#hukum aborsi menurut para ulama
Explore tagged Tumblr posts
Text
Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur
Negeri yang kokoh yang diridhoi Allah SWT
Khutbah Hari Raya Idul Fitri 1440H
Drs. MH. Nur Labay Bagindo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tatkala fajar membawa cahaya di kaki langit 1 Syawal 1440H, segenap kaum muslimin wal muslimat tenggelam dalam samudera kebahagiaan, sajadah-sajadah indah dan beratapkan awan putih laksana salju, umat Islam berkumpul sebagai hamba yang patuh dan tunduk kehadirat Illahi Robbi. Umat Islam dari segala penjuru dunia menuju tanah lapang ataupun masjid dengan ucapan takbir, takhmid, dan zikrullah, merayakan hari kemenangan dengan rasa syukur yang datang dari qalbu insan beriman. Allah Maha Besar, Tiada Tuhan Selain Allah, baginya segala puji.
Ibadah Puasa Ramadhan yang sudah dipatri dengan zakat fitrah sudah selesai dikerjakan secara penuh khidmat karena Allah SWT. Ibadah Puasa adalah puncak akumulasi kekuatan iman berupa ibadah yang dilakukan secara fisik, merupakan pengerahan seluruh sendi Rukun Iman dan Islam. Enam Rukun Iman sekaligus tertumpah dalam ibadah Puasa Ramadhan. Umat Islam meningkatkan keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab suci Al-Qur’an, Rasul-Rasul Allah SWT, Hari Kiamat, serta Qadha dan Qadar secara maksimum dengan berkonsentrasi diri jiwa raga, memperbanyak membaca Al-Qur’an, zikir, tasbih, shalat wajib, dan shalatul lail atau tarawih.
Ada dua kegembiraan orang-rang berpuasa Ramadhan. Pertama gembira saat berbuka. Kedua gembira saat bertemu dengan Allah SWT di akhirat. Karena Allah SWT berkata, “Semua amal ibadah hambaku adalah untuknya dan akan kubalas kebaikan itu dengan yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan, kecuali ibadah puasa. Ibadah puasa adalah untukku.“
Selama bulan Ramadhan yang lalu kita telah melatih diri agar menjadi hamba yang sholeh dan sholehah dan kembali suci dan mulia. Siangnya kita menahan haus, lapar, menjauhi gibah dan gejolak hawa nafsu dengan penuh keletihan, malamnya kita melaksanakan shalat tahajud beribadah meregang mata di keheningan malam. Ini kita lakukan hanya semata-mata mengharap ampunan serta ridho dan kasih sayang Allah SWT, agar hati yang telah kotor, jasad yang telah tercela oleh noda-noda dosa dan kesalahan agar kembali suci dan mulia.
Sebab pada dasarnya manusia (Al Insan) adalah makhluk ciptaan Allah yang paling suci dan mulia.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. At-Tin: 4)
يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اذْكُرُوْا نِعْمَتِيَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَاَنِّيْ فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ
Ya Bani Israil (anak cucu Adam) ingatlah engkau akan nikmatku yang aku berikan kepada kamu, sesungguhnya aku telah muliakan engkau dari sisi alam ini. (QS. Al-Baqarah: 122)
Bahkan dari malaikat yang senantiasa sujud kepada Allah SWT, manusia lebih lengkap, suci, dan mulia.
Akankah ibadah yang kita lakukan selama bulan Ramadhan ini akan mampu mengubah sikap, perilaku dan cara berpikir masyarakat, para pemimpin, para tokoh-tokoh politik, anggota DPR, para menteri, para kepala daerah dan para petinggi negara ke jalan yang benar? Wallaahu A’lam Bishowab.
Allahu Akbar 9x Walillahil Hamd
Kita bangsa Indonesia telah mengalami krisis moral. Kriminalisasi ulama, korupsi dan manipulasi, perselingkuhan dan kekerasan dalam keluarga dan sekolah, pemberian formalin dan bahan-bahan lain berbahaya dalam makanan atau minuman, berita pembunuhan dan bunuh diri serta pemerkosaan. Partai Islam yang lambangnya ka’bah dan nadhiyin mendukung pendusta agama, pengina Al-Qur’an. Aqidah digadaikan demi jabatan dan harta.
Seakan-akan kita hidup dalam dunia yang gelap gulita, hitam pekat tak terlihat titik pencerahan, layaknya seorang yang berusaha meraba-raba dalam kegelapan malam, namun tidak menemukan denyut nurani, tidak juga merasakan sentuhan kasih sayang.
Taman bunga kita yang dulunya indah menawan telah rusak dan binasa berubah menjadi tempat yang menjijikkan. Gunung-gunung yang tinggi hijau ranau kini telah kering dan kerontang. Bumi yang dahulu sejuk lagi indah, berubah menjadi gurun yang angker.
Bahasa persahabatan dunia kita adalah kekuasaan, bahasa bisnis ekonomi kita adalah riba dan persaingan materi, bahasa politik kita adalah kezholiman dan penipuan, bahasa sosial kita adalah hedonisme.
Tidak sedikit masyarakat sipil mengubah watak menjadi militeristik, masyarakat berkebudayaan tinggi tetapi berperilaku primitif. Banyak masyarakat yang merasa tersaingdan merasa kesepian di tengah kota yang hingar bingar dengan keramaianm banyak pula masyarakat yang merana dan hidup sengsara di tengah kemelimpah-ruahan rahmat Allah SWT.
Peristiwa-peristiwa destruktif itu sebenarnya indikasi manusia tidak tunduk dan taat kepada Allah, serta tidak bersyukur kepada Sang Pencipta semesta alam. Ingkar dan kufur.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Sesungguhnya aku jadikan jin dan manusia untuk mengabdi kepada-Ku. (QS. Az-Zariyat: 56)
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“ (QS. Ibrahim: 7)
Sadarkah kita bahwa bencana yang menimpa bangsa ita, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, kapal yang tenggelam, kecelakaan di jalan raya, dan tanah-tanah longsor, ini adalah teguran dan peringatan Allah agar kita insyaf dan sadar, serta bertaubat.
Diantara faktor penyebab krisis moral:
Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral di tengah masyarakat. Sementara di sekolah anak-anak diajarkan saling menghormati, tetapi di media sosial mereka menerima pelajaran saling menghasud.
Di rumah diajarkan bertutur kata dengan suara yang lemah lembut dan kesantunan perilaku, tetapi tidak terlihat para wakil-wakil di DPR RI.
Hukum di Indonesia tajam ke bawah, tumpul ke atas. Keji dan beringas bagaikan singa lapar menghadapi massa yang bermodalkan kalimat “Allahu Akbar“, memukul, mengeroyok, bahkan menembak mati anak-anak muda generasi bangsa.
Mengimpor tenaga asing asal Cina bebas visa dengan dalih investasi. Ini menzalimi jutaan rakyat Indonesia yang masih menganggur.
Terjadinya penyimpangan pemikiran dan misi-persepsi terhadap esensi kehidupan, sehingga menebabkan paradoks antara nilai kepribadian dengan sosial, etika dengan estetika, antara perhiasan dunia dengan hedonisme, atau antara persepsi zuhud dengan sifat malas.
Masyarakat belum mendapatkan sosok pemimpin (presiden) teladan yang memadukan antara kekuatan dengan keshalihan, kekayaan dengan kedermawanan, semangat berjuang dengan kesantunan, cerdas dan jujur. Seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW: Shidiq, Amanah, Fatonah. Para ulama warosatul anbiya, pewaris Nabi dan Rasul banyak yang dibunuh, ditahan di jeruji besi tanpa dasar hukum yang jelas berikut santrinya. Penguasa yang seharusnya jujur dan amanah mengemban amanat rakyat, memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, membunuh demokrasi.
Kurang dirasakannya peran positif lembaga-lembaga sosial, sekolah, keluarga, masjid,surau, dan pondok pesantren, di bawah tekanan media massa yang menampilkan tayangan-tayangan yang tidak bersahabat, tidak mengarahkan masyarakat kepada pembinaan akhlakul karimah di tengah bangsa yang dikenal santun.
Menurut Syeikh Ibrahim Kesyik, ulama terkemuka di Mesir, sebagian umat Islam yang hidup saat ini, hampir sama dengan orang munafiq. Karena tidak sama kata dengan perbuatan, tunjuk lurus kelingking berkait, lain di mulut lain di hati, menohok kawan seiring, kita mengaku Islam, tetapi tingkah laku dan perangai kita masih jauh dari Islam.
Syeikh Jamaludi Al-Afgani seorang mujaddid Islam berkata kami belumlah Islam yang sebenarnya, Islam kami barulah sekedar nama, sekedar merk (Islam KTP), sedangkan tingkah laku kami masih jauh dari ajaran Islam.
Allahu Akbar 9x Walillahil Hamd
Masalah krisis moral ini bukan masalah spele, bukan masalah yang hanya cukup kita dengar atau dibicarakan di seminar-seminar saja. Mengapa?? Karena:
Krisis moral terbukti menimbulkan ketegangan global antara masyarakat yang akhirnya menghilangkan rasa aman.
Krisis moral menyebarkan perasaan pesimisme dan fatalism pada orang-orang yang merasa terpinggirkan.
Krisis moral menghilangkan keseimbangan social, ekonomi, politik, dan budaya yang mengancam kelangsungan peradaban.
Krisis moral memunculkan fenomena sosial yaitu kriminalitas, bunuh diri, perceraian, narkotika, perkosaan, pelacuran, aborsi, dan seterusnya.
Manusia yang mengalami krisis moral akan kehilangan cahaya kehidupan yang dapat membimbing menuju kepada kebahagiaan dan ridha Allah SWT. Bagi yang telah menyadari kondisinya, tentunya menginginkan keluar dari kegelapan itu, berharap jalan hidupnya diterangi cahaya yang mampu membimbingnya ke gerbang kebahagiaan. Wahai hamba-hama Allah yang bertakwa, dengarkan, cermati, simaklah Allah SWT yang Rahman dan Rahim memenuhi harapan kita dengan satu firmanNya:
يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ قَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيْرًا مِّمَّا كُنْتُمْ تُخْفُوْنَ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍەۗ قَدْ جَاۤءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِيْنٌۙ
يَّهْدِيْ بِهِ اللّٰهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهٗ سُبُلَ السَّلٰمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ بِاِذْنِهٖ وَيَهْدِيْهِمْ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
Telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjukkan orang-orang itu dari gelap gulita menuju kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinNya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah: 15-16)
Islam adalah cahaya kehidupan, itulah jawabannya…
Tanamkan dalam hati masing-masing, dengan keteguhan iman tancapkan keyakinan anda, “ISLAM” agama yang diridhoi Allah SWT adalah air kehidupanku, Islam adalahpenerang hidupku, Islam adalah penyejuk jiwaku, Islam adalah pembimbingku, Islam adalah pembawa rahmat dan keberkahan dalam rumah tanggaku, Islam jawaban krisis yang menimpa bangsaku, Islam adalah lampu penerang meniti kebahagiaan dunia akhirat. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah.
