#hanya belia
Explore tagged Tumblr posts
Photo


artworks by ASMA (artist duo matias armedaris and hanya belia) .
299 notes
·
View notes
Text
Dalam hidup, kita akan bertemu dengan tiga jenis cinta:
Pertama adalah sebuah rasa suka sesaat yang kita rasakan saat masih belia, rasa yang seringkali dinyatakan sebagai sebuah cinta, padahal tak lain hanya sebuah perasaan yang sering kita salah sangka. Sehingga tak ayal membuat kita dengan mudah menjatuhkan perasaan ke lain mata.
Kedua sebuah cinta yang kunamai ‘cinta tak dewasa’. Di mana karena rasa yang memenuhi dada, kita seringkali berlaku di luar nalar dan logika. Cinta yang membuat mata kita menjadi gelap dan penciuman kita menjadi mati rasa. Sebuah cinta yang kita rasakan saat pengalaman kita akan dunia dan definisi cinta itu sendiri masih sangat dangkal.
Ketiga, sebuah cinta yang mendewasakan. Orang yang jatuh cinta pada tipe ketiga akan dengan sepenuhnya menyadari definisi cinta yang sesungguhnya saat perasaan tersebut membuat kita berkembang dan bertumbuh ke arah yang lebih baik. Ketika merasakan jatuh cinta tipe ini, alih-alih merasa cemas dan takut kehilangan, kita malah menjadi lebih tenang.
Tenang karena kita tahu kita telah jatuh cinta pada orang yang tepat, di waktu yang seharusnya, dalam keadaan yang lebih siap.
@milaalkhansah
42 notes
·
View notes
Text
Take your time
Banyak yang mengatakan bahwa kita harus baik-baik saja di setiap roda kehidupan. Jangan sedih. Jangan nangis. Hadapi saja. Jalanin saja. Jangan manja. Jangan cengeng. Yang kuat ya. Yang sabar ya. Apalagi? Mengatasnamakan ‘menjadi baik-baik saja’ padahal bisa jadi denial terhadap apa yang terjadi. Sehatkah? Tidak.
Beberapa waktu belakangan kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Dunia terasa begitu berat untuk kujalani. Tak jarang malam demi malam aku lalui hanya dengan menangis sampai lelah kemudian terlelap, berharap esok hari beban berat di duniaku lenyap, meskipun aku tahu tidak seperti itu.
Aku izin undur diri dari grup pertemanan, untuk hilang sementara. Bukan left group, hanya izin untuk tidak ikut berbincang di sana. Ada beberapa chat personal dan group chat yang aku archieve, tujuannya hanya satu: menenangkan diriku sendiri. Walau pada akhirnya warga di grup menghujaniku dengan chat personal, menanyakan kondisi, dan mendoakan semoga aku lekas membaik.
Yang kita butuhkan untuk menjadi baik-baik saja adalah dengan berani jujur kalau kita sedang baik-baik saja, bukan? Jujur ke diri sendiri dan jujur ke orang lain kalau kondisi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Setelah melewati begitu banyak naik-turun kehidupan sejak usia belia, di usiaku saat ini terasa sangat melelahkan untuk terus-menerus berpura-pura kuat di depan orang lain. Barangkali, adakalanya jauh lebih baik untuk jujur ke orang lain bahwa manusia biasa ini butuh rehat sejenak dan hilang sementara dari keramaian. Dan hal itu sama sekali tidak apa-apa untuk dilakukan.
Know your limit. Take your time.
- ca
25 notes
·
View notes
Text
(6)
Menyusuri Cahaya yang Masuk dari Celah Lakuna
Luka pengkhianatan itu menyebabkan retakan yang menjalar. Tiba-tiba semua luka menjadi terbuka, mengungkap lakuna dalam jiwa. Ada part yang kosong karena saat muda belia langsung terperangkap pernikahan yang tak seimbang, bermakmum taat norma. Tak mengapa sebenarnya, tapi... dia abai pada separuh jiwanya yang berbeda usia dua tiga warsa lebih muda. Betapa kebutuhan emosional wanita naif belia usia itu tak terpenuhi. Lakuna itu kini minta diisi dalam perjalanan barunya yang anomali.
Jika tak karena rahmat Allah menyertai, aku tak mungkin selamat karena terlalu fokus mencari isi untuk lakuna jiwa yang kosong tanpa kendali rasa. Hatiku lirih berkata "pendosa pun ingin akhir yang baik, apalagi aku yang terbiasa baik, tak mungkin bagiku menjatuhkan diri dalam kebinasaan." Tapi bagaimana dengan hidupku yang anomali? Aku benci pada semua yang mengingatkanku pada pengkhianatannya itu. Tapi aku pun tak perlu menjadi buruk karena perlakuan buruknya itu.
Lalu bagaimana aku bisa memenuhi lakuna yang menganga itu? Ini bukan dorongan nafsu, tapi ruh yang kosong itu minta diisi. Aku mencari cahaya dalam kegelapan yang menyelubungi hati, mencoba memahami arti keberadaanku di luar bayang-bayang yang selama ini membingkaiku. Mungkin jawabannya ada dalam perjalanan spiritual yang belum kutapaki, atau dalam kebebasan menemukan diri sendiri setelah sekian lama terkekang dalam ekspektasi yang bukan milikku.
