang namanya Vinda, Mbak,” kata Rara melanjutkan. “Kalau nggak salah, dia kuliahnya di Eropa.”
“Oh ya? Jauh banget?”
“Iya, sekolah fashion sepertinya. Di Paris.”
“Wow,” aku cukup terkejut mendengar informasi dari Rara tersebut. Dengan masih haus akan informasi selanjutnya, aku bertanya lagi,“Terus sekarang?”
“Aku nggak tahu, Mbak,” jawab Rara jujur. “Aku nggak tahu kalau dia sudah pulang. I mean, apa dia pulang untuk reuni saja, atau for good.”
“Begitu, ya...”
“Setahuku mereka memang dekat, Mbak,” sahut Rara kemudian.
“Dekat, seperti sahabatan atau pacaran?”
“Nggak, sih, Mbak. Mereka nggak pernah pacaran,” jawab Rara.
^^^
Tangerang.
Perjalanan ke Semarang telah usai. Aku pulang dengan seribu pertanyaan di kepala. Aku memang penasaran terhadap perempuan bernama Vinda ini. Bukan, aku bukannya cemburu. Aku hanya penasaran. Kalau pun mereka pernah dekat, ya, memangnya kenapa? Hanya dekat, bukan pacaran.
Masa kini adalah masa kini. Dan sekarang yang di hadapan Sandi adalah aku. Buktinya adalah di cincin yang kukenakan ini. Kemarin Sandi hanya bernostalgia, bertemu dengan teman-teman lama, mengenang berbagai hal. Aku memang belum banyak ngobrol dengannya setelah itu, karena di hari Minggu sore, Sandi sudah harus terbang ke Yogyakarta untuk mengikuti seminar kesehatan di UGM Senin paginya. Dan Senin pagi, aku terbang pulang ke Jakarta. Oh, well, maksudku ke Tangerang, di mana rumahku berada.
Setelah merapikan barang-barangku, mandi, dan hendak tidur, aku menerima sebuah pesan singkat dari Sandi.
“Terima kasih, Rani sayang, sudah menjadi seseorang yang selalu ada buatku selama beberapa bulan terakhir. Aku harap kamu enjoy di Semarang kemarin. I love you very much, you know that. And please, let me enjoy this feeling until one day you'll leave me.”
Oke, aku sudah biasa menerima pesan singkat yang ‘aneh-aneh’ dari Sandi. Ingat waktu kami bertengkar saat merayakan hari jadi yang ketiga bulan? Sejak saat itu, Sandi mulai lebih berani menunjukkan perasaannya. Biasanya aku butuh waktu untuk tenang, mencerna dulu, lalu mendiamkan sampai akhirnya Sandi siap menceritakan semuanya.
Tapi kali ini, entah kenapa aku tidak kunjung siap, berapa kali pun kubaca ulang pesan itu. Kepalaku sakit, pikiranku berputar ke mana-mana. Kenapa aku mendadak insecure dengan pesan Sandi barusan?
“What crap are you talking about, Sandi?”
Itu isi pesan balasanku untuk SMS Sandi waktu itu dan tidak dibalasnya.
Malam itu, seluruh isi rumahku sudah tidur, mungkin kecuali aku. Dengan segenap rasa lelah, kantuk, penasaran, cemburu, sedih, sekaligus kesal, aku tidak dapat menahan lagi air mataku. Dalam gelap kamarku, aku menangis. Sendirian. Aku menangis dan menangis sampai tertidur.
^^^
Sebulan berlalu tanpa kabar apa-apa dari Sandi. SMS-ku waktu itu tidak dibalasnya. Yang aku tahu, Sandi memang berada di Yogyakarta sampai dua minggu setelah perjalanan kami ke Semarang waktu itu. Setelah kembalinya ke Jakarta, ia tidak menghubungi sama sekali sampai detik ini.
Aku tidak mengirim pesan apa pun kepadanya juga, karena kupikir, kami sudah sama-sama dewasa. Seharusnya ketika aku bertanya melalui SMS, apa maksud pesannya waktu itu, ia langsung membalasku, setidaknya meneleponku keesokan harinya kalau memang ia sudah tidur. Tapi nyatanya?
Dalam sebulan aku pun menyibukkan diri dengan persiapan wisuda, membantu ibu di tokonya, dan mengambil beberapa proyek lepasan sebelum akhirnya kembali lagi seutuhnya ke PPI. Bu Meggy sudah meneleponku berkali-kali untuk kembali ke PPI, tapi aku sudah memutuskan akan kembali kalau aku sudah wisuda. Sementara waktu, aku mau membantu ibuku di tokonya.
Apa sebegininya, cobaan orang kalau mau menikah?
^^^
“Halo, Mbak!”
“Raraaaa!” sahutku gembira menerima telepon dari Andara. Aku meletakkan lipstik yang tadinya hendak kupakai. “Apa kabarmu? Gimana Bapak Ibu?”
“Semua baik-baik, Mbak. Kabar Mbak gimana? Hari ini wisudanya, ya?”
“Kamu kok ingat aku wisuda hari ini?”
“Ingat, dong... 'Kan Mas Sandi yang kasih tau...”
“Oh...,” aku hanya sanggup terpaku. Sandi ingat hari ini aku wisuda. Tapi.... “Sandi yang kasih tahu kamu aku wisuda hari ini?”
“Iya, Mbak. Beberapa hari yang lalu Mas nelepon ke rumah soalnya. Katanya kangen Semarang.”
Aku tercenung sekali lagi. Ia menelpon keluarganya. Tapi membalas smsku sekalipun tidak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi, sih? Apa yang sebenarnya ia pikirkan?
“Mas Sandi ngomongin aku selain tentang wisuda nggak?”
“Nggak, Mbak. Well, actually Ibu banyak nanyain soal Mbak. Tapi Mas Sandi jawabnya kurang jelas gitu,” kata Rara di seberang telepon, kemudian ia diam. “Hmm.. Mbak Rani lagi berantem sama Mas?”
“Eh... Sandi bilang kalau kami lagi berantem?”
“Nggak sih, cuman dari gelagat bicaranya. Sama Mbak hari ini juga nanya-nanya tentang Mas kayak gitu.”
“Jujur, Ra. Aku juga nggak tahu bagaimana aku dan Mas-mu sekarang. Kami nggak kontak setelah aku pulang dari Semarang waktu itu. Sampai sekarang.”
“Hah? Beneran, Mbak? Kok bisa?”
“Well, Sandi mengirimkan sms ke aku waktu itu. Tapi isinya agak nggak jelas gitu. Aku sudah tanyakan maksudnya, tapi ia tidak membalas, Ra. Jujur saja, aku bingung banget,” jawabku pada akhirnya. Malah curhat sama Rara hari gini. Mood-ku agak rusak mengingat apa yang sedang terjadi antara aku dan Sandi sekrang. Harusnya hari ini hari yang bahagia.
Tapi memang itulah mengapa hari ini ada. Hari wisuda S2-ku. Ibu, Bang Mat, Mbak Dini, dan Metta pun sedang bersiap-siap di kamar masing-masing. Mereka semua berbahagia untukku, berbahagia karenaku. Apa ada alasan bagiku untuk tidak bahagia hari ini?
“...Mbak? Mbak dengerin Rara ngomong?”
“Eh, sorry, Ra. Kamu bilang apa?”
“Rara tadi bilang, tunggu aja. Mungkin Mas sedang mempersiapkan kejutan untuk Mbak. Soalnya dia juga sibuk banget, 'kan persiapan masuk spesialis.”
“Spesialis? Jadi Sandi sudah dapat kabar tentang hasil tes masuknya?”
“Iya, Mbak. Mas udah keterima di Unega. Kemarin nelpon ke Semarang sekalian untuk ngabarin itu juga,” jawab Rara sekarang terdengar agak canggung. Mungkin ia dapat merasakan ketidaknyamananku menjadi pacar yang tidak tahu apa-apa mengenai pacarnya sendiri. “Aku harap kalian baik-baik saja, ya, Mbak.”
“Iya, Ra. Makasih, ya, sudah nelepon.” Kalau pun Sandi mau kasih kejutan seperti tadi kamu bilang, aku harap itu kejutan yang menyenangkan, tambahku dalam hati.
“Sekali lagi, selamat, Mbak, untuk wisudanya.  Sudah dulu, ya. Bye!”
“Bye, Ra!”
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were” - part 4
Sebulan kemudian.
Aku sampai di Stor pukul 19.07 dan Sandi sudah menunggu di dalam. Aku memang naik Uber karena Sandi langsung dari rumah sakit. Tapi nanti ketika pulang, ia akan mengantarku. Oh, ya, Sandi sengaja memilih restoran ini untuk merayakan satu bulanan kami karena katanya suasanya menyenangkan. Tidak jauh dari daerah apartemennya di Kuningan dan restoran ini menyediakan hidangan ala Norwegia. Aku tidak tahu seleranya seunik ini. Tapi setelah mencoba daging rusa asap yang ia pesankan untukku, aku harus mengakui bahwa pilihan makanannya boleh juga.
“Tapi kamu jangan pernah minta aku masakin beginian, ya. Aku nggak bisa,” kataku begitu menyadari sedari tadi ia memandangiku makan dengan senyum puas di bibirnya. Mendengarku mengatakan itu, ia langsung tertawa.
“Tentu saja tidak, Nona,” jawabnya. “Aku minta kamu masak daging moose saja.”
“Oh, tidaaaak!” tolakku mentah-mentah dan kemudian ia tertawa lagi.
Kami membahasnya tadi. Orang-orang Norwegia biasa memasak dan makan daging moose untuk acara-acara spesial dan itu menjadi salah satu andalan mereka.
Selain itu, mereka juga suka seafood, terutama mereka yang tinggal di daerah pantainya. “Selebihnya membosankan. Makanan-makanan organik dan berasal dari alam. Tapi kalau kita memikirkan untuk hidup sehat, sepertinya tinggal di Norwegia bisa jadi pilihan bagus,” kata Sandi saat bercerita waktu itu.
Malam itu juga Sandi cerita banyak tentang Norwegia. Ternyata waktu SMA dia pernah homestay di sana selama tiga bulan. Sandi memilih Norwegia karena sering mendengar cerita ayahnya yang pernah kuliah di sana. So much about Sandi that I just knew that night in our first month being together.
Memang malam itu Sandi ingin mengajakku ke sebuah proper date, katanya. Bukan yang makan di tenda-tenda, nasi goreng gerobakan, atau Caribou-lagi-Caribou-lagi seperti yang selama ini kami lakukan. Itu pun jarang karena aku sibuk tesis dan dia sibuk praktik. Di proper date yang direncanakan ini, kami membahas banyak sekali mengenai diri kami masing-masing.
Keluarga adalah hal yang pertama. Bahwa ayahnya dokter dan ibunya ibu rumah tangga, itu aku sudah tahu. Tapi bahwa ayah dan ibunya dulu kuliah di Norwegia, aku tidak tahu. Mereka bertemu dan berkenalan di sana. Ketika pulang, mereka menikah.
“Aku malas belajar bahasanya, aku cuma bisa sedikit karena kadang-kadang bapak ibu suka bicara dalam bahasa itu,” jawabnya ketika aku bertanya mengapa dia tidak kuliah di Norwegia seperti ayah dan ibunya. Oh, ibunya juga lulusan kedokteran, by the way.
Kakaknya yang pertama beda empat tahun darinya dan juga seorang dokter. Tapi ia praktik di Magelang karena ikut suami dan ia tidak berniat mengambil spesialis seperti Sandi sendiri. Adiknya yang beda 10 tahun darinya itu masih kuliah di Undip, jurusan Psikologi. Katanya, adiknya mau beda sendiri daripada satu keluarga. Nggak mau ikut-ikutan orangtua atau pun kakak-kakaknya.
“Oh ya, Rani, aku mau tanya. Rencana kamu setelah lulus Master apa? Biar aku tahu apa yang harus kita lakukan setelah kita menikah nanti.”
Aku langsung tersedak mendengar perkataannya. Iya, aku lupa kalau hubungan ini adalah untuk menikah. And he stated that at first!
“Ehmm... yang pasti aku akan lanjutin kerja di PPI dulu, sih, San,” jawabku. “Tapi kalau dapat rezeki, pengin lanjutin sekolah sampai PhD. Aku mau jadi dosen, you know.”
“Oh, ya... Great! Aku juga akan tinggal di Jakarta untuk sementara waktu karena akan spesialis di sini,” jawabnya. “Jadi harusnya nggak masalah.”
“Setelah spesialis?”
“Aku berpikir untuk terus tinggal di Jakarta,” katanya kemudian. “Sama seperti kamu, aku berpikir untuk kuliah ke luar negeri juga setelah spesialis di sini. Mungkin ke Inggris.”
“Nice, kita bisa cari beasiswa bareng,” kataku bersemangat.
“Kamu cari sekolahnya ke Inggris juga, ya, berarti,” katanya lagi. “Kan kita married dulu sebelum itu.”
Aku hanya tersenyum canggung saat ia mengatakan itu.
Hubunganku dengan Sandi bisa dibilang… hubungan verbal. Hahahaha… maksudnya, kami banyak bicara tentang rencana-rencana masa depan. Setiap bulan, tepat di tanggal yang sama saat aku menyetujui hubungan kami, aku dan Sandi membicarakan banyak hal.
^^^
Sebulan setelahnya.
Aku dan Sandi sampai di apartemennya pukul 15.00. Ini hari Sabtu dan kami baru selesai berbelanja di Food Hall. Kami akan merayakan dua bulanan dengan masak bersama. Ini sebenarnya ide Sandi. Aku terlalu sibuk mengerjakan tesis dan tugas dari Bu Meggy, as usual, tetapi Sandi – aku harus bersyukur banget untuk ini – selalu sempat memikirkan kegiatan-kegiatan seperti apa yang bisa kami lakukan untuk kencan, terutama ketika merayakan sesuatu seperti ini. Sandi pernah bilang, “Kita jarang-jarang bisa date, Sayang, jadi setiap date harus jadi selebrasi.”
Sandi selalu memanggilku dengan sebutan “Sayang” sejak kami jadian. Tapi aku tidak pernah memanggilnya demikian, karena – jujur saja – aku belum tahu bagaimana mengategorikan perasaanku ini padanya. Mungkin saja aku menyayangi dia. Tapi itu mungkin. For God's sake, kami baru jalan dua bulan, walaupun harus kuakui, he has been really sweet and gentle to me.
Kesanku terhadap tempat ini, Sandi itu bersih banget. Maksudku, kamarnya memang agak berantakan karena sepertinya ia tidak sempat membereskan tempat tidurnya setelah bangun. Tapi lantainya bersih. Kamar mandinya juga bersih, sepertinya ia selalu menyempatkan diri bersih-bersih rumah. Sepertinya aku harus lebih rajin bersih-bersih. Kalau aku menikah dengan Sandi dan tinggal di sini, aku 'kan harus menjaga tempat ini juga tetap bersih. Bahkan kalau perlu lebih rapi dan bersih daripada ini.
And what am I thinking right now?
Makan malam kami malam ini adalah smoked salmon, spaghetti aglio olio, dan broccoli and cheese. Sangat western, ya? Karena aku tidak tahu cara masak makanan Indonesia, kecuali mi instan. Really, I need to learn more from my mum! Untungnya, saat makan, Sandi tak henti-hentinya mengatakan, “Enak banget” atau “Kamu koki yang hebat” atau “Kayaknya aku bisa banget tiap hari makan makanan kamu”. Kode banget?
Setelah itu, kami hanya duduk bersebelahan di sofa sambil nonton apapun yang ditayangkan HBO. Pop corn yang tadi kami beli di Food Hall ia buka dan makan sambil nonton TV.
“Ran...”
“Hmmm...?”
“Kalau nanti kita married, kamu mau punya anak berapa?”
Aku langsung duduk tegak, tidak siap ditanyai begitu. “Hmm... Aku... Aku....”
“Kamu kaget, ya, aku nanya anak?” katanya sambil tertawa geli. “Aku cuma pengen tahu aja.”
“Jahat ih kamu malah ngetawain aku,” kataku mencubit perutnya.
“Iya, ampun... ampun... Tapi serius, kamu mau punya anak berapa?”
“Hmmm, kayaknya satu aja deh.”
“Satu doang?” pekiknya. “Lima dong.”
“Eh, jangan sinting kamu...”
“Lho, kok malah dikatain sinting?” serunya tidak terima. “Aku serius.”
“Tapi kita nanti bakal repot banget, San, biayanya juga gede banget 'kan kalau punya anak” jawabku. “Lagipula negara kita ini sudah overpopulated banget. Aku nggak mau, ah, ikutan berkontribusi untuk itu.”
“Memang, sih. Tapi selama kita mampu membesarkan anak-anak tersebut, financially and mentally tentunya, aku mau banget punya banyak anak. Kalau perlu ada yang kembar,” jawabnya. Aku betul-betul nggak tahu apa dia bercanda atau serius.
“Tapi bukannya tidak dianjurkan melahirkan kalau sudah terlalu tua?” tanyaku lagi. “Kan kamu yang dokter...”
“Kamu umur berapa, sih, Ran?” tanyanya. “26? 27?”
“26, Sandi. Oktober ini.”
“25 jalan 26, ya?” Kemudian Sandi terlihat berpikir. “Kalau kita menikah tahun depan, usia kamu waktu melahirkan anak pertama, kemungkinan 27 atau 28. Kalau kita akan punya lima anak, berarti kamu melahirkan sampai umur 32 atau 33 gitu. Masih aman dan sehat kok harusnya. Atau mungkin kita harus berdoa punya anak kembar kali, ya, biar hemat waktu melahirkannya.”
“Sandiiii....”
“Awwww...,” Sandi memekik sakit karena perutnya kucubit gemas.
Lalu setelah itu, dia hanya nyengir-nyengir puas, entah apa yang ada di kepalanya. Kemudian, entah kapan dan bagaimana ia memulainya, tapi yang aku tahu ia mendekatkan dirinya kepadaku, membelai pipiku dengan penuh sayang, and there it was, our first kiss. My very first kiss.
^^
Bulan ketiga.
Trrttt... Trrt...
“Halo?”
“Ran, lo lagi sibuk nggak?”
Intan. Something's wrong with her voice.
“Lo kenapa, Tan?”
^^^
“Hei, Sayang. Kenapa?” Akhirnya Sandi mengangkat telponku. Aku sudah di Uber menuju Ampera, menyusul Intan di kafe.
“San, dari tadi ada pasien, ya? Kok lama angkatnya?”
“Iya, nih. Sepertinya masih ada tiga orang lagi, tapi setelah itu selesai, dan aku bisa langsung ke One Hundred,” kata Sandi ceria. Sandi memang telah mereservasi satu meja di One Hundred untuk date kami kali ini.
“Nah, that's why I've been trying to reach you, San,” jawabku. “I think Intan is in some kind of trouble, tadi dia telepon aku, terdengar sedih banget. Aku akan nyusul dia, sepertinya. Jadi kemungkinan aku nggak bisa nyusul ke Senayan.”
“Oh...,” hanya itu ucap Sandi. Dan, ya, dia terdengar kecewa.
“Maaf banget ya, San. You know, I can't just leave my best friend like that.”
“Hmmm... Ya, tentu saja,” katanya singkat. “Aku mengerti.”
“Are you sure you'll be fine with this? Apa perlu aku telpon ke One Hundred untuk membatalkan reservasinya?” tanyaku. “I promise I'll make it up to you next time.”
“Nggak usah, nggak apa-apa. Nanti aku yang telepon mereka.”
“Beneran, ya?”
“Ya sudah, Rani. Aku ada pasien lagi, nanti telpon lagi, ya,” katanya kemudian dan langsung mematikan teleponnya.
And this is not right. Sandi kembali menjadi si patung yang tidak terlalu banyak bicara. Selama tiga bulan kami jalan bareng, Sandi sudah banyak berubah. Dia berusaha lebih banyak bicara kepadaku. Dia juga selalu bertutur dengan lembut dan baik. Dan di telepon tadi, aku bisa merasakan keketusan suaranya.
^^^
Aku mempercepat langkah ketika menemukan Intan di salah satu sofa di pojok kafe. Intan berdiri dan memelukku. Menangis. Aku hanya membantunya duduk kembali, mengusap-usap bahunya, membiarkan dia menghabiskan air mata dulu.
“So, do you wanna talk about this?” tanyaku ketika Intan sudah tenang.
“Gue putus sama Andri,” katanya mengawali ceritanya. AHA!
Kemudian Intan menceritakan semua. Intinya, semua bermuara pada Rama dan kecemburuan Andri. Andri merasa Intan terlalu banyak menyebut nama Rama dalam hubungan mereka. “Aku udah jarang banget jalan sama Rama deh sejak dia punya pacar”, “Pacarnya Rama itu aneh. Posesif banget. Kayaknya insecure banget sama kehadiranku”, dan yang paling membuat Andri marah, “Harusnya setelah kami sama-sama punya pacar, nggak usah ada yang berubah”. Di bagian itulah Andri merasa Intan tidak menjaga perasaannya.
Intan mengulang perkataan Andri, “Kamu bisa jaga hubungan baik kamu sama Rama. Kamu sangat mikirin keadaan Rama dengan pacarnya yang posesif. Kamu mikir perasaan aku nggak? Mikir bahwa aku juga pengin sekali-sekali dilarang-larang sama pacarku, sekali-kali pengin juga membuat si Rama itu insecure. Kok malah jadi aku yang insecure sama Rama? Dan aku nggak bisa bertahan dalam hubungan yang membuatku insecure.”
Aku hanya memandangi Intan, kasihan. Tapi aku mengerti banget kenapa Andri bersikap begitu. Seberapa banyak pun Intan menolak bahwa perasannya ke Rama itu bukan apa-apa selain karena mereka sahabatan, tapi nenek-nenek buta juga tahu kalau dia tuh cinta mati sama Rama. And I think Rama does too. Yang aku belum paham sekarang, kenapa Rama bisa pacaran sama orang lain kalau emang dia sayang sama si Miss Rempong satu ini. I mean, she's his 'Tuan-Putri', right?
“Gue emang sayang sama Rama, tapi 'kan ya karena Rama. We're best friends,” lanjutnya. “Tapi Andri...”
“Lo cinta sama Andri?”
“Gue.... Hmmm, Andri.... ya, gue....,” Intan hanya diam setelah berusaha menjawab pertanyaan yang kulontarkan pertanyaan itu.
“Gue nggak yakin lo cinta sama dia. So, just let it go,” kataku. Ini mungkin nasihat terburuk seorang sahabat terhadap sahabatnya.
“Ya, gue sayang Andri, tapi gue belum bisa bilang kalau gue cinta, Ran. Cinta itu.... It's a very strong word, you know,” jawabnya.
“Well, Tan, dalam Bahasa Inggris, cinta dan sayang sama-sama 'love' kok. Beda tipislah,” jawabku kemudian. “Ya, menurut gue, lo harus memperjelasnya dari sekarang bahwa rasa sayang kayak gimana yang lo mau berikan ke Rama ataupun ke siapa pun yang jalan bareng lo nantinya. Yang jelas, kalau sepengelihatan gue, Rama itu special banget buat lo. Even though lo nganggepnya sahabat, orang-orang lain, or cowok-cowok yang serius mendekati lo, bisa nganggepnya beda, Tan. Kayaknya lo mesti mikirin itu juga deh.”
Intan menghela napas. Diam, berpikir.
Lalu ia berkata, “Seandainya gue bisa mendefinisikan kayak gitu, Ran. Kayak yang sedang lo jalani sama Sandi. Membicarakan cinta dalam bentuk rencana. Kadang gue iri, tapi gue nggak tahu apa gue bisa secerdas kalian dalam ngejalanin cinta.”
^^^
Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 23.40 ketika aku pulang dari misi menenangkan Intan. Biasanya Intan bukan orang yang terlalu susah untuk dihibur atau ditenangkan masalah pria. Tapi kali ini? Mungkin di sini bagian sulitnya. Intan terlalu sayang sama Rama. Tapi harus kuakui, hubungannya dengan Andri juga lumayan hebat. Mereka akan lima bulanan minggu depan. Ini rekor untuk Intan yang biasanya tukang gonta-ganti pasangan.
Setelah mengganti baju dan mencuci muka, aku menghempaskan diriku di kasur dan mengecek ponsel. Aku memang menunggu telepon dari Sandi. Aku mengecek WhatsApp, tapi itu juga nihil. Tidak ada pesan masuk dari Sandi.
Aku memutuskan untuk menghubunginya. Tidak diangkat. Apa mungkin Sandi sudah tidur? Tapi aku yakin sekali belum. Sandi bukan tipe orang yang tidur cepat. Lagipula, besok ia shift siang. Ia sudah mengatur waktunya sedemikian rupa karena malam ini kami (seharusnya) merayakan tiga bulan hubungan kami.
Aku segera mengirim pesan, “Sandi, kamu udah tidur?”
Aku menunggu sampai tengah malam, pesanku sudah dibaca. Tetap tidak ada balasan. Maka, aku menulis lagi pesan untuknya, “Sandi, aku tahu kamu sudah baca. Tapi mungkin kamu capek banget sampai tidak balas WA-ku. Gpp kok. Aku cuma susah tidur aja karena belum denger dari kamu. Goodnight, ya. Happy three months!”
Baru aku hendak menutup semua aplikasi di ponselku, kemudian aku melihat notifikasi WhatsApp masuk. Dari Sandi.
“Aku butuh waktu untuk kecewa dulu, boleh?  I really hope you’ll understand. Aku mau berpikir dan aku akan ngobrol sama kamu when I’m done. Good night, Rani.”
Seketika aku lemas dan bingung. Sekecewa itukah Sandi? Dia tidak mengerti, ya? Aku membatalkan rencana bukan karena apa-apa. Ini Intan, sahabatku. Jujur saja, aku memang merasa tidak enak harus membatalkan janji dengannya. Tapi Intan butuh aku. Aku tidak bisa membelah diri. Aku kira Sandi akan mengerti hal itu, tapi ternyata, dia kecewa dan memikirkannya sampai seserius ini. Dan dia memanggilku “Rani”, bukan “Sayang” seperti biasanya.
Ya Tuhan, Sandi kenapa, sih?
^^^
Para penguji dan pembimbing tesisku telah keluar dari ruang ujian. Aku membereskan dokumen-dokumen tesis di atas meja, menghela napas lega, tersenyum lebar, dan berbalik. Ibu, Bang Mat, Intan, dan beberapa teman master yang sedari tadi menyaksikan sidang hadir di sana. Aku langsung menghampiri Ibu dan ia memberikan pelukan yang paling erat yang pernah ia berikan kepadaku selama ini. Biasanya sudah erat, yang kali ini jauh lebih erat. Aku tidak tahan untuk tidak mencucurkan air mataku.
“Selamat, nak. Ibu bangga sekali,” kata ibu menghujaniku dengan ciuman.
Bang Mat juga memelukku erat. Ia hadir, pasti sengaja izin dari kantor demi ke sini. I'm so lucky to have such family! No one could ask for a better one, I guess.
Intan dan beberapa temanku juga mengerubungi aku dan memberikan selamat.
“Congratulations, Rani!”
“Akhirnya, Ran, perjuangan lo! Kita-kita masih belum nih.”
“I'm happy for you, Ran. You really deserve it,” kata Intan sambil tersenyum penuh arti.
Ya, tentu Intanlah yang paling mengerti betapa miserable-nya hidup seorang Rani selama dua minggu terakhir ini. Ribut sama pacar adalah hal paling utama dan itu disebabkan olehnya. Haha! Aku sudah menceritakan semuanya ke Intan. Berulang kali Intan minta maaf padahal sudah kukatakan itu sama sekali bukan kesalahannya. Intan hanya bilang, “Mungkin Sandi memang butuh waktu. Jadi, berikanlah itu padanya. Lo juga butuh waktu untuk mempersiapkan sidang lo.”
Ya, timing is a bitch, right? Aku mendapat jadwal sidang satu minggu sebelum libur Lebaran dimulai. Bagaimana aku bisa berpuasa dengan damai? Ditambah, aku ribut sama Sandi. Itu terjadi sebulan sebelum sidang dan selama itulah dia tidak menghubungiku sama sekali. I don't even know whether I still have a boyfriend right now. Dia bahkan tidak datang kemari. Aku bahkan tidak tahu apakah dia tahu kalau aku sidang hari ini.
Sampai ketika aku melangkahkan kaki keluar ruang sidang, aku menemukan Sandi memegang sebuket bunga mawar putih yang besar dan indah. Ia mendekatiku, memberikan bunga itu, mencium keningku, dan berkata, “Selamat, Sayang.”
^^^
“Kok kamu bisa tahu aku sidang hari ini?”
“Aku tanya ibumu.”
“Kapan? Kok kamu nggak tanya aku langsung aja?”
“Sengaja.”
“Sengaja gimana?”
“Ya, terakhir 'kan kita sedang tidak bicara. Aku juga sedang ribet di rumah sakit. Kamu juga pasti sedang persiapan sidang. Rasanya kurang bijaksana kalau mengajakmu bicara saat itu.”
Sandi berbicara sambil terus melihat ke jalan. Aku sudah bilang untuk tidak mengantarku pulang karena aku bisa pulang dengan Bang Mat dan Ibu. Tapi dia memaksa. Jadilah aku pulang dengannya sekarang ini.
“Terus sekarang kamu mau apa?”
“Mau apa gimana?”
“Ya, aku butuh tahu apa yang kamu putuskan sejak kamu meminta waktu untuk sendiri dan berpikir waktu itu,” kataku tidak sabar. “Kamu lupa, ya?”
“Aku nggak lupa, Sayang, tapi aku akan menjelaskannya nanti ketika aku sudah berhenti menyetir.”
Dua puluh menit kami habiskan dalam diam sampai akhirnya kami sampai di depan rumah. Aku nggak langsung turun karena aku tahu Sandi akan mengajakku berbicara mengenai masalah kami.
“So?” todongku.
Sandi hanya memandang mataku tanpa berkata-kata, seolah mencari sebuah jawaban. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan sekarang. Aku hanya butuh kepastian dari sikapnya waktu itu. Kenapa sekarang dia malah diam?
“San?”
Perlahan Sandi membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna abu-abu gelap dan membukanya di depanku. Sebuah cincin berwarna perak dengan mata berlian mungil ada di dalamnya. Sumpah, what is he doing?
“Maharani Karina Adiputra, please just listen to me for a while,” katanya membuka pembicaraan. “Inilah hal yang menyebabkan aku sangat kecewa waktu kamu membatalkan janji makan kita di One Hundred waktu itu.”
“Hah? Maksud kamu...?”
“Aku kan belum selesai, Sayang,” katanya lagi. “Waktu kita mau merayakan tiga bulanan, aku sudah mempersiapkan ini. Aku ingin menyatakannya kepadamu. Meresmikan hubungan kita ke tingkatan yang lebih lanjut. Tapi... yah, kamu tahu bagaimana akhirnya malam itu.”
“Jadi, kamu...”
“Iya, aku mau melamar kamu malam itu,” katanya tidak membiarkanku menyelesaikan pertanyaanku. “Berhubung kita ribut, jadinya nggak jadi deh.”
Sandi menutup kembali kotak cincinnya dan aku hanya memandang dia aneh. Jadi, dia tidak jadi memintaku menikahinya hanya karena aku membatalkan makan malam itu dengannya? Aku benar-benar tidak terima!
Kemudian Sandi tertawa geli dan kembali membuka kotak tersebut. “Aku bercanda, Rani. Sekarang ini akan kulakukan. Maaf kalau aku nggak romantis seperti orang-orang di film-film yang berlutut untuk melamar calonnya. Aku malah melakukannya di mobilku yang jelek ini.”
Aku hanya diam menunggunya bicara. Lidahku kelu, tidak bisa ngomong apa-apa.
“So, Maharani Karina Adiputra, will you marry me?”
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were” - part 3
Bagi kebanyakan orang, Senin itu hari paling bikin malas sedunia. Hanya saja, itu tidak berlaku bagiku. Aku selalu menggunakan akhir pekanku dengan sebaik-baiknya agar dapat me-recharge tenaga dan otakku untuk belajar di hari Senin dan hari-hari berikutnya.
Senin pagi ini, hukum itu tidak berlaku buatku. Kuliah pagi ini sungguh bencana. Aku tidak mengerti apa pun yang Prof. Bagas bicarakan di depan kelas. Sementara mahasiswa-mahasiswi lainnya sibuk mengangkat tangan untuk bertanya atau pun menjawab, aku masih terpikir ucapan Sandi Jumat lalu yang membuatku benar-benar tidak dapat berkata-kata. Aku sampai terbengong dan hanya bisa mendengarkannya berbicara dan menjelaskan semuanya.
^^^
“Aku nggak berencana untuk mengatakan semua malam ini, Rani. Tapi kamu yang bertanya duluan, jadi aku hanya berusaha bersikap jujur,” katanya setelah menyatakan ingin mendekatiku secara serius dan ingin menjadikanku calon pendampingnya. “Ini pun kalau kamu setuju dan mau. Kamu ingin punya hubungan yang serius hingga ke pernikahan 'kan? Bukan yang main-main seperti anak SMA begitu?”
“Iya, tapi... apa kamu nggak merasa ini terlalu cepat? Kita 'kan baru kenal,” jawabku pada akhirnya, setelah berhasil mengumpulkan logika menanggapi semua yang dikatakan Sandi saat itu.
“Aku tahu. Tapi... well, hanya dengan persetujuan kamu saja. Kita bisa jalani pelan-pelan, saling mengenal, melalui hubungan yang serius,” katanya kemudian. “Toh, kita sudah sama-sama tahu pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Kita bisa saling mengerti.”