Islam sebagai cahaya kehidupan bagi suatu bangsa di sebuah negeri yang tengah mengalami krisis moral, memberikan solusi dan jalan keluar untuk membangun kembali puing-puing peradaban yang runtuh menjadi berorientasi kepada kehidupan masa depan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan realisasi ibadah setiap muslim kepada Allah SWT, firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang beriman bertakwalah kalian kepada Allah, hendaknya setiap jiwa (melihat) apa yang telah diperbuat untuk (menghadapi) hari esok, bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian usahakan”. (QS. Al-Hasyir: 18)
Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa rekayasa masa depan memerlukan prinsip nilai takwa yang berkualitas excellent. Allah dalam ayat tersebut menyebut perintah bertakwa berulang dua kali yang mengapit perintah persiapan menghadapi hari esok. “Ittaqullah” dan “ittaqullah”, maksudnya bukan takwa “lip-service”, tetapi “haqqo tuqotih” sebenar-benarnya takwa.
Upaya menghadapi krisis moral dan membangun kembali peradaban bangsa yang memiliki nilai moral yang tinggi. Ini cita-cita Partai Keadilan Sejahtera dan umat Islam khususnya. Merupakan upaya yang serius, bukan sekedar “kepengen dan latahan”, karena kita sedang dan akan membangun “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur” negeri yang kokoh yang diridhoi Allah SWT.
Mengapa kita menginginkan negeri yang kokoh? Karena negeri ini sedang mengalami krisis moral menuju kehancuran. Kita akan membangun kembali negeri yang berbasis moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, kebenaran, keadilan, dan keindahan hidup.
Mengapa kita mengidamkan negeri yang diridhoi Allah SWT? Karena mengingat dalam UUD 1945 dan Pancasila dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat beriman dan berakwa, maka rumusan visi masa depan bangsa hendaknya mencakup upaya menggapai ridho Allah SWT, sehingga future engineering (rekayasa masa depan) yang dirumuskan menjadi upaya yang tidak hanya mengakomodir aspirasi rakyat, tetapi juga mencakup keridhoan Allah SWT.
Kata “iman” dan “takwa” bukan kata pengumbar janji, tapi bukti dan komitmen sejati setiap muslim; berupa sikap-sikap yang mengindikasikan kebersihan hati, tidak cukup hanya mengakui “saya orang Islam” tapi buktikan bahwa “saya beriman dan bertakwa”. Iman dan takwa inilahyang dikehendaki Allah SWT untuk dijadikan modal pembangunan masa depan yang lebih baik.
Prinsip iman dan takwa inilah yang mendatangkan keberkahan-keberkahan dari Allah SWT, berupa keselamatan dan keamanan, firman-Nya:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
“Dan kalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa niscaya Kami akan bukakan kepada mereka keberkahan-keberkahan dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf: 96)
“Keberkahan dari Allah tidak hanya pada aspek fisik-material, tetapi mencakup aspek moral-spiritual, keberkahan berupa rasa aman, tenteram, kepuasan hati, keberkahan, mengangkat martabat bangsa, tidak sekedar banyaknya materi dan meluapnya kebutuhan logistik sementara hati tidak merasa bahagia dan tidak tenteram” (tafsir fi zhilal Al-Qur’an 3/1340)
Bila umat Islam Indonesia berhasil membangun bangsa berbekal takwa kepada Allah SWT yang prima yakni sesuai dengan kehendak dan ridho Allah SWT, Insyaa Alah akan mampu merancang rekayasa masa depan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara yang mengandung nilai-nilai konstruktif, produktif, dan reformatif.
Setidaknya ada 5 karakteristik masyarakat bermoral bagi negeri yang baik dan diridhoi Allah dalam konteks kebangsaan saat ini:
Pertama: religious Society (Masyarakat Beragama)
Masyarakat Beragama yang dimaksud adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam. Islam tidak hanya dikenal di masjid dan musholla dengan sajadah indah, namun Islam harus dibawa ke sekolah, ke kampus, ke jalan raya, ke pasar, ke parlemen, bahkan ke istana. Kalau Islam sudah masuk ke istana secara kaffah, penguasa menjalankan perintah Allah, amar ma’ruf nahi munkar, maka Negara ini akan makmur dan berkeadilan.
Islam adalah agama pengabdian dalam makna kita harus patuh dan tunduk pada hokum Allah dan sunatullah, patuh pada aqidah-Nya, hidup harus menurut syariat-Nya. Inilah prinsip yang Islami yang melahirkan akhlaqul karimah, akhlak yang terpuji.
Kedua: Intellectual Society
Hidup beragama atas dasar pengetahuan dan landasan kesadaran hati nurani akan mewujudkan hidup tenteram dan akur antara mereka. Sebab agama Islam mengajarkan hidup teratur dan menyebarkan kedamaian serta hidup bersama dengan kasih sayang.
Masyarakat bermoral reliji di Madinah dan Rasulullah SAW, adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan agama yang dilandaskan pada pengetahuan, selama 13 tahun di Mekkah dan 9 tahun di Madinah, Rasulullah SAW mengajarkan umanya tentang prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga mereka mampu dan siap menerima syariat-syariat Islam yang diemban.
Ketiga: Masyarakat Cinta Damai
Dalam Islam, cinta damai ditunjukkan dalam prinsip “Rahmah” yang merupakan misi risalah Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Tidak Kami utus engkau (wahai Muhammad) kecuali (untuk) menyebarkan rahmat kasih sayang untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107).
Bukan Islam Nusantara.
Karenanya untuk memahami esensi dari masyarakat cinta damai, diperlukan pemahaman integral dan universal tentang prinsip rahmah dalam Islam.
Rahmah yang berarti kelembutan dan kasih sayang serta kebaikan, merupakan salah satu sifat Allah sebagai sumber kebaikan.
كَتَبَ عَلٰى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۗ
“Dia Allah telah menetapkan atas diriNya sifat rahmah” (QS. Al-An’am: 12)
Sehingga Allah telah memiliki asma yang khas bagiNya Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah kepada makhlukNya, agar mereka mampu menyelamatkan diri dan mengarungi kehidupan ini. Ar-Rahim adalah kasih sayang Allah SWT kepada makhlukNya dalam bentuk pemberian.
Keempat: Masyarakat Rabbani
Yaitu masyarakat yang setiap individunya memiliki sifat Rabbani (Allah minded). Masyarakat yang rabbani adalah masyarakat yang dipenuhi dengan pribadi-pribadi muslim yang dalam dirinya mempunyai kesiapan belajar dan mengajar, yang dalam konteks sosial politik siap menjadi pemimpin dan siap menjadi rakyat sebagai yang dipimpin. Masyarakat semacam ini tidak cenderung paternalistis.
Masyarakat paternalistis biasa hanya menjadi orang-orang pengekor, mengikuti figure tanpa “bashiroh” tanpa pengetahuan yang memadai, mereka terkena penyakit taqlid buta atau figuritas, menilai figure tanpa panduan dan rambu-rambu ilmiah. Kadangkala asal memberikan dukungan untuk keuntungan pribadinya, maka ia mengikuti atau lebih tepatnya mengekor figure tertentu.
Kita saat ini memerlukan pemimpin (presiden) yang dekat dengan ulama, pilihan ijtima ulama, yang bernilai negarawan dan berorientasi kepada kemaslahatan orang banyak (bukan kepentingan pribadi dan kelompok), karena pemimpin adalah figure pengayom yang bukan egoistis apalagi serakah demi keuntungan pribadi dan keluarganya.
Manusia Rabbani yang menjadi pemimpin rendah hati dan akomodatif terhadap berbagai aspirasi, menerima kritik dan saran demi kebaikan bangsa dan Negara, tidak arogan/diktator.
Kelima: Justice Society (Masyarakat Berkeadilan)
Masyarakat berkeadilan adalah masyarakat yang mampu mengendalikan emosinya, mampu berpikir rasional dan logis, masyarakat yang setiap anggotanya mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Masyarakat yang tidak mudah terpengaruh oleh news-maker dan media masssa yang kadangkala mengajak bersikap hitam putih.
Masyarakat berkeadilan adalah masyarakat yang bermoral dan beretika termasuk dalam kehidupan politik. Masyarakat yang mampu memilih kandidat pemimipin Islam, dan wakil-wakilnya yang beriman dan seakidah secara cerdas dan bertanggungjawab kepada hati nurani dan juga kepada Allah SWT.
Masyarakat yang berkeadilan adalah yang anggota-anggotanya mampu memilih sisi positif dari yang negative, mampu mengambil nilai kebenaran walaupun bukan dari orang terdekat kepadanya. Sebaliknya, mereka mampu melempar jauh-jauh dari kebatilan meskipun datang dari orang terdekat kepadanya. Sebaliknya mereka mampu melempar jauh-jauh dari kebatilan meskipun datang dari orang yang akrab dengan dirinya.
Do’a dan harapan kita semua, di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, harus mampu membangun sebuah model pemerintahan yang jujur dan adil, demokratis dan kompetitif dalam mencari ridho Allah, yaitu semua kebijaksanaan pemerintah dan aktivitas anak bangsa harus sejalan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, sebab siapapun yang memerintah dan di berkuasa negeri ini, bila hukum bila hokum dan ajaran Allah tidak menjadi acuan-pedoman hidup dan kehidupan masyarakat? Maka keadilan dan kemakmuran akan semakin jauh dari harapan. Negara akan hancur dan mati suri.
Sabda Rasulullah SAW:
“Telah kutinggalkan untuk kamu dua tuntunan, apabila kamu berpegang teguh kepada keduanya, kamu tidak akan sesat selama-lamanya. Yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik)
Darimana kita memulainya, yakni dari diri dan keluarga. Amalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, Insya Allah hidup ini punya makna dan mutu di hadapan Allah SWT.
Bacalah Al-Qur’an ayat demi ayat dan hayati dari ayat-ayat tersebut dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkan Al-Qur’an Nulkarim, Insyaa Allah akan tertatalah hidup ini sesuai dengan amanah Allah yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Amar ma’ruf nahi munkar.
Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan dihayati. Al-Qur’an bukan untuk orang yang mati tapi bagi manusia yang hidup. Membacanya mendapat pahala, juga bagi yang mendengarnya, itulah Al-Qur’an Nur Karim, pedoman hidup kita.