Aku mulai menelusuri celah-celah kecil yang masih memberi sinar harapan—membaca kembali kisah-kisah yang menginspirasi, menyelami doa yang mungkin dulu hanya sebatas ritual, melangkahkan kaki ke tempat-tempat baru, jauh dan berjarak dari kolam toksik yang seringkali membuat aku mempertanyakan kewarasanku sendiri.
Lingkungan baru yang bisa mempertemukanku dengan sisi diriku yang belum kukenal. Memaafkan diri dan mulai membuka diri untuk bertemu orang-orang baik di luar ekosistem lama. Aku mengijinkan diriku untuk melompat ke kolam baru yang lebih jernih meski kolam itu lebih kecil ukurannya. Apapun yang menyebabkan hilangnya ketentraman di hati, itu terlalu mahal. Aku menyusuri cahaya yang masuk dari celah lakuna. It will not easy, but I'll learn...
Aku harus menemukan caraku sendiri untuk mengisi kekosongan ini, bukan dengan menggantinya dengan hal-hal fana yang semu, tetapi dengan membangun kembali makna hidup yang sejati. Jika selama ini aku hidup untuk orang lain, kini aku belajar hidup untuk diriku sendiri, tanpa menghilangkan nilai-nilai yang kupegang. Aku ingin mengenali diriku lebih dalam, mendengar suaraku sendiri tanpa gangguan suara lain yang memaksakan apa yang seharusnya kupikirkan dan kurasakan.
Aku akan mengisi lakuna ini dengan perjalanan yang lebih jujur, lebih tulus, dan lebih bermakna. Aku ingin berdamai dengan kehilanganku, bukan dengan menggantinya, tetapi dengan menjadikannya bagian dari perjalanan yang membentukku menjadi lebih utuh.

12 notes
·
View notes
Text
Rupanya benar adanya yang disampaikan guru-guru kita sewaktu belia, bahwa akal perlu senantiasa diasah.
Ia perlu senantiasa dipergunakan berpikir. Semakin lama dibiarkan terlelap, ia akan berkarat.
Akal pikir yang berkarat, tak mampu mengolah suatu peristiwa menjadi hikmah.
Akal pikir yang berkarat, tak mampu menyelami nilai dari sesuatu hal yang ia terima, sehingga yang menjadi output darinya hanya prasangka, kebencian, iri, dengki, dan segala sifat buruk yang pernah dikenal manusia.
Belakangan aku baru menyadari itu. Dan ternyata, aku perlu mengasahnya lagi. Perlahan, tapi berkelanjutan.
#my writing#writers on tumblr#tulisan#think about it#critical thinking#penulis#female writers#writeblr#writing
13 notes
·
View notes
Text
HUJAN ITU TELAH REDA SEPENUHNYA

Sc: Lovely Runner K-drama
"Time won't make you forget, it'll make you grow and understand things."
-Unknown
Saya pernah terjebak dalam suatu fase kompleks selama masa remaja. Ada hari-hari tertentu ketika saya menyalahkan waktu yang tidak mampu mengobati kesulitan melupakan musim hujan paling panjang dalam hidup. Dunia seolah tak bosan mengirimkan hujan itu selama hampir tujuh tahun meski saya hampir mati tenggelam sendirian. Entah bagaimana, suatu hari hujan itu berhenti sepenuhnya.
Harus diakui awan-awan gelap itu betah menggantung di langit karena saya merangkulnya erat-erat. Terkadang saya terpaku begitu lama tanpa menyadari hari demi hari saya semakin kuyup. Seperti orang bodoh, tubuh ini menolak sadar bahwa hujan itu kapanpun dapat merenggut nyawa saya.
Tahun-tahun berlalu, saya makin "terobsesi" menenggelamkan diri. Adakalanya kepala saya dipenuhi air dan permukiman di dalamnya porak-poranda. Kian hari hujan yang tak mudah dirangkul itu menjelma sebuah wajah dalam film yang saya tonton, orang-orang yang saya temui, benda langit yang saya pandangi, bunga tidur yang saya tangisi hingga fajar, isi kepala yang dipikirkan sepanjang hari, jalan yang saya lalui, buku-buku yang saya baca, dan mungkin ribuan kata yang saya simpan rapi di arsip memo.
Ternyata menghadapi hal yang sama bertahun-tahun membuat saya kehilangan arah. Untuk pertama kalinya saya merasa tak mampu memeluk hujan itu di lengan saya. Kemudian saya memberanikan diri berteriak mengatakan hujan itu hampir membawa sisa-sisa kehidupan saya pergi. Beberapa orang pun datang menarik saya pergi jauh. Tuhan sungguh bermurah hati saat Ia menggerakkan orang-orang ini secepatnya.