Untungnya tidak langsung malam itu juga Sandi minta jawaban. Ia memberiku waktu untuk memikirkan ini matang-matang. Tidak jelas batas waktu yang ia berikan. Ia hanya berkata, kapan pun aku siap. Coba pikir, pria aneh mana yang bisa seperti dia? Baru juga kenal, lalu ngajak... I don't even know what to say, tapi aku bisa bilang, dia ngajak kawin. Dia bilang pendamping hidup, lho!
^^^
“Psst, Rani...” Intan mengayun-ayunkan tangannya di depan mataku.
Aku baru menyadari bahwa Prof. Bagas sudah tidak ada di kelas. Teman-teman yang lain sedang merapikan buku-buku atau map yang mereka bawa, bersiap-siap meninggalkan kelas.
“Lo kenapa, Ran? Kok kayak kesambet setan gitu?” sahut Intan dengan mimik khawatirnya. “Lo nggak sakit kan, Ran?”
Aku hanya menggeleng. “I'm not sick, but I'm not feeling fine. Gue mesti ceritain lo sesuatu.”
“Ya udah, sambil makan, yah. Laper gue.”
“Sure.”
^^^
“He said... WHAAAT?” Seru Intan setelah aku menceritakan apa yang terjadi Jumat lalu.
“Woi! Nggak usah kenceng-kenceng gitu, dong!” kataku panik sambil melihat sekitar. Tapi sepertinya anak-anak Psikologi – atau mungkin anak-anak fakultas lain – yang sedang makan di sini tidak terlalu memedulikan kami. Ya, kami sedang makan di kantin tetangga, yaitu kantin fakultas psikologi. Intan yang memaksa makan di sini karena dia ngidam makan nasi uduk warung beserta aneka gorengan yang disediakan di situ.
“Maaf, maaf. Gue shocked. Dia beneran ngomong gitu ke lo?”
“Menurut lo, gue nggak shocked waktu dia ngomong gitu ke gue, Tan?”
“Terus lo bilang apa?”
“I just said, I need time to think. Yah, ini situasi yang nggak wajar buat gue, Tan. You know.”
“Iya sih. Apalagi kalian baru kenal, hitungannya. Tapi bukannya kalian udah ngobrolin banyak hal, ya?”
“Lewat WhatsApp, Taaaan!” gerutuku tidak sabar. “Kalau ketemu langsung, kami hampir nggak bicara sepatah kata pun. Sekalinya bawel, ngajak kawin,,,”
“That's big, Raniii!”
“Tapi kawin, Intan, kawin! Lo pikir gue siap?”
“Bukannya lo selalu bilang kalau lo mau langsung kawin aja, nggak mau pacar-pacaran gitu?”
“Gue nggak pernah bilang begitu. Gue cuma bilang, kalau pun mau pacaran, gue maunya yang serius. Yang bukan cuman mikirin perasaan sekarang dan saat ini. Tapi juga...”
“Masa depan,” potong Intan. “Gue ngerti maksud lo. Tapi justru itu. Sandi mengajak lo untuk menjalani suatu hubungan yang serius, yang orientasinya ke masa depan.”
Aku berpikir keras. Memang itulah yang diminta Sandi. Well, dia memang nggak memintaku langsung menjadi istrinya begitu saja, tapi ia mau hubungan yang serius.
“Dan lo bilang dia dateng jenguk nyokap lo?” tanya Intan lagi.
“Iya, pas nyokap masuk rumah sakit, dia langsung dateng.”
“How sweet of him!” seru Intan. “Gue punya feeling yang baik tentang dia, sih, Ran. Dia mungkin memang canggung, tapi dia udah menjelaskan ke lo alasannya 'kan?”
“Iya, sih. Mungkin kalau ada satu hal yang masih mengganjal, ya, karena kami baru kenal, Tan. Gue merasa masih banyak PR ke dia”
“It's okay. Kalian bisa berhubungan dulu untuk saling mengenal,” kata Intan mantap. “Eh, tapi lo sendiri, gimana perasaan lo ke dia? Well, setidaknya, what do you think of him?”
“Gue nggak tahu gimana perasaan gue ke dia, Tan. Tapi yang jelas, selama gue kenal dia, dia pria yang baik dan perhatian. Dia juga smart.”
“Only that?”
“Ya, gue tersentuh banget waktu dia dateng menjenguk nyokap gue, sih. Gue mulai merasakan sesuatu hal yang lain tentang pria ini.”
“Memang terlalu dini untuk menyatakan itu sebagai cinta, ya, Ran. Tapi gue yakin perasaan itu sesuatu yang positif, betul?”
Aku hanya diam mendengar pertanyaan Intan.
“Setidaknya, lo tertarik sama orang ini. Iya nggak, Ran?”
“Aaaah, I don't know...”
“Maksud gue, kalau emang dia baik dan lo sudah mulai tertarik, why don't you give him a chance?”
Aku terdiam lagi. Intan has a good point.
“Dan yang paling penting, why don't you give yourself a chance?”
^^^
“They saw at once that she must be a real princess when she had felt the pea through twenty mattresses and twenty feather beds. Nobody but a real princess could have such a delicate skin.”
Aku sedang membacakan dongeng ‘The Princess and The Pea’ untuk Metta saat pintu kamar terbuka perlahan. Ternyata Ibu. 
“Ssst...,” spontan aku meminta ibuku tidak berisik di kamar. Jangan sampai Metta bangun lagi karena suara-suara.
“Metta sudah tidur?” tanya Ibu sambil melongokkan kepala di pintu.
“Udah, Bu,” jawabku. “Aku keluar sebentar lagi.”
Aku perlahan berjalan keluar kamar, meninggalkan Metta terlelap di situ. Ibu berjalan ke ruang keluarga dan aku mengikutinya. Melihat televisi menyala dengan bahasa asing yang tidak terlalu asing karena ibu sering sekali menontonnya, “Korea lagi, Bu?”
Ibu hanya tertawa, “Hehehe, iya nih. Seru lho ceritanya. Kamu nggak mau nonton?” Ibu menyodorkan bungkusan DVD bertuliskan ‘Descendants of the Sun’.
“I don't think so, Bu. Aku males banget nonton drama-drama gitu. Mending nonton Game of Thrones, NCIS, atau CSI sekalian.”
“Kamu emang seleranya yang barat-barat, ya.”
“Bukan barat-barat, Bu. Tapi nggak suka yang drama-drama. Hidup udah cukup dramanya.”
“Ah, masak? Memang hdupmu ada drama? Biasanya juga sendiri di kos-kosan, mau drama sama siapa coba?”
Aku mendelik ke arah ibu. Wajah ibu yang pura-pura innocent, berarti sedang menggodaku. Lalu aku hanya tertawa. “Ah, Ibu... rese' deh...”
“Lho, Ibu 'kan hanya bicara yang sebenarnya,” sahut ibu. “Makanya kamu tuh cari pacar. Biar nggak sendirian terus.”
“Iya, iya. Tapi kapan-kapan Rani carinya.”
Ibu hanya tersenyum. “Kapan-kapan kamu masih lama, ya, kayaknya?”
Aku hanya mengangkat bahu, lalu mengganti-ganti saluran televisi dan minum air yang tersedia di meja. Sedikit haus rasanya.
“Oh, ya, ngomong-ngomong, teman kamu yang waktu itu nengok Ibu di rumah sakit... siapa namanya?”
Jeng... jeng... kenapa tiba-tiba ibu bertanya tentang dia? Aku nyaris tersedak karena sambil minum.
“Errr... Sandi, maksud Ibu?”
“Oh, betul. Namanya Sandi, ya. Ibu nyaris lupa.”
“Kenapa, Bu, nanya-nanya dia?”
“Kelihatannya anaknya baik, Ran. Penuh perhatian lagi,” kata ibu padaku. “Dokter pula, Ran.”
“Lalu, Ibu mau aku sama dia maksudnya?”
“Yah, kalau emang cocok kenapa nggak, Rani?”
Aku bingung harus menjawab apa. Aku juga bingung apa perlu aku menceritakan tentang ajakan Sandi untuk...... I don't even know how to describe this, menikah? Atau mungkin, lebih tepatnya, menjalin hubungan yang serius mengarah ke pernikahan.
“Usianya berapa si Sandi itu?”
“Hmm, jalan 29 tahun, kalau nggak salah,” jawabku. Aku bahkan tidak tahu kapan dia berulang tahun, lahir tahun berapa. “Aku dan Sandi baru kenal sebulan terakhir ini, Bu. Jarang ketemu juga. Hanya sekali-sekali kalau dia nggak sibuk, atau aku nggak sibuk.”
“Itu sudah merupakan awal yang baik,” tanggap Ibu.
“Menurut Rani juga begitu, Bu. Tapi kami baru sebulan kenal, menurut Rani itu masih terlalu dini untuk merasa apa-apa, atau menyatakan perasaan, Bu. Dan sebenernya…”
Ibu memajukan duduknya, nampak tertarik dengan apa yang akan kukatakan selanjutnya.
“Sandi ngajak Rani buat menjalin hubungan. Dia bilang, dia mau serius sama Rani,”
Ibu masih mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara aku menceritakan hal mengenai Sandi ini dengan berantakan. Aku bingung harus bagaimana menceritakannya. Apa pun yang di kepalaku aku curahkan pada ibu. “Rani merasa dia orang yang baik, tapi karena baru kenal. Rani nggak yakin penilaian Rani seratus persen tepat.”
Ibu hanya mengusap-usap rambutku. “Nggak ada penilaian yang seratus persen benar, Ran. Sekarang perasaanmu sendiri bagaimana?”
“Rani nggak tahu, Bu,” jawabku jujur. “Kalau yang paling nyata, untuk sekarang ini, perasaan Rani biasa-biasa saja. Rani 'kan nggak pernah pacaran juga, Rani nggak tahu apa rasanya.”
“Sekadar mencoba, nggak ada salahnya.”
“Tahu, Bu. Rani-nya yang nggak mau coba-coba. Rani mau kalau pacaran yang serius, Bu,” jawabku lagi. “Dan pacaran yang serius itu kalau Rani memang sudah ketemu orang yang tepat, ada chemistry.”
“Rani, seingat ibu, tadi kamu bilang kalau Sandi mengajak kamu untuk serius, betul?” tanya ibu  hati-hati.
Aku mengangguk, mengiyakan.
“Berarti, dia sudah sesuai harapan kamu, 'kan? Mau berhubungan dengan serius pula.”
“Iya, tapi bagaimana Rani yakin kalau dia orang yang tepat, Bu? Dan Rani nggak yakin Rani siap berhubungan serius, Bu.”
“Rani, kamu sudah dewasa. Tahun ini 26, ya? Sudah gede. Sudah cukup waktu kalau kamu memang mau berhubungan serius sama laki-laki, apalagi kalau mau menikah. Siap atau tidak siap memang hanya kamu yang bisa menentukan,” kata ibu perlahan. “Bagaimana tahu dia orang yang tepat? Nah, justru dengan proses berpacaran itu, kamu jadi bisa melihat dia lebih dalam, bagaimana sebenarnya calon pasanganmu itu. Kamu tidak pernah mencoba, kamu tidak akan pernah tahu. Begitu menurut Ibu.”
Aku hanya terdiam, sambil memikirkan perkataan ibu.
“Waktu Ibu ketemu Ayah, Ibu juga nggak serta-merta jatuh cinta. Ibu nggak tahu Ayah orang yang tepat atau bukan. Orang Ibu juga nggak berpikir apa-apa. Tapi Ayah nggak pernah berhenti mengusahakan pergi sama Ibu, ngobrol sama Ibu, menghabiskan waktu dengan Ibu, bahkan waktu Ibu masih banyak kerjaan, Ayah yang suka bantu,”
“Lalu, gimana Ibu tahu gimana perasaan Ibu ke Ayah?”
“Tidak bisa dipikir pakai ini, Ran...” kata ibu sambil menunjuk kepalanya. Lalu ia memindahkan tangannya ke dadanya dan melanjutkan, “...tapi pakai yang ini.”
Aku terdiam lagi.
“Ayah nggak pernah pakai mulut, Ran, kalau bilang cinta. Ayah pakai tindakan. Karena kata Ayah, cinta itu dirasa, bukan diucap. Ayah juga bilang, kalau Ibu cerdas, Ibu pasti tahu kalau yang Ayah tunjukkan itu, ya cinta namanya.”
^^^
“Hei,” aku menyapa Sandi saat ia muncul di Caribou. Ia meletakkan hot capuccino-nya dan duduk di depanku.
“Hai, Rani,” sapanya balik.
Sebulan berlalu setelah pembicaraanku dengan Ibu dan Intan mengenai Sandi. Sebulan itu pula kuhabiskan waktu untuk berpikir. Akhirnya aku memilih tempat ini lagi untuk bertemu Sandi untuk memberi tahu keputusanku. Aku sudah berpikir matang-matang. Berpikir, sih, menggunakan otak. Tapi kata Ibu, aku harus belajar pakai hati. Nah, itu yang masih sulit.
“Hari ini sibuk?” tanyaku berbasa-basi.
“Nggak terlalu,” jawab Sandi singkat.
Lalu, kami berdua sama-sama diam. Keheningan yang canggung ini menghampiri kami lagi. Sepertinya kalau ngomong sama Sandi, harus langsung ke inti masalah.
“Hmm... Jadi gini, San. Aku sudah mikirin semuanya.”
Sandi hanya mendongak dan mata beningnya menatap mataku, seakan mencari jawaban itu. Aku memang agak ragu mengenai keputusanku, tapi...
“Aku memutuskan untuk menerima kamu. Aku mau ngejalanin, sama kamu.”
Sandi terdiam sejenak. Lalu senyumnya perlahan-lahan merekah, “Terima kasih, Rani.”
Hanya itu jawabannya. Hanya itu!
“So..?” tanyaku melanjutkan. “Cuma itu jawabanmu?”
“Ehm... Aku terlalu senang, sampai aku tidak tahu mau jawab apa, Ran,” jawabnya jujur.
“Well,” aku juga bingung mau menjawab dia apa. Ini sungguh canggung. “Aku berusaha memberikan kamu kesempatan. Hmm.. memberikan diriku sendiri juga kesempatan.”
Ia hanya menatapku dan masih tersenyum.
“Dan terutama, aku mau memberikan kita kesempatan,” lanjutku lagi. Sandi tidak menjawab apa-apa. Aku berpikir sejenak. “Jadi, aku mau tahu, Sandi, bagaimana kita akan menjalani ini. I mean, what is this? And what is this going to be? And how are we having this? You know,  aku agak bingung sebenarnya, bagaimana mengategorikan hubungan kita, jika begini. Dan yang pasti, aku butuh kamu untuk memberikan aku penjelasan selengkap-lengkapnya, dan kalau boleh aku minta sesuatu dari kamu sebelum menjelaskan?”
“Apa itu?”
“Aku mau menjalani apapun ini namanya dengan kamu, tapi...,” aku diam dan berpikir lagi, mengatur kata-kataku agar tidak menyinggung perasaannya. “Tapi aku butuh kamu untuk sedikit berubah. Satu hal ini saja, kamu ubah untukku. Karena aku nggak bisa berhubungan dengan patung. Aku mau kamu lebih banyak berbicara. Kamu ngerti maksudku 'kan? Bagaimanapun juga, hubungan yang kita jalani ini akan bergerak ke arah yang serius, seperti kamu bilang waktu itu. Jika memang begitu, aku harap kamu bisa lebih komunikatif ke aku, dan nggak membiarkan aku seperti ngomong sendiri di setiap waktu.”
Sandi hanya tersenyum. Aku menyesap mango juice yang kupesan setelah aku mengatakan permintaanku ke Sandi panjang lebar. Hanya itu yang membuatku ragu selama ini, maka aku mengatakannya sebelum kami melangkah lebih jauh.
“Baiklah, Rani,” kata Sandi kemudian, masih dengan senyumnya. Dan jika kalian mau tahu, itu senyum yang sangat menawan dari seorang paling canggung yang pernah kukenal. Seandainya dia bisa begitu setiap waktu. “Kalau cuma itu request kamu, aku akan berusaha.”
“Ya, tentunya selama kita jalani ini, mungkin aku juga akan meminta beberapa hal lain yang nggak bisa kamu bayangkan,” kataku. “Seperti liburan ke Paris.”
Sandi tersedak. Lalu, kami tertawa. Aku hanya mencoba bercanda agar pembicaraan ini tidak terlalu kaku. Untung aku masih bisa. Aku juga grogi sekali sekarang, jujur saja.
“Selera humor yang bagus, Rani,” katanya masih dengan tawa yang bersisa karena candaanku tadi. “Tapi kalau kamu memang mau ke Paris suatu hari nanti bersamaku, I'll take you there.”
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
“The Way We Were” - part 2
Kantin kampus, sore hari. “Terus, terus, dia ngomong apa aja?” Intan bertanya lagi sambil menyeruput jus jeruknya.
“You know what, Tan? Temen lo satu itu kayaknya jelmaan patung, deh. Ngomongnya irit banget. Gue sampe bingung. Canggung abis,” aku menjawab pertanyaannya sambil membaca buku. Senin setelah berakhir pekan di Nordic kemarin bukanlah Senin terbaik dalam hidupuku. Tentu saja rentetan tugas kuliah menunggu. Sementara Intan, bukannya sibuk memikirkan tesisnya, malah bertanya tentang Sandi.
“Tapi setidaknya 'kan dia nganter lo pulang dengan selamat. Gentleman, dia itu, Ran. Bolehlah.”
“Lo nggak inget, Tan? 'Kan lo yang nyodor-nyodorin gue biar dianterin pulang sama dia. Lo bahkan sampe...,” aku terdiam mengingat Intan yang menarik tangan Sandi agar menggandeng tanganku dan mengantarku pulang.
“Yes?” Intan menunggu aku melanjutkan cerita.
“Yah, intinya lo maksa dia nganter gue pulang. Lo mabuk kemarin, jadi nggak ingat.”
“Hahahahaha, yeah, right. Gue nggak inget apa-apa, jujur aja.”
“Tapi lo ingat Rama yang jemput lo?”
“Ingat kalau itu,” kata Intan sambil tersenyum gembira. “Bangun-bangun gue udah di kasur pokoknya, masih berpakaian lengkap sih. Tapi Rama ninggalin pesan di samping tempat tidur gue. Jadi gue tahu, dia yang nganter gue pulang.”
“Apa kata Rama?” tanyaku jahil. Pasti sesuatu yang sweet sampai si Intan dari tadi senyum-senyum melulu. Kadang aku bingung, pacar Intan itu Rama atau Andri, sih?
“Hmmm... dia cuma nulis, 'Selamat pagi, tukang molor. Lain kali kalau mabuk ajak-ajak' gitu katanya, Ran, hahaha. Lain kali ajak deh biar nggak ngambek.”
Alih-alih sweet, Rama malah menghujani Intan dengan cacian seperti itu. Tapi Intan tampak tidak masalah dan masih mengidolakan 'tuan muda'-nya itu. “Lo kenapa nggak jadian sama Rama aja, sih?”
“Nggak mungkinlah, Ran. Dia 'kan sahabat gue.”
“Lho, kenapa nggak? Malah bagus 'kan jadian sama sahabat sendiri? Sudah sama-sama tahu busuk-busuknya masing-masing?”
“Mungkin, ya... Tapi...,” Intan terdiam. “Kok malah jadi ngomongin gue sih? Sandi hubungin lo lagi nggak setelah kemarin?”
^^^
Minggu pagi, beberapa jam setelah pulang dari Nordic, aku bangun agak siang. Biasanya aku suka olahraga di car free day. Mengingat betapa paginya aku pulang, kayaknya tidak mungkin pergi. Pukul 10.30 aku baru bangun dan sudah ada WhatsApp yang masuk dari Sandi.
'Selamat pagi, Rani. Sudah bangun?' 8.44 AM.
'Kayaknya belum, ya?' 8.47 AM.
Pagi juga dia bangunnya, pikirku. Aku membalas pesannya.
Aku: 'Ini baru buka mata. Ngantuk banget, 'kan baru tidur jam 5 tadi.' 10.30 AM.
Sandi: 'Iya, aku ngerti kok.' 10.30 AM.
Sandi: 'Kamu nggak sakit kepala? Kemarin minum lumayan banyak sepertinya.” 10.30 AM.
Aku: 'Sedikit. Tapi nggak masalah.' 10.31 AM.
Aku: 'Bukannya nggak pernah minum, kok.' 10.31 AM.
Aku: 'Kamu pagi sekali sudah bangun?' 10.31 AM.
Sandi: 'Iya, nanti setelah makan siang harus ke RS.' 10.31 AM.
Wah, ternyata pak dokter hari libur seperti ini harus kerja. Di layar WhatsApp-ku terlihat 'Sandi is typing...'. Aku menunggu kembali pesannya.
Sandi: 'Kalau jadi dokter memang begini, Ran. Harus bekerja kapan pun dibutuhkan. Pengabdian ini penting, apalagi kalau mau sukses. Jam berapa pun dipanggil harus siap. Yaa… kalau hari ini, sih, memang jadwalku masuk. Semalam dapat libur, jadi hari ini harus kerja. :)' 10.33 AM.
Aku: 'Semangat, ya, pak dokter. :)' 10.33 AM.
Dan selesailah pembicaraan kami di hari Minggu pagi yang cerah itu. Aku tidak tahu lagi harus bicara apa padanya. Tapi yang jelas aku cukup mengagumi keseriusannya di dalam pekerjaan. Hanya saja, aku masih tidak mengerti, kenapa dia bisa ngomong panjang lebar di WhatsApp sementara kemarin malam ia sepertinya tidak mengucapkan lebih dari sepuluh kata, itu pun sudah ditotal.
^^^
Senin minggu lalu, Intan menanyaiku soal Sandi dan aku menceritakannya lengkap. Tapi selengkap apa pun, tidak terlalu banyak yang bisa aku ceritakan. Yang jelas, Sandi itu salah satu orang terkaku yang pernah kutemui.
Sejak hari Minggu, kami memang berhubungan melalui WhatsApp. Pembicaraan kami jauh lebih berbobot daripada waktu pertama kali bertemu. Apa waktu itu karena Intan yang mengambil alih semua pembicaraan, ya? Memang si Ratu Bawel satu itu kadang-kadang harus dilem mulutnya biar tidak mengoceh terus.
Sandi menghubungiku lagi Senin malam. Katanya sedang berjaga di IGD dan tidak ada kerjaan. Kalau tidak ada pasien, ia hanya iseng-iseng saja tidak melakukan apapun. Kembali membicarakan pekerjaannya. Tapi ia juga menanyaiku tentang kuliahku dan kerjaanku di PPI. Ia sepertinya tertarik dengan penelitian-penelitian seperti itu.
Hari-hari berikutnya, kami banyak ngobrol walaupun putus-putus karena ia harus bekerja di rumah sakit sementara aku kuliah, mengerjakan tesis, atau menyelesaikan pekerjaan dari Bu Meggy. Sandi membicarakan tentang keluarganya dan ia menanyakan keluargaku. Ayah dan ibunya tinggal di Semarang. Ayahnya juga seorang dokter, sementara ibunya ibu rumah tangga. Ia memiliki kakak perempuan yang tinggal di Magelang bersama suaminya dan adik perempuan yang sepuluh tahun lebih muda darinya, masih SMA. Aku pun menceritakan tentang ayahku yang sudah tiada, ibuku yang sibuk berbisnis bunga, dan kakak laki-lakiku yang sudah menikah dan memiliki satu anak. Mereka semua tinggal di Tangerang.
Semakin lama, semakin banyak hal yang aku bicarakan dengan Sandi. Mulai dari pandangan kami masing-masing tentang hasil pemilu dua tahun lalu dan bagaimana pengaruhnya terhadap pengembangan negara sejauh ini, hidup berkeluarga, bagaimana pengaruh keluarga dan masyarakat terhadap karakter seseorang, sampai pada keikutsertaan kami masing-masing dalam aktivitas sosial. Aku tidak terlalu banyak melakukan aktivitas sosial selain membantu Intan dalam kegiatan bakti sosial gerejanya. Sementara Sandi, dulu semasa di Yogya sering ikut kegiatan pengobatan gratis di UGM. UGM setidaknya mengadakan kegiatan tersebut setahun sekali, bersamaan dengan event besar kampus mereka Medical Action Week. Yang mengajak Sandi ikut serta adalah seorang rekan kerjanya bernama Mesty, seorang alumni UGM.
“Kamu ‘kan bukan alumni UGM? Emangnya bisa ikutan, ya?”.
“Umumnya memang alumni UGM yang berpartisipasi. Tapi kalau memang untuk kebaikan, kenapa nggak dibisa-bisain?” kata Sandi waktu itu.
^^^
Trrrt... Trrrt...
Ponselku bergetar di atas tempat tidur saat aku sedang konsentrasi mengerjakan tesis. Sejujurnya, aku paling tidak suka pekerjaanku terpotong di tengah-tengah seperti ini. Sebaiknya penelepon memiliki alasan yang cukup baik untuk menggangguku. Awas saja kalau cuma sekedar menawarkan asuransi atau kartu kredit. Salahku juga, sih, tetap menyalakan ponsel.
Lho, Bang Mat?
“Halo?”
“Rani, ibu tiba-tiba pingsan. Abang harus antar ke rumah sakit. Kamu bisa nyusul ke sini sekarang?”
“Hah? Ibu kenapa, Bang?”
“Aku juga nggak tahu, Ran. Kamu mending nyusul aja dulu ke sini.”
“Oke, oke. Aku cari taksi sekarang.”
Segera setelah menutup telepon, aku memesan taksi untuk menjemput di rumah kosku. Sangat menguntungkan di zaman modern seperti ini, aku dapat memesan taksi tanpa harus keluar ke jalanan. Cukup dengan aplikasi di ponsel, klik, klik, klik, dan semuanya beres. Aku hanya perlu menunggu sebentar. Sembari menunggu, aku merapikan laptop dan buku-bukuku, sambil terus berdoa supaya ibu tidak apa-apa.
^^^
“Bang, Ibu kenapa?” tanyaku begitu melihat Bang Mat di rumah sakit. Beruntung jalan tol dari Depok ke Tangerang hari ini lengang, jadi aku bisa cukup cepat sampai ke rumah sakit.
“Maag akut, kata dokter. Juga dehidrasi. Asam lambung naik. Kemungkinan besar karena nggak teratur makan, terlalu lelah juga, kurang minum air... dan, entahlah, Abang juga nggak gitu ngerti, Ran,” jawab abangku. Terlihat semburat lelah di wajahnya. “Aku tadi pulang karena Dini telepon. Katanya ibu pingsan di toko.”
“Kita boleh masuk?”
“Boleh, dokter sudah selesai periksa.”
Melihat Ibu yang sedang tertidur tenang dengan infus terpasang di tangan kirinya membuatku sedih. Ibu terlalu lelah bekerja, padahal anak-anaknya sudah bisa hidup mandiri. Iya, sih, aku masih kuliah. Tapi aku kuliah sambil bekerja. Kami sama sekali tidak kekurangan, harusnya Ibu tidak usah lelah-lelah mencari uang.
“Don't worry, Rani. She'll be alright,” kata Bang Mat menenangkanku. Air mukaku pasti jauh dari tenang, makanya ia mengucapkan hal ini.
“Mbak Dini dan Metta di rumah?”
“Iya, Metta besok ada ekskursi sekolah. Dini yang nemenin. Aku suruh mereka tinggal di rumah saja, nggak usah ke sini.”
Aku hanya mengangguk-angguk pasrah. Sebaiknya aku menginap di sini malam ini, menemani Ibu. Aku tidak tahu kalau sakit maag bisa sampai pingsan dan masuk rumah sakit seperti ini.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan WhatsApp dari Sandi.
Sandi: 'Aku dengar ibu kamu masuk rumah sakit?' 6.47 PM.
Sandi: 'Dharma Persada, ya? Yang di Tangerang?' 6.47 PM.
Aku: 'Ya, Sandi. Kamu dengar dari mana?' 6.48 PM.
Sandi: 'Dari Intan. Gimana keadaannya, Ran?' 6.48 PM.
Aku: 'Aku kurang ngerti. Katanya maag.' 6.48 PM.
Aku: 'Kata abangku dia pingsan. Kok orang maag bisa pingsan gitu, sih?' 6.48 PM.
Sandi: ‘Memang bisa, Ran. Terlalu lelah berkegiatan tapi nggak memasukkan apa pun ke perut. Tentu saja bisa pingsan.' 6.48 PM.
Sandi: 'Kamu mau aku ke situ untuk lihat keadaan ibumu?' 6.49 PM.
Aku: 'Nggak perlu repot-repot, San. Thx.' 6.49 PM.
Sekitar 10 menit kemudian aku baru mendapat balasan dari Sandi.
Sandi: 'Aku otw ke sana ya.' 7.00 PM.
^^^
Sekitar pukul 9 malam, Sandi sampai di rumah sakit dan mengetuk kamar rawat ibuku. Bang Mat sudah pulang sehingga hanya aku yang menyambutnya,
“Harusnya kamu nggak usah ke sini, pasti macet banget deh.” Oke, gayaku bukan ngomong aku-kamu sama orang. Tapi si orang Semarang ini, kalau ngomong seperti itu. Jadi aku tertular. Setidaknya, kalau bicara dengannya, aku tidak mungkin pakai gue-elo kayak orang Jakarta pada umumnya.
“It's fine,” jawabnya singkat. Seperti biasa. “Ibumu gimana?”
“Tadi sekitar jam 7.30 dia bangun, diberi makan malam oleh pihak rumah sakit.
Sandi mendekati tempat tidur Ibu. Seperti menyadari kehadiran orang lain, Ibu membuka matanya perlahan. Melihat Sandi di sebelahku, matanya sempat terlihat bingung, tapi bibir pucatnya kemudian menyunggingkan senyuman.
“Siapa ini, Ran?” tanya ibu.
“Assalamualaikum, Bu. Nama saya Sandi.”
“Temannya Rani?”
“Iya, Bu.”
“Dia dokter, Bu,” kataku menambahkan info.
“Oh, dokter di sini? Bukannya tadi yang menangani Ibu...”
“Dokter Soetomo,” kataku meneruskan. “Sandi bukan dokter di sini. Tapi dia dokter. Waktu tahu Ibu sakit, dia datang ke sini. Mau bantu mengecek kondisi Ibu.”
“Baik sekali kamu, 'nak,” kata ibuku, tersenyum kepada Sandi.
Sandi hanya tersenyum.
Kemudian ibuku menanyai Sandi berbagai macam hal mengenai kondisinya. Sandi menjawab keluhan kondisi Ibu dengan baik. Seperti kebiasaan Ibu mengonsumsi kafein yang lumayan banyak tidak dapat dihindari dan menjadi salah satu penyebab jatuh sakitnya ibu sekarang. Sandi bilang, “Normal kalau Ibu sudah terbiasa minum kopi di pagi hari, bahkan siang atau sore juga, ya. Tapi yang harus diingat, jangan sampai telat makan, Bu. Minum air juga harus diperbanyak kalau demikian. Harus dibuat balance.”
Melihat mereka dapat ditinggal ngobrol berdua, aku keluar kamar, hendak membelikan Sandi dan diriku sendiri minuman.
Sebelum keluar, aku memandang ke arah Sandi dan Ibu sekali lagi. Orang ini… baik. Ya, dia benar-benar orang baik.
^^^
Seminggu setelah Ibu masuk rumah sakit, aku sudah kembali ke rutinitas. Masalahnya, sekarang aku yang sakit. Sejak pagi sudah bolak-balik ke kamar mandi entah berapa kali. Sungguh mengganggu. Kuliah pagiku sedikit terganggu karena tidak dapat berkonsentrasi di kelas.
Aku memutuskan untuk bolos di kuliah kedua dan tinggal di kamar kos, mengerjakan tesis sambil mengurus sebagian pekerjaan dari Bu Meggy. PPI akan mengadakan penelitian ke pedalaman Kalimantan tahun ini. Aku dipilih menjadi salah satu timnya. Kebetulan pengambilan data akan dilakukan setelah periode sidang tesis. Aku langsung menerima dengan semangat, walau perutku mulas-mulas dari tadi.
Trrrt...
Ponselku berbunyi dari nomor yang tidak dikenal.
“Halo.”
“Halo, dengan Mbak Rani?” tanya orang di seberang telepon. “Saya dari Go-Jek, mau mengantarkan barang. Saya sudah di depan.”
“Barang? Dari siapa ya, Pak?”
“Dari Bapak… Sandi,”
Hah? Sandi kirim apa?
Aku segera turun dan setengah berlari ke pintu depan rumah kosku. Menerima sebungkus paket dari tukang ojek online tersebut, aku hanya mengucapkan terima kasih dan kemabali ke kamar. Ongkos kirimnya sudah dibayar.
Aku buka bungkusan paket tersebut di kamar. Sebatang cokelat dengan tulisan Cina pada kemasannya, dengan pesan, “Boleh dimakan kalau kamu sudah sembuh, ya. -Sandi.”
^^^
“Jadi itu sebabnya kamu minta alamat lengkap kosku?”
“Iya,” jawab Sandi, malam harinya, Sandi mengajakku keluar dan makan di sebuah restoran Cina di Jakarta Selatan. Katanya, aku harus makan makanan yang setidaknya lebih bersih dari yang dijual di sekitar tempat kosku. Waktu aku bilang mau makan bubur, justru katanya tidak boleh. Entahlah, mana yang benar. Tapi karena ia dokter, aku ikuti saja. Mudah-mudahan makanan yang aku makan dengannya malam ini dapat membuat diareku ini berhenti.
“Itu coklatnya beli di Singapura?” tanyaku lagi.