Bersambung ke post ini
2 notes
·
View notes
Text
hukum aborsi menurut para ulama
hukum aborsi menurut para ulama Ulama fikih tak berselisih pendapat seputar pengharaman aborsi sehabis ditiupkannya ruh, serta menganggapnyasebagai kejahatan yang menyebabkan hukuman. Namun mereka berselisih pendapat mengenai aborsi sebelum ditiupkannya ruh ke janin dalam banyak pendapat, bahkan dalam satu mazhab sekalipun, antara yang membolehkan secara mutlak, atau sebelum empat puluh hari saja, membolehkan pasal adanya alasan, serta tak boleh pasal tak adanya alasan, atau makruh
Sebagian ulama memakaikan ayat-ayat yang mengharamkan membunuh anak sebagai dalil atas pengharaman ‘azl pasal bisa menghambat terjadinya anak. Barangkali aborsi yang dilaksanakan oleh perumpuan ialah yang dimaksud dari firman Allah , yang artinya:
“ Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman buat mengadakan janji setia, jikalau mereka tiada akan menyekutukan Allah, tak akan mencuri, tak akan berzina, tak akan membunuh anak-anaknya, tak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan serta kaki mereka serta tak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, tersebutkan terimalah janji setia mereka serta mohonkanlah ampunan kepada Allah buat mereka. sebenarnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Pendapat pertama : Boleh secara mutlak sebelum ditiupkannya ruh
Sebagian pengikut madzhab Hanafi, Ibnu Rusydi dari kelompok madzhab Maliki, serta beberapa pengikut madzhab Hambali berpendapat jikalau sepanjang belum ditiupkan ruh, tersebutkan tidaklah haram menggugurkan janin. Mereka berargumen jikalau janin sebelum ditiupkan ruh padanya bukanlah merupakan manusia hidup
Dalam Hasyiyah Ibnu ‘Abidin disebutkan, “ wanita boleh menggugurkan darah sepanjang kehamilan masih berbentuk mudhghah atau ‘alaqah serta belum terbentuk partisipan badannya. Mereka menjumlah jangka masa seratus dua puluh hari. Mereka membolehkan aborsi tersebut pasal janin bukan anak Adam yang hidup. ”
Pendapat kedua :Boleh sebelum empat puluh hari pertamadari kehamilan
Abu Ishaq Al Maruzi dari madzhab Maliki serta zhahirnya madzhab Hambali berpendapat jikalau janin tak haram diaborsi sebelum empat puluh hari pertama
Dalam Al Mughni disebutkan, “Apabila wanita menggugurkan mudghah, lantas sebagian bidan terpercaya bersaksi adanya bentuk manusia yang samar, tersebutkan dikenakan gharrah. Seandainya mereka bersaksi jikalau mudhgah tersebut merupakan permulaan penciptaan manusia yang seandainya tetap dikandung tersebutkan ia akan terbentuk. Dalam Perihal ini adanya dua pendapat ; pendapat yang paling shahih menyebutkan jikalau hukumannya tak haram, pasal janin tersebut belum terbentuk sehingga tak wajib gharrahseperti terhadap ‘alaqah, pasal ketentuan asala ialah kebebasan tanggung jawab, sehingga si ibu tak butuh dirisaukan dengan keraguan. Pendapat kedua mewajibkan gharrah pasal merupakan permulaan anak Adam yang lebih serupa seandainya terbentuk, serta ini tak berlaku terhadap nuthfah serta ‘alaqah. ”
Pendapat ketiga : Kebolehan aborsi sebelum ditiupkannya ruh pasal satu sebab mengapa saja
Kesepakatan madzhab Hanafi serta beberapa pengikut Syafi’I berpendapat mengenai bolehnya melaksanakan aborsi sepanjang belum ditiupkannya ruh kejanin ( yaitu sebelum seratus dua puluh hari ) apabila diciptakan sebab mengapa yang dapat diterima serta membolehkan aborsi. Kemudian, mereka berselisih pendapat tentang jenis sebab mengapa yang membolehkan aborsi janin
Madzhab Hanafi berikan misal sebab mengapa ini layaknya terhentinya air susu ibu sehabis jelas kehamilannya, padahal ia mempunyai anak yang sedang disusui, serta ayahnya tak dapat mengupah murdhi’ah ( pekerja yang bekerja menyusui )
Asy-Syarbini pengikut Asy-Syafi’I menukil pendapat Az-Zarkasyi sebagai berikut, “ seandainya wanita terpaksa oleh dharurah buat minum obat mubah yang menyebabkan keguguran, tersebutkan jika dibalik ia tak dikenai tanggung jawab Karena perbuatannya. ”
Pendapat keempat: Makruh
Ali bin Musa, salah seorang ahli fikih madzhab Hanafi berpendapat jikalau hukum aborsi janin sebelum ditiupkannya ruh ialah makruh, pasal sehabis sperma Berposisi di dalam rahim, kelak ia akan hidup. Makruh rujukan oleh Ali bin Musa ialah makruh tahrim, pasal seandainya seorang yang dalam kondisi berihram memecahkan telur binatang tanah Haram ( suci; Makah-Madinah ) tersebutkan ia menanggungnya, rujukan oleh madzhab Hanafi.
pendapat kelima: Tahrim Mutlak
kesepakatan madzhab Maliki berpendapat – pendapat yang kuat-dan kesepakatan madzhab Syafi’I dan madzhab Dhahiriyah, jikalau kandungan tak boleh diaborsi secara mutlak
Dalam Bhalaghah As-Salik disebutkan. “ menggugurkan janin dengan pukulan atau teror dengan dengan tidak sebab mengapa syari’at atau mencium bau-bauan layaknya suntikan, atau terbukanya toilet, walaupun janin masih berbentuk ‘alaqah – darah yang tak mencair pasal siraman air panas -, tersebutkan Perihal tersebut merupakan tindak kejahatan, baik pasal disengaja atau tidak, dilaksanakan orang lain atau sang ibu, layaknya meminum sebuah yang dapat menggugurkan kandungan lantas gugur, laki-laki atau perempuan, hasilnya dari pernikahan sah atau zina, dikenai denda sepersepuluh ibunya ( diyat ibunya ). ”
Setelah memberitahukan pendapat para ahli fikih tentang hukum aborsi, tersebutkan bisa disimpulkan jikalau pedapat mayoritas ulama madzhab Hanafi serta ulama madzhab Syafi’I yang sependapat tentang kebolehan aborsi sebelum ditiupkannya ruh, baik dalam phase nuthfah, ‘alaqah atau mudhaghah jika adanya factor dharurah buat menggugurkan janin saja, serta Perihal itu tak cukup dengan secukupnya ‘udzur.
baca lebih lanjut hukum aborsi menurut agama
0 notes
Photo
Persoalan Fiqih Terkait Usia Kehamilan Empat Bulan
Hukum Aborsi
Hal ini terbagi atas dua bagian:
Pertama, aborsi usia kandungan 4 bulan lebih dan seterusnya.
Seluruh fuqaha sepakat, bahwa jika aborsi dilakukan pada usia kandungan 4 bulan secara sempurna, atau di atas usia 4 bulan, maka haram. Hal ini sama saja dia telah menghilangkan makhluk bernyawa (yakni manusia) lainnya (baca: pembunuhan). Sebab, usia kandungan 4 bulan sudah menjadi makhluk bernyawa, bukan sekedar lagi gumpalan darah atau daging sebagaimana penjelasan di tulisan sebelumnya (lihat di sini). Dalilnya adalah;
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al An’am, 6: 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al Isra`, 17: 31).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’)? (QS. Al Isra` (17): 33).
Dan bila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh? (QS. At Takwir, 81: 8-9)
Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
اتفق العلماء على تحريم الإجهاض دون عذر بعد الشهر الرابع أي بعد 120 يوماً من بدء الحمل،ويعد ذلك جريمة موجبة للغُرَّة ، ل��نه إزهاق نفس وقتل إنسان.
“Ulama sepakat atas haramnya aborsi tanpa ‘udzur setelah kandungan 4 bulan yaitu 120 hari sejak awal kehamilan, dan mengancam hal itu sebagai kejahatan pembunuhan terhadap permulaan kehidupan, karena dia sudah berbentuk jiwa dan termasuk membunuh manusia.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/196. Maktabah Al Misykah)
Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Quwaitiyah:
وَلاَ يُعْلَمُ خِلاَفٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي تَحْرِيمِ الإِْجْهَاضِ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ . فَقَدْ نَصُّوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا نُفِخَتْ فِي الْجَنِينِ الرُّوحُ حُرِّمَ الإِْجْهَاضُ إِجْمَاعًا . وَقَالُوا إِنَّهُ قَتْلٌ لَهُ ، بِلاَ خِلاَفٍ
“Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para fuqaha tentang haramnya aborsi setelah ditiupkan ruh. Dasar mereka adalah jika telah ditiupkan ruh terhadap janin maka ijma’ telah mengharamkan aborsi tersebut. Mereka mengatakan hal itu adalah pembunuhan terhadapnya, tak ada perbedaan pendapat.” (Al Mausu’ah, 2/57)
Tetapi jika jika kandungan tersebut –setelah dianalisa dokter terpercaya- membawa bahaya yang jelas bagi si ibu dan mengancam kehidupannya, atau jika dipaksakan maka membawa kematian bagi ibu dan bayi sekaligus, maka para ulama membolehkan menggugurkan bayi tersebut, baik sebelum atau sesudah 4 bulan. Hal ini sesuai kaidah: Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih/menjalankan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat). Maka, nyawa si ibu lebih layak diselamatkan dibanding janin. Dalilnya adalah:
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya? (QS. Al Maidah, 5: 32)
Tetapi kalangan Hanafiyah tetap melarang aborsi di atas 4 bulan walau pun ada udzur seperti itu. Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullah, salah satu tokoh madzhab Hanafi, mengatakan:
وَلَوْ كَانَ حَيًّا لَا يَجُوزُ تَقْطِيعُهُ لِأَنَّ مَوْتَ الْأُمِّ بِهِ مَوْهُومٌ ، فَلَا يَجُوزُ قَتْلُ آدَمِيٍّ حَيٍّ لِأَمْرٍ مَوْهُوم
“Seandainya janin itu hidup, tidak boleh menggugurkannya, sebab kematian si ibu karenanya masih wahm (belum jelas/ samar), maka tidak boleh membunuh manusia hidup karena alasan yang masih samar.” (Raddul Muhtar, 6/384)
Kedua, aborsi usia kandungan kurang dari 4 bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan dalam satu madzhab pun juga memiliki pandangan yang beragam. Dan, yang menjadi pokok masalahnya adalah karena sebelum 4 bulan, belum ada nyawa (ruh), atau keadaan baru cikal bakal kehidupan. Nah, apakah menggugurkannya sama halnya dengan membunuh bayi bernyawa?
Berikut pandangan madzhab dalam Ahlus Sunnah:
Hanafiyah
Mereka berpendapat boleh, karena selama usia kandungan belum 120 hari, maka belum bisa disebut manusia. Mereka memaknai penciptaan manusia adalah ketika mulai ditiupkannya ruh. (Lihat Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadiir, 7/296. Mawqi’ Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 4/424. Mawqi’ Al Islam)
Disebutkan juga menurut sebagian kalangan Hanafiah: hukumnya makruh jika tanpa udzur, dan jika aborsi dilakukan tetap berdosa. Udzur tersebut adalah: terputusnya air susu ibu setelah melahirkan sedangkan ayahnya tidak mampu membayar wanita lain yang bisa menyusuinya, dan khawatir dia tertimpa malapetaka. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Malikiyah
Padangan yang mu’tamad (resmi/bisa dijadikan pegangan) dalam madzhab Malikiyah adalah Haram mengeluarkan mani yang sudah tertanam di rahim, walaupun sebelum 40 hari. Ada pun jika sudah ditiupkan ruh (4 bulan) maka haram secara ijma’. (Imam Abul Barakat Sayyidi Ahmad Ad Dardir, Asy Syarhul Kabir, 2/266-267. Ihya’ul Kutub Al ‘Arabiyah. Lihat juga Imam Muhammad bin ‘Arafah Ad Dasuqi, Hasyiah ‘ala Asy Syarhil Kabir, 8/78) Tapi, Imam Ad Dasuqi mengatakan bahwa dalam pandangan Malikiyah, ada pula yang memakruhkan saja. (Ibid)
Syafi’iyah
Beragam pandangan dalam madzhab ini. Ada yang membolehkan dengan kebolehan yang dibenci (makruh tanzih), jika aborsi dilakukan pada masa-masa rentang waktu 40 hari, atau jeda antara 40 atau 42 atau 45., sejak awal kehamilan dengan syarat kerelaan suami dan isteri, dan tidak membawa dampak buruk bagi yang hamil. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Sementara Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan boleh jika sebelum ditiupkannya ruh (belum 4 bulan), tapi jika sudah ditiupkan ruh maka haram secara mutlak. (Imam Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 8/443. 1404H-1984M. Darul Fikr) Pendapat beliau sama dengan kalangan Hanafiyah.