Bagaimana cara saya meredakannya? Hal pertama yang dilakukan adalah menyadari bahwa saya dan hujan itu hanya kebetulan melalui perlintasan yang sama. Saya hanya terlalu naif di usia belia untuk memahami berbagai hal. Selanjutnya saya menerima bahwa bila merangkul lebih lama lagi kemungkinan besar saya akan kehilangan akal. Saya memutuskan untuk berbicara dengan orang lain—yang sempat saya yakini tidak lebih baik dari menulis di kertas-kertas kosong. Terakhir, hal paling berani yang pernah saya lakukan seumur hidup, menghadapi hujan itu sekali lagi, melepaskan rangkulan, dan mengucapkan salam perpisahan dengan manis.
Sekarang saya dapat berjalan lebih jauh. Rasanya bahagia kembali hidup normal seperti sediakala. Tentunya saya sesekali masih teringat akan hujan—sangat mustahil bila harus melupakan sepenuhnya—misalnya ketika saya menemukan beberapa hal yang tidak sengaja terasosiasi dengan dirinya. Namun, itu tidak berarti musim hujan akan kembali terjadi. Saya hanya mengingat masa-masa itu sebagai salah satu bab paling indah yang Tuhan tulis. Bab itu sudah selesai ditulis sekarang.
Terima kasih dan selamat tinggal, hujan.
Leonny Eudia La Jemi, 10 April 2024
13 notes
·
View notes
Text
Siap Menjadi Orang Tua
Akhir-akhir ini, isu tentang luka batin yang berakar dari pola asuh semakin sering muncul di sekitarku. Tak sedikit orang dewasa yang mulai menyadari bahwa mereka, pada titik tertentu, adalah “korban” dari cara orang tua membesarkan mereka. Di sosial media, cerita-cerita serupa juga memenuhi linimasa, menjadi cermin untuk kami—aku dan adikku—mengenang kembali bagaimana kami tumbuh.
Bersyukur, kami terlahir dari kedua orang tua yang, bagi kami, sudah benar-benar siap menjadi orang tua. Bahkan, ketika aku masih belia, baru masuk SMP, mereka sudah mengenalkanku pada psikiater dan psikolog. Padahal, pada saat itu, datang ke profesional semacam itu sering dianggap tabu, bahkan hanya untuk "orang gila" katanya. Tetapi tidak bagi orang tua kami. Bagi mereka, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, tak pernah bisa dianggap remeh.
Kami tidak terlahir dari keluarga kaya raya, namun, selama ini, aku tidak pernah sekalipun mendengar mereka berkata, “Uangnya nggak cukup buat sekolah,” atau “Kamu nggak usah ikut kegiatan itu ya, Bapak nggak ada uangnya.” Kini, saat dewasa, aku menyadari betapa besar pengorbanan mereka. Meskipun Bapak dan Ibu hanyalah pegawai negeri biasa, pendidikan selalu menjadi prioritas yang tak pernah mereka tawar-tawar.
Dalam ingatanku, tak ada bentakan atau suara tinggi dari mereka. Ketika kami berbuat nakal atau menguji kesabaran mereka, mereka masih bisa berbicara dengan tenang, lebih mengajak kami merenungkan apa yang kami perbuat dan berdiskusi. Cara ini membuat kami jauh lebih mampu menerima apa yang mereka sampaikan.
Lebih dari itu, orang tua kami tak pernah memaksakan kehendak mereka atas hidup kami. Mulai dari memilih sekolah, jurusan kuliah, pekerjaan, merantau atau tidak, hingga memilih pasangan hidup, semua adalah keputusan kami sendiri. Mungkin karena itulah, kami belajar memikul tanggung jawab tanpa merasa ada beban bertentangan dengan mereka.
Dari percakapan kami itu, kami menyadari bahwa Bapak dan Ibu telah memberikan lebih dari sekadar dukungan—mereka memberikan rasa percaya dan kebebasan yang tumbuh bersama kami. Dalam doa, kami memohon agar kelak, saat kami diberi amanah untuk menjadi orang tua, kami bisa memberikan hal yang sama untuk anak-anak kami, seperti apa yang telah mereka lakukan untuk kami.
4 notes
·
View notes
Text
Talaqqi Qira’at Riwayat Imam ‘Ashim
Hanya 10 hari, rasanya belum cukup untuk menggali ilmu Allah yang sangat luas. Sementara diri ini sangat terbatas. Meski sebentar, tapi kenangan setiap harinya akan terus membekas.
Aku akan selalu rindu suasana komplek PT PUSRI yang rindang lengkap dengan masjid Aqobahnya yang sangat “hidup”. Hingga malam-malam panjang saat itu terasa singkat seperti Ramadhan. Syahdu, penuh keberkahan🥹
Aku juga tidak akan lupa momen-momen sulit ketika talaqqi pertama yang bahkan untuk menyelesaikan 1 juz butuh waktu 6 jam lamanya. Dari isti’adzah bahkan sampai ketika mengucapkan lafazh “Barakallah” saja tak luput jadi bahan koreksi ustadz. Betapa semakin belajar kita akan sadar bahwa masih banyak lagi yang perlu kita pelajari.