“Iya,” jawabnya singkat. Memang sehari setelah menjenguk ibuku, Sandi bilang ia akan ke Singapura untuk menghadiri sebuah konferensi kedokteran di sana selama lima hari.
“Kenapa nggak kasih malam ini saja kalau kamu niat ngajak keluar makan?” tanyaku lagi.
Sandi diam, terlihat berpikir. “Hmmm... nggak kepikiran.”
Sudah, itu saja jawabnya. Aku bingung sekali sama orang ini. Dua jam yang lalu, datang tiba-tiba. Tidak berkata apa-apa. Di mobil pun hanya diam saja. Seperti deja vu, awal-awal kenalan. Aku merasa sangat canggung semobil berdua lagi dengannya. Harusnya Intan ikut, biar nggak awkward-awkward amat.
Setelah menghabiskan seporsi nasi dengan ayam goreng mentega, udang mayones, dan kangkung hotplate sapi (yang lebih banyak dimakan oleh Sandi, karena katanya kalau sedang diare, jangan makan terlalu banyak sayuran), aku segera menghabiskan teh pahit hangat yang tersedia untukku. Aku merasa sangat kekenyangan. Sandi juga menghabiskan jus jeruknya – seperti biasa – tanpa berkomentar apa-apa.
“Sandi, boleh aku tanya sesuatu?”
“Hmm?”
“Aku bingung aja. Kok kamu bisa ngobrol sebegitu lancarnya di WhatsApp, sementara kalau begini, kamu ngomong sedikit sekali?” tanyaku tanpa dapat menyembunyikan rasa penasaranku. “Juga waktu di rumah sakit dan bertemu ibu. Sepertinya kamu bisa ngomong dengan sangat lancar. Banyak.”
“Hmm... Kita pindah tempat dulu, yuk,” katanya sambil meminta bill kepada pramusaji.
“Tapi...”
“Please, Rani. I need a more private place,” katanya.
Aku hanya mengehela napas. “Whatever suits you, Sir.”
^^^
Pindah tempat maksudnya adalah sebuah kedai kopi bernama Caribou di dekat situ. Begitu memasuki kedai ini, aku langsung tahu kenapa Sandi memilih tempat ini. Tempat ini memiliki dua lantai. Walaupun ramai pengunjung, tata letak meja dan kursinya tidak terlalu berdekatan satu dengan yang lain, sehingga pengunjung tetap memiliki privasi, baik sendiri maupun dengan kelompoknya masing-masing. Dindingnya yang berwarna coklat serta perapian elektrik yang berada di setiap lantai membuat tempat ini terasa lebih nyaman dan hangat.
“I think I know why you choose this place.”
Ia tidak menjawabku dan hanya melanjutkan pesanannya ke kasir. Kasir perempuan dengan tag bernama Yohana di dada kirinya menawarkan berbagai macam makanan atau minuman yang mereka tawarkan. Sandi hanya memilih satu hot chocolate (sepertinya orang ini nggak ada kenyang-kenyangnya) dan membelikan hot tea untukku.
“Tapi aku mau pesan...”
“Kamu lagi sakit,” potongnya tegas. “Hot tea, Mbak,” katanya pada kasir perempuan tersebut.
Aku hanya cemberut, mengikutinya yang memilih duduk di lantai atas, di sebuah pojokan dekat dengan toilet kedai ini.
“Kenapa nggak di luar aja, San? Ini dingin banget,” kataku sambil menunjuk ke AC di atas kepala kami.
“Di luar nanti kena angin malam, Rani. Dan banyak yang merokok.”
Aku melihat berkeliling, mencari tempat yang tidak terlalu dekat dengan AC, tapi nihil. Maka aku tidak membantahnya lagi.
“So?” tanyaku setelah menghempaskan diriku di sofa.
“Tadi kamu nanya apa?”
Agak sebal harus mengulanginya lagi, “Tadi aku tanya, kenapa kalau kita ngobrol, kamu jawabnya singkat-singkat. Sementara waktu ngobrol sama Ibu kemarin, kamu bisa membicarakan apa aja.”
“Gimana, ya… tunggu, aku pikirin kata-katanya dulu.”
“I'm listening...”
“Jadi... Aku hanya berusaha supaya nggak nervous di depan kamu. Itulah yang selama ini aku lakukan.”
Aku mengernyitkan dahi. Sambil tetap diam, kutopangkan wajah di kepalan tangan, dengan siku bertumpu ke meja. Kuharap dia mengerti bahwa itu kodeku meminta penjelasan lebih lanjut.
“Aku juga nggak ngerti kenapa, kalau di dekat kamu aku jadi nggak bisa ngomong banyak,” katanya. “Waktu pertama kali pergi bareng kamu dan Intan, aku sudah dengar dari Intan tentang kamu. Dan aku menemukan semua yang Intan bilang tentang kamu itu benar.”
“Emang dia bilang apa?” tanyaku, penasaran akan apa yang Intan bilang mengenai aku. Aku  harap, yang diceritakannya adalah hal-hal bagus.
“Intan bilang, Rani itu cantik dan pintar. Rajin, determined. Dia juga bilang, kamu itu...wife and mother material,” jawab Sandi sambil tersenyum.  
Bola mataku membesar. Oke, selain Miss Rempong, Intan tepat dijuluki Miss Asal Bunyi. Kalau dia bilang aku mother material karena selalu menjaganya ketika dia mabuk atau butuh ditemani, well… mother, beneur. Tapi… wife material? What? Mari kita list nama mantan-mantanku. Nope. Zero. Zero mantan.
“Dan kurasa apa yang dia bilang tentang kamu, semuanya benar. Aku memperhatikan kamu sejauh ini, Ran.”
Aku hanya diam, mengusahakan agar wajahku tidak memerah. Tapi sepertinya aku gagal, karena pipiku rasanya panas sekali. Fixed, aku salah tingkah.
“Apa… gimana… bagian mana yang wife material, deh? Aha… hahah… hahahaha… ngaco si Intan!” aku sok-sokan menenggak teh manisku. Astaga panas banget! Aku tetap berusaha cool walau lidah sudah mau terbakar.
“Waktu bertemu kamu, aku merasa sedikit grogi. Karena kamu cantik dan pintar seperti yang Intan bilang. Anak Unega mana sih yang nggak pintar?” kata Sandi sambil tertawa. “Dan sifat-sifat kamu yang mature, membuat apa yang Intan bilang tentang mother material juga nyata buatku.”
Aku tidak menjawab apa-apa. Masih merasa tersanjung, tapi juga sebenarnya bingung mau menjawab apa. Aku jomblo 26 tahun, guys! Tidak pernah satu orang pun memuji aku seperti itu. Paham 'kan gimana rasanya?
Aneh, ini aneh banget. Ini arahnya mau ke mana, sih?
“Aku juga nggak tahu gimana mengatakannya,” kata Sandi. “Tapi aku berniat serius. Aku berniat mendekati kamu secara serius, Rani. Kita pernah ngobrol soal berkeluarga dan sebagainya. Pandanganmu dan pandanganku tentang berkeluarga sangat cocok. Semenjak itu, aku jadi yakin kalau kamu memang orangnya. Seseorang yang bisa aku jadikan pendamping hidupku.”
Wait… what?
Bagian terakhir tadi, coba diulang?
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Pulangnya Matahari - part 7 (FINALE)
“Lo selalu bilang ‘oke’ dengan semua ini. Tentang situasi gue. Tentang semua hal dengan Virgo. Dari awal lo tahu dia siapa. Lo bahkan dengar semua ceritanya. Then why didn’t you step back? Why are you still here?”
Ares menghela napas. Tidak mudah memang untuk akhirnya mengangkat isu ini bersama Ari. Ares sadar betul dirinya bukan siapa-siapa bagi Ari. Sejak pertama, nama Virgo yang selalu disebut Ari. Tetapi dirinya tetap ingin ada di samping Ari, dan ia sadar melakukannya.
“I don’t know. I don’t know why I stick around.”
“Lo itu indecisive, Ares. Lo membuat gue bingung. Lo kayak setengah-setengah. Kalau bicara adil, ini nggak fair juga lho, buat gue. Dari awal motif lo itu apa, sih? Gue itu apa buat lo?”
“Gue nyaman sama lo, Ri.”
“Ya tapi apa nyaman itu alasan? Gue juga nyaman sama lo, tapi kalau gue cinta sama lo, nggak akan ada nama Virgo kesebut-sebut dari awal.”
Bola mata Ares membesar. Kalimat Ari tersebut seperti pernyataan implisit. “I guess I got your point, huh?”
Ari terdiam. Sebenarnya ia belum bermaksud untuk sampai ke sana.
“I should have known. I should have realized that the kiss… Ari, did the kiss even mean something to you?”
Lagi-lagi Ari tidak bisa menjawab. Ia memalingkan wajahnya.
“Awalnya gue coba untuk santai, Ri, dengan semua hal tentang Virgo. Lama-lama gue telan sendiri, makin gue ngerasa ini semua nggak ada gunanya. Gue juga bingung, Ri. Gue bingung gimana mau nyatain perasaan ke elo, di saat lo sendiri semakin nyaman dengan situasi lo bersama Virgo. I guess I should stop trying now.”
Ari mengangkat bahu.
“Lo cinta, Ri, sama Virgo?” tembak Ares.
That, I don’t know, batin Ari. Tapi hanya sebatas di batin, tak diucapkannya.
“Ya udah, gue nggak bisa apa-apa lagi kalau itu.”
“Virgo mau pergi, Res,” ujar Ari dengan suara bergetar.
“Maksud lo?”
“Virgo mau pergi ke Amrik. For good. Akhir bulan ini. Saat ini, gue dan dia sedang nikmatin waktu yang tersisa buat kami berdua. Do you have any idea how painful it is? Lo bisa bayangin nggak, gimana sakitnya ketika lo ngabisin waktu berdua sama seseorang yang lo sayang hanya untuk tahu bahwa semua bakal berakhir? Lo nggak tahu ‘kan, Res?” Ari tak tahan lagi. Isak tangisnya pecah.
“Gue nggak tahu setelah dia pergi nanti gue akan tetap bisa berhubungan sama dia atau nggak. Dia sendiri bilang sama gue, kalau nanti setelah dia pindah ke Amrik, mungkin dia nggak akan kontak gue. Harusnya gue marah ‘kan, Res? Kenapa sih dia seenaknya datang, seenaknya pergi? Tapi apa gue marah? Pengin, gue pengin banget marah. Sayangnya gue nggak bisa, Res, gue terlalu sayang sama dia. Gue hanya ingin nyenengin dia di sisa waktu ini dan gue… Ares, I’m making a fool out of myself…”
Ares meraih Ari ke rengkuhannya. Merasa bersalah dengan semua kebingungan ini. Mendadak rasa cemburu Ares terkesampingkan dan saat ini baginya yang terpenting adalah Ari.
“Maafin gue ya, Ri, maafin gue.”
Ari masih terisak dalam dekapan Ares. Kali ini ia benar-benar menumpahkan semuanya, tanpa mampu bicara lagi.
Setelah agak tenang, Ari melepaskan dirinya dari pelukan Ares dan mengelap sisa-sisa air matanya. “Sorry, baju lo jadi basah.”
“Nggak apa-apa, Ri,” jawab Ares sambil tersenyum.
“Gue minta maaf ya, Res, kalau harus jadi begini. Tapi gue harap lo mengerti kenapa gue kayak gini. Gue nggak akan bisa maksain sama lo. Tentang ciuman itu… gue juga nggak ngerti kenapa gue ngelakuinnya. Of course it meant something, I didn’t do it without purpose. Tapi gue sadar kok itu nggak fair buat lo. Maafin gue, Res.”
Ares meraih kedua tangan Ari dan menciumnya, “Jangan lagi ya, Ri. Please.”
Ari mengangguk. Dipeluknya Ares sekali lagi.
 ^^^
 Setelah menyelesaikan semuanya dengan Ares, kini Ari hanya tinggal punya satu tugas lagi. Settling everything with Virgo. Akhir Januari. Minggu siang, dua hari sebelum Virgo berangkat.
“Nggak ada drama macam CInta ama Rangga, ya,” ujar Virgo.
“Idih! Ge-er amat. Pertama, lo terbang tengah malam. Gue ogah banget bangun dari beauty sleep gue cuma buat ngejar lo. Kedua, gue nggak bisa nyetir dan ongkos taksi ke bandara mahal. Jadi, buang jauh-jauh deh pikiran lo itu,” jawab Ari santai sambil menyeruput espresso miliknya.
Virgo tersenyum melengos.
“Lo jadinya udah dapat roommate?”
“Udah. Orang Singapura. Udah sempat ngobrol juga via Skype. Mudah-mudahan aslinya seasyik kalau lagi video call.”
Ari tersenyum.
Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan berarti, hanya mengobrol soal rencana-rencana Virgo. Tidak ada lagi bahasan tentang mereka berdua, tidak ada lagi ungkapan isi hati, tidak ada lagi drama menjelang perpisahan. Keduanya sangat menghindari itu di saat-saat terakhir.
 ^^^
 “So make the best of this test, and don't ask why
It's not a question, but a lesson learned in time
It's something unpredictable, but in the end is right,
I hope you had the time of your life.
 So take the photographs, and still frames in your mind
Hang it on a shelf in good health and good time
Tattoos of memories and dead skin on trial
For what it's worth it was worth all the while”
 (“Good Riddance (Time of Your Life)”- Green Day)
 ^^^
 DUA TAHUN SETELAHNYA.
Suasana pelataran taman itu nampak apik dan penuh nostalgia. Di sepanjang kiri dan kanan koridor menuju pintu masuk terdapat pohon-pohon buatan dengan foto-foto berukuran 2R dan 3R yang digantung. Sebagian besar adalah foto-foto dari kamera ponsel yang resolusinya belum bagus, namun dari pose di foto-foto tersebut terpancar kegembiraan dan semangat masa muda yang polos dan penuh suka cita, sepuluh tahun lalu.
Ari menelusuri pohon foto itu satu demi satu, mencari foto dirinya bersama geng, memotret pohon itu dengan kamera ponselnya, tertawa sendiri saat menemukan foto mereka saat masih culun. Sesekali ia bertegur sapa dengan kawan-kawan lamanya. Beberapa dari mereka berubah drastis, ada yang bertambah gemuk, bertambah kurus, bertambah tinggi, bertambah gaya, ada pula yang tak berubah sama sekali.
Lalu Ari masuk ke dalam. Persis di depan meja penerima tamu, ada banner besar bertuliskan “10 Years of Friendship, SMA Cahaya 2004-2007”. Ari mengisi buku registrasi, mengambil goodie bag, lalu masuk ke dalam aula besar tempat berlangsungnya acara. Di dalam sudah ramai, dan pengisi acara yang sedang tampil adalah band teman-teman seangkatan Ari sewaktu SMA.
Tadinya Ari malas datang ke acara reuni SMA-nya ini, tak lain adalah karena malas bertemu Algi. Tapi Kanya sudah memastikan bahwa Algi sedang bekerja di luar kota, jadi tak mungkin bisa datang. Karena itulah Ari tak segan mampir.
Ari langsung mencari ketiga sahabatnya itu. Nampak Tira, Manda, dan Kanya sedang berada di tengah keramaian, bernyanyi bersama yang lain. Ari bergabung dan ikut bernyanyi bersama mereka.
Setelah band tampil, acara dilanjutkan dengan games. Ari bersama ketiga temannya keluar dari kerumunan dan mencari minuman. Mereka beranjak menuju meja minuman dan mengambil soft drink. Ari yang tadi semangat bernyanyi bersama nampak sangat kehausan. Ditenggaknya segelas cola.
“Haus, Mbak?” tegur seseorang dari belakang.
Ari sontak menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang pria tinggi, sangat kurus, berkaos hitam dan celana jins, bersepatu kets belel. Ari mengerutkan kening, mencoba mengingat nama. Harusnya tidak sulit mengingat nama orang ini. Mengingat orang dengan karakteristik demikian tidak banyak di sekolahnya.
“Inget muka nggak inget nama, ya?” ledek orang itu. Suaranya berat, ekspresinya agak datar namun terlihat seutas senyum di wajahnya.
“Nggak, nggak, gue inget nama lo, kok. Sebentar. Ngg… Riga, ya? Auriga Nurmadi, bener nggak?”
“Seratus. Apa kabar, Ri?”
“Haaaaii… gue baik. Lo apa kabar?” Ari menyalami tangan Riga.
“Yaaa… seperti yang lo lihat. Lagi berusaha nambah berat badan,” jawab Riga sambil mencoba tersenyum. Mata Riga cekung sekali, nampak sangat lelah. Rambutnya juga agak gondrong, nampak kurang terawat.
“Ya ampun, sini deh, gue donorin lemak gue.”
Ari dan Riga tertawa. “Apa yang mau didonorin? Lo ‘kan udah kurus.”
“Ya, ya, okelah. By the way, ke sini sama siapa?” tanya Ari.
“Datang sih sendiri. Tapi tadi sempat lihat band dulu tuh sama Paul and the gank,” Riga menunjuk ke arah sisi kiri ruangan. “Lo sendiri sama siapa, Ri?”
“Sama Tira, Kanya, Manda. Kayaknya lagi pada keliling. Lo udah makan, Ga?”
“Belum, nih. Cari makan sama-sama, yuk.”
Ari mengangguk. Mereka berjalan berdua sambil bercerita tentang hidup masing-masing. Rupanya Riga belum lama keluar dari pusat rehabilitasi narkoba. Saat ini Riga sedang melanjutkan kuliah, menata kembali hidupnya. Ari beberapa kali tercengang mendengar cerita Riga. Walaupun ia menyayangkan bahwa Riga ‘membuang’ waktu tujuh tahun dalam hidupnya, tapi kalau tidak melewati masa-masa itu, Riga tak akan tahu apa artinya bangkit seperti sekarang.
“Gue pernah sepuluh kilo lebih kurus dari ini, Ri,” kata Riga dengan suara beratnya.
“Oh ya? Kayak apa tuh?”
“Parahlah. Jangankan dilirik cewek, yang ada gue dilirik orang sekitar, disangkain orang-orangan sawah.”
Ari tertawa, membayangkan mungkin beberapa tahun lalu selera humor Riga belum seperti ini.
“Mumpung di reuni, makan yang banyak, Ga. Gue temenin deh.”
“Tadi katanya mau donor lemak? Kok sekarang ngajak makan banyak?”
“Aaaaa… jangan ingetin gue sama lemak, please!” Ari menutup kedua telinganya, disambut tawa Riga.
 ^^^
 Dua tahun kosong.
Mungkin itu tiga kata yang akan Ari pilih untuk menggambarkan apa yang ia rasakan. ‘Kehilangan’ Ares dan Virgo dalam waktu yang bersamaan, membuatnya lega sekaligus gamang. Ia tak ingin lagi berada dalam permainan tidak jelas yang sebenarnya ia ciptakan sendiri. Sudah tertatih bertahun-tahun menaruh diri dalam bayang-bayang Virgo, dan terjebak rasa nyaman dengan Ares. Ari tidak ingin lagi melakukan apa pun yang tanpa tujuan. Dan hari-hari terakhir bersama Virgo itu, adalah yang terindah sekaligus yang terpahit.
Sejak tiba di Amerika, Virgo menepati ucapannya. Tak sekali pun ia menghubungi Ari. Ari hanya mengetahui kabar Virgo dari media sosial. Semua komentar yang ditulis Ari hanya digubris singkat. Virgo tidak memutus silaturahmi, namun tidak juga memulai apa-apa.
Antares tidak butuh waktu lama untuk menemukan seseorang. Sebulan setelah ‘selesai’ dengan Ari, ia sudah jalan dengan orang lain. Baguslah, pikir Ari.
Soal hatinya sendiri, Ari belum yakin terhadap apa-apa. Tidak terpikir apa pun, tidak mengusahakan apa pun. Ari tidak ingin memulai sesuatu yang tak bisa ia selesaikan, apalagi soal perasaan. Maka sekarang Ari hanya mau mengikuti permainan semesta dibanding mencari tahu keinginan hatinya.
Saat itulah Riga muncul.
Seorang kawan lama yang bahkan dulu tak berada satu lingkaran dengan Ari atau Algi. Dulu, Ari tak pernah penasaran soal Riga. Mereka hanya ‘kenal lewat’ dan tidak pernah sekelas. Riga dulu adalah siswa yang diremehkan guru dan teman-teman seangkatan karena terlibat kasus narkoba. Riga pernah tertangkap tangan sedang memakai sabu dan rupanya menyimpan kokain di tasnya. Alhasil ia dikeluarkan dari sekolah dan yang Ari dengar Riga lanjut homeschooling.
Tapi Riga yang sekarang sudah berubah. Ia nampak lebih tahu arah hidupnya. Setelah keluar dari rehabilitasi, Riga ikut band dan bekerja lepas di event organizer acara musik. Mungkin bukan pekerjaan yang mapan dan banyak menghasilkan, tetapi paling tidak bisa membuat Riga sibuk dengan hal positif.
Setelah pertemuan dengan Ari di acara reuni sebulan lalu, Riga menemukan satu teman ‘baru’ yang menurutnya asyik diajak berbincang. Riga bukan orang yang banyak bicara, tetapi saat bersama Ari, ia banyak bertutur kata, lebih dari biasanya.
“Gue nggak biasanya sebawel ini, Ri,” kata Riga saat mereka pergi berdua.
“Gue juga jarang nemu orang bersuara berat tapi bawel,” sahut Ari sambil menikmati gelatonya.
Riga tersenyum. “Es krimnya enak. Thanks rekomendasinya.”
“Lo harus sering-sering beli ini kalau lagi bete. Dijamin gendut.”
“Waktu itu ngeluh gendut, tapi kok doyannya es krim?”
“Udah, deeeh… lo mau gue sumpel pakai es krim?”
“Hahahaha… enggak, Ri. Bercanda.”
Kemudian mereka menyusuri jalan lagi. Sambil berjalan, mereka berbincang banyak hal. Riga tak pernah kehabisan topik bersama Ari. Tanpa disadari, kaki mereka sudah melangkah jauh, tiba di depan rumah Ari.
“Gue belum pernah jalan kaki sejauh ini. Belum berasa, nih. Nanti kalau gue udah rebahan, pasti baru berasa cenut-cenut,” kata Ari.
“Gue juga. Banyak hal yang belum pernah gue lakukan, dan baru gue lakukan sama lo.”
Ari tersenyum, “Masak? Emang apa aja?”
“Gue belum pernah cerita sebanyak apa yang gue ceritain ke lo, gue belum pernah makan gelato, gue belum pernah makan kerupuk belut kecuali yang lo bawa waktu itu, gue juga belum pernah jalan kaki sejauh ini.”
“Hihi… berarti rekor lo banyak dari gue, dong! Yesss!”
“Dan gue belum pernah merasa nyaman dan percaya sama orang, seperti gue nyaman dan percaya sama lo.”
Ari terdiam. Pengakuan Riga barusan adalah pengakuan terjujur darinya. Riga mengatakannya dengan sungguh, Ari bisa merasakan itu. Nada bicaranya beda dari saat ia bercerita tentang pengalamannya di masa lalu.
“Thanks, Ga. Lo juga baik, kok.”
“Gue suka sama lo, Ri…”
Bola mata Ari membesar.
“…mau nggak, jadi orang yang selalu gue bawelin, selalu buat gue nyaman, dan selalu ngasih gue pengalaman yang belum pernah gue rasakan? Lo mau nggak jadi pacar gue?”
Kemudian Ari ingat lagi pernyataannya tentang perasaan. Ia memang tak mau memulai, tetapi bukan berarti tak ingin dicari. Ia memang tak menutup diri, tetapi bukan berarti tak ingin membuka hati. Ari bingung, tetapi ia harus berani.
Seperti Riga yang sudah berani menyatakan perasaannya, walaupun baru bertemu kembali dengan Ari. Tak seperti dua orang sebelumnya yang mungkin hanya ingin menjaga Ari, memastikan Ari tak ke mana-mana.
Riga berani. Berani mengambil risiko untuk bersama Ari, menerima semua sifatnya, menemani harinya, dan yang paling penting, percaya padanya.
Ari tak punya alasan lagi untuk berkata tidak. Tak ada lagi yang ia tunggu. Jika memang dirinya harus memulai lagi, sekarang saatnya. Tak perlu menunggu bertahun lagi, tak perlu mengingat yang sudah-sudah.
“Gue mau, Ga,” jawab Ari mantap.
 ^^^
 Sudah lima belas menit sejak Ari berhasil meregulasi detak jantungnya yang berdebar hebat setelah menyadari bahwa dirinya kini bersama seseorang. For real. Lima menit setelah ia menerima Riga, mereka berpisah. Ari masuk ke dalam rumah, Riga kembali meneruskan perjalanan.
“Lo nggak mau pesan taksi dari rumah gue aja?” Ari memastikan.
“Nggak. Gue mau lanjut jalan aja.”
“Gila, nggak gempor?”
“Nggak, baru di-charge soalnya. Sama pacar.”
Ari tersenyum salah tingkah.
“Ya udah. Tapi hati-hati. Kalau udah nggak kuat, naik taksi atau ojek aja. Jangan dipaksain lanjut jalan.”
Riga tersenyum. “Terima kasih, ya.”
Percakapan terakhir tadi adalah percakapan pertama mereka sebagai pasangan. Ari masih merebahkan dirinya di kasur, membiarkan binar mata dan senyum hangat terus ada di wajahnya. Ia merasa lega dan teduh, karena ia sekarang punya Riga.
Kemudian Ari membuka ponselnya, iseng melihat Facebook. Di linimasa teratasnya ada unggahan foto dari akun Ares, foto dirinya bersama sang pacar. Tiba-tiba saja Ari merasa ingin mengabari Ares tentang kebahagiaannya bersama Riga. Maka ia menulis pesan singkat namun tulus di kotak pesan Facebook Ares.
 “Hei, Aria Permana! Ini random banget, sih, tapi gue baru saja lihat foto lo di FB. I’m so glad looking at you right now. Semoga yang ini baik untuk lo ya, dan nggak mempermainkan kebaikan lo doang, apalagi cuma modal nyaman. Ares, gue cuma pengin kasih tahu bahwa gue sekarang juga bersama seseorang. Seseorang yang nggak pernah gue sangka akan hadir. Doakan dia baik untuk gue juga ya, Res. And until now, I still feel sorry for what I did to you. Sorry, for everything.”
 Setelah mengirim pesan ke Ares, Ari melirik ke laman pesan Facebook-nya. Masih ada rekam tulisan pesan dengan Virgo. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Ada kerinduan yang mungkin selama ini tertahan seperti bom waktu. Virgo. Haruskah ia tahu soal ini? Haruskah ia tahu kabar Ari sekarang?
Bahwa Ari sudah bahagia.
Bahwa dirinya tak punya alasan lagi untuk menunggu.
Dan sesaat kemudian, ada yang mendorong Ari untuk membuka rekam tulisan itu, kemudian jemarinya pun mulai mengetik pesan…
… lama, panjang, penuh keterbukaan dan kejujuran…
… semua Ari tuangkan di sana. Tentang semua yang ia rasa dua tahun terakhir.
Dan terakhir tentang kebahagiaannya. Sekarang ia punya Riga.
 Pesan terkirim.
Dan Ari pun menangis. Sedih.
 TAMAT
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Pulangnya Matahari - part 6
Sudah tiga puluh menit Ari berbaring menghadap langit-langit dengan mata terbuka. Tak bisa tidur, tak bisa berhenti berpikir. Sebenarnya apa yang ia inginkan dari semua yang ia jalani akhir-akhir ini bersama Ares dan Virgo? Apa dirinya nyaman dan baik-baik saja? Apa dirinya sedang berusaha mencari pembenaran? Benarkah ia melakukan ini karena hatinya jatuh pada dua orang sekaligus, atau apakah ia sedang ingin membuktikan sesuatu, tetapi entah pada siapa?
Ari memiringkan badannya ke kanan, berharap bisa memejamkan mata yang letih. Tetapi semakin ia berusaha, semakin banyak pertanyaan baru yang muncul. Ciuman dengan Ares kemarin itu untuk apa? Ciuman dengan Virgo hari ini untuk apa?
Ya, akhirnya setelah bertahun-tahun, Ari bisa merasakan kehangatan tulus dari seorang Virgo, melalui ciuman pertama mereka. Dan yang ini adalah inisiatif Virgo sendiri, yang langsung disambut Ari, bukan ciuman pembuktian seperti dengan Ares kemarin.
Siang tadi, Ari menepati janjinya untuk pergi dengan Virgo. Setelah kejadian ciuman spontan dengan Ares kemarin, Ari merasa perlu distraksi. Seperti biasa, Virgo mengajaknya pergi minum kopi. Hanya minum kopi, tapi Ari senang. Apa yang terjadi setelahnya membuat Ari lebih senang.
“Ri, lo ingat Bagas dan kawan-kawan nggak?” tanya Virgo saat mereka baru beranjak dari coffee shop.
“Bagas… Bagas, Arka, teman-teman SMA lo?”
“Iya, betul.”
“Ingat. Kenapa, Go?”
“Lo buru-buru pulang, nggak?”
“Ngg… nggak, siih. Kenapa?”
“Si Arka mau lanjut studi ke Jepang. Hari ini mau ada farewell party. Tapi khusus kita-kita aja, temen segeng waktu SMA. Simpel sih, acaranya, dan sedikit orang yang diundang. Lo mau nggak gue ajak ke sana?”
“Ha? Lo yakin nggak apa-apa? Gue ‘kan nggak begitu kenal sama Arka.”
“Ya nggak apa-apalah. Kan gue yang bawa lo. Bagas bawa ceweknya, terus dua orang temen gue juga pada bawa pasangan masing-masing.”
Ari agak tertegun mendengar ucapan Virgo, “Jadi lo bawa gue biar lo nggak basi, gitu?”
Virgo tertawa mendengar reaksi Ari. “Ya nggak gitulah, sensitif amat. Justru gue ngajak lo, karena gue pengin lo ikut seru-seruan juga sama teman-teman gue. Udah lama banget ‘kan nggak ketemu mereka?”
“Males ah, ada Bagas. Dia ‘kan pernah modusin gue zaman dulu.”
“Ya elah, Ri. Itu ‘kan zaman dahulu kala. Tenang aja, waktu dia tahu lo ada apa-apa sama gue, dia juga mundur.”
“Emang kita ada apa-apa?”
“Emang kita nggak ada apa-apa?”
“Tuh ‘kan. Males, deh. Jadi panjang juntrungannya.”
“Jadi lo mau ikut atau nggak nih? Gue males juga kalau lo nggak ikut.”
“Dih, kok gitu? Arka ‘kan sahabat lo, gila!”
“Iya, tapi gue lebih seneng kalau ada lo juga. Yah, yah, temenin gue yah?”
Ari mengalah. Tidak biasanya Virgo meminta sampai segitunya. “Ya udah, gue ikut.”
Berada di lingkaran pertemanan kecil Virgo sebenarnya sama sekali tidak membuat Ari merasa tidak nyaman. Bahkan, ia bisa langsung membaur dengan para pasangan teman-teman Virgo. Ari senang sekali bisa berkenalan dengan salah satu dari mereka, Gita, yang merupakan teman masa kecil Arka. Gita berusia setahun di bawah Ari, dan sekarang masih kuliah di jurusan performing arts. Ari tertarik mendengar cerita Gita yang sudah tampil dari panggung ke panggung musikal. Gita yang saat itu datang bersama Renno, pacarnya, juga supel dan tidak sulit berbaur dengan orang yang baru dikenal.
“Gue kenal sama Renno juga lewat temen gue. Dijodohin gitu, ceritanya. Eh, nyangkut beneran. Kalau lo sama Virgo udah berapa lama, Ri?”
“Ha?” Ari tertegun mendengar pertanyaan Gita.
“Eh?” Gita bingung melihat Ari yang tampak kaget.
“Virgo bukan cowok gue, Git. Kita temenan dari dulu, dan gue sempet dikenalin juga ke Arka sama Bagas.”
“Oooh… gitu. Sori, sori. Gue kira kalian…”
“Hahahaha… nevermind, Git. Udah biasa. Eh, ngomong-ngomong gue mau dong kapan-kapan nonton musikal atau resital lo!”
“Boleh banget! Nanti gue kirim e-mail. Minta e-mail lo, ya!”
Dan mereka pun semakin akrab mengobrol. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Virgo mengajak Ari pulang.
“Ya udah, ditunggu kabarnya ya, Git! Nice to meet you, lho!” Ari pamit sambil cipika-cipiki dengan Gita.
“You too, Ri! Gue bakal seneng banget kalau lo bisa datang ke resital gue kapan-kapan. Virgo juga diajak, ya!”
Virgo membalas dengan acungan jempol. Kemudian mereka pamit pada semuanya.
Di mobil, Ari tak henti membicarakan keseruannya ngobrol dengan Gita. “Teman-temannya Arka tuh asyik-asyik, ya. Apalagi si Gita. Gue jarang lho, ketemu orang yang langsung nyambung ngobrolnya.”
“Seru banget, sampai gue dilupain,” kata Virgo iseng.
“Yaaa… gue kan nggak mau ganggu lo farewell-an sama si Arka, Go.”
“Hahahaha… iya, gue bercanda. Gue senang kok, lihat lo bisa ngebaur tadi.”
“Hihi… malah gue yang terima kasih, udah lo bawa ke lingkungan yang asyik banget.”
“Sama-sama. Gue nggak pernah lho, bawa Ayunda atau siapa pun ke lingkaran pertemanan gue yang ini.”
“Oh ya?”
“Iya, gue malas bawa orang yang berpotensi garing. Makanya gue ajak lo. Eh, terbukti, asyik sendiri.”