Imam Ad Dimyathi mengatakan, pendapat yang mu’tamad adalah tidak haram, mengeluarkan mani dan ‘alaqah (segumpal darah) yang sudah tertanam di rahim, (I’anatuth Thalibin, 3/256)
Sedangkan Imam Al Ghazali berpendapat haram, sebab itu merupakan tindakan kriminal terhadap sesuatu yang sudah ada. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/47). Pendapat Imam Al Ghazali inilah yang diikuti oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:
وإني بهذا الترجيح ميَّال مع رأي الغزالي الذي يعتبر الإجهاض ولو من أول يوم كالوأد جناية على موجود حاصل
“Sesungguhnya saya dengan tarjih[1] ini, lebih cenderung pada pendapat Al Ghazali yang telah melakukan pengujian terhadap masalah aborsi, walaupun itu dilakukan sejak awal (kehamilan) sebagaimana penguburan bayi hidup-hidup, hal itu merupakan kejahatan atas sesuatu yang sudah wujud (ada).” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Hambaliyah (Hanabilah)
Pandangan mu’tamad mereka sama dengan Hanafiyah, yakni boleh. Selama dilakukan selama 4 bulan pertama atau 120 hari sejak awal kehamilan, karena belum ada ruh. Jika lebih dari itu dan sudah ada ruh maka haram secara qath’i (pasti). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Nampaknya pendapat Malikiyah dan Imam Al Ghazali yaitu haram, merupakan pandangan lebih tepat dan hati-hati, apalagi di tengah pergaulan bebas seperti saat ini. Sehingga pendapat ini dapat dijadikan preventif (pencegahan) dan membendung angka aborsi yang dilakukan manusia tidak bertanggungjawab, ada pun jika menggunakan pendapat yang membolehkan, maka akan membawa dampak disalahgunakan oleh mereka. Sebab, jika suatu yang haram saja mereka langgar (yakni free sex) apalagi sesuatu yang mubah, mereka akan semakin menjadi-jadi.
Pembahasan di atas hanya berlaku untuk aborsi (keguguran yang disengaja), ada pun keguguran karena lemahnya kandungan, sakit, terjatuh, dan lainnya yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, maka itu dimaafkan.
Nifaskah Wanita Yang Keguguran?
Kita lihat definisi nifas dahulu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang arti nifas:
تعريفه: هو الدم الخارج من قبل المرأة بسبب الولادة وإن كان المولود سقطا.
Definisinya: yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita dengan sebab melahirkan, walau pun keguguran. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/ 84. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah disebutkan definisi nifas, sebagai berikut:
النِّفَاسُ دَمٌ يَخْرُجُ عَقِبَ الْوِلاَدَةِ ، وَهَذَا الْقَدْرُ لاَ خِلاَفَ فِيهِ ، وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي الأَْرْجَحِ : وَمَعَ الْوِلاَدَةِ ، وَزَادَ الْحَنَابِلَةُ : مَعَ وِلاَدَةٍ وَقَبْلَهَا بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Nifas adalah darah yang keluar setelah kelahiran, dan bagian ini tidak ada perbedaan pendapat ulama. Malikiyah menambahkan dalam Al Arjah: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran. Hanabilah (Hambaliyah) menambahkan: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran dan sebelumnya baik dua atau tiga hari sebelumnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz. 3, Hal. 198. Maktabah Misykah)
Jadi, darah yang keluar disebabkan keguguran juga termasuk nifas maka berlakukah hukum-hukum nifas bagi wanita tersebut; tidak shalat, tidak puasa, dan tidak boleh jima’. Ada pun larangan membaca Al Quran –sebagaimana wanita haid- tidak ada dalil qaht’i yang menyebutkannya, sedangkan menyentuh Al Quran maka para ulama berselisih tentang itu.
Namun, Keguguran yang bagaimanakah ini? Yakni keguguran yang terjadi pada yang janin telah lengkap memiliki jasad dan ruh (4 bulan ke atas).
Ada pun keguguran yang janinnya belum sampai berbentuk jasad, baru tahapan nuthfah dan ‘alaqah, maka terjadi perselisihan para ulama. Sebagian menyebut itu bukanlah nifas, tetapi darah rusak (fasad) dan berpenyakit (isthadhah).
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah yang disusun oleh para ulama di Kuwait yang diterbitkan oleh Departemen Kementrian Waqaf (seperti Depag di Indonesia) disebutkan:
فإن رأت دماً بعد إلقاء نطفة أو علقة، فليس بنفاس
“Maka, jika seorang wanita melihat darah setelah tumpahnya nuthfah atau ‘alaqah (segumpal darah), maka itu bukan nifas.” (Al Mausu’ah, 1/546)
Ini juga menjadi pedapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain. Syaikh Utsaimin mengatakan janin telah berbentuk manusia adalah usia 80 hari. Menurut kelompok ini mudghah belumlah menjadi wujud manusia, baru segumpal daging sesuai firman Allah Ta’ala:
“Kemudian (nuthfah) air mani itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan mudghah (segumpal daging), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun, 23: 14)
Maka, jelas sekali bahwa mudghah belumlah wujud manusia, masih segumpal daging yang masih ada tahapan selanjutnya, yaitu pemberian tulang belualang lalu dibungkus lagi dengan daging. Jika sudah wajud seperti itu lalu keguguran, maka itulah nifas.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إذا كان الجنين لم يُخلَّق فإن دمها هذا ليس دم نفاس، وعلى هذا فإنها تصوم وتصلي وصيامها صحيح، وإذا كان الجنين قد خُلّق فإن الدم دم نفاس لا يحل لها أن تصلي فيه، ولا أن تصوم، والقاعدة في هذه المسألة أو الضابط فيها أنه إذا كان الجنين قد خلق فالدم دم نفاس، وإذا لم يخلّق فليس الدم دم نفاس، وإذا كان الدم دم نفاس فإنه يحرم عليها ما يحرم على النفساء، وإذا كان غير دم النفاس فإنه لا يحرم عليها ذلك.
“Jika janin belum berbentuk (jasad) maka darahnya bukanlah darah nifas, maka dia tetap berpuasa dan shalat, dan puasanya itu sah. Jika janin telah berbentuk jasad, maka darahnya adalah darah nifas tidak halal dia shalat dan pula tidak puasa. Kaidah atau patokan dalam masalah ini adalah jika janin telah berbentuk jasad maka darahnya adalah darah nifas, dan jika belum berbentuk maka darahnya bukan darah nifas, dan jika darahnya adalah darah nifas maka diharamkan atasnya sebagaimana diharamkan atas orang yang nifas, dan jika bukan darah nifas maka tidaklah diharamkan atasnya sebagaimana tidak diharamkan atas orang tidak nifas.” (Su’al wa Jawab fi Ahkamil Haidh, Hal. 124. Darul Qimmah)
Syaikh Wahah Az Zuhaili rahimahullah mengutip dari para ulama:
بخروج أكثر الولد، ولو متقطعاً عضواً عضواً، ولو سِقْطاً استبان فيه بعض خلقة الإنسان كأصبع أو ظفر
“(darah nifas) ditandai dengan keluarnya sebagian besar tubuh bayi, walau sepotong-sepotong dari anggota badannya, walau pun keguguran tetapi sudah jelas padanya sebagian bentuk manusia seperti jari dan kuku ..” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/546. Maktabah Misykah)
Sementara ulama lain menyatakan bahwa walau pun belum berwujud sempurna, masih ‘alaqah (segumpal darah) dan mudghah (segumpal daging) misalnya, itu sudah termasuk nifas. Seorang ulama abad 9 hijriyah, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Hushaini Ad Dimasqi Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
وأما دم النفاس فهو الخارج عقيب ولادة ما تنقضي به العدة سواء وضعته حي��ً أو ميتاً كاملاً كان أو ناقصاً وكذا لو وضعت علقة أو مضغة جزم به في الروضة وسواء كان أحمر أو أصفر
“Ada pun nifas dia adalah darah yang keluar setelah melahirkan yang tidak ditentukan jumlahnya, sama saja apakah (janin) dalam keadaan hidup atau mati, sempurna atau kurang (cacat). Demikian pula seandainya yang dilahirkan itu berupa ‘alaqah atau mudghah yang telah tertanam kuat, sama saja apakah berwarna merah atau kuning .“ (Kifayatul Akhyar, Hal. 75. Syamilah)
Maka, menurut pandangan kelompok ini, walau pun usia kandungan baru 40 hari (sebab terjadinya ‘alaqah adalah setelah 40 hari kehamilan sebagaimana hadits yang kita bahas), keguguran yang terjadi tetaplah nifas, karena ‘alaqah merupakan janin juga tetapi yang belum sempurna.
Apakah Bayi Keguguran Mesti Dishalatkan?
Ada beberapa keadaan:
Jika bayi tersebut belum berwujud, masih gumpalan darah atau daging, atau usia kehamilannya di bawah 4 bulan, maka dia langsung dikuburkan saja sebab dia tak ubahnya hanya seonggok daging. Tapi, kalau dia mau dikafankan dan dikubur sebagai penghormatan baginya juga tidak apa-apa.
Jika bayi tersebut sudah berwujud, dan sudah ditiupkan ruh (4 bulan atau lebih), dan ada tanda kehidupan (gerak atau tangis), maka disikapi sebagaimana mayat biasa; dimandikan (kalau bisa dan tidak dikhawatirkan merusak jasadnya), dikafankan, dishalatkan, lalu di kubur. Inilah yang difatwakan para ulama Islam.
Jika bayi itu sudah berwujud, sudah 4 bulan, tapi ketika keguuran tidak ada tanda kehidupan maka tidak dishalatkan.
Berikut uraian Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah:
السقط إذا لم يأت عليه أربعة أشهر فإنه لا يغسل.
ولا يص��ى عليه، ويلف في خرقة، ويدفن من غير خلاف بين جمهور الفقهاء.
فإن أتى عليه أربعة أشهر فصاعدا واستهل غسل وصلي عليه باتفاق.
فإذا لم يستهل فإنه لا يصلى عليه عند الاحناف ومالك والاوزاعي والحسن، لما رواه الترمذي، والنسائي، وابن ماجه والبيهقي عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إذا استهل السقط صلي عليه وورث ” ففي الحديث اشتراط الاستهلال في الصلاة عليه.
وذهب أحمد وسعيد وابن سيرين وإسحاق إلى أنه يغسل ويصلى عليه للحديث المتقدم.
وفيه: ” والسقط يصلى عليه ” ولانه نسمة نفخ فيه الروح، فيصلى عليه كالمستهل.
فإن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه ينفخ فيه الروح لاربعة أشهر، وأجابوا عما استدل به الاولون بأن الحديث مضطرب.