Selain halaqoh talaqqi yang penuh kenikmatan, berkumpul dengan orang-orang sholih juga menularkan semangat. Ada pensiunan pejabat PUSRI yang meski menjadi paling senior di antara kami, tapi semangatnya paling membara. Ada juga Pak RT yang di tengah kesibukannya mengurusi umat tetap berjuang untuk bisa hadir di setiap halaqoh. Yang jauh dari Muara Enim pun ada. Belum lagi para pekerja yang meski tidak libur, tapi tidak menjadikan itu alasan untuk meninggalkan kesempatan emas ini.
Di sana juga aku dipertemukan sengan sahabat baru yang meski baru bertemu dan kenal di saat itu juga, tapi terasa seperti saudara yang sudah kenal sejak lama. Mitha yang sejak halaqoh pertama tak pernah putus asa untuk berlatih huruf isti’la, qolqolah dan semua catatan yang diberikan padanya. Bahkan baru juga membuka mata di pagi hari, ia sudah siap meminta bacaannya dikoreksi. “Mbaa, bener dak bismillah aku?” Hahaha
Juga Resty yang meski harus berbagi waktu dalam kesibukannya tapi tetap berjuang dengan maksimal. Melihatnya aku seperti diberi gambaran “mastato’thum” dalam kehidupan nyata. Meski di malam terakhir demam dan kedinginan, ia tetap hadir dengan jaket tebal yang menyelimutinya.
Dan dua bersaudara Dhiya dan Syasya yang punya sosok ibu luar biasa sehingga di usia muda mereka meraih prestasi yang jauh melampaui usianya. Bacaan mereka jangan ditanya, wong mereka murid Ustadz dari sejak belia🥹 masya Allah.
Ah rindu sekali,
Rindu juga sama kamar 210 Wisma Delima yang serasa hotel bintang 4nya PUSRI dengan kamar mandi estetik yang ada showernya😅 Rindu juga jokes bapak-bapak yang receh tapi menggelitik juga. Rindu ngebandrek untuk nahan ngantuk halaqoh malam. Rindu makan 3x sehari yang hampir selalu nasi padang🤭
Masya Allah. Nikmatnya berkumpul dengan orang-orang sholih. Semoga Allah beri kesempatan untuk terus belajar Al-Qur’an. Aamiin.
Palembang, 11 Juli 2024 || Baru 4 hari berlalu, sudah rindu🥹








9 notes
·
View notes
Text
Diam-diam suka
Yang aku rasakan, experience "diam-diam suka" ini berbeda sesuai kategori berpengalaman atau gak nya dalam hubungan romansa.
Kategori 1
Orang dewasa yang sudah paham betul akibat dari diam-diam suka. Apa yang kamu harapkan? ya sama seperti remaja belia, ingin nya bisa hidup bareng. Tapi, ekspektasi nya direndahkan se-demikian rupa. Lanjut alhamdulillah, kalo gak, yaudah, cari yang lain. Lebih bisa me-menej investasi perasaan seberapa persen, enggak deep, ya medium aja lah, atau bahkan selewat, hanya untuk menciptakan sparks crush on someone di sela kesibukan bekerja. Lucu-lucuan aja.
Kategori 2
Remaja belia dengan mahzab "aku kagum sama dia bertahun-tahun, biarin lah diem-diem aja, mungkin suatu saat...." haha, iya, suatu saat dia sama yang lain. Apa yang diharapkan? ya sama, ingin bisa hidup bareng, membayangkan yang visioner ke depan, investasi perasaan begitu dalam, sampai lupa caranya bangun untuk sadar. Gak ngeliat usaha orang lain yang mendekati, "aku sukanya dia", wkwkwk. I was there, tenang. Gapapa. Emang harus belajar patah hati biar gak mudah menelan lisan berpemanis buatan.
19 Oktober 2023
23 notes
·
View notes
Text
Aku belum juga berhenti berhitung. Tentang satu, dua, dan angka-angka yang aku sudah tidak tahu lagi keberapa, mengenai malam yang dipenuhi kecamuk pikiran yang tidak berhenti-berhentinya terbang, macam kunang-kunang. Kunang-kunang sih, enak, ya. Dia hidup, berkeliaran dan berbinar-binar, lalu kawin, dan mati di esok harinya. Kalau sedang apes, dia tidak sempat kawin, lalu mati di esok harinya. Masalahnya, pikiranku itu, bukan kunang-kunang; yang tanggal kadaluarsanya cuma satu hari, dari timbul hingga mati lagi.
Pikiranku itu berkecamuk macam angin ribut. Desaunya bikin hancur dan puing-puingnya jadi bahaya untuk banyak orang. Dia jadi komando buat tabuhan jantung yang dikiranya sedang ada parade. Ditabuhlah jantung itu, dum, dum, dum, kalau perlu, ada konfeti warna-warni yang meriah, dan suara teriakan gajah. Di antara kelap-kelip jam digital di kamar, di bawah lampu yang tidak tampakan cahayanya, aku mengalami keributan itu. Napasku jadi menggebu-gebu. Teriakan gajah dan orang lalu-lalang seakan sejajar telinga.