“Huuu…” Ari memukul bahu Virgo pelan. Sebenarnya ia agak ge-er juga diajak ke lingkungan yang cukup restricted bagi seorang Virgo.
Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di rumah Ari. “Ri, numpang pipis, ya,” kata Virgo.
Ari menjawab dengan anggukan, dan mereka berdua masuk ke dalam rumah. Ternyata di rumah Ari hanya ada pembantu. Seluruh keluarganya sibuk dengan acaranya masing-masing.
“Mau sekalian minum, Go?”
“Yah, nanti kebelet lagi di jalan. Kalau ada cemilan, boleh sih.”
“Oke.”
Ari mengambil dua toples cemilan dan diletakkan di ruang tamu sambil menunggu Virgo ke toilet. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi. Ada panggilan dari Ares.
“Hai,” sapa Ari.
“Lagi di mana, Ri?”
“Di rumah. Kenapa, Res?”
“Ooo… sendiri aja di rumah?”
“Ngg… nggak, kok. Nggak sendirian.”
Ares diam di ujung sana. “Halo, Res?”
“Lagi ada siapa, Ri?”
“Ha? Lagi ada…”
“Ya udah, temenin aja dulu. Besok gue telepon lagi, ya.”
Dan Ares pun mengakhiri pembicaraan, meninggalkan Ari dengan perasaan tidak enak. Kemudian Virgo keluar dari toilet dan menyusul Ari ke ruang tamu.
“Lo udah ngantuk belum?” tanya Virgo.
“Biasa aja, kenapa emangnya?”
“Gue masih boleh di sini?”
“Ya bolehlah.”
Virgo mengatur posisi duduknya, menghadap Ari. “Ri, lo bosen nggak, kalau gue ajak ngomong serius?”
“Apaan lagi nih, Go?” tanya Ari penuh selidik.
“Gimana ya, ngomongnya?”
“Oh my God, are you gay?”
“Amit-amit, Ari!”
Ari terbahak melihat ekspresi panik Virgo. “Habisnya lo serius amat. Emang mau ngomong apa, sih?”
Virgo menghela napas panjang. “Ini kabar baik buat gue, jadi gue harap ini juga bisa jadi kabar baik buat lo.”
“Ya udah, apa kabar baiknya?”
“Application gue buat kerja di perusahaan properti Amerika tembus, Ri.”
Bola mata Ari membesar, senyumnya mulai terlihat dan ia langsung memeluk Virgo. “Gila! Congratulations, Virgo! Amerikaaaa!” seru Ari, tulus menyelamati Virgo.
“Thank you, thank you. Gue juga bahagia banget waktu dapat acceptance letter-nya minggu lalu.”
Senyum Ari masih tersungging lebar, namun sedikit memudar ketika melihat Virgo tampak tidak seantusias itu.
“And then?”
“And then… I’m leaving by the end of this year.”
“Oh…” senyum di wajah Ari pun berkurang. “Berapa lama lo di sana?”
Virgo memasang wajah serius. Ditatapnya Ari dalam-dalam. “Selama mungkin, Ri, kalau bisa.”
Jawaban yang sama sekali tidak diharapkan Ari.
“Gue pengin membenahi diri, pengin nyari apa yang tepat buat gue, pengin ngerasain gimana hidup dari diri gue sendiri, gimana rasanya benar-benar sendiri ngambil keputusan.”
Ari menatap Virgo lekat, menyimak setiap kata yang keluar dari mulutnya. Virgo menjelaskan semua yang ada di pikirannya.
“…and about us, sejujurnya gue bingung.”
“What about us?”
“Ya, kita masih punya expiration date itu, Ri. Yang udah kita sepakati. Nggak nyangka ya, expiration date kita itu benar-benar menjadi tanggal terakhir kita bareng.”
Hati Ari mencelos mendengarnya. Lagi-lagi ada yang membuat mereka terbentur. Satu lagi alasan Ari dan Virgo tidak bisa bersama.
“Gue harap kita bisa benar-benar selesai di tanggal itu. Gue perlu fokus untuk memulai hidup baru, dan kayaknya…” Virgo menghentikan kalimatnya.
“Apa?”
“Gue nggak akan hubungin lo dulu untuk beberapa lama saat gue di sana. Gue benar-benar butuh sendiri, Ri.”
Virgo menatap Ari, menunggu respon darinya. Tetapi Ari hanya menunduk, berusaha mendengar dan mencerna semua perkataan Virgo.
“Bisa nggak, kita nggak usah ngomongin yang nanti-nanti?” kata Ari dengan suara lirih dan tertahan.
Virgo bisa merasakan kepahitan dari suara Ari. Maka ia pun memberi kesempatan Ari bicara lagi.
“Bisa nggak, kita make the most of the time untuk sekarang ini? Untuk dua bulan terakhir ini?” Ari baru berani mengangkat kepalanya. Matanya sudah memerah menahan tangis. Virgo benar-benar tidak tega. Sekali lagi ia harus membuat Ari sedih.
Virgo menelan ludah, juga menahan kesedihan yang tak kalah besar. “Gue setuju.”
“Nggak harus pacaran, nggak harus komitmen apa-apa, just promise me we will make the most of the time,” Ari mempertegas, yang dijawab dengan anggukan Virgo.
Lalu mereka saling tatap, selama beberapa detik, hingga keduanya saling mendekat, Ari memejamkan mata hingga airmatanya keluar. Saat ia membuka mata, bibir Virgo sudah mendekat maju dan meraih bibirnya. Ari membalas ciuman itu. Ada rasa sedih bercampur kehilangan, namun Ari ingin momen itu pantas dikenang. Mereka berciuman lama. Ari melingkarkan lengannya ke tengkuk Virgo, dan Virgo membelai rambutnya hangat. Ari membiarkan airmatanya mengalir, dan ia juga bisa merasakan Virgo terisak dalam diam.
Keduanya akan sangat saling kehilangan.
 ^^^
 JANUARI 2012.
Keberangkatan Virgo diundur hingga akhir bulan. Seperti janji mereka berdua, mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bersama. Mereka tak ingin memikirkan apa pun yang membuat sedih. Banyak waktu yang mereka habiskan bersama. Tahun baru kemarin, mereka pergi ke sebuah vila di Puncak bersama Tira, Manda, dan Kanya. Sahabat-sahabat Ari itu langsung histeris kesenangan saat Ari memberi tahu mereka bahwa ia akan mengajak Virgo.
Selama di Puncak, tangan mereka selalu saling bertaut. Perhatian-perhatian kecil seperti saat Virgo membawakan segelas air ketika Ari sedang sibuk memasak, atau saat Ari mengelap wajah Virgo saat ia berkeringat karena berdiri lama di depan griller saat barbeque, tak luput dari pandangan siapa pun. Pada malam pergantian tahun pun, mereka saling berangkulan dan mendaratkan ciuman pertama di bibir satu sama lain.
Soal Ares, Ari tak ingin ambil pusing. Ares tahu perihal kedekatannya dengan Virgo, dan tak pernah sedikit pun protes atau komplain. Mungkin Ares sadar, apa gunanya memprotes jika dirinya sendiri belum memberi status apa-apa pada Ari? Ari pun tidak mengambil sikap apa-apa saat ini karena belum mengerti motif Ares terhadap dirinya.
“Tahun baru jadi ke Puncak?” tanya Ares suatu sore.
“Jadi. Emang lo nggak lihat foto gue di Twitter dan Facebook?”
“Lihat, kok. Sama Virgo, ‘kan?”
“Nggak cuma Virgo, kok. Sama temen-temen gue dan pacar-pacarnya.”
“Semua temen lo sama pacarnya? Cuma lo doang yang nggak?”
Kening Ari mengerut, “Kan gue nggak punya pacar.”
“Kalau gitu, kenapa yang diajak Virgo? Kenapa bukan…”
“Kenapa bukan lo?” tembak Ari. Ares sampai menutup kembali mulutnya yang sudah terbuka. “Antares, are you jealous?”
“Biar apa jealous?”
“Ya nggak tahu.”
“Lo bebas kok, jalan sama siapa aja. ‘Kan katanya nggak punya pacar.”
Ari mencubit pipi Ares gemas. Ia tahu sekali pria ganteng ini cemburu. “Makanya, jadi cowok tuh yang jelas apa maunya!” ledek Ari.
“Sialan. Emangnya Virgo lo itu jelas maunya apa?”
Dan sebuah lemparan bantal mendarat di wajah Ares.
 ^^^
 Beberapa hari setelahnya.
“Maksud lo apa, sih?”
“Ini udah jam berapa, Ri?”
“Jam satu. Terus kenapa?”
“Ya pulanglah. Lo ‘kan udah keluar dari pagi.”
“Ya terus kenapaaaa?”
“I’m concerned about your health. Minggu lalu lo demam lho, Ri.”
“Ares, lo kayak nggak pernah lihat gue pulang pagi, deh. Is this what it’s all about?”
Ares tidak menjawab. Ari sudah menduga. Ares hanya cemburu karena kali ini ia pergi dengan Virgo lagi.
“Terserah, deh. Besok gue telepon lagi.”
KLIK. Ares menutup pembicaraan, meninggalkan Ari yang semakin bingung dan risih.
“Siapa, Ri?” tiba-tiba Virgo datang, menyentuh bahu Ari.
“Nyokap. Biasalah, nyuruh balik.”
“Oh, mau gue antar balik?”
“Nggak, nanti aja. Nggak enak sama teman-teman lo. Ini kan party-nya salah satu dari mereka.”
“You sure?”
Ari mengangguk. “Enjoy, Go. Gue ke bar aja.”
“Oke. Kalau ada apa-apa, samperin gue aja, ya,” ujar Virgo sebelum mengelus rambut Ari lalu mengecup dahinya, lalu pergi ke arah teman-temannya lagi.
Di titik ini, Ari mulai merasa ada yang harus diselesaikan antara dirinya dan Ares.
 TO BE CONTINUED
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Pulangnya Matahari - part 5
Ari membuka satu demi satu map karton di hadapannya, memastikan semua isinya sudah benar. Ia memisahkan beberapa yang masih perlu direvisi. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, satu jam berlalu sejak jam pulang kantor. Tetapi dirinya masih harus berkutat dengan dokumen yang perlu dilengkapi menjelang audit besar-besaran. Ia bersama rekan setimnya harus menyiapkan semua yang diperlukan kalau tidak ingin kena audit dan bermasalah.
Sesaat kemudian, terdengar suara pintu lobi kantor dibuka dan derap langkah seseorang.
“Permisi,” sapa orang itu.
“Ri, tolong lihatin siapa yang datang,” kata atasan Ari yang ikut ambil bagian merapikan dokumen malam itu.
“Iya, Mbak,” Ari bangun dan menghampiri siapa yang datang. Nampak seorang pria berseragam perusahaan jasa pengiriman barang membawa satu buket bunga dan satu buah tumbler logam.
“Malam, Mbak,” sapa si petugas pengantar.
“Cari siapa ya, Pak?”
“Atas nama…” si petugas membaca sesuatu dari ponselnya. “Matahari... ada Mbak?”
“Oh, saya sendiri, Pak. Ada apa, ya?”
“Mbak Matahari, ini ada kiriman.”
Si petugas pengantar tersebut memberikan buket bunga dan tumbler logam di tangannya. Ari menerimanya dengan bingung.
“Dari siapa ya, Pak?”
“Ini dari… Mas Aria Permana.”
Antares, batin Ari sambil tersenyum. “Makasih ya, Pak. Oh iya…”Ari mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah dari kantongnya.
“Terima kasih, Mbak,” jawab si petugas pengantar sebelum beranjak.
Ari memandang buket bunga dan tumbler kosong di tangannya. Ia lalu bergerak ke mejanya untuk meletakkan benda-benda pemberian Ares itu. Setelah meletakkan buket bunganya, Ari membuka tutup tumbler barunya. Ada secarik kertas dengan tulisan tangan Ares di sana.
“Air putih. Lima kali isi ulang di wadah ini.”
Ari tersenyum makin lebar. Ada-ada saja, pikirnya.
Saat sedang asyik menatapi rangkaian bunga kiriman Ares, Ari mendengar suara pintu lobi dibuka lagi. Wah, jangan-jangan ada kiriman susulan.
Ari langsung berdiri dan beranjak ke lobi. Tetapi bukan petugas pengantar barang yang tadi yang berdiri di sana. Senyum Ari memudar. Badannya membeku, dan detik pun terasa seperti berhenti.
“Elo?”
 ^^^
 Dua cangkir kopi hitam yang awalnya terhidang dengan asap mengepul, kini sudah mulai mendingin karena keheningan. Tidak ada yang mau membuka suara. Ari ingin marah, tapi ada sesuatu dari dalam dirinya yang bertanya sendiri, marah untuk apa? Apa pemicunya? Dan yang paling penting, apakah Virgo bisa menerima dirinya marah?
“Kayaknya gue nggak mesti nanya ya, tentang hilang-timbulnya elo ini,” Ari membuka pembicaraan, mengangkat cangkir yang isinya mulai dingin.
“Hilang-timbul gimana sih, Ri? Gue mestinya ngapain?”
“I don’t know. You think.”
“Didn’t we have that talk?”
“Tapi kita belum sepakat mau gimana ngejalaninnya,” Ari berhasil memilih kata-kata yang cukup ‘aman’ dan diplomatis untuk mewakili perasaannya, alih-alih “Ya lo tetap hubungi gue kek, jangan main ngilang gitu aja, jangan tau-tau muncul dan bikin gue…”
“Gue nggak kepikiran bahwa itu harus disepakatin.”
Ari menghela napas panjang, berusaha menahan emosi mendengar jawaban datar dari Virgo.
“I thought we’re cool. Soal ngabarin-nggak ngabarin gue rasa bukan our thing.”
“Ya, memang. Dan kita punya tenggat waktu. Jadi, buat apa pusing-pusing mikirin apa yang harus dijalanin menjelang tenggat waktu itu?” lanjut Ari, sarkastik, sambil meminum kopinya. Ditenggak habis. “Go, kita udah bahas ini sih. Jadi kalau kita cuma duduk-duduk buat ngebahas hal yang sama lagi, kayaknya waktu gue nggak banyak.”
Virgo menatap gadis yang mulai membereskan barang-barangnya itu.
“Bunga yang di meja lo dari siapa, Ri?”
Ari menghentikan kegiatannya. Kenapa mendadak Virgo ingin tahu soal kehidupan pribadinya?
“Someone thoughtful.”
Virgo tersenyum, entah apa artinya.
“Gue mau pulang dulu ya, Go.”
“Ari, gue punya jawaban buat pertanyaan terakhir gue,” Virgo berdiri bersamaan dengan bangkitnya Ari dari duduk.
Ari menghela napas. Mau bikin apa lagi sih Virgo ini?
Ari tidak duduk lagi, ia hanya menghadapkan badannya ke arah Virgo sambil melipat tangan. “Let’s have it.”
“Gue akui gue memang menghindari lo, Ri. Karena gue kemakan pertanyaan gue sendiri.”
“Ck! Pertanyaan yang mana, sih?”
“This whole expiration date thing is starting to kill me, Ri. Gue kira gue akan santai ngelewatinnya, seperti elo. Tapi gue kalah, Ri. Gue mulai ngerasa kehilangan lo.”
“Sumpah semua yang keluar dari mulut lo udah nggak mempan lagi buat gue. Kalau aja lo bisa yakinin gue dari dulu, gue mungkin nggak ngeluarin ide konyol soal expiration date itu.”
Virgo tidak menjawab lagi. Ia sudah melihat gurat kesal dan marah di wajah Ari. Sudah bukan posisinya lagi untuk berargumen.
“Lo jadian sama yang ngasih bunga itu?”
“Nggak. Kenapa mendadak interested?”
“Kalau gitu boleh kasih gue kesempatan?”
Ari refleks tertawa. Menertawakan pertanyaan Virgo dan menertawakan semesta yang seperti sedang mengerjainya.
“Sorry, Go. Asli ini semua aneh banget. Gue kayak dikerjain, tau nggak?”
Virgo hanya menunjukkan ekspresi datar melihat reaksi Ari, namun agak lega saat Ari akhirnya duduk lagi.
“Kesempatan seperti apa sih, Go?”
“Untuk menjalani sesuatu yang benar-benar real sama lo. Nggak yang asal-asalan kayak gini.”
“Perasaan, lo bilang lo nggak dalam posisi yang tepat buat berhubungan sama siapapun.”
“Dengan lo beda, Ri. Gue merasa udah terlalu lama nyia-nyiain lo. Waktu gue melihat bunga itu di meja lo, gue kira gue terlambat. Tapi gue putusin untuk ngikutin insting gue. Gue merasa ada harapan ketika lo bilang lo nggak jadian.”
“Gue nyaman sama orang itu. Dia datang di saat yang tepat. Soal bagaimana hubungan gue dan dia selanjutnya, ya kita lihat nanti.”
Virgo mengangguk pelan namun mantap, “I understand.”
“Lucu ya, Go, hari gini kita masih aja kebentur situasi.”
Virgo tersenyum getir. “Paling nggak, izinin gue buat tetap hang out sama lo ya, Ri.”
“Oh, jelas. Lo kan bukan orang lain buat gue, Go.”
Lagi-lagi, Virgo hanya bisa tersenyum getir.
 ^^^
 Ares hanya bisa mengerutkan kening melihat wajah Ari yang nampak lelah. Malam itu, dua jam setelah pertemuan dengan Virgo, mendadak Ari butuh teman bicara. Yang terpikir di benaknya hanya Ares. Maka ia menghubungi Ares dan meminta izin untuk mampir sebentar ke apartemennya.
“Makasih buat bunga dan tumbler-nya,” kata Ari sambil mengempaskan diri ke sofa ruang tengah.
“Sama-sama. Jangan lupa rutin minum air putih, ya,” kata Ares yang sedang membuatkan teh manis panas untuk Ari. Setelah selesai, dibawanya segelas besar teh manis itu ke ruang tengah.
“Thanks, Res,” Ari menyeruput tehnya sedikit-sedikit.
“Ada apa, Ri? You look very tired.”
“Capek ama situasi norak yang nggak kelar-kelar. Orang kok bisa berubah-ubah seenak hati, mainin kondisi orang, manipulatif, dalam waktu yang bersamaan,” Ari mulai meracau.
“Seseorang berzodiak Virgo itu, ya?” tembak Ares.
Ari terpelak. “Kok tahu?”
Ares mengangkat bahu, “Wild guess. Ya udah, cerita dong. Lo nggak tiba-tiba minta datang ke sini tanpa alasan, ‘kan?”
Ari menghela napas panjang, lalu menghadapkan duduknya ke arah Ares. Ia mulai bercerita tentang kondisinya dengan Virgo, semua urutan kejadian, kesepakatan tenggat waktu, hingga Virgo yang tiba-tiba meminta kesempatan padanya hari ini, setelah bertahun-tahun.
“Terus keputusan lo gimana, Ri?”
“Gue nggak mau semudah itu lah, Res. Gue nggak bisa jamin apa-apa kalau soal Virgo.”
Ares mengacak rambut Ari pelan, “Smart girl.”
Ari cuma tersenyum sambil memikirkan sesuatu.
“Res,” panggil Ari.
“Hm?”
“Lo nggak apa-apa gue cerita soal Virgo?”
Ares tersenyum, akhirnya nanya juga dia, batinnya. “Sejauh ini belum kenapa-kenapa kok, Ri. Masih nggak apa-apa. Gue nggak bisa jamin apa-apa kalau soal elo.”
Ari gemas, dan memukul pelan wajah Ares dengan bantal.
 ^^^
 Sabtu pagi.
Ari sudah bersiap-siap pergi dengan Ares saat ia menerima SMS dari Virgo, “Suka banget sama buku yang lo kasih buat ulang tahun gue. That’s very thoughtful of you.”
Ari tersenyum dan mengirim balasan, “Baru dibaca? Gue lihat buku itu dan langsung ingat elo. Semoga bermanfaat :)”
“Hehehe.. iya baru sempat. Kerjaan menggila soalnya. Oh ya, buat ngucapin terima kasih, boleh nggak gue ajak lo jalan besok Minggu? Gue yang traktir.”
“Boleh. Kabarin aja. See you tomorrow.”
Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar. Ares sudah datang menjemput Ari ke rumah. Pagi ini mereka berencana jalan-jalan ke pasar apung, lalu mencoba berbagai kuliner di sana. Ares selalu punya ide yang tidak umum untuk menghabiskan waktu bersama Ari. Ari yang juga suka dengan hal-hal baru selalu excited dengan rencana-rencana Ares yang unpredictable. Ares bukan orang yang membosankan. Ares pun memperlakukannya dengan baik. Bahkan di saat bersama Ares pun, Ari sering bermain dengan pikirannya. Membanding-bandingkan Ares dengan Virgo, bahkan dengan Algi.
Pasar apung yang dikunjungi Ares dan Ari terletak di pinggir kota. Di depannya ada gapura besar yang terhubung dengan dermaga panjang. Di sisi kanan dan kiri dermaga itu terdapat perahu-perahu pedagang. Sebagian besar menjual sayur dan buah, namun ada pula yang menjual alas kaki dan souvenir. Di ujung dermaga ada sebuah bangunan yang dijadikan restoran. Ari dan Ares mulai berkeliling dan melihat-lihat apa yang ingin mereka beli.
“Res, bikin salad buah, yuk!” kata Ari semangat.
“Ayo. Lo pilih aja buahnya,” jawab Ares yang disambut girang oleh Ari. Ari kemudian turun ke perahu penjual buah-buahan segar. Ares tertawa kecil melihat Ari sibuk memilih semangka, melon, stroberi, dan apel. Ari nampak semangat.
Setelah membayar buah, Ari lalu dibantu Ares naik lagi ke dermaga.
“Lo kayak belanja buat sekampung, tau nggak?”
“Jangan salah. Gue kuat lho, ngabisinnya. Segar-segar banget, Res, buahnya. Thanks ya, udah ajak gue ke sini.”
“Sama-sama,” jawab Ares dengan tatapannya yang teduh.
Setelah dua jam berkeliling, melihat-lihat, dan makan di restoran pasar apung, mereka kembali ke apartemen Ares.
“Lo mau gue buatin saladnya sekarang?” tanya Ari sambil meletakkan dua kantong plastik besar di atas meja dapur.
“Boleh, kalau lo nggak capek.”
“Hihi… nggak kok. Gue nggak sabar nih motong-motong buah segar ini,” Ari membuka laci perabotan dan mengambil pisau buah besar.
Setelah itu, Ari mulai beraksi. Ia mulai mencuci buah stroberi, membelah semangka dan melon, serta memotong dadu apel. Ari bekerja dengan cekatan, namun tetap hati-hati. Ia berkonsentrasi untuk memotong buah dengan rapi, sambil sesekali bertanya pada Ares, “Res, lo ada mayones?”, “Ini keju yang di kulkas boleh gue parut nggak?”, “Wadahnya enakan pakai yang mana?”, “Lo kenal sama tetangga lo nggak? Kita share aja ya sedikit buat mereka,” yang selalu dijawab dengan sabar oleh Ares. Sebenarnya Ares waswas juga melihat Ari bekerja cepat dengan pisau, sambil bicara pula. Tetapi matanya tak bisa lepas dari perempuan itu. Bagi Ares, perempuan terlihat lebih cantik kalau sedang di dapur.
Perlahan Ares bangun dari duduknya, menghampiri Ari yang mulai memindahkan buah ke dalam wadah. Ares mengambil sendok besar dan ikut memindahkan buah-buah itu. Saat Ari menoleh ke arahnya, Ares tersenyum.
Yang Ares tidak tahu, senyumannya membuyarkan konsentrasi Ari. Ari menatap pria itu selama beberapa detik, tetapi kemudian ia seperti tersadar dan menjadi canggung.
“Emmm… ini, yang mana yang mau kita kasih tetangga?” Ari pura-pura sibuk, mengalihkan konsentrasinya.
“Yang mana aja,” jawab Ares dengan suara pelan namun dalam.
Jantung Ari berdegup lebih cepat. Situasi ini membuatnya salah tingkah. Ekor matanya menangkap badan Ares yang bergerak maju ke arahnya. Ia mulai semakin gelisah saat tangan Ares meraihnya, membuat tubuh mereka kini berhadapan. Tangan kanan Ares mulai membelai rambut dan pipinya, kemudian mengangkat dagunya.
Entah apa yang mendorongnya, tetapi Ari justru memalingkan kepala dengan pelan, membuat Ares melepaskan tangannya. Ares pun ikut salah tingkah.
“Ngg… sori, Ri. Gue…” Ares terbata, bingung melanjutkan kalimatnya. Ari butuh waktu untuk mencerna kejadian barusan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa dirinya memasang batas antara ia dan Ares.
“Nggak apa-apa, Res. I just thought maybe we could go slower.”
Ares mengangguk, tersenyum maklum. Sekali lagi dibelainya rambut Ari.
“Makan, yuk,” ajak Ari, memberikan sebuah piring melamin pada Ares. Ares menerima piring itu, lalu mereka berdua beranjak ke ruang teve.
Selama menonton televisi sambil menikmati salad buah, pikiran Ari tak bisa lepas dari kejadian tadi. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang ia rasakan saat ia bersama Ares. Sesuatu yang tidak terdefinisikan, namun tak ingin ia lewatkan begitu saja.
Ari merasa nyaman.
Tetapi entah apa yang menghalangi dirinya. Ia sendiri pun bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Ares begitu ingin dekat dengannya. Sudah jelas bahwa ia masih sering cerita tentang Virgo, tentang pria lain. Kenapa Ares tidak mundur?
Di sisi lain Ari tidak ingin Ares mundur begitu saja. Begitu pun dengan Virgo yang kini sedang mulai menaruh hati padanya. Sekarang Ari merasa seperti perempuan murahan yang menerima afeksi dari siapa saja dalam waktu yang bersamaan.
Atau jangan-jangan ini semua ujian buat gue, di mana gue harus memilih salah satu pada akhirnya?
Pukul sepuluh malam, Ares mengantar Ari pulang. Sesampainya di depan rumah Ari, Ares merasa perlu bicara.
“Ri, soal yang tadi, gue minta maaf, ya.”
“It’s okay. Gue hanya berharap lo nggak tersinggung.”
“Nggak, nggak sama sekali.”
“Ya udah, gue masuk dulu ya, Res. Bye…” Ari membuka sabuk pengaman lalu hendak membuka pintu mobil.
“Ngg… Ri, gue nggak bikin lo bingung, ‘kan?”
Pertanyaan Ares barusan mengurungkan niat Ari. Ares ini terlalu baik, atau memang polos? Bukankah seharusnya Ares yang bingung? Ares yang tahu pikiran Ari terbelah antara dirinya dan Virgo, lalu kenapa ia merasa membuat Ari bingung?
“Kalau lo, bingung nggak Res, sama semuanya?”
Ares hanya tertawa getir, “Soal lo dengan Virgo? Gue santai, Ri. Itu orang juga nggak jelas ‘kan maunya apa?”
Kalimat Ares agak menohok Ari, namun ia membenarkannya dalam hati.
“Ya udah, lo masuk aja. Nanti masuk angin. Jangan lupa air putihnya.”
Itu, itu yang tidak Ari dapatkan dari Virgo. Hal kecil, simpel, namun berarti, membuat Ari merasa diperhatikan. Membuat Ari merasa berharga karena ada yang memikirkan kesehatannya. Tidak seperti Virgo yang cuek dan dengan kehadirannya saja sudah menjadi charger untuk Ari. Virgo tak perlu berusaha apa-apa agar Ari merasa nyaman dengannya.
Tapi Ares berbeda. Ari merasa Ares menunjukkan dirinya dengan semua perhatian yang Ari butuh. Tidak didapat dari Virgo, apalagi dari Algi.
Mengingat nama Algi membuat hati dan kepala Ari panas lagi. Dengan semua yang Algi lakukan terhadapnya, membuangnya begitu saja demi orang lain, dan tiba-tiba muncul dengan pesan yang membuat Ari kesal setengah mati, kenapa masih ia ingat?
Tiba-tiba Ari berbalik badan, menoleh ke arah Ares yang masih menatapnya. Ia lalu meraih wajah Ares dengan kedua tangannya. Ia memejamkan mata, dan menyentuh lembut bibir Ares dengan bibirnya.
TO BE CONTINUED
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Pulangnya Matahari - part 4
Toko buku adalah salah satu tempat favorit Ari. Baginya, berkeliling di toko buku, baik itu setaraf Periplus atau Kinokuniya, maupun Gramedia atau Toko Gunung Agung, menyenangkan. Tetapi favoritnya adalah toko buku bekas yang menjual buku-buku langka hingga yang benar-benar lapuk. Ia sering berbincang dengan penjaga toko, dan akan lebih lama menghabiskan waktu di sana apabila penjaganya mengerti tentang buku dan menceritakan resensi beberapa buku yang menarik. Kalau di toko buku besar, mana bisa? Paling-paling hanya bisa berpendapat, “Ini best seller lho, Mbak,” atau membuat kagum dengan hafal letak buku sampai ke nomor lokernya.
Siang itu, Ari memilih menghabiskan waktu di Gramedia Pondok Indah Mall. Kalau tanggal merah begini, toko buku ramai pengunjung. Apalagi mal-nya. Tetapi bagaimana pun ini lebih baik daripada hanya diam di rumah, pikir Ari.
Ari mengedarkan pandangan ke buku demi buku di rak. Ia suka membaca apa pun. Tidak ada kategori buku favorit. Mana yang pada saat itu menarik minatnya, itulah yang akan ia beli dan baca. Saat itu, salah satu buku menarik perhatiannya. “Astro: logi atau nomi?”, maka diambilnya buku itu dan ia pun membaca bagian belakangnya.
“Silakan Mbak, ada yang bisa dibantu?” seorang pegawai toko menghampiri Ari.
“Oh, ini lagi lihat-lihat aja, Mbak.”
“Buku itu best seller lho, Mbak. Di depan ada, kalau Mbak mau lihat yang sudah dibuka plastiknya.”
“Oh ya?”
“Iya.”
“Emangnya astrologi sama astronomi bedanya apa, Mbak?” tanya Ari iseng. Ia tahu si pegawai tidak bisa menjawab.
“Wah… kalau itu saya kurang paham, Mbak,” jawab si pegawai toko sambil meringis malu.
“Astronomi itu scientific study, sedangkan astrologi lebih kepada sistem kepercayaan yang dirumuskan manusia.”
Sebuah suara sedikit mengagetkan Ari dan si pegawai toko. Mereka berdua langsung menoleh ke arah sumber suara. Sesosok laki-laki berkemeja putih panjang dengan lengan digulung, bercelana jins abu-abu, dan sepatu Converse warna senada berdiri di belakang si pegawai toko sambil tersenyum.
“Elo…”Ari nampak mengenali orang itu. “Ares kan? Ares SMA Cahaya?”
“Hai, Matahari,” sapa pria bernama Ares itu.
Si pegawai toko meninggalkan mereka berdua dan melanjutkan pekerjaannya. Ari kemudian menghampiri Ares dan menyalami tangannya. “Apa kabar lo?”
“Baik. Lo sama siapa?”
“Sendiri. Malas di rumah. Lo?”
“Sama nyokap, tapi dia lagi di salon. Males banget nunggunya.”
“Oh gituuu… kerja di mana sekarang?”
“Bank Wahana, udah setahun lah kira-kira. Lo udah selesai kuliah?”
“Udah, Alhamdulillah, sekarang gue kerja juga di Fraser Chemicals, ikutan jadi MT.”
“Wow, that’s great. Eh, minta nomor HP boleh? Kali-kali bisa catch up kapan-kapan.”
“Boleh.”
Setelah bertukar nomor, mereka pun berpisah dengan agenda pertemuan di akhir pekan. Antares Ariapermana, kakak kelas Ari sewaktu SMA. Dulu, Ares termasuk kakak kelas yang diidolakan. Tipikal siswa populer yang tampan dan banyak teman, tapi sayangnya tidak terlalu banyak prestasi. Ares bukan tipe cowok yang akan dilirik Ari. Terlalu banyak gaya dan suka tebar pesona, berisik, suka mempermalukan orang, apalagi anak-anak ‘cupu’ dan ‘kutu buku’.
Tetapi Ares yang Ari lihat barusan sudah jauh berbeda. Pembawaannya lebih berwibawa dan tegas. Ares nampak lebih pendiam dan gaya bicaranya tidak snob seperti dulu. Bahkan, Ares tidak menyebut Ari dengan “Lo ari-ari bayi yang kalo lahir dibuang ya?” seperti dulu Ares sempat menyebutnya di depan teman-temannya. Ia memanggil Ari dengan nama lengkap. Matahari.
Dan perbedaan astrologi dan astronomi, bagaimana seorang Ares bisa tahu itu?
 ^^^
 “Yes, I am interested in both astronomy and astrology. No, I am not considering myself as an expert or an amateur astronomer as well. Yes, I believe in characteristics based on horoscope. And yes, I read a lot,” papar Ares saat dirinya dan Ari bertemu lagi. Sebuah coffee shop menjadi pilihan mereka.
“Wow… nggak nyangka. Jadi apa yang perlu gue ketahui tentang kejadian dan fenomena langit?”
“Keburu anak lo masuk SD kalau gue jelasin semuanya.”
Ari tertawa, merasa salah bertanya. Tapi dia memang tidak tahu apa-apa tentang astronomi, astrologi, atau apalah. Ari hanya merasa itu menarik.
Dan orang yang sedang memaparkan itu padanya, sangat menarik. Tanpa Ari sadari, dirinya menatap Ares lekat, menanti setiap barisan kata yang akan keluar dari mulutnya.
Ares beda banget.