وبأنه معارض بما هو أقوى منه، فلا يصلح للاحتجاج به.
“Keguguran jika belum sampai 4 bulan maka janinnya tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan, cukup dibungkus dengan kain lalu dikuburkan, ini tidak ada perbedaan pendapat di antara mayoritas fuqaha.
Jika telah sampai 4 bulan dan memiliki tanda-tanda kehidupan, maka dia dimandikan dan dishalatkan menurut kesepakatan ulama.
Jika tidak ada tanda kehidupan, maka dia tidak dimandikan menurut kalangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan. Sebab diriwayatkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.” Dalam hadits ini tanda-tanda kehidupan dijadikan sebagai syarat untuk dishalatkannya bayi tersebut.
Menurut Ahmad, Sa’id, Ibnu Sirin, dan Ishaq, bayi itu tetap dimandikan dan dishalatkan (walau tak ada tanda kehidupan) sesuai hadits terdahulu. Dalam hadits tersebut disebutkan: “Bayi keguguran dishalatkan.” Karena makhluk hidup (manusia) setalh ditiupkannya ruh, maka dia dishalatkan sebagaimana adanya ‘tanda kehidupan’.
Dan, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa ruh ditiupkan setelah 4 bulan. Kelompok menjawab bahwa apa-apa yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama (yaitu hadits dari Jabir) adalah hadits mudhtharib (guncang – salah satu jenis hadits dhaif, pen), karena dia bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya (yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang kita bahas dalam syarah arbain ke-4), maka tidak sah berhujjah dengannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/529. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Catatan:
Hadits dari Jabir yang berbunyi:
إذا استهل الصبي صلي عليه وورث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6032, juga Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2750, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaiful Jami’ No. 363)
Ada juga yang mirip dengan hadits ini:
إذا استهل الصبي صارخا سمي وصلي عليه وتمت ديته وورث وإن لم يستهل صارخا وولد حيا لم يسم ولم تتم ديته ولم يصل عليه ولم يرث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan yang jelas maka dia diberikan nama, dishalatkan, ditunaikan diyatnya dan diwariskan. Jika tidak ada tanda kehidupan yang jelas maka tidak diberikan nama, tidak ditunaikan diyatnya, tidak dishalatkan, dan tidak diwariskan.”
Ini pun dinyatakan dhaif. (Irwa’ul Ghalil, 6/147)
Jadi ada tiga masalah dalam hal ini:
Keguguran sebelum 4 bulan, janin tersebut tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, hanya dibungkus dan kubur saja. Ini tak ada perbedaan pendapat.
Keguguran sudah 4 bulan atau lebih dan ada tanda kehidupan, maka dimandikan, dikafankan dan dishalatkan.
Keguguran sudah 4 bulan atau lebih tapi tidak ada tanda kehidupan, maka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Ini pandangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan berdasarkan hadits Jabir. Sedangkan menurut Ahmad, Said, Ibnu Sirin, dan Ishaq tetap dimandikan dan dishalatkan.
Pandangan yang lebih kuat adalah apa yang menjadi pandangan Imam Ahmad, Said bin Al Musayyib, Ibnu Sirrin, dan Ishaq bin Rahawaih, bahwa bayi keguguran yang usia kandungannya 4 bulan lebih, tetaplah dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan, walau tidak ada tanda kehidupan, berdasarkan dalil yang lebih kuat pula (hadits Ibnu mas’ud) bahwa dia telah ditiupkan ruh, dan kelemahan hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Tarjih adalah upaya penelitian terhadap berbagai dalil dan membandingkan berbagai pendapat lalu diputuskan mana yang paling kuat dan argumentatif. Pendapat yang kuat disebut rajah, sedangkan yang lemah disebut marjuh.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/31/persoalan-fiqih-terkait-usia-kehamilan-empat-bulan/
0 notes
Link
Hukum Aborsi
Hal ini terbagi atas dua bagian:
Pertama, aborsi usia kandungan 4 bulan lebih dan seterusnya.
Seluruh fuqaha sepakat, bahwa jika aborsi dilakukan pada usia kandungan 4 bulan secara sempurna, atau di atas usia 4 bulan, maka haram. Hal ini sama saja dia telah menghilangkan makhluk bernyawa (yakni manusia) lainnya (baca: pembunuhan). Sebab, usia kandungan 4 bulan sudah menjadi makhluk bernyawa, bukan sekedar lagi gumpalan darah atau daging sebagaimana penjelasan di tulisan sebelumnya (lihat di sini). Dalilnya adalah;
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al An’am, 6: 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al Isra`, 17: 31).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’)? (QS. Al Isra` (17): 33).
Dan bila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh? (QS. At Takwir, 81: 8-9)
Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
اتفق العلماء على تحريم الإجهاض دون عذر بعد الشهر الرابع أي بعد 120 يوماً من بدء الحمل،ويعد ذلك جريمة موجبة للغُرَّة ، لأنه إزهاق نفس وقتل إنسان.
“Ulama sepakat atas haramnya aborsi tanpa ‘udzur setelah kandungan 4 bulan yaitu 120 hari sejak awal kehamilan, dan mengancam hal itu sebagai kejahatan pembunuhan terhadap permulaan kehidupan, karena dia sudah berbentuk jiwa dan termasuk membunuh manusia.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/196. Maktabah Al Misykah)
Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Quwaitiyah:
وَلاَ يُعْلَمُ خِلاَفٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي تَحْرِيمِ الإِْجْهَاضِ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ . فَقَدْ نَصُّوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا نُفِخَتْ فِي الْجَنِينِ الرُّوحُ حُرِّمَ الإِْجْهَاضُ إِجْمَاعًا . وَقَالُوا إِنَّهُ قَتْلٌ لَهُ ، بِلاَ خِلاَفٍ
“Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para fuqaha tentang haramnya aborsi setelah ditiupkan ruh. Dasar mereka adalah jika telah ditiupkan ruh terhadap janin maka ijma’ telah mengharamkan aborsi tersebut. Mereka mengatakan hal itu adalah pembunuhan terhadapnya, tak ada perbedaan pendapat.” (Al Mausu’ah, 2/57)
Tetapi jika jika kandungan tersebut –setelah dianalisa dokter terpercaya- membawa bahaya yang jelas bagi si ibu dan mengancam kehidupannya, atau jika dipaksakan maka membawa kematian bagi ibu dan bayi sekaligus, maka para ulama membolehkan menggugurkan bayi tersebut, baik sebelum atau sesudah 4 bulan. Hal ini sesuai kaidah: Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih/menjalankan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat). Maka, nyawa si ibu lebih layak diselamatkan dibanding janin. Dalilnya adalah:
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya? (QS. Al Maidah, 5: 32)
Tetapi kalangan Hanafiyah tetap melarang aborsi di atas 4 bulan walau pun ada udzur seperti itu. Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullah, salah satu tokoh madzhab Hanafi, mengatakan:
وَلَوْ كَانَ حَيًّا لَا يَجُوزُ تَقْطِيعُهُ لِأَنَّ مَوْتَ الْأُمِّ بِهِ مَوْهُومٌ ، فَلَا يَجُوزُ قَتْلُ آدَمِيٍّ حَيٍّ لِأَمْرٍ مَوْهُوم
“Seandainya janin itu hidup, tidak boleh menggugurkannya, sebab kematian si ibu karenanya masih wahm (belum jelas/ samar), maka tidak boleh membunuh manusia hidup karena alasan yang masih samar.” (Raddul Muhtar, 6/384)
Kedua, aborsi usia kandungan kurang dari 4 bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan dalam satu madzhab pun juga memiliki pandangan yang beragam. Dan, yang menjadi pokok masalahnya adalah karena sebelum 4 bulan, belum ada nyawa (ruh), atau keadaan baru cikal bakal kehidupan. Nah, apakah menggugurkannya sama halnya dengan membunuh bayi bernyawa?
Berikut pandangan madzhab dalam Ahlus Sunnah:
Hanafiyah
Mereka berpendapat boleh, karena selama usia kandungan belum 120 hari, maka belum bisa disebut manusia. Mereka memaknai penciptaan manusia adalah ketika mulai ditiupkannya ruh. (Lihat Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadiir, 7/296. Mawqi’ Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 4/424. Mawqi’ Al Islam)
Disebutkan juga menurut sebagian kalangan Hanafiah: hukumnya makruh jika tanpa udzur, dan jika aborsi dilakukan tetap berdosa. Udzur tersebut adalah: terputusnya air susu ibu setelah melahirkan sedangkan ayahnya tidak mampu membayar wanita lain yang bisa menyusuinya, dan khawatir dia tertimpa malapetaka. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Malikiyah
Padangan yang mu’tamad (resmi/bisa dijadikan pegangan) dalam madzhab Malikiyah adalah Haram mengeluarkan mani yang sudah tertanam di rahim, walaupun sebelum 40 hari. Ada pun jika sudah ditiupkan ruh (4 bulan) maka haram secara ijma’. (Imam Abul Barakat Sayyidi Ahmad Ad Dardir, Asy Syarhul Kabir, 2/266-267. Ihya’ul Kutub Al ‘Arabiyah. Lihat juga Imam Muhammad bin ‘Arafah Ad Dasuqi, Hasyiah ‘ala Asy Syarhil Kabir, 8/78) Tapi, Imam Ad Dasuqi mengatakan bahwa dalam pandangan Malikiyah, ada pula yang memakruhkan saja. (Ibid)
Syafi’iyah
Beragam pandangan dalam madzhab ini. Ada yang membolehkan dengan kebolehan yang dibenci (makruh tanzih), jika aborsi dilakukan pada masa-masa rentang waktu 40 hari, atau jeda antara 40 atau 42 atau 45., sejak awal kehamilan dengan syarat kerelaan suami dan isteri, dan tidak membawa dampak buruk bagi yang hamil. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Sementara Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan boleh jika sebelum ditiupkannya ruh (belum 4 bulan), tapi jika sudah ditiupkan ruh maka haram secara mutlak. (Imam Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 8/443. 1404H-1984M. Darul Fikr) Pendapat beliau sama dengan kalangan Hanafiyah.
Imam Ad Dimyathi mengatakan, pendapat yang mu’tamad adalah tidak haram, mengeluarkan mani dan ‘alaqah (segumpal darah) yang sudah tertanam di rahim, (I’anatuth Thalibin, 3/256)
Sedangkan Imam Al Ghazali berpendapat haram, sebab itu merupakan tindakan kriminal terhadap sesuatu yang sudah ada. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/47). Pendapat Imam Al Ghazali inilah yang diikuti oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:
وإني بهذا الترجيح ميَّال مع رأي الغزالي الذي يعتبر الإجهاض ولو من أول يوم كالوأد جناية على موجود حاصل
“Sesungguhnya saya dengan tarjih[1] ini, lebih cenderung pada pendapat Al Ghazali yang telah melakukan pengujian terhadap masalah aborsi, walaupun itu dilakukan sejak awal (kehamilan) sebagaimana penguburan bayi hidup-hidup, hal itu merupakan kejahatan atas sesuatu yang sudah wujud (ada).” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Hambaliyah (Hanabilah)
Pandangan mu’tamad mereka sama dengan Hanafiyah, yakni boleh. Selama dilakukan selama 4 bulan pertama atau 120 hari sejak awal kehamilan, karena belum ada ruh. Jika lebih dari itu dan sudah ada ruh maka haram secara qath’i (pasti). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Nampaknya pendapat Malikiyah dan Imam Al Ghazali yaitu haram, merupakan pandangan lebih tepat dan hati-hati, apalagi di tengah pergaulan bebas seperti saat ini. Sehingga pendapat ini dapat dijadikan preventif (pencegahan) dan membendung angka aborsi yang dilakukan manusia tidak bertanggungjawab, ada pun jika menggunakan pendapat yang membolehkan, maka akan membawa dampak disalahgunakan oleh mereka. Sebab, jika suatu yang haram saja mereka langgar (yakni free sex) apalagi sesuatu yang mubah, mereka akan semakin menjadi-jadi.