Tapi, aku tahu, semuanya itu semu.
Angin ribut, puing-puing, parade tabuhan, teriakan gajah, dan orang-orangan, semuanya hanya di belakang kepala. Yang aku nampak sekarang, adalah gelap gulitanya bilik kamarku, dengan samar-samar jam digital yang sengaja aku timbun dengan sapu tangan karena terangnya menusuk mata. Semuanya sunyi; sampai aku dengar desing di belakang telinga, suara napas yang panas, dan gesekan suara serangga.
Aku belum juga berhenti berhitung, sudah keberapa malam aku perlu terlelap dengan bantuan suara-suara yang nyata. Suara-suara nyata yang meredam suara tipuan belaka. Cukup nyata, agak nyata, sepertinya; seperti suara air sungai atau tetes air yang itu-itu saja dan repetitif menjemukan, yang aku sengaja dengarkan sampai pagi buta dengan kesadaran penuh.
Aku cukup rindu pada masa di mana dunia, di mataku, terasa tinggi dan besar. Aku masih pendek dan umurku masih belia. Tentang aku yang bisa tidur semau jidatku, yang habis lari-lari ke sana ke mari, menguleni plastisin hingga warnanya kumal dan kering kerontang, atau hanya kelelahan menangis akibat sepeda tinggi Kakak yang aku kendarai dengan sok tau itu, remnya blong dan aku terjerembab di gudang tetangga. Aku yang luar biasa lelah dengan kesibukan anak tengil dan sok tau itu, tidur di depan TV, dengan kepala di pangkuan Mama, sedang rambutku tak henti-hentinya menjadi mainan tangan Kakak (karena rambutku lurus dan masih sangat bagus). Besok harinya, secara ajaib, aku terbangun di kasur dengan rambut yang menempel di pipi-pipi dan jejak lipatan di lengan, konon katanya, adalah hadiah sudah tidur nyenyak.
4 notes
·
View notes
Text
Sesederhana Bahagia dengan Memberi
Ketika aku masih sangat belia, setiap kali pergi ke tempat ramai dan menemukan pengemis, hatiku selalu tergerak untuk memberi kepada mereka. Setiap itu pula ada perasaan lega; tentram; bahagia yang tak bisa kujelaskan.
Perasaan itu terjadi berulang-ulang setiap kali aku memberi dan selalu menimbulkan tanya di benakku "perasaan apa ini?".
Sampai pada suatu waktu, aku bertanya kepada ibu, "bu, kenapa ya setiap kali memberi, aku merasakan perasaan yang begitu dahsyat—perasaan yang aku tidak bisa jelaskan, bu"
Mendengar pertanyaanku, ibu dengan lembut menjawab dengan bahasa sederhana yang sekiranya mudah dipahami oleh anak kecil, "perasaan itu hadir berkat keikhlasan dalam memberi. Bahwa perasaan ingin berbagi itu adalah bentuk kuasa-Nya Allah yang sudah menggerakkan hatimu".
Aku yang saat itu masih sangat belia hanya mampu mencerna dengan sederhana, "oh jadi karena aku memberi makanya perasaan ini hadir".
Sampai akhirnya, puluhan tahun berlalu. Perasaan itu masih sama. Perkataan ibu masih sangat melekat di ingatanku. Satu hal yang kemudian aku benar-benar baru "sadari" adalah bahwa perasaan ikhlas berbagi tanpa mengharapkan untuk kembali itu adalah sebuah rezeki yang Allah beri.
Sebab, ketika hati mulai tergerak untuk memberi; ikhlas karena Allah; ikhlas hanya untuk mengharapkan rida-Nya, maka itulah bentuk rezeki yang juga perlu disyukuri— keinginan untuk berbagi.
Semoga kita tergolong hamba Allah yang senantiasa ringan dalam berbagi, ringan dan melantunkan doa dan kebaikan kepada orang lain. aamiin yaa rabbal alamiin.
28 notes
·
View notes
Text
‘the way i see myself’

Aku seseorang yang punya banyak karakter, Mas. aku memiliki banyak ‘wajah’ namun bukan dalam artian yang buruk. aku hanya berusaha menyesuaikan dengan siapa aku berbicara, dan di mana aku sedang berada. masing-masing dari karakter yang aku miliki tergantung dari seberapa besar pengaruh yang aku dapatkan dari lingkungan yang menempaku untuk membesarkan karakter itu.