Dulu Ares hobi pakai gel rambut sehingga rambutnya bisa berdiri kokoh seperti menara BTS dari pagi sampai sore. Celananya dipakai di bawah pinggang hingga kalau dia bungkuk sedikit akan terlihat celana boxer-nya. Ari paling malas dengan pemandangan itu. Gayanya tengil, ketawanya berisik, kalau ditegur guru hanya cengar-cengir. Tetapi Ares yang sekarang berkacamata, dengan frame kotak hitam tebal, nampak apik menghias wajahnya yang putih dan bersih, terlalu bersih untuk ukuran laki-laki. Rambutnya pendek dan disisir rapi, dengan sedikit pomade, bukan gel pembentuk menara seperti dulu.
Lalu Ares berbicara banyak tentang sistem konstelasi, kesatuan bintang-bintang yang menyerupai karakter mitologi, objek, atau hewan, sejarahnya, interpretasi di berbagai belahan dunia. Ares juga
“Kenapa?” Ares rupanya menyadari perilaku Ari.
“Nggak ada apa-apa. I’m still amazed with you now.”
“Jadi dulu nggak?”
“Ih, lo tuh dulu nggak banget! Annoying, tukang tebar pesona, bully, nggak paham deh temen-temen gue kalau nyebut nama lo tuh dreamy banget,” jawab Ari santai.
“Oke, dulu gue begitu. Kalau sekarang?” Ares menaikkan sebelah alisnya.
“Nggak usah mancing, deh.”
“Kok mancing, sih? You’re the one who said you’re amazed with me.”
“Yaaa kalau dibanding dulu, jelaslah.”
“Ya udah, sekarang gue mau dengar tentang lo nih. Dari tadi dengerin bintang-bintangan, ngebul otak lo. Gantian dong lo cerita.”
“Percayalah, hidup atau topik pembicaraan gue nggak ada yang menarik.”
“I know, sih. Kalau hidup lo menarik, mungkin lo nggak akan pacaran sama cowok paling nggak asyik satu sekolah. Siapa namanya tuh? Mmm…”
“Gue siram ya, Res!”
“Hahahahaha… but seriously, lo masih pacaran sama dia?”
Ari menggeleng. “Udah lama nggak. Ah, males ah bahas-bahas dia. Lo ngapain sih ngungkit-ngungkit yang nggak penting?”
Ares hanya tersenyum.
“What?”
“You’re a Cancer for sure.”
“Anjrit, kok tahu?”
“Moodswing, self-barrier, sensitive, sulit melupakan rasa kecewa.”
“Ouch, you’re creepy!” Ari melempar gulungan tisu ke arah Ares. Ares hanya tertawa geli.
“Sorry, I cannot help it. You’re showing me how predictable you are.”
“Bohong, lo pasti udah tahu tanggal lahir gue, ‘kan? Lo udah cari tahu tentang gue di media sosial, ‘kan? Gue pasang tanggal lahir lho, di Facebook.”
“Memang, gue udah lihat kok. Tapi barusan lo nunjukin ke-Cancer-an lo banget.”
“Lo beneran bisa nebak karakter orang dari zodiaknya, ya?”
“Bukan nebak karakter. Tapi apa yang gue baca dan apa yang gue temui biasanya sama.”
“Ooo…”
Lalu mereka berdua kembali menikmati hirupan kopi masing-masing. Sampai akhirnya, Ari bertanya lagi, “Res, kalau Virgo itu kayak gimana?”
Ares menyeruput Piccolo-nya, lalu menjawab pertanyaan Ari. “Agak konservatif, tapi devoted soal cinta. Honest about how they feel.”
Ari tertegun mendengar penjelasan Ares. Sesaat kemudian ia baru sadar, “Ngapain coba gue nanya-nanya?”
“And I suppose this Virgo person relates to you, don’t they?”
Ari mengangkat bahu. “I’m being a Cancer again now,” jawabnya santai, sekali lagi menyeruput kopinya.
“Orang Virgo itu rasa ingin tahunya besar. Sekali dia menetapkan hatinya sama kamu, dia akan terus cari tahu tentang kamu. Sekali dia jatuh cinta sama kamu, dia akan berusaha melindungi kamu.”
Yeah, right, gumam Ari dalam hati. Dari penjelasan Ares, seolah orang berzodiak Virgo itu adalah pencinta yang sempurna. Lucu, jika sosok berzodiak Virgo yang sangat Ari kenal itu sangat berbeda dengan yang dijelaskan Ares.
“Gue nggak percaya deh sama zodiak-zodiakan itu,” timpal Ari.
“Terserah kamu, Cancer.”
 ^^^
 Dua hari setelahnya, Ari mampir ke apartemen Ares. Entah bagaimana Ares bisa meyakinkan Ari untuk main ke sana sepulang kerja, dan untungnya saat itu Ari tidak lembur. Setelah membeli dua kaleng minuman dan seloyang pizza, Ari berangkat.
Ares menjemput Ari di lobby apartemen karena tidak bisa masuk tanpa pass card. Malam itu Ares terlihat agak lusuh mengenakan kaos oblong putih, celana pendek rumahan, dan rambutnya agak berantakan.
“Lo habis lari dari kenyataan?” ledek Ari.
“Nanti juga tahu. Naik yuk.”
Lalu Ari dan Ares naik lift ke lantai 16. Saat Ares membuka pintu masuk unitnya, Ari bisa mencium aroma masakan yang lezat. Perpaduan aroma bawang putih, sedikit oregano, dan rempah.
“Oh my God, lo masak?” tanya Ari takjub.
“Hahaha… sort of. Baru aja kelar pas lo datang tadi. Tapi tenang aja, pizza lo tetap gue makan kok.”
Mata Ari memandang sekeliling. Apartemen Ares tidak terlalu mewah. Jauh dari kata mewah. Tidak terlalu rapi (Ari melihat ada bungkus makanan di atas meja depan teve, dan handuk yang disampirkan begitu saja di sofa), tetapi bersih.
“Tiap hari lo masak sendiri pulang kantor?”
“Nggaklah. Rajin amat gue.”
“Terus ini dalam rangka apa?”
“Mmm… hehehe…” Ares meringis. “Sebenernya ini ulang tahun gue, Ri.”
Ari terkesiap. “Ya ampuuun… gue nggak tahu. Aduh, nggak bawa kado lagi gue. Happy birthday ya, Reeees!” Ari refleks memeluk Ares untuk mengucapkan selamat. Ia harus berjinjit sedikit karena Ares jauh lebih tinggi darinya.
“Hahahaha… it’s okay. Lo mau sempatin mampir aja gue senang, kok. Gue malas selebrasi rame-rame.”
“Well you should sit down, then. I’ll prepare the rest,” Ari menarik tangan Ares dan mendudukkannya di sofa.
“Emangnya lo tahu tempat piring dan kawan-kawan ada di mana?”
“Gue bisa cari. Udah duduk aja sana.”
Ares mengalah. Ia membiarkan Ari mengeksplorasi dapurnya. Ares menyalakan teve namun pandangannya tak lepas dari Ari. Ari terlihat cekatan mengatur letak semuanya. Ia juga tampak hati-hati memindahkan pasta aglio olio dari wajan ke dua piring, menghiasnya dengan taburan parsley, menyusun herb chicken wings di atas piring, menuangkan red wine ke gelas yang entah bagaimana bisa Ari temukan. Kemudian Ari menyusun semua di atas meja makan, termasuk pizza yang ia bawa.
“Voila!” kata Ari bangga sambil merentangkan tangannya. Ares memberi tepuk tangan apresiasi. Kemudian mereka berdua duduk di kursi masing-masing dan mulai makan.
“Oh God!” ujar Ari saat ia mencicipi pasta buatan Ares. “Ini enak banget, lho! Gila, nggak kayak masakan anak kos!”
“Hahahaha… gue ‘kan bukan anak kos.”
“Ya whatever, lah. Selama lo tinggal sendiri dan masih ngebujang, apa bedanya sama anak kos? Tapi gue salutlah. Minder, malah.”
“Hehehe… makasiiih. By the way, chicken wings-nya juga dicobain dong.”
Ari menurut, ia mengambil sepotong. Ia memejamkan mata saat mencicipinya. Saking enaknya. “Ini sih fixed gue akan rutin ke sini kalau selalu disuguhin ini!”
Ares tersenyum, tidak menyangka akan mendapat pujian seperti itu dari Ari. “Boleh, kok.”
“Yeay! You’re the best!”
Senyum Ares makin melebar, “Maksud gue, lo boleh rutin ke sini,” katanya dengan suara pelan namun dalam.
Ari tertegun sejenak, tetapi langsung melanjutkan makannya.
Setelah menyelesaikan makan malam, Ari membereskan piring dan meja. Ares permisi sebentar untuk mandi. Sambil menunggu, Ari membantu cuci piring. Selang beberapa menit kemudian, Ares keluar dari kamarnya, sudah berganti dengan kaos abu-abu dan celana jins pendek. Ia menghampiri Ari yang sedang mengganti channel televisi.
Ari menggeser posisi duduknya saat Ares duduk. Dari samping, Ari bisa mencium aroma sandalwood yang khas dari tubuh Ares. Ini pertama kalinya ia berdekatan dengan Ares, dan entah kenapa dirinya merasa resah. Bukan resah tidak nyaman, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang tergelitik dengan situasi seperti ini.
Lebih parah lagi ketika ia merasakan bahunya bergesekan dengan bahu Ares. Ari merasa jantungnya berdegup lebih kencang dan cepat. Sesuatu yang sebenarnya ingin ia tolak, tetapi entah mengapa terus merasukinya. Mungkin karena itulah Ari memilih untuk tidak bergeser menjauh, tetapi membiarkan yang terjadi.
Ari semakin tidak mampu konsentrasi. Matanya menatap televisi, tetapi pikirannya bermain. Dari ekor matanya ia bisa melihat Ares sedang menoleh ke arah dirinya. Ari tetap berpura-pura fokus dengan acara televisi, tetapi debaran hatinya semakin tidak menentu. Ares mulai melingkarkan tangan dan mendaratkannya di bahu Ari, menariknya sehingga kepala Ari kini bersandar ke dadanya. Ari tidak menolak. Ia pasrah. Aroma tubuh Ares semakin menyengat hidungnya. Ari merasa nyaman sekali. Maka ia juga melingkarkan tangannya ke tubuh Ares. Memasrahkan seluruh dirinya.
Lalu Ares mulai mengelus kepala Ari pelan. Ari memejamkan mata, berusaha menikmati momen. Ares membuatnya merasa terlindungi. Dan Ari tidak mampu menyembunyikan rasa nyamannya saat bibir Ares mulai mendarat di keningnya. Seolah seluruh dunia takkan ada lagi yang bisa menyakitinya, karena ia tahu Ares ada di situ.
Ari mempererat pelukannya di pinggang Ares, seraya bergumam, “Can I stay?”
Ares menjawab dengan lirih, “As long as you wish.”
Saat itulah Ari tidak ingin pergi ke manapun. Ia menikmati setiap momen, merasa dirinya benar-benar diteduhkan. Saat itulah Ari seperti menemukan bagaimana rasanya diberi kenyamanan.
Hingga tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada satu pesan masuk.
 “I really need to see you. Tomorrow. Please?”
 Satu pesan yang berhasil merusak segalanya. Meruntuhkan momen indah yang baru saja Ari ciptakan bersama Ares.
Pesan dari seorang asshole bernama Virgo.
TO BE CONTINUED
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Pulangnya Matahari - part 3
Pulangnya teman yang sedang kuliah di luar negeri adalah alasan terkuat satu geng membuat jadwal berkumpul akhir pekan dengan formasi lengkap. Inilah yang sedang dilakukan Ari bersama teman-teman segengnya. Mereka mengadakan sleepover di apartemen Kanya, salah satu teman segeng Ari, untuk menyambut Tira, teman mereka yang sedang pulang dari Kanada.
Tidak peduli berapa usia mereka sekarang, kalau cewek-cewek sudah berkumpul dalam satu ruangan, mereka akan kembali menjadi gadis remaja. Membicarakan apa saja, tentang siapa saja. Tetapi saat ini pembicaraan terpusat pada topik terhangat: Ari dan Algi.
“Basi, woy!” Ari melempar bantal ke arah Manda, si pelempar topik.
“Apaan? Kemarin si Algi nge-message Ari katanya kangen, masih sayang, ah tahi!” timpal Kanya.
“Eh, nggak penting ya!” sergah Ari.
“Iya deh, nggak banget!” Tira juga angkat bicara. “Emang ceweknya kayak apa sih? Lihat dong!”
“Eh, bentar, bentar. Ada nih di Twitter-nya si Algi. Gue cari dulu,” Manda semangat, dan membuka aplikasi Twitter. Sesaat kemudian, “Nih, lihat. Terserah deh lo pada mau bilang apa.”
“Yaaa… ini sih nggak ada apa-apanya dibanding lo, Ri!” komentar Tira.
“Gila, dempulan banget mukanya! Astaga, gue kalau ketemu dia pake make up atau nggak, pasti gue lupa mukanya deh!”
“Mandaaa… mulut lo, tuh!” Kanya melempar bantal lagi ke Manda.
“Eh tapi bener ‘kan? Leher sama muka beda warna, helloooo….”
Ari cuma tertawa melihat teman-temannya mengomentari pacar Algi. Tetapi entah kenapa, entah datang dari mana, seperti sekelebat saja, tiba-tiba rasa rindu menyerang dirinya. Tawa itu kemudian berubah menjadi sebuah ekspresi tak tertebak, sedikit rasa sesak, dan kehilangan mood untuk melakukan apa-apa.
“Ri, kenapa lo? Kok tahu-tahu diam?” Manda membaca ekspresi Ari.
“Kok gue kangen ya, sama Virgo?”
Mendengar nama itu, ketiga teman Ari saling melihat satu sama lain dan langsung diam. Mereka bertiga tahu persis bagaimana Ari dengan Virgo.
“Kenapa sekarang tahu-tahu lo semua yang diam?”
Manda, Tira, dan Kanya sama-sama salah tingkah. Sampai akhirnya Kanya angkat bicara, “Ri, kita semua nggak tahu ya, sebenarnya lo sama Virgo itu apa, maunya gimana, tujuan kalian apa. Tapi gue kenal Virgo juga udah lama. Kami satu SMA bareng dan dia juga yang ngenalin gue sama lo. Banyak sifat Virgo yang gue tahu. Tapi yang menarik perhatian gue adalah mau dia pacaran sama siapa, kalau ketemu gue pasti yang ditanyain itu elo. ‘Ari apa kabar?’, ‘Ari gimana sama Algi? Lagi putus atau lagi nyambung?’, ‘Si Ari kok gue hubungin nggak bisa?’, sampai terakhir lo berantem sama dia, dia juga nanyanya ke gue. Lo ngeblok semua kontak dia ya, Ri?”
“Ya habis gimana? Gue males lah, disuruh nyelesaiin drama dia sama ceweknya. Lo bayangin aja, tahu-tahu gue disuruh ngomong kalo kita cuma temanlah, suruh bilangin ceweknya jangan marahlah. Apaan sih, norak banget!”
“Iya, Ri, dan dia nyesel. Dia tahu itu salah. Dia berusaha hubungin lo tapi selalu nggak bisa. Kemarin dia juga hubungin gue dan nyariin lo. Kayak orang nggak tenang gitu. Soal si Ayunda, gue rasa Virgo juga panik waktu itu, makanya satu-satunya cara ya minta elo yang jelasin.”
“Ah, nggak tau ah. Aneh.”
“Terserah elo sih, Ri. Tapi kalau menurut gue, coba ngobrol deh sama dia. Bukan soal apa-apa, tapi nggak baik dendam lama-lama. Apa jangan-jangan lo takut ngulang siklus yang sama, kalau lo mencoba berkomunikasi lagi sama dia?”
DEG! Skakmat!
 ^^^
 “Hey, stranger!” sapa Ari begitu memutuskan untuk bertemu dengan Virgo. Virgo yang sedang duduk langsung bangun dan memeluk Ari.
“Rese banget sih pakai ngilang,” ujar Virgo. Ari cuma tersenyum masam dan duduk di sofa di depan Virgo.
“Sibuk kerja,” jawab Ari santai sambil melihat-lihat menu.
“Udah gue pesenin. Banana Cake sama Iced Americano.”
“Kok sok tahu, sih? Emang gue lagi pengen itu?”
“Emang nggak?”
“Ngg… pengin, sih.”
“Ya udah, jangan bilang sok tahu.”
Lalu mereka diam selama beberapa menit. Tak lama, pesanan datang. Ari mengendus aroma banana cake yang baru matang itu. Aroma kue yang baru keluar oven itu sungguh menggugah seleranya. Ia pun mengambil sepotong.
Tiba-tiba, Ari teringat sesuatu. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu. “Happy belated birthday, anak dari orangtua nggak kreatif yang ngasih nama anak sama kayak zodiaknya.”
Virgo tersenyum setengah tertawa mendengar bagaimana Ari mendeskripsikan dirinya. Ia memang baru berulang tahun dua minggu lalu. Ia lega Ari masih ingat dan terpikir untuk memberi kado.
“Thank you, ya, Ri.”
“Semoga suka.”
“Suka kok, pasti suka,” jawab Virgo mantap, tersenyum.
“Yeaay…”kata Ari sambil melanjutkan makannya.
“Ke KL, yuk, akhir bulan!” kata Virgo tiba-tiba.
“Uhuk!” Ari langsung tersedak. Buru-buru diminumnya Iced Americano. “Gila lo! Ngomong nggak dipikir!”
“Beneran. Nonton Brit Festival. Line-up tahun ini seru-seru,” Virgo terdengar santai. “Berangkat Jumat malam, nonton yang Sabtu, Minggu pagi pulang.”
“Gue lihat-lihat dulu, deh. Males pergi sama lo.”
“Rese lo.”
 ^^^
 Kuala Lumpur Convention Centre sore itu sudah dipadati penonton. Brit Festival yang diadakan setahun sekali itu selalu ramai oleh muda-mudi lokal dan internasional. Festival ini tidak hanya menghadirkan musisi Malaysia, tetapi juga musisi Britpop. Tahun ini, yang paling ditunggu-tunggu adalah Ash dan Travis. Ari dan Virgo beruntung karena mereka tampil di hari Sabtu.
Ari akhirnya memutuskan untuk ikut Virgo ke Kuala Lumpur. Selain karena sudah lama tidak berlibur, Ari juga senang pergi ke festival musik. Rasanya seru saja kalau menyaksikan festival musik di luar negeri, melihat penampilan langsung musisi-musisi ternama yang belum tentu datang ke Indonesia. Soal pergi dengan siapa, itu juga penting. Ari malas kalau harus traveling dengan orang yang mudah rewel dan banyak maunya. Tetapi dalam perjalanan ini, Ari dapat teman yang santai dan tidak ribet. Pergi bersama Virgo memudahkan dirinya.
Setelah acara selesai, mereka mampir ke salah satu mini market dekat penginapan untuk membeli camilan. Lalu mereka duduk di salah satu bangku yang disediakan di mini market itu.
“Ngantuk nggak lo?” tanya Virgo.
“Nggak. Kenapa?”
“Ngobrol yuk.”
“Dih, emang ini kita lagi ngapain?”
“Ngobrol beneran. About us.”
Ari nyaris tersedak San Miguel-nya saat Virgo mengucapkan dua kata terakhir.
“Lo tuh keselek mulu sih hobinya!”
“Ya habis elo, kalau mau ngomong yang aneh-aneh tuh jangan pas gue lagi minum kenapa sih?”
“Iya, sori. Gue cuma ngerasa udah waktunya aja kita ngomongin semuanya. Semua tentang gue dan elo.”
Seharusnya saat ini jantung Ari berdegup lebih cepat dan berharap Virgo mengucapkan sesuatu yang ia tunggu-tunggu. Tetapi sekarang dirinya tidak merasakan apa-apa. Malah cenderung, “Okay, bring it on. Apa yang mau lo bilang?”
“Gue sudah putus sama Ayunda. Makanya gue berani ajak lo ke KL berdua aja.”
“Oh… sorry to hear that.”
“No, you’re not.”
“Well yeah, I’m not. Anyway, terus?”
“And you are fully aware that we, you and I, are…” Virgo terlihat bingung memilih kata.
“Nggak jelas?”
“Iii…ya, bisa dibilang begitu. Dan gue rasa, udah saatnya kita bikin jelas semuanya sekarang, don’t you think?”
“Okay. Setuju. Jadi gimana?”
“Sekarang ini, kalau kita bicara sekarang, I’m in no position for dating anyone. Gue lagi exhausted banget setelah sama Ayunda kemarin. Dan gue sebenarnya berharap kalau lo… nggak… nggak ekspektasi apa-apa terhadap… this whole thing. You know what I mean?”
Ari mengangkat bahu, “To be honest, I have no expectation either. Bertahun-tahun lho kita begini. Nggak pernah ada juntrungannya. Kebentur lo punya pacarlah, kebentur gue punya pacar, ya mungkin emang gue sama lo harusnya begini aja.”
“Emangnya lo nggak ngerasa aneh atau apa gitu?”
“Ya aneh lah. Sesuatu yang going nowhere tapi masih terus dilanjutin sih aneh. Tetap aja aneh.”
“So… what are you going to do? What are WE going to do?”
“We should stop someday, anyway.”
“Stop what?”
“Stop being available to each other. Hahahahaha…”
Virgo cuma tersenyum, “Iya, ya. Kita terlalu available buat satu sama lain.”
“Nah kalau lo sendiri, why are you doing this? Tiba-tiba muncul, tiba-tiba hilang, tiba-tiba ngajak ke KL, terus habis ini lo pasti ngilang lagi.”
“Gue nggak pernah ngilang. Emangnya elo, tau-tau marah, ngirim hate message, ngeblok semua kontak gue. Coba, gue pernah gitu nggak?”
“Ya nggak, sih. Dan omong-omong, gue minta maaf soal hate message itu. Percaya atau nggak, selang beberapa detik setelah itu gue nyesel berat.”
“Gue tahu. Lo pasti nangis-nangis nyesel mau hubungin gue tapi gengsi, ‘kan?”
Serius, kalau ini bukan di tempat umum, mungkin Ari sudah melayangkan kursi ke kepala Virgo.
“Iya, iya, udah ah. Dibahas terus yang itu. Terus kita gimana? Lama-lama basi nih, kadaluarsa!”
Virgo cuma tersenyum dan menenggak Heineken kalengnya. Ari juga diam. Ada beberapa menit yang terbuang oleh keheningan. Mereka nampak berpikir. Belum ada yang membuka suara, keduanya bingung sebenarnya hubungan mereka mau diapakan.
Ari memutar-mutar kaleng minumannya dan berhenti di satu titik. “Expiration date…” gumam Ari.
“Ha?”
“Go, gue tahu kita harus apa.”
“Apaan?”
“We should set our expiration date. This whole thing, suatu saat harus berhenti. Dan harus kita yang nentuin.”
“Penting ya pakai tanggal?”
“Virgo, udah jelas ada yang nggak beres sama pola hubungan kita. Lo nggak mau pacarin gue, gue juga belum siap pacaran lagi. Tapi keadaan kita yang selalu available buat satu sama lain ini bisa jadi penghalang buat kita untuk find someone for each other.”
“Teori ngaco. Simpulin sendiri.”
“Lo tahu gue paling malas drama, makanya gue bikin kesimpulan sendiri.”
“Jadi gue nggak boleh bikin kesimpulan?”
“Memangnya lo mau bikin kesimpulan apa?”
Virgo diam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. “Oke, expiration date. Sekarang gue tanya sama lo. Kalau di tengah jalan keadaan berubah, gimana?”
“Ya berarti expired sebelum waktunya.”
“Itu kan kalau ternyata sesuatu yang buruk terjadi. Kalau sebaliknya?”
“Sebaliknya gimana?”
“What if I fall in love with you in time?”
Ari menenggak habis minumannya. Virgo masih menatapnya, menanti jawaban. Ari sendiri sesak mendengarnya. Kenapa Virgo harus khawatir jatuh cinta? Padahal tinggal ucapkan saja, Ari mungkin takkan mengajukan ide tentang tenggat waktu itu.
“Balik yuk, Go. Besok kita flight pagi, lho,” Ari bangun dari kursi dan berjalan duluan. Virgo masih diam sebentar, lalu menghela napas, bangkit dan menyusul langkah Ari.
 ^^^
 Keesokan harinya. Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
“Lo yakin nggak mau gue antar?” tanya Ari sambil memasang kacamata hitam.
“Nggak usah, naik Damri aja. Supir lo udah datang?”
“Udah. Tadi pas masih di pesawat kayaknya dia SMS. Lo langsung ke tempat Damri?”
“Iya. Ya udah deh, thanks for the weekend,” Virgo memeluk Ari.
“Sama-sama. Makasih juga udah dibayarin nonton BritFest. Hati-hati ya, Go. Kabarin kalau udah sampai rumah.”
“You too.”
Virgo berbalik dan hendak menyeberang ke halte bus Damri. “Virgo!” panggil Ari. Gadis itu lalu menyusul Virgo yang tidak jadi menyeberang.
“Tentang pembicaraan semalam. The whole expiration date thing. Apapun yang terjadi, it’s still on, right?”
Virgo mengangguk dan tersenyum. “Nggak usah dibebanin pikiran. Tahun baru masih tiga bulan lagi. Gue balik dulu, ya.”
Ari cuma tersenyum tanpa merespon, memandangi punggung Virgo yang menjauh. Ia tahu ini akan terjadi. Ia tahu bahwa perjalanan dirinya dan Virgo akan menemui titik akhir. Tetapi proses di dalamnya perlu dijalani, dan entah siapa yang menyerah lebih dulu.
 ^^^
 Seminggu setelah perjalanan ke Kuala Lumpur, tidak ada satu pesan pun dari Virgo, bahkan sekedar mengabari kalau sudah sampai rumah seperti yang Ari pesan. Ari mulai kepikiran tentang tenggat waktu yang mereka bicarakan di Kuala Lumpur. Ari tidak pernah menyangka perihal Virgo ini akan sampai mengganggu fungsi hidupnya.
Malam setelah kembali ke Jakarta, Ari melamun sampai menangis. Apa ini benar? Apa ini yang dirinya inginkan? Tetapi memang harus begini. Virgo sendiri yang bilang saat ini dirinya tidak dalam keadaan yang tepat untuk berhubungan. Ari juga terpaksa bilang hal yang sama. Padahal Ari sudah membayangkan perjalanan itu akan menjadi momen bagi mereka berdua. Sesampainya di sana, perlahan Ari mulai bisa menghilangkan ekspektasinya sedikit demi sedikit. Hingga perbincangan ‘itu’ terjadi, Ari tidak lagi berharap apa-apa. Namun saat Virgo mengutarakan pikirannya tentang kemungkinan jatuh cinta pada Ari, di situlah Ari mulai kepikiran lagi.
Mereka berdua sudah berjanji untuk tidak saling menghindar, tetapi kenyataanya tidak ada komunikasi sampai seminggu berikutnya. Sebenarnya mereka punya dua pilihan, antara membiasakan diri untuk hidup tanpa masing-masing dan menahan diri untuk tidak saling menghubungi, atau memanfaatkan waktu yang mereka punya sampai akhirnya mereka memutuskan. Pada malam pergantian tahun nanti, semua harus diputuskan. Ari memang sudah menyiapkan mental kalau Virgo ‘hilang’ lagi. Tapi dengan adanya tenggat waktu itu, Ari sedikit berharap Virgo memilih pilihan kedua. Karena sesungguhnya itulah yang ingin Ari pilih.
 TO BE CONTINUED
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Pulangnya Matahari - part 2
Seminggu setelah putus dari Algi.
Tidak terhitung berapa kali Ari harus memoleskan concealer ke kantung mata, mengenakan kacamata hitam di luar, mendapat teguran dari orang-orang “Kok lo kurusan, Ri? Mata lo juga cekung banget!”. Yang paling menyebalkan dari semua ini adalah ketika Ari harus membagi waktu antara bersedih dan beraktivitas.
Sedih karena putus? Oh, tentu bukan. Sedih karena putus hanya bertahan 2x24 jam setelah malam itu. Yang membuat Ari kacau adalah dua hari setelahnya.
Sore itu, Ari baru pulang interview kerja dan mengempaskan dirinya di sofa. Iseng, ia membuka Twitter dari ponsel. Satu tweet langsung membuatnya terlonjak hampir berdiri. Sebuah foto Algi merangkul mesra seorang perempuan yang menyenderkan kepalanya ke bahu Algi.
“@algiedi_Pmgks: A fine afternoon with my love”
Dua hari setelah mereka putus, dan Algi sudah memajang foto orang lain. Dan itu pasti bukan teman biasa. ‘My love’ menjelaskan semuanya.
Dalam keadaan kaget, panik, menjelang marah, Ari mengirim sms pada Algi, “Who the hell is that???”
Algi pun menjawab, “My adventure. The one who has been waiting for me.”
Detik itu juga, Ari melempar ponselnya dan mengatur napas yang tersengal-sengal karena marah. Ia bahkan tidak menggubris saat pembantu di rumah berteriak, “Mbak Ari kenapaaaa???”
Ari langsung lari ke kamar, membiarkan dirinya terduduk di lantai selama sepuluh menit. Membiarkan air matanya jatuh tanpa isakan. Setelah kesadarannya terkumpul, Ari mengambil ponselnya di bawah dan menghapus semua kontak dan memutus semua pertemanan di media sosial dengan Algi.
Butuh waktu lama bagi Ari untuk membuang semua memori. Benda-benda pemberian Algi, foto-foto, memorabilia tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, semua kartu ucapan, jumlahnya tidak sedikit. Ari bekerja keras menyingkirkan itu semua.
Tak ayal, Ari menyesal. Tiga hari berlalu, tidak ada lagi sisa-sisa kenangan Algi yang tertinggal dalam bentuk apa pun. Yang ada hanya memori jangka panjang, dan sepertinya mustahil kalau yang itu disingkirkan juga. Belum lagi ketika sosok Algi datang ke mimpinya. Sempat satu malam Ari tidak mau tidur karena tidak ingin dijumpai Algi dalam mimpi.
Sang matahari sedang menikmati keredupan sinarnya sendiri. Kali ini dia tidak mencari Virgo. Dalam kegundahan hati dan kemarahan yang menyerangnya, ia sebenarnya takut. Takut kali ini Virgo akan datang dengan cara yang lain. Menenangkannya, bahkan merengkuhnya semalaman. Ari setakut itu. Takut dirinya akan nyaman dengan Virgo di saat ia baru selesai dengan Algi.
Apalagi Virgo sekarang sedang bersama seseorang.
 ^^^
 Ari mendapat pekerjaan pertamanya hari ini. Ia berusaha untuk tidur lebih cepat agar bisa bangun lebih pagi. Setelah lari pagi selama tiga puluh menit, Ari mandi dan bersiap-siap ke kantor. Dua minggu berlalu, masih ada sisa-sisa duka dari kejadian Algi dan pacar barunya itu.
Menjadi seorang management trainee (MT) berarti belajar banyak sekali ilmu sebelum akhirnya terjun langsung dalam perusahaan. Seperti hari pertama ini, Ari dan teman-teman sesama MT diharuskan mengikuti training tentang company core values.
“Saya pernah baca salah satu buku yang mengulas tentang permintaan maaf. Ini mungkin tidak berkaitan dengan poin yang sedang kita bahas, ya, tapi menurut saya ini menarik sekali. Penulisnya berkata bahwa memaafkan itu tidak harus kepada dia yang berbuat salah saja, tetapi juga memaafkan diri sendiri yang membuang banyak sekali waktu untuk marah pada orang yang menyakiti kita. Maka titik akhir dari memaafkan itu sendiri bukanlah ketika kita berdamai dengan orang tersebut tetapi ketika kita bisa berkata pada diri kita ‘Oke, saya marah. Saya sudah beri waktu buat diri saya sendiri untuk marah. Saya hukum dia, saya hukum otak dan perasaan saya, sekarang selesai. Okay, what’s next?’ di situlah kita memberi ruang baru untuk siklus yang baru lagi. Diri kita sudah baru lagi. Siap dengan cerita baru, atau mungkin mau melihat apa saja yang sudah kita lewatkan.”
Ari menyimak kata demi kata yang diucapkan trainer hari itu. Ia ingin memulai lagi dari awal. Membuka peluang untuk berbagai hal baru dan mungkin, hal-hal yang sebenarnya sudah lama ia lewatkan.
Sore harinya, Ari terkejut melihat siapa yang datang menjemput.
“Kok lo tahu gue di sini?” tanyanya, masih sekaget itu.
Virgo mengangkat alis dan memberikan helm pada Ari, “Tadinya nggak tahu kalau lo udah kerja. Gue ke rumah tadi. Kata nyokap lo, lo kerja sekarang.”
“Terus ini apa?” Ari masih bingung dengan kehadiran Virgo, dengan helm yang dipegangnya.
“Buset, lo di dalam diapain sih? Kok jadi lemot gitu?”
“No, no, sorry. Gue bingung aja sejak kapan lo punya helm dua?”
Virgo melirik jam tangannya, “Sejak tiga puluh lima menit yang lalu.”
“Wait, jadi lo beli helm ini karena mau jemput gue?”
“Stating the obvious, deh. Buruan naik.”
Ari menurut dan langsung duduk di belakang Virgo. Motor Virgo lalu melaju meninggalkan gedung kantor Ari.
“Jadi lo mau gue traktir makan di mana nih, sebagai ucapan selamat?” tanya Virgo saat mereka masih di atas motor.
“Hahahahaha… emangnya segitu pentingnya ya, hari pertama kerja? Waktu gue lulus sidang skripsi dan wisuda aja kayaknya nggak ada tuh, lo traktir-traktir gue.”