Pembahasan di atas hanya berlaku untuk aborsi (keguguran yang disengaja), ada pun keguguran karena lemahnya kandungan, sakit, terjatuh, dan lainnya yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, maka itu dimaafkan.
Nifaskah Wanita Yang Keguguran?
Kita lihat definisi nifas dahulu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang arti nifas:
تعريفه: هو الدم الخارج من قبل المرأة بسبب الولادة وإن كان المولود سقطا.
Definisinya: yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita dengan sebab melahirkan, walau pun keguguran. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/ 84. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah disebutkan definisi nifas, sebagai berikut:
النِّفَاسُ دَمٌ يَخْرُجُ عَقِبَ الْوِلاَدَةِ ، وَهَذَا الْقَدْرُ لاَ خِلاَفَ فِيهِ ، وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي الأَْرْجَحِ : وَمَعَ الْوِلاَدَةِ ، وَزَادَ الْحَنَابِلَةُ : مَعَ وِلاَدَةٍ وَقَبْلَهَا بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Nifas adalah darah yang keluar setelah kelahiran, dan bagian ini tidak ada perbedaan pendapat ulama. Malikiyah menambahkan dalam Al Arjah: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran. Hanabilah (Hambaliyah) menambahkan: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran dan sebelumnya baik dua atau tiga hari sebelumnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz. 3, Hal. 198. Maktabah Misykah)
Jadi, darah yang keluar disebabkan keguguran juga termasuk nifas maka berlakukah hukum-hukum nifas bagi wanita tersebut; tidak shalat, tidak puasa, dan tidak boleh jima’. Ada pun larangan membaca Al Quran –sebagaimana wanita haid- tidak ada dalil qaht’i yang menyebutkannya, sedangkan menyentuh Al Quran maka para ulama berselisih tentang itu.
Namun, Keguguran yang bagaimanakah ini? Yakni keguguran yang terjadi pada yang janin telah lengkap memiliki jasad dan ruh (4 bulan ke atas).
Ada pun keguguran yang janinnya belum sampai berbentuk jasad, baru tahapan nuthfah dan ‘alaqah, maka terjadi perselisihan para ulama. Sebagian menyebut itu bukanlah nifas, tetapi darah rusak (fasad) dan berpenyakit (isthadhah).
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah yang disusun oleh para ulama di Kuwait yang diterbitkan oleh Departemen Kementrian Waqaf (seperti Depag di Indonesia) disebutkan:
فإن رأت دماً بعد إلقاء نطفة أو علقة، فليس بنفاس
“Maka, jika seorang wanita melihat darah setelah tumpahnya nuthfah atau ‘alaqah (segumpal darah), maka itu bukan nifas.” (Al Mausu’ah, 1/546)
Ini juga menjadi pedapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain. Syaikh Utsaimin mengatakan janin telah berbentuk manusia adalah usia 80 hari. Menurut kelompok ini mudghah belumlah menjadi wujud manusia, baru segumpal daging sesuai firman Allah Ta’ala:
“Kemudian (nuthfah) air mani itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan mudghah (segumpal daging), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun, 23: 14)
Maka, jelas sekali bahwa mudghah belumlah wujud manusia, masih segumpal daging yang masih ada tahapan selanjutnya, yaitu pemberian tulang belualang lalu dibungkus lagi dengan daging. Jika sudah wajud seperti itu lalu keguguran, maka itulah nifas.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إذا كان الجنين لم يُخلَّق فإن دمها هذا ليس دم نفاس، وعلى هذا فإنها تصوم وتصلي وصيامها صحيح، وإذا كان الجنين قد خُلّق فإن الدم دم نفاس لا يحل لها أن تصلي فيه، ولا أن تصوم، والقاعدة في هذه المسألة أو الضابط فيها أنه إذا كان الجنين قد خلق فالدم دم نفاس، وإذا لم يخلّق فليس الدم دم نفاس، وإذا كان الدم دم نفاس فإنه يحرم عليها ما يحرم على النفساء، وإذا كان غير دم النفاس فإنه لا يحرم عليها ذلك.
“Jika janin belum berbentuk (jasad) maka darahnya bukanlah darah nifas, maka dia tetap berpuasa dan shalat, dan puasanya itu sah. Jika janin telah berbentuk jasad, maka darahnya adalah darah nifas tidak halal dia shalat dan pula tidak puasa. Kaidah atau patokan dalam masalah ini adalah jika janin telah berbentuk jasad maka darahnya adalah darah nifas, dan jika belum berbentuk maka darahnya bukan darah nifas, dan jika darahnya adalah darah nifas maka diharamkan atasnya sebagaimana diharamkan atas orang yang nifas, dan jika bukan darah nifas maka tidaklah diharamkan atasnya sebagaimana tidak diharamkan atas orang tidak nifas.” (Su’al wa Jawab fi Ahkamil Haidh, Hal. 124. Darul Qimmah)
Syaikh Wahah Az Zuhaili rahimahullah mengutip dari para ulama:
بخروج أكثر الولد، ولو متقطعاً عضواً عضواً، ولو سِقْطاً استبان فيه بعض خلقة الإنسان كأصبع أو ظفر
“(darah nifas) ditandai dengan keluarnya sebagian besar tubuh bayi, walau sepotong-sepotong dari anggota badannya, walau pun keguguran tetapi sudah jelas padanya sebagian bentuk manusia seperti jari dan kuku ..” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/546. Maktabah Misykah)
Sementara ulama lain menyatakan bahwa walau pun belum berwujud sempurna, masih ‘alaqah (segumpal darah) dan mudghah (segumpal daging) misalnya, itu sudah termasuk nifas. Seorang ulama abad 9 hijriyah, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Hushaini Ad Dimasqi Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
وأما دم النفاس فهو الخارج عقيب ولادة ما تنقضي به العدة سواء وضعته حياً أو ميتاً كاملاً كان أو ناقصاً وكذا لو وضعت علقة أو مضغة جزم به في الروضة وسواء كان أحمر أو أصفر
“Ada pun nifas dia adalah darah yang keluar setelah melahirkan yang tidak ditentukan jumlahnya, sama saja apakah (janin) dalam keadaan hidup atau mati, sempurna atau kurang (cacat). Demikian pula seandainya yang dilahirkan itu berupa ‘alaqah atau mudghah yang telah tertanam kuat, sama saja apakah berwarna merah atau kuning .“ (Kifayatul Akhyar, Hal. 75. Syamilah)
Maka, menurut pandangan kelompok ini, walau pun usia kandungan baru 40 hari (sebab terjadinya ‘alaqah adalah setelah 40 hari kehamilan sebagaimana hadits yang kita bahas), keguguran yang terjadi tetaplah nifas, karena ‘alaqah merupakan janin juga tetapi yang belum sempurna.
Apakah Bayi Keguguran Mesti Dishalatkan?
Ada beberapa keadaan:
Jika bayi tersebut belum berwujud, masih gumpalan darah atau daging, atau usia kehamilannya di bawah 4 bulan, maka dia langsung dikuburkan saja sebab dia tak ubahnya hanya seonggok daging. Tapi, kalau dia mau dikafankan dan dikubur sebagai penghormatan baginya juga tidak apa-apa.
Jika bayi tersebut sudah berwujud, dan sudah ditiupkan ruh (4 bulan atau lebih), dan ada tanda kehidupan (gerak atau tangis), maka disikapi sebagaimana mayat biasa; dimandikan (kalau bisa dan tidak dikhawatirkan merusak jasadnya), dikafankan, dishalatkan, lalu di kubur. Inilah yang difatwakan para ulama Islam.
Jika bayi itu sudah berwujud, sudah 4 bulan, tapi ketika keguuran tidak ada tanda kehidupan maka tidak dishalatkan.
Berikut uraian Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah:
السقط إذا لم يأت عليه أربعة أشهر فإنه لا يغسل.
ولا يصلى عليه، ويلف في خرقة، ويدفن من غير خلاف بين جمهور الفقهاء.
فإن أتى عليه أربعة أشهر فصاعدا واستهل غسل وصلي عليه باتفاق.
فإذا لم يستهل فإنه لا يصلى عليه عند الاحناف ومالك والاوزاعي والحسن، لما رواه الترمذي، والنسائي، وابن ماجه والبيهقي عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إذا استهل السقط صلي عليه وورث ” ففي الحديث اشتراط الاستهلال في الصلاة عليه.
وذهب أحمد وسعيد وابن سيرين وإسحاق إلى أنه يغسل ويصلى عليه للحديث المتقدم.
وفيه: ” والسقط يصلى عليه ” ولانه نسمة نفخ فيه الروح، فيصلى عليه كالمستهل.
فإن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه ينفخ فيه الروح لاربعة أشهر، وأجابوا عما استدل به الاولون بأن الحديث مضطرب.
وبأنه معارض بما هو أقوى منه، فلا يصلح للاحتجاج به.
“Keguguran jika belum sampai 4 bulan maka janinnya tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan, cukup dibungkus dengan kain lalu dikuburkan, ini tidak ada perbedaan pendapat di antara mayoritas fuqaha.
Jika telah sampai 4 bulan dan memiliki tanda-tanda kehidupan, maka dia dimandikan dan dishalatkan menurut kesepakatan ulama.
Jika tidak ada tanda kehidupan, maka dia tidak dimandikan menurut kalangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan. Sebab diriwayatkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.” Dalam hadits ini tanda-tanda kehidupan dijadikan sebagai syarat untuk dishalatkannya bayi tersebut.
Menurut Ahmad, Sa’id, Ibnu Sirin, dan Ishaq, bayi itu tetap dimandikan dan dishalatkan (walau tak ada tanda kehidupan) sesuai hadits terdahulu. Dalam hadits tersebut disebutkan: “Bayi keguguran dishalatkan.” Karena makhluk hidup (manusia) setalh ditiupkannya ruh, maka dia dishalatkan sebagaimana adanya ‘tanda kehidupan’.
Dan, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa ruh ditiupkan setelah 4 bulan. Kelompok menjawab bahwa apa-apa yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama (yaitu hadits dari Jabir) adalah hadits mudhtharib (guncang – salah satu jenis hadits dhaif, pen), karena dia bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya (yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang kita bahas dalam syarah arbain ke-4), maka tidak sah berhujjah dengannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/529. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Catatan:
Hadits dari Jabir yang berbunyi:
إذا استهل الصبي صلي عليه وورث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6032, juga Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2750, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaiful Jami’ No. 363)
Ada juga yang mirip dengan hadits ini:
إذا استهل الصبي صارخا سمي وصلي عليه وتمت ديته وورث وإن لم يستهل صارخا وولد حيا لم يسم ولم تتم ديته ولم يصل عليه ولم يرث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan yang jelas maka dia diberikan nama, dishalatkan, ditunaikan diyatnya dan diwariskan. Jika tidak ada tanda kehidupan yang jelas maka tidak diberikan nama, tidak ditunaikan diyatnya, tidak dishalatkan, dan tidak diwariskan.”