dalam keluargaku, aku dikenal sebagai seseorang yang dingin. aku jarang tersenyum dan tertawa dengan lepas. aku seorang yang pendiam, jarang bercerita, dan juga seseorang yang galak. aku lebih senang menghabiskan waktu di dalam kamar seharian. karakter-karakter itu lahir dari hasil tempaan tempat yang kusebut rumah, dan juga bentukan dari pengalaman buruk yang kudapatkan saat remaja. namun, beberapa tahun ini, aku mencoba untuk perlahan mengubah itu semua. aku tak segalak dulu, emosiku lebih mampu kuredam dengan diam, aku juga mulai memperbaiki hubunganku dengan Mama, aku mulai berbagi cerita dengannya dan juga merespon ceritanya dengan banyak mimik wajah. aku berusaha berbenah, Mas...tetapi kautahu kan, kalau mengubah karakter yang telah menemani kita sejak belia itu tidak bisa dicapai dengan instan. semakin aku dewasa, aku belajar untuk memaafkan diriku, memaafkan Mama atas andil beliau membentuk banyak sifat yang tidak pernah aku inginkan ada dalam diriku, aku belajar memahami bahwa menjadi Mama pun tidak mudah sehingga belajar untuk berlapang dada, bahwa terlepas apa yang telah ia lakukan padaku di masa lalu, ia hanya seorang manusia biasa yang pasti punya salah.
dalam hubungan pertemanan, seseorang mengenalku sebagai seseorang yang cuek, acuh tak acuh, judes, dan juga jutek. sebagian yang lain mengenalku sebagai seseorang yang ceria, ramah, teman yang menyenangkan dan juga penyayang, sangat peduli, konyol dan juga sedikit tengil dan jahil. semua itu adalah sifatku, tetapi balik lagi, tingkat dominannya tergantung dengan siapa aku berbicara, dan juga di mana aku berada.
di beberapa keadaan aku bisa membuka diri, bercerita banyak hal, dan juga bagaimana aku melalui hari.
di beberapa keadaan, aku berupaya mencukupkan diri. berperan hanya sebagai pendengar, tanpa menjelaskan bagaimana, dan siapa aku.
di banyak keadaan, aku lebih sering menutup diri. kembali masuk dalam cangkang, menikmati dunia yang hanya dipahami oleh diriku sendiri, tanpa mengizinkan seorang pun datang untuk mengetahui.
aku juga bukan orang yang percaya diri, Mas.
apa yang telah kulewati menanamkan pemikiran bahwa aku tak pernah cukup.
tak pernah cukup baik. tak pernah cukup layak. tak pernah cukup cantik. tak pernah cukup berhak. dan tak pernah cukup disayang.
aku juga seseorang yang lebih mampu untuk menyambut kesedihan, daripada kebahagiaan, karena sepanjang aku hidup, kesedihan dan penderitaan menjadi teman perjalananku.
kebahagiaan terasa asing, kesedihan terasa lebih mampu untuk kuterima dan juga lebih terasa nyata.
itu hanya sekian bagaimana aku memandang diriku sendiri, atas berbagai sifat yang kupunya saat ini dan kelak saat kita bertemu nanti. kuharap kau tak hanya mau menerima dan mencintai apa yang menjadi kelebihanku, tetapi juga bersedia menerima apa adanya aku dan juga masa lalu yang membentukku.
mau ya, Mas?
Surat ketiga, Minggu 9 Juli 2023
47 notes
·
View notes
Text
Seorang remaja belia menemuiku pagi hingga siang tadi. Usianya masih belasan awal. Ia mengenakan seragam sekolah jilbab putih dengan ransel yang terlihat cukup berat. Saat hendak duduk, aku meminta melepaskan tasnya terlebih dahulu, agar dapat duduk lebih lega.
Ia duduk sambil menunduk, hanya sesekali menatapku. Suaranya lirih nyaris tak tedengar. Saat ditanya, responnya pendek-pendek. Bahkan saat diminta membuat cerita dari susunan gambar, ia hanya menyebut satu kata per kartu tanpa merangkai kalimat. Menurut keterangan ibu, anaknya jarang sekali bercerita. Kerap kali masalah yang ia miliki hanya dipendam sendiri.
Ibu bercerita bahwa remaja belia itu adalah anak ketiga dari empat. Keterbatasan ekonomi, minimnya edukasi, juga ketidaksiapan ibu mengurus bayi dengan jarak yang dekat, membuat ibu sempat berusaha meluruhkan si anak di usia kehamilan dua bulan. Ibu menenggak beragam pil dan jejamuan agar si anak tidak berkembang, namun atas izin Allah si anak itu tetap bertahan.
Ternyata, remaja belia itu sudah kuat sejak janin. Maka tak heran ia bisa begitu tegar memendam ragam masalah sendirian. Dalam hening dan diamnya. Saat sesi bersama anak, aku sedikit emosional dan sempat menangis diam-diam. Ia yang tak diharapkan sejak dalam kandungan, apakah mendapatkan kasih sayang yang memadai hingga usia ini? Apa saja yang sudah ia lalui? Apakah dia merasa aman? Bagaimana ia memandang dunia? Bagaimana cara ia bertahan sampai hari ini?
Di akhir sesi, aku sempatkan berbincang dengannya. Ku turunkan posisi dudukku agar sejajar. Saat ku tanya, ia sudah dapat lebih lama menatapku, meski responnya masih tetap terbatas. Bahwa ia pernah mendapatkan perundungan, bahwa ia pernah diolok bisu saking sulitnya berinteraksi dengan temannya. Saat aku tanya perasaannya tentang pengalaman itu, lama ia menatapku lalu lirih menjawab “marah”, “sedih”, “takut”. Ku lihat mata itu berkaca dengan raut wajah yang mendung. Tampak masih berusaha menahan semua sendiri.