“Siapa bilang gue mau traktir makan dalam rangka lo dapat kerjaan?”
Ari memukul bahu Virgo dari belakang. Gemas. Ada apa sih dengan laki-laki ini hari ini?
Akhirnya pilihan jatuh pada sebuah coffee shop di dekat gerai tato milik teman Virgo. Ari adalah penggemar berat kopi dan cake. Setelah memesan, mereka berdua duduk di salah satu meja.
“Jadi lo traktir gue dalam rangka apa?” Ari masih penasaran.
“Dalam rangka berakhirnya drama lo dengan Algi,” jawab Virgo enteng.
Raut wajah Ari berubah. Mendengar nama itu lagi, rasanya apa yang diucapkan oleh trainer tentang memaafkan tadi menguap semua. Ternyata dirinya masih jauh dari memaafkan.
“You dick,” gumam Ari. “Lo tahu dari mana sih gue putus?”
“Dibilangin, tadi gue ke rumah. Ngobrol-ngobrol sama nyokap lo. Diceritainlah semuanya. Ada yang banting handphone lah, ada yang nyumbang-nyumbangin barang, bakar-bakarin kartu. Kalau gue jadi lo, gue bikin garage sale juga bisa kali saking banyaknya itu barang-barang kenangan.”
Ari melempar Virgo dengan gumpalan tisu, “Setan lo.”
Setelah menikmati affogato dan cranberry cake, Ari melirik ke gerai tato di sebelah kafe itu. “Go, itu punya teman lo, ‘kan?”
Virgo mengangguk.
“Kalau temannya teman, dapat diskon nggak?”
 ^^^
 Ari mematut diri di cermin, memandangi tato baru di bahu kirinya. Hanya huruf ‘M’, tapi dibentuk seperti huruf zaman kuno, dengan untaian garis dan lengkung. Thanks to Virgo, yang menemaninya membuat tato pertama.
Malam ini ia dan Virgo janjian lagi untuk pergi berdua. Salah satu teman Ari mengadakan grand launching untuk butiknya malam ini, dengan makan malam dan wine party. Ari mengenakan little black dress dan heels warna senada, nampak serasi dengan Virgo yang mengenakan kemeja hitam dan celana panjang biru tua. Sejujurnya, Ari berekspektasi Virgo akan memujinya yang sengaja dandan malam itu. Tapi ternyata…
“Cie yang akhirnya bisa pakai rok mini,” ledek Virgo. Selalu. Selalu menemukan cara untuk iseng.
Ari manyun, “Pulang aja deh lo sana!”
“Eh nggak, nggak, becanda. Cantik, kok. Tuh tatonya aja keren banget. Gilaaaa…” Virgo semakin semangat meledek Ari.
Ari cuma melengos dan berjalan melewati Virgo.
Di mobil, mereka berbincang seperti biasa. Ari menceritakan temannya yang akhirnya bisa mengumpulkan modal untuk membuka butik. Virgo juga bercerita tentang beberapa hal.
“Eh, bentar. Ayunda, nih,” kata Virgo saat ponselnya berdering. Ayunda adalah nama pacar Virgo selama setahun terakhir, tinggal di Bandung.
Tiba-tiba Ari tertegun. Ada perasaan tidak suka saat Ayunda menelepon. Apalagi Virgo menjawab dengan jujur pergi ke mana dia malam ini. Berarti Virgo menganggap ini sesuatu yang biasa-biasa saja, tidak perlu dianggap sesuatu yang bisa memancing rasa cemburu.
“Nemenin si Ari ke tempat temennya, mau launching butik. Nanti kalau ada yang bagus aku beliin kamu, ya.”
Padahal dalam hati, Ari ingin Virgo bohong. Ari ingin Virgo tidak mau Ayunda tahu kalau mereka bersama. Ia ingin Ayunda cemburu. Aneh, ‘kan?
Dan mudah-mudahan ekspresi ketidaksukaan ini tidak terbaca oleh Virgo.
 ^^^
 Selepas dari butik, Virgo dan Ari pergi menonton di bioskop. Kegiatan yang sudah lama tidak mereka lakukan berdua. Kalau dulu, mereka sering nonton berdua kalau sedang bosan atau bertengkar dengan pacar masing-masing. Kali ini, Ari melakukannya karena memang ingin lebih lama bersama Virgo. Sedangkan Virgo, memang sudah lama ingin mengajak Ari nonton berdua lagi. Hanya saja, baru kali ini ia benar-benar bisa mengajak Ari yang ingin nonton bersamanya, bukan Ari yang lagi suntuk dan bertengkar dengan Algi.
“Lo nggak kedinginan ya pakai gituan doang ke bioskop?” tanya Virgo sambil melihat pakaian Ari.
“Nggak. Gue tahan dingin, gue nggak tahan panas,” jawab Ari sambil menyuapkan popcorn.
Virgo cuma geleng-geleng kepala dan mengambil segenggam popcorn yang mereka beli untuk dikonsumsi berdua.
 ^^^
 Akibat menonton midnight show tadi malam, plus ternyata habis nonton lapar lagi sehingga harus mampir warung pecel ayam dekat rumah, alhasil Ari baru mendaratkan badannya di kasur sekitar pukul tiga pagi. Kemudian ia teleponan dengan Virgo sampai pukul 03:30. Sebenarnya Ari masih ingin mengobrol banyak dengan Virgo. Tetapi rasa kantuk terlalu kuat menyerang, dan Virgo juga bilang, “’Kan obrolannya bisa disimpan buat ketemuan lain kali.”
Ari menanggapinya dengan senyum. Ari akan selalu menantikan ‘lain kali’ itu. Maka dengan ucapan selamat tidur, mereka mengakhiri pembicaraan. Ari mematikan lampu dan terlelap dengan seutas senyum.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang saat Ari akhirnya membuka mata. Dengan kepala berat, Ari bangun dan duduk di atas kasurnya, masih mengumpulkan nyawa. Beberapa saat kemudian, ia meraih ponselnya yang tergeletak di kasur. Ada tiga panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Ari mengerutkan kening. Ia mencoba menghubungi nomor itu kembali, tetapi tidak ada jawaban.
Lalu Ari meletakkan kembali ponselnya dan pergi ke kamar mandi. Sekitar 30 menit kemudian, ia selesai mandi dan ponselnya berdering. Dari nomor yang tadi.
“Halo,” sapa Ari. Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara laki-laki dan perempuan sedang berbincang. Samar-samar Ari bisa mendengar suara berkata ‘Ngomong dong’, ‘Apaan sih?’
“Halo,” Ari menyapa lagi. Kali ini lebih tegas.
“Halo… Ri, bentar, ada yang mau ngomong,” sahut suara laki-laki di seberang. Ari sepertinya mengenal suara itu.
“Norak kamu. Matiin nggak teleponnya?” sahut suara perempuan yang bersama laki-laki itu.
“Nggak, aku buktiin ke kamu sekarang.”
Kening Ari mengerut, mencoba menerka situasi.
“Balikin handphone aku sekarang!” kali ini si perempuan terdengar membentak.
“Kamu dengerin dulu! Halo, Ari. Ri, ini gue Virgo. Tolong dong, lo bilang ke cewek gue, kalau kita nggak ada apa-apa.”
Bola mata Ari membesar. Benarkah ini Virgo?
Ari langsung memutus panggilan telepon dan menghubungi nomor Virgo.
“Halo,” sapa Virgo.
“Go, elo tadi yang nelepon gue pakai nomor lain bukan?”
“Iya, itu gue.”
DEG!
“Ri, tolong bantu gue. Ayunda marah besar pas tahu kita pulang pagi. Ini gue lagi di Bandung buat ngelurusin semua sama dia. Tolong ya, lo bilang sama dia kalau kita nggak ada apa-apa. Please, Ri,” napas Virgo terdengar tersengal. Seperti sedang berlari atau berjalan cepat. Sepertinya sedang mengejar Ayunda yang marah.
Ari tidak bisa berkata apa-apa. Ini sangat memalukan. Kenapa dia ditempatkan di tengah drama Virgo dan Ayunda? Dan kenapa Virgo harus menghubunginya untuk ini? Sepenting itukah kalau Ayunda tahu di antara mereka tidak ada apa-apa? Sepenting itukah marahnya Ayunda sehingga Virgo yang belum sempat istirahat banyak harus langsung meluncur ke Bandung untuk menjelaskan semuanya? Dan kalau Virgo tidak ingin Ayunda marah, kenapa ia harus pergi dengan Ari sampai pagi? Kenapa ia mengajak Ari nonton midnight show? Dan kenapa harus Ari yang menjelaskan semua pada Ayunda?
“Norak lo, Go! Selesaiin drama lo sendiri! Nggak usah bawa-bawa gue! Nggak penting, lo!” marah, Ari memutus pembicaraan. Ia langsung mematikan ponselnya.
 ^^^
 “For once, I thought all of this means something. But then, I think I’m just stupid. You always show up so suddenly, barge in to my life over and over again, without even a ‘hello’, and NEVER with a proper goodbye. Who do you think you are? Who do you think I am? A substitute? Some backup plan? Dude, I’m so much more than that. So much more than you’ve always treated me. Now get the hell out of my life, along with your girlfriend, and never ever try to get in touch with me ever again! I’m done with you!”
 Message sent.
 Tiga detik kemudian, Ari menyesal.
 ^^^
 Ari masih sedih tentang Algi. Semudah apa pun menghapus semua jejaknya, bayangan wajah Algi selalu bisa muncul dalam figur dengan berbagai detail di kepala Ari. Ari benci. Ari benci dirinya yang mudah saja membiarkan stimulus Algi masuk ke pikirannya. Ari benci Facebook yang memiliki fitur ‘people you may know’ dan memunculkan akun Algi di situ. Ari benci Twitter yang membuatnya mudah mencari akun Algi dan melihat-lihat linimasanya, apa saja yang diocehkan Algi, walaupun dirinya sudah meng-unfollow Algi dan memblok Algi dari akunnya.
Ari benci ketika suatu hari Algi bisa-bisanya mengirim SMS (mungkin tidak ada cara selain itu karena semua instant messaging Algi sudah diblok Ari) bahwa dirinya merindukan Ari. Algi tidak merasa bahagia dengan kekasihnya yang sekarang. SMS panjang itu berisi curhatan Algi yang membandingkan Ari dengan kekasihnya. Tak terenyuh, Ari justru mual.
Ari juga benci dirinya yang membiarkan Virgo keluar dan masuk begitu saja. Sial, rutuk Ari. Tiba-tiba ia teringat kejadian bulan lalu. Drama antara Virgo dan Ayunda, yang menyebabkan dirinya mengirim pesan kebencian pada Virgo. Ari melakukan hal yang sama seperti pada Algi, menghapus semua kontak dan media sosial Virgo. Ia sudah muak dengan apa pun yang berhubungan dengan Virgo, Algi, atau laki-laki mana pun. Ari ingin sendiri saja. Mungkin akan lebih mudah baginya.
Ari punya banyak sahabat. Ia adalah seorang extrovert sejati yang mudah mendapatkan energi dari berada di sekeliling zona nyamannya. Ia juga tak segan pergi ke club atau lounge sendirian untuk sekedar duduk sambil minum dan menikmati musik, menyerap semua energi dari orang-orang di sana. Di kantor, ia banyak bersosialisasi dan mendapat teman-teman baru. Ari bukan orang yang malu untuk curhat dengan teman-temannya. Karena menurutnya, lebih baik menumpahkan semua yang ada di kepala dan mendapat masukan ketimbang hanya diam dan berpikir. Ia suka ‘mengumpulkan sudut pandang’.
“Gue sih, kalau mantan gue tahu-tahu jadian lagi, gue lihat ceweknya. Bagusan gue apa dia. Kalau bagusan gue, ya gue ketawa ajaaa…”
“Cowok emang sesimpel itu lagi, Ri. Apalagi lo sama mantan lo putus-nyambung udah nggak kehitung. Udah lazim kalau dia akhirnya nemu ‘tantangan’ baru dari orang lain dan ninggalin elo.”
“Udah lah, si Virgo-Virgo itu nggak jelas maunya apa, ngapain lo ‘buka pintu’ lagi buat dia? Distatusin juga nggak.”
“Lo pernah dengar tentang soulmate, Ri? Jangan-jangan, selama ini Virgo menganggap lo soulmate-nya, karena seberapa jauh pun kalian sama-sama lari, kalian tahu tempat pulang masing-masing, ke sebagian jiwanya.”
Itu sebagian dari pendapat teman-teman Ari yang sudah ia curhati. Ari tahu, pada akhirnya dialah yang memilih. Pada akhirnya, ia juga yang menanggung semua pikiran.
 TO BE CONTINUED
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Pulangnya Matahari - part 1
Anyer, 1995.
Ari, begitu gadis kecil itu biasa dipanggil, berjalan pelan-pelan tanpa alas kaki di atas pasir. Matanya awas mengamati tiap objek yang dicarinya. Sekitar lima meter di depan, Ari menemukan sebuah kerang dan menghampirinya. Diambilnya kerang seukuran jempol kaki orang dewasa itu, dilapnya ke baju supaya bersih, lalu dimasukkannya kerang itu ke dalam kaleng bekas permen yang ia bawa dari rumah, bersama puluhan kerang lain yang telah ia kumpulkan.
Kaleng Ari telah terisi kerang hampir setengahnya, tetapi ia belum menyerah. Ia berjalan lagi menyusuri pantai yang agak ramai itu. Ia bertekad ingin mengisi penuh kalengnya agar sesampainya di Jakarta ia bisa membagikan kerang-kerang itu dengan sahabat-sahabatnya.
“Mentari!” panggil seorang anak kecil.
Ari tidak sadar kalau panggilan itu ditujukan untuknya sampai orang itu menghampirinya dan berkata, “Kita besok masih di sini, lho.”
Ari menoleh, mendapati Virgo, teman laki-lakinya, berdiri di belakangnya.
“Bukan Mentari, tau, namaku. Matahari,” koreksinya.
“Oooh… iya. Maaf. Mmm… kamu nggak capek ngumpulin kerang terus?”
Ari menggeleng. “Kalau udah penuh mau aku bagiin ke temen-temen.”
“Aku dapat juga, nggak? Kan aku juga temen kamu.”
Ari menatap Virgo jahil, seolah memberi isyarat “Kasih nggak, yaaa?”
“Nggak. Kamu kan bukan temen aku. Kamu itu anaknya temen Papa aku. Yang temenan itu Papa sama papa kamu, bukan kita,” Ari menjulurkan lidahnya lalu berlari kecil menghindari Virgo.
“Yeee… dasar kamu iseng!” Virgo mengambil segenggam pasir lalu dilempar ke Ari. Ari berteriak lalu menghindar. Kemudian ia melakukan hal yang sama, tapi kali ini kena lengan Virgo.
“Yeee ye ye yee, yeee!” ledek Ari sambil tertawa. Virgo membalas lagi, dan perang pasir pun dimulai.
Kedua anak kecil itu berteriak dan berlarian di hamparan pantai hingga sang surya pamit dari pandangan.
 ^^^
 Puncak, 2003.
Udara dingin membuat Ari malas keluar, apalagi ikut kegiatan. Biasanya, akhir pekan dihabiskan Ari dengan latihan cheerleader atau pergi bersama teman-teman. Tetapi kali ini ayah Ari mengajak sekeluarga ikut acara outing kantor ke Puncak. Sudah bertahun-tahun Ari tidak ikut outing kantor ayahnya. Terakhir adalah saat ia masih kelas 1 SD, ke Anyer, delapan tahun lalu.
Papa, Mama, kakak, dan adik Ari sudah berangkat ke ruang serbaguna. Ari masih duduk santai di beranda cottage tempat mereka menginap. Ia membaca majalah sambil mendengarkan lagu dari pemutar kaset melalui earphone.
Saat sedang membaca majalahnya, sudut mata Ari mendapati ada seorang laki-laki lewat di depan cottage. Ari refleks melihat ke arahnya. Sosok itu tampak tak asing. Hanya saja, ia terlihat sudah jauh lebih tinggi dan tidak lagi mengenakan kaos bergambar karakter pahlawan super dengan celana serupa atau kostum Superman favoritnya. Orang ini mengenakan kaos Volcom dan celana tiga per empat.
Mata Ari tidak bisa lepas darinya, tetapi orang itu terus berjalan dan tidak menyadari keberadaan Ari. Perlahan sosoknya semakin menjauh lalu hilang dari pandangan. Saat itu pula, Ari bangun dari duduknya, melepas earphone, masuk ke dalam cottage, meletakkan barang-barang, keluar, mengunci pintu cottage, lalu pergi ke ruang serbaguna.
Sepertinya dia ada di sana.
 ^^^
 Jakarta, 2004.
Ari dan empat orang sahabat perempuannya tengah berada di sebuah restoran cepat saji di Jalan Kemang. Mereka berkumpul setelah selesai ujian akhir semester, sebelum liburan. Mereka asyik bercanda dan mengobrol, seperti remaja pada umumnya.
Mata Ari refleks tertuju saat tiga orang remaja pria berseragam SMA memasuki restoran itu. Salah satu teman Ari langsung berbisik sambil menggumam, “Oh my God, lucu banget tuh cowok!” yang disahuti oleh temannya yang lain, “Tiga-tiganya keren!”
Tetapi pandangan Ari hanya terpaku ke salah satu di antara mereka. Satu yang berambut ikal, tidak cepak seperti kedua temannya. Badannya paling tinggi, tetapi tubuhnya paling kurus. Ketiga cowok itu duduk tak jauh dari meja Ari dan kawan-kawan. Kini Ari berhadapan dengan cowok yang menarik pandangannya itu.
Lalu mata mereka bertemu. Bola mata Ari membesar, tetapi lalu ia memberikan senyum dan melambai. Cowok itu balas melambai.
“Sebentar, ya. Itu kayaknya temen gue,” kata Ari sambil berdiri. Ia kemudian menghampiri ketiga cowok itu.
“Hai Virgo,” sapa Ari.
“Hei, Ari. Sama temen-temen?”
“Iya. Apa kabar?”
“Baik. Eh, kenalin, temen-temen gue. Ini Bagas, ini Arka.”
Ari menjabat tangan mereka satu per satu sambil menyebutkan nama. “Lama ya, nggak ketemu.”
“Iyalah. Kan kita ketemunya kalo acara kantor bokap doang. Eh, pakai handphone, nggak?”
“Pakai.”
“Minta nomor, dong.”
“Boleh.”
Ari memberikan nomor HP-nya, lalu pamit. “Ya udah, gue balik ke temen-temen gue lagi ya, Go. Duluan, Bagas, Arka.”
Ari kemudian kembali ke teman-temannya. Mereka lanjut mengobrol, tetapi mata Ari sesekali melirik ke arah Virgo. Beberapa kali pula Virgo melihat ke arahnya. Mereka berdua saling melempar senyum saat mata mereka bertemu.
 ^^^
 Ari berjalan canggung mengikuti Virgo di depannya. Ia menatap sekeliling kafe yang sudah didekorasi itu. Malam ini, kafe Plums disewa untuk ulang tahun teman Virgo yang ketujuh belas. Virgo mengajak Ari untuk datang bersamanya, dan Ari setuju.
Virgo mengajak Ari duduk bersama teman-temannya. Ada Bagas dan Arka juga di sana. Selang beberapa saat, Arka mengajak Virgo mengambil minuman. Saat itulah Bagas pindah duduk ke sebelah Ari dan mengajaknya mengobrol. Ari pun menanggapi Bagas dengan sopan.
“Jadi nama Ari itu dari Matahari?” tanya Bagas.
“Iya. Nama panjang gue Matahari.”
“Matahari apa?”
“Matahari aja.”
“Enak banget kalau ujian, bulet-buletin hurufnya sedikit.”
Ari tertawa. “Ada lho, temen gue yang namanya lima kata. Itu dia kasihan banget kalau ujian.”
Kali ini giliran Bagas yang tertawa. “Lo kenal Virgo udah lama, ya?”
“Dari kecil, sih. Tapi jarang banget ketemunya. Bokap gue sama bokapnya Virgo temen kantor. Jadi ketemunya kalau acara kantor bokap aja. Itu pun kalau sama-sama ikut.”
“Ooo…”
“Tapi nama Virgo lucu, ya. Kalau di zodiak, Virgo itu kan artinya ‘gadis perawan’.”
“Serius lo? Hahahahaha…”
“Iya, beneran! Gue baca di ensiklopedia. Lucu sih, ngebayangin Virgo rambutnya panjang terus pakai gaun.”
“Astaga, Ri, lo bikin gue jijik, deh!”
Ari tertawa terbahak-bahak karena langsung membayangkannya. Tidak lama kemudian, Virgo datang membawa dua gelas lemon tea, diikuti Arka yang membawa cemilan.
“Seru amat, bro,” katanya.
Ari dan Bagas langsung pura-pura diam, menahan tawa. Mereka lalu menghentikan pembicaraan tentang Virgo. Kemudian, Bagas membisikkan sesuatu di telinga Ari, “Ri, Sabtu depan jalan sama gue, yuk.”
 ^^^
 Ari baru melepas sepatu ketika sms dari Bagas masuk ke inbox-nya.
“Makasih buat hari ini. Btw, besok ikut gue latihan skateboard, yuk. Ada Virgo dan Arka juga.”
Ari menegakkan posisi duduknya. Ia langsung mengiyakan ajakan Bagas dengan semangat.
 ^^^
 Ari sedang mendengarkan musik dari pemutar CD sembari menunggu Bagas bermain skateboard di hadapannya. Sesekali ia melihat ke arah pintu masuk area, berharap Virgo segera datang. Sudah setengah jam berlalu, tetapi yang ditunggu belum juga tiba.
Bagas menghampiri Ari sebentar, duduk di sebelahnya. Mereka mengobrol biasa, tetapi Ari hampir tidak memperhatikan apa saja yang Bagas katakan. Resahnya bertambah, apalagi satu-satunya alasan ia ikut ke sini adalah ada Virgo.
Setelah beberapa menit, Ari melihat Virgo dari kejauhan. Duduknya menegak, senyum terulas. Virgo berjalan masuk menghampiri teman-temannya.
Namun senyum Ari pun pudar ketika melihat Virgo tiba-tiba menggandeng tangan seorang perempuan yang tadi berjalan di belakangnya.
 ^^^
 “Nih,” kata Virgo sambil memberikan segelas soft drink.
“Thanks,” jawab Ari, kemudian menyeruputnya.
Setelah itu, mereka duduk sambil menunggu film The Butterfly Effect dimulai. Sungguh hal yang jarang terjadi, bahkan pertama kalinya, Virgo mengajaknya nonton bioskop berdua pada malam minggu. Apalagi dengan fakta bahwa Virgo punya pacar, rasanya aneh kalau ia memilih menghabiskan malam minggu bersama Ari.
Setelah menonton, Virgo mengajak Ari makan malam. Di sanalah baru Ari berani bertanya, “Cewek lo ke mana?”
“Lagi males gue. Lagi berantem.”
“Terus kalo lagi berantem sama cewek lo, lo perginya sama gue?”
“Lo ‘kan nggak ke mana-mana. Nggak punya pacar juga.”
Ari agak bete dibilang begitu. Sebenarnya ia berharap Virgo punya motif lain. Tetapi apa pun itu, Ari tetap senang bisa pergi bersama Virgo.
 ^^^
 Berangkat dari fakta Virgo punya pacar, Ari langsung berpikir bahwa dirinya tidak perlu lagi berharap apa-apa dari cowok itu. Ia seperti membuka jalan bagi siapa pun yang ingin mendekatinya. Dan tidak lama bagi Ari untuk menunggu karena akhirnya ia menemukan orang itu.
Bukan, bukan Bagas. Ari menilai Bagas tidak terlalu seru untuk diajak berpetualang bersama. Tidak banyak kejutan, kurang impulsif, tetapi terlalu berwarna untuk Ari yang memuja hitam dan putih.
Namanya Algi, Algiedi Pamungkas. Ia teman sekelas Ari yang juga masuk dalam lingkaran pertemanannya. Mereka sering berkumpul dan pergi bersama. Algi merupakan pribadi yang menarik, apa adanya, humoris, dan senang berada di dekat teman-temannya.
Algi menyatakan perasaan pada Ari di suatu kesempatan. Mereka sedang berkumpul bersama, lalu Algi mengajak Ari berpisah dari rombongan.
“Kalau kita jadian, lo setuju nggak?”
Sesimpel itulah pernyataan cinta Algi, yang langsung diiyakan oleh Ari.
Namanya hubungan, pasti ada naik turunnya. Setelah beberapa bulan berpacaran, Algi mulai menunjukkan ‘sisi lain’ sebagai pacar yang protektif. Ia melarang Ari ikut clubbing, merokok, bahkan memakai tank top tanpa luaran. Ari, yang bisa saja protes pada saat itu, pun setuju untuk memenuhi keinginan Algi yang hidupnya memang ‘lurus’ dan taat.
Walaupun sudah menjadi pacar Algi, Ari tidak pernah memutuskan kontak dengan Virgo. Ada saja yang cowok itu lakukan. Misalnya, tiba-tiba datang ke rumah malam-malam membawa makanan, mengirim pesan acak seperti ‘Have you ever felt that time does not really heal?’, yang berujung pada pertemuan dan diskusi tentang apa saja.
Bersama Virgo, Ari bisa seperti ‘telanjang’, bebas mengeluarkan apa pun yang ada di kepala dan pikirannya, ide-idenya tentang semua hal, totalitas menjadi dirinya sendiri. Tetapi baginya, itu semua tidak ada artinya dibanding kesan yang dihadirkan Algi walaupun ia baru beberapa bulan ada di hidup Ari. Ketika Virgo bisa menjadi orang yang gets on her nerves, Algi bisa menjadi orang yang charging her energy. Ari pun tidak pernah terpikir untuk membandingkan Virgo dengan Algi.
Algi dan Ari melanjutkan hubungan sampai tingkat SMA. Goncangan semakin kuat bagi mereka. Ari mulai punya lingkaran pertemanan yang lebih luas, sedangkan Algi lebih suka berbaur dengan sedikit orang. Ari mulai jarang mengagendakan waktu untuk Algi. Algi mulai merasa Ari mengabaikan dirinya.
Saat itulah mereka putus untuk pertama kali. Tetapi nampaknya tidak mudah bagi mereka untuk langsung mencari pasangan baru. Algi juga merasakan hampa hari-harinya tanpa Ari. Selang dua minggu, mereka memutuskan untuk kembali bersama.
Pertengkaran demi pertengkaran sudah Ari dan Algi lewati. Dari hal kecil sampai hal besar, semua pernah mereka alami namun selalu kembali pada satu sama lain. Entah Ari yang tidak tega, atau sebaliknya. Tetapi sebenarnya, Ari tidak pernah merasa kosong dengan kealpaan Algi jika mereka sedang bertengkar sampai tidak berkomunikasi berhari-hari.
Ari mulai mempertanyakan dirinya yang terus menerus mencari Virgo di saat Algi tak ada di sisinya. Dan Virgo seperti menyambut baik setiap Ari datang lagi padanya. Virgo selalu ada, dan ia selalu datang.
Virgo memang tidak datang untuk memberi kenyamanan dan ketenangan. Justru Virgo bisa saja berubah menjadi teman yang menyebalkan dan selalu menggoda Ari perihal Algi. Apalagi kalau mereka sedang putus dan kemudian kembali lagi. Padahal, Ari pula yang selalu dicari Virgo jika dirinya sedang bermasalah dengan sang pacar.
Suatu hari di tahun 2009, Ari dan Algi kembali menemui titik buntu permasalahan yang mereka alami. Perbedaan pendapat yang tidak terbendung di antara keduanya memaksa mereka untuk mengakhiri hubungan (lagi). Saat itu Ari baru saja berpisah dengan Algi, ketika ponselnya berbunyi. Virgo tiba-tiba menelepon karena sedang bosan. Bagai disiram air sejuk, Ari langsung meminta Virgo ke rumahnya.
“Jadi siapa yang menang banyak?” goda Virgo saat Ari membukakan pintu untuknya.
“Apaan sih?”
“Jangan belagak lupa, deh. Kayaknya dulu ada yang protes karena diajak jalan pas gue lagi berantem sama cewek gue.”
Ari melengos. Bukan Virgo namanya kalau tidak menemukan cara untuk meledek. Tapi dengan kondisi seperti ini, Ari pasrah mau diledek bagaimana pun oleh Virgo. Yang penting sekarang Virgo ada untuk menemaninya melampiaskan kekesalan. Kini mereka hanya santai-santai di kamar Ari sambil menghabiskan waktu. Hanya berdua saja dengan Virgo, di malam minggu.
 ^^^
 Virgo cuma mendengus sambil tersenyum seolah berkata, “Ketebak banget” saat mendapat sms dari Ari. Tidak sampai sebulan setelah putus, pasangan itu kembali bersama.
 ^^^
 2011.
Kebosanan semakin melanda. Tujuh tahun bersama, tidak ada kemajuan berarti, apalagi frekuensi putus-nyambung yang tidak jarang membuat hubungan semakin monoton. Banyak usaha telah dilakukan keduanya, tetapi apa lagi yang perlu dipaksakan?
Ari hanya bisa menganga tidak percaya saat Algi mengucapkan itu. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar baginya dalam menjalani hubungan. Algi adalah pacar pertama, cinta pertama, pelajaran pertama, ciuman pertama, dan semuanya penting bagi Ari. Apakah bagi Algi semua itu tidak penting?
“Aku nggak pernah ngerasa kayak gini sebelumnya, Ri. Kita putus-nyambung udah nggak kehitung berapa kali. Tapi jujur, kali ini aku ngerasa kita nggak akan bisa terus.”
“Jadi karena kita udah putus-nyambung berkali-kali, apa bedanya yang kali ini?”
“Kali ini aku yakin hatiku nggak salah.”
Ari menatap lekat cowok di hadapannya. Algi bukan orang yang mudah berekspresi atau menunjukkan perasaannya. Tapi yang ia bilang tentang ‘belum pernah ngerasa kayak gini sebelumnya’ sepertinya benar. Ari belum pernah melihat tatapan Algi seperti ini sebelumnya. Algi serius. Deadly serious.
Maka Ari balas menatap Algi nanar. “Is this really the end?”
Algi memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas. “Adventure awaits you.”
“I don’t like that, Gi.”
Algi mengacak rambut Ari, lalu meraih kepalanya ke dada. Ari memeluk erat kekasihnya itu untuk terakhir kali. Saat itu, detik itu, sejenak dirinya mati rasa. Tidak ada rasa apa-apa.
TO BE CONTINUED
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
Outside The (Shoe) Box
“Kenapa sih, nelangsa amat?” tanyaku akhirnya, lima menit setelah kuperhatikan gelagatnya yang sedikit-sedikit mengecek handphone.
“Hm? Nggak kok...” jawabnya sambil meletakkan iPhone 5-nya dan mulai memuntir garpu di piring berisi spageti miliknya.
“Lagi nunggu message?”
“Mmm.. ya, sort of. Tapi nggak penting, lah.”
Aku mengangguk saja. Malas menyanggah. Yang penting sekarang dia kembali ke dunia nyata. Kembali berkutat dengan main course di hadapannya.
This is the moment I’ve been waiting for. Setahun sudah cukup untukku mengenalnya dan menunggunya. Aku sudah merencanakan hari ini. Lengkap dengan tempat dan baju yang kukenakan. Mungkin dia juga tidak ngeh ini adalah baju yang kukenakan saat pertama kali kami kenalan di parent-teacher gathering sekolahku. Well, tentu saja dia bukan ‘the parent’. Dia mewakili abangnya, salaah satu orangtua muridku, yang saat itu tidak bisa hadir.
“This pasta is perfect,” katanya sambil mengunyah. Kemudian dia menyeka mulutnya dengan serbet.
“I know, right? Tapi masakanku lebih enak lah,” kataku menyombong.
Dia tertawa, “Kamu narsis, Pak Guru! Atau harus kubilang, Bu Guru?”
“Kok Bu Guru?”
“Habis, kamu laki-laki pertama yang memilih profesi sebagai guru TK. Terus kamu jago masak. Ibu-ibu banget, deh! Aku kalau bisa tukeran jiwa, mau tukeran sama kamu aja, kali.”
“Tukeran jiwa atau tukeran bakat masak?” kataku sambil mengerling.
“Jangan ngeledek, deh. Aku tahu, pasti aku perempuan pertama yang kamu coret dari daftar calon istri idaman. Masak nggak bisa, nyuci mesti pakai smart washer, menjahit apalagi. Dan aku nggak tahan sama anak kecil.”
“Definitely,” kataku sambil mengangkat gelas. Bisa kulihat reaksi geli di wajahnya.
Padahal sebenarnya tidak. Aku tidak pernah berpikir untuk mencoret Ganisha dari daftar calon istri idaman. Actually, she is my ideal wife. Aku tidak peduli jika aku yang harus memasak setiap hari untuknya, atau membeli baju-baju lucu untuk anak kami nanti, karena dia tidak bisa menjahit. Aku tidak peduli jika nanti aku harus berulang kali mengajarinya cara menggunakan mesin cuci biasa atau bahkan papan penggilasan. Yang aku peduli adalah aku mau bersamanya. Menghabiskan hidup dengannya, mungkin.
Baginya, kesalahan terbesarku adalah karena aku bisa melakukan kegiatan-kegiatan ‘perempuan’ yang dia tidak bisa, dan itu membuatnya minder. Bagiku, kesalahan terbesar adalah dengan menjadikannya sahabatku in the first place. Sejak aku mengenalnya setahun lalu.