Ini pun dinyatakan dhaif. (Irwa’ul Ghalil, 6/147)
Jadi ada tiga masalah dalam hal ini:
Keguguran sebelum 4 bulan, janin tersebut tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, hanya dibungkus dan kubur saja. Ini tak ada perbedaan pendapat.
Keguguran sudah 4 bulan atau lebih dan ada tanda kehidupan, maka dimandikan, dikafankan dan dishalatkan.
Keguguran sudah 4 bulan atau lebih tapi tidak ada tanda kehidupan, maka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Ini pandangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan berdasarkan hadits Jabir. Sedangkan menurut Ahmad, Said, Ibnu Sirin, dan Ishaq tetap dimandikan dan dishalatkan.
Pandangan yang lebih kuat adalah apa yang menjadi pandangan Imam Ahmad, Said bin Al Musayyib, Ibnu Sirrin, dan Ishaq bin Rahawaih, bahwa bayi keguguran yang usia kandungannya 4 bulan lebih, tetaplah dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan, walau tidak ada tanda kehidupan, berdasarkan dalil yang lebih kuat pula (hadits Ibnu mas’ud) bahwa dia telah ditiupkan ruh, dan kelemahan hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Tarjih adalah upaya penelitian terhadap berbagai dalil dan membandingkan berbagai pendapat lalu diputuskan mana yang paling kuat dan argumentatif. Pendapat yang kuat disebut rajah, sedangkan yang lemah disebut marjuh.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/31/persoalan-fiqih-terkait-usia-kehamilan-empat-bulan/
0 notes
Link
Hukum Aborsi
Hal ini terbagi atas dua bagian:
Pertama, aborsi usia kandungan 4 bulan lebih dan seterusnya.
Seluruh fuqaha sepakat, bahwa jika aborsi dilakukan pada usia kandungan 4 bulan secara sempurna, atau di atas usia 4 bulan, maka haram. Hal ini sama saja dia telah menghilangkan makhluk bernyawa (yakni manusia) lainnya (baca: pembunuhan). Sebab, usia kandungan 4 bulan sudah menjadi makhluk bernyawa, bukan sekedar lagi gumpalan darah atau daging sebagaimana penjelasan di atas. Dalilnya adalah;
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al An’am, 6: 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al Isra`, 17: 31).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’)? (QS. Al Isra` (17): 33).
Dan bila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh? (QS. At Takwir, 81: 8-9)
Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
اتفق العلماء على تحريم الإجهاض دون عذر بعد الشهر الرابع أي بعد 120 يوماً من بدء الحمل،ويعد ذلك جريمة موجبة للغُرَّة ، لأنه إزهاق نفس وقتل إنسان.
“Ulama sepakat atas haramnya aborsi tanpa ‘udzur setelah kandungan 4 bulan yaitu 120 hari sejak awal kehamilan, dan mengancam hal itu sebagai kejahatan pembunuhan terhadap permulaan kehidupan, karena dia sudah berbentuk jiwa dan termasuk membunuh manusia.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/196. Maktabah Al Misykah)
Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Quwaitiyah:
وَلاَ يُعْلَمُ خِلاَفٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي تَحْرِيمِ الإِْجْهَاضِ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ . فَقَدْ نَصُّوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا نُفِخَتْ فِي الْجَنِينِ الرُّوحُ حُرِّمَ الإِْجْهَاضُ إِجْمَاعًا . وَقَالُوا إِنَّهُ قَتْلٌ لَهُ ، بِلاَ خِلاَفٍ
“Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para fuqaha tentang haramnya aborsi setelah ditiupkan ruh. Dasar mereka adalah jika telah ditiupkan ruh terhadap janin maka ijma’ telah mengharamkan aborsi tersebut. Mereka mengatakan hal itu adalah pembunuhan terhadapnya, tak ada perbedaan pendapat.” (Al Mausu’ah, 2/57)
Tetapi jika jika kandungan tersebut –setelah dianalisa dokter terpercaya- membawa bahaya yang jelas bagi si ibu dan mengancam kehidupannya, atau jika dipaksakan maka membawa kematian bagi ibu dan bayi sekaligus, maka para ulama membolehkan menggugurkan bayi tersebut, baik sebelum atau sesudah 4 bulan. Hal ini sesuai kaidah: Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih/menjalankan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat). Maka, nyawa si ibu lebih layak diselamatkan dibanding janin. Dalilnya adalah:
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya? (QS. Al Maidah, 5: 32)
Tetapi kalangan Hanafiyah tetap melarang aborsi di atas 4 bulan walau pun ada udzur seperti itu. Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullah, salah satu tokoh madzhab Hanafi, mengatakan:
وَلَوْ كَانَ حَيًّا لَا يَجُوزُ تَقْطِيعُهُ لِأَنَّ مَوْتَ الْأُمِّ بِهِ مَوْهُومٌ ، فَلَا يَجُوزُ قَتْلُ آدَمِيٍّ حَيٍّ لِأَمْرٍ مَوْهُوم
“Seandainya janin itu hidup, tidak boleh menggugurkannya, sebab kematian si ibu karenanya masih wahm (belum jelas/ samar), maka tidak boleh membunuh manusia hidup karena alasan yang masih samar.” (Raddul Muhtar, 6/384)
Kedua, aborsi usia kandungan kurang dari 4 bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan dalam satu madzhab pun juga memiliki pandangan yang beragam. Dan, yang menjadi pokok masalahnya adalah karena sebelum 4 bulan, belum ada nyawa (ruh), atau keadaan baru cikal bakal kehidupan. Nah, apakah menggugurkannya sama halnya dengan membunuh bayi bernyawa?
Berikut pandangan madzhab dalam Ahlus Sunnah:
Hanafiyah
Mereka berpendapat boleh, karena selama usia kandungan belum 120 hari, maka belum bisa disebut manusia. Mereka memaknai penciptaan manusia adalah ketika mulai ditiupkannya ruh. (Lihat Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadiir, 7/296. Mawqi’ Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 4/424. Mawqi’ Al Islam)
Disebutkan juga menurut sebagian kalangan Hanafiah: hukumnya makruh jika tanpa udzur, dan jika aborsi dilakukan tetap berdosa. Udzur tersebut adalah: terputusnya air susu ibu setelah melahirkan sedangkan ayahnya tidak mampu membayar wanita lain yang bisa menyusuinya, dan khawatir dia tertimpa malapetaka. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Malikiyah
Padangan yang mu’tamad (resmi/bisa dijadikan pegangan) dalam madzhab Malikiyah adalah Haram mengeluarkan mani yang sudah tertanam di rahim, walaupun sebelum 40 hari. Ada pun jika sudah ditiupkan ruh (4 bulan) maka haram secara ijma’. (Imam Abul Barakat Sayyidi Ahmad Ad Dardir, Asy Syarhul Kabir, 2/266-267. Ihya’ul Kutub Al ‘Arabiyah. Lihat juga Imam Muhammad bin ‘Arafah Ad Dasuqi, Hasyiah ‘ala Asy Syarhil Kabir, 8/78) Tapi, Imam Ad Dasuqi mengatakan bahwa dalam pandangan Malikiyah, ada pula yang memakruhkan saja. (Ibid)
Syafi’iyah
Beragam pandangan dalam madzhab ini. Ada yang membolehkan dengan kebolehan yang dibenci (makruh tanzih), jika aborsi dilakukan pada masa-masa rentang waktu 40 hari, atau jeda antara 40 atau 42 atau 45., sejak awal kehamilan dengan syarat kerelaan suami dan isteri, dan tidak membawa dampak buruk bagi yang hamil. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Sementara Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan boleh jika sebelum ditiupkannya ruh (belum 4 bulan), tapi jika sudah ditiupkan ruh maka haram secara mutlak. (Imam Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 8/443. 1404H-1984M. Darul Fikr) Pendapat beliau sama dengan kalangan Hanafiyah.
Imam Ad Dimyathi mengatakan, pendapat yang mu’tamad adalah tidak haram, mengeluarkan mani dan ‘alaqah (segumpal darah) yang sudah tertanam di rahim, (I’anatuth Thalibin, 3/256)
Sedangkan Imam Al Ghazali berpendapat haram, sebab itu merupakan tindakan kriminal terhadap sesuatu yang sudah ada. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/47). Pendapat Imam Al Ghazali inilah yang diikuti oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:
وإني بهذا الترجيح ميَّال مع رأي الغزالي الذي يعتبر الإجهاض ولو من أول يوم كالوأد جناية على موجود حاصل
“Sesungguhnya saya dengan tarjih[1] ini, lebih cenderung pada pendapat Al Ghazali yang telah melakukan pengujian terhadap masalah aborsi, walaupun itu dilakukan sejak awal (kehamilan) sebagaimana penguburan bayi hidup-hidup, hal itu merupakan kejahatan atas sesuatu yang sudah wujud (ada).” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Hambaliyah (Hanabilah)
Pandangan mu’tamad mereka sama dengan Hanafiyah, yakni boleh. Selama dilakukan selama 4 bulan pertama atau 120 hari sejak awal kehamilan, karena belum ada ruh. Jika lebih dari itu dan sudah ada ruh maka haram secara qath’i (pasti). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Nampaknya pendapat Malikiyah dan Imam Al Ghazali yaitu haram, merupakan pandangan lebih tepat dan hati-hati, apalagi di tengah pergaulan bebas seperti saat ini. Sehingga pendapat ini dapat dijadikan preventif (pencegahan) dan membendung angka aborsi yang dilakukan manusia tidak bertanggungjawab, ada pun jika menggunakan pendapat yang membolehkan, maka akan membawa dampak disalahgunakan oleh mereka. Sebab, jika suatu yang haram saja mereka langgar (yakni free sex) apalagi sesuatu yang mubah, mereka akan semakin menjadi-jadi.
Pembahasan di atas hanya berlaku untuk aborsi (keguguran yang disengaja), ada pun keguguran karena lemahnya kandungan, sakit, terjatuh, dan lainnya yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, maka itu dimaafkan.
Nifaskah Wanita Yang Keguguran?
Kita lihat definisi nifas dahulu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang arti nifas:
تعريفه: هو الدم الخارج من قبل المرأة بسبب الولادة وإن كان المولود سقطا.
Definisinya: yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita dengan sebab melahirkan, walau pun keguguran. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/ 84. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah disebutkan definisi nifas, sebagai berikut:
النِّفَاسُ دَمٌ يَخْرُجُ عَقِبَ الْوِلاَدَةِ ، وَهَذَا الْقَدْرُ لاَ خِلاَفَ فِيهِ ، وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي الأَْرْجَحِ : وَمَعَ الْوِلاَدَةِ ، وَزَادَ الْحَنَابِلَةُ : مَعَ وِلاَدَةٍ وَقَبْلَهَا بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Nifas adalah darah yang keluar setelah kelahiran, dan bagian ini tidak ada perbedaan pendapat ulama. Malikiyah menambahkan dalam Al Arjah: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran. Hanabilah (Hambaliyah) menambahkan: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran dan sebelumnya baik dua atau tiga hari sebelumnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz. 3, Hal. 198. Maktabah Misykah)
Jadi, darah yang keluar disebabkan keguguran juga termasuk nifas maka berlakukah hukum-hukum nifas bagi wanita tersebut; tidak shalat, tidak puasa, dan tidak boleh jima’. Ada pun larangan membaca Al Quran –sebagaimana wanita haid- tidak ada dalil qaht’i yang menyebutkannya, sedangkan menyentuh Al Quran maka para ulama berselisih tentang itu.