Ah, kamu memang sudah kuat bahkan dari janin, duhai belia. Mari jumpa di takdir selanjutnya, untuk mengalirkan rasa-rasa yang kamu pikul sendirian. Sampai hari itu tiba, bertahan ya, yang kuat 🤍
5 notes
·
View notes
Text
Kakek Buyut
"Selain seorang qori beliau juga menyebarkan agama Islam di daerah Surabaya ke barat nduk"
"Beliau adalah kyai keturunan Arab yang menyebarkan agama lewat gerakan Nahdlotul Ulama, kyai - kyai zaman lampau memang berbeda nduk, wong etanan (Jawa Timur) iku terkenal etos tinggi"
Begitu akhir cerita mbah Putri dan mbah Kung dalam mengenang Kakek Buyut kami. Selalu kami dengarkan selepas acara silaturahmi atau sungkem keluarga Bani Atmaja.
Seorang kakek buyut kami, salah satu tonggak pemerkasa Nahdlotul Ulama daerah Surabaya. Kokoh kaki juga pendirian yang hebat dalam menyebarkan ilmu fiqih, lewat cara dakwah yang begitu sederhana, dengan media apa adanya, dengan cara yang dibuat masyarakat mudah menerima Islam terlebih dahulu.
Seorang kakek buyut kami, seorang qori yang selalu mengajarkan seni membaca Al-Qur'an; ilmu qiroat, dari tiap masjid ke masjid yang lain, termasuk menjadikan mbak Putri kami sebagai qori yang terkenal di daerah Nganjuk. Mbah pernah bercerita, ketika kecil, mbah Putri pernah dibawa ke semua masjid di Surabaya untuk mengikuti dan menjadi pengajar qiroat, padahal saat itu usia mbah Putri masih 10 tahun, sampai-sampai untuk naik turun mobil harus diangkat.
Seorang kakek buyut kami, yang menyebarkan agama di tengah zaman yang masih belia, di tengah tidak ada permasalahan angkara antar pendakwah, tidak ada kemerosotan zaman, yang dinilai adalah sucinya aqidah dan lurusnya cara beribadah juga pandangan agama yang masih bersih akan jajahan ''western worldview"
Kukira, cerita-cerita itu hanya akan menjadi cerita yang terus diulang-ulang ketika lebaran, tiada nilai yang bisa dipetik, hanya mendengarkan saja. Tapi, kami salah besar, begitu kuat saat ini bagiku untuk menyadari dinamika masalah umat yang terjadi saat ini. Ketika banyak mempermasalahkan golongan agama, agama diperjualbelikan, sholawat dibuat maksiat, perpecahan di antara manhaj, perasaan acuh pada saudara sendiri, juga salah satu golongan kelompok agama yang merasa menjadi poros. Padahal nahdlotul ulama masa lampau, bukanlah demikian.
Padahal, lihatlah bagaimana para Ulama, para Kyai, para pewaris Nabi. Bagaimana perjuangan juga tetes keringat beliau-beliau dalam meneggakkan aqidah, mengenalkan agama dan tata ibadah. Bayangkan bagaimana perasaan beliau-beliau ketika mengetahui apa yang terjadi di zaman ini. Bukan kah semua adalah satu kesatuan, satu, umat Islam. Tidak untuk dipermasalahkan, tapi untuk didamaikan. Tidak untuk satu golongan tapi untuk semua. Tidak untuk unsur keakuan, tapi untuk sesama. Ambil yang baik, buang yang buruk. Sampai saat ini pun, kami tertekad bahwa semua adalah baik, kami berasal dari keluarga NU yang sangat kental, tapi Islam itu satu. Sampai kapan akan dikotak-kotakan?
Sebagaimana apa yang kami dapatkan, perjuangan seorang kakek buyut kami, jerih payah kakek buyut kami, kesatuan umat yang diperjuangkan kakek buyut kami.
Semoga kami selaku cucu juga canggah dapat meneruskan panji keimanan, menelurusi keilmuan, menjadi generasi pembawa perubahan, mencintai ilmu dan mengamalkan iman.
Begitulah kami menyadarinya, cerita singkat dari kakek buyut kami,
Kyai Haji Abdul Ghofur, Nganjuk Jawa Timur bersama dzuriyah yang semoga Allah jaga selalu.
Next books to buy
2 notes
·
View notes
Text
#79 Respon Yang Tidak Berlebihan
Hidup ini seringnya dipenuhi dengan ketidakpastian. Bahkan ada yang bilang, tidak ada yang pasti dalam hidup, kecuali.. kematian.
Semakin bertambahnya usia, semakin banyaknya masalah berdatangan, kita semakin sadar akan beberapa realita yang pada akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Ketidaksiapan kita untuk menerima perubahan atau kekecewaan tersebut kadang membuat kita khawatir, takut, atau mendorong kita memberi respon yang tidak terkontrol, meledak-ledak.