Well, it wasn’t a mistake at first. Bagaimana aku bisa jatuh cinta pada Ganisha justru awalnya karena aku adalah teman dekatnya. Lucky I’m in love with my best friend. Makanya aku sering tidak ragu mengajaknya ketemu untuk makan, main ke rumahnya, atau hanya sekedar ngopi-ngopi. Aku tidak bisa membayangkan jika seseorang sudah memilikinya nanti, waktunya untukku tidak akan sebanyak sekarang.
Bahkan aku tidak bisa membayangkan jika Ganisha menjadi milik seseorang.
Ganisha kembali mengecek handphone-nya. Oh God, ada apa sih dengan perempuan ini?
Kulihat ia menatap layar handphone dengan serius, kemudian seutas senyum terlihat di bibirnya. “Yes!” bisiknya dengan semangat. “Kris, nanti temenin aku ya!”
“Ke mana?”
“Tukar poin ke Shoes and Stuffs di lantai tiga! Aku menaaang!” Ganisha tiba-tiba bersorak dan mengayunkan tangannya sambil ber-“oh yeah” ria.
Bola mataku membesar dan mulutku setengah menganga. Jadi, dari tadi...
“Menang apa?” tanyaku sambil berusaha tidak merusak kebahagiaannya.
“Aku kumpulin poin dari kartu kredit untuk dapat kesempatan menang ‘shoes: all you can choose’ dari Shoes and Stuffs senilai satu juta rupiah!”
“Wow, tiga pasang?”
“Nope, sepasang. Makanya aku senang banget! Aku sering mampir dan naksir satu heels yang bagus banget, cuma nggak sempet kebeli. Mudah-mudahan masih adaaa...”
“Lho, nggak masuk akal deh. Kok kamu malah seneng bangetnya kalau cuma dapat satu pasang?”
“Krisna, sepatu yang aku pingin itu harganya delapan ratus ribu. Bisa digantung aku, kalau beli sepatu segitu mahal. Makanya aku gencar kumpulin poin untuk dapat promo itu. Aku udah jatuh cinta sama sepatunya,” kata Ganisha senang. Ia kemudian menyeruput jus melon miliknya.
Aku masih berusaha mencerna perkataan Ganisha secara logis. Dia susah payah mengumpulkan poin untuk dapat... sepasang sepatu? Yang sebenarnya kalau dia mau sisihkan gajinya, dia bisa membelinya kapan pun. Women’s logic. Benar-benar nggak bisa kupahami.
Oke, mungkin harus menunda beberapa menit lagi sebelum kuutarakan tujuanku mengajaknya bertemu hari ini.
 ^^^
 “Ya beda lah, Kris, sepatu yang kamu beli dari uang gaji, sama sepatu yang kamu dapat dari menang undian,” sanggah Ganisha saat akhirnya kuutarakan pemikiranku.
“Iya sih, tapi kan delapan ratus ribu itu bisa kamu sisihkan dari gajianmu, Sha. Maksudku, kenapa harus nunggu dapat undian?”
“Itu namanya kamu ngulang pertanyaanmu tadi, Krisna,” ujar Ganisha sambil menekan tombol naik saat kami tiba di depan lift.
Saat pintu lift terbuka, aku melihat dua orang perempuan yang akan keluar membawa shopping bag berlabel Shoes and Stuffs. Wajah Ganisha semakin terlihat excited, tidak sabar menjemput hadiahnya. Aku cuma senyum-senyum melihatnya. Akankah wajahnya terlihat seperti ini, jika suatu saat aku punya keberanian untuk...
“Krisna, sisa dua ratus ribunya boleh untukmu!” kata Ganisha.
“Ha?” aku nggak mudeng karena barusan memikirkan hal random itu.
“Iya, sepatuku kan harganya delapan ratus ribu, poinku nilainya satu juta. Berarti ada sisa dua ratus ribu. Kamu boleh pilih dompet atau belt, terserah. Anggap aja early birthday present dari aku,” kata Ganisha.
Wow... dia mau kasih hadiah untukku? Well, being friendzoned isn’t that bad, actually. Hahaha...
“Kamu aja yang pilih,” kataku. Ganisha menoleh dan tersenyum singkat ke arahku.
Soalnya aku cuma mau memilih satu untuk sekarang, memilih kamu. Eaaaa...
 ^^^
 Sesampainya di Shoes and Stuffs, aku langsung mengikuti langkah Ganisha menyusuri toko kumpulan sepatu-sepatu bermerk middle class itu. Ganisha sepertinya sudah tahu persis di mana lokasi sepatu yang ia inginkan itu diletakkan. Ia berhenti di salah satu sudut dan mulai menyisir rak di bagian sudut itu.
“Hmm...” gumam Ganisha. Ia beralih ke rak sebelahnya, sebelahnya, dan sebelahnya lagi.
“Kok nggak ada ya?” bisa kudengar ia berbicara.
“Coba tanya ke mbak-mbaknya,” usulku.
“Oh iya,” Ganisha berbalik dan berjalan ke arah seorang perempuan berseragam hitam dengan logo Shoes and Stuffs. Kulihat dia berbicara sesuatu dengan perempuan itu, seperti menjelaskan sepatu yang ia inginkan. Kutunggu jawaban dari pegawai toko itu, tapi wajah-selalu-senyum-nya itu membuatku susah menginterpretasi. Sampai akhirnya kulihat mereka menyudahi pembicaraan, dan Ganisha kembali ke arahku dengan wajah yang terlihat kecewa. Mungkinkah...?
“Sudah kebeli. Kemarin malam,” kata Ganisha dengan kekecewaan yang tidak bisa disembunyikan.
“Wow...” jawabku. Aku memutuskan untuk tidak berkata apa-apa, takut salah ngomong dan merusak semuanya. Merusak rencanaku.
“Aku udah ngincer sepatunya dari lama, Kris, dan orang dengan mudahnya ngambil sepatu itu. Kok aku bisa bodoh banget yah?” Ganisha terlihat lemas. Ia duduk di bangku terdekat.
“Mungkin aku harusnya nggak usah belagak nyari peruntungan ya, pakai ikut undian segala. Harusnya aku beli aja. Toh gajiku cukup, kok.”
Aku menepuk pundak Ganisha, syukur-syukur bisa kasih selamat. Ternyata cewek tuh beneran bisa sampai segininya, ya, soal sepatu doang.
“Ah, aku jadi nggak mood ngapa-ngapain. Pulang aja, yuk. Maaf ya, kamu jadi kena sasaran bete-ku,” Ganisha berdiri dan meraih tanganku. Aku menurut saja. Kurangkul pundaknya sambil berjalan keluar toko. Tak lupa Ganisha mengucapkan terima kasih pada pegawai toko yang ia ajak berbicara tadi.
 ^^^
 Benar saja lho, Ganisha tidak bicara selama perjalanan pulang. Aku mencoba mengajaknya bicara pun, dia cuma menanggapi dengan senyum maksa atau sepotong-sepotong. Daripada makin bete, akhirnya aku diam saja.
Singkat cerita, sampailah kami di depan rumahnya.
“Sha, I’m not really good at this, tapi, besok-besok bakal ada kok sepatu yang bisa bikin kamu naksir ampe segininya. Tapi lain kali jangan kelamaan mikir, ya,” aku berusaha bercanda.
Ganisha tersenyum, “Thanks, ya, Kris. Masih nggak rela aja. Aku coba cek online deh, siapa tahu masih ada,” Ganisha membuka seat belt-nya.
Tapi kemudian ia tercenung dan tidak jadi turun.
“Kris, pernah nggak sih, kamu merencanakan sesuatu sangaaaat matang, dan kamu sudah one step closer to succeeding, dan tiba-tiba kamu gagal karena, kurang cepat?”
Amit-amit, Sha, jangan sampai aku gagal dengan rencana mendapatkanmu karena aku kurang cepat. Eh, bukan ngomongin itu, ya?
“Wow, I didn’t realize that this shoes experience affects you a lot.”
“Aku nyesel bukan karena nggak dapat, tapi karena sebenernya aku bisa dengan cara lain mendapatkannya. Cuma karena aku terlalu ambisius dan nggak mikirin faktor yang bisa bikin aku gagal, aku malah beneran gagal. Ngerti kan poinnya?”
Aku mengangguk.
“Ah, ya udahlah. Ginian doang jadi panjang. Aku turun dulu ya, bye Krisna!” Ganisha mengambil tasnya di bangku belakang dan akan segera turun.
“Mmm... Sha,” panggilku.
“Ya?”
“Sebentar, dong. Jangan turun dulu,” kataku, juga sambil melepas seat belt.
“Ada apa Kris?”
Aku tersenyum dan mencabut kunci mobil, kemudian keluar. Aku membuka pintu bagasiku dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Lalu aku kembali lagi ke dalam mobil.
Aku bisa melihat Ganisha melotot tidak percaya dan hampir membuka mulutnya, tapi kuinterupsi.
“Please, untuk sekarang aku dulu yang bicara. Ganisha, kemarin aku iseng lihat profil Facebook kamu, dan aku lihat status update kamu tentang merk dan tipe sepatu yang kamu bilang tadi. Tanpa pikir panjang aku langsung ke Shoes and Stuffs untuk... ini,” aku menyodorkan plastic bag berlogo Shoes and Stuffs ke Ganisha.
“Ini... Krisna, kamu seriusan, ini...” Ganisha membuka kotak sepatu itu dengan cepat.
“Aku belum selesai. Dengar dulu boleh?”
Ganisha mengangguk sambil menahan senyum di bibirnya. Ia menatap mataku.
“Sha, aku udah merencanakan hari ini dari lama. Kalau kamu lihat bajuku sekarang, ini baju yang pertama kali kupakai waktu ketemu kamu di gathering. I cannot wait any longer.”
“Wait, wait... Merencanakan malam ini?”
“Sha, I’m in love with you.”
Bola mata Ganisha membesar.
“Sha, aku tahu rasanya merencanakan sesuatu dengan sangat matang. Dan aku nggak mau mengalami kegagalan hanya karena aku kurang cepat. Aku harap, aku nggak kalah cepat dengan siapa pun.”
Ganisha menggigit bibir. Aku bisa merasakan dia tidak tahu harus berkata apa.
“Kris, ini... aduh, sumpah. Aku speechless.”
Aku menyunggingkan senyum, “Aku nggak terburu-buru, kok. Kita bisa jalanin pelan-pelan. Aku juga bersedia ngajarin kamu masak. Untuk aku. Kamu nggak perlu khawatir akan dicoret dari daftar calon istri oleh siapapun. Coz you’re always first on my list,” aku menepuk punggung tangan Ganisha.
Ganisha tersenyum dan tertawa salting, “Sumpah, malam ini emosiku dimainin banget. Adoooh...” katanya sambil menutup muka.
Aku ikut tertawa melihatnya. Ganisha kemudian membuka kotak sepatu di hadapannya. Ia membuka mulut saking kaget dan tidak menyangka, bahwa sepatu yang ia idamkan kini benar-benar menjadi miliknya.
“Kira-kira reaksiku juga bakal begitu, Sha, saat perempuan yang aku idamkan bener-bener jadi milikku. Sama seperti sekarang kamu bisa memiliki sepatu itu.”
Ganisha beralih ke arahku lagi.
“These are the wrong shoes, honey...” ujarnya dengan raut wajah geli.
Senyumku berubah menjadi ekspresi kaget yang amat sangat, “Apa?” tanyaku shock.
Ganisha tertawa geli, “Krisnaaa... ini bukan yang aku pengen, tauuu! Ini model yang tahun lalu! Kamu siiih, nggak Googling duluuu!” Ganisha mengacak-acak rambutku.
“Kok kamu ketawa sih? Oh God, aku malu banget, tau!” rasanya aku mau nyebur ke laut saja.
Melihat reaksiku yang seperti itu, Ganisha tertawa makin keras.
“Ya Tuhan! Aku baru inget! Yang di status Facebook-ku, itu aku memang salah tulis! Harusnya ‘Midwest Dream’, tapi aku nulisnya ‘Mideast Dream’, saking excited-nya nunggu pengumuman pemenang poin! Padahal Mideast Dream itu model tahun lalu, yang kamu beli ini!”
Aku menepuk jidat. Oke, ini surprise tergagal yang pernah aku berikan pada seorang perempuan.
“Oh, Geez... I messed up!” aku menutup wajah dengan satu tangan karena malu. Sudah mahal, salah pula!
“Actually, you didn’t,” kata Ganisha sambil meraih tanganku. “Thank you, Krisna, for trying to surprise me. Kamu nggak gagal, kok,”
Ganisha tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ia melayangkan kecupan ke pipi kananku.
Wow... Was that real? Aku merasa seperti remaja labil yang baru jatuh cinta. And it feels great.
“Itu tadi... maksudnya?”
“Having you, and especially tonight, is the best feeling ever. Even better than if I get the actual shoes. I love you too, Pak Guru.”
“Was that a yes?” tanyaku memastikan.
“Yes,” jawab Ganisha, sekali lagi memamerkan senyum manisnya. “Tapi sepatunya beda. Waktu gathering kamu nggak pakai sepatu yang ini.”
“Ha?”
“Kamu pakai sepatu kulit warna cokelat, sekarang pakai sneakers. Gantengan pakai sepatu cokelat yang waktu itu, tau!”
Aku menatap matanya, tersenyum tidak percaya, ternyata dia juga masih ingat apa yang kukenakan saat itu.
“Emang kamu aja yang kena love at first sight?” Ganisha mengerling, dan sekali lagi dia mengacak rambutku.
Well, you can mess my hair anytime, now, Ganisha...
 THE END
By: Nahlia Rianto
1 note · View note
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
When You Least Expect It -part 6 (FINALE)
“Apa maksudnya?” Dania tidak jadi meninggalkan Rezi di situ.
“Ya, gue cuma ngomong kenyataannya aja, Dan. Sejak kita dikenalin Gita dan Renno dan mulai kenal lebih dekat, lo malah menyodorkan gue ke temen lo,” ujar Rezi.
“Tapi gue nggak bermaksud…”
“…menjodohkan gue dengan Putri?” tanya Rezi melanjutkan perkataan Dania.
Dania tidak menjawab. Rezi tersenyum, merasa menang akan argumen singkat ini.
“Jelas, lo menjodohkan gue dengan dia. Untung Putri wanita yang baik. Kalau nggak, tentu saja gue akan membuat perhitungan sama lo.”
“So, kita nggak ada masalah ‘kan sekarang? Lo berbahagia dengan Puput, kenapa sekarang lo malah mempersoalkan gue? Apa lo bilang tadi? Gue nggak memberikan lo kesempatan untuk mengenal gue?”
“Ya, mungkin tadi gue berlebihan. Lo memberikan gue kesempatan, tapi sebentar. Sampai akhirnya gue lo sodorkan kepada orang lain.”
“Gue hanya membuka jalan, kok. Perkara lo jadi sama dia atau nggak, itu ‘kan keputusan lo sendiri. Dan lo sudah memilih.”
“Pilihan apa yang gue punya, Dan?”
Tentu saja, antara dia atau gue, Rezi.
“Antara lo dan Puput, maksud lo?” tanya Rezi seolah dapat membaca pikiran Dania. “Didn’t you think? I wouldn’t make any of you one of my options. Never, Dan. Never.”
“Gue semakin nggak paham, Zi. Lo ngomongin apa, sih, sebenarnya?”
“Listen, Dan. Gue memutuskan untuk berhubungan dengan Putri karena waktu itu gue sempat berpikir, she might be the one. Tapi, seiring berjalannya waktu, gue merasa hubungan gue dan dia tidak seperti itu. Gue dan dia… I don’t know. I am happy with her, she’s smart, a good friend to discuss with. I do want to protect her from her ex-boyfriend. I think I like her, but I don’t love her.”
“Jeez, Zi. Did you even talk to Puput about this?”
“Sure. Don’t worry. Kami tipe pasangan yang mendiskusikan segala hal,” kata Rezi. “And she feels the same way as I do. And she knows that… I might fall in love with someone else.”
“Jadi, sekarang kalian…” Dania tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia sedang berusaha menyatukan potongan-potongan puzzle ini. Apakah ini sebabnya Rezi datang sendirian hari ini? Apa ia dan Puput sudah tidak bersama lagi? Dan, kepada siapa Rezi jatuh cinta kalau itu bukan Puput?
“Gue dan Putri memutuskan untuk…” Rezi berhenti sejenak, berusaha menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan. “…putus, dan sampai sekarang berpura-pura menjadi pasangan untuk menjaga dia dari mantannya. Sampai gue bisa memastikan perasaan gue sendiri. Dan sepertinya hari ini gue sudah bisa memastikannya.”
Jantung Dania berdebar-debar menunggu kelanjutan kata-kata Rezi selanjutnya.
“Dan gue jatuh cinta sama lo. Sorry, tapi gue tidak merencanakannya. Ingat waktu kita makan nasi goreng kambing itu? Di situ, di situ awalnya.”
Dania terdiam.
“Sejujurnya, gue nggak ngerti sama jalan pikiran dan permainan lo, Dan. Gue berpikir lo nggak tertarik bersama gue, karena lo menjodohkan gue dengan temen lo. Sampai sekarang pun, gue nggak ngerti apakah sebenarnya gue pernah diberi kesempatan untuk lebih dekat dengan lo.”
“Gue bingung, Zi. Jujur aja, gue nggak tahu harus bilang apa sekarang.”
“Gue cuman butuh jawaban dari lo. Apa lo mau mencoba menjalani hubungan dengan gue? Hubungan yang dewasa, saling mengisi, saling jujur dan terbuka, memperkuat masing-masing dan menutupi kelemahan-kelemahan? Hubungan yang bisa kita pertahankan hingga kita lanjut usia nanti, hubungan yang bukan hanya sekadar permainan orang-orang kesepian, tetapi karena kita sadar bahwa kita memang saling menginginkan? Dan, terutama, saling mencintai?”
Dania tidak dapat menjawab. Ia merasa senang sekali, seperti terbang ke langit ketujuh. Tetapi hal ini terlalu manis dan terlalu mendadak Rezi katakana kepadanya. Ia tidak bisa memutuskan sekarang. Ia ragu. Bagaimana dengan Puput? Apa benar mereka sudah tidak ada apa-apa lagi?
Rezi melihat arlojinya. “Kamu bisa jawab nanti saja, Dan. Sepertinya kita harus ke tukang bunga sekarang.”
 ^^^
 “Apa yang lo ragukan lagi?” seru Gita setelah mendengar cerita lengkap Dania. Gita menoleh ke arah Renno, meminta dukungan.
“Iya, Dan. Rezi sudah mengungkapannya semua ke lo, gitu. Kenapa lo masih bingung?”
“Entahlah, this doesn’t feel right… yet.”
“Karena Puput?”
“Iya, Git, Ren. Lo bayangin aja, Rezi tiba-tiba mengatakan semua hal itu ke gue. Ya, gue bingunglah. Gue belum dengar juga dari Puput. Afterall, ini semua ‘kan rencana gue.”
“Emang perasaannya Rezi bagian dari rencana lo? Emang lo pernah merencanakan perasaan lo sendiri juga ke dia?”
Dania menggeleng-gelengkan kepala. “Aaaaaaaa….”
Gita tahu, Dania tengah berpikir keras sekarang. “Lo nggak bisa mendasarkan semuanya dari pikiran lo, Dan. Sekali-kali, mungkin lo harus membiarkan hati lo bekerja sedikit. Apalagi sekarang ini.”
“Makanya, Dan. Lo, sih, aneh-aneh aja, pakai ngejodohin Rezi sama orang lain,” Renno terkekeh.
“Ih, Renno, jangan ngomong gitu…” kata Gita membela sahabatnya.
“Gue dulu merasa ide itu sangat brilian, menjodohkan mereka berdua. Sekarang gue kena batunya,” kata Dania ikut terkekeh bersama Renno.
“Gini, Dan. Lo sekarang jangan kebanyakan mikir deh. Sekarang, feel it. What do you feel? Apa yang lo rasa sekarang?”
“Gue cuma bingung, Git” jawab Dania. “Dan takut.”
“Takut kenapa, Dan? Takut kalau Rezi… nggak bisa dipercaya?”
Dania mengangguk.
“Tapi, Rezi itu beda dari pria kebanyakan, Dan, asal lo tahu aja. Dia tipe yang setia dan bertanggung jawab,” ujar Renno gantian membela sahabatnya.
“Tuh, Dan. Itu sahabatnya yang ngomong. Kenapa lo harus takut?” sahut Gita.
“Tapi, Git… Terakhir kali gue percaya sama orang, lo tahu sendiri…”
“But Rezi is not Dio, Dan,” jawab Gita mengingatkan. “Nggak semua laki-laki brengsek kayak dia.”
“Buktinya ada gue,” Renno berusaha melucu.
“Hahaha, iya, Ren. Lo emang nggak ada duanya,” jawab Dania.
“So?” tanya Gita.
“So what?”
“Well, I said, Rezi is not Dio.”
“Yeah, I know that.”
“Then you know the answer.”
^^^
 “Oke, Dania Aruna. Kami sudah mendengar presentasi dan pertanggungjawaban Anda terhadap tesis yang Anda buat. Kami terkesan, Anda sudah menunjukkan yang terbaik. Maka dengan ini, kami menyatakan Anda lulus uji tesis ini dan mendapat gelar magister. Catatan revisi sudah kami tulis semua dan harap Anda selesaikan revisinya tidak lebih dari dua minggu,” papar seorang dosen penguji pada Dania, diiringi helaan napas lega gadis itu.
“Terima kasih banyak, Pak, Bu, terima kasih,” ujar Dania sambil menyalami penguji sidang tesisnya satu per satu.
Setelah mempersiapkan selama kurang lebih satu tahun terakhir, Dania telah menjalani tesisnya dan mendapat komentar baik tentang presentasinya tadi. Ia merasa sangat lega akan hari ini, terlepas dari adanya catatan untuk revisi. Satu bisul gue sudah pecah, ujarnya dalam hati.
Ia melangkah keluar ruang A207 dan menemukan teman-teman seangkatan dan seperjuangannya dalam mengerjakan tesis, menungguinya di luar. Satu per satu dari mereka memeluknya dan memberikan selamat.
“Akhirnya, ya, Dan…” atau “Congratz, Dan…” terdengar dari mulut mereka. Dania sendiri mengucapkan terima kasih dan memberikan seruan semangat bagi mereka yang baru akan sidang thesis besok.
“Mbak Dan, selamaaaat,” ucap Sita. Mahasiswi tingkat dua ini ternyata ada juga di antara mereka.
“Thank you, Sita. Lo sendirian?”
“Anak-anak, sih, udah pada pergi liburan, Mbak. Tapi gue ditungguin Attar. Itu dia lagi ngerokok di luar,” kata Sita sambil menunjuk pria yang dimaksud, yang adalah kekasihnya.
“I see…”
Setelah ngobrol singkat dengan Sita, Dania meninggalkan gedung tersebut, menuju lapangan parkir. Ia menyetir sendiri hari ini. Tetapi langkahnya terhenti karena melihat sesosok pria yang dikenalnya, berdiri di sebelah mobilnya, membelekangi dirinya. Menyadari kehadiran Dania, pria tersebut membalikkan tubuhnya dan memberikan senyumnya yang paling menawan. Di tangannya ia memegang setangkai mawar merah.
Ia mendekati Dania, menyerahkan mawar itu, dan berkata, “Selamat, ya.”
“Rezi…” Dania tidak sanggup berkata-kata, tapi tersenyum dan mengambil mawar tersebut dari Rezi. “Kok…?”
“Gue dengar dari Gita, lo sidang hari ini.”
Dania hanya menangguk. “Terima kasih, ya. Lo sampe dateng ke sini, repot-repot amat.”
“Nggak repotlah, dari kantor gue ke sini ‘kan deket.”
“Emang lo nggak banyak kerjaan?”
“Ya, banyak, sih. Tapi buat lo, gue rela dateng.”
“Giling. Terus, kerjaan lo?”
“Santai aja, Dan. Udah gue atur,” jawab Rezi menenangkan Dania.
“Okay, okay.”
“Sebenarnya gue juga mau menanyakan suatu hal sama lo, Dan,” kata Rezi perlahan. “Soal waktu itu.”
Dania tahu persis maksud Rezi adalah pernyataan cintanya waktu acara pertunangan Gita dengan Renno.
“Jadi, lo udah memikirkannya? Dan apakah lo mau mencobanya? Jalan sama gue?”
“Gue nggak boleh ambil pilihan bantuan phone a friend, gitu?”
“Well, bukannya sudah?”
“Lo dapat bocoran dari Renno, ya, pasti?”
“Nggak cuman dari Renno,” jawab Rezi sambil nyengir.
“Mereka bilang apa aja sama lo?”
“Please, Dania, does it really matter to you, what they said?” Rezi tidak menjawab Dania. “Tapi, apa yang mereka katakan, cukup untuk membuat gue mengerti, kenapa lo bersikap seperti ini sama gue. Gue cuma pengen lo tahu, Dan, kalau gue cinta sama lo. Gue mau mencoba menjalani ini dengan lo. Gue pun nggak bisa menjanjikan diri gue jadi pacar yang sempurna, tetapi… kalau lo mau, setidaknya, memberikan gue kesempatan, gue akan mengusahakan yang terbaik. Buat kita berdua. Gue harap lo juga mau melakukan hal yang sama.”
Dania tidak bisa mengelak lagi sekarang. Ia seperti ‘telanjang’ di depan Rezi karena Gita dan Renno pasti sudah memberitahu Rezi bahwa ia telah berbicara pada mereka. Tetapi Dania memang sudah pernah memikirkan ini sebelumnya. Ia hendak memberikan jawaban kepada Rezi.
“So, Dania… Will you give me a chance to love you? Even more than I’ve already felt until now.”
Dania tersenyum.
^^^ 
Mei 2014.
“Sebagai teman baik keduanya, saya berharap Renno dan Gita bisa selalu mencintai seumur hidup, bekerja sama dalam susah dan senang, yang paling penting bisa saling melengkapi. Karena menurut saya, cinta itu tentang melengkapi dan menerima. Saya memang nggak bisa ngomong banyak-banyak soal marriage life. Ada alasan kenapa saya jadi maid of honor dulu untuk sekarang…”
Ucapan Dania tersebut mengundang tawa para tamu.
“…here’s to the bride and groom!” Dania mengajak semua yang hadir untuk bersulang. Setelah menyelesaikan speech-nya, Dania turun dari podium. Di bawah, Rezi menunggu dengan seutas senyum sambil mengulurkan tangan, hendak membantu Dania menuruni pijakan.
“You did great, honey.”
“Iya, sekalian curhat kalau aku belum married,” canda Dania, disambut oleh tawa Rezi. “Yuk berburu makanan. Aku laper.”
Rezi menggenggam tangan Dania, yang kini sudah beberapa bulan menjadi kekasihnya.
Selang beberapa menit, mereka sudah siap menyantap hidangan kedua. Sekarang mereka tengah mengantre untuk mengambil dimsum. Sepiring berdua cukup.
“Hayo, hayo, udah ronde keberapa nih?” seseorang mengagetkan mereka berdua. Rupanya Renno dan Gita tengah berjalan ke arah para tamu, alih-alih hanya duduk di pelaminan.
“Heeei… bro! Congratulations!” Rezi menepuk bahu Renno dan memberinya pelukan. Gita dan Dania juga saling berpelukan.
“Kayaknya kita yang lebih cocok buat congratulate mereka ya, Yang?” sahut Gita.
“Iya, nih, kayaknya ada yang happy ending ya? Udah dikode-kode tuh tadi!” timpal Renno lagi.
Rezi dan Dania bertatapan sambil melempar senyum. “Doain aja.”
“Eh, makan yang banyak, ya. Kan lo berdua nih yang paling bekerja keras kita repotin,” Renno merangkul Dania.
“Siap. Kita udah sengaja ngosongin perut, kok,” Rezi menepuk pelan perutnya yang mulai sedikit membuncit setelah pacaran dengan Dania. Bagaimana tidak, kalau sepasang kekasih hobinya sama-sama makan?
“Kita jalan lagi ya, guys,” pamit Gita. Ia kemudian menggamit lengan Renno untuk berjalan lagi.
 ^^^
 Dania dan Rezi masuk ke dalam rumah. Keduanya sama-sama lelah malam itu. Rezi sudah bilang kalau ia ingin menumpang rebahan sebentar sebelum pulang, dan Dania membolehkan.
“Aku panggil Mama-Papa sebentar, ya. Kayaknya udah pada pulang dari kawinan Gita,” kata Dania.
“Eh, nggak usah, Dan. Takutnya pada capek. Nggak enak aku kalau ganggu. Mau teh panas aja, ya sayang,” kata Rezi sambil mengempaskan diri ke sofa. Rezi mulai memejamkan mata. Tampaknya ia lelah sekali.
Dania kemudian pergi ke dapur untuk membuatkan minuman. Secangkir teh vanilla sepertinya nikmat. Ia pun membuat dua cangkir untuk dirinya dan Rezi.
Saat ia membawa nampan berisi dua cangkir teh dan setoples kastangel, ia heran mendapati Rezi sudah tidak ada di sofa.
“Rezi?” panggilnya. Tidak ada jawaban. Mungkin ke toilet, pikirnya.
Dania pun meletakkan nampan di meja depan sofa dan menunggu Rezi sambil memainkan ponselnya.  Tidak terdengar suara apa pun dari toilet. Tiga menit, lima menit berlalu, tetapi Rezi tidak keluar juga dari toilet. Dania mulai curiga. Ia bangun dan mengetuk pintu toilet, “Rezi, kamu sakit perut?”
Tidak ada jawaban. Dania mencoba memutar kenop pintu. Tidak dikunci, dan lampunya mati. Tidak ada Rezi di dalam. Maka, Dania pun mencari ke ruang tengah. Mungkin Rezi sedang nonton televisi. Tetapi ia juga tidak menemukan Rezi di sana, hanya saja ada selembar label yang menempel di layar laptop yang terbuka, entah punya siapa. Ia mengambil label itu dan membaca tulisannya.
“Dear Dania, press the power button, and press play”
Apaan, nih?, pikir Dania. Dania kemudian mengikuti instruksi dari label tersebut.
Rupanya laptop tersebut dalam keadaan standby. Setelah dinyalakan, ada sebuah file video yang terbuka. Maka Dania pun menekan play.
Pertama hanya layar hitam, lalu terdengar sebuah latar suara. Lagu “Let Me Love You” dari Ne-Yo.
 “Much as you blame yourself, you can't be blamed for the way that you feel Had no example of a love that was even remotely real How can you understand something that you never had? Ooh, baby, if you let me, I can help you out with all of that” 
 Lalu adegan berganti ke sebuah latar seperti kamar, dengan sesosok pria yang sedang mengatur posisi kamera menghadap dirinya. Rezi. Suara latar lagu pun mengecil.
“Udah pas belum, ya? Yak, lumayan,” gumam Rezi dalam video itu.
Kening Dania mengerut, tetapi geli juga melihat Rezi mengatur kamera. Setelah itu, Rezi duduk di tengah dan memulai narasi.
 “Hai, Dania. Hehehe… sori ya, amatiran nih. Mmm… kamu pasti bingung ya, ada laptop di tengah-tengah meja, nggak tahu punya siapa, instruksinya cuma nyalain. Sori juga, kalau kamu harus ngelihat aku yang… ini, ini aku belum mandi, belum cuci muka, belum sisiran. Nggak banget, pokoknya. Tapi sebenernya, ya, ini aku yang mudah-mudahan bakal kamu lihat pertama kali pas kamu buka mata. Aku yang begini.”
 Dania tidak tahan untuk tidak tersenyum. Jantungnya mulai berdebar tak beraturan.
 “Kamu ingat nggak, waktu seminggu setelah kita jadian, aku selalu minta kamu kirimin selfie pertama kamu pagi-pagi? Tapi kamu selalu tolak, karena takut aku upload di Path atau Instagram. Itu sebenernya aku sengaja. Aku cuma pengin simpan di handphone-ku, biar aku tahu bahwa mungkin ini pemandangan setiap pagi selamanya, sampai aku tua. Aku pengin bangun dengan melihat wajah itu. Wajah kamu.”
 Dania menutup mulut dengan tangan, hampir memekik karena panik, dan matanya mulai berkaca-kaca karena haru.
 “So, Dania. Semoga dengan video ala kadarnya ini, aku cuma mau bilang, terima kasih buat kesempatan yang udah kamu beri ke aku selama beberapa bulan ini. Kamu tahu, aku tahu, jalan kita sempat nggak mulus. Tapi aku nggak pernah berhenti meyakini diriku sendiri kalau aku pengin berakhir sama kamu. Nggak ada yang lebih tepat buatku selain kamu. Aku harap kamu juga begitu. So…”
 Rezi terlihat mengambil sesuatu dari sisinya, dan ditunjukkan ke kamera. Sebuah kotak beludru warna biru. Jantung Dania semakin berdegup cepat, sudah sedikit berharap-harap cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
 “Dania Aruna, will you marry me?” Rezi membuka kotak beludru itu. Kosong. Tidak ada isinya.
 “Girl let me love you And I will love you Until you learn to love yourself Girl let me love you I know your trouble Don't be afraid, girl let me help Girl let me love you And I will love you Until you learn to love yourself Girl let me love you A heart of numbness gets brought to life I'll take you there”
 Kemudian video tersebut selesai.
Kening Dania mengerut. “Hah, kok?” Dania mencoba melihat folder lain, tapi ia tidak menemukan ada video lagi.
“Kaget ya, kotaknya kosong?” sebuah suara mengagetkan Dania. Ia menoleh dan terbangun. Ia mendapati Rezi sudah berdiri di belakangnya. Dan yang membuat Dania lebih kaget, ayah dan ibunya juga berdiri di belakang Rezi.
“Kok… kok bisa ada… kok Papa sama Mama…?” Dania takjub, tidak mampu menahan senyumnya.