Namun, Keguguran yang bagaimanakah ini? Yakni keguguran yang terjadi pada yang janin telah lengkap memiliki jasad dan ruh (4 bulan ke atas).
Ada pun keguguran yang janinnya belum sampai berbentuk jasad, baru tahapan nuthfah dan ‘alaqah, maka terjadi perselisihan para ulama. Sebagian menyebut itu bukanlah nifas, tetapi darah rusak (fasad) dan berpenyakit (isthadhah).
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah yang disusun oleh para ulama di Kuwait yang diterbitkan oleh Departemen Kementrian Waqaf (seperti Depag di Indonesia) disebutkan:
فإن رأت دماً بعد إلقاء نطفة أو علقة، فليس بنفاس
“Maka, jika seorang wanita melihat darah setelah tumpahnya nuthfah atau ‘alaqah (segumpal darah), maka itu bukan nifas.” (Al Mausu’ah, 1/546)
Ini juga menjadi pedapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain. Syaikh Utsaimin mengatakan janin telah berbentuk manusia adalah usia 80 hari. Menurut kelompok ini mudghah belumlah menjadi wujud manusia, baru segumpal daging sesuai firman Allah Ta’ala:
“Kemudian (nuthfah) air mani itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan mudghah (segumpal daging), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun, 23: 14)
Maka, jelas sekali bahwa mudghah belumlah wujud manusia, masih segumpal daging yang masih ada tahapan selanjutnya, yaitu pemberian tulang belualang lalu dibungkus lagi dengan daging. Jika sudah wajud seperti itu lalu keguguran, maka itulah nifas.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إذا كان الجنين لم يُخلَّق فإن دمها هذا ليس دم نفاس، وعلى هذا فإنها تصوم وتصلي وصيامها صحيح، وإذا كان الجنين قد خُلّق فإن الدم دم نفاس لا يحل لها أن تصلي فيه، ولا أن تصوم، والقاعدة في هذه المسألة أو الضابط فيها أنه إذا كان الجنين قد خلق فالدم دم نفاس، وإذا لم يخلّق فليس الدم دم نفاس، وإذا كان الدم دم نفاس فإنه يحرم عليها ما يحرم على النفساء، وإذا كان غير دم النفاس فإنه لا يحرم عليها ذلك.
“Jika janin belum berbentuk (jasad) maka darahnya bukanlah darah nifas, maka dia tetap berpuasa dan shalat, dan puasanya itu sah. Jika janin telah berbentuk jasad, maka darahnya adalah darah nifas tidak halal dia shalat dan pula tidak puasa. Kaidah atau patokan dalam masalah ini adalah jika janin telah berbentuk jasad maka darahnya adalah darah nifas, dan jika belum berbentuk maka darahnya bukan darah nifas, dan jika darahnya adalah darah nifas maka diharamkan atasnya sebagaimana diharamkan atas orang yang nifas, dan jika bukan darah nifas maka tidaklah diharamkan atasnya sebagaimana tidak diharamkan atas orang tidak nifas.” (Su’al wa Jawab fi Ahkamil Haidh, Hal. 124. Darul Qimmah)
Syaikh Wahah Az Zuhaili rahimahullah mengutip dari para ulama:
بخروج أكثر الولد، ولو متقطعاً عضواً عضواً، ولو سِقْطاً استبان فيه بعض خلقة الإنسان كأصبع أو ظفر
“(darah nifas) ditandai dengan keluarnya sebagian besar tubuh bayi, walau sepotong-sepotong dari anggota badannya, walau pun keguguran tetapi sudah jelas padanya sebagian bentuk manusia seperti jari dan kuku ..” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/546. Maktabah Misykah)
Sementara ulama lain menyatakan bahwa walau pun belum berwujud sempurna, masih ‘alaqah (segumpal darah) dan mudghah (segumpal daging) misalnya, itu sudah termasuk nifas. Seorang ulama abad 9 hijriyah, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Hushaini Ad Dimasqi Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
وأما دم النفاس فهو الخارج عقيب ولادة ما تنقضي به العدة سواء وضعته حياً أو ميتاً كاملاً كان أو ناقصاً وكذا لو وضعت علقة أو مضغة جزم به في الروضة وسواء كان أحمر أو أصفر
“Ada pun nifas dia adalah darah yang keluar setelah melahirkan yang tidak ditentukan jumlahnya, sama saja apakah (janin) dalam keadaan hidup atau mati, sempurna atau kurang (cacat). Demikian pula seandainya yang dilahirkan itu berupa ‘alaqah atau mudghah yang telah tertanam kuat, sama saja apakah berwarna merah atau kuning .“ (Kifayatul Akhyar, Hal. 75. Syamilah)
Maka, menurut pandangan kelompok ini, walau pun usia kandungan baru 40 hari (sebab terjadinya ‘alaqah adalah setelah 40 hari kehamilan sebagaimana hadits yang kita bahas), keguguran yang terjadi tetaplah nifas, karena ‘alaqah merupakan janin juga tetapi yang belum sempurna.
Apakah Bayi Keguguran Mesti Dishalatkan?
Ada beberapa keadaan:
Jika bayi tersebut belum berwujud, masih gumpalan darah atau daging, atau usia kehamilannya di bawah 4 bulan, maka dia langsung dikuburkan saja sebab dia tak ubahnya hanya seonggok daging. Tapi, kalau dia mau dikafankan dan dikubur sebagai penghormatan baginya juga tidak apa-apa.
Jika bayi tersebut sudah berwujud, dan sudah ditiupkan ruh (4 bulan atau lebih), dan ada tanda kehidupan (gerak atau tangis), maka disikapi sebagaimana mayat biasa; dimandikan (kalau bisa dan tidak dikhawatirkan merusak jasadnya), dikafankan, dishalatkan, lalu di kubur. Inilah yang difatwakan para ulama Islam.
Jika bayi itu sudah berwujud, sudah 4 bulan, tapi ketika keguuran tidak ada tanda kehidupan maka tidak dishalatkan.
Berikut uraian Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah:
السقط إذا لم يأت عليه أربعة أشهر فإنه لا يغسل.
ولا يصلى عليه، ويلف في خرقة، ويدفن من غير خلاف بين جمهور الفقهاء.
فإن أتى عليه أربعة أشهر فصاعدا واستهل غسل وصلي عليه باتفاق.
فإذا لم يستهل فإنه لا يصلى عليه عند الاحناف ومالك والاوزاعي والحسن، لما رواه الترمذي، والنسائي، وابن ماجه والبيهقي عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إذا استهل السقط صلي عليه وورث ” ففي الحديث اشتراط الاستهلال في الصلاة عليه.
وذهب أحمد وسعيد وابن سيرين وإسحاق إلى أنه يغسل ويصلى عليه للحديث المتقدم.
وفيه: ” والسقط يصلى عليه ” ولانه نسمة نفخ فيه الروح، فيصلى عليه كالمستهل.
فإن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه ينفخ فيه الروح لاربعة أشهر، وأجابوا عما استدل به الاولون بأن الحديث مضطرب.
وبأنه معارض بما هو أقوى منه، فلا يصلح للاحتجاج به.
“Keguguran jika belum sampai 4 bulan maka janinnya tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan, cukup dibungkus dengan kain lalu dikuburkan, ini tidak ada perbedaan pendapat di antara mayoritas fuqaha.
Jika telah sampai 4 bulan dan memiliki tanda-tanda kehidupan, maka dia dimandikan dan dishalatkan menurut kesepakatan ulama.
Jika tidak ada tanda kehidupan, maka dia tidak dimandikan menurut kalangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan. Sebab diriwayatkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.” Dalam hadits ini tanda-tanda kehidupan dijadikan sebagai syarat untuk dishalatkannya bayi tersebut.
Menurut Ahmad, Sa’id, Ibnu Sirin, dan Ishaq, bayi itu tetap dimandikan dan dishalatkan (walau tak ada tanda kehidupan) sesuai hadits terdahulu. Dalam hadits tersebut disebutkan: “Bayi keguguran dishalatkan.” Karena makhluk hidup (manusia) setalh ditiupkannya ruh, maka dia dishalatkan sebagaimana adanya ‘tanda kehidupan’.
Dan, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa ruh ditiupkan setelah 4 bulan. Kelompok menjawab bahwa apa-apa yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama (yaitu hadits dari Jabir) adalah hadits mudhtharib (guncang – salah satu jenis hadits dhaif, pen), karena dia bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya (yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang kita bahas dalam syarah arbain ke-4), maka tidak sah berhujjah dengannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/529. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Catatan:
Hadits dari Jabir yang berbunyi:
إذا استهل الصبي صلي عليه وورث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6032, juga Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2750, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaiful Jami’ No. 363)
Ada juga yang mirip dengan hadits ini:
إذا استهل الصبي صارخا سمي وصلي عليه وتمت ديته وورث وإن لم يستهل صارخا وولد حيا لم يسم ولم تتم ديته ولم يصل عليه ولم يرث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan yang jelas maka dia diberikan nama, dishalatkan, ditunaikan diyatnya dan diwariskan. Jika tidak ada tanda kehidupan yang jelas maka tidak diberikan nama, tidak ditunaikan diyatnya, tidak dishalatkan, dan tidak diwariskan.”
Ini pun dinyatakan dhaif. (Irwa’ul Ghalil, 6/147)
Jadi ada tiga masalah dalam hal ini:
Keguguran sebelum 4 bulan, janin tersebut tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, hanya dibungkus dan kubur saja. Ini tak ada perbedaan pendapat.
Keguguran sudah 4 bulan atau lebih dan ada tanda kehidupan, maka dimandikan, dikafankan dan dishalatkan.
Keguguran sudah 4 bulan atau lebih tapi tidak ada tanda kehidupan, maka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Ini pandangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan berdasarkan hadits Jabir. Sedangkan menurut Ahmad, Said, Ibnu Sirin, dan Ishaq tetap dimandikan dan dishalatkan.
Pandangan yang lebih kuat adalah apa yang menjadi pandangan Imam Ahmad, Said bin Al Musayyib, Ibnu Sirrin, dan Ishaq bin Rahawaih, bahwa bayi keguguran yang usia kandungannya 4 bulan lebih, tetaplah dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan, walau tidak ada tanda kehidupan, berdasarkan dalil yang lebih kuat pula (hadits Ibnu mas’ud) bahwa dia telah ditiupkan ruh, dan kelemahan hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Tarjih adalah upaya penelitian terhadap berbagai dalil dan membandingkan berbagai pendapat lalu diputuskan mana yang paling kuat dan argumentatif. Pendapat yang kuat disebut rajah, sedangkan yang lemah disebut marjuh.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/31/persoalan-fiqih-terkait-usia-kehamilan-empat-bulan/
0 notes