Tapi semoga..
Beberapa orang termasuk diriku ini pada akhirnya sadar, masalah memang selalu ada bahkan sejak kita belia. Masalah akan terus datang, dijalani, lalu pergi diikuti dengan pelajaran yang mau/tidak kita petik di dalamnya. Perbedaan masalah dulu dan saat ini mungkin terletak pada penanggungjawab atas segala pilihan dan masalah yang terjadi pada diri kita saat ini, yang tidak lain adalah diri kita sendiri.
Tapi siapa sangka? Setelah melihat banyak hal terlewati, ternyata kehadiran kita saat ini mengartikan bahwa banyak masalah yang sudah dilalui. Sebagai bukti kesanggupan kita yang mampu bertahan sejauh ini. Ternyata benar, semua ini hanya perlu diusahakan, didoakan, dan dipasrahkan padaNya.
Oleh karena itu, saat ini aku berusaha memberi respon secukupnya atas apa-apa yang terjadi. Saat sedih, sedih secukupnya. Saat senang, senang secukupnya. Berusaha tenang atas apa-apa yang ditetapkan olehNya, setelah berusaha dan berdoa tentunya.
Diam sejenak.
Mengingat kembali langkah-langkah yang pernah ditapaki, menoleh sedikit ke belakang. Ternyata sudah berjalan sejauh ini. Ternyata banyak hal telah kulewati.
2 notes
·
View notes
Text

Tentang Naina
Murey 31 Juli 2024
Pada suatu senja yang menguning.
Terlihat sosok gadis belia yang berdiri di tepi jurang dengan tatapan kosong menatap jauh ke kedalaman jurang yang mencekam.
Tak ada getar di kakinya, tak ada debar ketakutan di dalam dirinya. Hanya ada getir di matanya. Hanya ada tumpukan derita yang menggunung di dalam hatinya. Kesedihan yang tiada habisnya. Perasaan yang jauh lebih mencekam daripada jurang yang ada di hadapannya.
Senja terbawa suasana. Langit turut berduka, melihat wajah cantik yang merana. Burung-burung gagak pun enggan terbang. Burung-burung pipit terbang menjauh, mengabarkan pada alam cerita Naina.
Alam tak kuasa menahan atmosfer ketegangan di sana. Seketika awan-awan menjatuhkan air mata. Hujan yang lebat membasahi seluruh tubuh Naina yang penuh dengan luka. Ada perih yang semakin Naina rasakan dari dalam dirinya.
Naina perlahan melangkahkan kakinya mundur ke belakang. Lalu memutar balik tubuhnya yang kuyup. Perlahan melangkah menjauh dari tempat ia berdiri tadi.
Naina mengurungkan niat yang ia tahu bahwa Tuhan pasti marah. Naina tahu, Tuhan benci usaha untuk berhenti bernapas disaat yang belum pada waktunya jiwa dan raga terlepas. Meski pada kenyataannya, Naina merasa tak lagi mampu untuk berjalan di atas duri-duri yang ia tak tahu di mana letak ujungnya.
Bukankah hidup adalah pilihan ?...Tapi mengapa Naina seakan tak bisa memilih jalan hidupnya sendiri, jalan yang Naina inginkan. Atau apakah memang hanya ini jalan yang tersisa untuk Naina jalani. Menjalani hidup dengan penuh derita, menjalani hidup dengan air mata, menjalani hidup dengan duka-cita, apakah jalan pahit seperti ini yang menjadi jalan takdir yang harus Naina hadapi. Jika iya, mengapa ?.. mana jalan lainnya ?..
Belum kah terbuka jalan terbaik untuk Naina bisa merasakan sesuatu yang membuatnya tersenyum bahagia. Bahkan, naina tak pernah mengingat. Kapan terakhir senyum di bibir manisnya itu menggambarkan isi hatinya yang benar-benar disebabkan karena kebahagiaan.
Senyum naina hanyalah senyum tanpa rasa. Meskipun bibirnya memang manis, tetapi senyumannya tetap saja hambar. Naina hanya senyum untuk membalaskan beberapa senyum milik yang lain. Hanya tersenyum untuk tetap menghargai senyum yang lain.
Ini tentang Naina. Gadis belia yang memilih tetap melanjutkan hidup. Meski bagi Naina kehidupan sudah tak berarti apa-apa selain derita yang tiada habisnya. Naina telah banyak kehilangan hal-hal berharga di dalam dirinya. Bahkan, sejak Naina terlahir ke dunia yang fana ini.
Naina dilahirkan dari sosok perempuan yang tak kuasa bertahan melawan kematian. Lalu terpaksa meninggalkan Naina yang berhasil selamat dari kematian. Tak ada gambar, tak ada rupa, tak ada cerita tentang kasih sayang seorang ibu di memori Naina. Bahkan siapa ayahnya saja dia tak pernah tahu. Naina tidak memilikinya.
Ada sebuah peristiwa yang membuat naina putus asa dan ... sebagian teks disembunyikan ...
5 notes
·
View notes