“Aku udah minta izin sama orangtua kamu. Dan aku harap respon kamu sama seperti respon mereka.”
“What? Kok bisa… kapan ketemunyaaa?”
“Bapakmu ini udah pensiun lho, Dania. Ketemu sih bukan hal yang sulit ya, Ma?” ayah Dania melirik ke arah istrinya. Ibu Dania hanya tersenyum sambil mengangkat alis.
“Oh my God…” Dania menutup mulut dengan tangan lagi.
“So…” Rezi maju selangkah, mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Kotak beludru yang sama seperti yang ia tunjukkan dalam video. Dibukanya kotak itu, dan kali ini ada isinya. Sebuah cincin emas putih sederhana, dengan aksen berlian kecil. “Jawab dong, pertanyaanku di video tadi,” katanya sambil tersenyum.
Dania menimang cincin itu sambil menatapnya kagum. Lalu ditatapnya sang pria yang membawa benda itu, dan orangtuanya, bergantian. Dalam rasa syukur dan kebahagiaan yang memuncak, Dania mengangguk penuh semangat.
 TAMAT
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
When You Least Expect It - part 5
Rezi memeriksa penampilannya sekali lagi di cermin. Hari ini ia mengenakan kemeja abu-abu dan jins panjang. Kata Dania, paduan kemeja dan jins selalu memesona bagi Puput. Rezi juga sengaja tidak pakai parfum, hanya deodoran. Kata Dania, Puput kurang suka bau parfum laki-laki yang menyengat. “Real men smells pheromone.”
This is the day. Sebenarnya bukan kebiasaan Rezi untuk menyatakan perasaan pada seorang perempuan dengan cara spesial, seperti ‘memperindah’ diri, menyiapkan kejutan, atau sebagainya. Bagi Rezi, menyatakan cinta cukup dengan cara sederhana, karena perjuangan sebenarnya adalah ketika mereka sudah resmi bersama, saling berkompromi, saling mengisi, dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Tapi kata Dania, tidak ada salahnya berbuat sesuatu yang spesial.
 ^^^
 Dania membaca pesan yang masuk ke ponselnya malam itu. Senyum tipis tersungging, sebelum sesaat kemudian dirinya menghela napas.
Bukannya ini yang lo inginkan, Dan?
Ya, mungkin Dania belum sempat memasukkan keinginan yang tertinggal ke dalam daftarnya. Keinginan untuk merasakan apa yang Puput rasakan. Baru kali ini, Dania jatuh ke dalam perangkapnya sendiri. Ia jatuh cinta pada target operasinya sendiri. Sang target yang seharusnya untuknya sejak awal. Permainan ini harus berakhir. Yang kemarin itu bukan empati, bukan karena ia tidak ingin Rezi merasa sedih lagi.
Tapi ia ingin jadi sumber kebahagiaan Rezi.
“What are you doing exactly, Dania? Kesempatan yang sebenarnya buat lo malah lo jadikan kesempatan buat orang lain. Sekarang baru terasa nggak enaknya, ‘kan? Terus mau apa? Mau nyatain perasaan lo yang sebenernya? Sekarang?”
Dania melempar ponsel ke sisi ujung tempat tidur, lalu menutupi badannya sampai kepala dengan selimut.
 ^^^
 Sudah lima belas menit Dania membiarkan layar komputer di depannya menyala. Pagi ini Dania tidak ada kelas atau asistensi, jadi dia bisa mengerjakan beberapa koreksi ujian milik mahasiswa S1. Tetapi yang terjadi adalah ia hanya melamun menatap entah apa.
“Mbak Dania, ini olahan data yang kemarin,” Sita datang membawa setumpuk kertas berukuran A4.
Dania tidak menggubris, bahkan dirinya tidak ngeh Sita ada di sana.
“Mbak,” Sita memanggil lagi.
“Hm?” Dania menyahut, menoleh pelan ke arah Sita. “Eh, iya, Ta. Thank you, ya,” Dania mengambil kertas dari Sita dan meletakkannya di dekat keyboard.
“You okay?”
Dania mengangguk, “Kenapa emangnya?”
“Nggak, kayak orang bengong gitu.”
“I’m fine. Lo nggak ada kelas?”
“Sebentar lagi. Mbak Dania nggak ngajar?”
“Nggak, sih.”
“Lho, kalau ngggak ngajar, kok jam segini udah di kampus, Mbak?”
Dania memandang ke arah jam kecil di dekat layar komputernya. Ini masih pukul 07:55. Bukan kebiasaan Dania datang jauh sebelum kelas dimulai. Tapi ia baru ingat. Pagi tadi ia bangun dan tiba-tiba langsung mandi, siap-siap, lalu berangkat ke kampus tanpa berpikir apa-apa. Ia pun tidak begitu sadar saat menyetir dan sampai di kampus.
“Ngapain ya… gue di kampus sepagi ini?” tanyanya dengan tatapan kosong.
Sita cuma mengernyitkan dahi, “You sure you’re okay?”
“Iya, iya. Nggak papa, Ta. Lo masuk kelas aja,” kata Dania. Sita menurut, meninggalkan ruangan.
Dania mengembuskan nafas berat. Masih pagi tapi dirinya sudah seperti zombie. Ia menatap sekeliling ruangan, lalu mendapati sepasang sepatu olahraga di bawah mejanya. Sesaat kemudian, ia mengambil sepatu itu beserta tas dan kunci mobilnya.
I gotta hit the gym.
 ^^^
 Setelah pergi ke gym, Dania menghubungi Gita untuk menemaninya makan siang. Tak disangka, Gita menyambut gembira dan langsung mau menyusul Dania ke warung pecel ayam dekat gym.
“Tumben nge-gym hari gini, Dan?” sapa Gita karena melihat Dania dengan rambutnya yang masih setengah basah dan pipinya sedikit kemerahan. Tanpa diberitahu pun, Gita tahu sahabatnya ini baru selesai berolahraga.
“Iya, bosen di kampus. Kuliah juga nggak ada hari ini, cuman tugas-tugas asdos aja yang mesti gue beresin,” jawab Dania. Ia merasa lebih segar setelah berolahraga, tapi perasaannya tetap tidak enak. Ia merasa ragu, apakah harus ia ceritakan perasaannya kepada Gita atau tidak sama sekali.
“Anyway, I have a big news. I planned to call you yesterday but it was quite late. And I just think, it’s better to tell you in person. Face-to-face.”
“What’s that big news?” tanya Dania.
“Kemarin malam, gue dilamar.”
“Beneran, Git? OH MY GOOOOOD!” serunya gembira seraya berdiri, menghampiri Gita dan memeluknya erat. Mata Dania yang tadinya tanpa ekspresi berubah cerah karena merasakan kebahagian Gita. “Eh, tapi lo jawab ‘iya’, ‘kan?”
“Ya, iyalah, Dan!” seru Gita balik. “Renno ngajak gue makan di Hotel Casa, lo tau kan? Hotel baru yang deket kampus. Ternyata itu hotel keluarganya. Ternyata gue dibawa ke rooftop, terus udah dihias dengan kelopak mawar putih banyaaaaak banget.”
“Ah, he knew you like white roses!”
“Exactly, Dan. Dia bahkan menyewa permainan orkes khusus buat gue, chamber orchestra of course. And he asked them to play all my favorite pieces, walau tetap terdengar nggak lengkap, sih, karena bukan orkestrasi lengkap. Tapi, menurut gue, itu udah sweet banget.”
“Dan waktu dia menanyakan ‘hal itu’ ke elo?”
“Dia menyanyikan ‘When I Fall in Love’ buat gue and then, like most men do, he bended on his knees and showed me this beautiful ring,” kata Gita sambil menunjukkan di jari manisnya. “Simply he just asked me, ‘Gita, marry me?’. That’s all.”
Dania tersenyum senang mendengar cerita sahabatnya itu. Ya, Tuhan, Gita is getting married soon!
“Dan lo harus mau jadi maid of honor gue,” kata Gita menunjuk Dania langsung.
“Oh, of course, Git. Gonna be my pleasure!”
Lalu Dania memeluk sahabatnya itu sekali lagi.
 ^^^
 Sebulan kemudian.
Dania tiba di rumah dengan sangat lelah. Hari ini ia bangun terlalu pagi, ke kampus, memeriksa ujian, pergi ke gym, menjalankan ‘tugas mulia’ melihat-lihat kebaya yang akan Gita pakai untuk acara pertunangannya, sebelum akhirnya ia pulang ke rumah. Ketika ia sedang bersama Gita, ia sebenarnya ingin sekali menceritakan apa yang membebani pikirannya selama ini. Sudah sebulan Rezi dan Puput jadian dan ternyata Dania malah menyimpan perasaan terhadap Rezi. Dan, tentu saja, Dania tidak dapat menceritakannya kepada siapa-siapa. Kepada Gitalah ia ingin bercerita, tetapi ia masih ragu. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan Gita dan persiapan pernikahnnya dengan Renno dengan persoalan sepele ini. Apalagi, Gita menunjukknya sebagai maid of honor. Dania pun akan disibukkan oleh Gita dengan berbagai macam tugas.
Dania ingin segera mandi air panas untuk menjernihkan pikirannya. Ia masuk ke kamar mandi dan dibukanya keran air untuk mengisi bath tub-nya. Sambil mempersiapkan peralatan mandinya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Rezi menelpon.
Dania sedikit terkejut dan tidak langsung menjawab panggilan itu. Kenapa Rezi menelepon?
“Halo?” Dania berusaha membuat suaranya terdengar sekasual mungkin.
“Halo, Dan. Lagi sibuk?”
“Nggak, kok. Kenapa, Zi? Tumben nelpon.”
“Lo lagi sakit, ya? Kok suaranya lemes gitu?”
“Ah, masa’ sih? Nggak kok. Gue cuma sedikit capek aja.”
“Habis ngapain emangnya?”
“Seharian ke kampus, kerja, nemenin Gita juga.”
“Oh, ya. Lo maid of honor-nya Gita ya?”
“Betul.”
“Gue nggak tahu apa Gita atau Renno sudah bilang ke elo, kalau Renno pilih gue jadi best man-nya.”
“Ya, gue tahu. Gita sempat bilang.”
“Jadi, kita bakal dibikin sibuk sama mereka berdua, nih.”
“Bukan bakal, sih. Tapi sudah. Hehehe.”
“Lama nggak denger suara lo, apalagi denger lo ketawa.”
Dania terdiam dan bingung hendak menjawab apa.
“Eh, Puput apa kabar?” tanyanya, berusaha mengalihkan kecanggungan.
“Hmm… baik. Sering ke luar kota untuk liputan.”
“Ohh…”
“Baiklah, Dan. Lo terdengar capek banget. Kayaknya lo harus segera mandi dan istirahat.”
Kemudian mereka berdua menyudahi pembicaraan tersebut. Dania segera ke kamar mandi dan masuk ke bath tub. Ia membenamkan kepalanya ke dalam air.
^^^
 Mei 2013.
 Hari ini pesta pertunangan Gita dan Renno akan dilangsungkan. Dania yang bertanggungjawab akan dekorasi. Tidak sulit bagi Dania karena sebagian besar hanya beberapa jenis karangan bunga. Itu pun ia hanya perlu memesan dan mengaturnya di rumah Gita. Dania sendiri tidak mengerti banyak soal bunga, dan itu membuatnya sedikit gugup. Bagaimana kalau salah, bagaimana kalau bunganya layu? Beruntung vendor bunga untuk dekorasi adalah milik kenalan Renno dan Rezi di Australia. Mereka dengan senang hati membantu dari mulai konsultasi, memilihkan bunga, dan mengatur tata letak.
Rezi. Dania harus terima bahwa sampai acara pernikahan Gita dan Renno digelar, ia akan berurusan dengan pria itu. Blessing in disguise, pikirnya. Selama nggak ada Puput di sebelahnya, sepertinya nggak apa-apa.
Gita sudah didandani sejak pukul tujuh pagi. Setengah jam kemudian Dania datang dan membantu apa saja yang bisa ia bantu. Sekarang sudah hampir pukul sembilan, tetapi dekorasi bunga belum datang. Dania berulang kali mencoba menghubungi kantor vendor, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin belum buka, atau memang tidak buka di hari Sabtu.
Beberapa kali Dania menghambur keluar rumah setiap ia mendengar suara deru mesin mobil. Ia berharap itu adalah para pengantar dekorasi bunga. Tetapi yang datang dari tadi kalau bukan katering, rombongan keluarga, atau mobil-mobil yang lewat saja.
Dania menimang-nimang ponselnya, berusaha menghubungi Renno. Tetapi baru satu kali nada sambung, ia langsung mematikannya. Renno juga pasti sedang repot dengan keluarganya.
Di tengah kebingungannya itu, ia melihat mobil Rezi muncul dari belokan dan parkir di depan rumah. Tak lama, Rezi turun dari mobilnya, terlihat sangat tampan mengenakan kemeja putih yang dimasukkan rapi ke dalam celana hitam, mengenakan dasi abu-abu, dan membawa sebuah kantong besar khusus jas berwarna abu-abu.
Dania hampir tidak bisa bernafas melihat Rezi. Ganteng banget. Dan entah mengapa dia tidak bisa menahan senyum saat melihat tidak ada Puput keluar dari bangku penumpang.
Kemudian mata mereka bertemu. Rezi mengangkat tangannya, melambai singkat pada Dania. Dania membalas lambaian itu. Rezi menghampiri dan menyapanya, “Semua beres?”
Dania tiba-tiba teringat masalah dekorasi bunga, “Orang dekor belum pada sampai, nih. Mana kantornya nggak bisa dihubungin.”
“Lo nggak pegang nomor contact person-nya?”
“Yang pegang Renno. Gue nggak mungkin bilang ke dia kalau orang dekor belum datang. Dia yang mau tunangan hari ini. Gue cuma pegang nomor kantornya.”
Dania mencoba peruntungan dan sekali lagi menelepon kantor vendor. “Diangkat!” kata Dania. “Halo, Mbak. Iya, saya mau tanya. Pengiriman dekorasi yang ke Jalan Aditiawarman sudah sampai mana ya, Mbak? Harusnya sudah dari dua jam yang lalu mereka sampai.”
Rezi menatap Dania yang terlihat agak panik. “Hah? Lho, gimana sih, Mbak? Kan sudah dibilang kita start jam sepuluh, jadi bunganya bisa ditaruh dari jam tujuh. Dapat info dari mana mulai jam sebelas? Terus sekarang gimana? Mbak, acaranya sebentar lagi dimulai. Ini nggak mungkin kalau tanpa dekorasi. Pokoknya secepatnya ya, Mbak.”
Dania mematikan telepon dan menghela napas panjang. “Ada masalah?”
“Mereka miskomunikasi. Masak katanya dapat info acara mulai jam sebelas? Terus sekarang orang-orangnya belum pada jalan. Sebentar lagi Gita kelar dandan, kalau dia lihat ini belum beres, dia bisa stres. Belum lagi kalau nyokapnya ikutan panik. Aduuuh… mampus deh gue!” Dania menutup wajahnya.
“Tenang, tenang. Sekarang orang-orangnya udah jalan belum?”
“Ya tadi sih dia bilang mau usahain jalan sekarang. Tau, deh.”
Lalu ponsel Dania berdering lagi, “Halo, iya Mbak. Hah? Gimana? Lho, ini kok jadi saya… ya nggak bisa dong, Mbak. Pokoknya harus diantar sekarang. Kok Anda nggak profesional, sih? Mbak, saya kenal ya dengan owner Anda. Ini sudah keterlaluan!” Dania mematikan telepon.
“Ada apa lagi?”
“Masak katanya kalau mau cepat gue sendiri yang disuruh ambil, sih?? Nggak profesional amat! Gila ya, anak buahnya yang nggak becus tapi kita yang disusahin! ‘Iya Mbak, nanti biaya kirimnya dihapus saja’. Oh Tuhaaaan… ada aja sih cobaan!”
Rezi berusaha menanggapi dengan kepala dingin, “Ya udah, yuk gue temenin ambil. Mumpung masih pagi, jalanan belum maceet. Kita gerak sekarang.”
“Nggak bisa gitu, Zi. Enak banget mereka, nggak professional. Emang kerjanya pada males aja!”
“Whoa… tenang, Dania. Kita udah nggak ada waktu buat ngomel-ngomel. Nggak ada gunanya bilang mereka males sekarang. Yang penting sekarang kita ambil aja dulu bunganya. Urusan komplain, nanti kita selesaiin setelah acara.”
“Ini pasti karena owner-nya temen lo ‘kan, makanya lo belain?”
“Nggak, Dania. Kan tadi lo yang bilang, jangan sampai Renno sama Gita tahu kalau dekorasinya belum ready. Come on, I’m just trying to help here.”
“No, thank you. I can handle this.”
“Lo panik, Dania. Jelas lo butuh bantuan. Ayolah, let me help.”
“Rezi, jangan bikin gue makin pusing!”
Rezi tersentak karena suara Dania yang meninggi. Ia tidak merasa bersalah, kenapa Dania semarah itu? “Sori kalau gue bikin pusing. Tapi sikap lo pagi ini nggak seperti Dania yang gue kenal.”
“Oh ya? Dania yang seperti apa yang lo kenal?” tantang Dania.
Rezi diam. Dania cuma mendengus sambil menggelengkan kepala, lalu berbalik badan.
“Dania yang nggak memberi gue kesempatan untuk mengenal dia lebih dalam,” jawab Rezi, membuat Dania menghentikan langkahnya.
^^^
0 notes
relungkhayal-blog · 8 years ago
Text
When You Least Expect It - part 4
Setelah pertemuan terakhinya dengan Rezi, Dania menghubungi Puput, salah satu teman baiknya di kantor Hype, majalah tempatnya magang beberapa waktu lalu. Sudah tiga tahun Puput bekerja di Hype saat Dania magang. Dania banyak dibimbing tentang bekerja di media dan sebagainya. Waktu itu Puputlah yang banyak membantu Dania menulis serta memperbaiki artikelnya sebelum diserahkan kepada editor. Setelah lulus nanti, Dania akan dengan senang hati melamar lagi di Hype.
Puput dan Dania catch up sore ini di Extra, sebuah coffee shop kecil yang berada satu gedung dengan Hype. Dania sengaja memilih tempat ini karena akan lebih mudah untuk Puput bertemu di sini. Maklum, orang sibuk. Puput butuh tempat yang dekat dengan tempat kerjanya.
“Jadi waktu Jokowi dilantik jadi gubernur kemarin lo ada di situ, Put? Giling!”
“Ya, namanya kerjaan. Hype nggak cuma membahas tentang lifestyle anak-anak muda ‘kan, tapi mau juga mengarahkan anak-anak muda tersebut agar peka dan melek terhadap kemajuan Indonesia. Menurut gue sih, terpilihnya Jokowi dan Ahok jadi gubernur dan wagub itu adalah langkah besar, khususnya bagi kemajuan masyarakat Jakarta, ya.”
“I see, Put. Makin keren aja reporter ibukota kita yang satu ini,” kata Dania tulus memuji.
“Lo kapan lulus, Dan? Mau apply ke Hype lagi ‘kan? Kita butuh nih reporter-reporter baru dengan pikiran yang terasah macem lo gitu.”
“Iya, Put. Ngikutin jejak lo ajalah. Biar ketularan keren.”
“Hahaha, basi lo. Biasa aja kali. Apanya yang keren, begini-begini aja hidup gue.”
“Iya, sudah pintar, pekerjaan oke, tinggal calon suami aja nih yang belum.”
“Bawel lo!”
“Bener ‘kan?” sahut Dania jahil. Lalu tiba-tiba ia berhenti dan berpikir sejenak. “Eh, Put, tapi lo udah nggak jalan sama Dimas ‘kan?”
“Nggaklah, Dan. Bisa mati gue.”
“Eh, gue nggak sempet denger cerita lengkap lo waktu itu, Put. Jadi bener si Dimas tuh jahat banget gitu? Mukul lo gitu?”
Puput hanya menatap menerawang. Tidak menjawab.
“Lo diam, gue anggap sebagai iya?”
Puput hanya mengangguk. “Sudahlah, Dan. Nggak usah dibahas lagi. Lo udah denger dari orang-orang lain, kayaknya, dan yang mereka bilang pasti 90% benar kok. Gue nggak pernah menutupi dari orang lain, tapi gue males aja ngebahasnya. It’s so last year. Mending lo sekarang bantuin gue cari laki yang bener, yang baik, yang lembut, nggak kasar kayak si Dimas. Gimana?”
“Oh, deal!” jawab Dania penuh semangat. Lo nggak tahu, Put, I found one for you already, ucapnya dalam hati.
 ^^^
 Sekitar seminggu kemudian, Dania mengajak Puput bertemu kembali, bukan sekadar untuk catch up, tapi untuk menjalankan misi mulianya, yaitu menjodohkan Puput dengan Rezi. Rezi itu pria yang baik dan lembut. Ia tahu bagaimana memperlakukan perempuan dengan baik, jadi Dania merasa mereka adalah pribadi yang sama-sama cocok.
“Jadi, lo kerja di Gordon&Mitchell?” Puput berseru gembira.
“Yup,” jawab Rezi sopan.
“Lo kenapa happy banget gitu, Put?” tanya Dania penasaran.
“Ya, karena gue lagi ngerjain artikel yang membahas sedikit-sedikit tentang Ekonomi dan Bisnis. Inget ‘kan, Dan, gue sempet biang kalau Hype lagi mau memelekkan pengetahuan umum anak-anak muda. Jadi artikel-artikel yang dimuat itu dari segala rupa gitu loh. Gue dapet politik ekonomi. Rempong banget deh. Mana gue ngerti-ngerti-nggak.”
Dania dan Rezi tertawa. Puput itu selain pintar, ia juga cerewet. Hampir tidak bisa berhenti bicara, apalagi kalau sudah membicarakan hal-hal yang dia suka.
“Terus sekarang lo lagi nulis apa?”
“Err... sedikit banyak tentang kenaikan harga BBM gitu, Zi. Mungkin lo bisa bantu gue kapan-kapan kalau gue butuh dari sudut pandang orang kayak lo. Gue yakin sih lo bisa dipercaya. Kantornya aja di G&M. Denger-denger dari orang-orang lain, kalau bisa masuk kantor itu sih luar biasa banget.”
Dania hanya terbengong-bengong. Ia hobi membaca dan hampir mengetahui semua info dari segala bidang. Tapi ekonomi dan sains adalah dua kelemahannya. Emang iya, ya, G&M sekeren itu?, pikirnya dalam hati.
“Lo tahu ‘kan, Dan? Gue waktu itu denger dari kakaknya temen gue sih…”
Lalu puput mengoceh tentang bagaimana susahnya masuk ke G&M, bahwa mereka harus tes IQ dan juga mendapatkan tugas problem solving atau semacamnya. Orang-orang yang diterima di sana biasanya memiliki IQ lebih dari 135. Tapi kebenarnnya juga Puput sendiri tidak tahu.
Rezi juga nampak menikmati pertemuan mereka. Ia nyaman berada di dekat Dania dan senang sekali hari ini Dania mengajaknya bertemu. Tapi sepertinya Dania sengaja memperkenalkannya kepada Puput, salah satu teman baiknya, yang bagi Rezi merupakan perempuan berkepribadian menarik. Ia nampak kuat dan smart, ia mengetahui hal-hal yang tidak diketahui Dania maupun Rezi. Padahal menurut Rezi, Dania sudah cukup knowledgable. Tapi Puput tahu lebih banyak lagi dan dengan orang baru pun bisa membagi informasi sebanyak itu.
 ^^^
 Rezi mencium permainan Dania yang – menurut dugaannya – hendak menjodohkannya dengan Puput. Ia sedikit bingung karena sebenarnya ia mulai menikmati kebersamaannya dengan Dania. Tapi mungkin memang benar kata Gita waktu itu kepadanya, bahwa Dania masih tidak terlalu fokus dalam mencari pasangan. Ia masih sibuk dengan life goals-nya, menjadi reporter, menjalani healthy life style, dan lain sebagainya. Mencari pasangan hidup belum termasuk dalam life goals list-nya.
Sekarang Rezi dihadapakan dengan seorang pribadi lain yang disodorkan oleh Dania kepadanya. Mungkin mengikuti permainan Dania adalah pilihan yang menarik. Lalu, Rezi membuka lock ponselnya, mencari di Contacts nomor seseorang yang baru dikenalnya sore tadi. Andriani Putri Kirana. Lalu, ia mengirimkan pesan WhatsApp ke nomor tersebut.
“Putri, ini saya Rezi. Care to grab some lunch tomorrow? You said you wanna discuss about… kenaikan harga BBM? Please do lemme know.”
 ^^^
 Berawal dari percakapan di WhatsApp, lunch meeting membicarakan kenaikan harga BBM, serta pertemuan-pertemuan makan siang yang mereka lakukan, sekarang Rezi dan Puput menjadi sangat dekat. Selama ini pun, Rezi bersikap sangat sopan dan lembut terhadap Puput, yang membuat Puput semakin tertarik pada pria ini. Ia butuh perlindungan dan sepertinya Rezi tahu itu, walaupun Puput belum pernah menceritakan masalahnya dengan Dimas waktu itu. Masa-masa kegelapan di mana ia hanya merasakan ketakutan demi ketakutan, kegelisahan tiada henti, dan keengganan untuk menjejakkan kaki keluar kamar sedikit pun, karena malu akan lebam-lebam di pipi, lengan, atau bahkan kakinya. Belum termasuk yang di perut atau pahanya yang tidak terlihat karena tertutup oleh pakaian.
“Sepertinya ada yang lo pikirkan, Putri?” tanya Rezi. Ia melihat Puput – atau, ia lebih suka memanggilnya, Putri – merenung di depan laptop-nya. Mereka sedang duduk, ngopi berdua di Extra sambil menyelesaikan pekerjaan masing-masing.
Puput menengok ke arah Rezi dan tersenyum. “Nggak ada. Kenapa lo tanya begitu?”
“Karena lo berhenti mengetik dan raut muka lo itu…”
“Hmm… Gue mau kasih tahu sesuatu tentang gue yang mungkin lo nggak tahu, Rezi. It’s not a secret and I never meant to hide it from you, tapi mungkin gue cuma menginginkan waktu yang tepat untuk mengatakannya.”
“And what is it?”
“Ada dua hal,” kata Puput dengan mengacungkan dua jarinya. “Yang pertama, gue seneng dipanggil Putri.”
Rezi hanya tersenyum mendengar itu, “Dan yang kedua?”
“Lo adalah laki-laki pertama yang dekat sama gue dalam dua tahun terakhir ini,” ujar Puput, kemudian ia menghela napas. “Dan gue rasa lo adalah cowok yang sangat baik dan sopan. Gue sangat menghargai itu. Gue punya masa lalu yang sama sekali nggak baik dengan mantan pacar gue yang sebelum ini.”
“Like, he cheated on you?” tanya Rezi. Karena, hey, mereka memiliki kesamaan!
“It’s even worse,” kata Puput, menghela napas lagi. “Gue jalan sama mantan gue yang terakhir sekitar 5,5 tahun lamanya. Dia pria yang baik dan di dua tahun hubungan kami gue sudah menetapkan hati gue untuk menerimanya jika suatu hari nanti dia melamar gue. Because he seemed very serious about our relationship.”
“Sampai akhirnya, karena suatu masalah kecil, kita sempat ribut, dan tamparan pertama melayang ke pipi gue. Tamparan keras. Gue masih bisa ngerasain gimana sakitnya ditampar kayak gitu sama pacar sendiri,” kata Puput sambil memegang pipi kirinya. Ia berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis di situ. “Gue pikir, dia hanya khilaf. Tapi, berbagai macam bentuk kekerasan lain gue terima dari dia semenjak itu, dan gue takut. Sumpah, gue takut banget waktu itu. Orang-orang cuma tahu gue dipukulin dan sebagainya, tapi mereka tidak tahu apa yang benar-benar terjadi. Luka yang mereka lihat adalah yang di badan gue. Tapi nggak ada yang tahu, luka di hati gue dan bagaimana gue overcome itu semua sendirian. Gue nggak punya siapa-siapa untuk diajak bicara waktu itu. Gue ketakutan.”
Rezi tidak siap mendengar cerita itu keluar dari mulut Puput. Mereka memang dekat, tapi belum sampai pada tahap pacaran dan sepertinya Puput sedang ‘membuka’ dirinya pada Rezi, bagian paling gelap dari dirinya, yang mungkin tidak ia ceritakan kepada siapapun. Ia menggenggam penuh empati tangan Puput yang sudah mulai bergetar karena perasaan yang ia tumpahkan sekarang.
“Thanks, Zi. Gue cuma mau bilang itu aja sih,” kata Puput. “Yang jelas sekarang gue udah nggak apa-apa, gue nggak berhubungan lagi dengan mantan gue itu, dan gue menjalani hidup gue dengan baik dan gembira.”
“Lo yakin lo nggak apa-apa?”
Puput mengangguk penuh keyakinan.
 ^^^
 Dania sudah menarik selimut biru bermotif polkadot putihnya dan bersiap-siap tidur. Ia lelah sekali hari ini melakukan pengambilan data kedua untuk tesisnya. Memang ia menargetkan, pengambilan data ketiga sudah ia lakukan di penghujung tahun 2012 ini, sehingga di awal tahun, ia sudah dapat mengolah data tersebut dan menyelesaikan sisa-sisa tesisnya.
Ketika Dania sudah hampir terlelap, tiba-tiba ponselnya bergetar dan notifikasi WhatsApp masuk. Siapa malam-malam begini WhatsApp gue?
Nama Rezi muncul di notifikasi WhatsApp tersebut dan Dania langsung melonjak bangun. Ia buru-buru membuka pesan tersebut.
“Dan, lo udah tidur? Gue mau telepon dan ngobrol sedikit.”
 Sepertinya sudah lama sekali Rezi tidak menghubunginya untuk sekadar night talk seperti ini. Ia langsung membalasnya dan mengatakan bahwa ia belum tidur dan Rezi boleh menelponnya. Tidak lama kemudian, ponsel Dania bergetar menandakan telpon masuk.
“Ya, Rezi.” sahutnya penuh semangat.
“Dan, lo belum tidur? Ini udah jam 1 pagi.”
“Baru mau sih. Lo sendiri?”
“Belum, mau ngobrol.”
“Kenapa? Lo mau ngobrol hal yang penting ya?”
“Iya, Dan. Gue mau nanya tentang Putri sebenarnya.”
Hati Dania seperti mencelos ke bawah mendengar nama Puput disebut oleh Rezi, disebutnya Putri pula. Hey, kenapa lo malah merasa seperti itu, Dan?
“Oh, ya. Kenapa si Puput?”
“Apa lo tahu kalau kami sempat jalan bareng beberapa waktu belakangan ini?”
“Errr… Nggak tahu, sih. Tapi apa gue perlu tahu?” Dania tidak bermaksud mengucapkan komentar yang sinis, tetapi kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.
“Ehmm.. Nggak, sih. Tapi since lo yang memperkenalkan kami berdua, gue pikir lo harus tahu,” kata Rezi. “Jadi, ya, gue beberapa waktu belakangan ini jalan sama Putri. Dan gue hanya perlu pendapat lo saja mengenai kami berdua. Menurut lo, kalau gue dan Putri jadian gimana?”
“Oh… Lo udah nembak dia, Zi?” Dania bertanya dengan volume suara yang lebih kecil. Lututnya rasanya lemas. Untung posisinya sedang tidak berdiri, melainkan duduk di tempat tidurnya. Kalau tidak, mungkin ia sudah jatuh ke lantai.
“Nope, belum, Dan. Tapi mungkin dalam waktu dekat ini. Menurut lo gimana?”
“Hmm… Puput itu perempuan yang baik kok, Zi. Wajar kalau lo suka sama dia. Tapi lo sudah tahu kisah masa lalunya?”
“Yup, barusan aja dia cerita sama gue. Gue merasa… Gimana ya bilangnya? Mungkin, gue merasa semakin ingin melindungi dia.”
Dania terdiam sejenak. Ia berpikir, Puput memang butuh orang yang lembut, dewasa, dan mapan seperti Rezi. Yang jelas, yang bisa melindungi dia juga. Tapi kalau mereka jadian…
“Gue rasa memang itu yang akan bisa banget lo lakukan kalau lo jadian sama dia, Zi. Lo bakal bisa ada terus di sisi dia untuk melindungi dia. Gue belum tahu dia gimana ke lo, sih, tapi kalau dengan pria yang yang baik dan smart kayak lo, sih, cewek mana yang nggak mau coba?”
Rezi tertawa di ujung telpon, ia merasa tersanjung Dania bicara begitu tentangnya. Seandainya lo tahu, Dan, kalau dulu gue sempet mau ngejar lo, ujarnya dalam hati. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Dengan Puputlah masa depannya akan ia lalui. Setidaknya begitulah yang ia yakini sekarang.
“Baiklah, Dania. Thanks untuk pendapat lo. Dan thanks juga telah memperkenalkan gue sama dia. Maybe, lo masih mau bantuin gue satu hal?”
“Apa, Zi?”
“Bantu gue arrange saat gue mau mengatakan perasaan gue ke dia. Gue butuh bantuan orang yang kenal baik sama dia. Dan yang gue tahu cuma lo.”
“Oh, tentu, Zi. I’ll be happy to help.”
Dania menyudahi pembicaraan itu dan meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidurnya. Ia menarik selimut dan meletakkan kepala di bantal. Ia terdiam lama dan berpikir. Lalu, air mata perlahan-lahan mengalur dari matanya ke pipi dan jatuh bantalnya.
Gue happy untuk Puput dan Rezi. Tapi kenapa rasanya sakit sekali?
 ^^^
0 notes